Author Archives: Lamuh Syamsuar
Barangkali hal yang paling umum dipahami oleh masyarakat mengenai sejarah awal perkembangan Islam di Indonesia adalah, keterangan yang menjelaskan tentang kedatangan Islam dengan cara damai. Sebab, sebagai pengetahuan bersama, Islam selalu dikisahkan tiba dan diterima oleh masyarakat Indonesia tidak dengan jalan penaklukan militer, kekerasan, apalagi paksaan. Melainkan, masuk dengan cara yang lebih halus, yakni dengan menggunakan pendekatan kultural. Pendekatan yang melibatkan dialog intensif antara doktrin-doktrin Islam dengan tradisi budaya lokal di tanah air.
Pendekatan atau dialog semacam ini, bukan hanya sebagai alasan mengapa Islam dapat diterima dengan mudah, tetapi juga menjadi semacam bentuk penyesuaian Islam terhadap tradisi kultural, di mana Islam hendak disemai, sehingga melahirkan produk kebudayaan baru yang dijiwai oleh spirit tauhid dan ajaran kemanusiaan. Yang mana dalam terminologi Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur disebut dengan istilah “Pribumisasi Islam”.
Pribumisasi Islam dalam Pandangan Gus Dur
Istilah pribumisasi Islam pertama kali dipopulerkan oleh Gus Dur di awal tahun 80-an. Gagasan pribumisasi Islam ini muncul sebagai bentuk respon Gus Dur terhadap, menguatnya kecenderungan purifikasi agama, sebuah gerakan yang lebih cenderung mengarah ke bentuk “arabisasi” ketimbang islamisasi. Gerakan ini bertujuan untuk menyeragamkan atau memformalisasikan agama dalam segala aspek, baik dalam aspek kehidupan sosial budaya masyarakat yang ingin digantikan dengan “Tradisi Budaya Arab”, maupun dalam aspek hukum ketata negaraan, yang berusaha memaksakan Quran-Hadis sebagai landasan formil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecenderungan inilah, yang dinilai oleh Gus Dur, berpotensi mengancam masyarakat Indonesia, tercerabut dari akar-akar kulturalnya.
Gagasan pribumisasi Islam Gus Dur ini, boleh dibilang merupakan bentuk sintesis dari perjumpaan Islam yang mengusung nilai-nilai universal, dengan tradisi budaya lokal yang bersifat partikular. Perjumpaan ini sekiranya juga dapat dibaca, sebagai hasil rekonsiliasi dan atau akomodasi Islam terhadap tradisi budaya yang dijumpai Islam di wilayah persemaian (di luar daerah Arab, asalnya).
Kendati demikian, Gus Dur menekankan bahwa, sasaran wilayah kajian pribumisasi Islam adalah wilayah yang menyangkut manifestasi kehidupan sosial kultural masyarakat belaka, bukan wilayah ajaran yang menyangkut inti keimanan dan kewajiban syariat Islam. Sehingga dengan tegas Gus Dur menolak, jika pribumisasi Islam, disalah pahami sebagai bentuk sinkretisme, karena pribumisasi Islam tujuannya bukanlah untuk memadukan teologi Islam dengan sistem kepercayaan lain. Melainkan, mempertimbangkan kebutuhan-kebuthan lokal untuk merumuskan hukum agama, tanpa harus merubah agama. Demikian juga sebaliknya, bukan untuk meninggalkan norma agama demi mengukuhkan tradisi budaya, tetapi mengakomodir kebutuhan-kebutuhan tradisi budaya, menggunakan ruang dialog yang disediakan oleh nash agama melalui regulasi kaidah usul fiqh (Wahid, 2021).
Secara singkat, Gus Dur mengilustrasikan pribumisasi Islam itu sebagai bagian dari sejarah, baik di tempat asalnya maupun di wilayah-wilayah persemaian lainnya, termasuk di Indonesia. Yang mana, kedua sejarah tersebut membentuk sebuah “sungai besar”. Sungai yang terus mengalir dan terus dimasuki kali-kali kecil lainnya. Kendati secara kualitas, airnya bisa berubah, namun sungai itu, teteap “sungai” yang sama (Wahid, 2021). Kurang lebih maksud dari perumpamaan Gus Dur tersebut adalah, pergulatan Islam dengan realitas sejarah tidak lantas mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi kehidupan beragama dari pemeluknya saja.
Berangkat dari pandangan Gus Dur di atas, sekiranya dapatlah dimengerti bahwa pada dasarnya Islam yang kita warisi hari ini, merupakan hasil dari peroses panjang, penetrasi Islam terhadap budaya lokal kita di masa lalu. Suatu peroses yang melibatkan dialog intensif antara doktrin-doktrin Islam dengan beragam tradisi, tata nilai lokal yang lebih dulu hidup di tengah-tegah masyarakat Indonesia.
Problem Pribumisasi Islam di Lombok
Dalam konteks Lombok, sejarah Islam belum menunjukkan perkembangannya yang signifikan. Rekonstruksinya masih terfokus pada narasi islamisasi pada abad ke-16, yang dipelopori oleh Sunan Prapen, keturunan Sunan Giri dari Gersik, Jawa Timur. Kajian-kajian tersebut, saya kira belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai proses Islamisasi di masa lalu. Dinamikanya pun tidak banyak berubah, sehingga belum dapat menawarkan gambaran yang lebih utuh, tentang bagaimana proses penubuhan Islam di Tanah Sasak ini.
Hal ini dapat dimengerti, dari minimnya kajian sejarah yang berfokus pada telaah, mengenai proses dialog antara Islam dan tradisi pra-Islam yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak-Lombok, baik sebelum maupun setelah kedatangan Sunan Prapen. Padahal, di tempat lain, pengkajian bentuk-bentuk dialog awal semacam ini, merupakan bagian terpenting yang dapat dijadikan rujukan untuk menggali dan memahami proses pembentukan identitas keberislaman masyarakat lokal mereka. Oleh karena itu, pembahasan tentang pribumisasi Islam, khususnya dalam konteks Lombok, masih sangat relevan, untuk membangun perspektif yang lebih kosmopolitan dan matang dalam menyikapi realitas keberagaman mengenai cara hidup berislam sekaligus berbudaya masyarakat, yang sejatinya selalu plural atau tidak pernah tunggal.
Di samping itu, pemahaman tentang Pribumisasi Islam Sasak ini sangat penting untuk mengatasi kecenderungan diskriminiasi terhadap manifestasi Islam kultural yang ada di Lombok. Sebab, seperti keterangan yang dikemukakan oleh M. Jadul Maula, bahwa bentuk-bentuk tradisi Islam kultural di Indonesia, sering digunakan sebagai dalih atau alasan untuk meminggirkan Komunitas Islam tertentu dengan sebutan Islam Lokal, Islam Adat, Islam Tradisional atau Islam Sinkretik. Bahkan tak jarang diberi streotip tanpa alasan yang jelas, sebagai praktik penyimpangan terhadap kemurnian Islam (Maula, 2019). Sehingga tak heran, beberapa dekade ini, daerah-daerah Lombok yang teridentifikasi atau diperkirakan sebagai titik awal pertumbuhan Islam, sebut saja di antaranya seperti; Daerah Bayan, Pejanggik, Pujut, Jerowaru, Sekotong, dan daerah pinggiran Lombok lainnya, kerap kali dilabeli stigma negatif sebagai daerah-daerah yang masih mengamalkan paraktik-praktik “sampar” (baca; Islam Sinkretis), karena dianggap sesat, memadukan syariat Islam dengan tradisi budaya lama (pra-Islam) dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat maupun tradisi keagamaan lainnya.
Bentuk-bentuk Pribumisasi Islam di Lombok
Diskriminasi terhadap manifestasi Islam kultural yang ada di Lombok tersebut, boleh jadi disebabkan oleh cara pandang masyarakat yang kurang tuntas, kemungkinan karena mereka memperoleh kajian agam hanya dari satu sumber otoritas saja. Sehingga, ketika melihat praktik-praktik Islam kultural di luar dari pemahaman yang mereka dapatkan selama ini, dengan segera mereka menganggap hal tersebut sebagai bentuk-bentuk penyimpangan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi otoritas-otoritas keagamaan, membangun perspektif yang lebih holistik, untuk menyikapi masalah ini. Caranya, dengan melakukan kajian yang mendalam mengenai pribumisasi Islam, dan berupaya melakukan pengembangan terhadap nash agama. Hasil kajian mereka inilah, yang perlu difatwakan, sebagai dasar hukum atau pegangan bagi masyarakat untuk menilai praktik-praktik keberislaman di sekitar mereka. Sebab, bentuk-bentuk diskriminasi seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, tidak akan terjadi andai kata, masyarakat memiliki wawasan yang luas untuk memaknai arti perbedaan, dan menerima kemestian akulturasi Islam dengan tradisi budaya lokal sebagai proses yang wajar (alamiah).
Sebagai contoh, pola pembangunan masjid kuno di Lombok, seperti Masjid Kuno Gunung Pujut, Masjid Kuno Rembitan, Masjid Kuno Bayan dan masjid kuno lainnya, menunjukkan hal ini. Masjid-masjid tersebut tidak hanya, secara arsitektur memiliki kemiripan dengan masjid-masjid kuno di Jawa, seperti Masjid Demak misalnya, tetapi juga memiliki ciri khas yang menarik; karena hampir semunya dibangun di atas bukit atau setidaknya di dataran tinggi.
Tentang kecenderungan ini mengingatkan saya pada konsep kepercayaan dalam agama Hindhu-Buddha (mungkin agama masyarakat Suku Sasak sebelum Islam masuk). Dalam kepercayaan Hindhu-Buddha gunung atau meru merupakan tempat yang paling agung dan mulia, karena gunung diyakini merupakan tempat bersemayamnya para dewa (Poesponegoro & Notosusanto, 1984). Dugaan saya, pola pembangunan tempat ibadah seperti ini sengaja diadopsi oleh penyebar Islam awal di Lombok, sebagai bagian dari strategi untuk mendekati masyarakat agar mereka tertarik dengan Islam. Seraya, secara gradual mubalig-mubalig itu, meluruskan niat keimanan masyarakat ke arah tauhid yang benar, sesuai dengan ajaran Islam.
Pola hubungan yang sehat antara Islam dan budaya lokal masyarakat Sasak ini sepertinya juga tercermin dalam tradisi roah. Kendati pola tradisi ini merupakan pola umum dalam praktik pelaksanaan Islam kultural di daerah lain. Namun tradisi roah tetap perlu saya kemukakan sebagai pembeda, antara tradisi Islam kultural yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak-Lombok dengan tradisi Islam kultural di tempat lain.
