Lima tahun lalu, saya mendapati buku ini dari pemberian seorang teman setibanya di Bandung. Buku ini merupakan sebuah disertasi antropologi sejarah yang diterbitkan oleh Ecole Francaise d’Extreme-Orient dengan judul asli “Corps de bois, souffle humain: Le theatre de marionettes wayang golek de Java Ouest” karya Sarah Anais Andrieu. Penerbit KPG kemudian menerjemahkan dan menerbitkan buku ini dengan judul “Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda”. Buku yang terbilang cukup aktual dan komperhensif untuk ukuran studi kontemporer yang tersedia dengan lokus penelitian spasial Bandung, sekaligus bisa merangkum cakupan besar subjek kebudayaannya sebagai suatu kewilayahan masyarakat Sunda di Jawa Barat.
Studi dalam buku ini karena tergolong ke dalam etnografi partisipatif yang bersifat langsung dan spasial, maka menjadi berbeda dengan studi antropologi sejarah yang dilakukan oleh Ronit Ricci “Islam Translated” yang lebih pada pengembangan dari teks atau kisah. Kendati demikian, saya menilai keduanya memiliki kesamaan, yaitu bersumber dari khazanah hikayat Islam Asia Tenggara. Dalam buku Islam Translated subjek penelitian berpusat pada kisah seorang yahudi bernama Abdullah bin Salam yang bertanya kepada Nabi, kemudian pertanyaan-pertanyaan itu terangkum dan menjadi hikayat dalam buku seribu pertanyaan. Sementara wayang golek bersumber dari hikayat Amir Hamzah (paman Nabi), kedua hikayat ini kemudian menjadi sebuah semacam epos dalam proses transformasi budaya dan Islamisasi di abad pertengahan Asia Tenggara.
Sebagai generasi yang terlahir di tahun menjelang 2000-an di wilayah Jawa Barat, mungkin hampir semua anak sudah tidak mengalami persentuhan dengan wayang golek. Jika pun mengalami, yaitu lakon Si Cepot yang hadir di televisi sebagai penanda masuknya bulan Ramadhan.
Si Cepot muncul bak juru dakwah yang kelewat serius dengan lagaknya yang terlihat lucu dan polos
Hal tersebut menjadi sebuah fenomena baru di saat wayang sudah ditinggalkan, namun bisa bertahan dalam medium baru bernama televisi. Meski bila kita telisik dari dua bab dalam buku yang telah diteliti oleh Sarah Anais Andrieu ini, munculnya wayang di televisi dinilai sebagai kapitalisasi wayang; wayang diletakan sebatas produk dalam industri hiburan dan penonton sebagai konsumen pendulang kapital. Di saat bersamaan, kita bisa melihat di tahun-tahun itu terjadi krisis politik (Reformasi) yang membuat wayang dihadapkan pada geger budaya atas eksistensi dirinya. Setelah di masa sebelumnya (Orde Baru), wayang dihadapkan pada propaganda politik, standarisasi, problematika identitas kelokalan serta pembentukan budaya nasional. Terlepas dari itu, sang dalang Asep Sunandar mungkin tidak memiliki pilihan lain dalam mengenalkan wayang pada khalayak yang lebih luas melalui televisi.
Sampai di tahap ini, saya pribadi bisa menilai mengapa sang dalang Asep Sunandar membuat lakon Si Cepot dengan wajah berwarna merah; boleh dikata hal itu merupakan simbol kemarahan pada situasi zaman yang dihadapi, bisa juga diartikan sebagai kesakitan eksistensial, atau boleh jadi di masa krisis (Reformasi) itu Si Cepot justru mengalami pencerahan (terlahir kembali) layaknya bayi yang berwarna merah di sekujur tubuhnya. Namun dalam tulisan ini saya tidak hendak membahas perkara itu. Saya lebih tertarik bagaimana wayang golek yang merupakan warisan para penyebar Islam (Walisanga) bisa sampai dan digunakan di Jawa Barat, juga bagaimana para dalang (khususnya Asep Sunandar yang kebetulan menjadi subjek dalam penelitian buku) mengartikulasikan ulang wayang dalam upaya visi awalnya untuk menerjemahkan Islam dalam konteks kiwari.
Hampir semua peneliti dan praktisi wayang memiliki kesimpulan bahwa wayang merupakan salah satu peninggalan kreasi seni paling agung yang diwarisi bangsa Indonesia. Beberapa peneliti menilai awal kemunculan wayang digunakan pada periode Hindu dan sumber-sumber pembentuk ceritanya adalah epos Mahabrata dan Ramayana. Di samping itu, banyak pula ahli dan peneliti lain yang berpandangan bahwa wayang dalam bentuk, lakon-lakon, dan kisahnya yang diterima hari ini merupakan warisan Islam di masa Wali Sembilan (Walisanga). Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai dai (pendakwah) di masa formatur awal Islam, menggunakan kulit hewan (wayang kulit) sebagai medium penerjemahan dan penyebaran agama. Sementara itu, Sunan Giri dan Sunan Kudus dianggap yang memulai reformasi dan reorganisasi wayang di masa setelahnya yang lebih beragam.
Bagi Sarah Anais Andrieu dalam buku ini, Sunan Giri selain menciptakan wayang gedog pada tahun 1553 yang menampilkan kisah-kisah mengenai Pangeran Panji yang legendaris mencari cinta sejati, juga dianggap sebagai penemu wayang golek yang kemudian dikenal dan digunakan di Jawa Barat kini.
Tambahnya, wayang golek pada mulanya digunakan sebagai pendukung cerita Amir Hamzah (paman Nabi) yang mendefinisikan secara bersamaan repertoar wayang menak (di daerah Kudus) dan wayang cepak/papak (di daerah Cirebon). Sementara dalam wawancaranya kepada sang dalang Asep Sunandar, beranggapan bahwa “wayang golek tidak lebih dari sekadar modernisasi dari wayang kulit, berbentuk tiga dimensi: bertujuan lebih mendekatkan wayang pada masyarakat; yang analogi antar tokoh serta orangnya harus dipermudah, dan supaya masyarakat tetap mencintai wayang”. (Lihat hlm 50-53).
Bagi saya pribadi, wayang golek yang terbuat dari kayu menjadi ciri khusus seiring berjalannya proses islamisasi di Jawa. Hal tersebut berdasar pada keterangan Denys Lombard dan M.C Ricklefs, yang berpendapat bahwa kedatangan Islam secara nyata menyebabkan terhentinya kegiatan pembangunan arsitektural tertentu (batu) yang lama diwariskan dan beralih menjadi kayu. Begitu memasuki fase Islam, penggunaan kayu langsung dijadikan bahan utama pembangunan masjid Demak sebagai tempat berundingnya para wali sembilan (Walisanga). Masjid ini sekaligus melegitimasi diri sebagai otoritas religius dan kerajaan Islam pertama di Jawa.
Hingga dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan kayu menjadi penanda umum bangunan Kesultanan Islam di semua kepulauan Nusantara. Seiring terjadinya proses islamisasi dengan perkembangan kota-kota bandar (kosmopolit) di semua kepulauan itu, Sarah Anais Andrieu dalam buku ini menyebut Banten dan Cirebon yang terletak pulau Jawa bagian Barat memiliki dukungan dari Demak. Karenanya, pada masa itu para bangsawan Sunda sering bepergian secara teratur untuk menyempurnakan pengetahuan mereka (Lihat hlm, 47-50).
Sunda-Jawa: Antara Pengaruh dan Dominasi
Tome Pieres dalam catatannya “Summa Oriental” menyebut, di pulau Jawa ia melihat dua kerajaan Hindu besar seperti meriam kembar, yaitu Padjajaran dan Majapahit. Di periode sebelumnya, dalam catatan-catatan sejarah, kerajaan Hindu pertama berawal di Jawa bagian Barat, yaitu Tarumanegara (abad ke-4 hingga ke-7) hingga berkembang dan mencapai masa keemasannya di Jawa bagian Timur yaitu Majapahit, lalu di penghujung keruntuhan dan peralihannya, Islam bersemai di Jawa bagian Tengah yaitu di Demak. Di fase peralihan dan formatur Islam paling awal ini, saya pribadi hampir tidak menemukan term atau pembeda diri antara Jawa dan Sunda, karena pasca runtuhnya Padjajaran, tidak ada kekuasaan politik dan otoritas religius yang menggantikannya, hal serupa mungkin juga terjadi pada Jawa bagian Timur pasca runtuhnya Majapahit. Sehingga mungkin saja, tapal batas etnisitas dalam pengertian barunya (dari pemerintah Hindia Belanda) yang muncul setelahnya tidak penting lagi, karena yang amat krusial saat itu adalah peralihan menuju Islam.
