Proses Kreatifku di Balik Cerpen “Keluarga Kudus”

DARI mana sebuah gagasan/ide untuk menulis cerpen (juga novel) berasal? Bagaimana cara mencari/ menggali dan mendapatkan ide untuk menulis cerpen?

            Kukira ini pertanyaan-pertanyaan yang nyaris selalu dilontarkan oleh para peserta kelas menulis fiksi dan workshop kepenulisan fiksi, luring maupun daring. Jawabanku (lewat pengalaman sesekali mengisi kelas dan workshop) biasanya adalah bisa dari mana saja dan bisa dengan cara apapun. Meskipun aku sadari betul bahwa cara-cara menggali ide yang ditempuh oleh penulis lain belum tentu cocok denganku dan bisa aku lakukan. Contohnya, aku tidak bisa mencari gagasan untuk menulis fiksi dengan cara duduk dan berjongkok di kloset sambil buang air. Aku juga tak bisa duduk berjam-jam menatap layar kosong di laptop atau monitor PC demi memaksa sebuah ide keluar, seperti halnya aku tak mungkin bisa menulis di tengah suasana berisik sebuah kedai kopi atau kafe.

            Setiap penulis barangkali punya keunikannya tersendiri dalam hal menggali dan mendapatkan gagasan. Itu bisa kita baca, misalnya dari buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang yang dieditori oleh Pamusuk Eneste atau memoar-memoar dan otobigrafi para sastrawan.

Namun, selalu saja ada kesamaan, sesuatu yang umum, dari cara seorang penulis menggali dan mendapatkan ide untuk menulis: Entah itu kenangan masa kecil dan remaja, pengalaman kesehariannya, tulisan di bak sebuah truk, obrolan sekadar para tetangga, percakapan dua penumpang bus yang duduk di dekatnya, gunjing alias gosip di warung kopi-pasar-pos ronda-tempat kerja-posyandu-tempat pengajian-kios cukur/ salon, dan lain-lain. Atau cerita-cerita yang dikisahkan kepada kita oleh kakek-nenek, paman-bibi, ayah-ibu, kakak-adik, kekasih dan suami-istri. Ide-ide itu juga bisa muncul begitu saja dari film dan berita televisi yang kita tonton, berita dan iklan di surat kabar/majalah maupun cerita-cerita fiksi karya penulis lain yang kita baca.

Atau jika memang diperlukan, adakanlah riset! Kumpulkanlah data-data referensi entah itu dari buku-majalah-koran atau arsip tua, dan lakukanlah wawancara dengan orang-orang! Beberapa tahun silam, aku takkan memilih Belanda sebagai tujuan program residensiku (karena aku lebih tertarik pada negara lain) kalau bukan karena aku membutuhkan tunjangan banyak data untuk merampungkan novelku. Sebab sebagian besar setting waktu novelku berlangsung pada era kolonial Belanda, penduduk Jepang, dan masa-masa sebelum aku lahir (pada tahun 1977). Dua bulan aku mesti bercapek-capek di Perpustakaan Universitas Leiden dan Arsip Nasional Denhaag demi mengkumpulkan bahan-bahan yang aku perlukan itu! Itu pun masih jauh dari cukup. Tak mungkin aku menulis novelku (yang sampai sekarang belum jadi itu) hanya dengan mengandalkan imajinasi dan pengalaman riil diriku sendiri atau cuma berdasarkan ingatan samar-samarku pada cerita-cerita kakek, ayah, dan ibuku saja. Taik celeng itu!

Mari aku kasih contoh sederhana perihal bagaimana seorang penulis bisa saja memperoleh gagasan untuk cerpen atau novelnya! Suatu malam seorang penulis, sebut saja namanya Jintong, baru pulang dari membeli rokok di kios ketika mendengar orang-orang berteriak-teriak di jalan: “Mang Amir bunuh diri! Mang Amir bunuh diri!”

Kendati tak kenal dekat, si Jintong penulis kita tahu kalau Mang Amir yang tersebutkan itu tak lain adalah seorang lelaki paruh baya yang kerap menjadi muazin di masjid dekat kos-kosannya. Bahkan beberapa kali ia sempat mendengarkan lelaki itu menyampaikan khotbah Jumat. Khotbah Mang Amir cukup bagus dan selalu sejuk, isinya kebanyakan tentang fiqih. Karena itu, Jintong cukup kaget.

Apa yang menyebabkan Mang Amir sampai nekat bunuh diri seakan-akan ia bukanlah seorang beriman yang paham agama dan takut akan dosa? Sakit menahun, terlilit hutang dalam jumlah besar, mendapatkan aib keluarga? Rasanya semua itu tak masuk akal untuk orang seperti Mang Amir. Pikiran-pikiran itu terus saja menghantui Jintong hingga ia tak bisa tidur. Teriakan “Mang Amir bunuh diri!” setiap saat terngiang-ngiang lagi di telinganya. Atau jangan-jangan ini bukan kasus bunuh diri? Batinnya rada ciut.

