Menu

Sinau Acuan Cerpen Bertema Sejarah

Tampak api dari lampu teplok menghasilkan kepulan asap yang seolah naik perlahan secara spiral. Tampak kepulan asap membentuk empat figur, yaitu: petani, tentara kolonial, penguasa Jawa, dan putri Jawa. Sayang, pancar cahaya api dari lampu teplok tidak memberikan penerangan yang cukup sehingga sekeliling masih tampak gelap. Penampakan semua itu merupakan gambaran kover buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita (2024) karya sepuluh peserta workshop program Mencari #7 (kelas menulis fiksi sejarah yang diampu oleh Yudhi Herwibowo dan digagas oleh Maysanie Foundation). Gambaran kover buku tersebut meletupkan kepenasaranku terhadap bagaimana sajian setiap api dari lampu teplok yang dimiliki sepuluh peserta.

Dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, aku mengutip penggalan pengantar pertama, Berbagi Sinau, Sinau Berbagi, dari Sanie B. Kuncoro (pendiri Maysanie Foundation), yaitu: “Materi dalam buku ini adalah cerita pendek bertema sejarah. Kiranya akan menjadi sebuah cara mengulik sejarah dengan beragam misterinya dan menghadirkannya sebagai cerita pendek yang menarik sekaligus menumbuhkan kenangan masa silam.”[1] Lalu, aku mengutip penggalan pengantar kedua, Memendam untuk Menulis Fiksi Sejarah, dari Yudhi Herwibowo, yaitu: “Sejarah yang kita tahu sangatlah luas. Tapi menjadi semakin mengerucut saat kita mulai menentukannya dalam tema yang akan digarap. Para peserta memang masih terpaku pada daerahnya, atau yang terkait dengan daerahnya…”[2]

Aku menghubungkan pembacaan kutipan penggalan pengantar Sanie B. Kuncoro dan Yudhi Herwibowo dengan gambaran kover buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita. Penghubungan tersebut menarik diriku untuk mengibaratkan api dari lampu teplok sebagai cerpen bertema sejarah. Dan aku membayangkan api dari lampu teplok berbahan bakar fakta dan fiksi. Aku memahami bahwa fakta dan fiksi harus tepat diramu oleh setiap peserta agar cerpen bertema sejarah dapat selalu menyala di hadapanku. Juga, aku memahami bahwa fakta dan fiksi dapat memengaruhi pancaran cahaya cerpen bertema sejarah. Dua hal yang aku pahami itu berdasarkan kesadaran pembaca yang menyikapi ketegangan antara fakta dan fiksi dengan menitikberatkan acuan.

Ketegangan antara fakta dan fiksi dalam cerpen bertema sejarah disebabkan kemungkinan aku yang berjarak terhadap peristiwa masa lalu. Apalagi terlalu kental fakta memungkinkan tidak ada kesempatan bagiku untuk urun mengimajinasikan fiksi. Atau, justru terlalu kental fiksi sehingga aku—selaku pembaca—merasa fakta yang disodorkan penciptanya terasa tidak berguna. Sebab itu, titik berat acuan dapat meluweskan diriku agar selalu sadar mana bagian fakta dan fiksi. Perihal titik berat acuan, aku mengingat tulisan Acuan (2) karya Sapardi Djoko Damono yang membahas empat larik puisi Krawang—Bekasi karya Chairil Anwar: “//Teruskan, teruskan jiwa kami/ Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir//”. Berikut aku mengutip salah satu paragraf dari tulisan Acuan (2), yaitu:

Dengan demikian, pada hakikatnya dalam karya sastra fakta harus menyesuaikan diri pada dunianya yang baru, yakni fiksi—agar bisa dimanfaatkan sebagai pegangan dalam penafsiran. Fakta harus sudah menjadi pengertian yang ditafsirkan kurang lebih sama oleh anggota masyarakat sehingga tidak merupakan “benda asing” dalam karya sastra. Jadi, acuan dalam Krawang—Bekasi itu sebenarnya tidak berbeda dari yang dipergunakan penyair yang sama dalam sajak-sajaknya yang lain; Eros, Ahasveros, Romeo dan Juliet, adalah mitos, yang fungsinya sama dengan Bung Karno dan Bung Sjahrir. Dalam sastra, nama-nama itu hanya bisa ditafsirkan sebagai mitos; hanya dengan begitu ia bisa diacu dan dipahami.[3]

