Menu

Author Archives: Mohammad Hagie

Mohammad Ali, seorang mantan kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan pengajar sejarah di Universitas Padjadjaran pernah mengutarakan pikirannya menyangkut penulisan sejarah dengan judul Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia. Tulisan tersebut menjadi tema pembuka dalam buku kumpulan tulisan ahli filologi dan sejarawan lainnya yang diprakarsai oleh Soedjatmoko tahun 1962 berjudul Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Dalam catatan pentingnya, Mohammad Ali mencoba menafsir ulang apa yang dimaksud dengan historiografi dalam penulisan sejarah. Ia mempersoalkan apakah objek cerita sejarah itu tetap sama sepanjang masa sehingga tidak perlu diperbaharui, atau justru objek cerita sejarah dapat berubah sehingga perlu dikoreksi dan diperbaharui. Dari pertanyaan tersebut maka muncul pengertian baru untuk memahami sejarah sebagai sebuah construct of ideas, dan ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi, antropologi, filologi menjadi ilmu bantu untuk mengetahui secara utuh (objektif) dari bangunan ide (construct of ideas) tersebut. Maka lazimnya dalam metodologi sejarah, digunakan istilah rekonstruksi sebagai teori pertama untuk menulis. Terminologi rekonstruksi bertumpu pada soal penafsiran, yaitu tulisan-tulisan yang telah ada harus diperbaharui dan dilakukan penulisan kembali. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimanakah seseorang atau sebuah bangsa menuliskan sejarahnya?

Tradisi historiografi Eropa modern terbentuk oleh tradisi ilmiah yang menyandarkan sumber sejarah pada fakta-fakta empirik. Hasil-hasil penelitian arkeologi, epigrafi, filologi, dan sejenisnya dikumpulkan guna mencari keutuhan untuk kemudian ditulis menjadi narasi besar sejarah. Dengan demikian, penulisan sejarah berkutat pada data faktual di zamannya dan membentuk corak tersendiri bagi tujuan serta fungsi dari sejarah itu. Sedangkan, tradisi historiografi Indonesia tidak terlalu menitik beratkan pada ihwal data-data empirik sebagaimana ilmuwan dan sejarawan-sejarawan Eropa, karena fungsi dan tujuannya memang berbeda. Historiografi tradisional yang banyak termaktub dalam babad dan serat-serat, lebih menitik beratkan pada visi dari sejarah untuk menggurat yang menjelang. Karenanya penulisan sejarah tidak disibukkan dan terjebak pada data faktual, sehingga fungsi sejarah akan sendirinya berorientasi pada penyingkapan masa depan sebagai realitas faktual.

Javanologi dan Proyek Historiografi Modern

Javanologi merupakan sebuah lembaga yang terbentuk dan implikasi langsung dari kekalahan pasukan Diponegoro dalam perang Jawa (1925-1930). Pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa penuh, memiliki kepentingan agar ekspansi kekuasaannya terus berlanjut dan rakyat jajahannya bisa diperintah. Maka hal pertama yang dilakukan ialah menelisik dari “dalam” (identitas) lewat bahasa, sejarah, dan tatanan hukum. Meski penelitian tentang masyarakat Jawa sudah dilakukan sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), namun hasil-hasil dari penelitian tersebut baru terlembagakan di paruh pertama abad ke-19 dengan berdirinya javanologi. Periode awal berdirinya javanologi muncul ahli-ahli filologi yang khusus mengkaji bahasa dan kebudayaan. Hingga di periode-periode selanjutnya, muncul para antropolog seperti Snouck Hurgronje, dan beberapa lainnya para ahli zoologi dan botani (sebagian besarnya dari Jerman) yang mewarisi seluruh pengkaji-pengkaji Jawa sebelumnya.

 Menariknya, inspirasi pendirian javanologi muncul dari Inggris atas keberhasilannya di tanah-tanah koloni, terlebih saat berkuasa lima tahun di tanah Hindia Belanda (1811-1816). Saat itu pemerintah Inggris berhasil menelisik dari “dalam” masyarakat Hindia Belanda dengan terbitnya karya monumental History of Java karya Stamford Raffles dan History of the Indian Archipelago karya John Crawfurd. Di tahun-tahun selanjutnya (setelah berakhirnya perang Jawa), pemerintah Belanda meniru apa yang sudah dilakukan oleh Inggris dalam mendirikan sebuah lembaga penelitian modern sesuai kepentingannya. Inti dari proyek pendirian javanologi ialah usaha mengenali dari “dalam” untuk kemudian dapat didefinisikan ulang seluruh bangunan ide dan pengetahuan masyarakat jajahannya. Dengan cara demikian, masyarakat jajahan bisa dikuasai dan mudah diperintah. Kemudian di periode javanologi inilah tradisi intelektual Eropa Barat yang ilmiah empiris, bertemu dengan khazanah tradisi susastra kepujanggaan yang esoteris.

dari proyek pendirian javanologi ialah usaha mengenali dari “dalam” untuk kemudian dapat didefinisikan ulang seluruh bangunan ide dan pengetahuan masyarakat jajahannya. Dengan cara demikian, masyarakat jajahan bisa dikuasai dan mudah diperintah.

Renaissance dan Kanonisasi Sastra

Penelisikan dari “dalam” yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terus merangsek hingga ke jantung kekuasaan, hal itu menimbulkan sikap dilematis para cendikia atau pujangga keraton. Di satu sisi kuasa kolonial semakin tidak terhindarkan dengan tunduknya raja-raja pada pemerintah Hindia Belanda, di saat bersamaan kaum pujangga harus tetap menjaga kemerdekaan diri dalam mengemban nilai moral sebagai seorang cendekia. Satu di antara dan terakhir dari kaum cendikia atau pujangga itu ialah Ranggawarsita yang mewarisi tradisi kepujanggaan dan dianggap menyentuh inti mendasar keberadaan orang Jawa. Javanologi dengan corak ilmiah-rasionalnya yang merupakan produk dari pencerahan Eropa Barat, memiliki kepentingan mengobjektifikasi wilayah esoteris keilmuan pujangga Jawa sebagai subjek penelitian. Sehingga di periode ini, dua tradisi keilmuan hidup bersamaan sekaligus bersitegang.  

 Satu di antara dilakukannya proyek objektifikasi ilmiah dunia esoteris Jawa, ialah munculnya teori dan perdebatan “renaissance sastra Jawa” yang bermula dari seorang pegawai kolonial yang bertugas mengkaji bahasa Jawa bernama Theodoor Pigeaud. Tepat di masa itu, di paruh kedua abad ke-18, aktivitas sastra di empat keraton sisa-sisa Mataram Islam mengalami perkembangan yang pesat. Selain karena faktor mulai digemarinya tinta dan kertas sebagai medium tulis di lingkungan keraton yang diimpor dari China dan Arab, faktor utamanya ialah usaha pengkanonisasi sastra dan pendefinisian ulang masyarakat Jawa sesuai dengan selera estetis dan kepentingan politis pemerintah kolonial. Dan yang pertama mendapat pengaruh itu ialah kaum priyayi dengan pola pendidikan modern Belanda. Karena pasca kekalahan pasukan Diponegoro keraton-keraton telah tunduk dan sudah tidak terhubung lagi dengan pesantren, maka Islam sebagai visi awal dan identitas penyatu mampu “dijinakkan” dan terpolarisasi seiring terus menguatnya politik pemerintah kolonial.

Karena pasca kekalahan pasukan Diponegoro keraton-keraton telah tunduk dan sudah tidak terhubung lagi dengan pesantren, maka Islam sebagai visi awal dan identitas penyatu mampu “dijinakkan” dan terpolarisasi seiring terus menguatnya politik pemerintah kolonial.

Di wilayah lain, kanonisasi sastra dan munculnya renaissance Jawa sebagai karya adiluhung (par excellence) menjadi upaya tersendiri eliminasi visi Islam, karena dianggap sifatnya yang memberontak kolonial sebagaimana perlawanan Diponegoro. Selain itu, implikasi lain ialah terpinggirkannya karya-karya sastra pesisir yang telah mewarisi terhadap kesusastraan Mataram Islam. Di saat yang bersamaan, upaya pembentukan identitas baru masyarakat Jawa dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk menyambut dunia modern sebagaimana yang terjadi di dunia Eropa. Maka dapat dimengerti pula mengapa generasi awal hasil didikan javanologi seperti Poerbatjaraka, justru menghardik karya-karya bangsanya sendiri, terlebih karya Ranggawarsita. Sebuah potret dan penanda langsung bahwa tradisi penggubahan (penulisan kembali) karya-karya sastra dengan visi Islam telah sirna dan tergantikan oleh dunia rasional modern serta terpisah dari visi awal yang telah membentuknya. Pasca itu, Jawa modern terdefinisikan sebagai kaum terdidik dan tidak lagi mengenali identitas kediriannya secara utuh.