Karena tak tahan dengan siksaan rasa penasaran, maka Jintong pun memutuskan untuk pergi menggali informasi ke masjid dan para tetangga Mang Amir. Ternyata apa yang ia dapatkan hanyalah cerita-cerita simpang-siur yang bukan saja tidak memuaskannya tetapi justru membuatnya semakin bingung. Namun begitu, cerita-cerita simpang-siur yang ia dengar dari orang-orang itulah yang ia kemudian kembangkan lewat imajinasinya menjadi sebuah cerpen tentang seorang muazin yang ditemukan mati tergantung di palang-palang kamar mandi. Sebuah cerpen dengan kalimat pembuka, “Mang Fuad bunuh diri! Mang Fuad bunuh diri!”

Jangan tanyakan kepadaku seperti apa isi cerpen karya Jintong itu atau apakah itu sebenarnya berasal dari salah satu cerpenku sendiri. Kalau ada kawan-kawan yang ingin mengambil contoh ini untuk dikembangkan menjadi cerpennya sendiri, ya, ambil saja.

***

TAK ada satu pun dari cerpen-cerpenku (apalagi novel yang sedang aku tulis) yang murni berdasarkan imajinasi alias khayalan belaka! Apalagi berkat renungan kloset! Semua cerpenku, baik yang sudah dipublikasikan di surat kabar dan majalah maupun yang belum, baik yang sudah kuterbitkan dalam buku kumpulan cerpen atau belum, semuanya memiliki jejak referensi atau narasumber. Termasuk cerpen-cerpenku paling konvensional yang terhimpun dalam kumcer pertamaku Malam Buta Yin (2009). Ya, semuanya!

Gagasan-gagasan melahirkan cerpen-cerpen itu sebagian berupa kenanganku dan sebagian adalah hal-hal/peristiwa baru yang aku temui, namun sebagian lagi merupakan cerita-cerita yang aku dengar dari orang lain terutama kakek, ayah, dan ibuku! Yang kemudian aku kembangkan sedemikian rupa, dengan mempertimbangkan beragam teknik penyampaian dan sudut pandang. Tentu saja yang paling baik dan asyik menurut diriku sendiri. Aku tak ada urusan dengan selera pembaca dan komentar kritikus ketika menulis, meski tetap harus menimbangkan jumlah halaman. Cukup banyak di antara cerpen-cerpen itu yang menuntutku untuk mempelajari lebih banyak referensi (termasuk istilah-istilah) sebelum atau sewaktu aku menuliskannya.

Cerpenku “Pan Ngiat Pan” (dalam Malam Buta Yin) adalah sebuah contoh cerpen yang aku kerjakan dengan kurang hati-hati. Cerita itu aku kembangkan dari cerita ayahku di masa kecil tentang Dewi Bulan Song Ngo, ritual sembahyang bulan, dan tradisi mempersembahkan anak yang sering sakit-sakitan atau rewel kepada sang dewi untuk dijadikan anak angkat (agar si anak tak lagi sakit-sakitan atau rewel). Kebetulan seorang bibiku pernah diangkat anak oleh Song Ngo, karena itu namanya pun diganti oleh sang dewi melalui seorang perantara dalam ritual kecil.

Kisah tentang bibiku inilah yang aku gabungkan dengan cerita-cerita ayahku untuk melahirkan sebuah cerita baru yang aku bumbui jadi kisah sedih, di mana bibiku aku jadikan ibunya tokoh “Aku” yang sudah meninggal dunia dan begitu dirindukan oleh ayahnya. Sehingga setiap tahun si ayah selalu menggelar sembahyang bulan untuk mendiang istrinya yang seharusnya tak wajib lagi dilakukan. Kesalahanku dalam cerpen ini adalah penguasaan aksara Cinaku pada waktu itu yang masih amat kurang. Akibatnya aku melakukan hal fatal dalam penulisan nama yang lafalnya dalam bahasa Hakka telah membuatku terkecoh. Padahal makna nama ini menempati posisi yang cukup penting dalam ceritaku. Kekeliruanku soal nama tersebut barulah aku sadari dan aku perbaiki, termasuk dengan mengedit beberapa bagian cerita, pada saat cerpen ini hendak diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin pada tahun 2016.