Demak sebagaimana tinjauan yang dilakukan oleh De Graaf dan Pigeaud, menjadi kerajaan dan otoritas religius Islam pertama dalam mengisi kekosongan itu. Sebagaimana telah diuraikan di alinea sebelumnya, kita melihat para pembesar atau kaum menak Sunda pada saat itu sering bepergian ke Demak secara teratur untuk menyempurnakan pengetahuan (Islam) mereka. Sebuah potret serupa dilakukan para cendikia Islam di kepulauan Nusantara yang singgah dalam waktu lama di Malaka (sebelum berangkat ke Mekah), setelah menyempurnakan pengetahuan Islamnya di Mekah, para cendikia Islam ini kemudian menghimpun diri dalam jejaring ulama al-Jawi.
Namun bila dalam perkembangan selanjutnya terjadi pengikisan akibat dari situasi politik kolonial dan Mataram Islam, maka itu benar dan menjadi kompleks; politik kolonial menciptakan narasi sejarah perang bubat yang sangat politis, dan Sultan Agung (1620) menyatukan Sunda bagian timur (Sumedang Larang) sebagai wilayah taklukan Mataram Islam. Dengan demikian, Zanten W. Van dalam kajian etnomusikologi gaya Cianjuran, menyebut Priangan menjadi nama kelompok daerah-daerah administratif di bawah pemerintahan Mataram Islam. Lebih lanjut ia menemukan, di bawah dominasi ini bupati-bupati lokal daerah Priangan hanya memperoleh status rendah dan harus memberikan kepada pemerintah pusat sejumlah produk daerah dengan jumlah yang sangat besar, serta melayani sendiri sang Sultan, terutama saat perayaan acara Maulid Nabi Muhammad SAW.
Pada masa dominasi ini pula, satu set gamelan salendro/pelog diimpor dari Mataram (Jawa Tengah) ke Priangan. Zanten W. Van hanya menyebut Banten sebagai pengecualian, yang di saat itu berstatus merdeka dari dominasi Mataram Islam.
Dalam proses peralihan masyarakat Sunda pada Islam, studi-studi kontemprer yang tersedia sebagai bahan tinjauan sangat terbatas (karena sejak awal memang sudah sangat terbatas), lebih banyak studi yang menjadi kelanjutan dari studi-studi para sarjana kolonial di periode pertama, dan lebih berpusat pada studi di Jawa dalam pengertiannya hari ini sebagai hasil peninggalan Mataram Islam. Sehingga term Jawa yang kemudian dipahami, menjadi oposisi biner dari Sunda, dan yang lainnya. Pembedaan Jawa-Sunda selanjutnya sangat mungkin diciptakan oleh pemerintah kolonial, di samping karena ekspansinya dengan melakukan politik adu domba (devide et impera), ditambah kecenderungan para ilmuwan kolonial yang selalu mengembalikan tanah jajahan pada masa Hindu (Padjajaran-Majapahit) sebagai fondasi masa lalunya (foundational past), padahal keduanya sudah runtuh dan tidak ada.
Di saat yang sama Islam sedang bergerak menjadi kekuatan transformasi dan fondasi baru, namun hal tersebut dinilai dapat mengancam kuasa kolonial yang mulai mapan, sehingga pemerintah kolonial berkepentingan untuk meredam kekuatan baru (Islam) itu dengan melakukan segregasi politik. Di kemudian hari, politik segregasi ini mampu memecah kekuatan politik Islam yang pada masa itu bermuara di Demak, menjadi kepingan kerajaan-kerajaan kecil di sepanjang pantai utara Jawa, termasuk dengan berdirinya kerajaan Banten dan Cirebon di Jawa bagian Barat.
Wayang Golek dan Penerjemahan Islam
Sunan Kalijaga merupakan satu di antara sembilan wali (Walisanga) dan dikenal yang menggubah wayang dengan bentuk barunya (wayang kulit) hari ini. Sunan Kalijaga pula yang membawa wayang kulit tersebut dalam proses penyebaran Islamnya sampai di Cirebon. Sedangkan Cirebon, sebagaimana kita tahu merupakan wilayah kesultanan yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Dari situ kita bisa melihat perbedaan jalan yang dilalui oleh kedua wali di antara wali sembilan (Walisanga) tersebut. Jalan dakwah (kebudayaan) Sunan Kalijaga berbeda dengan Sunan Gunung Jati yang jalan dakwahnya di wilayah pendidikan dan politik. Hingga kemudian setelah wayang kulit itu sampai dan diterima oleh masyarakat Cirebon, wayang kulit kemudian mengalami perkembangan.
Kembali ke uraian di awal alinea, Sarah Anais Andrieu berpendapat bahwa Sunan Giri merupakan penemu wayang golek, meskipun bila ditelusuri lebih lanjut dapat memunculkan perdebatan; karena ada yang menyebut penemunya adalah Sunan Kudus. Hal ini berdasar karena repertoar wayang menak dalam cerita Amir Hamzah (paman Nabi) ditampilkan di Kudus. Perdebatan tersebut bagi saya malah semakin mempertegas hipotesa sebelumnya bahwa tapal batas Jawa-Sunda di periode Islam awal itu tidak ada; bila dikata Sunan Giri sebagai penemu, sebagaimana kita tahu Sunan Giri berasal dari Blambangan dan menyebarkan Islamnya dikemudian hari di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Begitu pula jika penemu wayang golek itu adalah Sunan Kudus, ia juga berada dan kini menjadi wilayah yang berada di ujung Jawa Tengah. Terlepas dari itu semua, wayang golek kemudian sampai dan populer di Jawa Barat.
Dengan populer dan bertahannya wayang golek di masyarakat Sunda, seiring dengan beralih dan transformasinya pada Islam, memperlihatkan bahwa wayang golek berhasil menjadi media kreatif dalam visi awalnya untuk menerjemahkan Islam di wilayah Sunda. Islam dalam keterangan al-Qur’an adalah rahmat bagi alam semesta, ia melingkupi semua batas-batas identitas yang terangkum oleh kebudayaannya yang berbeda-beda. Bersamaan dengan itu, Islam (al-Qur’an) di peruntukan untuk manusia. Dengan demikian, ia perlu diterjemahkan dalam bahasa dan rangkum kebudayaan yang berbeda-beda itu untuk bisa dimengerti. Sehingga, kalam-kalam langit al-Qur’an (Islam) bisa hadir di bumi dan aktual dalam kehidupan manusia. Maka hanya para utusan (Walisanga), sebagai pewaris ilmunya para Nabi, yang kemudian diberi kemampuan untuk menerjemahkan Islam ke dalam kebudayaan masyarakatnya secara utuh.
Di masyarakat Sunda kiwari, para pendakwah (dai) seperti halnya sang dalang Asep Sunandar dengan ikonnya Si Cepot yang telah disebut di awal, merupakan upaya yang sebelumnya telah berjalan dan turut ia warisi dari wali sembilan (Walisanga), yaitu menerjemahkan Islam untuk ia hadir dan dapat dimengerti di setiap zaman.
Si Cepot bisa populer karena ia mampu merepresentasikan rangkum kebudayaan manusia Sunda yang bisa kita saksikan memang seperti itu. Sepintas ia mirip Si Kabayan yang abai terhadap zaman, namun dalam banyak hal ucapan-ucapan yang terlihat spontan memiliki kedalaman. Gaya dan nada bicaranya seperti para dai (mubalig) pada umumnya. Namun yang membedakan, Si Cepot menyampaikan pesan agama tidak dengan doktrin yang didaktis, namun dengan kisah-kisah para Nabi dan cerita masa lalu manusia suci (para wali) yang memunculkan metafor-metafor baru. Jika para dai (mubalig) pada umumnya berceramah dengan ciri umum apa yang disebut mauidzoh khasanah (pesan-pesan yang baik), namun dai Si Cepot berceramah dengan kisah (hikmah). Dan kisah (hikmah) ini kemudian yang menjadi ciri umum dalam dunia pewayangan.
Kisah-kisah (hikmah) itu seringkali sulit dimengerti, untuk mencernanya ia lebih dekat pada mitos ketimbang akal budi. Namun dengan begitu, seiring larutnya malam dalam pertunjukan wayang, kisah (hikmah) tersebut justru mampu membuat khalayak penonton ikut larut dalam permenungan. Selain itu, penyampaian hikmah (kisah) tersebut tidak dalam pengutaraannya secara langsung, namun dengan bodor dan cawokah (humor) yang dinilai lebih sesuai dengan ciri kebudayaan masyarakatnya. Mungkin memang dengan begitu, pesan dari kisah (hikmah) bisa sampai seiring dengan tujuan diciptakannya wayang, yaitu selain sebagai tontonan juga sebagai tuntunan.
