Menu

Pribumisasi Islam; Manifestasi Islam Kultural di Lombok

Barangkali hal yang paling umum dipahami oleh masyarakat mengenai sejarah awal perkembangan Islam di Indonesia adalah, keterangan yang menjelaskan tentang kedatangan Islam dengan cara damai. Sebab, sebagai pengetahuan bersama, Islam selalu dikisahkan tiba dan diterima oleh masyarakat Indonesia tidak dengan jalan penaklukan militer, kekerasan, apalagi paksaan. Melainkan, masuk dengan cara yang lebih halus, yakni dengan menggunakan pendekatan kultural. Pendekatan yang melibatkan dialog intensif antara doktrin-doktrin Islam dengan tradisi budaya lokal di tanah air.

Pendekatan atau dialog semacam ini, bukan hanya sebagai alasan mengapa Islam dapat diterima dengan mudah, tetapi juga menjadi semacam bentuk penyesuaian Islam terhadap tradisi kultural, di mana Islam hendak disemai, sehingga melahirkan produk kebudayaan baru yang dijiwai oleh spirit tauhid dan ajaran kemanusiaan. Yang mana dalam terminologi Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur disebut dengan istilah “Pribumisasi Islam”.

Pribumisasi Islam dalam Pandangan Gus Dur

Istilah pribumisasi Islam pertama kali dipopulerkan oleh Gus Dur di awal tahun 80-an. Gagasan pribumisasi Islam ini muncul sebagai bentuk respon Gus Dur terhadap, menguatnya kecenderungan purifikasi agama, sebuah gerakan yang lebih cenderung mengarah ke bentuk “arabisasi” ketimbang islamisasi. Gerakan ini bertujuan untuk menyeragamkan atau memformalisasikan agama dalam segala aspek, baik dalam aspek kehidupan sosial budaya masyarakat yang ingin digantikan dengan “Tradisi Budaya Arab”, maupun dalam aspek hukum ketata negaraan, yang berusaha memaksakan Quran-Hadis sebagai landasan formil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecenderungan inilah, yang dinilai oleh Gus Dur, berpotensi mengancam masyarakat Indonesia, tercerabut dari akar-akar kulturalnya.

Gagasan pribumisasi Islam Gus Dur ini, boleh dibilang merupakan bentuk sintesis dari perjumpaan Islam yang mengusung nilai-nilai universal, dengan tradisi budaya lokal yang bersifat partikular. Perjumpaan ini sekiranya juga dapat dibaca, sebagai hasil rekonsiliasi dan atau akomodasi Islam terhadap tradisi budaya yang dijumpai Islam di wilayah persemaian (di luar daerah Arab, asalnya).

Kendati demikian, Gus Dur menekankan bahwa, sasaran wilayah kajian pribumisasi Islam adalah wilayah yang menyangkut manifestasi kehidupan sosial kultural masyarakat belaka, bukan wilayah ajaran yang menyangkut inti keimanan dan kewajiban syariat Islam. Sehingga dengan tegas Gus Dur menolak, jika pribumisasi Islam, disalah pahami sebagai bentuk sinkretisme, karena pribumisasi Islam tujuannya bukanlah untuk memadukan teologi Islam dengan sistem kepercayaan lain. Melainkan, mempertimbangkan kebutuhan-kebuthan lokal untuk merumuskan hukum agama, tanpa harus merubah agama. Demikian juga sebaliknya, bukan untuk meninggalkan norma agama demi mengukuhkan tradisi budaya, tetapi mengakomodir kebutuhan-kebutuhan tradisi budaya, menggunakan ruang dialog yang disediakan oleh nash agama melalui regulasi kaidah usul fiqh (Wahid, 2021).

Sehingga dengan tegas Gus Dur menolak, jika pribumisasi Islam, disalah pahami sebagai bentuk sinkretisme, karena pribumisasi Islam tujuannya bukanlah untuk memadukan teologi Islam dengan sistem kepercayaan lain.

