Makna Wayangan bagi Madura

Saya orang Madura. Otomatis ada hambatan primordial untuk merasakan dan mengerti Jawa. Apalagi nilai Jawa yang dibungkus sastra klasik dan kesenian kuno seperti Wayangan. Sudah tentu hambatan saya berlapis-lapis tebalnya.

Sudah 6 bulan terakhir ini, atau kira-kira sejak usia kandungan istri baru 4 bulan, hingga kini anak saya berusia 2 bulan, saya belajar Jawa dari dalang Ki Seno Nugroho dan karakter Bagong via channel Youtube. Saya baru tahu tadi malam bahwa komunitas pewayangan sudah masuk ke dalam bentuk organisasi modern, semacam sudah dibentuk tim manajemen profesional yang bergerak untuk promosi.

Dari channel Youtube milik PWKS (Penggemar Wayang Ki Seno), saya tahu satu karakter saja: Bagong. Selain karakter Bagong, saya susah menikmati. Tetapi, setelah Universitas Ahmad Dahlan (UAD), kampus Muhammadiyah yang salat jahriyahnya tidak baca bismillah itu, seperti yang sekali saya alami sendiri, menanggap Wayang Ki Seno, saya berusaha datang. Kebetulan lakon kali itu Wisanggeni yang ingin meminjam kekuasaan Hastinapura sebentar saja dari keluarga paman-pamannya.

“Meminjam” atau “nyileh” perlu ditekankan di sini. Bukan merebut. Karena diksi ini adalah pengantar awal masuk ke inti cerita. Tentu dengan keterbatasan saya memahami bahasa Jawa halus itu. Dari diksi “nyileh” itu pula, saya malah terpukau dengan karakter Wisanggeni. Bukan saja karakter Bagong. Ternyata kualitas nalar-nalar Wisanggeni teruji, bahkan di hadapan para punggawa Hastina.

Misalnya, sebagai keturunan Pandawa, apa salahnya Wisanggeni meminjam sebentar kekuasaan yang mati-matian direbut oleh pihak Kurawa? Sebab, meminjam bukan berarti mau memiliki untuk selamanya. Emang ada keraton dipinjam-pinjamkan? Tanya Guru Pandita Drona. Wisanggeni jawab: kenapa tidak, sedangkan aku keturunan Pandawa?!

Kalah argumentasi, sang Guru Pandita mengeluarkan senjata tombak kadewatannya, karena tahu Wisanggeni itu sakti. Bahkan, seluruh Kurawa dan punggawa Hastina sudah lari terbirit-birit sebelumnya. Wisanggeni tahu, orang yang dihadapinya itu secara status adalah seorang guru pandita dan secara alutsista memiliki tombak dari dewa.

Wisanggeni menjawab: “Anda itu pandita. Ditambah lagi di tangan anda ada tombak kadewatan. Tentu saja saya kalah dan pasti mati. Tapi, apakah anda mau membunuh saya? Anda tahu saya ini putra siapa? Jika saya mati dan ayah saya balas dendam, apakah anda juga mau membunuh keluarga saya? Anda itu siapa? Anda itu hanya seorang guru dari negeri atas angin yang dibayar untuk menjadi guru dan mengajar di Hastinapura!”

Sang Guru Pandita tak bisa jawab. Dia merasa bukan orang pribumi di satu sisi. Di sisi lain, dia menyadari statusnya sebagai orang asing di lingkaran keluarga Hastina. Sungguh tidak layak ada orang asing ikut campur terlalu jauh ke dalam urusan antar keluarga, sekali pun statusnya sebagai seorang guru pandita. Titik.

Sampai di sini, saya merasa diguyur oleh hujan kebijaksanaan yang tak terkira-kira. Bukan berarti tidak ada aspek lain dari sebuah pagelaran yang dimulai jam 22.00 WIB dan ditutup jam 03.30 WIB itu. Sangat banyak. Tapi, saya tak mampu menangkap semuanya selain sekelumit potongan kisah di atas. Mengapa? Karena poin-poinnya menyentuh aspek primordial kemaduraan saya.

Pertama, konsep “bėpak-bėbuk” atau ayah-ibu. Dalam hirarki nilai Madura, orangtua dan keluarga adalah standar pertama dari semua nilai, yang bisa dibangun setelahnya. Semua nilai harus dikembalikan pada standard awal ini. Karena itulah, Wisanggeni berani mematahkan Sang Guru Pandita dengan menyebut status diri sebagai keluarga Hastinapura. Sedangkan status sang pandita hanya sebagai guru dari negeri atas angin, yang datang ke Jawa untuk jasa mengajar. Orang asing tidak berhak ikut terlalu jauh masuk ke dalam urusan keluarga pribumi Jawa.

