Menu

Sunan Giri Dalam Pusaran Sejarah Penyebaran Islam di Lombok

Sebelum abad ke-20, nenek moyang kita menuliskan sejarah masa lalunya dengan cara menyesuaikannya dengan kondisi sosio-kultural dan teknologi yang berkembang pada saat itu. Jika pada waktu itu yang berkembang adalah penulisan karya sastra, maka tak heran jika mereka merekam sejarah menggunakan medium sastra. Medium yang kita pahami bersama sebagai ruang yang tidak memberikan penekanan penuh pada seluk beluk dan fakta kejadian sebenarnya, tetapi pada bentuk simbol dan makna-makna estetika lainnya.

Dari hasil penelitian Nancy K. Florida, seorang sarjana Amerika yang memfokuskan kajian pada naskah-naskah klasik Jawa, terutama yang ditulis oleh para pujangga Keraton Surakarta, setidaknya dari era Pujangga Yasadipura sampai Ranggawarsita mengungkapkan bahwa, babad-babad itu adalah tulisan sejarah yang dituangkan ke dalam struktur bahasa sastra (syair), dengan mempertimbangkan dimensi perkembangan sosial, kultural, politik dan agama sebagai subject matter-nya, diniatkan sebagai peringatan bagi orang Jawa saat itu, dan ramalan untuk kejadian di masa yang akan datang. Sebab, pujangga-pujangga keraton itu, memandang bahwa tulisan sejarah bukan berarti catatan masa silam, melainkan salinan dari masa lampau, dalam upaya mempersiapkan diri untuk menjangkau kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Nancy mencontohkan argumentasinya ini dengan menunjukkan penulisan Babad Jaka Tingkir. Menurutnya, sejarah yang tertuang dalam Babad Jaka Tingkir, seolah-olah terlepas atau tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa masa silam yang hendak dikisahkan penulisnya, yakni kisah hidup tokoh Jaka Tingkir. Alih-alih menceritakan kisah hidup tokoh utamanya, Babad Jaka Tingkir justru berisi kisah tentang 7 pahlawan pinggiran, yang ia sebut sebagai 7 tokoh persiapan, yang memungkinkan cerita Jaka Tingkir itu terwujud.

Rekonstruksi penulisan sejarah semacam ini, tentu sangat berbeda dengan wacana penulisan sejarah di masa sekarang, maupun penulisan sejarah dalam perspektif Barat setelah memasuki era “Pencerahan”, yang menghendaki sejarah atau kejadian di masa silam, ditulis dengan menggunakan kerangka ilmiah, disajikan dengan bahasa yang terang, jelas dan representatif. Namun betapapun juga, perbedaan ini menunjukkan kepada kita bahwa makna sejarah tiap-tiap zaman itu ternyata berbeda-beda. Setiap zaman, baik itu masyarakatnya maupun penulisnya menggarap masa lalunya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Oleh sebab itu, sekiranya penulis sejarah yang baik menurut saya adalah penulis yang mampu memahami kebutuhan narasi sejarah pada zamannya, dan mampu mengurai persoalan keterbacaan sejarah yang ia tulis.

Oleh sebab itu, sekiranya penulis sejarah yang baik menurut saya adalah penulis yang mampu memahami kebutuhan narasi sejarah pada zamannya, dan mampu mengurai persolan keterbacaan sejarah yang ia tulis.

Sejarah Islam yang Terbaca dan Tak Terbaca dalam Babad Lombok

Berdasarkan gambaran singkat mengenai metode penanganan bukti sejarah berupa babad di atas, maka hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh para peneliti atau siapa saja peminat kajian sejarah, sebelum melakukan penulisan sejarah adalah memahami betul kedudukan babad itu sebagai sebuah karya sastra, sebagai karya yang tidak berpretensi merekam secara presisi kejadian di masa lampau. Oleh sebab itu, babad mestilah disandingkan atau dikonfrontir dengan bukti-bukti lain yang relevan. Sayangnya, metode analisis sejarah yang menerapkan dialektika pengkajian semacam ini, masih sangat kurang di daerah saya, khususnya penulis sejarah yang mengkaji penyebaran Islam di Lombok. Para penulis sejarah penyebaran Islam di Lombok, cenderung hanya mengutip secara apa adanya, sejarah yang tertuang di babad Lombok saja, yang secara eksplisit menyebutkan aktor utamanya adalah Pangeran Prapen. Sementara, Sunan Giri yang jauh lebih awal berperan dalam syiar Islam ke Wilayah Indonesia Bagian Timur (Lombok), tidak mendapatkan porsi penjelasan yang memadai. Dalam Babad Lombok, Pupuh Dangdang bait ke-12 dan 13 ditulis:

Hana malih putra lor sangaji, kanging ngandel, wiweka digjaya, nama Pangeran Parapen, punika kang hing ngutus, hanglelana hing Lombok Hadi, Samabawa, Bali Blata, nyelami den luhung, yen nana bangga tan narsa den situtur, kalamullah hing hadil, kang sinelir hing kurngan.

Yen tan helem haunting janji, den serangi, lan wacana galak, tatanding helmi kasaten, yen maksih nora haranut, suma pala den lawan jurit, mati kalih ganjaran, haywa ge kundru ….

Adalagi putra sang Sunan, yang menjadi andalan, arif bijaksana sakti, bernama Pangeran Prapen, itulah yang diutus, berlayar ke Lombok Adi, Sumbawa, Bali Blata, mengislamkan agar tinggi suci. Bila ada yang ingkar membangkang, akan wahyu Allah yang adil, yang termaktub dalam Qur’an.

Bila tak mau ikuti titah, terangkanlah, dengan ucapan yang tegas, ajaklah ia mengadu ilmu kesaktian, bila belum mau ikut, apa boleh buat perangilah, bila engkau mati (terbunuh) mendapat ganjaran ….

Dari kutipan Babad Lombok di atas, peran dari Sunan Prapen yang ditugaskan untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Lombok, sangat jelas dan bahkan cukup dominan. Bahkan, kesannya, Sunan Prapen boleh memerangi raja atau masyarakat Lombok yang menolak masuk Islam. Tentu, tidak ada persoalan ketika seseorang terinspirasi oleh babad untuk menulis, tetapi jika tujuannya untuk menulis sejarah, maka pastilah ia mencari tambahan referensi yang lain, sebanyak-banyaknya. Karena, sekali lagi ini berhubungan dengan watak dari babad atau karya sastra yang lebih menekankan pada nilai estetika ketimbang fakta. Jika tidak demikian, maka hal tersebut beresiko membuat tulisan sejarah itu terkesan kurang proporsional, kurang mengakar dan barangkali tidak terkoneksi, sebagai sebuah rangkaian panjang dengan perjalanan sejarah yang lebih luas lagi.  

Sunan Giri sebagai Pelopor Penyebar Islam di Pulau Lombok

Terdapat banyak sekali hasil studi sejarah Islam di Jawa, yang mengungkapkan bahwa Sunan Giri adalah sosok wali, bagian dari Wali Songo, yang tergolong paling awal merintis dakwah Islam ke kepulauan wilayah Indonesia Bagian Timur. Mulai dari Bali, Lombok, Sumbawa, Bima, Sulawesi bahkan sampai Maluku. Bahkan jauh sebelum Sunan Prapen. Keterangan tersebut setidaknya didukung oleh 3 alasan, yakni; Keberadaan Ibu angkat Sunan Giri yang berprofesi sebagai pedagang di jalur pelayaran kepulauan Indonesia Bagian Timur; Kedua, Sunan Giri juga membangun pesantren sebagai pusat transmisi pengajaran ilmu agama di daerah Gresik; Dan yang terakhir, posisi sentral Sunan Giri pada era Wali Songo sebagai ulama sekaligus umara (penguasa).

Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri ke Lombok atau ke wilayah kepulauan Indonesia bagian Timur ini, dimungkinkan karena Sunan Giri dibesarkan oleh seorang janda bernama Nyai Gede Pinatih. Hoesein Djajadiningrat, menyebutkan bahwa Nyai Gede Pinatih adalah seorang janda kaya raya, bersuamikan Koja Mahmud Syahbandar. Ia merupakan salah satu dari anggota  keluarga Kerajaan Majapahit yang awal sekali memeluk Agama Islam. Dakwah Sunan Giri ke wilayah Kepulauan Indonesia Bagian Timur diperkirakan dimulai, setelah Sunan Giri pulang dari Malaka (bertemu dan belajar ilmu agama dari ayahnya, Maulana Ishak), ia turut ambil bagian dalam usaha ibu angkatnya, yakni berdagang ke pulau-pulau, Indonesia Bagian Timur. Tentu misi utama Sunan Giri muda, ikut berdagang bukanlah untuk mengejar keuntungan material semata, namun ia ikut berdagang hanya sebagai sarana untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Indonesia Bagian Timur yang termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok.

Kedua, setelah dirasa bahwa syiar Islam melalui jalur perdagangan kurang maksimal, barulah kemudian Sunan Giri membangun pesantren sebagai pusat dakwahnya. Hanya saja jangan dibayangkan bahwa pesantren yang dimaksud di sini, adalah ruang belajar formal yang terlembaga dengan baik seperti umumnya pesantren saat ini. Martin van Bruinessen dalam studinya menyatakan, tidak ada bukti bahwa pada era Wali Sanga sudah ada pesantren dengan pola pengajaran formal seperti pesantren yang kita kenal hari ini. Boleh jadi, pesantren yang dimaksud pada waktu itu adalah, tempat-tempat belajar-mengajar ilmu agama yang dilaksanakan di padepokan, masjid, langgar, dan tempat-tempat lain di sekitar lingkungan kediaman gurunya. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan pesantren yang dimaksud adalah ruang sebagai pusat belajar-mengajar ilmu agama yang menjadi prototipe atau cikal bakal pengembangan pesantren modern saat ini.

Kiranya dapatlah dibayangkan bahwa pesantren yang dibangun oleh Sunan Giri itu ramai didatangi oleh santri-santri, tidak hanya datang dari Jawa saja, namun muridnya sangat mungkin datang dari wilayah Indonesia bagian lain, mengingat Gresik pada waktu itu adalah pelabuhan terbesar yang menjadi pusat persinggahan perdagangan, pelayaran antar pulau. Dan sangat dimungkinkan, bagi masyarakat di gugus kepulauan Indonesia Bagian Timur yang pernah menerima dakwah Sunan Giri itu, datang langsung atau mengutus keluarga kerabatnya untuk memperdalam ilmu agama, seperti yang pernah diterima sebelumnya. Dan pola Pendidikan semacam ini, barangkali adalah suatu hal yang wajar bagi masyarakat di manapun, tidak terkecuali masyarakat Lombok, dari dahulu bahkan hingga saat ini. Sudah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat di daerah tertentu mengutus satu atau dua anak yang berpotensi untuk memperdalam ilmu agamanya ke daerah yang kuat tradisi keilmuannya, dengan tujuan jika kelak anak itu berhasil, ia akan diminta pulang untuk mengabdi, membimbing, membangun masyarakat sesuai dengan bidang ilmu yang dikuasainya.

Ketiga, kedudukan Sunan Giri sebagai bagian dari keluarga Kerajaan Majapahit dan sebagai pemimpin agama memungkinkan ia memiliki pengaruh besar dan luas, bukan hanya di daerah Jawa namun ia juga dapat menjangkau atau membentuk jaringan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa, melalui diplomasi politik antar sesama penguasanya. Penemuan bangsal Sri Menganti, Puri Kedaton dan gelar Prabu Satmata, menunjukkan bahwa salah satu anggota Wali Sanga ini, tidak hanya sebagai sosok yang berangkat dari golongan ulama yang berpengaruh saja, namun temuan itu menegaskan bahwa Sunan Giri juga dapat disebut sebagai seorang raja. Sebab, pada waktu itu tidak sembarang orang boleh memiliki bangunan bangsal, puri atau kedaton kecuali ia adalah seorang raja atau keluarga penguasa. Namun jangan dibayangkan bahwa kedaton atau kerajaan Sunan Giri itu, sama persis seperti konsep kerajaan yang dipimpin oleh raja dengan kekuasaan yang sungguh luar biasa besar dan kompleks seperti Majapahit. Kerajaan atau kedaton Sunan Giri itu adalah wilayah bagian dari kekuasaan di bawah Majapahit yang diizinkan mengatur atau mengelola wilayah kekuasaannya sendiri secara independen, karena Sunan Giri memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Majapahit.  Demikian juga halnya dengan gelar Prabu Satmata yang disematkan kepada Sunan Giri, gelar “prabu” bagi orang Jawa adalah gelar kehormatan untuk menyebut “maha raja”, raja yang paling besar pengaruhnya di atas raja-raja kecil lainnya. Sedangkan istilah “satmata” adalah istilah yang diadopsi dari konsep pendewaan pada era Majapahit sebagai simbol dewa-dewa yang menjaga empat atau delapan penjuru mata angin, ditambah satu lagi dewa di tengahnya sebagai pemimpin atau tempat bersemayamnya dewa paling tinggi yakni, Dewa Siwa.