Secara singkat, Gus Dur mengilustrasikan pribumisasi Islam itu sebagai bagian dari sejarah, baik di tempat asalnya maupun di wilayah-wilayah persemaian lainnya, termasuk di Indonesia. Yang mana, kedua sejarah tersebut membentuk sebuah “sungai besar”. Sungai yang terus mengalir dan terus dimasuki kali-kali kecil lainnya. Kendati secara kualitas, airnya bisa berubah, namun sungai itu, teteap “sungai” yang sama (Wahid, 2021). Kurang lebih maksud dari perumpamaan Gus Dur tersebut adalah, pergulatan Islam dengan realitas sejarah tidak lantas mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi kehidupan beragama dari pemeluknya saja.

Berangkat dari pandangan Gus Dur di atas, sekiranya dapatlah dimengerti bahwa pada dasarnya Islam yang kita warisi hari ini, merupakan hasil dari peroses panjang, penetrasi Islam terhadap budaya lokal kita di masa lalu. Suatu peroses yang melibatkan dialog intensif antara doktrin-doktrin Islam dengan beragam tradisi, tata nilai lokal yang lebih dulu hidup di tengah-tegah masyarakat Indonesia.

Problem Pribumisasi Islam di Lombok

Dalam konteks Lombok, sejarah Islam belum menunjukkan perkembangannya yang signifikan. Rekonstruksinya masih terfokus pada narasi islamisasi pada abad ke-16, yang dipelopori oleh Sunan Prapen, keturunan Sunan Giri dari Gersik, Jawa Timur. Kajian-kajian tersebut, saya kira belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai proses Islamisasi di masa lalu. Dinamikanya pun tidak banyak berubah, sehingga belum dapat menawarkan gambaran yang lebih utuh, tentang bagaimana proses penubuhan Islam di Tanah Sasak ini.

Hal ini dapat dimengerti, dari minimnya kajian sejarah yang berfokus pada telaah, mengenai proses dialog antara Islam dan tradisi pra-Islam yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak-Lombok, baik sebelum maupun setelah kedatangan Sunan Prapen. Padahal, di tempat lain, pengkajian bentuk-bentuk dialog awal semacam ini, merupakan bagian terpenting yang dapat dijadikan rujukan untuk menggali dan memahami proses pembentukan identitas keberislaman masyarakat lokal mereka. Oleh karena itu, pembahasan tentang pribumisasi Islam, khususnya dalam konteks Lombok, masih sangat relevan, untuk membangun perspektif yang lebih kosmopolitan dan matang dalam menyikapi realitas keberagaman mengenai cara hidup berislam sekaligus berbudaya masyarakat, yang sejatinya selalu plural atau tidak pernah tunggal.

Oleh karena itu, pembahasan tentang pribumisasi Islam, khususnya dalam konteks Lombok, masih sangat relevan, untuk membangun perspektif yang lebih kosmopolitan dan matang dalam menyikapi realitas keberagaman mengenai cara hidup berislam sekaligus berbudaya masyarakat, yang sejatinya selalu plural atau tidak pernah tunggal.

Di samping itu, pemahaman tentang Pribumisasi Islam Sasak ini sangat penting untuk mengatasi kecenderungan diskriminiasi terhadap manifestasi Islam kultural yang ada di Lombok. Sebab, seperti keterangan yang dikemukakan oleh M. Jadul Maula, bahwa bentuk-bentuk tradisi Islam kultural di Indonesia, sering digunakan sebagai dalih atau alasan untuk meminggirkan Komunitas Islam tertentu dengan sebutan Islam Lokal, Islam Adat, Islam Tradisional atau Islam Sinkretik. Bahkan tak jarang diberi streotip tanpa alasan yang jelas, sebagai praktik penyimpangan terhadap kemurnian Islam (Maula, 2019). Sehingga tak heran, beberapa dekade ini, daerah-daerah Lombok yang teridentifikasi atau diperkirakan sebagai titik awal pertumbuhan Islam, sebut saja di antaranya seperti; Daerah Bayan, Pejanggik, Pujut, Jerowaru, Sekotong, dan daerah pinggiran Lombok lainnya, kerap kali dilabeli stigma negatif sebagai daerah-daerah yang masih mengamalkan paraktik-praktik “sampar” (baca; Islam Sinkretis), karena dianggap sesat, memadukan syariat Islam dengan tradisi budaya lama (pra-Islam) dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat maupun tradisi keagamaan lainnya.