Mohammad Ali, seorang mantan kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan pengajar sejarah di Universitas Padjadjaran pernah mengutarakan pikirannya menyangkut penulisan sejarah dengan judul Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia. Tulisan tersebut menjadi tema pembuka dalam buku kumpulan tulisan ahli filologi dan sejarawan lainnya yang diprakarsai oleh Soedjatmoko tahun 1962 berjudul Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Dalam catatan pentingnya, Mohammad Ali mencoba menafsir ulang apa yang dimaksud dengan historiografi dalam penulisan sejarah. Ia mempersoalkan apakah objek cerita sejarah itu tetap sama sepanjang masa sehingga tidak perlu diperbaharui, atau justru objek cerita sejarah dapat berubah sehingga perlu dikoreksi dan diperbaharui. Dari pertanyaan tersebut maka muncul pengertian baru untuk memahami sejarah sebagai sebuah construct of ideas, dan ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi, antropologi, filologi menjadi ilmu bantu untuk mengetahui secara utuh (objektif) dari bangunan ide (construct of ideas) tersebut. Maka lazimnya dalam metodologi sejarah, digunakan istilah rekonstruksi sebagai teori pertama untuk menulis. Terminologi rekonstruksi bertumpu pada soal penafsiran, yaitu tulisan-tulisan yang telah ada harus diperbaharui dan dilakukan penulisan kembali. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimanakah seseorang atau sebuah bangsa menuliskan sejarahnya?
Tradisi historiografi Eropa modern terbentuk oleh tradisi ilmiah yang menyandarkan sumber sejarah pada fakta-fakta empirik. Hasil-hasil penelitian arkeologi, epigrafi, filologi, dan sejenisnya dikumpulkan guna mencari keutuhan untuk kemudian ditulis menjadi narasi besar sejarah. Dengan demikian, penulisan sejarah berkutat pada data faktual di zamannya dan membentuk corak tersendiri bagi tujuan serta fungsi dari sejarah itu. Sedangkan, tradisi historiografi Indonesia tidak terlalu menitik beratkan pada ihwal data-data empirik sebagaimana ilmuwan dan sejarawan-sejarawan Eropa, karena fungsi dan tujuannya memang berbeda. Historiografi tradisional yang banyak termaktub dalam babad dan serat-serat, lebih menitik beratkan pada visi dari sejarah untuk menggurat yang menjelang. Karenanya penulisan sejarah tidak disibukkan dan terjebak pada data faktual, sehingga fungsi sejarah akan sendirinya berorientasi pada penyingkapan masa depan sebagai realitas faktual.
Javanologi dan Proyek Historiografi Modern
Javanologi merupakan sebuah lembaga yang terbentuk dan implikasi langsung dari kekalahan pasukan Diponegoro dalam perang Jawa (1925-1930). Pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa penuh, memiliki kepentingan agar ekspansi kekuasaannya terus berlanjut dan rakyat jajahannya bisa diperintah. Maka hal pertama yang dilakukan ialah menelisik dari “dalam” (identitas) lewat bahasa, sejarah, dan tatanan hukum. Meski penelitian tentang masyarakat Jawa sudah dilakukan sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), namun hasil-hasil dari penelitian tersebut baru terlembagakan di paruh pertama abad ke-19 dengan berdirinya javanologi. Periode awal berdirinya javanologi muncul ahli-ahli filologi yang khusus mengkaji bahasa dan kebudayaan. Hingga di periode-periode selanjutnya, muncul para antropolog seperti Snouck Hurgronje, dan beberapa lainnya para ahli zoologi dan botani (sebagian besarnya dari Jerman) yang mewarisi seluruh pengkaji-pengkaji Jawa sebelumnya.
Menariknya, inspirasi pendirian javanologi muncul dari Inggris atas keberhasilannya di tanah-tanah koloni, terlebih saat berkuasa lima tahun di tanah Hindia Belanda (1811-1816). Saat itu pemerintah Inggris berhasil menelisik dari “dalam” masyarakat Hindia Belanda dengan terbitnya karya monumental History of Java karya Stamford Raffles dan History of the Indian Archipelago karya John Crawfurd. Di tahun-tahun selanjutnya (setelah berakhirnya perang Jawa), pemerintah Belanda meniru apa yang sudah dilakukan oleh Inggris dalam mendirikan sebuah lembaga penelitian modern sesuai kepentingannya. Inti dari proyek pendirian javanologi ialah usaha mengenali dari “dalam” untuk kemudian dapat didefinisikan ulang seluruh bangunan ide dan pengetahuan masyarakat jajahannya. Dengan cara demikian, masyarakat jajahan bisa dikuasai dan mudah diperintah. Kemudian di periode javanologi inilah tradisi intelektual Eropa Barat yang ilmiah empiris, bertemu dengan khazanah tradisi susastra kepujanggaan yang esoteris.
dari proyek pendirian javanologi ialah usaha mengenali dari “dalam” untuk kemudian dapat didefinisikan ulang seluruh bangunan ide dan pengetahuan masyarakat jajahannya. Dengan cara demikian, masyarakat jajahan bisa dikuasai dan mudah diperintah.
Renaissance dan Kanonisasi Sastra
Penelisikan dari “dalam” yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terus merangsek hingga ke jantung kekuasaan, hal itu menimbulkan sikap dilematis para cendikia atau pujangga keraton. Di satu sisi kuasa kolonial semakin tidak terhindarkan dengan tunduknya raja-raja pada pemerintah Hindia Belanda, di saat bersamaan kaum pujangga harus tetap menjaga kemerdekaan diri dalam mengemban nilai moral sebagai seorang cendekia. Satu di antara dan terakhir dari kaum cendikia atau pujangga itu ialah Ranggawarsita yang mewarisi tradisi kepujanggaan dan dianggap menyentuh inti mendasar keberadaan orang Jawa. Javanologi dengan corak ilmiah-rasionalnya yang merupakan produk dari pencerahan Eropa Barat, memiliki kepentingan mengobjektifikasi wilayah esoteris keilmuan pujangga Jawa sebagai subjek penelitian. Sehingga di periode ini, dua tradisi keilmuan hidup bersamaan sekaligus bersitegang.
Satu di antara dilakukannya proyek objektifikasi ilmiah dunia esoteris Jawa, ialah munculnya teori dan perdebatan “renaissance sastra Jawa” yang bermula dari seorang pegawai kolonial yang bertugas mengkaji bahasa Jawa bernama Theodoor Pigeaud. Tepat di masa itu, di paruh kedua abad ke-18, aktivitas sastra di empat keraton sisa-sisa Mataram Islam mengalami perkembangan yang pesat. Selain karena faktor mulai digemarinya tinta dan kertas sebagai medium tulis di lingkungan keraton yang diimpor dari China dan Arab, faktor utamanya ialah usaha pengkanonisasi sastra dan pendefinisian ulang masyarakat Jawa sesuai dengan selera estetis dan kepentingan politis pemerintah kolonial. Dan yang pertama mendapat pengaruh itu ialah kaum priyayi dengan pola pendidikan modern Belanda. Karena pasca kekalahan pasukan Diponegoro keraton-keraton telah tunduk dan sudah tidak terhubung lagi dengan pesantren, maka Islam sebagai visi awal dan identitas penyatu mampu “dijinakkan” dan terpolarisasi seiring terus menguatnya politik pemerintah kolonial.
Karena pasca kekalahan pasukan Diponegoro keraton-keraton telah tunduk dan sudah tidak terhubung lagi dengan pesantren, maka Islam sebagai visi awal dan identitas penyatu mampu “dijinakkan” dan terpolarisasi seiring terus menguatnya politik pemerintah kolonial.
Di wilayah lain, kanonisasi sastra dan munculnya renaissance Jawa sebagai karya adiluhung (par excellence) menjadi upaya tersendiri eliminasi visi Islam, karena dianggap sifatnya yang memberontak kolonial sebagaimana perlawanan Diponegoro. Selain itu, implikasi lain ialah terpinggirkannya karya-karya sastra pesisir yang telah mewarisi terhadap kesusastraan Mataram Islam. Di saat yang bersamaan, upaya pembentukan identitas baru masyarakat Jawa dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk menyambut dunia modern sebagaimana yang terjadi di dunia Eropa. Maka dapat dimengerti pula mengapa generasi awal hasil didikan javanologi seperti Poerbatjaraka, justru menghardik karya-karya bangsanya sendiri, terlebih karya Ranggawarsita. Sebuah potret dan penanda langsung bahwa tradisi penggubahan (penulisan kembali) karya-karya sastra dengan visi Islam telah sirna dan tergantikan oleh dunia rasional modern serta terpisah dari visi awal yang telah membentuknya. Pasca itu, Jawa modern terdefinisikan sebagai kaum terdidik dan tidak lagi mengenali identitas kediriannya secara utuh.