Kutipan paragraf dari tulisan Acuan (2) di atas telah menginformasikan bahwa nama-nama tokoh (Bung Karno; Bung Hatta; dan Bung Sjahrir) dalam puisi Krawang—Bekasi adalah fakta yang diketahui pembaca. Fakta yang mengandung latar belakang bagi pembaca agar tidak buta menelusuri puisi Krawang—Bekasi. Lalu pembaca menyadari nama-nama tokoh telah berada dalam dunia puisi sehingga mengalami perubahan dari fakta ke fiksi. Meski begitu, aku sempat berpikir apakah ada pembaca yang menolak perubahan itu dan mengembalikan ke awal mula (dari fiksi kembali ke fakta). Atau ada pembaca yang mempertahankan fakta tanpa mengubah ke fiksi. Kalau ada pembaca begitu, aku membayangkan fakta dan fiksi seperti sepasang anjing yang sama-sama lehernya terjerat dan saling menggonggongi.

Meski begitu, aku sempat berpikir apakah ada pembaca yang menolak perubahan itu dan mengembalikan ke awal mula (dari fiksi kembali ke fakta). Atau ada pembaca yang mempertahankan fakta tanpa mengubah ke fiksi. Kalau ada pembaca begitu, aku membayangkan fakta dan fiksi seperti sepasang anjing yang sama-sama lehernya terjerat dan saling menggonggongi.

Apa yang dibahas Sapardi Djoko Damono mengenai acuan pembacaan puisi Krawang—Bekasi bisa aku terapkan pada pembacaan cerpen bertema sejarah. Aku menganggap penerapan bisa terjadi karena cerpen bertema sejarah mengandung fakta dan fiksi. Sekarang, aku memasuki buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita dengan mengambil tiga cerpen dari sepuluh cerpen karya peserta. Tiga cerpen itu hanya perwakilan untuk membahas sinau acuan cerpen bertema sejarah. Aku ingin mengetahui bagaimana tiga cerpen itu menampilkan fakta dan fiksi dengan menitikberatkan acuan. Tiga cerpen itu adalah cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi karya Angelina Enny; cerpen Seorang Penyair Bertandang karya Artie Ahmad; dan cerpen Lukisan Merah Daun Jati karya Puitri Hati Ningsih.

Cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi

Cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi menceritakan Diana Sari—seorang lady companion—yang berakhir mati dibunuh oleh prajurit ninja, anak buah bos perusahaan minyak, di ruang karaoke. Lalu, mayat Diana Sari dibuang prajurit ninja di bioskop yang keesokannya dibakar oleh kerusuhan pada era reformasi. Alasan Diana Sari dibunuh oleh prajurit ninja adalah dia dianggap wartawan investigasi yang menyamar sebagai lady companion untuk memata-matai kegiatan nepotisme yang dilakukan bos perusahaan minyak. Padahal wartawan investigasi yang menyamar sebagai lady companion adalah Dian Rani, kolega Diana Sari yang baru kerja beberapa minggu. Beruntung penyamaran Dian Rani tidak pernah terbongkar. Artinya, pembunuhan Diana Sari salah sasaran.

Sesuai judul cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi, tema sejarah yang diambil adalah era reformasi di Indonesia, atau tahun 1998. Beberapa isu pada era reformasi diceritakan, seperti isu nepotisme: “…Konon, susah sekali menembus kerja sama dengan perusahaan yang sudah dimonopoli oleh keluarga presiden….”[4] Atau, isu kebebasan pers: “Dian Rani bergidik ngeri. Dia mendengar selentingan kabar beberapa kawan wartawannya ditahan, ada pula yang tak pulang…”[5] Juga suasana pada era reformasi lewat diskripsi ini: “Layar televisi di ruang karaoke itu berganti menayangkan berita. Rupanya, si bos sudah bosan bernyanyi. Tertangkap oleh mata Diana yang lentik, beberapa kelompok masyarakat sudah ramai berdemonstrasi siang tadi. Reformasi bergaung di sana sini karena bapak presiden terpilih kembali.”[6]