Menemukan Diri-bangsa

Para pemikir Eropa klasik kenegaraan seperti Thomas Hobbes menggambarkan dan mempersonifikasi sebuah negara (bangsa) sebagai subjektivitas lain dalam bentuk makro. Subjek diri mampu melihat dirinya dari cermin luar, atau dalam penjelasan Wilhelm Dilthey’s di bukunya berjudul Philosophy of Historical Understanding: A Critical Analysis sebagai verstehen (understanding), sebuah upaya untuk memahami diri dalam diri yang lain. Pengalaman dari “dalam” yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman kemanusiaan dengan segala kompleksitasnya, yaitu menemukan “the I” dalam “the Thou” (aku dalam engkau).[1]

Javanologi di kemudian hari mengalami perkembangan yang lebih luas dan menjadi episentrum baru ilmu pengetahuan modern yang terinstitusikan untuk usahanya mendefinisikan ulang Jawa. Hingga menjelang abad ke-20 (1899), muncul kaum terpelajar dengan kecakapan berbahasa Belanda dan corak berfikirnya yang baru. Satu di antaranya ialah Kartini, seorang perempuan pribumi yang kemudian mampu mengungkapkan diri (lewat berkirim surat dengan Marie Ovink-Soer) sebagai potret dimulainya zaman baru modern, sekaligus menjadi garis pemisah dengan masyarakat sebelumnya di abad ke-19. Bila subjektivitas makro sebagaimana diungkap oleh Thomas Hobbes dalam menggambarkan dan personifikasi negara (bangsa), maka sangat mungkin Kartini mengalami penemuan diri (the I) hasil pertemuannya dengan orang Belanda (the Thou) sebagai cermin dunia modern yang sedang dihadapinya saat itu. Kartini menjadi pribadi baru yang terpelajar, modern, dan terhubung dengan orang Belanda sebagai cermin masyarakat global yang sedang terjadi. Hingga di awal abad ke-20, penemuan-penemuan diri (bangsa) terus berkembang dalam bentuk gagasan dengan lahirnya Sumpah Pemuda (1928), ide-ide pergerakan bangsa oleh berbagai organisasi politik, hingga peristiwa kemerdekaan di tahun 1945 sebagai titik pijakan baru bertemunya subjektivitas-subjektivitas makro dalam personifikasi tokoh-tokoh pergerakan.

Dengan lahirnya hari kemerdekaan di tahun 1945, historiografi yang ditulis oleh para pujangga telah membantu Indonesia mampu mengenali simpul-simpul sejarahnya sekaligus menemukan visi baru sebagai sebuah bangsa dalam perumusan bernama Pancasila. Dengannya pula, fungsi historiografi sebagai sebuah penulisan sejarah dan negara bangsa yang diwakili oleh subjek-subjek makro telah purna menuliskan diri untuk sejarah pada zamannya. Maka, historiografi perlu terus ditulis sebagai potret zaman dalam mengarungi lintasan waktu. Sehingga, subjek-subjek makro yang mewakili zamannya itu dapat kembali hadir untuk menemukan dan merumuskan ulang Diri-bangsa sebagai keniscayaan yang dihadapi sejarah. Dengan mengenali dan menemukan kedirian, sebuah bangsa tidak akan kehilangan muasalnya dan tahu arah tujuannya. Dan begitulah sebuah bangsa bisa tumbuh dan besar.

Tabik.


[1] Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, Hlm. 6, Tiara Wacana, 2008.

Hari-hari berpuasa di tiga tahun ini, saya berusaha membuka ulang dan membaca kembali lembar-lembar Nurcholish Madjid (Cak Nur) perihal puasa. Lembar-lembar itu dihimpun oleh Yayasan Paramadina menjadi dua buah buku berjudul Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur, dan Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Mula-mula bapak saya yang memperkenalkan selintas sosok Cak Nur saat saya masih duduk di bangku SMA. Bapak saya yang sering membeli terbitan buku salah satu penerbit pemikiran Islam di Bandung, cukup merasa akrab dengan Cak Nur yang sama-sama lulusan pondok modern Gontor. Sekonyong-konyong karena suka membaca biografi pendek sewaktu SMA, saya baru mengenal Cak Nur lebih lanjut di akhir semester satu masuk kuliah, lewat biografi utuh yang ditulis Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.

Cak Nur membuka esai lembar-lembar Ramadan dengan cerita menjalani puasa di masa kecil: ingatan yang selalu terekam, dan menjadi bayangan ideal akan kenangan. Juga potret nuansa menyambut bulan puasa hingga perayaan Idul Fitri (Lebaran) di Indonesia yang dinilai unik, sehingga memberi kesan mendalam usai melewatinya sebulan penuh. Terdapat beberapa peneliti, terlebih sarjana-sarjana Muslim Arab, yang dikutip oleh Cak Nur perihal potret dan nuansa bulan Ramadan. Di Indonesia, nuansa Ramadan coraknya begitu kultural, atau dalam ungkapan Cak Nur, “Agaknya lebih (berbeda) dari kaum Muslim di negeri-negeri lain.”

Era kiwari, Andre Moller, seorang antropolog asal Swedia, mencoba memotret ulang keunikan nuansa Ramadan dalam karya disertasinya berjudul Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2005). Satu di antara keunikan nuansa Ramadan tersebut ialah praktik puasa tidak berhenti dijalankan hanya pada pemenuhan ritus formalnya, namun termanifestasi dalam keseluruhan praktik hidup sehari-hari. Hal itu terjadi karena para penyebar Islam berikut kaum intelektualnya, mampu mempertemukan ketentuan-ketentuan puasa dalam Alquran Hadits (syariat) dengan lokalitas (tradisi) yang telah ada. Sehingga, corak menjalani puasa bisa menampung ekspresi kemanusiaan yang telah dibentuk oleh lingkungan-budayanya sendiri. Maka puasa Ramadan dipahami tidak sebatas perintah dan ritual agama, namun menjadi tradisi keseharian serta memunculkan potret mengenai apa yang dimaksud nuansa Ramadan itu.

Menelaah tentang praktik puasa, Cak Nur menelusuri bahwa puasa merupakan satu bentuk peribadatan yang paling luas tersebar dalam kebudayaan umat manusia dan tradisi agama-agama. Tentunya, praktik puasa dapat berbeda dari satu umat ke umat lain, atau dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Namun hakikatnya, praktik berpuasa ialah menahan diri: lazimnya menahan dari makan dan minum serta pemenuhan hal-hal yang bersifat biologis. Kaum Sabean di Mesopotamia dan Persia, melakukan puasa dengan menghindari jenis makanan dan minuman tertentu. Begitu juga umat Buddha yang melakukan puasa makan daging lima hari sebelum kematian Sang Buddha. Umat lain-lain menjalankan puasa hanya untuk sebagian siang, seluruh siang, siang dan malam, serta malam hari saja. Ada pula puasa yang berupa penahanan diri dari berbicara, seperti yang dilakukan oleh Maryam ibunda Isa AS. Sedangkan umat Islam berpuasa dari makan dan minum mulai terbit fajar hingga matahari terbenam. Ketentuan ini merujuk pada firman Tuhan yang bersifat wajib bagi mereka yang beriman, sebagaimana diwajibkan pada umat-umat terdahulu (sebelum Muhammad SAW) dengan tujuan takwa.[1]

Praktik puasa, terlebih dalam tradisi agama abrahamik, merupakan seruan Tuhan melalui para Nabi yang menerima wahyu (kebenaran/gaib), sehingga menjalankannya diperuntukkan bagi individu-individu beriman.