Kerajaan atau kedaton Sunan Giri itu adalah wilayah bagian dari kekuasaan di bawah Majapahit yang diizinkan mengatur atau mengelola wilayah kekuasaannya sendiri secara independen, karena Sunan Giri memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Majapahit.  Demikian juga halnya dengan gelar Prabu Satmata yang disematkan kepada Sunan Giri, gelar “prabu” bagi orang Jawa adalah gelar kehormatan untuk menyebut “maha raja”, raja yang paling besar pengaruhnya di atas raja-raja kecil lainnya.

Di sisi lain, ketika Sunan Ampel (Maulana Malik Ibrahim) wafat, pada tahun 1478 Masehi, Sunan Kalijaga atau Raden Said, dalam rapat para wali mengambil inisiatif untuk mengusulkan Sunan Giri sebagai pengganti Sunan Ampel, menjadi penghulu dari para wali Tanah Jawa dan sebagai mufti atau pemimpin muslim di seluruh wilayah Jawa.  Kedudukan ganda dan strategis inilah yang membuat Sunan Giri, boleh dibilang sangat besar pengaruhnya, yang memungkinkan ia melakukan dakwah baik melalui jalur ketokohannya sebagai pemimpin para wali Tanah Jawa maupun sebagai seorang raja, melalui jalur diplomasi dengan golongan penguasa baik di daerah Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Kedudukan ganda inilah yang disebut oleh orang Jawa dengan istilah “Pandhita-Ratu”, yang bermakna pemimpin agama, rohaniawan (pandhita), sekaligusa raja atau penguasa (ratu).

Dengan posisi strategis inilah, sekiranya kita dapat membuat sebuah analisis mengenai pola transmisi ajaran Islam yang disampaikan oleh Sunan Giri, pola transmisi yang tidak mengandung unsur ancaman dan kekerasan,  yakni secara langsung dan tidak langsung,. Pola yang pertama; dapat dipahami sebagai sebuah pola dakwah ketika masyarakat menerima pengajaran langsung dari Sunan Giri. Pola transimisi itu terjadi saat Sunan Giri berdagang ke pulau-pulau Indonesia bagian timur, kesempatan singgah dan berdagang itu dimanfaatkan oleh Sunan Giri untuk mendatangi masyarakat dan menyampaikan syiar Islam secara langsung. Di sisi lain, transmisi dengan cara langsung ini dapat pula dimengerti dengan adanya murid-murid Sunan Giri yang berasal dari berbagai daerah itu, datang untuk belajar ilmu agama langsung kepada Sunan Giri di pesantrennya.

