Setelah terpenuhinya kebutuhan sandang dan pangan, kebutuhan manusia selanjutnya adalah mendengar cerita. Agaknya ganjil, jika kehidupan manusia tanpa cerita. Cerita yang terwadahi dalam bahasa, merupakan penanda ada-nya sebuah kehidupan. Meminjam diskursus Lacanian yang berkembang, bahwa tanda dari ‘ada’ adalah bahasa. Dengan ‘ada’, maka manusia eksisten membentuk kemeng-ada-annya. Juga benda-benda, ia ‘ada’ dengan simbol bahasa. Dengan ‘ada’ itu pula, manusia membentuk norma hingga menjadi suatu kebudayaan. Manusia sebagai subjek budaya, sangat musykil bergerak tanpa bahasa dan cerita. Maka, setiap individu dan masyarakat tumbuh dan hidup dalam cerita.
Bahasa bisa disebut sebagai instrumen awal manusia dalam berinteraksi, baik dengan subjek dirinya maupun dengan subjek lain. Dari segala aktifitas pergaulan dan pergumulan itu, maka cerita muncul. Kekuatan cerita bukan terletak pada bahasa itu sendiri yang terbatas, namun kemampuan cerita menciptakan imajinasi-imajinasi baru hingga membentuk metafora, lalu ia masuk pada perenungan dan pergulatan hidup. Barangkali itulah yang dimaksud dengan sastra. Sastra berusaha menyerap segala realitas kehidupan, sekaligus usaha keluar dari belenggunya. Atas usaha pembebasan dari segala belenggu tersebut, sastra lalu mencoba menawarkan realitas baru lewat perangkat bahasa yang digunakan.
Sastra selain menjadi penanda adanya suatu kebudayaan, ia menempati posisi penting dalam sebuah masyarakat. Masyarakat di zaman para nabi, terlebih dalam agama abrahamik, menempatkan orang yang mampu bersastra dan bersyair, mendapatkan suatu kedudukan dan kehormatan tertentu. Begitupun dengan aktifitas-aktifitas filsafat di zaman Yunani kuno, tidak bisa dilepaskan dari nilai kesusastraan yang melingkupi masyarakatnya. Perenungan-perenungan dalam sastra, selain mampu dibaca sebagai representasi perkembangan suatu kebudayaan, dalam beberapa hal, ia juga dianggap memiliki misi profetik mesias dan sublimasi ilahiah. Dengannya, ajaran para filsuf dan kitab suci agama-agama banyak mengandung nilai sastra.
Sebelum adanya mesin cetak, yang beriringan dengan laju semangat kapital dan turut mengantarkan bentuk negara bangsa. Di Nusantara, teks-teks sastra tertulis dalam sebuah manuskrip berupa lontar dan babad. Isinya terdapat serat-serat yang sangat kaya dan melimpah. Serat ini yang kemudian berkembang dalam sebuah kebudayaan lisan, teks-teks serat menekankan pada ‘bunyi’ suara disamping aksara, sebagiannya ada yang harus ditembangkan, bahkan dibantu oleh dendang musik.
Berbeda halnya dengan sastra yang berkembang hari ini (modern), estetika sastra modern terukur dan tertambat pada teks yang tertulis. Model pembacaan tidak mengharuskan dilisankan, karena bunyi tertuju dan berakhir pada aksara. Maka dalam perkembangannya, cerita rakyat yang lebih sering dilisankan masyarakat tradisional, di dunia modern menemukan bentuk barunya dalam penulisan prosa, dan legenda-legenda dalam sejarah bisa dibaca dalam bentuk roman.
Maka dalam perkembangannya, cerita rakyat yang lebih sering dilisankan masyarakat tradisional, di dunia modern menemukan bentuk barunya dalam penulisan prosa, dan legenda-legenda dalam sejarah bisa dibaca dalam bentuk roman.