Menemukan Diri-bangsa
Para pemikir Eropa klasik kenegaraan seperti Thomas Hobbes menggambarkan dan mempersonifikasi sebuah negara (bangsa) sebagai subjektivitas lain dalam bentuk makro. Subjek diri mampu melihat dirinya dari cermin luar, atau dalam penjelasan Wilhelm Dilthey’s di bukunya berjudul Philosophy of Historical Understanding: A Critical Analysis sebagai verstehen (understanding), sebuah upaya untuk memahami diri dalam diri yang lain. Pengalaman dari “dalam” yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman kemanusiaan dengan segala kompleksitasnya, yaitu menemukan “the I” dalam “the Thou” (aku dalam engkau).[1]
Javanologi di kemudian hari mengalami perkembangan yang lebih luas dan menjadi episentrum baru ilmu pengetahuan modern yang terinstitusikan untuk usahanya mendefinisikan ulang Jawa. Hingga menjelang abad ke-20 (1899), muncul kaum terpelajar dengan kecakapan berbahasa Belanda dan corak berfikirnya yang baru. Satu di antaranya ialah Kartini, seorang perempuan pribumi yang kemudian mampu mengungkapkan diri (lewat berkirim surat dengan Marie Ovink-Soer) sebagai potret dimulainya zaman baru modern, sekaligus menjadi garis pemisah dengan masyarakat sebelumnya di abad ke-19. Bila subjektivitas makro sebagaimana diungkap oleh Thomas Hobbes dalam menggambarkan dan personifikasi negara (bangsa), maka sangat mungkin Kartini mengalami penemuan diri (the I) hasil pertemuannya dengan orang Belanda (the Thou) sebagai cermin dunia modern yang sedang dihadapinya saat itu. Kartini menjadi pribadi baru yang terpelajar, modern, dan terhubung dengan orang Belanda sebagai cermin masyarakat global yang sedang terjadi. Hingga di awal abad ke-20, penemuan-penemuan diri (bangsa) terus berkembang dalam bentuk gagasan dengan lahirnya Sumpah Pemuda (1928), ide-ide pergerakan bangsa oleh berbagai organisasi politik, hingga peristiwa kemerdekaan di tahun 1945 sebagai titik pijakan baru bertemunya subjektivitas-subjektivitas makro dalam personifikasi tokoh-tokoh pergerakan.
Dengan lahirnya hari kemerdekaan di tahun 1945, historiografi yang ditulis oleh para pujangga telah membantu Indonesia mampu mengenali simpul-simpul sejarahnya sekaligus menemukan visi baru sebagai sebuah bangsa dalam perumusan bernama Pancasila. Dengannya pula, fungsi historiografi sebagai sebuah penulisan sejarah dan negara bangsa yang diwakili oleh subjek-subjek makro telah purna menuliskan diri untuk sejarah pada zamannya. Maka, historiografi perlu terus ditulis sebagai potret zaman dalam mengarungi lintasan waktu. Sehingga, subjek-subjek makro yang mewakili zamannya itu dapat kembali hadir untuk menemukan dan merumuskan ulang Diri-bangsa sebagai keniscayaan yang dihadapi sejarah. Dengan mengenali dan menemukan kedirian, sebuah bangsa tidak akan kehilangan muasalnya dan tahu arah tujuannya. Dan begitulah sebuah bangsa bisa tumbuh dan besar.
Hari-hari berpuasa di tiga tahun ini, saya berusaha membuka ulang dan membaca kembali lembar-lembar Nurcholish Madjid (Cak Nur) perihal puasa. Lembar-lembar itu dihimpun oleh Yayasan Paramadina menjadi dua buah buku berjudul Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur, dan Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Mula-mula bapak saya yang memperkenalkan selintas sosok Cak Nur saat saya masih duduk di bangku SMA. Bapak saya yang sering membeli terbitan buku salah satu penerbit pemikiran Islam di Bandung, cukup merasa akrab dengan Cak Nur yang sama-sama lulusan pondok modern Gontor. Sekonyong-konyong karena suka membaca biografi pendek sewaktu SMA, saya baru mengenal Cak Nur lebih lanjut di akhir semester satu masuk kuliah, lewat biografi utuh yang ditulis Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.
Cak Nur membuka esai lembar-lembar Ramadan dengan cerita menjalani puasa di masa kecil: ingatan yang selalu terekam, dan menjadi bayangan ideal akan kenangan. Juga potret nuansa menyambut bulan puasa hingga perayaan Idul Fitri (Lebaran) di Indonesia yang dinilai unik, sehingga memberi kesan mendalam usai melewatinya sebulan penuh. Terdapat beberapa peneliti, terlebih sarjana-sarjana Muslim Arab, yang dikutip oleh Cak Nur perihal potret dan nuansa bulan Ramadan. Di Indonesia, nuansa Ramadan coraknya begitu kultural, atau dalam ungkapan Cak Nur, “Agaknya lebih (berbeda) dari kaum Muslim di negeri-negeri lain.”
Era kiwari, Andre Moller, seorang antropolog asal Swedia, mencoba memotret ulang keunikan nuansa Ramadan dalam karya disertasinya berjudul Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2005).Satu di antara keunikan nuansa Ramadan tersebut ialah praktik puasa tidak berhenti dijalankan hanya pada pemenuhan ritus formalnya, namun termanifestasi dalam keseluruhan praktik hidup sehari-hari. Hal itu terjadi karena para penyebar Islam berikut kaum intelektualnya, mampu mempertemukan ketentuan-ketentuan puasa dalam Alquran Hadits (syariat) dengan lokalitas (tradisi) yang telah ada. Sehingga, corak menjalani puasa bisa menampung ekspresi kemanusiaan yang telah dibentuk oleh lingkungan-budayanya sendiri. Maka puasa Ramadan dipahami tidak sebatas perintah dan ritual agama, namun menjadi tradisi keseharian serta memunculkan potret mengenai apa yang dimaksud nuansa Ramadan itu.
Menelaah tentang praktik puasa, Cak Nur menelusuri bahwa puasa merupakan satu bentuk peribadatan yang paling luas tersebar dalam kebudayaan umat manusia dan tradisi agama-agama. Tentunya, praktik puasa dapat berbeda dari satu umat ke umat lain, atau dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Namun hakikatnya, praktik berpuasa ialah menahan diri: lazimnya menahan dari makan dan minum serta pemenuhan hal-hal yang bersifat biologis. Kaum Sabean di Mesopotamia dan Persia, melakukan puasa dengan menghindari jenis makanan dan minuman tertentu. Begitu juga umat Buddha yang melakukan puasa makan daging lima hari sebelum kematian Sang Buddha. Umat lain-lain menjalankan puasa hanya untuk sebagian siang, seluruh siang, siang dan malam, serta malam hari saja. Ada pula puasa yang berupa penahanan diri dari berbicara, seperti yang dilakukan oleh Maryam ibunda Isa AS. Sedangkan umat Islam berpuasa dari makan dan minum mulai terbit fajar hingga matahari terbenam. Ketentuan ini merujuk pada firman Tuhan yang bersifat wajib bagi mereka yang beriman, sebagaimana diwajibkan pada umat-umat terdahulu (sebelum Muhammad SAW) dengan tujuan takwa.[1]
Praktik puasa, terlebih dalam tradisi agama abrahamik, merupakan seruan Tuhan melalui para Nabi yang menerima wahyu (kebenaran/gaib), sehingga menjalankannya diperuntukkan bagi individu-individu beriman.
Dalam keterangan Hadist Qudsi, di antara semua praktik ibadah yang dilakukan umat manusia (beriman), puasa adalah persembahan khusus yang diminta langsung oleh Tuhan hanya untuk-Nya.[2] Maka puasa menjadi ibadah paling personal bagi yang ingin menjalin hubungan dengan Tuhan, yang sebab itu pula berpuasa bersifat rahasia dan sakral. Kerahasiaan merupakan pangkal dari keimanan dan hanya bisa ditempuh dengan jalan percaya yang harus mewujud dalam perilaku berserah diri. Berserah diri ini dalam Islam disebut takwa, yaitu jalan yang akan membuka peluang pintu-pintu menuju Tuhan. Takwa ialah jalan menempuh ke dalam diri untuk menemukan enigma awal mula penciptaan dan sumber ruh (fitrah) kesejatian diri.
Dalam pengertian Nurcholish Madjid, takwa berbeda dengan fatalis. Takwa bertumpu pada keteguhan iman: bermula dari percaya, bersandar, dan berpengharapan diri pada Tuhan. Takwa bukan pula konsepsi-konsepsi sebagaimana dielaborasi oleh filsuf-filsuf eksistensialis, para nihilis, atau absurdis. Takwa berjalan tanpa negasi, tegak dan lurus menempuh jalan pada cahaya. Dan jalan untuk menempuh dan menemukan cahaya dalam takwa itu ialah berpuasa, karena puasa diserukan dan akan terhubung langsung pada Tuhan sang sumber cahaya.