Beberapa isu dan suasana pada era reformasi membuat cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi bukan sekadar pembunuhan salah sasaran yang diterima Diana Sari. Era reformasi sebagai fakta dalam cerpen tersebut menjadi bumbu yang berefek sensasi bagiku. Sensasi yang menebalkan rasa kasihan terhadap ketidakberuntungan Diana Sari, kesebalan terhadap kelakuan Dian Rani, kemarahan terhadap kejahatan bos perusahaan minyak, serta kengerian terhadap suasana di luar tokoh-tokoh (Diana Sari; Dian Rani; dan bos perusahaan minyak). Ketegangan antara fakta dan fiksi membikin aku bertanya: “Apakah tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut memang nyata pada era reformasi?” Entahlah. Tapi aku enggan mengetahui jawabannya agar tidak mengganggu imajinasi terhadap tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut.

Cerpen Seorang Penyair Bertandang

Sebaris puisi bahasa Prancis membuka cerpen Seorang Penyair Bertandang. Di bawahnya, ada sebaris puisi bahasa Indonesia, hasil alihbahasa dari sebaris puisi bahasa Prancis, begini: “Ke negeri rempah-rempah pedas dan basah.…”[7] Dan, sebaris puisi (bahasa Prancis dan hasil alihbahasa ke bahasa Indonesia) memiliki catatan, yaitu: “Sebaris puisi milik Arthur Rimbaud, tertulis di plakat rumah dinas walikota Salatiga ditanda tangani oleh duta besar Prancis tertanggal 6 Mei 1997: ‘Arthur Rimbaud datang dan tinggal di Salatiga selama dua pekan, tertanggal 2 sampai 15 Agustus 1876.’”[8] Lewat catatan sebaris puisi, aku mengetahui sosok yang tersurat judul cerpen adalah Arthur Rimbaud. Setelah membaca cerpen tersebut, aku menangkap cerita utama bukan perihal Arthur Rimbaud di Salatiga, melainkan tokoh-aku.

Tokoh-aku, seorang pribumi, dalam cerpen Seorang Penyair Bertandang menginformasikan bagaimana kehidupan sebagai serdadu KNIL di barak, seperti: “…Di sini, kami memanglah membutuhkan asupan tenaga. Hutan-hutan kecil di sebelah selatan harus segera dibuka, gundukan-gundukan tanah harus digali dan diratakan untuk membuka jalan baru….”[9]; “…Sebagai seorang serdadu kami ditempa untuk kuat dan tegar dalam segala macam keadaan, tapi itu tak kulihat di wajah seorang serdadu muda…”[10]; “…Seorang serdadu muda yang baru datang meninggal dunia karena sakit setibanya di barak….”[11] hingga “Tak jauh dari tempat Isaac, aku membuka pintu sebuah bilik. Asap langsung menyapa wajahku. Walter, Hong, dan beberapa teman lainnya telah terlebih dahulu mengisap candu….”[12]

Aku mencatat bahwa tokoh-aku mengaku tidak begitu akrab dengan orang Prancis. Tapi, mungkin gara-gara perilaku Arthur Rimbaud yang terlihat tak bersemangat telah membuat tokoh-aku tertarik. Setelah bertanya kepada Walter, tokoh-aku mengetahui masa lalu Arthur Rimbaud yang seorang penyair. Lain itu, tokoh-aku mendapatkan informasi kepenyairan Arthur Rimbaud setelah berbincang dengan Louis Durant, orang Prancis yang mahir berbahasa Belanda dan sedikit Melayu. Pelarian diri yang dilakukan Arthur Rimbaud pada 15 Agustus 1876 seolah menginspirasi tokoh-aku untuk berbuat serupa. Pada akhirnya, tokoh-aku melarikan diri demi menemui Charlotte, perempuan yang dicintainya. Sayang, tokoh-aku gagal melarikan diri setelah pelor dari tembakan pengejar menghantam kepala belakang.