Istilah “roah” kemungkinan besar merupakan hasil adopsi dari nama bulan dalam sistem penanggalan Hijriyah, yakni bulan Sya’ban, yang berlaku bagi masyarakat Sasak. Dalam prakteknya, secara simplisitis roah dihubungkan dengan tradisi mengirim doa kepada arwah keluarga yang telah meninggal dunia, namun seiring waktu istilah ini berkembang menjadi tradisi sosial-keagaman untuk mengekspresikan banyak hal, seperti perasan haru, harap, maupun rasa syukur yang mendalam masyarakat atas limpahan karunia Ilahi.
Kini, roah telah menjadi tema besar dalam setiap acara hajatan di kalangan masyarakat Sasak. Segala bentuk kegiatan sosial, yang berkaitan dengan acara hajatan hidup (urip) maupun kematian (pati), seringkali diaktualisasikan dengan menyelenggarakan roah. Tata pelaksanaannya cukup sederhana, yakni dengan menyelenggarakan acara dzikiran dan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang kiai kemudian ditutup dengan jamuan makan oleh tuan rumah. Perjamuan ini diniatkan sebagai sedekah atau amal jariyah, ragam makanan yang disajikan, disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah, konsep acaranya dan kuliner khas setempat.
Rekonsiliasi dan akomodasi Islam terhadap adat kebiasaan masyarakat Suku Sasak ini juga dapat dicermati dalam tradisi pernikahan. Dalam realitas kehidupan masyarakat Suku Sasak, secara umum berkembang suatu pemahaman bahwa jodoh, rizki dan kematian adalah Hak Tuhan yang tidak seorang pun manusia boleh mengatur atau mengintervensinya. Implikasi logis dari pandangan ini, terutama dalam konteks pernikahan adalah, pembicaraan apa pun mengenai persiapan pernikahan, seperti lamaran, jumlah mahar dan lain sebagainya, kurang bisa diterima oleh masyarakat yang masih ketat mempertahankan adat. Hingga solusi yang ditawarkan adalah, calon pengantin perempuan harus dibawa lari, pergi dari rumah orang tuanya oleh calon pengantin laki-laki. Tentu, perginya perempuan dari rumah dengan tujuan menikah ini, telah lebih dahulu direncanakan atau telah disepakati bersama oleh kedua mempelai (calon laki-laki dan perempuan), bukan meninggalkan rumah karena paksaan dari pihak lain.
Meskipun, pola adat atau kebiasaan seperti ini dapat dihubungkan dengan kaidah; al-adah muhakkamah (adat istiadat sebagai dasar hukum). Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat Sasak yang kurang setuju dengan cara membawa lari pengantin perempuan ini, bahkan mereka tak segan-segan menyebutnya sebagai cara pra-nikah yang tak islami. Padahal, saya kira pola tradisi atau kebiasaan masyarakat ini, memiliki peranan yang sangat penting sebagai ruang untuk menampung aspirasi lokal mengenai pemahaman tentang nilai kebijaksanaan yang mereka pegang teguh, atau kearifan lokal yang sejatinya juga berpijak pada pandangan agama. Sebab, bagaimanapun juga, penyelenggaraan acara pernikahan ke tahap selanjutnya, kedua mempelai wajib dinikahkan sesuai dengan ketentuan agama (Islam) yang berlaku. Adapun praktik membawa lari calon pengantin perempuan, hanyalah merupakan bagian dari tradisi pra-nikah yang tidak diatur oleh agama, sehingga tidak diwajibkan diberlakukan untuk masyarakat Sasak-Lombok, melainkan hanya sebagai alternatif atau cara lain yang telah dianggap wajar sebagai norma adat.
Demikianlah beberapa bentuk-bentuk pribumisasi Islam yang dapat saya kemukakan dalam kesempatan kali ini. Kendati masih banyak tradisi-tradisi lain yang belum sempat saya singgung seperti misalnya; maulid adat, mi’rat, lebaran topat, ngayu-ayu, ngerantok, doyan nade, nyoyang, rebo bontong dan tradisi-tradisi lainnya. Namun saya kira, beberapa contoh yang telah saya singgung sebelumnya, telah cukup memberikan gambaran mengenai persoalan pribumisasi Islam dalam konteks masyarakat Sasak-Lombok. Sepertinya, pribumisasi Islam di Lombok tidak hanya berfokus pada penereimaan ajaran agama semata, tetapi juga mengarah pada upaya untuk menemukan titik temu antara tradisi lokal dan ajaran Islam, tanpa mengorbankan esensi dari keduanya. Dengan demikian, dapatlah dimengerti bahwa agama dan budaya lokal, sejatinya tidak pernah saling menegasi, melainkan saling memperkaya dan membentuk identitas keagamaan yang lebih berakar pada konteks sosial kultural masyarakat setempat. Wallahua’lam!
Bahan Bacaan:
Bizawi, Z. M. (2003). Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam. Afkar, 33-67.
Maula, M. J. (2019). Islam Berkebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Kaliopak.
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (1984). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Wahid, A. (2021). Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok: Desantara.
Wahid, A. (2024). Tuhan Akrab Dengan Mereka. DKI Jakarta: YBAW.
Sebelum abad ke-20, nenek moyang kita menuliskan sejarah masa lalunya dengan cara menyesuaikannya dengan kondisi sosio-kultural dan teknologi yang berkembang pada saat itu. Jika pada waktu itu yang berkembang adalah penulisan karya sastra, maka tak heran jika mereka merekam sejarah menggunakan medium sastra. Medium yang kita pahami bersama sebagai ruang yang tidak memberikan penekanan penuh pada seluk beluk dan fakta kejadian sebenarnya, tetapi pada bentuk simbol dan makna-makna estetika lainnya.
Dari hasil penelitian Nancy K. Florida, seorang sarjana Amerika yang memfokuskan kajian pada naskah-naskah klasik Jawa, terutama yang ditulis oleh para pujangga Keraton Surakarta, setidaknya dari era Pujangga Yasadipura sampai Ranggawarsita mengungkapkan bahwa, babad-babad itu adalah tulisan sejarah yang dituangkan ke dalam struktur bahasa sastra (syair), dengan mempertimbangkan dimensi perkembangan sosial, kultural, politik dan agama sebagai subject matter-nya, diniatkan sebagai peringatan bagi orang Jawa saat itu, dan ramalan untuk kejadian di masa yang akan datang. Sebab, pujangga-pujangga keraton itu, memandang bahwa tulisan sejarah bukan berarti catatan masa silam, melainkan salinan dari masa lampau, dalam upaya mempersiapkan diri untuk menjangkau kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Nancy mencontohkan argumentasinya ini dengan menunjukkan penulisan Babad Jaka Tingkir. Menurutnya, sejarah yang tertuang dalam Babad Jaka Tingkir, seolah-olah terlepas atau tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa masa silam yang hendak dikisahkan penulisnya, yakni kisah hidup tokoh Jaka Tingkir. Alih-alih menceritakan kisah hidup tokoh utamanya, Babad Jaka Tingkir justru berisi kisah tentang 7 pahlawan pinggiran, yang ia sebut sebagai 7 tokoh persiapan, yang memungkinkan cerita Jaka Tingkir itu terwujud.
Rekonstruksi penulisan sejarah semacam ini, tentu sangat berbeda dengan wacana penulisan sejarah di masa sekarang, maupun penulisan sejarah dalam perspektif Barat setelah memasuki era “Pencerahan”, yang menghendaki sejarah atau kejadian di masa silam, ditulis dengan menggunakan kerangka ilmiah, disajikan dengan bahasa yang terang, jelas dan representatif. Namun betapapun juga, perbedaan ini menunjukkan kepada kita bahwa makna sejarah tiap-tiap zaman itu ternyata berbeda-beda. Setiap zaman, baik itu masyarakatnya maupun penulisnya menggarap masa lalunya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Oleh sebab itu, sekiranya penulis sejarah yang baik menurut saya adalah penulis yang mampu memahami kebutuhan narasi sejarah pada zamannya, dan mampu mengurai persoalan keterbacaan sejarah yang ia tulis.
Sejarah Islam yang Terbaca dan Tak Terbaca dalam Babad Lombok
Berdasarkan gambaran singkat mengenai metode penanganan bukti sejarah berupa babad di atas, maka hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh para peneliti atau siapa saja peminat kajian sejarah, sebelum melakukan penulisan sejarah adalah memahami betul kedudukan babad itu sebagai sebuah karya sastra, sebagai karya yang tidak berpretensi merekam secara presisi kejadian di masa lampau. Oleh sebab itu, babad mestilah disandingkan atau dikonfrontir dengan bukti-bukti lain yang relevan. Sayangnya, metode analisis sejarah yang menerapkan dialektika pengkajian semacam ini, masih sangat kurang di daerah saya, khususnya penulis sejarah yang mengkaji penyebaran Islam di Lombok. Para penulis sejarah penyebaran Islam di Lombok, cenderung hanya mengutip secara apa adanya, sejarah yang tertuang di babad Lombok saja, yang secara eksplisit menyebutkan aktor utamanya adalah Pangeran Prapen. Sementara, Sunan Giri yang jauh lebih awal berperan dalam syiar Islam ke Wilayah Indonesia Bagian Timur (Lombok), tidak mendapatkan porsi penjelasan yang memadai. Dalam Babad Lombok, Pupuh Dangdang bait ke-12 dan 13 ditulis:
Hana malih putra lor sangaji, kanging ngandel, wiweka digjaya, nama Pangeran Parapen, punika kang hing ngutus, hanglelana hing Lombok Hadi, Samabawa, Bali Blata, nyelami den luhung, yen nana bangga tan narsa den situtur, kalamullah hing hadil, kang sinelir hing kurngan.
Yen tan helem haunting janji, den serangi, lan wacana galak, tatanding helmi kasaten, yen maksih nora haranut, suma pala den lawan jurit, mati kalih ganjaran, haywa ge kundru ….
Adalagi putra sang Sunan, yang menjadi andalan, arif bijaksana sakti, bernama Pangeran Prapen, itulah yang diutus, berlayar ke Lombok Adi, Sumbawa, Bali Blata, mengislamkan agar tinggi suci. Bila ada yang ingkar membangkang, akan wahyu Allah yang adil, yang termaktub dalam Qur’an.
Bila tak mau ikuti titah, terangkanlah, dengan ucapan yang tegas, ajaklah ia mengadu ilmu kesaktian, bila belum mau ikut, apa boleh buat perangilah, bila engkau mati (terbunuh) mendapat ganjaran ….