Inti dari praktik puasa ialah mendidik hawa nafsu sebagai sumber keinginan diri yang paling melekat. Kemelekatan diri yang terus menerus meminta untuk dipenuhi berdampak pada redupnya pendar cahaya ruh di lubuk hati manusia paling dalam. Maka untuk menemukan ruh yang sakral dalam diri itu dimulai dari aktivitas lahiriah puasa berupa pengosongan perut. Lewat pengosongan, manusia diseru untuk melihat pada diri sendiri guna menemukan yang tersisa dan jernih dari kekosongan itu. Dengan demikian, puasa bisa menjadi jalan untuk menemukan kembali kesakralan purba (fitrah) manusia yang terhempas oleh enigma-enigma profan dunia. Karena hanya dengan menyadari dan menemukan sakralitas yang berpendar dalam diri, pesan takwa puasa bisa menyemai dalam diri serta dapat berbuah perilaku baik. Tanpa itu, selamanya manusia akan terjebak dalam berhala-berhala nilai profan yang melekat pada pendar-pendar jelaga dunia, dan pendaran paling dekat ialah yang melekat pada manusia itu sendiri.
[2]Semua perbuatan seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala.
Duniakah yang berubah atau manusia sendiri yang senantiasa berubah. Dari manakah serangkaian terjadinya awal mula perubahan. Apakah ia sebuah gerak zaman tak terhindarkan, atau sebuah keharusan yang dihadapi manusia untuk bisa bertahan hidup. Lalu pikiran ini berkesimpulan, bahwa satu-satunya kepastian mutlak di dunia ini adalah perubahan. Dan manusia senantiasa dihadapkan pada anomali ketidakpastian. Maka, manusialah yang berubah.
Sebagai seorang yang menghabiskan masa kecilnya di lingkungan sekitaran pesantren, pada batas pengembaraan hidup, saya terhempas oleh kerinduan akar masa kecil bermain di pekarangan pesantren. Sesekali kerinduan itu terdengar memanggil dalam sayup-sayup suara nadom menjelang Magrib, atau suara Marhaba Barzanji di kala malam. Ibarat sebatang pohon yang telah tumbuh dan menjulang seiring waktu yang didapatkan, juga beribu musim yang telah dilalui, lalu ia merindu kembali pada akar benih pemberian para pendahulunya.
Tetibanya di akhir masa perkuliahan, saya dipertemukan dengan seseorang yang mengajak saya ke pondok Cipasung. Sebuah pondok yang menjadi pusat di jantung Kabupaten Tasikmalaya. Corak ragamnya sama dengan pondok-pondok lain di Jawa, seperti Tebuireng, Krapyak, Tegalsari. Penamaan pondok sekaligus mewakili nama daerah tempat pondok berada. Ia tidak memisahkan diri dengan ragam masyarakat sekitar. Di samping itu, pesantren turut mengiringi peralihan zaman, dengan memberanikan dan mencontohkan diri sebagai basis moral masyarakat. Di dalamnya terdapat Kiai atau Ajengan, sebagai simbol kuasa sekaligus subjek moral.
Semerbak aroma Shattariyah tercium senyap, saat Kh. Ruhiyat memilih “Ngaji” sebagai jalan tarikat. Oleh karena memilih ngaji sebagai lakon hidup, di samping ngaji kitab-kitab kuning, maka para pendiri Pondok Cipasung turut melibatkan diri di pusaran perubahan kehidupan berbangsa.
Tercatat Kh. Ruhiyat ikut andil menggerakan diri dan masyarakat di peralihan masa kolonial menuju kemerdekaan Indonesia. Sejak diprakarsai oleh Kh. Hasyim Asy’ari, yang menyerukan bahwa membela bangsa merupakan bagian dari jihad Islam sebagai proto-nasionalisme. Pun di masa awal geliat Indonesia merdeka, yaitu saat mulai munculnya gerakan-gerakan Darul Islam di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat, Kh. Ruhiyat tetap teguh memegang prinsip negara kesatuan berbentuk republik hasil konstituante.
Begitu pula dengan KH. Ilyas Ruhiyat, sebagai penerus setelah KH. Ruhiyat, di tahun 1994 turut menjadikan Cipasung sebagai tempat Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27. Tahun genting yang dinilai Gus Dur sebagai masa puncak kesewenangan pemerintahan Orde Baru. Gus Dur yang pada saat itu menjadi sasaran penjegalan operasi, mampu diredam dan dicegah dari operasi target pasukan Suharto. Sebelum keadaan semakin memburuk, dan memuncak pada Mei 1998.
Pesantren sebagaimana kita tahu, merupakan bentuk baru dari tatanan pendidikan lama yang berupa ashram, atau mandala. Fungsi utama keduanya tetap sama, yaitu pendidikan moral.
Pesantren sebagaimana kita tahu, merupakan bentuk baru dari tatanan pendidikan lama yang berupa ashram, atau mandala. Fungsi utama keduanya tetap sama, yaitu pendidikan moral. Karena fungsi utamanya adalah pendidikan moral, maka hal pertama diajarkan sejak belia adalah mengenai budi pekerti. Karena budi pekerti ini yang mengantarkan dan mengintegrasikan satuan utuh setiap diri dalam keberagamaan serta kemanusiaannya, yaitu; iman, islam, dan ihsan.
Rasul Muhammad dalam keterangan hadits termaktub, bahwa sesungguhnya ia diutus untuk menyempurnakan akhlak. Di kepulauan Nusantara, Islam diwartakan risalahnya salah satunya melalui jalur dagang yang berporos di selat Malaka. Selat ini, lambat laun terus berkembang keterhubungannya dengan berbagai lintasan jalur rempah di hampir seluruh kepulauan Nusantara. Risalah Islam (syariat) yang disampaikan terus menyebar, karena dinilai berkesesuian dengan ajaran-ajaran pokok (tauhid) masa sebelumnya.
Di jalur rempah dan sutra, Islam kemudian berkembang dalam kebudayaan maritim. Nusa Jawa dalam silang budaya (Baca, Denys Lombard) sebelum menonjolnya kesan sebagai negara agraris, pada mulanya bercorak maritim. Anthony Reid menulis Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga1450-1680, mengatakan bahwa kepulauan Nusantara (Negeri di Bawah Angin) pada abad 16-17 M menjadi daerah yang paling urban, dan memiliki penduduk kota yang paling padat di dunia. Sementara, pada abad itulah Islam mulai menyebar dengan pesat di berbagai kota di Nusantara. Artinya, perkembangan Islam pada awal penyebarannya bersifat terbuka dan dinamis dengan arus perubahan.
Terbentuknya komunitas dagang yang berpusaran di selat Malaka, terletak bukan sebatas pengertian geografis yang strategis, namun karena kecakapan penguasa yang pada waktu itu mampu menciptakan komunitas dagang jejaring Islam, yaitu Syahbandar dari kesultanan Aceh. Hal ini kemudian diakui sendiri oleh Portugis, bahwa meskipun armadanya mampu menaklukan selat Malaka, tidak berarti ia bisa menciptakan komunitas dagang yang sudah terjejaring dan meresap sedemikian kosmopolit itu.
Hingga di kemudian masa, komunitas-komunitas dagang ini mulai merangsek ke pedalaman. Ia menemukan corak lokalnya yang telah mapan dalam kultur komunitas masyarakat lama, lebih tepatnya mandala yang kita sebut hari ini sebagai pesantren. Walisanga dikenal sebagai sosok-sosok yang telah menyiarkan Islam dan mempribumisasikannya, khususnya di masyarakat agraris desa yang berpusat di Jawa. Gerak kultural ke dalam ini terjadi seiring dengan semakin kuatnya pengaruh penguasaan Kolonial di jantung kekuasaan dan pusat-pusat kota.
Nancy K Florida dalam bukunya, Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa (2020), menegaskan bahwa Islam di pedalaman lebih bercorak sufistik, dan oleh karenanya lebih bersifat fleksibel menerima ‘baju kebudayaan’ lain tanpa kehilangan nafas iman tauhidnya. Sehingga benar yang dikemukakan oleh Irfan Afifi, yang menegaskan bahwa corak keislaman kita hari ini cenderung menekankan pada syariat, sehingga kesulitan menerima standar ‘budaya’ yang lain.
Moral yang berlaku di komunitas-komunitas kultur lama, dan kemudian turut diserap oleh kultur pesantren adalah prinsip keutamaan, yaitu moral yang menekankan apa yang disebut eudaimonia, yaitu sikap laku-etis untuk mencapai hidup yang baik sebagai kausa final. Prinsip etika ini digunakan oleh masyarakat komunitarian yang telah berlangsung secara turun-temurun. Hukum nilai ini terbentuk oleh moral kultural berdasar nilai awal yang sifatnya partikular, kemudian menghasilkan konsensus baru berupa adat sebagai status moral dinamis yang universal.
Nilai moral universal bersifat dinamis dan transformatif. Para cantrik atau santri merupakan kaum terpelajar, yang akan terus menerus memperbaharui konsensus adat seiring bergulirnya zaman. Cantrik atau santri, sedari dini sudah dilatih untuk selalu memperbaharui diri dalam setiap masa untuk menghadapi perubahan zaman, dalam pergumulan dirinya. Maka, nilai dari pergumulan kaum cantrik atau santri ini yang akan mentransformasikan dirinya di pusaran zaman yang terus berubah.