Adapun transmisi ajaran Islam secara tidak langsung yang dilakukan oleh Sunan Giri, sekiranya dapat dibayangkan melalui dua cara, yakni dengan cara mengutus para mubalig ke daerah-daerah lain dan melalui diplomasi politik. Mubalig-mubalig yang diutus itu adalah murid-murid yang digembleng langsung oleh Sunan Giri, kemudian setelah ilmu agamanya dirasa cukup, mereka ditugaskan kembali mengabdi dan menyampaikan Syiar Islam kepada masyarakat di daerahnya masing-masing. Kemudian melalui diplomasi politik dengan para raja atau penguasa-penguasa daerah lain.  Moh. Dahlan Mansur mengatakan, bahwa untuk penobatan raja atau sultan baik itu kerajaan di Jawa maupun kesultanan di daerah Maluku, mereka harus datang menghadap ke Sunan Giri terlebih dahulu untuk disahkan. Keterangan lain menyebutkan bahwa, Sunan Giri juga telah mengirim sepucuk surat dakwah ke Hitu (Halmahera) dimana penduduk setempat telah masuk Islam. Konon, kedatangan surat itu disambut dengan baik oleh Masyarakat dengan diselenggarakan sebuah acara penyambutan yang meriah sebagai bukti penerimaan masyarakat akan Islam dan sebagai bukti betapa Sunan Giri adalah ulama sekaligus umara yang memiliki pengaruh dan jasa sangat besar bagi mereka.

Penerus Dakwah Sunan Giri dan Pribumisasi Islam di Lombok

Tidak hanya berhenti sampai di situ, cetak biru kesuksesan dakwah Islam melalui jalur ketokohan Sunan Giri sebagai rohaniawan sekaligus penguasa, sehingga mampu bertahan, kurang lebih selama 200 tahun ini, didukung oleh banyak faktor, namun yang sekiranya penting untuk disinggung dalam kesempatan kali ini adalah faktor keluarga yang meneruskan perjuangan Sunan Giri dan faktor gerakan “Pribumisasi Islam”. Setelah Sunan Giri meninggal dunia pada tahun 1506. Dakwah dan pemerintahan Sunan Giri kemudian dilanjutkan oleh keturunanya, secara berturut-turut oleh; Pangeran Zainal Abidin atau Sunan Dalem (Putra Sunan Giri), kemudian dilanjutkan oleh Sunan Sedamargi (Putra pertama, Pangeran Zainal Abidin), lalu Sunan Giri Prapen (Putra ke-2, Pangeran Zainal Abidin) dan keturunannya yang lain. Dari sinilah, kiranya relevan untuk membicarakan Sunan Giri Prapen sebagai sosok yang memainkan peran, menyebarkan Islam di Lombok. Sebab, dalam catatan-catatan sejarah, pada masa Sunan Prapen lah dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur, disebut-sebut lebih digencarkan kembali, dan mencapai puncak kesuksesannya. Sunan Prapen, dikatakan menemui puncak kesuksesannya karena selain melakukan perluasan bangunan kedhaton, masjid dan perluasan makam Sunan Giri, ia juga menaikkan intensitas dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok. Meski demikian, kesuksesan atau kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Sunan Prapen tersebut, keagungan, kemasyhuran dan kewibawaan rohani tetap diberikan kepada Sunan Giri atau Prabu Satmata.

Sunan Prapen, dikatakan menemui puncak kesuksesannya karena selain melakukan perluasan bangunan kedathon, masjid dan perluasan makam Sunan Giri, ia juga menaikkan intensitas dakwah Islam ke wilayah Indonesia Bagian Timur termasuk di dalamnya adalah Pulau Lombok.

Selanjutnya, istilah pribumisasi dalam konteks penyebaran Islam oleh para wali Tanah Jawa bermakna membenahi seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa. Menurut Nur Kholik Ridwan, pribumisasi Islam membawa pengertian pada gerak yang dilakukan oleh para sufi yang bermazhab Sunni, yang berusaha mempertemukan tradisi lama masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam (baca: baru), hingga kemudian hasilnya menjadi produk kebudayaan yang kita kenal sampai hari ini sebagai tradisi Islam Jawa. Sebab, tradisi yang dimaksud telah disesuaikan dengan tujuan dan niat keislaman yang dikehendaki oleh para wali. Suatu kaidah ushul fiqh yang dijadikan dasar gerakan pribumisasi Islam oleh para wali adalah, mempertahankan hal lama yang dianggap perlu lagi maslahat, dan membuat hal baru yang bernilai lebih baik di tengah masyarakat lama, secara gradual. Gerakan pribumisasi Islam ini sedemikian kuat dan mengakarnya, sehingga masuk ke dalam semua pranata sosial masyarakat Jawa; mulai dari ritus kelahiran dan kematian, pernikahan, wawasan spiritual, nilai-nilai sastra, nilai-nilai sosial dan tata masyarakat Jawa lainnya.