Dari kutipan Babad Lombok di atas, peran dari Sunan Prapen yang ditugaskan untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Lombok, sangat jelas dan bahkan cukup dominan. Bahkan, kesannya, Sunan Prapen boleh memerangi raja atau masyarakat Lombok yang menolak masuk Islam. Tentu, tidak ada persoalan ketika seseorang terinspirasi oleh babad untuk menulis, tetapi jika tujuannya untuk menulis sejarah, maka pastilah ia mencari tambahan referensi yang lain, sebanyak-banyaknya. Karena, sekali lagi ini berhubungan dengan watak dari babad atau karya sastra yang lebih menekankan pada nilai estetika ketimbang fakta. Jika tidak demikian, maka hal tersebut beresiko membuat tulisan sejarah itu terkesan kurang proporsional, kurang mengakar dan barangkali tidak terkoneksi, sebagai sebuah rangkaian panjang dengan perjalanan sejarah yang lebih luas lagi.
Sunan Giri sebagai Pelopor Penyebar Islam di Pulau Lombok
Terdapat banyak sekali hasil studi sejarah Islam di Jawa, yang mengungkapkan bahwa Sunan Giri adalah sosok wali, bagian dari Wali Songo, yang tergolong paling awal merintis dakwah Islam ke kepulauan wilayah Indonesia Bagian Timur. Mulai dari Bali, Lombok, Sumbawa, Bima, Sulawesi bahkan sampai Maluku. Bahkan jauh sebelum Sunan Prapen. Keterangan tersebut setidaknya didukung oleh 3 alasan, yakni; Keberadaan Ibu angkat Sunan Giri yang berprofesi sebagai pedagang di jalur pelayaran kepulauan Indonesia Bagian Timur; Kedua, Sunan Giri juga membangun pesantren sebagai pusat transmisi pengajaran ilmu agama di daerah Gresik; Dan yang terakhir, posisi sentral Sunan Giri pada era Wali Songo sebagai ulama sekaligus umara (penguasa).
Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri ke Lombok atau ke wilayah kepulauan Indonesia bagian Timur ini, dimungkinkan karena Sunan Giri dibesarkan oleh seorang janda bernama Nyai Gede Pinatih. Hoesein Djajadiningrat, menyebutkan bahwa Nyai Gede Pinatih adalah seorang janda kaya raya, bersuamikan Koja Mahmud Syahbandar. Ia merupakan salah satu dari anggota keluarga Kerajaan Majapahit yang awal sekali memeluk Agama Islam. Dakwah Sunan Giri ke wilayah Kepulauan Indonesia Bagian Timur diperkirakan dimulai, setelah Sunan Giri pulang dari Malaka (bertemu dan belajar ilmu agama dari ayahnya, Maulana Ishak), ia turut ambil bagian dalam usaha ibu angkatnya, yakni berdagang ke pulau-pulau, Indonesia Bagian Timur. Tentu misi utama Sunan Giri muda, ikut berdagang bukanlah untuk mengejar keuntungan material semata, namun ia ikut berdagang hanya sebagai sarana untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Indonesia Bagian Timur yang termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok.
Kedua, setelah dirasa bahwa syiar Islam melalui jalur perdagangan kurang maksimal, barulah kemudian Sunan Giri membangun pesantren sebagai pusat dakwahnya. Hanya saja jangan dibayangkan bahwa pesantren yang dimaksud di sini, adalah ruang belajar formal yang terlembaga dengan baik seperti umumnya pesantren saat ini. Martin van Bruinessen dalam studinya menyatakan, tidak ada bukti bahwa pada era Wali Sanga sudah ada pesantren dengan pola pengajaran formal seperti pesantren yang kita kenal hari ini. Boleh jadi, pesantren yang dimaksud pada waktu itu adalah, tempat-tempat belajar-mengajar ilmu agama yang dilaksanakan di padepokan, masjid, langgar, dan tempat-tempat lain di sekitar lingkungan kediaman gurunya. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan pesantren yang dimaksud adalah ruang sebagai pusat belajar-mengajar ilmu agama yang menjadi prototipe atau cikal bakal pengembangan pesantren modern saat ini.
Kiranya dapatlah dibayangkan bahwa pesantren yang dibangun oleh Sunan Giri itu ramai didatangi oleh santri-santri, tidak hanya datang dari Jawa saja, namun muridnya sangat mungkin datang dari wilayah Indonesia bagian lain, mengingat Gresik pada waktu itu adalah pelabuhan terbesar yang menjadi pusat persinggahan perdagangan, pelayaran antar pulau. Dan sangat dimungkinkan, bagi masyarakat di gugus kepulauan Indonesia Bagian Timur yang pernah menerima dakwah Sunan Giri itu, datang langsung atau mengutus keluarga kerabatnya untuk memperdalam ilmu agama, seperti yang pernah diterima sebelumnya. Dan pola Pendidikan semacam ini, barangkali adalah suatu hal yang wajar bagi masyarakat di manapun, tidak terkecuali masyarakat Lombok, dari dahulu bahkan hingga saat ini. Sudah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat di daerah tertentu mengutus satu atau dua anak yang berpotensi untuk memperdalam ilmu agamanya ke daerah yang kuat tradisi keilmuannya, dengan tujuan jika kelak anak itu berhasil, ia akan diminta pulang untuk mengabdi, membimbing, membangun masyarakat sesuai dengan bidang ilmu yang dikuasainya.
Ketiga, kedudukan Sunan Giri sebagai bagian dari keluarga Kerajaan Majapahit dan sebagai pemimpin agama memungkinkan ia memiliki pengaruh besar dan luas, bukan hanya di daerah Jawa namun ia juga dapat menjangkau atau membentuk jaringan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa, melalui diplomasi politik antar sesama penguasanya. Penemuan bangsal Sri Menganti, Puri Kedaton dan gelar Prabu Satmata, menunjukkan bahwa salah satu anggota Wali Sanga ini, tidak hanya sebagai sosok yang berangkat dari golongan ulama yang berpengaruh saja, namun temuan itu menegaskan bahwa Sunan Giri juga dapat disebut sebagai seorang raja. Sebab, pada waktu itu tidak sembarang orang boleh memiliki bangunan bangsal, puri atau kedaton kecuali ia adalah seorang raja atau keluarga penguasa. Namun jangan dibayangkan bahwa kedaton atau kerajaan Sunan Giri itu, sama persis seperti konsep kerajaan yang dipimpin oleh raja dengan kekuasaan yang sungguh luar biasa besar dan kompleks seperti Majapahit. Kerajaan atau kedaton Sunan Giri itu adalah wilayah bagian dari kekuasaan di bawah Majapahit yang diizinkan mengatur atau mengelola wilayah kekuasaannya sendiri secara independen, karena Sunan Giri memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Majapahit. Demikian juga halnya dengan gelar Prabu Satmata yang disematkan kepada Sunan Giri, gelar “prabu” bagi orang Jawa adalah gelar kehormatan untuk menyebut “maha raja”, raja yang paling besar pengaruhnya di atas raja-raja kecil lainnya. Sedangkan istilah “satmata” adalah istilah yang diadopsi dari konsep pendewaan pada era Majapahit sebagai simbol dewa-dewa yang menjaga empat atau delapan penjuru mata angin, ditambah satu lagi dewa di tengahnya sebagai pemimpin atau tempat bersemayamnya dewa paling tinggi yakni, Dewa Siwa.
Di sisi lain, ketika Sunan Ampel (Maulana Malik Ibrahim) wafat, pada tahun 1478 Masehi, Sunan Kalijaga atau Raden Said, dalam rapat para wali mengambil inisiatif untuk mengusulkan Sunan Giri sebagai pengganti Sunan Ampel, menjadi penghulu dari para wali Tanah Jawa dan sebagai mufti atau pemimpin muslim di seluruh wilayah Jawa. Kedudukan ganda dan strategis inilah yang membuat Sunan Giri, boleh dibilang sangat besar pengaruhnya, yang memungkinkan ia melakukan dakwah baik melalui jalur ketokohannya sebagai pemimpin para wali Tanah Jawa maupun sebagai seorang raja, melalui jalur diplomasi dengan golongan penguasa baik di daerah Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Kedudukan ganda inilah yang disebut oleh orang Jawa dengan istilah “Pandhita-Ratu”, yang bermakna pemimpin agama, rohaniawan (pandhita), sekaligusa raja atau penguasa (ratu).
Dengan posisi strategis inilah, sekiranya kita dapat membuat sebuah analisis mengenai pola transmisi ajaran Islam yang disampaikan oleh Sunan Giri, pola transmisi yang tidak mengandung unsur ancaman dan kekerasan, yakni secara langsung dan tidak langsung,. Pola yang pertama; dapat dipahami sebagai sebuah pola dakwah ketika masyarakat menerima pengajaran langsung dari Sunan Giri. Pola transimisi itu terjadi saat Sunan Giri berdagang ke pulau-pulau Indonesia bagian timur, kesempatan singgah dan berdagang itu dimanfaatkan oleh Sunan Giri untuk mendatangi masyarakat dan menyampaikan syiar Islam secara langsung. Di sisi lain, transmisi dengan cara langsung ini dapat pula dimengerti dengan adanya murid-murid Sunan Giri yang berasal dari berbagai daerah itu, datang untuk belajar ilmu agama langsung kepada Sunan Giri di pesantrennya.
Adapun transmisi ajaran Islam secara tidak langsung yang dilakukan oleh Sunan Giri, sekiranya dapat dibayangkan melalui dua cara, yakni dengan cara mengutus para mubalig ke daerah-daerah lain dan melalui diplomasi politik. Mubalig-mubalig yang diutus itu adalah murid-murid yang digembleng langsung oleh Sunan Giri, kemudian setelah ilmu agamanya dirasa cukup, mereka ditugaskan kembali mengabdi dan menyampaikan Syiar Islam kepada masyarakat di daerahnya masing-masing. Kemudian melalui diplomasi politik dengan para raja atau penguasa-penguasa daerah lain. Moh. Dahlan Mansur mengatakan, bahwa untuk penobatan raja atau sultan baik itu kerajaan di Jawa maupun kesultanan di daerah Maluku, mereka harus datang menghadap ke Sunan Giri terlebih dahulu untuk disahkan. Keterangan lain menyebutkan bahwa, Sunan Giri juga telah mengirim sepucuk surat dakwah ke Hitu (Halmahera) dimana penduduk setempat telah masuk Islam. Konon, kedatangan surat itu disambut dengan baik oleh Masyarakat dengan diselenggarakan sebuah acara penyambutan yang meriah sebagai bukti penerimaan masyarakat akan Islam dan sebagai bukti betapa Sunan Giri adalah ulama sekaligus umara yang memiliki pengaruh dan jasa sangat besar bagi mereka.