Nilai perubahan inilah yang dalam tesis seorang Arnold Toynbee, suatu peradaban baru akan muncul. A Study of History, buku babon sejarah abad ke-20 yang ditulisnya, Toynbee mengemukakan bahwa suatu peradaban bertransformasi dengan mengatasi tantangan luar, dan stagnasi internal. Peradaban timbul karena pola yang ia sebut sebagai tantangan dan respon, yang dilakukan oleh kreatif minoritas yang menginspirasi massa untuk kemudian meniru inovasi mereka.
Dan kita tahu, sependek yang tercatat dalam historiografi Indonesia modern, kreatif minoritas itu adalah para terpelajar (cantrik/santri). Terhitung sejak sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, hingga reformasi di akhir masa orde baru. Kreatif minoritas terpelajar inilah yang membawa api sejarah semangat perubahan untuk zamannya. Para terpelajar yang berangkat dari komunitas-komunitas masyarakat (etnik) ini, kemudian menemukan keterjejaringannya dengan komunitas (etnik) lain, yang sama-sama memiliki visi yang sama. Kesamaan visi yang kelak tertuang dalam adagium Bhineka Tunggal Ika.
Para terpelajar yang berangkat dari komunitas-komunitas masyarakat (etnik) ini, kemudian menemukan keterjejaringannya dengan komunitas (etnik) lain, yang sama-sama memiliki visi yang sama. Kesamaan visi yang kelak tertuang dalam adagium Bhineka Tunggal Ika.
Lalu bagaimanakah pesantren sebagai bagian dari komunitas tersebut, mampu melakukan keterjejaringan dan keterhubungannya dengan komunitas-komunitas lain. Pesantren di kepulauan Indonesia, dengan segala kekayaan alam, keragaman dan kebhinekaannya, selain sebagai salah satu medium terbuka, para santri sedari awal sudah dilatih dan dididik dengan pola hidup asketis guna mencapai eudaimonia. Sehingga, ia akan mampu menciptakan jejaring kultural baru yang telah lama tercipta, dan menemukan pergulatannya serta persilangannya dengan situasi global. Dengan demikian, pesantren mampu menciptakan eudaimonia sebagai basis moral dan simpul perekat dari rukun ihsannya, yaitu kemanusiaan.
Maka sikap moral dari rukun ihsan kemanusiaan ini akan terjaga dari dekadensi dan penyempitan. Ia harus terus tumbuh mengarungi arus perubahan zaman. Karena hanya dengan hukum moral, dalam hal ini nilai agama yang diinternalisasi oleh komunitas pesantren, dapat menemukan universalitasnya. Sehingga, nilai moral yang diserap dari agama ini menjadi spirit kehidupan, sekaligus investasi masa depan (akhirat). Ia akan terus tumbuh dan bertransformasi mencapai kematangannya, dan tidak akan mengalami pemutlakan oleh para pemeluknya.
Kini, sudah melewati satu tahun, setelah pertemuan dan ajakan seorang teman yang mengantarkan ke Cipasung, saya tergabung dengan komunitas kecil yang belum lama ia dirikan bersama teman-temannya. Selama rentang waktu satu tahun itu pula, sisa waktu yang saya miliki, di samping aktivitas belajar sendiri dan babantu di rumah, pikiran saya tercurah di Cipasung. Mungkin, Cipasung sebagai simbol dan pusaran, berikut pondok-pondok lain yang melingkupinya di Tasikmalaya, yang menampung kesinggahan para santri untuk kembali ke akar jati dirinya. Sebuah kampung halaman, di mana para santri diingatkan lagi pada sayup-sayup suara nadom dan tembang. Mungkin juga, hanya dengan jalan menepi dan sejenak pulang, seorang santri bisa terjaga dan terselamatkan di batas jalan hidupnya yang tengah mengarungi arus zaman.
Setelah terpenuhinya kebutuhan sandang dan pangan, kebutuhan manusia selanjutnya adalah mendengar cerita. Agaknya ganjil, jika kehidupan manusia tanpa cerita. Cerita yang terwadahi dalam bahasa, merupakan penanda ada-nya sebuah kehidupan. Meminjam diskursus Lacanian yang berkembang, bahwa tanda dari ‘ada’ adalah bahasa. Dengan ‘ada’, maka manusia eksisten membentuk kemeng-ada-annya. Juga benda-benda, ia ‘ada’ dengan simbol bahasa. Dengan ‘ada’ itu pula, manusia membentuk norma hingga menjadi suatu kebudayaan. Manusia sebagai subjek budaya, sangat musykil bergerak tanpa bahasa dan cerita. Maka, setiap individu dan masyarakat tumbuh dan hidup dalam cerita.
Bahasa bisa disebut sebagai instrumen awal manusia dalam berinteraksi, baik dengan subjek dirinya maupun dengan subjek lain. Dari segala aktifitas pergaulan dan pergumulan itu, maka cerita muncul. Kekuatan cerita bukan terletak pada bahasa itu sendiri yang terbatas, namun kemampuan cerita menciptakan imajinasi-imajinasi baru hingga membentuk metafora, lalu ia masuk pada perenungan dan pergulatan hidup. Barangkali itulah yang dimaksud dengan sastra. Sastra berusaha menyerap segala realitas kehidupan, sekaligus usaha keluar dari belenggunya. Atas usaha pembebasan dari segala belenggu tersebut, sastra lalu mencoba menawarkan realitas baru lewat perangkat bahasa yang digunakan.
Sastra selain menjadi penanda adanya suatu kebudayaan, ia menempati posisi penting dalam sebuah masyarakat. Masyarakat di zaman para nabi, terlebih dalam agama abrahamik, menempatkan orang yang mampu bersastra dan bersyair, mendapatkan suatu kedudukan dan kehormatan tertentu. Begitupun dengan aktifitas-aktifitas filsafat di zaman Yunani kuno, tidak bisa dilepaskan dari nilai kesusastraan yang melingkupi masyarakatnya. Perenungan-perenungan dalam sastra, selain mampu dibaca sebagai representasi perkembangan suatu kebudayaan, dalam beberapa hal, ia juga dianggap memiliki misi profetik mesias dan sublimasi ilahiah. Dengannya, ajaran para filsuf dan kitab suci agama-agama banyak mengandung nilai sastra.
Sebelum adanya mesin cetak, yang beriringan dengan laju semangat kapital dan turut mengantarkan bentuk negara bangsa. Di Nusantara, teks-teks sastra tertulis dalam sebuah manuskrip berupa lontar dan babad. Isinya terdapat serat-serat yang sangat kaya dan melimpah. Serat ini yang kemudian berkembang dalam sebuah kebudayaan lisan, teks-teks serat menekankan pada ‘bunyi’ suara disamping aksara, sebagiannya ada yang harus ditembangkan, bahkan dibantu oleh dendang musik.
Berbeda halnya dengan sastra yang berkembang hari ini (modern), estetika sastra modern terukur dan tertambat pada teks yang tertulis. Model pembacaan tidak mengharuskan dilisankan, karena bunyi tertuju dan berakhir pada aksara. Maka dalam perkembangannya, cerita rakyat yang lebih sering dilisankan masyarakat tradisional, di dunia modern menemukan bentuk barunya dalam penulisan prosa, dan legenda-legenda dalam sejarah bisa dibaca dalam bentuk roman.
Maka dalam perkembangannya, cerita rakyat yang lebih sering dilisankan masyarakat tradisional, di dunia modern menemukan bentuk barunya dalam penulisan prosa, dan legenda-legenda dalam sejarah bisa dibaca dalam bentuk roman.