Ada cerpenku yang terilhami oleh sebuah adegan dalam film yang aku tonton, ada cerpenku yang berangkat dari sepotong kalimat yang diucapkan oleh seorang tokoh dalam novel orang lain, juga yang bertolak dari obrolanku dengan tukang cukur sambil pangkas rambut dan dari topik yang sedang dibahas rama-ramai di warung kopi, lalu ada pula cerpen aku tulis hanya berdasarkan rujukan dari artikel-artikel di koran dan majalah. Yang terakhir ini contohnya ada dalam cerpenku yang berjudul “Sui Sien” (juga dalam Malam Buta Yin). Yakni sebuah cerita tentang seorang gadis Cina yang membakar dirinya dalam ritual Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api. Bagaimana persisnya isi cerpen ini tak perlu aku kisahkan kembali di sini. Intinya adalah aku belum pernah sama sekali menginjakkan kaki di Bagan Siapi-api dan melihat ritual laut tersebut. Semua hal tentang kota itu dan tradisi Bakar Tongkang oleh kalangan masyarakat Cina di sana berikut sejarahnya aku peroleh dari artikel-artikel yang aku baca. Yang betul-betul aku kuasai hanyalah budaya, cara pandang dalam kehidupan sehari-hari, dan kepercayaan tradisional orang Cina secara umum saja. Tetapi aku lumayan puas dengan cerpen ini.

Sebut saja judul cerpenku yang mana pun yang bisa ditemukan lewat pencarian google, tak ada satu pun dari cerpen-cerpen itu yang hanya bertolak dari lamunan alias imajinasiku belaka! Semuanya punya pijakan di dunia nyata entah itu berupa kenangan, pengalaman terbaru, hasil riset dan bacaan, atau cerita-cerita yang pernah aku dengar dari orang lain (diceritain maupun hasil nguping maupunhasil obrolan). Dan seringnya hal-hal tersebut aku campur-aduk menjadi satu cerita.

Sebut saja judul cerpenku yang mana pun yang bisa ditemukan lewat pencarian google, tak ada satu pun dari cerpen-cerpen itu yang hanya bertolak dari lamunan alias imajinasiku belaka! Semuanya punya pijakan di dunia nyata entah itu berupa kenangan, pengalaman terbaru, hasil riset dan bacaan, atau cerita-cerita yang pernah aku dengar dari orang lain (diceritain maupun hasil nguping maupunhasil obrolan). Dan seringnya hal-hal tersebut aku campur-aduk menjadi satu cerita.

Keluarga Kudus dan Tuduhan Saut

SOAL kualitas karyaku tentu saja itu merupakan hak penuh bagi pembaca maupun kritikus untuk menilainya, lewat esai kritik sastra maupun sekadar komentar. Itu bukanlah urusanku sebagai penulisnya. Tak etis aku terlibat dalam hal begini. Seperti halnya ketika aku mencoba menulis kritik atas karya-karya penulis lain, aku tak suka jika sang penulis berkoar-koar tak terima dengan kritikanku tanpa argumentasi memadai.

            Namun jika yang dipersoalkan adalah proses kreatifku, yakni dari mana aku memperoleh bahan mentah/ gagasan cerpen dan bagaimana caraku mengolahnya, atau mana bahan yang boleh aku kembangkan menjadi cerpen atau tidak; tentunya ini perkaranya lain lagi. Apalagi yang dilontarkan oleh Saut Situmorang dalam komentarnya di status Facebook Ida Fitri (29 Juni 2022) itu bersifat tuduhan terang-terangan, yakni aku telah “menulis ulang cerita lisan” yang disampaikan oleh istriku Yonetha Rao ke dalam bentuk cerpen “Keluarga Kudus”. Dan itu—menurutnya lagi—“bisa dicap sebagai plagiarisme”! Berikut ini saya kutipkan dua komentar Saut menjawab Ida Fitri tersebut:

Ida Fitri Menulis ulang apa yang diceritakan orang lain ya minimal harus disebutkan. Apalagi penulisnya kan BUKAN orang asli setting “cerpen”nya dan gak pernah mengalami suasananya langsung

Ida Fitri Kerna sumber cerita TIDAK berbentuk Tulisan tapi oral maka gak apa-apa ya? Gak bisa dicap sebagai plagiarisme?

            Aku tidak keberatan apabila Saut mengatakan bahwa cerpenku ini terinspirasi oleh cerita-cerita dan data (baca: persoalan derma dan sumbangan wajib di gereja) dari Yonetha yang disampaikannya secara lisan kepadaku, karena memang begitulah kenyataannya. Tanpa cerita-cerita kecil dan data tersebut, tentunya aku takkan memperoleh gagasan untuk menulis cerpen “Keluarga Kudus”. Meskipun di sisi lain kala itu (bahkan sebelum ia datang ke Yogyakarta dan menikah denganku) aku memang juga ingin mengadakan riset untuk menulis sebuah novel yang berlatar Timor, yang bahkan judulnya pun sudah aku temukan, yakni Noemetan.  Tentunya ia, aku harapkan, bisa menjadi salah satu narasumber novelku ini.