Penerus Dakwah Sunan Giri dan Pribumisasi Islam di Lombok
Tidak hanya berhenti sampai di situ, cetak biru kesuksesan dakwah Islam melalui jalur ketokohan Sunan Giri sebagai rohaniawan sekaligus penguasa, sehingga mampu bertahan, kurang lebih selama 200 tahun ini, didukung oleh banyak faktor, namun yang sekiranya penting untuk disinggung dalam kesempatan kali ini adalah faktor keluarga yang meneruskan perjuangan Sunan Giri dan faktor gerakan “Pribumisasi Islam”. Setelah Sunan Giri meninggal dunia pada tahun 1506. Dakwah dan pemerintahan Sunan Giri kemudian dilanjutkan oleh keturunanya, secara berturut-turut oleh; Pangeran Zainal Abidin atau Sunan Dalem (Putra Sunan Giri), kemudian dilanjutkan oleh Sunan Sedamargi (Putra pertama, Pangeran Zainal Abidin), lalu Sunan Giri Prapen (Putra ke-2, Pangeran Zainal Abidin) dan keturunannya yang lain. Dari sinilah, kiranya relevan untuk membicarakan Sunan Giri Prapen sebagai sosok yang memainkan peran, menyebarkan Islam di Lombok. Sebab, dalam catatan-catatan sejarah, pada masa Sunan Prapen lah dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur, disebut-sebut lebih digencarkan kembali, dan mencapai puncak kesuksesannya. Sunan Prapen, dikatakan menemui puncak kesuksesannya karena selain melakukan perluasan bangunan kedhaton, masjid dan perluasan makam Sunan Giri, ia juga menaikkan intensitas dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok. Meski demikian, kesuksesan atau kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Sunan Prapen tersebut, keagungan, kemasyhuran dan kewibawaan rohani tetap diberikan kepada Sunan Giri atau Prabu Satmata.
Selanjutnya, istilah pribumisasi dalam konteks penyebaran Islam oleh para wali Tanah Jawa bermakna membenahi seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa. Menurut Nur Kholik Ridwan, pribumisasi Islam membawa pengertian pada gerak yang dilakukan oleh para sufi yang bermazhab Sunni, yang berusaha mempertemukan tradisi lama masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam (baca: baru), hingga kemudian hasilnya menjadi produk kebudayaan yang kita kenal sampai hari ini sebagai tradisi Islam Jawa. Sebab, tradisi yang dimaksud telah disesuaikan dengan tujuan dan niat keislaman yang dikehendaki oleh para wali. Suatu kaidah ushul fiqh yang dijadikan dasar gerakan pribumisasi Islam oleh para wali adalah, mempertahankan hal lama yang dianggap perlu lagi maslahat, dan membuat hal baru yang bernilai lebih baik di tengah masyarakat lama, secara gradual. Gerakan pribumisasi Islam ini sedemikian kuat dan mengakarnya, sehingga masuk ke dalam semua pranata sosial masyarakat Jawa; mulai dari ritus kelahiran dan kematian, pernikahan, wawasan spiritual, nilai-nilai sastra, nilai-nilai sosial dan tata masyarakat Jawa lainnya.
Sehingga dapat dimengerti, bahwa muatan dakwah atau pribumisasi Islam seperti inilah yang mungkin sampai kepada masyarakat Lombok, mengingat Sunan Giri adalah sosok yang menjadi bagian terpenting dari gerak atau kerja bersama para wali Tanah Jawa itu. Namun, sangat penting untuk memahami bahwa, terdapat pertimbangan-pertimbangan tertentu dan atau penyesuaian-penyesuaian (penambahan atau pengurangan) tertentu terhadap, situasi dan kondisi sosial kultural masyarakat Lombok pada waktu itu, sehingga pribumisasi Islam itu bisa diterima dengan baik. Maka tak heran, jika hari ini kita mewarisi tradisi Islam kultural yang memiliki kemiripan dengan tradisi Islam kultural yang ada di Pulau Jawa. Sebut saja beberapa di antaranya; tradisi nembang membaca takepan (sastra), di bidang bahasa dan budaya, peringatan kematian, tahlilan, maulidan, rowah dan tradisi-tradisi Islam kultural lainnya, yang sangat mirip dengan tradisi Islam yang ada di Jawa.
***
Akhirnya setelah percobaan membuat analisis mengenai sejarah penyebaran Islam di Lombok ini, kiranya saya dapat membuat simpulan, bahwa; Amat sangat penting bagi penulis sejarah untuk memperhatikan kedudukan referensi yang dijadikan pegangan, jika kebetulan sumbernya berupa karya sastra seperti babad, maka keharusan baginya untuk mencari referensi tambahan yang relevan dengan topik atau pokok kajiannya. Mengingat watak dasar dari karya sastra dan karya sejarah cukup jauh berbeda. Jika salah satunya penekanannya pada aspek estetika, sedangkan yang lainnya, penekanannya pada aspek faktualnya.
Selanjutnya, sejarah mengenai masuknya agama Islam telah melewati rentang waktu yang cukup panjang, sementara kejadian di masa lalu tidak mungkin terulang kembali, sama persis. Oleh sebab itu, pada dasarnya penulisan sejarah berarti upaya manusia dengan kemampuan akalnya memikirkan masa lalu, karenanya nilai sejarah sangat bergantung dari sudut pandang penulisnya. Tidak mungkin saya dapat menentukan versi mana yang lebih benar mengenai sejarah masuknya Islam di Pulau Lombok. Tetapi setidaknya saya bisa menyatakan bahwa, tidak mungkin membayangkan Islam, dapat berkembang sebagai agama mayoritas di Pulau Lombok tanpa peranan Sunan Prapen. Dan lebih mustahil lagi membayangkan Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Lombok, dengan meminggirkan atau mengesampingkan, peran Sunan Giri dan gerakan pribumisasi Islamnya.
Sumber Bacaan:
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. Tangerang Selatan, Pustaka IIMan dan LESBUMI PBNU, 2016.
Anonim, Babad Lombok, (diterjemahkan oleh Lalu Gde Suparman), Jakarta, Proyek Pembinaan Buku sastra Indonesia dan Daerah, 1994.
Bambang Suwondo, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Irfan Afifi, Saya Jawa dan Islam, Yogyakarta: Tanda Baca, 2019.
M. Ishom El-Saha & Mastuki HS (editor). Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Yogyakarta, Diva Pustaka. 2023.
Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta. Mata Bangsa, 2020.
_________ Jawa-Islam di Masa Kolonial; Suluk, santri, dan Pujangga Jawa, Yogyakarta, Buku Langgar, 2020.
Nur Khalik Ridwan, Islam di Jawa Abad XII-XVI Para Wali, Pribumisasi Islam, dan Pergulatan Jati Diri Manusia Jawa. Yogyakarta, Buku Langgar, 2021
Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Kudus, Menara Kudus, 1960
Umar Hasyim, Sunan Giri: Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton, Kudus, Menara Kudus, 1999.
William H. Fredrick, Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 1984.
Saya percaya bahwa, karya sastra sufistik adalah karya yang lahir dari getaran batin yang kuat, akibat merasakan kehadiran Tuhan (Sang Pencipta Alam). Dan oleh karena pengungkapan ekspresi keagamaan seperti inilah, pembacaan lirik dengan langgam (tembang) atau perangkat bahasa lokal tertentu, sepertinya dapat dinilai sebagai amal ibadah. Tentu, ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti lain, yakni ibadah di luar kewajiban Syariat Islam yang telah ditetapkan.
Di sisi lain, dari syair-syair sufistik itu, kita juga bisa memahami bagaimana hubungan antara sastra dan agama yang begitu erat. Agama nampak sebagai inspirasi, sedangkan sastra sebagai wahana yang tepat untuk mengaktualisasikan pengalaman batin yang mustahil dijelaskan dengan bahasa-bahasa normatif atau bahasa rasional lainnya. Sebab, sandaran utama sastra adalah rasa. Dan barangkali di sinilah letak nilai estetika dari syair-syair yang bertema sufistik itu.
Saya juga percaya, kesan-kesan keakraban dengan Sang Maha Pencipta, yang dituangkan kedalam syair-syair sufistik itu, tidak mesti datang dari orang-orang Arab. Wahananya juga tidak harus menggunakan aksara maupun Bahasa Arab. Getaran batin akibat merasakan kehadiran Tuhan yang dituangkan kedalam karya sastra itu, sekiranya juga dapat lahir dari insan-insan arifin di manapun jua, dan dari karya-karya di daerah manapun juga. Tidak terkecuali dari naskah-naskah klasik lokal yang nyaris tersebar di seluruh penjuru wilayah Nusantara. Seperti naskah-naskah takepan yang ada di Pulau Lombok, misalnya.
Takepan merupakan istilah lain untuk menyebutkan naskah-naskah kalsik masyarakat Suku Sasak yang ada di Pulau Lombok. Asal kata takepan adalah “takep”, takep bermakna barang yang tersimpan dan tersembunyi (Ihsani, Utari, & Mandala, 2021). Jadi, takepan merupakan semacam perbendaharaan masyarakat Suku Sasak yang memiliki nilai estetika dan etika tinggi, yang tidak boleh dibaca oleh sembarang orang dan sembarang waktu. Tema-tema utama yang sering dibahas dalam takepan adalah tema-tema seputar, konsep ajaran tasawuf yang mendalam, wiracarita (cerita kepahlawanan Islam), kisah-kisah alegoris, dan tema-tema sejarah lainnya.
Hanya saja, karena di Lombok tidak memiliki semacam pusat kajian naskah-naskah kelasik. Sehingga relasi antara takepan dan Agama Islam semakin tersamarkan. Dan keberadaan takepan, rentan untuk disalah artikan. Bahkan, tidak sedikit masyarakat Sasak menganggap takepan sebagai naskah klasik yang menyesatkan. Sebab isinya dinilai sudah bercampur dengan ajaran-ajaran Hindhu dari Bali. Mengingat Pulau Lombok memiliki latar belakang sejarah, sebagai pulau yang pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Karang Asem, kerajaan bercorak Hindhu dari Bali.