Kehausan akan ilmu pengetahuan dan eksplorasi penjelajahan benua-benua baru, hingga masuknya kolonialisme dengan misi memperadabkan timur, bangsa Eropa, terlebih Belanda dalam konteks Indonesia, menempatkan dirinya sebagai bangsa yang unggul. Mulai dari antroposentrisme kulit putih, perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, hingga evolusi sains. Segala pengakuan keunggulan dan kemajuan itu, terus berlangsung dengan invasi sumber daya alam di negeri Hindia Timur. “Wahyu yang hilang Negeri yang guncang”, demikian dalam ungkapan Ong Hok Ham, yang menggambarkan betapa segala pengetahuan dan tatanan lama telah hilang dan berganti. Dunia Eropa menjadi haluan baru dalam peradaban dunia modern.[1]
Memasuki paruh kedua abad ke-19, ketika kekuasaan kolonial telah sangat mapan, sehingga pemerintah Hindia Belanda tidak lagi khawatir atas hegemoni kuasa. Maka, rasa superiotas menjadi sangat dominan, dan memunculkan sikap sebagai penguasa. Lalu pemerintah kolonial mulai menganggap dirinya guru, bahkan sebagai pengawas bagi bangsa yang dianggap belum terpelajar. Setelah diberlakukannya politik etis, terutama dalam hal pendidikan, pemerintah kolonial mulai memberlakukan pengajaran dengan metode modern di sekolah-sekolah Hindia Belanda. Dalam bidang sastra, pengajaran sastra diberlakukan pada para penutur sastra daerah. Sastra kemudian dikanonisasi dalam bentuk yang baku sesuai dengan kerangka kolonial. Karena sastra dianggap menyimpan nilai ideologi, maka ideologi ini yang kemudian ditundukan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Cara kerja kolonial ini kemudian menjadi acuan utama oleh ilmuwan-ilmuwan sosial lain, seperti diungkapkan seorang sosiolog asal Inggris bernama Tonny Bennet, yang menyebut hal serupa, bahwa penundukan dalam bidang sastra tersebut sebagai ‘tradisi yang dikanonisasi’. Bagi Tonny Bennet, sastra bukanlah dua aktifitas yang tidak saling berhubungan; antara lisan dan tulisan. Sastra dalam cara kerjanya bukanlah kesastraan sebagai totalitas imajinasi atau fiksi-fiksi yang netral, melainkan sastra sebagai ‘kanon atau korpus yang dibentuk menurut ideologi tertentu, yang bergerak dengan cara-cara yang sudah tetap di seputar lingkungan lembaga pendidikan’.[2]
Mikihiro Moriyama, seorang antropolog berkebangsaan Jepang yang meneliti sastra Sunda mencoba menelaah cara kerja itu semua, dalam disertasi yang ditulisnya berjudul “Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19”. Ia berpendapat bahwa sastra Sunda didaku, ditemukan, lalu dikanonisasi oleh para sarjana kolonial, yaitu oleh para orientalis, terutama K.F. Holle. Jika ditelusuri, pengakuan tersebut sebenarnya berangkat dari gagasan para romantikus abad ke-19, terutama Prancis, yang menilai kesastraan adalah pada yang tertulis (latin). Literatur merupakan kata baru yang dipinjam Belanda (litterkunde), dari bahasa Prancis (literature), yang membentuk makna baru ‘kesusastraan.’ Belanda lalu menelan mentah-mentah istilah literatur tersebut, dan mengabaikan ideologi yang terkandung di dalamnya. Dengan asumsi itu, Belanda menganggap bahasa dan budaya Prancis lebih unggul. Sebagaimana terbesit dari etimologi kata literature, yaitu tulisan. Implikasinya, tidak terpikirkan oleh para sarjana Belanda ini, bahwa bahasa yang berseni (sastra) bisa ditemukan dalam bentuk lisan.[3]
Keberaksaraan dalam pengetahuan tradisi, bermakna kemampuan baca tulis pada aksara Arab dan aksara Sunda atau Jawa. Kemampuan baca tulis ini didapatkan di langgar dan pesantren, sebagai lembaga pendidikan tradisional. Munculnya dunia modern, dengan dibukanya sekolah-sekolah untuk Bumiputra, kemampuan baca tulis bertambah, bahkan bergeser menjadi aksara latin, yang didapatkan dari buku-buku sekolah di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Keberaksaraan (literacy) dalam aksara latin, menghasilkan komunitas pembaca modern yang terus berkembang. Pada saat bersamaan, aksara latin menciptakan perasaan rasa menjadi suatu kelompok dan kelas baru, yaitu manusia modern terpelajar.
Implikasi berubahnya keberaksaraan (baca tulis), sebagai dampak langsung dari modernitas, beranggapan bahwa ‘yang lebih penting dari bahasa adalah transformasinya’, alih-alih sebatas melestarikan bunyi dan aksara lokalnya. Transformasi bahasa dalam arus modernitas, kita bisa menelisik perkembangannya dalam bahasa Indonesia, yaitu suatu transformasi bahasa yang berkembang dalam komunitas dagang di Malaka. Tranformasi aksara latin yang diperkenalkan oleh Belanda, telah sepenuhnya dianut dan berlaku di semua sektor kehidupan bernegara hari ini. Begitu pula dengan aksara pegon, yang merupakan transformasi keberaksaraan Arab- lokal dalam tradisi kitab kuning di dunia pesantren.
Tranformasi aksara latin yang diperkenalkan oleh Belanda, telah sepenuhnya dianut dan berlaku di semua sektor kehidupan bernegara hari ini. Begitu pula dengan aksara pegon, yang merupakan transformasi keberaksaraan Arab- lokal dalam tradisi kitab kuning di dunia pesantren.
Realitas kehidupan modern telah sepenuhnya terkiblatkan pada Barat, sebagai barometer kemajuan global-universal. Manusia modern, seperti tidak menyisakan ruang untuk mengukur kemajuan kesastraan dan kebudayaan, hasil dari perkembangan diri dari aliran tradisi para karuhun. Karena dalam pengetahuan tradisi, untuk mencapai pengetahuan universal justru merupakan kesatuan dengan partikularitas yang beragam. Munculnya wacana posmodernisme, merupakan satu penyebab kekosongan yang tidak ditemukan dalam modernitas, yaitu unsur tradisi, yang merupakan awal mulanya sang subjek berada. Dengan demikian, dalam posmodernisme, unsur tradisi bisa didudukan kembali posisi pentingnya.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah sastra lokal yang termanifestasi dalam unsur tradisi bisa menemukan kontekstualnya dengan dunia modern hari ini. Tentu hal ini menjadi pekerjaan bersama dan kerja kebudayaan para intelektual anak bangsa. Dengan menempuh jalan demikian, sebuah bangsa bisa menakar diri, sekaligus sebagai penanda perkembangan dan kemajuan kebudayaannya sendiri. Dengan kerja demikian pula, harkat hidup sebuah bangsa dapat terhormat dan bermartabat. Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan bangsa lain.
[1] Dikemudian hari, hal ini memuncak dalam polemik kebudayaan tahun 1930-an. Pertentangan kuat terjadi antara Sutan Takdir Ali Sjahbana, dan Ki Hadjar Dewantara. Lihat, Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan, Pergulatan pemikiran Terbesar dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, Yogyakarta, Balai Pustaka, 2008.
[2] By ‘Literature’ here, I have in mind not the literaly as, in Tonny words, ‘a neutral totality of imaginative or fictional writing’, but literature as ‘an ideologically constructed canon or corpus of text operating in specific and determinate ways in and apparatus of education. Tonny Bennet, Marxism and Popular Fiction: Literature, Popular Fiction, and the Bourgeois Literary Formation, (Francis Mulhern, Ed), Longmen, New York, 1992. Hlm, 188-189.
[3]Mikihiro Moriyama, Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, Depok, Komunitas Bambu, 2013. Hlm. 44. Di Sunda, capaian tertinggi sastra lisan berikut dengan sistem filsafat dan metafisika yang terkandung di dalamnya terdapat dalam sebuah folklor, begitupun di Aceh terdapat dalam sebuah hikayat. Memasuki paruh pertama abad ke-20, Belanda mendaku bahwa puisi adalah puncak capaian sastra sebagai seni bahasa Sunda ‘terpelajar’. Lihat, Tom Van Den Berge, Puisi Sunda Zaman Belanda (Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan), Garut, Layung, 2021. Lihat juga, H. R. Hidayat Suryalaga, Filsafat Sunda: Sekilas Interpretasi Folklor Sunda, Bandung, Yayasan Nur Hidayah, 2010.
Saya pertama mengenalnya di rubrik kolom koran Republika, catatan-catatan opininya selalu hadir setiap pekan, dan terpampang di mading koran pondok sekolah. Seperti santri pada umumnya, bacaan itu menjadi semacam oase selintasan di waktu senggang sore saya, setelah seharian disibukkan dengan tumpukan mata pelajaran dan kitab kuning di pondok sekolah. Sebelum akhirnya magrib datang, petanda untuk memulai kegiatan kembali, mengaji sorogan dan pengulangan pelajaran sekolah hingga pukul sepuluh malam.
Kebiasaan membaca kolom opini di koran Republika itu, masih berlangsung hingga saya melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Tepatnya, di kampus tempat Buya Syafii Maarif pernah mengajar. Ia sempat mengampu mata kuliah filsafat sejarah, dan bahasa Inggris. Meski saya belum sempat merasakan diampu olehnya secara langsung. Diakhir semester satu, saya mulai mengenalnya lewat pembacaan autobiografi yang ia tulis sendiri. Dari catatan itu, saya bisa menziarahi alam pemikirannya dari dekat. Mulai akar benih masa kanak dan remajanya di tanah Minang, keberangkatan ke Yogyakarta, pergulatan-aktivisme di pusaran Muhammadiyah, dan pertemuannya dengan Fazlur Rahman saat studi doktoral di Chicago, Amerika Serikat.
Autobiografi yang ditulisnya itu, ia dengan seksama menceritakan pengaruh kuat seorang Fazlur Rahman dalam membentuk kematangan iklim intelektualnya. Seperti pendahulunya, Buya Syafii Maarif turut mewarisi studi yang digeluti oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam studi pemikiran Islam, tepatnya Islam dan politik yang bermuara pada pencarian identitas kendonesiaan.