Cerpen Lukisan Merah Daun Jati

Gusti Saloka—salah satu putra Sinuhun dari garwa ampil—suka melukis lanskap taman. Ada satu tempat yang ingin dilukis oleh Gusti Saloka, yaitu: Keadaan di dalam taman Balekambang. Gusti Saloka tahu bahwa dirinya tidak bisa masuk karena keadaan di dalam taman Balekambang yang sangat tertutup dan terbatas untuk keluarga Mangkunegaran. Kesempatan memasuki taman Balekambang muncul ketika Gusti Saloka ikut Gati—abdi dalem—untuk mengantarkan buntalan kain. Sebelum masuk atau masih di gerbang taman Balekambang, Gusti Saloka meminjam alat lukis kepada Surya—teman sesama pelukis—yang entah kenapa berada di situ. Dan, setelah memasuki dalam taman Balekambang, Gusti Saloka meminta izin kepada Kabul—penjaga taman—untuk melukis.

Putri bertopi beludru sedang duduk di atas perahu dengan tukang pendayung dan mbok pengasuh, serta kijang di pinggir danau, juga sakura Jawa dan bunga flamboyan yang diwarnai merah dari pupus daun jati merupakan hasil lukisan Gusti Saloka. Keesokannya, Gusti Saloka terkejut mengetahui putri bertopi beludru menghilang dari lukisan itu. Gati menenangkan Gusti Saloka agar lukisan itu ditambahkan lagi putri bertopi beludru. Lalu, Gusti Saloka menambahkan lagi putri bertopi beludru di lukisan itu. Gati meminta Gusti Saloka untuk menyimpan lukisan itu di rumahnya. Tapi, Gusti Saloka terperangah mengetahui lukisan itu berada di dalem Kepanjen. Gusti Panji—pengrajin batik tulis—menerangkan bahwa lukisan itu karya pelukis Yogya yang telah dipesan oleh kerajaan Belanda.

Dalam cerpen Lukisan Merah Daun Jati, Gusti Saloka tidak pernah mengetahui lukisannya telah dilaporkan Gati kepada pengageng. Gusti Saloka tidak pernah mengetahui pesuruh dari Raden Mas Lahab—pedagang barang kuno dan kolektor lukisan yang bekerja sama dengan pengageng—mencuri lukisannya dan mengganti dengan lukisan duplikat tanpa putri bertopi beludru. Penduplikat lukisan itu dilakukan Surya. Juga, selain mencuri dan menduplikat, Surya bersama Jahal telah menjalankan tugas dari Raden Mas Lahab untuk plagiasi lukisan-lukisan karya Gusti Saloka. Semua lukisan (curian dan plagiasi) dijual oleh Raden Mas Lahab di pasar gelap. Jadi, aku memahami bahwa Gusti Saloka terlalu lugu untuk menyadari bakat lukisnya selama ini telah dimanfaatkan orang-orang terdekatnya.

Fakta Sejarah dan Cerita untuk Cerpen

Aku membaca esai Sejarah, Cerita, dan Fiksi karya Aprinus Salam yang dimuat di rubrik Halte, Jawa Pos (Sabtu, 16 Maret 2024). Aku merangkum salah satu bagian esai itu, kurang lebih begini: “Sejarah—peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu—mengandung cerita dari sudut pandang atau kepentingan tertentu. Karena itu, cerita (narasi subjektif) tidak bisa menghindari kemungkinan fiksi (imajinasi subjektif). Tapi, fiksi memungkinkan ada cerita yang dinarasikan secara imajinatif-subjektif. Juga, cerita dalam fiksi tetap berhenti sebagai cerita meski terkait fakta sejarah. Bagi penulis sejarah, fiksi pada cerita harus diminimalkan lewat teori dan metodologi agar peristiwa masa lalu bisa ‘dibakukan’.” Lalu, contoh yang diberikan Aprinus Salam dalam esai itu memudahkan aku untuk memahami di mana letak sejarah, cerita, dan fiksi, yaitu:

Sebagai misal, “Arya Penangsang adalah seorang sakti.” Arya Penangsang adalah sejarahnya. Sakti adalah ceritanya, secara sejarah masih bisa dilacak walaupun tidak perlu sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi, jika “Arya Penangsang adalah seorang sakti yang tidak ada tandingannya.” Pernyataan “yang tak ada tandingannya” adalah fiksi karena tidak bisa diacu kecuali dalam pernyataan ceritanya itu sendiri.[13]