Dalam keterangan Hadist Qudsi, di antara semua praktik ibadah yang dilakukan umat manusia (beriman), puasa adalah persembahan khusus yang diminta langsung oleh Tuhan hanya untuk-Nya.[2] Maka puasa menjadi ibadah paling personal bagi yang ingin menjalin hubungan dengan Tuhan, yang sebab itu pula berpuasa bersifat rahasia dan sakral. Kerahasiaan merupakan pangkal dari keimanan dan hanya bisa ditempuh dengan jalan percaya yang harus mewujud dalam perilaku berserah diri. Berserah diri ini dalam Islam disebut takwa, yaitu jalan yang akan membuka peluang pintu-pintu menuju Tuhan. Takwa ialah jalan menempuh ke dalam diri untuk menemukan enigma awal mula penciptaan dan sumber ruh (fitrah) kesejatian diri.

Dalam pengertian Nurcholish Madjid, takwa berbeda dengan fatalis. Takwa bertumpu pada keteguhan iman: bermula dari percaya, bersandar, dan berpengharapan diri pada Tuhan. Takwa bukan pula konsepsi-konsepsi sebagaimana dielaborasi oleh filsuf-filsuf eksistensialis, para nihilis, atau absurdis. Takwa berjalan tanpa negasi, tegak dan lurus menempuh jalan pada cahaya. Dan jalan untuk menempuh dan menemukan cahaya dalam takwa itu ialah berpuasa, karena puasa diserukan dan akan terhubung langsung pada Tuhan sang sumber cahaya.

Inti dari praktik puasa ialah mendidik hawa nafsu sebagai sumber keinginan diri yang paling melekat. Kemelekatan diri yang terus menerus meminta untuk dipenuhi berdampak pada redupnya pendar cahaya ruh di lubuk hati manusia paling dalam. Maka untuk menemukan ruh yang sakral dalam diri itu dimulai dari aktivitas lahiriah puasa berupa pengosongan perut. Lewat pengosongan, manusia diseru untuk melihat pada diri sendiri guna menemukan yang tersisa dan jernih dari kekosongan itu. Dengan demikian, puasa bisa menjadi jalan untuk menemukan kembali kesakralan purba (fitrah) manusia yang terhempas oleh enigma-enigma profan dunia. Karena hanya dengan menyadari dan menemukan sakralitas yang berpendar dalam diri, pesan takwa puasa bisa menyemai dalam diri serta dapat berbuah perilaku baik. Tanpa itu, selamanya manusia akan terjebak dalam berhala-berhala nilai profan yang melekat pada pendar-pendar jelaga dunia, dan pendaran paling dekat ialah yang melekat pada manusia itu sendiri.

Wallahu ‘alam….


[1] Al-Qur’an, Surat al-Baqarah, ayat 183.

[2]Semua perbuatan seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala.

Duniakah yang berubah atau manusia sendiri yang senantiasa berubah. Dari manakah serangkaian terjadinya awal mula perubahan. Apakah ia sebuah gerak zaman tak terhindarkan, atau sebuah keharusan yang dihadapi manusia untuk bisa bertahan hidup. Lalu pikiran ini berkesimpulan, bahwa satu-satunya kepastian mutlak di dunia ini adalah perubahan. Dan manusia senantiasa dihadapkan pada anomali ketidakpastian. Maka, manusialah yang berubah.

Sebagai seorang yang menghabiskan masa kecilnya di lingkungan sekitaran pesantren, pada batas pengembaraan hidup, saya terhempas oleh kerinduan akar masa kecil bermain di pekarangan pesantren. Sesekali kerinduan itu terdengar memanggil dalam sayup-sayup suara nadom menjelang Magrib, atau suara Marhaba Barzanji di kala malam. Ibarat sebatang pohon yang telah tumbuh dan menjulang seiring waktu yang didapatkan, juga beribu musim yang telah dilalui, lalu ia merindu kembali pada akar benih pemberian para pendahulunya.

Tetibanya di akhir masa perkuliahan, saya dipertemukan dengan seseorang yang mengajak saya ke pondok Cipasung. Sebuah pondok yang menjadi pusat di jantung Kabupaten Tasikmalaya. Corak ragamnya sama dengan pondok-pondok lain di Jawa, seperti Tebuireng, Krapyak, Tegalsari. Penamaan pondok sekaligus mewakili nama daerah tempat pondok berada. Ia tidak memisahkan diri dengan ragam masyarakat sekitar. Di samping itu, pesantren turut mengiringi peralihan zaman, dengan memberanikan dan mencontohkan diri sebagai basis moral masyarakat. Di dalamnya terdapat Kiai atau Ajengan, sebagai simbol kuasa sekaligus subjek moral. 

Semerbak aroma Shattariyah tercium senyap, saat Kh. Ruhiyat memilih “Ngaji” sebagai jalan tarikat. Oleh karena memilih ngaji sebagai lakon hidup, di samping ngaji kitab-kitab kuning, maka para pendiri Pondok Cipasung turut melibatkan diri di pusaran perubahan kehidupan berbangsa.

Tercatat Kh. Ruhiyat ikut andil menggerakan diri dan masyarakat di peralihan masa kolonial menuju kemerdekaan Indonesia. Sejak diprakarsai oleh Kh. Hasyim Asy’ari, yang menyerukan bahwa membela bangsa merupakan bagian dari jihad Islam sebagai proto-nasionalisme. Pun di masa awal geliat Indonesia merdeka, yaitu saat mulai munculnya gerakan-gerakan Darul Islam di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat, Kh. Ruhiyat tetap teguh memegang prinsip negara kesatuan berbentuk republik hasil konstituante.

Begitu pula dengan KH. Ilyas Ruhiyat, sebagai penerus setelah KH. Ruhiyat, di tahun 1994 turut menjadikan Cipasung sebagai tempat Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27. Tahun genting yang dinilai Gus Dur sebagai masa puncak kesewenangan pemerintahan Orde Baru. Gus Dur yang pada saat itu menjadi sasaran penjegalan operasi, mampu diredam dan dicegah dari operasi target pasukan Suharto. Sebelum keadaan semakin memburuk, dan memuncak pada Mei 1998.

Pesantren sebagaimana kita tahu, merupakan bentuk baru dari tatanan pendidikan lama yang berupa ashram, atau mandala. Fungsi utama keduanya tetap sama, yaitu pendidikan moral.

Pesantren sebagaimana kita tahu, merupakan bentuk baru dari tatanan pendidikan lama yang berupa ashram, atau mandala. Fungsi utama keduanya tetap sama, yaitu pendidikan moral. Karena fungsi utamanya adalah pendidikan moral, maka hal pertama diajarkan sejak belia adalah mengenai budi pekerti. Karena budi pekerti ini yang mengantarkan dan mengintegrasikan satuan utuh setiap diri dalam keberagamaan serta kemanusiaannya, yaitu; iman, islam, dan ihsan.

Rasul Muhammad dalam keterangan hadits termaktub, bahwa sesungguhnya ia diutus untuk menyempurnakan akhlak. Di kepulauan Nusantara, Islam diwartakan risalahnya salah satunya melalui jalur dagang yang berporos di selat Malaka. Selat ini, lambat laun terus berkembang keterhubungannya dengan berbagai lintasan jalur rempah di hampir seluruh kepulauan Nusantara. Risalah Islam (syariat) yang disampaikan terus menyebar, karena dinilai berkesesuian dengan ajaran-ajaran pokok (tauhid) masa sebelumnya.

Di jalur rempah dan sutra, Islam kemudian berkembang dalam kebudayaan maritim. Nusa Jawa dalam silang budaya (Baca, Denys Lombard) sebelum menonjolnya kesan sebagai negara agraris, pada mulanya bercorak maritim. Anthony Reid menulis Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, mengatakan bahwa kepulauan Nusantara (Negeri di Bawah Angin) pada abad 16-17 M menjadi daerah yang paling urban, dan memiliki penduduk kota yang paling padat di dunia. Sementara, pada abad itulah Islam mulai menyebar dengan pesat di berbagai kota di Nusantara. Artinya, perkembangan Islam pada awal penyebarannya bersifat terbuka dan dinamis dengan arus perubahan.

Terbentuknya komunitas dagang yang berpusaran di selat Malaka, terletak bukan sebatas pengertian geografis yang strategis, namun karena kecakapan penguasa yang pada waktu itu mampu menciptakan komunitas dagang jejaring Islam, yaitu Syahbandar dari kesultanan Aceh. Hal ini kemudian diakui sendiri oleh Portugis, bahwa meskipun armadanya mampu menaklukan selat Malaka, tidak berarti ia bisa menciptakan komunitas dagang yang sudah terjejaring dan meresap sedemikian kosmopolit itu.