Bentuk-bentuk Pribumisasi Islam di Lombok

Diskriminasi terhadap manifestasi Islam kultural yang ada di Lombok tersebut, boleh jadi disebabkan oleh cara pandang masyarakat yang kurang tuntas, kemungkinan karena mereka memperoleh kajian agam hanya dari satu sumber otoritas saja. Sehingga, ketika melihat praktik-praktik Islam kultural di luar dari pemahaman yang mereka dapatkan selama ini, dengan segera mereka menganggap hal tersebut sebagai bentuk-bentuk penyimpangan.

Oleh karena itu, sangat penting bagi otoritas-otoritas keagamaan, membangun perspektif yang lebih holistik, untuk menyikapi masalah ini. Caranya, dengan melakukan kajian yang mendalam mengenai pribumisasi Islam, dan berupaya melakukan pengembangan terhadap nash agama. Hasil kajian mereka inilah, yang perlu difatwakan, sebagai dasar hukum atau pegangan bagi masyarakat untuk menilai praktik-praktik keberislaman di sekitar mereka. Sebab, bentuk-bentuk diskriminasi seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, tidak akan terjadi andai kata, masyarakat memiliki wawasan yang luas untuk memaknai arti perbedaan, dan menerima kemestian akulturasi Islam dengan tradisi budaya lokal sebagai proses yang wajar (alamiah).

Sebagai contoh, pola pembangunan masjid kuno di Lombok, seperti Masjid Kuno Gunung Pujut, Masjid Kuno Rembitan, Masjid Kuno Bayan dan masjid kuno lainnya, menunjukkan hal ini. Masjid-masjid tersebut tidak hanya, secara arsitektur memiliki kemiripan dengan masjid-masjid kuno di Jawa, seperti Masjid Demak misalnya, tetapi juga memiliki ciri khas yang menarik; karena hampir semunya dibangun di atas bukit atau setidaknya di dataran tinggi.

Tentang kecenderungan ini mengingatkan saya pada konsep kepercayaan dalam agama Hindhu-Buddha (mungkin agama masyarakat Suku Sasak sebelum Islam masuk). Dalam kepercayaan Hindhu-Buddha gunung atau meru merupakan tempat yang paling agung dan mulia, karena gunung diyakini merupakan tempat bersemayamnya para dewa (Poesponegoro & Notosusanto, 1984). Dugaan saya, pola pembangunan tempat ibadah seperti ini sengaja diadopsi oleh penyebar Islam awal di Lombok, sebagai bagian dari strategi untuk mendekati masyarakat agar mereka tertarik dengan Islam. Seraya, secara gradual mubalig-mubalig itu, meluruskan niat keimanan masyarakat ke arah tauhid yang benar, sesuai dengan ajaran Islam.

Pola hubungan yang sehat antara Islam dan budaya lokal masyarakat Sasak ini sepertinya juga tercermin dalam tradisi roah. Kendati pola tradisi ini merupakan pola umum dalam praktik pelaksanaan Islam kultural di daerah lain. Namun tradisi roah tetap perlu saya kemukakan sebagai pembeda, antara tradisi Islam kultural yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak-Lombok dengan tradisi Islam kultural di tempat lain.

Istilah “roah” kemungkinan besar merupakan hasil adopsi dari nama bulan dalam sistem penanggalan Hijriyah, yakni bulan Sya’ban, yang berlaku bagi masyarakat Sasak. Dalam prakteknya, secara simplisitis roah dihubungkan dengan tradisi mengirim doa kepada arwah keluarga yang telah meninggal dunia, namun seiring waktu istilah ini berkembang menjadi tradisi sosial-keagaman untuk mengekspresikan banyak hal, seperti perasan haru, harap, maupun rasa syukur yang mendalam masyarakat atas limpahan karunia Ilahi.

Kini, roah telah menjadi tema besar dalam setiap acara hajatan di kalangan masyarakat Sasak. Segala bentuk kegiatan sosial, yang berkaitan dengan acara hajatan hidup (urip) maupun kematian (pati), seringkali diaktualisasikan dengan menyelenggarakan roah. Tata pelaksanaannya cukup sederhana, yakni dengan menyelenggarakan acara dzikiran dan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang kiai kemudian ditutup dengan jamuan makan oleh tuan rumah. Perjamuan ini diniatkan sebagai sedekah atau amal jariyah, ragam makanan yang disajikan, disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah, konsep acaranya dan kuliner khas setempat.