            Permasalahannya di sini adalah benarkah aku memang telah melakukan “penulisan ulang” atas cerita lisan istriku atau lebih kasarnya lagi “menyalin ulang” kisah-kisah kecil yang ia sampaikan kepadaku lewat obrolan itu? Atau, aku justru menjadikan kisah-kisah kecil lisannya itu sebagai bahan mentah dan titik tolakku untuk mengembangkan sebuah cerita baru dalam format cerpen koran? “Menulis ulang” tentu saja berbeda dengan “mengembangkan” dan “terinspirasi”! Untuk menanggapi tudingan Saut kepadaku ini, pastinya pertama-tama aku harus kemukakan dulu apa saja cerita-cerita dan data yang disampaikan kepadaku oleh istriku, juga bagaimana persisnya ia menyampaikan.

            Unsur/ bahan materi dari cerpen “Keluarga Kudus” paling awal dan juga paling penting yang diceritakan secara lisan oleh Yonetha Rao kepadaku dalam pembicaraan pribadi kami di rumah adalah data berupa fakta adanya kewajiban membayar uang derma dan sumbangan di gereja asalnya yang jumlahnya ditentukan oleh kebijakan pastor paroki setempat. Di mana “derma dan sumbangan wajib” ini nantinya akan digunakan untuk membangun gereja baru menyongsong satu abad berdirinya paroki asal istriku.

Adanya “derma dan sumbangan wajib” dari umat ini bahkan sudah disampaikan oleh Romo A sejak ia pertama kali menjabat sebagai pastor paroki. Dan untuk itu ia juga menganjurkan agar umat bisa mencicil, yang artinya di sini derma dan sumbangan itu tidaklah mesti dibayar sekaligus. Yang jadi masalah dalam hal ini kemudian adalah banyak umat yang belum juga melunasi derma dan sumbangan kendati sudah bertahun-tahun (hal ini jadi lebih rumit ketika anggota keluarga mereka bertambah) dan mereka jadi panik ketika membutuhkan sesuatu dari gereja. Sebab sang romo sudah mewanti-wanti bahwa barangsiapa yang anggota keluarganya ada yang belum melunasi uang derma dan sumbangan, ia tidak akan dilayani oleh paroki, termasuk dalam hal mengurus surat liber dan sakramen pernikahan, pembaptisan anak, dan penerimaan komuni pertama anak (sambut baru, istilah di sana). Tentu ada ragam alasan dari umat terkait hal ini, dari masalah ekonomi sampai (barangkali) faktor kebiasaan.

Aku yang dibesarkan oleh keluarga Katolik dan selama belasan tahun hidup di tengah-tengah lingkungan Gereja Katolik (bahkan sempat jadi aktivis muda-mudi Gereja sebelum menjadi mualaf pada 2004) cukup terkejut saat mendengar hal ini. Karena di paroki asalku di Belinyu-Bangka (Keuskupan Pangkalpinang), kebijakan seperti ini tak pernah ada, dan aku juga belum pernah mendengarnya di wilayah keuskupan lain. Ada pun maksud Yonetha menyampaikan hal ini kepadaku tentunya juga karena kebijakan tersebut berhubungan dengan kepentingan pribadi kami sebagai pasangan maupun nasib anak-anak kami di Timor. Artinya dalam kasus ini, mau tak mau aku harus ikut merogoh kocek. Sebab selain anak-anak kami belum “sambut baru”, Yonetha juga membutuhkan surat liber dari gereja untuk membuktikan bahwa dirinya tidak sedang terikat dalam pernikahan dengan siapa pun dan belum pernah menerima sakramen pernikahan (Gereja Katolik sangat menentang perceraian).

Atas dasar kepentingan pribadi kami inilah, kemudian aku menyelidiki lebih lanjut perihal derma dan sumbangan wajib tersebut. Selain menghubungi sahabatku Romo Januario Gonzaga, Pr dan adik Frater Eki Junaedi, OCD; aku juga menelepon Felix K. Nesi. Bukan saja karena aku tahu Felix selama ini sering bicara lantang tentang beragam kebijakan Gereja, tetapi juga karena ia berasal dari wilayah yang sama dengan istriku. Aku bicara cukup panjang dengan Felix via telepon, di mana ia menjelaskan kepadaku banyak detail yang belum pernah aku dengar dari Yonetha. Sementara dari Romo Januario dan Frater Eki, aku memperoleh informasi bahwa keuskupan asal Yonetha adalah keuskupan yang berdikari. Karena itu, Gereja amat mengandalkan sumbangsih dari umat.