Hingga di kemudian masa, komunitas-komunitas dagang ini mulai merangsek ke pedalaman. Ia menemukan corak lokalnya yang telah mapan dalam kultur komunitas masyarakat lama, lebih tepatnya mandala yang kita sebut hari ini sebagai pesantren. Walisanga dikenal sebagai sosok-sosok yang telah menyiarkan Islam dan mempribumisasikannya, khususnya di masyarakat agraris desa yang berpusat di Jawa. Gerak kultural ke dalam ini terjadi seiring dengan semakin kuatnya pengaruh penguasaan Kolonial di jantung kekuasaan dan pusat-pusat kota.

Nancy K Florida dalam bukunya, Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa (2020), menegaskan bahwa Islam di pedalaman lebih bercorak sufistik, dan oleh karenanya lebih bersifat fleksibel menerima ‘baju kebudayaan’ lain tanpa kehilangan nafas iman tauhidnya. Sehingga benar yang dikemukakan oleh Irfan Afifi, yang menegaskan bahwa corak keislaman kita hari ini cenderung menekankan pada syariat, sehingga kesulitan menerima standar ‘budaya’ yang lain. 

Moral yang berlaku di komunitas-komunitas kultur lama, dan kemudian turut diserap oleh kultur pesantren adalah prinsip keutamaan, yaitu moral yang menekankan apa yang disebut eudaimonia, yaitu sikap laku-etis untuk mencapai hidup yang baik sebagai kausa final. Prinsip etika ini digunakan oleh masyarakat komunitarian yang telah berlangsung secara turun-temurun. Hukum nilai ini terbentuk oleh moral kultural berdasar nilai awal yang sifatnya partikular, kemudian menghasilkan konsensus baru berupa adat sebagai status moral dinamis yang universal.

Nilai moral universal bersifat dinamis dan transformatif. Para cantrik atau santri merupakan kaum terpelajar, yang akan terus menerus memperbaharui konsensus adat seiring bergulirnya zaman. Cantrik atau santri, sedari dini sudah dilatih untuk selalu memperbaharui diri dalam setiap masa untuk menghadapi perubahan zaman, dalam pergumulan dirinya. Maka, nilai dari pergumulan kaum cantrik atau santri ini yang akan mentransformasikan dirinya di pusaran zaman yang terus berubah.

Nilai perubahan inilah yang dalam tesis seorang Arnold Toynbee, suatu peradaban baru akan muncul. A Study of History, buku babon sejarah abad ke-20 yang ditulisnya, Toynbee  mengemukakan bahwa suatu peradaban bertransformasi dengan mengatasi tantangan luar, dan stagnasi internal. Peradaban timbul karena pola yang ia sebut sebagai tantangan dan respon, yang dilakukan oleh kreatif minoritas yang menginspirasi massa untuk kemudian meniru inovasi mereka.

Dan kita tahu, sependek yang tercatat dalam historiografi Indonesia modern, kreatif minoritas itu adalah para terpelajar (cantrik/santri). Terhitung sejak sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, hingga reformasi di akhir masa orde baru. Kreatif minoritas terpelajar inilah yang membawa api sejarah semangat perubahan untuk zamannya. Para terpelajar yang berangkat dari komunitas-komunitas masyarakat (etnik) ini, kemudian menemukan keterjejaringannya dengan komunitas (etnik) lain, yang sama-sama memiliki visi yang sama. Kesamaan visi yang kelak tertuang dalam adagium Bhineka Tunggal Ika.

Para terpelajar yang berangkat dari komunitas-komunitas masyarakat (etnik) ini, kemudian menemukan keterjejaringannya dengan komunitas (etnik) lain, yang sama-sama memiliki visi yang sama. Kesamaan visi yang kelak tertuang dalam adagium Bhineka Tunggal Ika.

Lalu bagaimanakah pesantren sebagai bagian dari komunitas tersebut, mampu melakukan keterjejaringan dan keterhubungannya dengan komunitas-komunitas lain. Pesantren di kepulauan Indonesia, dengan segala kekayaan alam, keragaman dan kebhinekaannya, selain sebagai salah satu medium terbuka, para santri sedari awal sudah dilatih dan dididik dengan pola hidup asketis guna mencapai eudaimonia. Sehingga, ia akan mampu menciptakan jejaring kultural baru yang telah lama tercipta, dan menemukan pergulatannya serta persilangannya dengan situasi global. Dengan demikian, pesantren mampu menciptakan eudaimonia sebagai basis moral dan simpul perekat dari rukun ihsannya, yaitu kemanusiaan.

Maka sikap moral dari rukun ihsan kemanusiaan ini akan terjaga dari dekadensi dan penyempitan. Ia harus terus tumbuh mengarungi arus perubahan zaman. Karena hanya dengan hukum moral, dalam hal ini nilai agama yang diinternalisasi oleh komunitas pesantren, dapat menemukan universalitasnya. Sehingga, nilai moral yang diserap dari agama ini menjadi spirit kehidupan, sekaligus investasi masa depan (akhirat). Ia akan terus tumbuh dan bertransformasi mencapai kematangannya, dan tidak akan mengalami pemutlakan oleh para pemeluknya.

Kini, sudah melewati satu tahun, setelah pertemuan dan ajakan seorang teman yang mengantarkan ke Cipasung, saya tergabung dengan komunitas kecil yang belum lama ia dirikan bersama teman-temannya. Selama rentang waktu satu tahun itu pula, sisa waktu yang saya miliki, di samping aktivitas belajar sendiri dan babantu di rumah, pikiran saya tercurah di Cipasung. Mungkin, Cipasung sebagai simbol dan pusaran, berikut pondok-pondok lain yang melingkupinya di Tasikmalaya, yang menampung kesinggahan para santri untuk kembali ke akar jati dirinya. Sebuah kampung halaman, di mana para santri  diingatkan lagi pada sayup-sayup suara nadom dan tembang. Mungkin juga, hanya dengan jalan menepi dan sejenak pulang, seorang santri bisa terjaga dan terselamatkan di batas jalan hidupnya yang tengah mengarungi arus zaman.

Tabik.

Setelah terpenuhinya kebutuhan sandang dan pangan, kebutuhan manusia selanjutnya adalah mendengar cerita. Agaknya ganjil, jika kehidupan manusia tanpa cerita. Cerita yang terwadahi dalam bahasa, merupakan penanda ada-nya sebuah kehidupan. Meminjam diskursus Lacanian yang berkembang, bahwa tanda dari ‘ada’ adalah bahasa. Dengan ‘ada’, maka manusia eksisten membentuk kemeng-ada-annya. Juga benda-benda, ia ‘ada’ dengan simbol bahasa. Dengan ‘ada’ itu pula, manusia membentuk norma hingga menjadi suatu kebudayaan. Manusia sebagai subjek budaya, sangat musykil bergerak tanpa bahasa dan cerita. Maka, setiap individu dan masyarakat tumbuh dan hidup dalam cerita.

Bahasa bisa disebut sebagai instrumen awal manusia dalam berinteraksi, baik dengan subjek dirinya maupun dengan subjek lain. Dari segala aktifitas pergaulan dan pergumulan itu, maka cerita muncul. Kekuatan cerita bukan terletak pada bahasa itu sendiri yang terbatas, namun kemampuan cerita menciptakan imajinasi-imajinasi baru hingga membentuk metafora, lalu ia masuk pada perenungan dan pergulatan hidup. Barangkali itulah yang dimaksud dengan sastra. Sastra berusaha menyerap segala realitas kehidupan, sekaligus usaha keluar dari belenggunya. Atas usaha pembebasan dari segala belenggu tersebut, sastra lalu mencoba menawarkan realitas baru lewat perangkat bahasa yang digunakan. 

Sastra selain menjadi penanda adanya suatu kebudayaan, ia menempati posisi penting dalam sebuah masyarakat. Masyarakat di zaman para nabi, terlebih dalam agama abrahamik, menempatkan orang yang mampu bersastra dan bersyair, mendapatkan suatu kedudukan dan kehormatan tertentu. Begitupun dengan aktifitas-aktifitas filsafat di zaman Yunani kuno, tidak bisa dilepaskan dari nilai kesusastraan yang melingkupi masyarakatnya. Perenungan-perenungan dalam sastra, selain mampu dibaca sebagai representasi perkembangan suatu kebudayaan, dalam beberapa hal, ia juga dianggap memiliki misi profetik mesias dan sublimasi ilahiah. Dengannya, ajaran para filsuf dan kitab suci agama-agama banyak mengandung nilai sastra.