Kedua, konsep “ghuruh” atau guru. Hirarki sosial dan nilai Madura setelah orangtua ditempati oleh guru. Guru atau sumber pengajaran spiritual-intelektual duduk di posisi kedua. Guru baru bisa ditaati selama selaras dengan kepentingan nilai orangtua dan keluarga. Tetapi, guru tidak perlu lagi diikuti bila terlalu jauh melampaui batas-batas yang bisa dimaklumi dalam ukuran kepentingan keluarga. Karenanya, saya melihat Wisanggeni berani “nuthuk” atau melayangkan kepalan tangan ke kepala sang guru pandita tersebut, lalu balik pulang, tanpa melanjutkan perang.

Ketiga, konsep “ratoh” atau ratu/raja. Hiraki paling terakhir adalah pemimpin politik dan negara. Seorang raja baru bisa ditaati jika sesuai rekomendasi guru dan orangtua. Karenanya, perilaku politik di Madura kontemporer sangat unik. Para Kiai jadi lumbung voters. Tetapi, calon yang kalah start merebut hati Kiai dan komunitas pendukungnya, mereka segera mendekati kepala-kepala keluarga untuk memastikan suara komunitas kecil anggota keluarganya sendiri. Jadi, posisi ratoh bagi orang Madura ya gitu, tak perlu dibela berlebihan. Tetapi, kalau Kiai dihina apalagi keluarga dihina, orang Madura siap mati. Karena itulah, Wisanggeni berani napluk semua punggawa Hastina pura. Apalagi Bagong, Batara Guru di Kayangan pun dilawan, ketika Bagong merasa Batara Guru meremehkan Sang ayah, Semar.

Kemudian ada pertanyaan: mana yang lebih dahsyat dan memukau, apakah pentas pewayangan ataukah kenikmatan di malam pertama di hari pernikahan?

Pertanyaan macam ini bagi saya ibarat harus membangun jembatan panjang dari Madura ke Surabaya. Tetapi, karena jembatan Suramadu sudah ada, yang saya perlukan sekarang cuma bercerita saja, sesuai pengalaman. Mohon bagi yang belum pengalaman; kalian mungkin hanya akan mampu memahami tapi takkan mengalami. Ini sudah dunia rasa, bukan soal diskusi ilmiah. Hehe

Saya lebih berani mengatakan, nonton wayangan jauh lebih dahsyat dari pada menikmati malam pertama di hari pernikahan kita. Pertama: di dalam wayangan, anda akan temukan pengalaman spiritual, pengalaman intelektual, dan hiburan fisikal. Pada pengalaman spiritual, anda akan disuguhi suatu tangga intelektual yang membuat anda naik ke jenjang spiritual. Misalnya, dengan belajar benturan moral (clash of morality), anda melihat baik-buruk saling melengkapi, tinggal pilih salah satu jalan saja, karena keduanya bagian dari sub-sistem kehidupan yang harus ada. Tuhan menciptakan keduanya bersamaan.

Pada pengalaman intelektual, anda akan disuguhi sejarah panjang yang berbalut fiksi. Simbol-simbol yang menantang interpretasi hermeneutis. Tetapi, tidak cukup ini, pantat dan pinggul para sinden, cara melenggak-lenggokkan tangan dan kepala, cara mata mereka melirik penonton dengan bibir merah merona, adalah alternatif lain sebagai hiburan fisikal. Kenikmatan visual-fisikal ini melengkapi kenikmatan intelektual dan spiritual tadi.

Beda halnya di malam pertama, saat pesta perkawinan selesai, sound system dimatikan, tamu undangan pulang, lalu keluarga semua ngantuk kecapekaan setelah seharian bekerja untuk ngurus urusan upacara, lalu tinggal sepasang suami istri di dalam kamar yang remang-remang, perlahan kancing dibuka, buah dada mulai halal diremas, dan celana dalam memberikan isyarat simbolik tertentu, maka saat itu hanya ada dua unsur saja: spiritual dan material-fisikal.

Pada momen spiritual, anda akan bersyukur betapa tajalli jamaliah Allah sedang terhidang pasrah di depan mata, halal dianjurkan oleh agama, berpahala dinikmati. Tajalli jamaliah yang segera bertubrukan dengan tajalli jalaliah, serta keperkasaan Allah. Kemudian, momen spiritual itu perlahan memudar seiring sudah cukupnya gerak-gerak pemanasan. Fair play. Lalu datanglah momen material sepenuhnya. Ditandai oleh keringat, jantung ngos-ngosan, dan lemah lelah menggelayuti sekujur tubuh.

Dari dua perbandingan ini, nonton wayangan jauh lebih bermakna dari malam pertama. Tetapi ingat: kita tidak akan tahu bahwa terang itu adalah terang jika tidak ada gelap. Kita tidak akan tahu gelap itu adalah gelap jika belum merasakan terang. Keduanya harus dialami demi bisa komparasi. Karenanya, Saya rasa, orang yang belum pernah menikah tidak akan tahu maksud ucapa saya bahwa nonton wayangan lebih dahsyat dari malam pertama pernikahan.

Karana itu pulalah, hipotesa saya ini hanya bisa gugur di tangan orang yang udah menikah. Heheh.