Kemungkinan lainnya, bisa jadi karena di tengah-tengah masyarakat Hindu di Bali, juga berkembang tradisi kepenulisan sastra berlatar agama, yang produknya dikenal dengan istilah cakepan. Dimana cakepan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut sejumlah lempir naskah lontar, yang digabungkan menjadi satu bagian utuh. Cakepan ini juga diasosiasikan dengan Pandawa Lima (tokoh utama Epos Mahabarata), oleh karenanya cakepan haruslah terdiri dari 5 unsur matrial penyusunnya. Daun lontar yang diibaratkan sebagai Arjuna, teks sebagai Yudistira, tali benang dan kepeng bolong sebagai Bima dan dua penggapit naskah diibaratkan sebagai Nakula dan Sahadewa (Sedyawati, dkk, 2021). Maka tak heran jika takepan diidentikkan dengan cakepan yang berkembang di “Pulau Dewata” itu, karena kemiripan istilah yang dipergunakan untuk menyebut naskah-naskah kelasiknya masing-masing.
Namun, di luar dari kemungkinan tersebut, tidak sedikit dari masyarakat Sasak yang masih dan lebih percaya bahwa, takepan memiliki hubungan yang erat dengan suluk di Jawa. Saya pribadi lebih cenderung menerima tesis ini ketimbang pendapat-pendapat yang lain. Sebab, dengan sangat mudah indikasi-indikasinya bisa terlihat dari aksara, bahasa dan format pengungkapan yang dipergunakan dalam takepan, lebih kurang, memiliki kesamaan dengan aksara, bahasa dan format pengungkapan dalam karya-karya suluk di Jawa.
Bedanya jangkauan pembahasan takepan-takepan Lombok relatif lebih sempit, tidak seluas jangkauan pembahasan suluk di Jawa yang juga menggubah anasir-anasir sastra kuno dari Hindhu-Budha, menjadi karya sastra yang punya spirit ajaran tasawuf. Misalnya seperti Serat Paramayoga, Serat Kanda, Ramayana, Mahabarata, Serat Dewa Ruci, Wedatama dan seterusnya. Nasakah yang saya sebutkan itu, nyaris tidak dikenal oleh masyarakat Sasak. Paling jauh adalah naskah-naskah klasik yang masih berhubungan dengan Kidung Panji. Semisal Serat Rengganis dan Serat Menak, yang tentunya telah digubah agar kedua naskah klasik tersebut juga menjiwai spirit ajaran-ajaran tasawuf.
***
Di Jawa, nampaknya semua pengkaji naskah klasik, bersepakat bahwa suluk merupakan istilah untuk menyebutkan kazanah kesusastraan dan atau kepustakaan Jawa yang bercorak sufistik. Suluk mulai berkembang pada era berdirinya Kesultanan Demak. Sebab, istilah “suluk” memang merupakan kata serapan, yang diadopsi dari Bahasa Arab (Islam) yakni “salaka”, yang bearti “perjalanan spiritual”.
Menurut pendapat Simuh, suluk, babad, serat, wirid dan karya sastra Islami lainnya itu, mulai berkembang setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, dan di saat yang bersamaan muncul Kesultanan Demak yang dikelilingi oleh para wali Tanah Jawa sebagai penasehat spiritualnya. Dengan berdirinya Kesultanan Demak, maka orientasi keagamaan maupun kesusastraan masyarakat Jawa menjadi berubah, dari yang tadinya beragama Hindhu-Budha menjadi Islam. Dari sinilah pihak Kesultanan Demak mulai mempelajari dan menyerap unsur-unsur kebudayaan dari tradisi pesantren sebagai subjek matter karya-karya kepustakaan Islam Jawa pada waktu itu (Simuh, 1995).
Lebih jauh, Irfan Afifi mencoba melakukan pembacaan ulang tentang makna suluk. Irfan Afifi, mendasari pembacaannya dengan merujuk falsafah hidup orang Jawa yang paling utama yakni, “Sangken Paraning Dumadhi”. Sebuah ungkapan khas Jawa yang memberi makna akan kesejatian perjalanan hidup, sehubungan dengan asal usul kehidupan dan tujuan akhir perjalanan hidup manusia Jawa yang kembali ke Sang Maha Hidup. Dalam istilah lain, perjalanan hidup ini disebut: laku, mlaku, atau lelakon. Oleh sebab itu, tak heran jika Kepustakaan Jawa di era Demak hingga Mataram Islam diintrodusir oleh para wali Tanah Jawa dengan neologi baru yakni suluk yang sama-sama bermakna “sebuha perjalanan”. Dan secara otomatis membedakannya dengan dengan genre sastra pada era Majapahit atau masa pra-Islam, yakni Parwa, Kakawin dan Kidung (Afifi, 2019).
Namun, oleh karena, perjalanan yang dimaksud tidak hanya perjalanan yang bersifat ragawi semata, tetapi sebuah perjalanan yang melingkupi seluruh kehidupan manusia baik perjalanan yang bersifat lahiriah maupun perjalanan batin yang bisa menjebak. Oleh sebab itu dalam lakon atau “perjalanan besar” ini, manusia Jawa mestinya selalu awas terhadap emapt warna atau simbol nafsu dalam dirinya, agar ia bisa selamat sampai tujuan. Empat warna itu adalah hitam, merah, kuning dan putih. Keempat simbol warna inilah yang dihubungkan dengan empat konsep pembagian nafsu menurut Imam Ghazali yakni lawwamah, amarah, supiah, dan mutmainnah (Afifi, 2019). Sikap kewaspadaan orang Jawa terhadap empat warna ini kemudian termanifestasikan kedalam pagelaran lirik suluk, yang lebih popular dengan istilah “tembang macapat atau macapatan”.
Demikian juga halnya dengan nama-nama langgam utama dalam karya sastra suluk yang tidak terlepas dari konsep perjalanan hidup, oleh karena itu para wali Tanah Jawa, menciptakan nama dan jenis-jenis tembang yang menggambarkan siklus perjalanan hidup manusia secara utuh, mulai dari awal sampai akhir perjalanan hidupnya. Tembang-tembang itu adalah tembang maskumambang (dalam kandungan), mijil (lahir), kinanti (masa penantian), sinom (muda), asmarandana (mulai tumbuh perasaan cinta kepada lawan jenis), gambuh (menikah), durma (berkaya), dandanggula (merasakan pahit manis kehidupan), pangkur (mulai mengambil jarak terhadap dunia), megatruh (meninggal dunia), dan pucong (dibungkus dengan kain kafan) (Purwadi, 2005).
Dari uraian di atas nampak jelas ada relasi yang kuat antara sastra dan agama Islam. Agama dan perasaan haru manusia (baca: sastra) di hadapan Sang Khalik seakan berkelindan membentuk satu kesatuan. Bersamaan dengan itu, nampak jelas bagaimana cara orang-orang terdahulu baik di Jawa maupun di Lombok menjangkau dan mengamalkan ajaran agamanya, dengan caranya sendiri yang kemudian diaktualisasikan kedalam bentuk karya sastra, yang selanjutnya mengejawantah menjadi tradisi budaya (lokal). Maka tak heran jika dalam satu lirik Suluk Sontrang ditulis demikian: “Liring suluk ika, Sesinden para wali” kurang lebih maknanya; “suluk itu adalah nyanyian para wali”. Dan sepertinya tidak berlebihan juga jika saya mendevinisikan takepan itu, sebagai nyanyian para wali Tanah Sasak. Wallahualam!
Daftar Refrensi:
Afifi, I. (2019). Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.
Ihsani, B. Y., Utari, T., & Mandala, H. (2021). Leksikon yang Digunakan dalam Ritual Pepaosan Takepan Masyarakat Suku Sasak: Sebuah Kajian Etnolinguistik. Jurnal Ilmiah Telaah, 172.
Poerbatjaraka, & Hadidjaya, T. (1957). Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djembatan.
Purwadi. (2005). Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Sedyawati, E, dkk. (2021). Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. In T. Pudjiastuti, Media Sastra (pp. 187-188). Jakarta: Balai Pustaka.
Simuh. (1995). Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Foto: Wati Nichols
Agama diturunkan oleh Tuhan sebagai petunjuk keselamatan bagi umat manusia. Namun tanpa budaya, agama sepertinya akan mengalami kesulitan menemukan relevansi kenapa agama itu hadir.
Manusia sebagai makhluk yang ditugaskan untuk mengabdi kepada Tuhan dan menjaga kelestarian bumi hanya memiliki bekal berupa cipta, rasa dan karsa (budaya), untuk menafsirkan petunjuk-petunjuk dari Tuhan melalui agama. Sekiranya itulah alasan mengapa suatu suku bangsa seringkali dihubungkan dengan agama tertentu.
Di lain sisi, manusia cenderung mengambil nilai-nilai universal dalam agama sebagai inspirasi dan landasan untuk mengukuhkan bentuk ekspresi kebudayaannya. Sebab, mungkin nilai-nilai agama dirasa lebih cocok atau lebih bisa mengakomodir kebutuhan individu (baca: spiritualitas) dan kebutuhan sosial sekaligus, demi mewujudkan suatu tatanan kehidupan bersama yang seimbang dan harmonis.
Penulis membayangkan, agama atau keyakinan tertentu telah menjelma sebagai nubuat inspiratif yang menggerakkan lokomotif tradisi budaya masing-masing suku bangsa.
Ibarat sebuah pohon besar, agamalah yang menjadi akar pohon kebudayaan. Orang-orang Sasak menyebutnya sebagai “Akah Pancer”, akar yang tertanam kuat dalam tanah, berkerja menyerap air dan intisari kehidupan dari tanah untuk kemudian dipasok ke seluruh bagian pohon yang membutuhkannya.
Di Lombok, agama Islam merupakan agama mayoritas. Barang tentu, ajaran Islamlah yang lebih dominan memberi corak, warna tradisi (lokal) masyarakat Suku Sasak. Sebut saja beberapa di antaranya yakni tradisi Maulidan, Mi’rat, Serakalan, Rowah, Gawe Urip, Gawe Pati dan acara tradisi adat kebiasaan masyarakat Suku Sasak yang bernuansa islami lainnya.
Untuk lebih jelasnya, penulis mengambil satu acara tradisi masyarakat Suku Sasak yang paling populer yakni Rowah. Istilah “Rowah” pada mulanya dipahami oleh masyarakat Sasak, sebagai penanda nama salah satu bulan dalam sistem penanggalan tahun Hijriyah yakni bulan Sya’ban. Kemudian dikembangkan menjadi semacam acara mengirim pahala zikir dan doa-doa kepada arwah seseorang yang sudah meninggal dunia.