            Seperti yang telah aku katakan dalam diskusi online pada malam Anugerah Cerpen Kompas (28 Juni 2022), aku tidak mengemukakan persoalan ini lewat opini di koran (walau awalnya kepikiran) lantaran sebagai cerpenis aku berpikir jika persoalan ini aku sampaikan lewat apa yang dipahami sebagai fiksi, kritikanku terhadap kebijakan tersebut mungkin tidak bakal terlalu menohok sasaran.

            Unsur/ bahan materi dari cerpen “Keluarga Kudus” kedua yang disampaikan oleh Yonetha cuma berupa satu kisah lucu yang ia dengar dari orang lain, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan data-fakta sumbangan dan derma wajib di atas. Kisah lucu itu disampaikannya pertama kali kepadaku pada pada 26 Desember 2020 yakni pada Pesta Keluarga Kudus Nazareth. Di mana ia tiba-tiba teringat pada kisah lucu yang ia dengar tersebut karena peristiwa cerita itu memang berlangsung pada saat misa Pesta Keluarga Kudus (beberapa tahun silam). Cerita kecil yang keluar dari mulut Yonetha itu bunyinya kira-kira adalah sbb:

Pernah ada kejadian saat sedang misa Pesta Keluarga Kudus di tempat kami, ketika pasangan-pasangan keluarga kudus sedang berbaris masuk ke dalam gereja, Mama B dibisiki oleh seorang tante: “Mama Tua, itu keluarga kudus son ada yang barular ko?” (Artinya: “Mama Tua, orang-orang yang menjadi pasangan keluarga kudus itu tidak adakah yang ber-ularkah?” [maksudnya berselingkuh]). Bisikan itu membuat si Mama B tertawa cekikikan.

Aku dan Yonetha pun sama-sama tertawa saat ia selesai bercerita kala itu. Cuma itu saja ceritanya tentang keluarga kudus dari Yonetha.  Tak lebih dan tak kurang!

Sedangkan unsur/ bahan materi ketiga (yang terakhir) dari Yonetha hanyalah cerita tentang seorang Oom di kampung yang selalu melunasi uang derma dan sumbangan wajib gereja namun ia suka berjudi. Ya, yang terakhir ini memang bertalian dengan data-fakta derma dan sumbangan wajib yang meresahkan kami di atas. Ceritanya tentang si Oom, ya, hanya sebatas itu! 

Karena aku merasa kedua kisah kecil ini cukup lucu, maka ketika Raudal Tanjung Banua dan Saut Situmorang main ke rumah, aku pun meminta Yonetha untuk menceritakan kedua kisah itu kepada mereka. Sekali lagi, aku yang minta. Raudal yang mendengar kedua kisah ini terlebih dahulu karena memang ia yang lebih dulu main ke rumah. Orang-orang yang mendengar kedua kisah ini dari Yonetha (kemudian juga dariku) juga bukan hanya Raudal dan Saut saja, tetapi masih ada beberapa teman lain yang bukan berasal dari lingkungan sastra, termasuk via telepon dan video call.

Sementara fakta mengenai derma dan sumbangan wajib yang menjadi keresahan kami itu diceritakan baik kepada Raudal maupun Saut oleh kami berdua secara bersama-sama. Indrian Koto dan Mutia Sukma juga tahu cerita ini sedikit (semoga mereka ingat). Kami masih ingat kalau kami pernah mengeluhkan kepada mereka betapa ribetnya pernikahan Katolik di Timor, yang belum lagi ditambah dengan permasalahan adat dan gengsi masyarakat.

Kalau soal misa Pesta Keluarga Kudus yang menghadirkan pasangan-pasangan yang berperan sebagai pasangan keluarga kudus sih, itu hal yang sudah jadi tradisi dalam Gereja Katolik di banyak wilayah, termasuk wilayah Keuskupan Pangkalpinang!

Hanya itu saja bahan materi cerpen “Keluarga Kudus” yang berasal dari istriku! Kedua kisah kecil lucu dari Yonetha tersebut kemudian aku gabungkan jadi satu dan aku kembangkan sedemikian rupa dengan persoalan uang derma dan sumbangan wajib sebagai konflik dan latar belakang masalahnya. Lantas, dari sudut pembacaan mana aku bisa dituding telah menulis ulang cerita Yonetha???

Apakah Yonetha ada menceritakan peristiwa-peristiwa lain yang berlangsung dalam cerpenku itu? Apakah semua dialog/ percakapan para tokoh cerpen itu—baik dalam rapat Kelompok Lingkungan maupun apa yang dikatakan Romo Linus dalam homili (khotbah) juga berasal dari Yonetha, termasuk gosip para mama dan tante-tante? Apakah Yonetha pernah bercerita bahwa si Oom hendak menggandeng janda agar bisa ikut menjadi pasangan keluarga kudus? Sama sekali tidak! 