Rekonsiliasi dan akomodasi Islam terhadap adat kebiasaan masyarakat Suku Sasak ini juga dapat dicermati dalam tradisi pernikahan. Dalam realitas kehidupan masyarakat Suku Sasak, secara umum berkembang suatu pemahaman bahwa jodoh, rizki dan kematian adalah Hak Tuhan yang tidak seorang pun manusia boleh mengatur atau mengintervensinya. Implikasi logis dari pandangan ini, terutama dalam konteks pernikahan adalah, pembicaraan apa pun mengenai persiapan pernikahan, seperti lamaran, jumlah mahar dan lain sebagainya, kurang bisa diterima oleh masyarakat yang masih ketat mempertahankan adat. Hingga solusi yang ditawarkan adalah,  calon pengantin perempuan harus dibawa lari, pergi dari rumah orang tuanya oleh calon pengantin laki-laki. Tentu, perginya perempuan dari rumah dengan tujuan menikah ini, telah lebih dahulu direncanakan atau telah disepakati bersama oleh kedua mempelai (calon laki-laki dan perempuan), bukan meninggalkan rumah karena paksaan dari pihak lain.

Meskipun, pola adat atau kebiasaan seperti ini dapat dihubungkan dengan kaidah; al-adah muhakkamah (adat istiadat sebagai dasar hukum). Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat Sasak yang kurang setuju dengan cara membawa lari pengantin perempuan ini, bahkan mereka tak segan-segan menyebutnya sebagai cara pra-nikah yang tak islami. Padahal, saya kira pola tradisi atau kebiasaan masyarakat ini, memiliki peranan yang sangat penting sebagai ruang untuk menampung aspirasi lokal mengenai pemahaman tentang nilai kebijaksanaan yang mereka pegang teguh, atau kearifan lokal yang sejatinya juga berpijak pada pandangan agama. Sebab, bagaimanapun juga, penyelenggaraan acara pernikahan ke tahap selanjutnya, kedua mempelai wajib dinikahkan sesuai dengan ketentuan agama (Islam) yang berlaku. Adapun praktik membawa lari calon pengantin perempuan, hanyalah merupakan bagian dari tradisi pra-nikah yang tidak diatur oleh agama, sehingga tidak diwajibkan diberlakukan untuk masyarakat Sasak-Lombok, melainkan hanya sebagai alternatif atau cara lain yang telah dianggap wajar sebagai norma adat.  

Demikianlah beberapa bentuk-bentuk pribumisasi Islam yang dapat saya kemukakan dalam kesempatan kali ini. Kendati masih banyak tradisi-tradisi lain yang belum sempat saya singgung seperti misalnya; maulid adat, mi’rat, lebaran topat, ngayu-ayu, ngerantok, doyan nade, nyoyang, rebo bontong dan tradisi-tradisi lainnya. Namun saya kira, beberapa contoh yang telah saya singgung sebelumnya, telah cukup memberikan gambaran mengenai persoalan pribumisasi Islam dalam konteks masyarakat Sasak-Lombok. Sepertinya, pribumisasi Islam di Lombok tidak hanya berfokus pada penereimaan ajaran agama semata, tetapi juga mengarah pada upaya untuk menemukan titik temu antara tradisi lokal dan ajaran Islam, tanpa mengorbankan esensi dari keduanya. Dengan demikian, dapatlah dimengerti bahwa agama dan budaya lokal, sejatinya tidak pernah saling menegasi, melainkan saling memperkaya dan membentuk identitas keagamaan yang lebih berakar pada konteks sosial kultural masyarakat setempat. Wallahua’lam!


Bahan Bacaan:

Bizawi, Z. M. (2003). Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam. Afkar, 33-67.

Maula, M. J. (2019). Islam Berkebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Kaliopak.

Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (1984). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Wahid, A. (2021). Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok: Desantara.

Wahid, A. (2024). Tuhan Akrab Dengan Mereka. DKI Jakarta: YBAW.

0
1740
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.