Sebelum adanya mesin cetak, yang beriringan dengan laju semangat kapital dan turut mengantarkan bentuk negara bangsa. Di Nusantara, teks-teks sastra tertulis dalam sebuah manuskrip berupa lontar dan babad. Isinya terdapat serat-serat yang sangat kaya dan melimpah. Serat ini yang kemudian berkembang dalam sebuah kebudayaan lisan, teks-teks serat menekankan pada ‘bunyi’ suara disamping aksara, sebagiannya ada yang harus ditembangkan, bahkan dibantu oleh dendang musik.

Berbeda halnya dengan sastra yang berkembang hari ini (modern), estetika sastra modern terukur dan tertambat pada teks yang tertulis. Model pembacaan tidak mengharuskan dilisankan, karena bunyi tertuju dan berakhir pada aksara. Maka dalam perkembangannya, cerita rakyat yang lebih sering dilisankan masyarakat tradisional, di dunia modern menemukan bentuk barunya dalam penulisan prosa, dan legenda-legenda dalam sejarah bisa dibaca dalam bentuk roman.

Maka dalam perkembangannya, cerita rakyat yang lebih sering dilisankan masyarakat tradisional, di dunia modern menemukan bentuk barunya dalam penulisan prosa, dan legenda-legenda dalam sejarah bisa dibaca dalam bentuk roman.

Kehausan akan ilmu pengetahuan dan eksplorasi penjelajahan benua-benua baru, hingga masuknya kolonialisme dengan misi memperadabkan timur, bangsa Eropa, terlebih Belanda dalam konteks Indonesia, menempatkan dirinya sebagai bangsa yang unggul. Mulai dari antroposentrisme kulit putih, perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, hingga evolusi sains. Segala pengakuan keunggulan dan kemajuan itu, terus berlangsung dengan invasi sumber daya alam di negeri Hindia Timur. “Wahyu yang hilang Negeri yang guncang”, demikian dalam ungkapan Ong Hok Ham, yang menggambarkan betapa segala pengetahuan dan tatanan lama telah hilang dan berganti. Dunia Eropa menjadi haluan baru dalam peradaban dunia modern.[1]

Memasuki  paruh kedua abad ke-19, ketika kekuasaan kolonial telah sangat mapan, sehingga pemerintah Hindia Belanda tidak lagi khawatir atas hegemoni kuasa. Maka, rasa superiotas menjadi sangat dominan, dan memunculkan sikap sebagai penguasa. Lalu pemerintah kolonial mulai menganggap dirinya guru, bahkan sebagai pengawas bagi bangsa yang dianggap belum terpelajar. Setelah diberlakukannya politik etis, terutama dalam hal pendidikan, pemerintah kolonial mulai memberlakukan pengajaran dengan metode modern di sekolah-sekolah Hindia Belanda. Dalam bidang sastra, pengajaran sastra diberlakukan pada para penutur sastra daerah. Sastra kemudian dikanonisasi dalam bentuk yang baku sesuai dengan kerangka kolonial. Karena sastra dianggap menyimpan nilai ideologi, maka ideologi ini yang kemudian ditundukan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Cara kerja kolonial ini kemudian menjadi acuan utama oleh ilmuwan-ilmuwan sosial lain, seperti diungkapkan seorang sosiolog asal Inggris bernama Tonny Bennet, yang menyebut hal serupa, bahwa penundukan dalam bidang sastra tersebut sebagai ‘tradisi yang dikanonisasi’. Bagi Tonny Bennet, sastra bukanlah dua aktifitas yang tidak saling berhubungan; antara lisan dan tulisan. Sastra dalam cara kerjanya bukanlah kesastraan sebagai totalitas imajinasi atau fiksi-fiksi yang netral, melainkan sastra sebagai ‘kanon atau korpus yang dibentuk menurut ideologi tertentu, yang bergerak dengan cara-cara yang sudah tetap di seputar lingkungan lembaga pendidikan’.[2]

Mikihiro Moriyama, seorang antropolog berkebangsaan Jepang yang meneliti sastra Sunda mencoba menelaah cara kerja itu semua, dalam disertasi yang ditulisnya berjudul “Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19”. Ia berpendapat bahwa sastra Sunda didaku, ditemukan, lalu dikanonisasi oleh para sarjana kolonial, yaitu oleh para orientalis, terutama K.F. Holle. Jika ditelusuri, pengakuan tersebut sebenarnya berangkat dari gagasan para romantikus abad ke-19, terutama Prancis, yang menilai kesastraan adalah pada yang tertulis (latin). Literatur merupakan kata baru yang dipinjam Belanda (litterkunde), dari bahasa Prancis (literature), yang membentuk makna baru ‘kesusastraan.’ Belanda lalu menelan mentah-mentah istilah literatur tersebut, dan mengabaikan ideologi yang terkandung di dalamnya. Dengan asumsi itu, Belanda menganggap bahasa dan budaya Prancis lebih unggul. Sebagaimana terbesit dari etimologi kata literature, yaitu tulisan. Implikasinya, tidak terpikirkan oleh para sarjana Belanda ini, bahwa bahasa yang berseni (sastra) bisa ditemukan dalam bentuk lisan.[3]

Keberaksaraan dalam pengetahuan tradisi, bermakna kemampuan baca tulis pada aksara Arab dan aksara Sunda atau Jawa. Kemampuan baca tulis ini didapatkan di langgar dan pesantren, sebagai lembaga pendidikan tradisional. Munculnya dunia modern, dengan dibukanya sekolah-sekolah untuk Bumiputra, kemampuan baca tulis bertambah, bahkan bergeser menjadi aksara latin, yang didapatkan dari buku-buku sekolah di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Keberaksaraan (literacy) dalam aksara latin, menghasilkan komunitas pembaca modern yang terus berkembang. Pada saat bersamaan, aksara latin menciptakan perasaan rasa menjadi suatu kelompok dan kelas baru, yaitu manusia modern terpelajar.

Implikasi berubahnya keberaksaraan (baca tulis), sebagai dampak langsung dari modernitas, beranggapan bahwa ‘yang lebih penting dari bahasa adalah transformasinya’,  alih-alih sebatas melestarikan bunyi dan aksara lokalnya. Transformasi bahasa dalam arus modernitas, kita bisa menelisik perkembangannya dalam bahasa Indonesia, yaitu suatu transformasi bahasa yang berkembang dalam komunitas dagang di Malaka. Tranformasi aksara latin yang diperkenalkan oleh Belanda, telah sepenuhnya dianut dan berlaku di semua sektor kehidupan bernegara hari ini. Begitu pula dengan aksara pegon, yang merupakan transformasi keberaksaraan Arab- lokal dalam tradisi kitab kuning di dunia pesantren.

Tranformasi aksara latin yang diperkenalkan oleh Belanda, telah sepenuhnya dianut dan berlaku di semua sektor kehidupan bernegara hari ini. Begitu pula dengan aksara pegon, yang merupakan transformasi keberaksaraan Arab- lokal dalam tradisi kitab kuning di dunia pesantren.

Realitas kehidupan modern telah sepenuhnya terkiblatkan pada Barat, sebagai barometer kemajuan global-universal. Manusia modern, seperti tidak menyisakan ruang untuk mengukur kemajuan kesastraan dan kebudayaan, hasil dari perkembangan diri dari aliran tradisi para karuhun. Karena dalam pengetahuan tradisi, untuk mencapai pengetahuan universal justru merupakan kesatuan dengan partikularitas yang beragam. Munculnya wacana posmodernisme, merupakan satu penyebab kekosongan yang tidak ditemukan dalam modernitas, yaitu unsur tradisi, yang merupakan awal mulanya sang subjek berada. Dengan demikian, dalam posmodernisme, unsur tradisi bisa didudukan kembali posisi pentingnya.

Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah sastra lokal yang termanifestasi dalam unsur tradisi bisa menemukan kontekstualnya dengan dunia modern hari ini. Tentu hal ini menjadi pekerjaan bersama dan kerja kebudayaan para intelektual anak bangsa. Dengan menempuh jalan demikian, sebuah bangsa bisa menakar diri, sekaligus sebagai penanda perkembangan dan kemajuan kebudayaannya sendiri. Dengan kerja demikian pula, harkat hidup sebuah bangsa dapat terhormat dan bermartabat. Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan bangsa lain.


