Author Archives: Raudal Tanjung Banua
“Begawai” dan Sabung Ayam
Selesai makan malam yang nikmat, kami beranjak ke tempat semula, dan kembali menghanyutkan diri ke dalam sungai cerita. Ke mana lagi kami hendak menghanyutkan diri jika tidak dalam batang hikayat dan mata air kisah, wahai Tuan dan Puan?
Beberapa orang perempuan kampung datang menyambangi rumah Pak Dukun. Suara cakap mereka ditimpali gelak berderai sudah terdengar sejak dari halaman. Di antara mereka ada mengenakan kain panjang, sehingga harus menarik ujung kain supaya mudah naik tangga. Sebagian ibu mengunyah sirih.
Kebetulan besok pagi akan ada acara turun tanah, yakni mengupacarai arwah orang baru meninggal dunia. Beberapa waktu lalu adik ipar Pak Dukun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat kejadian. Pak Dukun sendiri besok yang akan memimpin ritualnya, sebagaimana lazimnya ia badukun di rumah-rumah warga untuk hal yang sama. Perempuan-perempuan datang untuk menyiapkan bahan-bahan pekerjaan esok hari. Suasana jadi sedikit ramai. Mereka terus bercakap dalam aksen dan logat yang asing, tapi akrab sekali
Saat perempuan-perempuan itu asyik dengan pekerjaan mereka, saya meminta Pak Dukun mengisahkan cerita rakyat Talang Mamak. Ia bilang sudah banyak tak hapal, tapi toh ia ceritakan juga sebuah kisah tentang Putri Talang dan Pangeran Langit. Si pangeran, yang semula turun ke bumi menyerupai seekor burung kuau, tepatnya di Sungai Ekok, menjelma pangeran tampan. Gadis-gadis yang semula takut, ganti berebut mencari perhatian. Si bungsu, Putri Talang yang jelita jadi tumpuan iri kakak-kakaknya.
Saya menahan nafas.
“Putri Talang Bungsu diusir kakak-kakaknya itu. Tapi terlebih dulu mereka buat wajahnya jadi buruk rupa dengan memberi getah pohon kajai,” kata Pak Dukun kembali mulai.
Adakah Putri Talang itu engkau, Ayu? Saya berbisik dalam hati. Terbayang cerita Ayu tadi sore, bagaimana ia dan keluarga harus meninggalkan keindahan Sungai Ekok karena terusir mesin-mesin. Meski caranya berbeda tapi sama-sama memiliki kata getir; terusir!
“Tapi sebelum pergi, si Putri mencuci wajahnya dengan air telaga Sungai Ekok. Jadi tambah cantik dan elok. Kakak-kakaknya yang mengintip melihat sang Pangeran menjumpai si Putri di batas desa dengan tambah suka. Besoknya kakak-kakaknya meniru dengan menggetahi wajah mereka, tapi keburu dihinggapi lalat-lalat pertanda hatinya busuk,” lagi-lagi Pak Dukun terkekeh.
Ayu, sebagaimana sang Putri Talang, bukankah telah mencuci hatinya dengan mata air kisah Sungai Ekok, sehingga dengan itulah mungkin, sesore hari kulihat matanya berbinar.
Dan sebagai mana cerita Putri dan Pangeran di mana-mana, kisah Pak Dukun pun berakhir bahagia. Putri Talang dan Pangeran Langit menikah dalam pesta (begawai) tujuh hari tujuh malam.
Menurut Pak Dukun ada banyak cerita rakyat Talang Mamak. Ia menyebut Cerita Orang Bunut, Cerita Mambang Jinut, Bujang Romandung, Malim Sayang bahkan Malim Kundang, cerita kondang pantai barat. Menurutnya cerita Bujang Rumandung paling seru. Cerita ini merupakan bagian partembahan, yakni cerita lisan Talang Mamak di acara begawai (pesta perkawinan) yang dikenal juga sebagai bedar mayang (kembang pesta). Artinya, dalam sebuah pesta perkawinan bukan hanya pengantin perempuan ibarat kembang, bukan juga hanya gadis-gadis kampung yang berdandan, tapi tak kalah penting adalah cerita sebagai kembang kata-kata yang menghidupkan sebuah pesta.
“Anak-anak sekarang sudah jarang mendengar cerita moyang, kite yang tua pun sudah banyak lupe,” aku Pak Dukun jujur. Ia mengucapkannya dengan setengah terpejam.