Kehausan akan ilmu pengetahuan dan eksplorasi penjelajahan benua-benua baru, hingga masuknya kolonialisme dengan misi memperadabkan timur, bangsa Eropa, terlebih Belanda dalam konteks Indonesia, menempatkan dirinya sebagai bangsa yang unggul. Mulai dari antroposentrisme kulit putih, perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, hingga evolusi sains. Segala pengakuan keunggulan dan kemajuan itu, terus berlangsung dengan invasi sumber daya alam di negeri Hindia Timur. “Wahyu yang hilang Negeri yang guncang”, demikian dalam ungkapan Ong Hok Ham, yang menggambarkan betapa segala pengetahuan dan tatanan lama telah hilang dan berganti. Dunia Eropa menjadi haluan baru dalam peradaban dunia modern.[1]
Memasuki paruh kedua abad ke-19, ketika kekuasaan kolonial telah sangat mapan, sehingga pemerintah Hindia Belanda tidak lagi khawatir atas hegemoni kuasa. Maka, rasa superiotas menjadi sangat dominan, dan memunculkan sikap sebagai penguasa. Lalu pemerintah kolonial mulai menganggap dirinya guru, bahkan sebagai pengawas bagi bangsa yang dianggap belum terpelajar. Setelah diberlakukannya politik etis, terutama dalam hal pendidikan, pemerintah kolonial mulai memberlakukan pengajaran dengan metode modern di sekolah-sekolah Hindia Belanda. Dalam bidang sastra, pengajaran sastra diberlakukan pada para penutur sastra daerah. Sastra kemudian dikanonisasi dalam bentuk yang baku sesuai dengan kerangka kolonial. Karena sastra dianggap menyimpan nilai ideologi, maka ideologi ini yang kemudian ditundukan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Cara kerja kolonial ini kemudian menjadi acuan utama oleh ilmuwan-ilmuwan sosial lain, seperti diungkapkan seorang sosiolog asal Inggris bernama Tonny Bennet, yang menyebut hal serupa, bahwa penundukan dalam bidang sastra tersebut sebagai ‘tradisi yang dikanonisasi’. Bagi Tonny Bennet, sastra bukanlah dua aktifitas yang tidak saling berhubungan; antara lisan dan tulisan. Sastra dalam cara kerjanya bukanlah kesastraan sebagai totalitas imajinasi atau fiksi-fiksi yang netral, melainkan sastra sebagai ‘kanon atau korpus yang dibentuk menurut ideologi tertentu, yang bergerak dengan cara-cara yang sudah tetap di seputar lingkungan lembaga pendidikan’.[2]
Mikihiro Moriyama, seorang antropolog berkebangsaan Jepang yang meneliti sastra Sunda mencoba menelaah cara kerja itu semua, dalam disertasi yang ditulisnya berjudul “Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19”. Ia berpendapat bahwa sastra Sunda didaku, ditemukan, lalu dikanonisasi oleh para sarjana kolonial, yaitu oleh para orientalis, terutama K.F. Holle. Jika ditelusuri, pengakuan tersebut sebenarnya berangkat dari gagasan para romantikus abad ke-19, terutama Prancis, yang menilai kesastraan adalah pada yang tertulis (latin). Literatur merupakan kata baru yang dipinjam Belanda (litterkunde), dari bahasa Prancis (literature), yang membentuk makna baru ‘kesusastraan.’ Belanda lalu menelan mentah-mentah istilah literatur tersebut, dan mengabaikan ideologi yang terkandung di dalamnya. Dengan asumsi itu, Belanda menganggap bahasa dan budaya Prancis lebih unggul. Sebagaimana terbesit dari etimologi kata literature, yaitu tulisan. Implikasinya, tidak terpikirkan oleh para sarjana Belanda ini, bahwa bahasa yang berseni (sastra) bisa ditemukan dalam bentuk lisan.[3]
Keberaksaraan dalam pengetahuan tradisi, bermakna kemampuan baca tulis pada aksara Arab dan aksara Sunda atau Jawa. Kemampuan baca tulis ini didapatkan di langgar dan pesantren, sebagai lembaga pendidikan tradisional. Munculnya dunia modern, dengan dibukanya sekolah-sekolah untuk Bumiputra, kemampuan baca tulis bertambah, bahkan bergeser menjadi aksara latin, yang didapatkan dari buku-buku sekolah di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Keberaksaraan (literacy) dalam aksara latin, menghasilkan komunitas pembaca modern yang terus berkembang. Pada saat bersamaan, aksara latin menciptakan perasaan rasa menjadi suatu kelompok dan kelas baru, yaitu manusia modern terpelajar.