[1] Dikemudian hari, hal ini memuncak dalam polemik kebudayaan tahun 1930-an.  Pertentangan kuat terjadi antara Sutan Takdir Ali Sjahbana, dan  Ki Hadjar Dewantara. Lihat, Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan, Pergulatan pemikiran Terbesar dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, Yogyakarta, Balai Pustaka, 2008.

[2] By ‘Literature’ here, I have in mind not the literaly as, in Tonny words, ‘a neutral totality of imaginative or fictional writing’, but literature as ‘an ideologically constructed canon or corpus of text operating in specific and determinate ways in and apparatus of education. Tonny Bennet, Marxism and Popular Fiction: Literature, Popular Fiction, and the Bourgeois Literary Formation, (Francis Mulhern, Ed), Longmen, New York, 1992. Hlm, 188-189.

[3]Mikihiro Moriyama, Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, Depok, Komunitas Bambu, 2013. Hlm. 44. Di Sunda, capaian tertinggi sastra lisan berikut dengan sistem filsafat dan metafisika yang terkandung di dalamnya terdapat dalam sebuah folklor, begitupun di Aceh terdapat dalam sebuah hikayat. Memasuki paruh pertama abad ke-20, Belanda mendaku bahwa puisi adalah puncak capaian sastra sebagai seni bahasa Sunda ‘terpelajar’. Lihat, Tom Van Den Berge, Puisi Sunda Zaman Belanda (Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan),  Garut, Layung, 2021. Lihat juga, H. R. Hidayat Suryalaga, Filsafat Sunda: Sekilas Interpretasi Folklor Sunda, Bandung, Yayasan Nur Hidayah, 2010.   

Saya pertama mengenalnya di rubrik kolom koran Republika, catatan-catatan opininya selalu hadir setiap pekan, dan terpampang di mading koran pondok sekolah. Seperti santri pada umumnya, bacaan itu menjadi semacam oase selintasan di waktu senggang sore saya, setelah seharian disibukkan dengan tumpukan mata pelajaran dan kitab kuning di pondok sekolah. Sebelum akhirnya magrib datang, petanda untuk memulai kegiatan kembali, mengaji sorogan dan pengulangan pelajaran sekolah hingga pukul sepuluh malam.

Kebiasaan membaca kolom opini di koran Republika itu, masih berlangsung hingga saya melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Tepatnya, di kampus tempat Buya Syafii Maarif pernah mengajar. Ia sempat mengampu mata kuliah filsafat sejarah, dan bahasa Inggris. Meski saya belum sempat merasakan diampu olehnya secara langsung. Diakhir semester satu, saya mulai mengenalnya lewat pembacaan autobiografi yang ia tulis sendiri. Dari catatan itu, saya bisa menziarahi alam pemikirannya dari dekat. Mulai akar benih masa kanak dan remajanya di tanah Minang, keberangkatan ke Yogyakarta, pergulatan-aktivisme di pusaran Muhammadiyah, dan pertemuannya dengan Fazlur Rahman saat studi doktoral di Chicago, Amerika Serikat.

Autobiografi yang ditulisnya itu, ia dengan seksama menceritakan pengaruh kuat seorang Fazlur Rahman dalam membentuk kematangan iklim intelektualnya. Seperti pendahulunya, Buya Syafii Maarif turut mewarisi studi yang digeluti oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam studi pemikiran Islam, tepatnya Islam dan politik yang bermuara pada pencarian identitas kendonesiaan.     

Perkenalan pembacaan saya berlanjut pada studi akademik yang ia tulis berjudul “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Sebuah Refleksi Sejarah)”. Tepat di awal memasuki semester dua, saya pertama membaca karya ini dari buku seorang teman yang saya pinjam, kebetulan ia menghadiri launcing buku yang dibedah oleh Buya Syafii langsung di kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Entah karena alasan dan latar belakang apa, saya merasa begitu antusias membacanya, bahkan teman yang meminjamkan buku itu sempat sedikit terheran, karena saya membacanya terhitung cepat.

Disela-sela itu semua, saya kemudian bertemu secara langsung dengan Buya Syafii Maarif di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Saat itu, penerbit Mizan menerbitkan karya monumental Fazlur Rahman yang berjudul “Islam; Sejarah Pemikiran dan Peradaban”. Lalu Buya Syafii Maarif dimintai langsung untuk membedah buku itu. Dari sana pula saya mengenal pemikir lain, yang juga seorang murid dari Fazlur Rahman, yaitu Muhammad Iqbal. Rahman dan Iqbal turut menjembatani arus besar modernitas dalam Islam di dunia Barat dan global.

Selang dua tahun berlalu, tepatnya pada bulan Maret tahun 2017, karya Buya Syafii Maarif kembali muncul. Kali ini hasil dari karya desertasi yang dibentuk menjadi sebuah buku utuh, “Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante)”. Karya ini menjadi pungkasan studi akademik dalam penelaahan masyarakat Islam di Indonesia. Selain mengurai Indonesia dalam spektrum kebinekaan yang terputus oleh rantai kolonial. Dalam konteks kenegaraan, karya ini menjadi pusaran telaah identitas politik umat Islam, ditengah bergejolaknya ideologi Islam politik yang sedang berkecamuk (bahkan porak-poranda) di negara-negara Islam Timur Tengah pasca reformasi di Indonesia.

Perjalanan dan pembacaan atas itu semua, tanpa saya sadari turut memengaruhi tema kajian yang kemudian menjadi karya tugas akhir skripsi saya di program studi ilmu sejarah. Saya menulis sosialisme Indonesia, ditelaah dari buah pergulatan pemikiran Soekarno, yaitu marhaenisme dari rentang tahun 1933 sampai 1945. Tahun 1933 diambil bermula pada pidato persidangan Soekarno di Bandung yang berjudul “Indonesia Menggugat”. Dan tahun 1945 sebagai muara bertemunya dasar-dasar kebinekaan hidup berkebudayaan Indonesia, yang kemudian termaktub dalam lima bulir Pancasila.

Marhaenisme merupakan satu bentuk penelusuran Soekarno pada sistem sosial, ekonomi, dan budaya yang menyeluruh. Dan penamaan marhaen pada seorang petani di Bandung adalah upaya peneguhan subjek diri Soekarno pada diri yang lain secara utuh. Dan disitulah awal mula terciptanya tatanan, yaitu bertemunya diri pribadi dalam diri masyarakat. Untuk mengurai dan menghubungkan itu, diperlukan kejernihan melihat aliran jejak langkah masa lalu, untuk kemudian dialirkan kejernihannya ke masa kini (Baca: Tradisi). Dan itulah yang dimaksud dengan aliran jernih sungai yang melahirkan peradaban-peradaban baru.   

Satu hal yang menjadi bongkahan peninggalan peradaban modern (Baca: Modernisme) dengan humanisme-universalnya, ialah sifatnya yang sekuler. Berbeda dengan akar karakteristik masyarakat Indonesia, sebagaimana penelusuran Soekarno dalam marhaenisme, yang berpangkal dan bermuara pada ketuhanan, ialah sosialisme religius, yaitu bertemunya kehidupan sosial yang imanen dengan religiusitas yang transenden. Jika religiusitas ketuhanannya bersifat sosialisme, maka ia tak akan lagi menyalahkan Tuhan dalam jalan religiusitas lain. Karena ia sudah tidak membedakan antara yang imanen dengan yang transenden. Dan corak dasar marhaenisme ialah, ia tidak kemudian meninggalkan kebinekaan yang sifatnya lokal sebagai word-view tempat bermulanya setiap subjek diri, dan disitulah akar dan pengenalan awal akan kepercayaan pada Tuhan tercipta.

Kemudian di tahun 1945, corak-corak kehidupan lokal itu menemukan posisinya dalam konteks kenegaraan (Baca: negara bangsa), setelah melalui perdebatan panjang dalam sidang konstituante yang dipimpin oleh Soekarno. Dari sana, maka lahirlah nilai dasar hidup (tatanan) yang termaktub dalam lima butir Pancasila.  Pun dengan termaktubnya lima butir Pancasila, perjalanan Pancasila diuji oleh arus politik zaman dalam setiap peralihan kekuasaan.