Saya tanya apakah Pak Dukun tahu Cerita Bujang Tan Domang. Cerita lisan orang Petalangan ini juga biasa dituturkan dalam acara perkawinan, dan makan waktu empat sampai lima hari. Saya mengetahui hal itu dari sebuah buku tebal yang sudah ditranskrip oleh Tenas Effendi, terbitan Bentang Budaya bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan The Toyota Foundation (1997).
Pak Dukun mengaku tidak tahu. Tapi itu dapat dimengerti. Meski orang Talang Mamak secara umum kadang disebut juga sebagai orang Petalangan. Hanya saja yang dimaksud dalam Cerita Bujang Tan Domang merupakan masyarakat Petalangan yang bermukim di Desa Betung, Kecamatan Pangkalan Kuras, dulu masuk Kabupaten Kampar, sekarang Kabupaten Pelalawan.
Namun jika merujuk catatan Obdeyn, sebagaimana saya lihat dalam pengantar buku puisi Dheni Kurnia, Olang 2 (2016), semua suku pedalaman Riau berasal dari rumpun besar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Mereka turun dari Gunung Marapi, menghiliri Sungai Kuantan/Indragiri, sebagian melalui Sungai Kampar dan sampai di Sungai Mandau, sebagian lagi menghilir melalui Sungai Batanghari. Di Mandau mereka menyebut diri Suku Sakai, di Jambi menyebut diri Suku Kubu/Anak Dalam, dan di Kuantan menyebut diri Talang Mamak. Jadi sangat mungkin semua suku tua pedalaman Sumatera ini punya silsilah besar yang sama sehingga alur dan fungsi cerita juga banyak yang sama.
“Cerita Bujang Rumandeung juga sangat panjang,” Pak Dukun memberi perbandingan. “Bisa tiga hari tiga malam, sampai tujuh kali perang, tujuh kali mati dan tujuh kali hidup kembali…,” kembali Pak Dukun terkekeh, dan perempuan-perempuan di dapur ikut bersorak girang membayangkan adegan dalam cerita. “Sayang itu sudah mulai jarang dipertunjukan,” Pak Dukun lalu seperti mengeluh.
Malahan yang sering “dipertunjukan” dalam acara begawai sekarang adalah sabung ayam, yang berbau judi. Meski sejatinya, sabung ayam merupakan acara sah dalam ritual-ritual penting orang Talang Mamak, mulai perkawinan (begawai), kelahiran maupun kematian (turun tanah). Hampir sama dengan ritual tabuh rah masyarakat Hindu Bali, ada ritual adu ayam untuk memulai sebuah upacara. Demi memenuhi syarat mendarahi halaman pura dengan tetesan darah si jago. Semacam persembahan pada Semesta. Itulah intinya.
Namun seolah bernasib sama dengan tabuh rah, tradisi adu ayam itu kerap dilanjutkan oleh para bandar sebagai ajang perjudian. Jadilah sabung ayam di sini atau metajen di Bali, jadi arena pertaruhan dan itu menghabiskan waktu berhari-hari. Ini membuat orang Talang Mamak dicap punya tradisi kurang elok. Padahal, secara adat, mereka tak pernah merestui adu ayam untuk berjudi, kecuali sebatas ritual mendarahi tanah tempat upacara. Tapi para bandar dan peminat judi sabung ayam akan lekas berkumpul jika ada acara begawai di kampung, dan itu sulit dicegah oleh siempunya acara.
Saya teringat dalam diskusi komisi-komisi di acara Pekanbaru kemarin. Budy Utami, penyair yang juga aktif berkegiatan di masyarakat pedalaman dan punya akses kepada sejumlah petinggi Riau, sampai menelepon langsung Kapolda Riau. Ia mengonfirmasi bagaimana pandangan polisi atas sabung ayam dalam begawai. Kata Budy, Pak Kapolda bilang jika sabung ayam sebatas ritual, tidak ada masalah. Yang persoalan adalah kalau sabung ayam itu dilanjutkan dengan perjudian.
Begawai itu sendiri bukan hanya punya sabung ayam, tapi ada proses panjang dari sejumlah tata-cara warisan leluhur. Mulai betandang, membibit, menyulu, berjanji, menjemput hingga menambul. Semua itu tak bisa sepenuhnya dinilai hitam-putih dengan kacamata agama langit. Sekali pun itu dianggap “pahit”. Betandang misalnya, laki-laki boleh bermalam di rumah perempuan, berangkat malam pulang pagi. Tapi itu bukan tanpa aturan. Ada pengawasan yang dilakukan secara ketat secara adat. Tulisan Ayu yang dimuat dalam buku hasil pelatihan menulis memori kolektif, sangat detail menceritakan tata cara dan falsafah Begawai.