Perkenalan pembacaan saya berlanjut pada studi akademik yang ia tulis berjudul “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Sebuah Refleksi Sejarah)”. Tepat di awal memasuki semester dua, saya pertama membaca karya ini dari buku seorang teman yang saya pinjam, kebetulan ia menghadiri launcing buku yang dibedah oleh Buya Syafii langsung di kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Entah karena alasan dan latar belakang apa, saya merasa begitu antusias membacanya, bahkan teman yang meminjamkan buku itu sempat sedikit terheran, karena saya membacanya terhitung cepat.
Disela-sela itu semua, saya kemudian bertemu secara langsung dengan Buya Syafii Maarif di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Saat itu, penerbit Mizan menerbitkan karya monumental Fazlur Rahman yang berjudul “Islam; Sejarah Pemikiran dan Peradaban”. Lalu Buya Syafii Maarif dimintai langsung untuk membedah buku itu. Dari sana pula saya mengenal pemikir lain, yang juga seorang murid dari Fazlur Rahman, yaitu Muhammad Iqbal. Rahman dan Iqbal turut menjembatani arus besar modernitas dalam Islam di dunia Barat dan global.
Selang dua tahun berlalu, tepatnya pada bulan Maret tahun 2017, karya Buya Syafii Maarif kembali muncul. Kali ini hasil dari karya desertasi yang dibentuk menjadi sebuah buku utuh, “Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante)”. Karya ini menjadi pungkasan studi akademik dalam penelaahan masyarakat Islam di Indonesia. Selain mengurai Indonesia dalam spektrum kebinekaan yang terputus oleh rantai kolonial. Dalam konteks kenegaraan, karya ini menjadi pusaran telaah identitas politik umat Islam, ditengah bergejolaknya ideologi Islam politik yang sedang berkecamuk (bahkan porak-poranda) di negara-negara Islam Timur Tengah pasca reformasi di Indonesia.
Perjalanan dan pembacaan atas itu semua, tanpa saya sadari turut memengaruhi tema kajian yang kemudian menjadi karya tugas akhir skripsi saya di program studi ilmu sejarah. Saya menulis sosialisme Indonesia, ditelaah dari buah pergulatan pemikiran Soekarno, yaitu marhaenisme dari rentang tahun 1933 sampai 1945. Tahun 1933 diambil bermula pada pidato persidangan Soekarno di Bandung yang berjudul “Indonesia Menggugat”. Dan tahun 1945 sebagai muara bertemunya dasar-dasar kebinekaan hidup berkebudayaan Indonesia, yang kemudian termaktub dalam lima bulir Pancasila.
Marhaenisme merupakan satu bentuk penelusuran Soekarno pada sistem sosial, ekonomi, dan budaya yang menyeluruh. Dan penamaan marhaen pada seorang petani di Bandung adalah upaya peneguhan subjek diri Soekarno pada diri yang lain secara utuh. Dan disitulah awal mula terciptanya tatanan, yaitu bertemunya diri pribadi dalam diri masyarakat. Untuk mengurai dan menghubungkan itu, diperlukan kejernihan melihat aliran jejak langkah masa lalu, untuk kemudian dialirkan kejernihannya ke masa kini (Baca: Tradisi). Dan itulah yang dimaksud dengan aliran jernih sungai yang melahirkan peradaban-peradaban baru.
Satu hal yang menjadi bongkahan peninggalan peradaban modern (Baca: Modernisme) dengan humanisme-universalnya, ialah sifatnya yang sekuler. Berbeda dengan akar karakteristik masyarakat Indonesia, sebagaimana penelusuran Soekarno dalam marhaenisme, yang berpangkal dan bermuara pada ketuhanan, ialah sosialisme religius, yaitu bertemunya kehidupan sosial yang imanen dengan religiusitas yang transenden. Jika religiusitas ketuhanannya bersifat sosialisme, maka ia tak akan lagi menyalahkan Tuhan dalam jalan religiusitas lain. Karena ia sudah tidak membedakan antara yang imanen dengan yang transenden. Dan corak dasar marhaenisme ialah, ia tidak kemudian meninggalkan kebinekaan yang sifatnya lokal sebagai word-view tempat bermulanya setiap subjek diri, dan disitulah akar dan pengenalan awal akan kepercayaan pada Tuhan tercipta.
Kemudian di tahun 1945, corak-corak kehidupan lokal itu menemukan posisinya dalam konteks kenegaraan (Baca: negara bangsa), setelah melalui perdebatan panjang dalam sidang konstituante yang dipimpin oleh Soekarno. Dari sana, maka lahirlah nilai dasar hidup (tatanan) yang termaktub dalam lima butir Pancasila. Pun dengan termaktubnya lima butir Pancasila, perjalanan Pancasila diuji oleh arus politik zaman dalam setiap peralihan kekuasaan.
Dari sana, maka lahirlah nilai dasar hidup (tatanan) yang termaktub dalam lima butir Pancasila. Pun dengan termaktubnya lima butir Pancasila, perjalanan Pancasila diuji oleh arus politik zaman dalam setiap peralihan kekuasaan.
Pancasila dari awal kemerdekaan hingga reformasi, posisinya selalu dibawah tekanan politik, atau istilah yang digunakan Buya Syafii Maarif “didudukan sebagai etalase politik”. Memang kenyataannya demikian, Pancasila nasibnya selalu digunakan sebagai tameng penguasa, dan kita masih menyaksikannya hingga hari ini. Dibalik diktum NKRI harga mati yang digelorakan, Buya Syafii Maarif menyoroti bergejolaknya disintegrasi dengan Papua, lengkap dengan isu HAM dan lingkungan yang melatarinya. Dalam berbagai kanal media, Buya Syafii Maarif membuka suara soal HAM yang merosot dalam dua dekade ini.
Satu topik dalam negeri yang menjadi perhatian Buya Syafii Maarif, adalah soal korupsi. Ia kerap lantang menengahi dan menyuarakan kisruh dalam KPK. Ditengah isu yang terus menerpa KPK, ditambah situasi pandemi yang membuat beban hidup semakin berat, ia kerap menyeruakan keresahan publik langsung pada penguasa. Dalam silang sejarah di Indonesia, korupsi menjadi isu abadi terhitung sejak zaman Diponegoro yang menampar patih Danurejo IV. Praktik korupsi sudah menjadi seni dan budaya bangsa Indonesia, demikian ungkapan Mohammad Hatta, hingga sekarang tidak banyak mengalami pencegahan dan pemberantasan yang signifikan. Jika ini dibiarkan, maka kebangkrutan dan keruntuhan bisa melanda Indonesia. Kita bisa belajar pada VOC yang kekayaannya melebihi minyak yang dimiliki oleh negara-negara di Timur Tengah, runtuh karena dirongrong korupsi di dalamnya.
Seperti yang ditulis Buya Syafii Maarif di harian kompas tanggal 31 Mei 2021 kemarin, tulisan ini mungkin terkesan bernada pesimistis. Tidak mampu dielak, pada realitas kehidupan bernegara hingga saat ini, Pancasila nyatanya dilumpuhkan dalam hidup keseharian masing-masing dari kita. Meminjam kalimat yang digunakan Buya, “Pancasila diagungkan dalam konstitusi, AD/ART partai politik, organisasi mahasiswa, dan di ruang-ruang seminar, namun dikhianati dalam perbuatan”. Sehingga, tidak aka ada penemuan makna kembali dari refleksi tahunan hari kesaktian Pancasila. Pun kini, ia dirayakan dengan upacara-upacara seperti halnya hari raya. Sebab kehidupan berbagsa dan bernegara kita, sudah terpisah dari penghayatan dan kehikmatan hidup dari nilai-nilai Pancasila.
Hilangnya penghayatan dan kehikmatan dalam kehidupan berbangsa merupakan implikasi dari kehidupan yang sekuler, yakni memisahkan yang imanen dengan yang transenden, sehingga religiusitas transendental itu tidak termanifetasi dalam imanenitas kehidupan sehari-hari. Kita bisa belajar kembali pada masyarakat adat dan aliran kepercayaan yang merayakan Pancasila dalam kegiatan hidup sehari-sehari, dengan segala ragam kebinekaan, ia tidak memisahkan dan membedakan dari kebinekaan yang ada dalam diri mereka. Karena pokok dasar dari bineka, adalah tunggal ika, yaitu ketunggalan akan tujuan hidup dan Tuhan yang satu.
Dalam tajuk kencana di Ib Times.id yang dimuat dihari ulang tahunnya yang 86 kemarin, tertulis “Buya Syafii Maarif sebagai Mata-Air Keteladanan Bangsa”. Barangkali, keresahan yang dialirkan terus-menerus oleh kejernihan pikiran lewat kerja akademiknya, ia ingin mengalirkan sungai peradaban baru itu. Dan saya, ingin meneladani perbuatannya dengan menjadi anak sungai yang terhubung dengan aliran sungai dirinya.