Sehingga dapat dimengerti, bahwa muatan dakwah atau pribumisasi Islam seperti inilah yang mungkin sampai kepada masyarakat Lombok, mengingat Sunan Giri adalah sosok yang menjadi bagian terpenting dari gerak atau kerja bersama para wali Tanah Jawa itu. Namun, sangat penting untuk memahami bahwa, terdapat pertimbangan-pertimbangan tertentu dan atau penyesuaian-penyesuaian (penambahan atau pengurangan) tertentu terhadap, situasi dan kondisi sosial kultural masyarakat Lombok pada waktu itu, sehingga pribumisasi Islam itu bisa diterima dengan baik. Maka tak heran, jika hari ini kita mewarisi tradisi Islam kultural yang memiliki kemiripan dengan tradisi Islam kultural yang ada di Pulau Jawa. Sebut saja beberapa di antaranya; tradisi nembang membaca takepan (sastra), di bidang bahasa dan budaya, peringatan kematian, tahlilan, maulidan, rowah dan tradisi-tradisi Islam kultural lainnya, yang sangat mirip dengan tradisi Islam yang ada di Jawa.

***

Akhirnya setelah percobaan membuat analisis mengenai sejarah penyebaran Islam di Lombok ini, kiranya saya dapat membuat simpulan, bahwa; Amat sangat penting bagi penulis sejarah untuk memperhatikan kedudukan referensi yang dijadikan pegangan, jika kebetulan sumbernya berupa karya sastra seperti babad, maka keharusan baginya untuk mencari referensi tambahan yang relevan dengan topik atau pokok kajiannya. Mengingat watak dasar dari karya sastra dan karya sejarah cukup jauh berbeda. Jika salah satunya penekanannya pada aspek estetika, sedangkan yang lainnya, penekanannya pada aspek faktualnya.

Selanjutnya, sejarah mengenai masuknya agama Islam telah melewati rentang waktu yang cukup panjang, sementara kejadian di masa lalu tidak mungkin terulang kembali, sama persis. Oleh sebab itu, pada dasarnya penulisan sejarah berarti upaya manusia dengan kemampuan akalnya memikirkan masa lalu, karenanya nilai sejarah sangat bergantung dari sudut pandang penulisnya. Tidak mungkin saya dapat menentukan versi mana yang lebih benar mengenai sejarah masuknya Islam di Pulau Lombok. Tetapi setidaknya saya bisa menyatakan bahwa, tidak mungkin membayangkan Islam, dapat berkembang sebagai agama mayoritas di Pulau Lombok tanpa peranan Sunan Prapen. Dan lebih mustahil lagi membayangkan Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Lombok, dengan meminggirkan atau mengesampingkan, peran Sunan Giri dan gerakan pribumisasi Islamnya.


Sumber Bacaan:

Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo. Tangerang Selatan, Pustaka IIMan dan LESBUMI PBNU, 2016.

Anonim, Babad Lombok, (diterjemahkan oleh Lalu Gde Suparman), Jakarta, Proyek Pembinaan Buku sastra Indonesia dan Daerah, 1994.

Bambang Suwondo, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.

Irfan Afifi, Saya Jawa dan Islam, Yogyakarta: Tanda Baca, 2019.

M. Ishom El-Saha & Mastuki HS (editor). Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Yogyakarta, Diva Pustaka. 2023.

Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta. Mata Bangsa, 2020.

_________  Jawa-Islam di Masa Kolonial; Suluk, santri, dan Pujangga Jawa, Yogyakarta, Buku Langgar, 2020.

Nur Khalik Ridwan, Islam di Jawa Abad XII-XVI Para Wali, Pribumisasi Islam, dan Pergulatan Jati Diri Manusia Jawa. Yogyakarta, Buku Langgar, 2021

Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Kudus, Menara Kudus, 1960

Umar Hasyim, Sunan Giri: Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton, Kudus, Menara Kudus, 1999.

William H. Fredrick, Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 1984.

0
498
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.