Yang aku minta dari Yonetha saat aku mengedit cerpen itu adalah kosakata bahasa Melayu Kupang dan sedikit kosakata bahasa Dawan. Itu semua menurutku berguna untuk menguatkan warna lokal cerpen saja. Semua kosakata itu baru aku masukkan kemudian sebagai pengganti (sebagai terjemahan dari) kata dan kalimat dalam bahasa Indonesia yang sudah selesai aku tulis! Silakan periksa ulang cerpen “Keluarga Kudus” itu. Dan tentukan mana saja bagian cerpen itu yang merupakan kisah lisan yang keluar dari mulut istriku dan mana yang bukan. Semua dialog dalam cerpenku itu juga aku tulis dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Melayu Kupang. Hanya dihiasi sedikit saja dengan kosakata bahasa Melayu Kupang dan Dawan.

Dalam kasus ini yang paling dibutuhkan tentu saja adalah KEJUJURAN. Kalau tahu diriku bakalan dituduh begini, tentu saja waktu itu akan aku rekam Yonetha yang sedang bercerita kepada Saut dengan kamera ponselku. Toh, terkadang aku suka merekam peristiwa-peristiwa kecil dalam rumah kami. Aku kira ingatan Yonetha tak perlu diragukan, ia bisa mengingat dengan baik begitu banyak hal yang pernah ia alami, terutama yang menyangkut kesalahanku dan orang-orang kepadanya.

Tanpa Saut pernah datang bertamu ke rumah kami dan disuguhi kisah-kisah kecil itu oleh Yonetha atas permintaanku pun, orang-orang yang mengenal kami berdua dan membaca cerpen “Keluarga Kudus” pasti juga akan tahu bahwa dari istrikulah aku memperoleh sumber inspirasi dan bahan mentah cerita! Begitu sebaliknya jika Yonetha menulis sebuah puisi tentang Bangka. Dan satu hal lagi, aku sudah mulai menulis cerpen “Keluarga Kudus” sebelum Saut bertamu ke rumah kami malam itu.

Kalau cuma menyalin ulang cerita Yonetha saja, aku yang bisa mengetik cepat dengan sepuluh jari (bukan dua jari) ini barangkali hanya butuh waktu setengah jam saja! Tidak harus menghabiskan waktu berhari-hari untuk menyelesaikan cerpen tersebut, termasuk mengeditnya berkali-kali. Jelas aku merasa baper dituduh begini. Sekali lagi, yang dibutuhkan adalah kejujuran! Aku tak pernah keberatan dan juga tak perlu bersuara jika kualitas karyaku dalam bentuk apa pun dikritik sekeras-kerasnya, tetapi apa yang dilakukan Saut dalam hal ini merupakan sebuah tuduhan.

Apakah ada cerpenku yang betul-betul merupakan penulisan ulang atas “teks” lain? Ada satu. Judulnya “Pukulan Terakhir” (dalam buku Istri Muda Dewa Dapur). Tapi aku cantumkan dengan jelas dalam catatan kakinya, bahwa cerpen itu merupakan sebuah adaptasiku atas film Fearless (sutradara: Ronny Yu). Bukan karena cerita itu bukan berasal dari cerita oral, tetapi karena ia lebih mirip dengan suatu kerja alih-wahana yang aku maknai ulang dengan perspektifku sendiri.

Kenapa sebuah cerpen (juga novel) realis harus merupakan pengalaman nyata penulisnya? Jika begitu syaratnya—seperti yang telah aku katakan kepada Kompas—bagaimana kita bisa menulis karya-karya fiksi yang bersetting waktu di masa lampau misalnya? Raudal Tanjung Banua sendiri pernah ngomong bahwa cerpen-cerpennya banyak yang berasal dari cerita orang kampungnya, ibu dan neneknya yang ia ramu ulang. Hanya saja khusus dalam kumcernya Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan, asal-usul itu memang ia sebutkan secara gamblang. “Karena kebetulan, untuk cerpen-cerpen dalam buku tersebut, memang itulah konsepnya.” Dan di luar lokalitas Minang, ia juga banyak menggarap setting Jawa, Bali, atau wilayah timur. “Yang setting Minang tanpa nyebut sumber lebih banyak lagi, seperti dalam buku Parang Tak Berulu. Karena apa yang disebut sumber itu kadang serupa mozaik; serpihan cerita kecil yang menggelitik, kadang sekadar cerita lapau kopi, bahkan tak jarang hanya sepatah ungkapan,” katanya. Aku mengutip kata-kata Raudal ini bukanlah berarti hendak memanfaatkan kesaksian proses kreatifnya atau meminta ia mendukungku!