Lebih lanjut berkembang menjadi istilah yang amat populer di kalangan masyarakat Suku Sasak, sebagai penanda bagi masyarakat yang berniat mengangkat gawai atau membuat acara hajatan secara massal.
Jenis acara hajatan apapun itu. Baik itu hajatan yang berhubungan dengan permohonan keselamatan, peringatan kematian, maupun hajatan berkenaan dengan ekspresi rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan karunia yang telah dianugerahkan kepadanya.
Dari segi pelaksanaannya, tradisi Rowah cenderung mirip dengan tata pelaksanaan acara Slametan dalam tradisi masyarakat Islam di Jawa. Tradisi Slametan itu sendiri, konon merupakan hasil ijtihad para wali Tanah Jawa, dalam upaya melawan ritual Ma Lima atau ritual Panca Makarapuja yang dijalankan oleh sekte Bairawatantra. (Sunyoto, 2016:116)
Jenis acara hajatan apapun itu. Baik itu hajatan yang berhubungan dengan permohonan keselamatan, peringatan kematian, maupun hajatan berkenaan dengan ekspresi rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan karunia yang telah dianugerahkan kepadanya.
Ritual Ma Lima ini, prakteknya dianggap mengancam keselamatan jiwa rakyat kecil, masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, Para Wali Tanah Jawa berupaya menggubahnya dengan cara membuat acara tradisi keagamaan dengan wajah yang lebih memanusiakan manusia (Slametan).
Dari Sraddha, Nyadran, hingga Nyoyang
Demikian halnya dengan acara Nyoyang. Dalam kitab Pararaton dan Kakawin Narakratagama disebutkan bahwa pada tahun 1362, Prabu Hayam Wuruk pernah menyelenggarakan upacara Sraddha, untuk memperingati 12 tahun kematian Gayatri Rajapatni, Dyah Dewi Tribhuwaneswari (Nenek, Prabu Hayamuruk) atas perintah Ibundanya Tribhuwanatunggadewi. (Notosusanto, 1984:435)
Kemudian dalam parasati Jiwu I dan prasasti Jiwu III disebutkan bahwa Grindrawardhana atau Dyah Ranawijaya pernah menyelenggarakan upacara Sraddha juga, untuk memperingati 12 tahun kematian Bathara Ring Danaputra atau Bre Daha. (Notosusanto, 1984:446)
Meskipun dalam buku sejarah yang penulis baca itu, tidak menjelaskan dengan detil, bagaimana tata pelaksanaan dari upacara Sraddha. Namun dapat disimpulkan bahwa acara Sraddha adalah acara tradisi keagamaan untuk meruwat atau memberi penghormatan terakhir kepada arwah, salah satu anggota keluarga raja yang meninggal dunia, setelah 12 tahun lamanya.
Besar kemungkinan acara Sraddha inilah yang mengilhami Para Wali Tanah Jawa, yang berdakwah menggunakan pendekatan kultural, memberi nama sebuah acara tradisi keagaman baru dengan istilah Nyadran (Sunyoto, 2016:163).
Meski dari segi penamaan, acara Nyadran cenderung mirip dengan upacara Sraddha, namun landasan, orientasi serta tata cara pelaksanaan Nyadran berbeda dengan acara Sraddha.
Meski dari segi penamaan, acara Nyadran cenderung mirip dengan upacara Sraddha, namun landasan, orientasi serta tata cara pelaksanaan Nyadran berbeda dengan acara Sraddha.
Landasan hukum penyelenggaraan tradisi Nyadran, disandarkan pada dalil Islam yang membolehkan dan menyatakan bahwa pahala kebaikan, amal jariyah keluarga yang masih hidup, bisa dikirimkan dan bisa sampai kepada arwah keluarga yang sudah meninggal dunia. Kemudian orientasi serta tata pelaksanaan acara nyadran lebih mengutamakan amalan-amalan berupa sedekahan, zikir, membaca Qur’an, solawatan dan membaca doa-doa permohonan keselamatan lainnya.
Di samping itu, pelaksanaan Nyadran tidak mesti menunggu selama 12 tahun usia kematian layaknya Sraddha. Acara Nyadran bisa dilaksanakan setelah 1000 hari pasca kematian seseorang.
Sepertinya, konsep acara Nyadran ini juga berkembang di kalangan masyarakat Suku Sasak meskipun istilah yang digunakan bukan Nyadran lagi, melainkan disesuaikan dengan bahasa setempat, menjadi: Nyeribu, Nyiu atau Nyoyang. Dimana maknanya kira-kira sama dengan “peringatan 1000 hari pasca kematian seseorang”.
Acara Nyoyang di Lombok Utara
Pada umumnya, masyarakat muslim Sasak lebih familiar dengan istilah Nyeribu, ketimbang Nyoyang atau Nyiu. Istilah Nyoyang atau Nyiu, hanya berlaku di kalangan Masyarakat Sasak, di wilayah bagian utara Pulau Lombok. Seperti acara Nyoyang yang penulis ikuti, di Pejeroan Sokong, Dusun Karang Bedil, Desa Tanjung, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara.
Acara Nyoyang yang penulis ikuti ini, tidak hanya diselenggarakan dengan cara-cara islami saja, seperti lazimnya acara Nyeribu di tempat-tempat lain. Acara Nyoyang selain diselenggarakan dengan cara Islami, pelaksanan Nyoyang juga dirangkaikan dengan beberapa acara adat, yang penuh dengan makna simbolik. Semisal menanam batu nisan sebagai penanda kubur almarhum yang bersangkutan.
Acara Nyoyang yang penulis ikuti ini, tidak hanya diselenggarakan dengan cara-cara islami saja, seperti lazimnya acara Nyeribu di tempat-tempat lain. Acara Nyoyang selain diselenggarakan dengan cara Islami, pelaksanan Nyoyang juga dirangkaikan dengan beberapa acara adat, yang penuh dengan makna simbolik. Semisal menanam batu nisan sebagai penanda kubur almarhum yang bersangkutan.
Kemudian acara Melurut atau menyemprotkan wewangian kepada para kiai yang sudah berkenan memimpin zikir, doa dan membaca Qur’an secara masal. Caranya, beberapa perwakilan dari keluarga yang meninggal dunia menyemprotkan wewangian kepada para kiai sebagai bentuk tawassul melalui perantara para tokoh agama yang diyakini memiliki kedekatan secara khusus dengan Tuhan.
Tepat setelah acara melurut selesai, kemudian acara dilanjutkan dengan acara Bepaosan. Kiranya perlu diketahui bahwa dalam acara Bepaosan teks yang dibaca adalah Serat Tapel Adam yang ditulis dengan aksara Hanacaraka dan dengan bahasa pengantar menggunakan Bahasa Jawa. Serat Tapel Adam ini, dibaca dengan cara ditembangkan (dilagukan) oleh para pujangga setempat. Kemudian salah satu dari mereka, bertindak sebagai penerjemah ke dalam Bahasa Sasak, agar isi yang terkandung di dalamnya juga bisa dihayati oleh para hadirin.
Kenapa mesti Serat Tapel Adam yang dibaca? Menurut keterangan salah seorang pemuka adat dan pemuka agama di sana. Tujuan dari pembacaan Serat Tapel Adam ini adalah untuk merefleksikan kembali bagiamana kisah penciptaan Nabi Adam atau manusia pertama, untuk dijadikan sebagai bahan renungan bagi keluarga maupun hadirin yang menyimak pembacaan Serat Tapel Adam. Sehubungan dengan asal usul, hakikat, kedudukan, tujuan perjalanan hidup manusia di muka bumi ini, serta hendak ke mana jiwanya mesti kembali (berpulang) setelah mati.
Keesokan harinya barulah diselenggarakan acara puncak, yakni acara sedekahan atau selawatan berupa Pesangon Anak Pati Putuning Adam. Jenis sedekahan ini dibedakan menjadi dua yakni sedekah untuk para kiai, para pembenah. Dan sedekahan untuk masyarakat yang menghadiri acara Nyoyang.
Sedekah untuk para kiai yang telah membantu memimpin acara keagamaan ini nantinya berupa barang-barang yang merepresentasikan perlengkapan sandang dan pangan (sangu pati) arwah semasa hidupnya, maupun barang-barang berupa alat-alat yang merepresentasikan pekerjaan arwah semasa hidupnya (kecendrungannya berupa perlengkapan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat agraris).
Adapun sedekahan berikutnya, adalah sedekah berupa nasi aji, panganan tradisiona dan buah buahan lainnya yang ditata rapi menyerupai bentuk gunungan di atas sebuah berugak ancak (lapak atau meja besar berbentuk persegi dari bambu), masyarakat setempat menyebutnya berugak ancak berisi sarwa sarwi merua sari atau sarwa sarwi merkat sari.
Setelah upacara penyerahan sedekahan (secara adat) oleh pihak keluarga yang meninggal dunia dan diterima oleh para kiai atau para pembenah, barulah isi ancak boleh diperebutkan oleh siapa saja hadirin yang menaruh minat. Sedekahan berupa nasi aji, panganan tradisional, dan aneka buah-buahan dalam ancak ini, oleh salah seorang pemuka adat di sana menjelaskan, bahwa: Selain dimaknai sebagai perwujudan amal jariah dari keluarga yang masih hidup, yang pahalanya diniatkan, dikirim untuk anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Secara tidak langsung, sedekahan ini juga dapat diartikan sebagai representasi kehidupan masyarakat yang guyub. Hidup rukun di bawah naungan, limpahan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, berupa hasil bumi, hasil kesuburan tanah air masyarakat Lombok Utara yang patut disyukuri.
Barangkali poin pokok yang hendak dibicarakan dalam tulisan ini adalah jawaban sementara atas pertanyan-pertanyaan yang sering berkecamuk dalam pikiran saya tentang sosok Budi Darma. Sosok maestro sastra Indonesia yang amat saya kagumi. Sosok pengarang yang nampak menjalani hidup secara sederhana namun sangat “liar” dalam melahirkan karya-karya imajinatifnya.
Mungkin, semua sudah menjadi kehendak takdir, dan saya menulis tulisan ini pun juga sudah menjadi suratan takdir. Maksud saya, saya dengan segala keterbatasan pemahaman di dunia sastra, sepertinya tidak akan pernah dapat menulis tentang Budi Darma, andai kata beliau masih hidup hingga hari ini.