Apa hubungan antara rangkuman salah satu bagian dan contoh yang diberikan Aprinus Salam pada esai Sejarah, Cerita, dan Fiksi dengan tiga cerpen (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi; cerpen Seorang Penyair Bertandang; dan cerpen Lukisan Merah Daun Jati) dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita? Hubungan itu adalah ekspektasiku—sebelum membaca tiga cerpen tersebut—akan menghadapi fiksi yang kemungkinan ada pada cerita. Fiksi yang belum diminimalkan pada peristiwa yang hendak “dibakukan” demi kepentingan sejarah. Ternyata, ekspektasiku salah. Setelah membaca tiga cerpen tersebut, aku menemukan cerita dalam fiksi yang dinarasikan secara imajinatif-subjektif dengan pengambilan fakta sejarah. Jadi, tema sejarah dalam tiga cerpen tersebut tetaplah berhenti sebagai cerita tanpa menyinggungnya sebagai sejarah.

Pengambilan fakta sejarah pada tiga cerpen tersebut seolah hanya berkepentingan membentuk latar. Sehingga, aku mengganggap tiga cerpen tersebut dapat berlatar yang sama-rasa-beda-bentuk apabila pengambilan fakta sejarah berganti, misal: era reformasi berganti revolusi Prancis; Arthur Rimbaud berganti Herman Willem Daendels; dan keadaan di dalam taman Balekambang berganti keadaan di dalam kebun binatang Sriwedari. Andai tanpa pengambilan fakta sejarah, latar tidak memengaruhi cerita pada tiga cerpen tersebut. Alasannya, aku masih dapat berimajinasi tanpa pengambilan fakta sejarah, bahwa pembunuhan Diana Sari tetap terjadi karena ketakutan bos perusahaan minyak; tokoh-aku yang hanya butuh alasan kuat untuk melarikan diri; dan penipuan terhadap Gusti Saloka tetap terjadi karena keluguannya.

Tapi, aku tidak menganggap pengambilan fakta sejarah pada tiga cerpen tersebut adalah sesuatu yang buruk. Meski hanya berkepentingan membentuk latar, pengambilan fakta sejarah justru bikin aku dapat menikmati dramatisasi pada tiga cerpen tersebut. Dramatisasi yang mengacu pembunuhan Diana Sari dengan mengetahui situasi era reformasi; keberanian tokoh-aku melarikan diri akibat mengenal Arthur Rimbaud dan situasi Hindia Belanda pada tahun 1876; dan keluguan Gusti Saloka dengan situasi Mangkunegaran sekitar tahun 1921-an. Dramatisasi semakin kental ketika tiga cerpen tersebut menyelipkan cerita, seperti: beberapa isu di era reformasi; kegiatan serdadu KNIL di Salatiga; dan taman Balekambang sebagai hadiah tanda cinta dari Gusti Mangkunegara VII kepada dua putrinya, yaitu: Partini dan Partinah.

Aku menikmati dramatisasi pada tiga cerpen tersebut bukan hanya gara-gara pengambilan fakta sejarah. Tapi, aku turut mengacu pengambilan fakta sejarah dengan keterkaitan latar belakang tokoh pada tiga cerpen tersebut. Memang, secara kebetulan, tiga cerpen tersebut sama-sama menarasikan latar belakang tokoh. Sehingga, aku mengetahui pengalaman buruk yang dialami Diana Sari sewaktu SMP yang pernah dilecehkan pacar dan guru olah raga; tokoh-aku yang patah hati setelah tidak direstui oleh orang tua kekasihnya karena perbedaan status sosial; dan alasan Gusti Saloka dapat lebih akrab dengan Gati daripada saudara-saudara sesama anak Sinuhun dari garwa ampil. Di bawah ini, aku mengutip narasi perihal latar belakang tokoh (Diana Sari; tokoh-aku; dan Gusti Saloka), yaitu:

“Pelan-pelan, dong, Sayang,” kata si bos minyak. Tangannya masih meremas bokong Diana yang sedang duduk di pangkuannya. Diana Sari tidak suka  bokongnya diremas, mengingatkannya pada pacarnya yang kurang ajar di SMP dulu. Guru olah raganya, Pak Agus diam-diam juga ikut meremas bokong Diana yang tubuhnya sudah melebihi keranuman teman-teman seusianya. Diana remaja diam saja, apalagi nilai volinya selalu bagus dan jadi kebanggaan tersendiri di antara mata pelajaran lain di rapornya. (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi)[14]

…Aku sendiri tak begitu akrab dengan orang Prancis, selama ini aku lebih sering dekat dengan orang Belanda, Inggris atau seringnya dekat dengan kaum Indo-Eropa seperti Lottie Dekker. Perempuan nan manis itu, begitu baik perangainya, namun harus kutinggalkan lantaran hubungan kami tak bisa diteruskan. Orang Tua Lottie tak pernah menghendaki putri mereka bersuami seorang pribumi, meski ibunya dulu seorang gundik namun konon derajatnya telah diangkat selepas James Dekker menikahi gundiknya secara sah. Kutinggalkan Lottie seorang diri dan tenggelam di barak tentara, bagiku kisah dengan Lottie telah berakhir sore itu. (cerpen Seorang Penyair Bertandang)[15]

…Sal adalah salah satu putra dari banyaknya putra Sinuhun dari garwa ampil. Meski putra dalem Sinuhun tapi ia bisa akrab dengan semua abdi dalem termasuk Gati. Mungkin justru karena tidak bisa dekat dengan saudara-saudara lain ibu tersebut sehingga Sal lebih suka menyendiri di setiap acara, seperti pisowanan ageng atau jumenengan yang ramai saat semua keluarga keraton hadir. Gusti Sal ada tapi menepi. Lebih memilih menjadi pengamat dan mengambil yang menggoda hati untuk dipenjara pada kanvasnya. (cerpen Lukisan Merah Daun Jati)[16]

Barangkali bermain cerita dalam fiksi dengan pengambilan fakta sejarah dan penyelipan cerita pada tiga cerpen tersebut adalah materi yang diperoleh peserta workshop program Mencari #7. Materi yang diperoleh itu telah menyajikan tiga cerpen tersebut perihal dunia alternatif untuk melihat sejarah lewat simulasi meng-ada-kan tokoh. Dan, materi yang diperoleh itu turut menjadi pembelajaran bagiku—selaku pembaca—untuk menengok hal yang tidak dicatat oleh sejarah. Hal yang berasal dari manusia kalah (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi), manusia biasa (cerpen Seorang Penyair Bertandang), dan manusia pinggiran (cerpen Lukisan Merah Daun Jati). Begitulah, aku membaca tiga cerpen tersebut yang termaktub dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita.**

Daftar Pustaka

Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, Dkk (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation.

Aprinus Salam (Rubrik Halte, Jawa Pos, 16 Maret 2024), Sejarah, Cerita, dan Fiksi, Hal: 4.

Sapardi Joko Damono (Rubrik Apresiasi, Majalah Sastra Horison Nomor 10 Tahun XXI September 1986), Acuan (2). Hal: 349.


  • [1] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 7.
  • [2] Ibid. Hal: 9.
  • [3] Sapardi Joko Damono (Rubrik Apresiasi, Majalah Sastra Horison Nomor 10 Tahun XXI September 1986), Acuan (2), Hal: 349.
  • [4] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 12.
  • [5] Ibid. Hal: 16.
  • [6] Ibid. Hal: 13.
  • [7] Ibid. Hal: 29.
  • [8] Ibid. Hal: 46-47.
  • [9] Ibid. Hal: 29.
  • [10] Ibid. Hal: 31.
  • [11] Ibid. Hal: 32.
  • [12] Ibid. Hal: 38.
  • [13] Aprinus Salam (Rubrik Halte, Jawa Pos, 16 Maret 2024), Sejarah, Cerita, dan Fiksi, Hal: 4.
  • [14] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 14.
  • [15] Ibid. Hal: 32.
  • [16] Ibid. Hal: 86-87.
0
1178
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.