Dari sana, maka lahirlah nilai dasar hidup (tatanan) yang termaktub dalam lima butir Pancasila.  Pun dengan termaktubnya lima butir Pancasila, perjalanan Pancasila diuji oleh arus politik zaman dalam setiap peralihan kekuasaan.

Pancasila dari awal kemerdekaan hingga reformasi, posisinya selalu dibawah tekanan politik, atau istilah yang digunakan Buya Syafii Maarif “didudukan sebagai etalase politik”. Memang kenyataannya demikian, Pancasila nasibnya selalu digunakan sebagai tameng penguasa, dan kita masih menyaksikannya hingga hari ini. Dibalik diktum NKRI harga mati yang digelorakan, Buya Syafii Maarif menyoroti bergejolaknya disintegrasi dengan Papua, lengkap dengan isu HAM dan lingkungan yang melatarinya. Dalam berbagai kanal media, Buya Syafii Maarif membuka suara soal HAM yang merosot dalam dua dekade ini.

Satu topik dalam negeri yang menjadi perhatian Buya Syafii Maarif, adalah soal korupsi. Ia kerap lantang menengahi dan menyuarakan kisruh dalam KPK. Ditengah isu yang terus menerpa KPK, ditambah situasi pandemi yang membuat beban hidup semakin berat, ia kerap menyeruakan keresahan publik langsung pada penguasa. Dalam silang sejarah di Indonesia, korupsi menjadi isu abadi terhitung sejak zaman Diponegoro yang menampar patih Danurejo IV. Praktik korupsi sudah menjadi seni dan budaya bangsa Indonesia, demikian ungkapan Mohammad Hatta, hingga sekarang tidak banyak mengalami pencegahan dan pemberantasan yang signifikan. Jika ini dibiarkan, maka kebangkrutan dan keruntuhan bisa melanda Indonesia. Kita bisa belajar pada VOC yang kekayaannya melebihi minyak yang dimiliki oleh negara-negara di Timur Tengah, runtuh karena dirongrong korupsi di dalamnya.

Seperti yang ditulis Buya Syafii Maarif di harian kompas tanggal 31 Mei 2021 kemarin, tulisan ini mungkin terkesan bernada pesimistis. Tidak mampu dielak, pada realitas kehidupan bernegara hingga saat ini, Pancasila nyatanya dilumpuhkan dalam hidup keseharian masing-masing dari kita. Meminjam kalimat yang digunakan Buya, “Pancasila diagungkan dalam konstitusi, AD/ART partai politik, organisasi mahasiswa, dan di ruang-ruang seminar, namun dikhianati dalam perbuatan”. Sehingga, tidak aka ada penemuan makna kembali dari refleksi tahunan hari kesaktian Pancasila. Pun kini, ia dirayakan dengan upacara-upacara seperti halnya hari raya. Sebab kehidupan berbagsa dan bernegara kita, sudah terpisah dari penghayatan dan kehikmatan hidup dari nilai-nilai Pancasila.

Hilangnya penghayatan dan kehikmatan dalam kehidupan berbangsa merupakan implikasi dari kehidupan yang sekuler, yakni memisahkan yang imanen dengan yang transenden, sehingga religiusitas transendental itu tidak termanifetasi dalam imanenitas kehidupan sehari-hari. Kita bisa belajar kembali pada masyarakat adat dan aliran kepercayaan yang merayakan Pancasila dalam kegiatan hidup sehari-sehari, dengan segala ragam kebinekaan, ia tidak memisahkan dan membedakan dari kebinekaan yang ada dalam diri mereka. Karena pokok dasar dari bineka, adalah tunggal ika, yaitu ketunggalan akan tujuan hidup dan Tuhan yang satu. 

Dalam tajuk kencana di Ib Times.id yang dimuat dihari ulang tahunnya yang 86 kemarin, tertulis “Buya Syafii Maarif sebagai Mata-Air Keteladanan Bangsa”. Barangkali, keresahan yang dialirkan terus-menerus oleh kejernihan pikiran lewat kerja akademiknya, ia ingin mengalirkan sungai peradaban baru itu. Dan saya, ingin meneladani perbuatannya dengan menjadi anak sungai yang terhubung dengan aliran sungai dirinya.

Tabik

Pada tahun 1997, seorang saintis modern bernama Fritjof Capra menulis buku tebal berjudul The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, artinya kurang lebih “Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan”. Fritjof Capra yang juga penulis buku The Tao of Physics memproyeksikan pandangan baru tatanan dunia ke depan. Ia bereksperimen menggabungkan pendekatan sains modern dengan mistisisme Timur. Konsep dalam fisika contohnya, pengembangan teori tentang materi telah membawa perubahan yang sangat mendasar bagi dunia hari ini.

Perubahan dari konsep Descrates dan Newton yang mekanitis-antroposentris kepada pandangan dunia yang holistik dan ekologis. Fritjof Capra berpendapat bahwa pandangan tersebut memiliki berbagai kesamaan dengan pandangan mistisisme dari semua tradisi di sepanjang zaman. Contoh objek kajian dan pola bertindak “Dua-sakarupa” dalam tradisi kosmologi Sunda, bahwa keduanya adalah objek kajian yang tidak selalu terdikotomikan sebagaimana para saintis modern Cartesian dan Newtonian membangun kosmik-antroposentriknya.

Arthur Eddington misalnya, membagi ilmu alam secara garis besar menjadi dua: ilmu fisis (physical science), dan ilmu biologis (biological science). Eddington berpandangan dan menempatkan ilmu fisis sebagai objek kajian benda-benda tak-hidup. Benda tak-hidup itu mencakup Fisika, Kimia, Astronomi, dan ilmu bumi. Dalam bukunya Philosophy of physical science, Eddington mencoba menjawab problem filosofis dari ilmu fisis. Apa hakikat pegetahuan yang diperoleh oleh ilmu fisis tentang objeknya. Oleh karena Arthur berpandangan physical sebagai benda tak-hidup, maka dalam buku tersebut Arthur tidak menemukan keharmonisan antara filsafat yang mencakup signifikansi pengalaman manusia yang lebih luas dengan filsafat ilmu fisis terspesialisasi bernama fisika.

Fisikawan lain bernama Lawrence K. Krauss menawarkan alternatif untuk manusia modern memahami fisika sebagai gerak hidupnya sehari-hari. Ia selangkah lebih maju dengan menawarkan bahwa fisika bukanlah semata-mata monopoli para fisikawan. Semua orang harus mengerti dan menyadari bahwa fisika adalah pengetahuan umat manusia, dan selayaknya dimiliki oleh seluruh umat manusia pula. Ia menekankan bahwa fisika adalah aktivitas kognisi-kreatif manusia, seperti seni dan musik. Karena fisika pula telah membantu menempa pengalaman budaya, baik itu seni, musik, sastra, dan sains. Dengan begitu, manusia bisa mengalami kegembiraan, kesenangan, keindahan, misteri, dan petualangan. Pada akhirnya, semua manusia bisa mengetahui di mana ia berada dan berkonsentrasi pada apa yang menuntunnya untuk menuju ke mana ia akan pergi. Karena misteri awal yang mengikuti setiap perjalanan manusia adalah bagaimana manusia itu mencapai titik awalnya di tempat pertama.

Pada akhirnya, semua manusia bisa mengetahui di mana ia berada dan berkonsentrasi pada apa yang menuntunnya untuk menuju ke mana ia akan pergi. Karena misteri awal yang mengikuti setiap perjalanan manusia adalah bagaimana manusia itu mencapai titik awalnya di tempat pertama.

Fritjof memiliki pandangan berbeda dengan Eddington dan K. Krauss. Fritjof memiliki pandangan baru dalam fisika, pandangan yang telah membawa perubahan yang sangat mendasar bagi perkembangan dunia hari ini yaitu, dari konsep Descrates dan Newton yang mekanistik kepada pandangan yang holistik dan ekologis. Suatu pandangan yang menurutnya memiliki berbagai kesamaan dengan pandangan mistisme dari semua tradisi di sepanjang zaman.

Pandangan baru tersebut tentu tidak muncul begitu saja dan menjadi baru. Pandangan itu lahir dari pengamatan pelik atas krisis global yang sedang terjadi higga hari ini. Fritjof berpadangan bahwa krisis multidimensional yang melanda dunia hari ini, secara esensial adalah krisis persepsi eksistensial. Perubahan dunia atom dan sub-atomik menyeret para ilmuwan fisika (khususnya) bertemu dengan realitas yang tampaknya tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi yang koheren yakni, hakikat materi serta hubungannya dengan jiwa manusia. Untuk menjelaskan dunia tersebut, manusia modern memerlukan sebuah perspektif ekologis-holistik yang tidak ditemukan dalam pandangan dunia Cartesian.