Saya juga sadar betul bahwa apa yang saya tulis ini, boleh jadi sudah sering atau sudah pernah diungkapkan oleh Budi Darma sendiri maupun penulis-penulis lain sebelum saya. Oleh sebab itu, melalui kesempatan yang baik ini, saya bermohon maaf, andai kata ada kesamaan pembahasan, ide maupun gagasan yang saya uraikan nantinya, berpotensi membuat penulis yang bersangkutan merasa tersinggung. Dan saya juga meminta maaf, sekiranya dalam uraian saya nantinya terkesan, terlampau berlebihan atau terkesan kontradiktif dengan kenyataan yang sebenarnya.
Niat saya hanya ingin mengenang dan mencoba merefleksikan kembali beberapa gagasan pokok Budi Darma, sebagai sosok yang saya kagumi dan sosok yang sering berkelebat dalam pikiran saya, meskipun dengan citranya yang masih tetap absurd hingga detik ini.
Mula-mula saya akan mencoba menguraikan, bagaimana sosok Budi Darma memahami takdir yang ia jalani sebagai individu atau orang biasa. Kemudian, saya akan mencoba menguraikan hubungan antara kekuatan takdir dan ekspresi batin sebagai basis kreativitasnya sehingga ia dapat melahirkan karya-karya sastra yang terkesan rumit. Dan terakhir, saya mungkin mencoba menguraikan hikmah di balik gagasan utama Budi Darma tengtang takdir, sebagai pembelajaran, untuk memperbaharui pemahaman kita tentang nilai-nilai kemanusiaan.
Budi Darma dan Kekuatan Takdir yang Dihayatinya
Subagio Sastrowardoyo, salah satu sastrawan terkemuka Indonesia, sepertinya pernah mengemukakan pandangannya yang men-sejajar-kan sastra dengan filsafat dan ilmu jiwa. Sebab, walaupun karya sastra berangkat dari imajinasi penulisnya, namum tidak berarti bahwa sastra juga tidak bersinggungan dengan persoalan kebenaran yang menjadi objek kajian filsafat dan ilmu jiwa.
Nampaknya, Budi Darma juga cenderung memiliki pandangan yang serupa dengan Subagio. Budi Darma menilai bahwa sastra, juga kerap merefleksikan tentang pergulatan manusia dengan persoalan-persoalan filsafat dan ilmu jiwa, dalam hal mencari makna dari realitas kehidupan. Mungkin, kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran yang berhubungan dengan eksistensi makna yang lahir dari pergumulan manusia dengan persoalan-persoalan mendasar dalam hidupnya.
Budi Darma menilai bahwa sastra, juga kerap merefleksikan tentang pergulatan manusia dengan persoalan-persoalan filsafat dan ilmu jiwa, dalam hal mencari makna dari realitas kehidupan.
Baginya, karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mempu melebur dengan kebenaran dan mampu merefleksikan nilai-nilai pergulatan kemanusiaan dengan baik pula. Sehingga, semakin baik sebuah karya menggambarkan pergulatan manusia tentang persoalan-persoalan mendasar dalam hidup seperti cinta, kasih, kebencian, ambisi, kematian, kesepian dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya, maka makin tinggi pula mutu karya sastra tersebut.
Sosok Budi Darma, adalah sosok pengarang yang sangat percaya dengan kekuatan takdir. Ia percaya bahwa seluruh tindakannya dituntun dan dikuasai oleh takdir. Dan barangkali ia juga yakin betul, bahwa takdir hidupnya adalah sebagai seorang sastrawan (praktisi maupun akademisi sastra).
Sadar bahwa dirinya ditakdirkan sebagai seorang sastrawan atau pengarang, maka ia merasa berkewajiban untuk menjalani hidup atau melaku, sebagaimana sikap seorang pengarang. Sebagai seorang pengarang, ia dituntut untuk menulis karya sastra. Untuk menulis karya sastra dengan baik, ia wajib memiliki wawasan yang luas tentang sastra. Untuk memiliki wawasan yang luas tentang sastra, ia harus membaca karya-karya sastra dunia yang berpengaruh. Untuk dapat memahami hasil bacaan-bacaanya tersebut, Budi Darma mengoptimalkan anugrah dari Tuhan untuk manusia berupa akal-pikiran dan intuisi, secara berimbang.
Budi Darma memanfaatkan akal-pikiran atau “otak” untuk mempelajari seluruh aspek rasional yang dibutuhkan oleh seorang pengarang. Sepertinya, usaha untuk mengembangkan wawasannya tentang sastra itu ia jalani sebaik-baiknya.
Sebab, ketika ia memperoleh kesempatan melanjutkan studi di Amerika Serikat, di Universitas Hawaii-Honolulu dan di Universitas Indiana-Bloomington. Budi Darma tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang itu, untuk mempelajari puisi, roman, novel, cerpen, esai dan karya-karya sastra “penting” dunia lainnya.
Sedangkan untuk menangkap makna terdalam dari realitas kehidupan keseharainnya. Budi Darma terus menerus mengasah kepekaan jiwanya, menajamkan intuisinya dan mengembangkan setiap persepsi-persepsinya dengan obsesi “seorang pengarang” yang ia miliki. Karena baginya, obesesi seorang pengarang adalah serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang mendorongnya untuk terus menerus menulis atau berkarya.
Sedangkan untuk menangkap makna terdalam dari realitas kehidupan keseharainnya. Budi Darma terus menerus mengasah kepekaan jiwanya, menajamkan intuisinya dan mengembangkan setiap persepsi-persepsinya dengan obsesi “seorang pengarang” yang ia miliki.
Kiranya, totalitas usaha Budi Darma mendekati dunia sastra inilah yang mengantarkan dirinya sebagai sosok pengarang, yang memiliki pengaruh besar di dunia sastra, setidak-tidaknya di panggung sastra Nasional.
Di panggung sastra Nasional, Budi Darma dikenal sebagai sosok pengarang yang memiliki kepribadian tangguh, mandiri dan berkarakter. Kedudukannya di dunia sastra Indonesia barangkali layak disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan terkemuka lainnya. Atau mungkin dengan sastrawan-sastrawan yang sudah dapat menerawang makna hakiki di balik realitas kehidupan yang absurd. Makna hakiki atau kebenaran yang tidak tertembus oleh orang lain (orang yang bukan sastrawan). Makna hakiki yang ditemukan dari fakta atau realitas, kemudian dibaca sebagai sesuatu yang lebih esensial, lebih hidup dan lebih bermakna lagi.
Sebagaimana pandangannya yang pernah ia kemukakan, bahwa kehidupan pengarang itu kerap dirundung oleh rasa sakit tetapi juga rasa syahdu sekaligus. Rasa sakit yang muncul karena kemampuannya untuk meneropong eksistensi kebenaran di sebalik kenyataan yang mungkin bagi orang biasa, bermakna salah.
Rasa sakit yang dialami pengarang itu berlangsung terus menerus. Meneror jiwanya, sehingga menambah kesengsaraannya sekaligus membangkitkan nalurinya untuk memberontak. Memberontak sesuatu yang hakiki, sesuatu yang tidak mungkin tumbang. Tahu bahwa yang digugat itu tidak mungkin tumbang, maka pengarang kerap merindukan sesuatu. Pribadi seorang pengarang menjadi semakin mudah tersentuh, mudah merasakan kesyahduan. Perasaan syahdu karena bernostalgia dengan sesuatu yang tidak mungkin tercapai.
Budi Darma dan Proses Kreatifnya
Di sisi lain, sehubungan dengan kesadaran dan peneriaam Budi Darma menjalani takdir hidupnya sebagai seorang pengarang. Nampaknya, dalam proses kreatifnya atau dalam upaya menulis karya sastra seperti novel dan cerpen, ia juga cenderung menempatkan persoalan kekuatan takdir dan ekspresi batin sebagai basis kerativitasnya. Budi Darma cenderung menggarap persoalan takdir dan ekspresi batin karena hal tersebut, ia nilai sebagai persoalan yang paling mendasar dalam hidup.
Namun, jika dikaitkan dengan takdir, sekiranya perlu saya batasi terlebih dahulu bahwa kekuatan takdir dalam konteks ini, bukanlah kekuatan takdir yang membuat orang menyerah atau memilih menjadi “pecundang” yang memasrahkan seluruh hidupnya kepada takdir, lantas berpangku tangan, tidak mau melakukan usaha apapun. Melainkan, takdir sebagai ekspresi batin atau pengakuan manusia akan ketidak-berdayaannya menolak kehendak Tuhan, yang menentukan jalan hidupnya.
Sedangkan ekspresi batin yang dimaksudkan oleh Budi Darma, boleh jadi merupakan ekspresi batin manusia sebagai individu yang seluruhnya ditentukan oleh takdir, bukan ekspresi batin manusia yang terbentuk oleh pengaruh lingkungan sosial masyarakat. Karena persoalan ekspresi batin dalam kedudukan manusia sebagai individu ini, baginya merupakan persoalan yang lebih utama (primer) dan cakupannya lebih luas, ketimbang persoalan-persoalan manusia dalam kedudukannya sebagai mahluk sosial yang sifatnya sekunder. Singkat kata, Budi Darma kerap menggarap persoalan yang berhubungan dengan jiwa atau sukma manusia yang senantiasa mencari identitas kediriannya sebagai objek tulisannya.
Singkat kata, Budi Darma kerap menggarap persoalan yang berhubungan dengan jiwa atau sukma manusia yang senantiasa mencari identitas kediriannya sebagai objek tulisannya.
Selanjutnya, untuk memperjelas makna kekuatan takdir dan ekspresi batin yang ia maksud, Budi Darma mengambil contoh tentang peristiwa kelahiran dan kematian manusia. Menurutnya, kelahiran dan kematian manusia adalah gambaran sederhana dari kekuatan takdir yang telah ditetapkan. Manuisa dinilainya, tidak dapat memahami dan menentukan kapan dan di mana ia hendak lahir, maupun kapan dan di mana ia harus mengakhiri hidupnya (mati).
Selain tidak dapat memilih kapan ia hendak lahir dan kapan ia mati, manusia juga tidak dapat memahami atau menentukan kapan ia harus bahagia dan kapan ia semestinya mengalami penderitaan (kesengsasraan), sebab semua peristiwa itu sudah ditentukan oleh kehendak takdir. Meskipun, manusia dikaruniai otak, insting, jiwa dan perasan untuk membantunya memahami kenyataan, namun semua itu tidak mampu menolak takdir, semua juga tunduk atau takluk di hadapan takdir.