Implikasi berubahnya keberaksaraan (baca tulis), sebagai dampak langsung dari modernitas, beranggapan bahwa ‘yang lebih penting dari bahasa adalah transformasinya’, alih-alih sebatas melestarikan bunyi dan aksara lokalnya. Transformasi bahasa dalam arus modernitas, kita bisa menelisik perkembangannya dalam bahasa Indonesia, yaitu suatu transformasi bahasa yang berkembang dalam komunitas dagang di Malaka. Tranformasi aksara latin yang diperkenalkan oleh Belanda, telah sepenuhnya dianut dan berlaku di semua sektor kehidupan bernegara hari ini. Begitu pula dengan aksara pegon, yang merupakan transformasi keberaksaraan Arab- lokal dalam tradisi kitab kuning di dunia pesantren.
Tranformasi aksara latin yang diperkenalkan oleh Belanda, telah sepenuhnya dianut dan berlaku di semua sektor kehidupan bernegara hari ini. Begitu pula dengan aksara pegon, yang merupakan transformasi keberaksaraan Arab- lokal dalam tradisi kitab kuning di dunia pesantren.
Realitas kehidupan modern telah sepenuhnya terkiblatkan pada Barat, sebagai barometer kemajuan global-universal. Manusia modern, seperti tidak menyisakan ruang untuk mengukur kemajuan kesastraan dan kebudayaan, hasil dari perkembangan diri dari aliran tradisi para karuhun. Karena dalam pengetahuan tradisi, untuk mencapai pengetahuan universal justru merupakan kesatuan dengan partikularitas yang beragam. Munculnya wacana posmodernisme, merupakan satu penyebab kekosongan yang tidak ditemukan dalam modernitas, yaitu unsur tradisi, yang merupakan awal mulanya sang subjek berada. Dengan demikian, dalam posmodernisme, unsur tradisi bisa didudukan kembali posisi pentingnya.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah sastra lokal yang termanifestasi dalam unsur tradisi bisa menemukan kontekstualnya dengan dunia modern hari ini. Tentu hal ini menjadi pekerjaan bersama dan kerja kebudayaan para intelektual anak bangsa. Dengan menempuh jalan demikian, sebuah bangsa bisa menakar diri, sekaligus sebagai penanda perkembangan dan kemajuan kebudayaannya sendiri. Dengan kerja demikian pula, harkat hidup sebuah bangsa dapat terhormat dan bermartabat. Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan bangsa lain.
[1] Dikemudian hari, hal ini memuncak dalam polemik kebudayaan tahun 1930-an. Pertentangan kuat terjadi antara Sutan Takdir Ali Sjahbana, dan Ki Hadjar Dewantara. Lihat, Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan, Pergulatan pemikiran Terbesar dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, Yogyakarta, Balai Pustaka, 2008.
[2] By ‘Literature’ here, I have in mind not the literaly as, in Tonny words, ‘a neutral totality of imaginative or fictional writing’, but literature as ‘an ideologically constructed canon or corpus of text operating in specific and determinate ways in and apparatus of education. Tonny Bennet, Marxism and Popular Fiction: Literature, Popular Fiction, and the Bourgeois Literary Formation, (Francis Mulhern, Ed), Longmen, New York, 1992. Hlm, 188-189.
[3]Mikihiro Moriyama, Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, Depok, Komunitas Bambu, 2013. Hlm. 44. Di Sunda, capaian tertinggi sastra lisan berikut dengan sistem filsafat dan metafisika yang terkandung di dalamnya terdapat dalam sebuah folklor, begitupun di Aceh terdapat dalam sebuah hikayat. Memasuki paruh pertama abad ke-20, Belanda mendaku bahwa puisi adalah puncak capaian sastra sebagai seni bahasa Sunda ‘terpelajar’. Lihat, Tom Van Den Berge, Puisi Sunda Zaman Belanda (Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan), Garut, Layung, 2021. Lihat juga, H. R. Hidayat Suryalaga, Filsafat Sunda: Sekilas Interpretasi Folklor Sunda, Bandung, Yayasan Nur Hidayah, 2010.
Leave a Reply