Kita semua tahu, dunia Eropa mengalami abad pencerahannya ketika Imanuel Kant mendapati rasio sebagai kritik atas akal budi. Maka subjek manusia memisahkan diri dari objek alamnya. “Aku berfikir maka aku ada” yang digelorakan oleh Rene Descratres adalah babak baru yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segalanya. Ia melepaskan diri dari realitas kealaman-manusianya itu sendiri. Pandangan antroposentris tersebut menempatkan manusia sebagai entitas yang bertumpu pada kemampuan rasio kognitif. Ia berdiri sebagai subjek (hidup) dan menempatkan di luar dirinya sebagai objek (tak hidup). Dan demikian pula, sains modern terproyeksikan beriringan dengan revolusi industri yang mengubah tatanan dunia Eropa menjadi mekanik, dan dunia itulah yang menjadi tatanan dunia global hari ini.

Pandemi yang sedang melanda dunia hari ini, mungkin salah satu titik klimaks dari berbagai titik klimaks kerusakan alam-lingkungan yang melanda bumi hari ini. Bahkan David Wallace Wells, seorang aktivis lingkungan asal Amerika yang mengkampanyekan soal Climate Change memberi judul buku terbarunya Bumi yang Tak Dapat Dihuni.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana manusia modern memproyeksikan gerak hidupnya sebagai tanda dan dasar pijakan keber-ada-an hidup duniawinya. Dengan kata lain, bagaimana manusia itu bisa bergerak jika tidak digerakkan oleh keinginan yang menggerakan keber-ada-an kehidupannya itu sendiri.

Filsuf modern bernama Arthur Scopenhauer dalam aktivitas filsafatnya mengatakan, bahwa setiap kondisi kesejahteraan dan perasaan puas (terpenuhinya keinginan) adalah negatif dalam karakternya; artinya, terlebih dulu manusia harus merdeka dari rasa sakit (setelah terpenuhi keinginan) yang memang elemen dasar dalam hidupnya. Karena itu, kebahagiaan dari kehidupan harus diukur, bukan dari kegembiraan dan kesenangannya (terpenuhinya keinginan), tetapi oleh sejauh mana ia telah terbebas dari penderitaan­­-kejahatan positif (keinginan itu sendiri).

Cara kerja filsafat kehidupan Arthur Schopenhauer adalah usaha menyelaraskan keinginan diri dengan keinginan (gerak) alam. Artinya, keinginan itu digerakkan dan diseleraskan oleh kosmos kemeng-ada-an manusia yang menyatu dengan kosmos dunianya. Namun bagaimanapun juga, aktivitas filsafat hidup Schopenhauer yang mewarisi tradisi filsafat Yunani sejak era Plato, tidak sepenuhnya bisa menyentuh (apalagi menyeluruh) kehidupan inti-dasar alam pikiran manusia Indonesia yang memiliki lokalitas yang berbeda-beda dan telah mewarisi alam pikiran serta jalan hidup leluhur Nusantara.

Salah satunya manusia Sunda yang mengenal konsep berfikir Dua-Sakarupa. Dua-Sakarupa adalah bagian dari konsep Tritangtu yang hidup dalam alam pikiran manusia Sunda, yaitu; Tilu-Sapamulu, Dua-Sakarupa, Nu Hiji-Eta keneh. Secara harfiah, artinya kurang lebih Tiga yang beruntun, Dua yang Serupa, Yang Satu itu juga (masih sama). Dua Sakarupa tertanam dalam prinsip alam Buana Alit dan Buana Ageung. Buana Alit adalah prisip kosmik yang melingkupi alam rasio-transedental manusia. Ia tidak memisahkan diri dengan Buana Ageung sebagai alam kosmik jagat raya. Artinya, rasio manusia tidaklah terpisah dengan kosmik-alam manusianya itu sendiri. Karena kedua alam tersebut adalah yang serupa (Dua Sakarupa). Alam luar (yang dalam tradisi filsafat barat diletakkan dan dinamakan sebagai objek) menyatu dengan alam dalam. Dengan demikian, keduanya adalah subjek hidup.

Kita tahu, dunia sains modern hingga sekarang belum mampu menjawab pandemi yang terjadi hari ini. Dengan begitu, dapatlah kita berpendapat bahwa bumi sedang memulihkan dirinya sendiri. Artinya bumi itu sebagai subjek yang sama-sama hidup. Ketika pada ujung batas kemampuan manusia tidak mampu menjaga dan menyelaraskan keseimbangan alam dirinya, maka alam pun menyeimbang dan menyelaras dengan sendirinya.

Ketika pada ujung batas kemampuan manusia tidak mampu menjaga dan menyelaraskan keseimbangan alam dirinya, maka alam pun menyeimbang dan menyelaras dengan sendirinya.

Maka diperlukan cara berfikir baru untuk menyelaraskan antara logika leluhur dari keterpisahannya oleh logika modern pada manusia Indonesia hari ini. Bahwa akal budi dan jiwa itu adalah dua yang serupa untuk mencapai yang luhur Hyang-suci. Di Nusantara terdapat konsep Satwika, istilah tersebut bermakna kejernihan (suci/murni) berfikir yang bervibrasi Tuhan. Alam pikiran ini dalam tradisi Hindu adalah pertemuan antara akal budi dengan jiwa kosmik manusia. Kejernihan berfikir menyatu dengan kesucian laku hidup, ialah rasa ikhlas yang murni.

Kendatipun konsep Satwika dalam pengetahuan hari ini disebut sebagai warisan dari tradisi Hindu, sepintas dasar memang benar. Namun itu semua adalah arkeologi pengetahuan yang dibangun oleh para orientalis Barat. Kita tahu, dasar dari orientalisme adalah menundukkan Timur. Tujuannya tiada lain adalah kekuasaan. Kuasa atas sumber daya alam dan kuasa pada manusianya. Pandangan para orientalis tidak bisa dilepaskan dari bangunan logika oposisi-biner Cartesian, termasuk dalam memandang budaya dan agama. Keduanya dibiaskan pada batas primordial. Ia tidak berpijak pada lokalitas transendentalnya. Bahwa di situlah letak universalitas manusia (subjek) itu mulai meng-ada, hidup dalam keber-ada-an dan membentuk kemeng-ada-annya. Pengertian subjek ini menurut Slavoj Zizek, mengalami patahan imaginer simbolik dalam realitas kebudayaan manusia modern hari ini.

Pertanyaan yang mencuat kemudian adalah bagaimana kita bisa mengurai alam pikiran lama (leluhur) untuk menempatkannya pada masa yang baru (modern) hari ini. Jika diibarat kata sebuah puzzle yang telah disusun sampai pada batas masanya dan kita kehilangan gambaran besar untuk meneruskan kepingan puzzle yang masih kosong tersebut. Bahkan tidak tahu bagaimana medapatkan kepingan-kepingan baru.  Hingga kemudian yang terjadi sekarang, kita telah terlepas dari bangunan puzzle besar itu. Katastropi budaya yang melanda adalah bukti kuat untuk memperlihatkan itu semua. Namun demikian, katastropi ibarat gunung berapi yang meletus sebagai puncak dari bencana dan malapetaka. Di balik letusan dahsyat itu, tanah serta iklim setelahnya menjadi subur dan segar kembali. Begitu pula dengan katastropi budaya yang menyebabkan pelbagai keguncangan maha dahsyat terhadap tata atau keteraturan, bahkan menimbulkan keterputusan. Di dalamnya terkandung rangkaian krisis yang mulai terpetakan dan didapatkan jalan keluarnya.

“Setelah sebuah masa kehancuran datanglah titik balik. Cahayanya penuh daya yang dahulu hilang kini bersinar kembali. Segala sesuatu adalah gerak, namun bukan oleh tenaga… gerak itu alami, mengalir spontan. Karena itulah pergantian menjadi mudah. Yang lama berakhir, yang baru terlahir. Keduanya berlangsung dalam saat yang telah ditentukan, karenanya tidak ada luka yang ditimbulkan”.

~I Ching