Kenapa sebuah cerpen (juga novel) realis harus merupakan pengalaman nyata penulisnya? Jika begitu syaratnya—seperti yang telah aku katakan kepada Kompas—bagaimana kita bisa menulis karya-karya fiksi yang bersetting waktu di masa lampau misalnya? Raudal Tanjung Banua sendiri pernah ngomong bahwa cerpen-cerpennya banyak yang berasal dari cerita orang kampungnya, ibu dan neneknya yang ia ramu ulang.

Salah satu penulis yang aku sukai (termasuk karena kecinaannya), Maxine Hong Kingston juga menggunakan cerita-cerita dari ibu dan ayahnya sendiri sebagai bahan utama ketika ia menulis kumpulan kisah China Men dan novel The Woman Warrior: Tentang kakek-kakeknya yang bermigrasi ke Amerika Serikat sebagai pekerja rel kereta api, tentang masa lalu ayahnya di Kanton, tentang bagaimana ayahnya sampai di San Fransisco dan membuka usaha laundry, tentang pengalaman ibunya saat bersekolah perawat di Hongkong, bahkan tentang hantu-hantu (arwah penasaran). Di genre lain, bahkan seorang Asmaraman Kho Ping Hoo belum menginjakkan kakinya di Cina, kendati ia sudah menulis begitu banyak novel cerita silat dengan latar belakang Cina Daratan dan mampu menggambarkan kondisi Cina (di era dinasti-dinasti) dengan demikian rinci.

Apakah semua narasumber memang harus disebutkan dalam catatan kaki sebuah cerpen, termasuk orang-orang di warung kopi dan di pasar yang cerita maupun celetukannya menjadi sumber gagasan kita? Aku jadi ingat pada dua kesaksian almarhum Hamsad Rangkuti dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1, yakni proses kreatifnya untuk cerpen berjudul “Perbuatan Sadis”, “Pispot”, dan “Dia Mulai Memanjat”.

Menurut Hamsad, cerpen “Dia Mulai Memanjat” terinspirasi oleh kata-kata pelukis Oesman Efendi kepada seorang pelukis muda di Balai Budaya: “Kalau kau mau terkenal, penggal kepala patung di Bundaran Senayan. Katakan itu karyamu. Kau akan terkenal!”. Ucapan itu mengusik kreativitas seorang Hamsad dan jadilah cerpen “Dia Mulai Memanjat” yang mengisahkan seorang lelaki hendak memenggal kepala patung di Bundaran Senayan. Sedangkan gagasan cerpen “Perbuatan Sadis” dan “Pispot” lahir ketika ia pulang dari percetakan CV Kosen untuk mengurus pencetakan majalah Horison dengan oplet. Dan di tengah jalan, oplet yang ia tumpangi itu terhambat oleh kerumunan orang banyak. Saat itulah seorang perempuan naik ke oplet tersebut dan bercerita bahwa baru saja terjadi penjambretan terhadap seorang perempuan pemilik kalung emas 25 gram. Seorang penumpang perempuan lain kemudian ikut nyeletuk bahwa ia juga pernah melihat penjambretan di Bandung. Saat para penjambret mengetahui kalau kalung yang dijambretnya itu ternyata imitasi, mereka lantas memaksa korbannya untuk menelan kalung palsu itu, ceritanya. Di bawah ini aku kutipkan salah satu bagian dari cerpen “Perbuatan Sadis”:

            Lelaki itu menarik dengan kasar rambut si wanita. Ujung belatinya kulihat telah menyentuh kulit leher si wanita. Darah lenyap dari air mukanya. Dia pucat bagaikan kapas.
            “Makan! Telan kalung imitasimu ini. Kau telah permainkan kami dengan kepalsuan. Sekarang kau harus menelan kepalsuan ini! Ayo telan!” 

Sementara itu menurut A.A. Navis dalam buku yang sama, ilham “Robohnya Surau Kami” berasal dari gurunya, Engku Mohammad Syafei, pendiri INS Kayu Tanam, pencipta lagu “Indonesia Subur” dan Menteri Pengajaran era Soekarno. Navis mengaku jika ia menguping pembicaraan sang guru dan rekannya tentang orang Indonesia yang masuk neraka (karena malasnya) di tengah alam yang kaya raya. Oke, katakanlah Navis adalah orang Minang dan ia menulis tentang lokalitasnya sendiri. Tetapi ingat, ada seorang Jorge Luis Borges yang menulis cukup banyak fiksi dengan beragam latar tempat dan waktu hanya semata-mata berdasarkan referensi dari sumber-sumber pustaka. Contohnya dalam A Universal History of Infamy, ia mengaduk-aduk berbagai fragmen kehidupan tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai penjuru dunia—yang sebelumnya telah diriwayatkan oleh penulis lain (tentu ini bisa disebut sebagai “penulisan ulang”!)—sebagai kisah-kisah parodi.