Refleksi Pemikiran Budi Darma
Berbicara mengenai esensi takdir yang digagas oleh Budi Darma, sekiranya cukup menarik untuk menyinggung takdir dari perspektif yang berbeda. Yakni takdir dalam perspektif epos Mahabarat, yang diungkapkan dalam salah satu fragman, dialog antara Arjuna dan Krisna di Kuruksetra (tempat berlangsungnya perang Baratayudha), dalam Bagavatgitha.
Waktu itu Arjuna atau kesatria dari kubu Pandawa, mencurahkan isi hatinya kepada Krisna. Di hadapan Krisna ia mengungkapkan bahwa ia sepertinya tidak sampai hati bertempur menghadapi saudara-saudaranya (Karna dan Kurawa), orang tuanya, gurunya dan kerabat-kerabat dekat lainnya. Ia juga mengutarakan pandangannya, apa sebaiknya ia mengalah (menyerah) saja, memberikan kemenangan kepada kubu lawan, supaya ia tidak membunuh orang-orang terdekatnya.
Namun, cepat-cepat Krisna menguatkan mental dan mengingatkan Arjuna, dengan mengatakan bahwa tugasnya sebagai kesatria adalah berperang. Takdir seorang kesatria adalah berperang membela kebenaran dan menumbangkan kebatilan. Arjuna tidak seharusnya memikirkan persoalan kebaikan dan keburukan moral yang merupakan tugas atau dharma seorang pemimpin agama (brahmana) sekalipun.
Dalam kehidupan nyata yang tak mudah dimengerti ini. Barangkali persoalan besar maupun persoalan kecil yang terjadi di sekitar kita selama ini adalah takdir. Namun, sepertinya kita juga patut memikirkan, jangan-jangan kekacauan tersebut disebabkan oleh diri kita atau orang lain yang sempat melupakan takdir hidupnya masing-masing. Sehingga keseimbangan atau keselarasan kosmik menjadi terganggu.
Tidak sulit untuk menemukan contoh dari fenomena penyimpangan Takdir. Di tataran yang paling umum misalnya, nyaris setiap saat kita menyaksikan pemandangan orang-orang besar maupun kecil, terlibat dalam permasalahan yang bukan urusannya. Mereka, tanpa rasa bersalah, mengomentari, mencela atau bahkan mengutuk tindakan orang lain atas dasar ketidak sukaan, bukan atas dasar profesionalisme.
Di sisi lain, begitu banyak kalangan pemimpin dan cendikiawan yang seharusnya berkerja dan berpikir keras agar membawa perubahan (emansipasi) kearah yang lebih baik bagi masyarakatnya, malah asyik terlibat ke dalam urusan-urusan di luar dari tugas pokoknya itu.
Singkatnya, ada begitu banyak darma bakti atau tugas pokok manusia untuk menjaga keseimbangan, tatanan hidup berbangsa dan bernegara di negeri ini, yang seharusnya ditangani oleh tenaga ahli, justru malah dikuasai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Orang-orang yang tidak mengerti benar permasalahan yang tengah dihadapinya..
Dari uraian singkat tentang kekcauan realitas hidup tersebut, sekiranya cukup tepat jika kita merefleksikan kembali nilai-nilai universal yang lahir dari pandangan dan sikap hidup seorang Budi Darma, yang dengan tekun, konsisten dan bertanggung jawab dalam menjalani takdirnya sebagai seorang pengarang.
Hal tersebut, sekiranya penting untuk kita jadikan sebagai bahan renungan untuk mengenali kembali dan mengoreksi persepsi kita tentang makna takdir. Supaya nantinya dapat menumbuhkan sikap mental atau prilaku yang selaras dengan alam, dan mungkin juga dengan Tuhan, melalui tangan takdir-Nya.
Sehingga kita dapat meresapi betul, makna sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa yang menyebutkan: “kabeh iku wus ginaris, manungsa mung sakdurma ngelakoni”. Yang artinya kurang lebih seperti ini: “Semua sudah ada yang menentukan (Tuhan), manusia hanya tinggal menjalaninya”. Terimakasih.
Sumber Bacaan:
Darma, B. (1980). Orang-orang Bloomington. Jakarta: Sinar Harapan.
_______. (1983). Olenka. Jakarta: Balai Pustaka.
_______. (1984). Solilokui-Kumpulan Esai Sastra. Jakarta: Gramedia.
_______. (1988). Rafilus. Jakarta: Balai Pustaka.
_______. (1995). Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______. (2017). Kumpulan cerita Kritikus Adinan. Yogyakarta: Bentang.
Horison Majalah Sastra, Edisi XXXV, No.1/2002
Mulyono, S. (1978). Tripama, watak satria dan sastra jendra (Vol. 9). Gunung Agung.
Siswanto, W. (2010). Tokoh Ganjil dalam Karya Sastra Budi Darma. Humaniora, 22(1).
Ratu Sima
harumlah namamu yang telah melahirkan
ibu dan ibu dari mata rantai raja-raja jawa
ratu adil yang kukira selamanya
menjadi cahaya mata Mataram
Jogja, 2021
Kepundan Air
seorang penyair urban
dengan tuah dan tulah di tangannya
membaca puisi. puisi kesayangannya
adalah epitaf yang terpahat di kepundan air
relif sunyi di bawah langit amaravati
ibu kota dan rama-rama tumbuh di matanya
Mataram, katanya akan terus
diasuh ibu ratu dan ibu datu.
dipelihara sendang dari 8 penjuru
yang mengalirkan berkat tiada henti
lengannya selalu hangus, memeluk
waktu. mendekap syahadat
yang tak sanggup diejanya.
“ibu bumi sudah memberi
ibu bumi yang mengadili”*
Jogja, 2021
*lirik-lirik doa Gunretno dan Sukinah ‒petani kendeng‒ yang dibacakan pada acara Mata Najwa.
Lukisan Puisi Umami
Umami, lukisan yang kau peluk itu
adalah dunia yang riuh di tubuhku
pohon hayat seluas pendar plasma
nukleus, cangkang siput, kuda laut,
mamalia berkaki enam, dan kupu-kupu fana
mengaum dari kanvasmu. menuding tubuhku
seperti kanak-kanak yang tak ingin
menggambar makna dengan puisi
Umami, kuas yang kau gerus
sampai titik tinta penghabisan itu
adalah darah Agni, tempat matahari berekor
berakhir. tempat mimpimu mendarat di Planet Mars
tepat di genggamanku yang buta warna, seorang
penyair yang sudah harus menggali kubur
untuk puisinya yang baru lahir
persis di perayaan upacara air matamu
Jogja, 2021
Berziarah ke Dusun Sade
Umami, kau datang ke Sade
setelah melintasi sepasang selat sunyi
mengenakan mata kupu-kupu bening.
semalam, sebelah sayapmu tertinggal
setelah singgah di gili garam.
di gili, kau menyelam ke langit kirmizi
arsitektur rumah ibadah, candi abu,
pura api bawah laut, terumbu karang
dan boneka kura-kura sejauh 24 jam
sampai di rumah alang-alang kau membuka suara
kau pegang pundak penenun tua yang selamanya muda
yang mengenakan giwang cahaya, gelang akar bahar
dengan bibir hangus ‒mengunyah sirih‒
rambutnya bau pudak dan kembang sandat
“perkenalkan, namaku Sekar Kedaton” katamu.
ia menatapmu dengan mata tertup
“anakku, alirkan merah Jawa ke tubuhku.
aku sudah lama hidup tanpa ayah. setiap hari
aku menenun darah, menenun kinanti,
asmarandana, gambuh, dandanggula, durma
pangkur, megatruh, matahari dan rembulan” katanya.
tiba-tiba seekor kupu-kupu baka
hinggap di tanganmu. kupu-kupu
itu menuntun matamu, ke arah rumah alang
“ikutilah ia menenun ke dalam bale dalam bale
sebab, Tuhan yang kau cari bersemayam
di bilik sangken paraning dumadhi” katanya.
Jogja, 2021
Sepasang Sajak Kecil untuk Sita
I/ Luka Bunga
Sita. bagi bunga, mekar atau kuncup sama saja pedihnya
tapi ia, selalu tiba di hadapan kita dengan wajah yang teduh
dengan radang perih yang ia sembunyikan rapat-rapat
II/ Pertemuan Pertama
Sita, aku terhempas di dinding mural ini
di sudut terpencil dari matamu
warnapun pergi, dan barangkali
aku sudah tak dapat mengingat lagi
bagaimana pertemuan pertama kita
yang menggetarkan itu
Jogja, 2021
Mata Turun Tangis
seekor burung nuri tersenyum
mengenakan warna bunga naga di bibirnya
ia kembali ke sarang mata angin. saat
langit Jogja tiba-tiba mekar seperti tembikar
seperti bunga matahari terbakar embun
sementara, di kota raja ia meninggalkan
seorang penyair menulis puisi
puisi yang tak sanggup menulis kisahnya
sebab, telah lama ia berkenan
tak memberi arti pada kata-kata
tetapi, lukisan sepasang kupu-kupu
birahi beradu di balik hujan, menusuknya
seekor burung nuri telah kembali ke sarangnya
meninggalkan bayangan mata turun tangis
meninggalkan bayangan mata Dewi Rengganis
Jogja, 2021
Perjamuan Cahaya di Kaliopak
: M. Jadul Maula
di limasan lusuh itu, aku temui
seorang lelaki paruh baya yang selalu muda
ia mengandung sebatang pohon cahaya
pohon yang akarnya dari langit
pohon yang dahannya turun ke tingkap hati
pohon yang buahnya menghunjam tanah
pohon yang mekar di sitinggil kerajaan diri
seperti mata air yang berzikir sepanjang lakunya
ia mudakan kembali usia tuaku
usia yang bukan hak milikku
usia yang tumbuh sebagai isyarat berbagi kisah kasih
“aku manunggal dengan cipta
rasa dan karsa maka aku ada”
ditanamnya candi air
candi yang senantiasa
basah terbasuh cinta
dipeliharanya taman sari,
madu lebah dan rumah ibadah
untuk siapa saja, cahaya mengambil terangnya
didirikannya tenda
kemah sunyi untuk musafir malam
padang rembulan, sebagai pelitanya
sedang aku yang didera dahaga
senantiasa lega, minum perjamuan cahayanya
“hidup memang untuk singgah minum, Nak” katanya.
setiap subuh ia bangunkan
Da Hiyang Semar dalam tubuhku
membangunkan pewarah zaman
yang mengenakan kaca sebagai air mukanya
sebagai cermin diri bagi segenap jiwa jawi
jalan lahir sampai jalan kembali
ke haribaan Sang Rahman, Sang Rahim
Kaliopak, 2021