Ini bukan soal sumber ide / bahan dasar cerita berasal dari orang asing atau istri sendiri. Aku tidak masalah jika disuruh menuliskan nama Yonetha sebagai pemberi inspirasi cerpen, tetapi bukan sebagai pencerita lisan yang ceritanya aku tulis ulang. Ini dua hal yang berbeda. Pada bagian akhir cerpen “Keluarga Kudus”, aku merasa cukup telah mencantumkan “Untuk Yonetha Rao” saja, karena memang cerpen itu pertama-tama aku persembahkan untuk dirinya yang telah memberiku gagasan menulis. Buka saja cerpen-cerpenku yang dapat ditemukan di internet, pembaca tentunya dapat menemukan betapa cerpen-cerpen itu dipenuhi oleh catatan kaki yang aku gunakan untuk mencantumkan sumber kutipan (di antaranya ada yang berupa kutipan lisan!) atau suatu istilah tak umum maupun kosakata lokal. Karena di situ aku memang menganggap catatan kaki tersebut penting bagi pembaca.

Sekali lagi, atas dasar apa Saut Situmorang menilai bahwa cerpen “Keluarga Kudus” merupakan sebuah penulisan ulangku atas cerita-cerita lisan istriku?

Sebagai penutup, kepada publik yang membaca penyangkalan terang-terangku ini, aku kutipkan di bawah ini kata-kata Gabriel Garcia Marquez dalam memoarnya Living to Tell the Tale:

            “Sisa-sisa ketakutan warisan masa kanak-kanakku itu masih aku rasakan ketika aku dan ibuku duduk di dekat tempat tidurnya, mendengarkan secara terperinci tragedi yang memorak-porandakan kota. Ia memiliki kemampuan bercerita yang luar biasa sehingga setiap peristiwa yang diceritakan seolah-olah berlangsung di ruangan sesak itu. Awal dari seluruh kemalangan itu, tentu saja, adalah peristiwa pembantaian para buruh yang dilakukan oleh kekuasaan militer, yang kebenaran sejarahnya masih perlu diselidiki: tiga orang yang mati, atau tiga ribu? Barangkali memang tak sebanyak itu jumlahnya, katanya, namun orang-orang kemudian membesar-besarkan lantaran duka yang mereka alami. Kini perusahaan telah hengkang selamanya.”

Cerita lisan dari Dr. Alfredo Barboza tetangganya pada masa kecilnya itulah yang melahirkan peristiwa fiktif pembantaian buruh perkebunan pisang di kota Maconda dalam novel Marquez, Seratus Tahun Kesunyian. Tak ada Marquez cantumkan nama si tetangga di novel itu. Pengakuan bahwa Dr. Alfredo-lah sumber gagasan ceritanya tentang pembantaian buruh pisang itu baru ia tuliskan jauh di kemudian hari dalam memoarnya yang tersebut di atas.

Aku masih mau menulis lebih panjang lagi, ada banyak hal yang masih hendak aku omongkan, termasuk soal agama. Tapi sekarang aku ngantuk! Barangkali akan aku sambung lagi nanti. Aku tidak cari ribut, namun aku juga tidak bisa hanya diam saja ketika mendapatkan tudingan. Aku tahu bahwa antara kawan memang perlu saling mengkritik, tetapi aku sudah tidak tahu lagi apakah aku masih dianggap sebagai kawan oleh Saut lewat tudingannya tersebut dan ditambah lagi dengan status-status Facebook-nya pada hari ini (3 Juli 2022) yang tertuju kepadaku meskipun tak menyebutkan nama.

Mari sama-sama bersaksi dengan jujur![]


Gambar Ilustrasi: Kompas.id

Sunlie Thomas Alexander
lahir 7 Juni 1977 di Belinyu, Pulau Bangka. Sempat belajar Desain Komunikasi Visual di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan menyelesaikan studi Teologi-Filsafat di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga di kota yang sama. Ia menulis cerpen, puisi, esai, artikel, kritik sastra, dan catatan sepakbola di sejumlah media dan jurnal yang terbit di Indonesia maupun luar negeri. Buku-bukunya yang sudah terbit adalah Malam Buta Yin (kumcer; Gama Media, 2009), Istri Muda Dewa Dapur (kumcer; Ladang Pustaka, 2012), Sisik Ular Tangga (puisi; Halindo, 2014), dan Makam Seekor Kuda (kumcer, IBC, 2018). Sementara karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Mandarin dan Inggris antara lain Youling Chuan [幽靈船] (kumpulan cerpen dan puisi, Sìfāng Wén Chuàng, 2016) dan My Birthplace and Other Stories (kumcer, The Lontar Foundation, 2019). Buku kumpulan esai kritik sastranya, Dari Belinyu Ke Jalan Lain Ke Rumbuk Randu memperoleh Penghargaan Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2020.