Karena itu, jika memang ada penyesuaian atau perubahan, katakanlah sesuai ajaran Islam yang banyak dipeluk orang Talang Mamak, maka harus dengan pendekatan persuasif. Sebagaimana Ustaz Abdul Somad yang sering masuk secara kekeluargaan ke kalangan masyarakat adat Riau, termasuk ke komunitas Talang Mamak.
Kemarahan Pak Batin
Dalam lintasan waktu yang panjang, tak kalah banyak unsur-unsur adat Talang Mamak yang hilang. Ritual membuka huma, mengobat padi dan memanen ladang, misalnya, sudah tak bisa dilakukan lagi seperti dulu. Hampir tak ada hutan bersisa untuk dibuka menjadi huma. Padahal di situlah teater ritual mereka dipentaskan. Penanam padi ladang juga makin sedikit. Selain lahan kurang subur karena tak ada proses menabur abu dari hasil pembakaran, beras dari kota juga menyerbu masuk ke kampung-kampung. Lagi pula, siapa yang mau menggara burung-burung? Dulu anak-anak mereka yang melakukannya.
“Sekarang anak-anak sibuk main hp,” seorang perempuan tua ikut berciloteh.
“Burung mereka sekarang burung kartun, dan kesukaan mereka main game,” sela perempuan lain.
“Iya, memang begitu,” Pak Dukun membenarkan. “Dulu banyak permainan dalam acara begawai. Sekarang banyak pilihan permainan dalam gawai,” Pak Dukun tertawa lepas mendapat dua perbandingan yang memuaskan itu: begawai sebagai pesta perkawinan yang punya banyak mata acara, dan gawai sebagai gadget yang penuh tawaran.
Begitulah, sabung ayam dalam begawai, misalnya, hanyalah satu rangkaian dari acara lain yang tak kalah penting, seperti bapantun dan basilat. Sekarang, katanya, tinggal sabung ayamnya saja.
Saat bercerita tentang sabung ayam, Pak Batin Irasan muncul di pintu. Ia menepati janji untuk datang. Wajah Pak Batin jauh lebih dingin dan “angker” dibanding Pak Dukun. Rupanya ia sempat menguping kami bercerita soal adu ayam. Langsung saja ketika masuk Pak Batin menyambung,”Dalam acara di Pekanbaru kemarin sudah aku bilang kalau sabung ayam itu wajib ada di acara begawai, jangan hanya lihat lanjutannya…
Matanya merah. “Aku tak suka ada kepala desa yang bilang itu semua haram dan membuat kita jadi miskin. Untung aku idak satu kelompok dengan dio, kalau satu kelompok kuhabisi pendapat dio. Tahu apa orang adat kita!” Pak Batin merujuk sidang komisi di acara Pekanbaru tempo hari. Menurutnya ada seorang kepala desa dari Rakit Kulim membuat pernyataan kontra terhadap adat. Padahal yang ia lihat hanya efek dari adat yang tidak dikawal semestinya.
“Tapi saat istirahat, aku panggil dio sendirian, dan aku cecar soal adat…” nada Pak Batin terdengar gemilang.
Saya tak tahu sejauh itu kemarahan Pak Batin. Meski kemarin, saya memang melihat ia sosok paling vokal bicara keadaan masyarakatnya. Kebetulan ia salah seorang pembicara di forum, bersanding dengan Prof. Dr. Kurnia Warman, dan lain-lain. Jauh sebelum kawasan Rakit Kulim memiliki sistem pemerintahan desa dan kecamatan, ia sudah malang-melintang sebagai pemimpin kampung-kampung Talang Mamak. Pak Batin juga kerap diundang dalam pertemuan masyarakat adat di berbagai tempat, termasuk ke Ambon. Para kepala desa sekarang rata-rata adalah angkatan keponakan dan anak-anaknya, sebagian punya hubungan darah dengan dia. Jadi wajar Pak Batin bisa langsung “menjewer” mereka bila dianggap kurang pas dalam tugas.
Ruang dapur Pak Dukun jadi sedikit mencekam karena pelampiasan amarah Pak Batin. Saya pun nyaris ciut nyali melihat wajahnya yang merah berkeringat. Apa akal? Jika saya bawa rokok sendiri, pasti sudah saya tawari dia sebagai pemecah kebuntuan. Tapi saya tidak merokok, kecuali sesekali saat kepedasan, cuaca dingin atau nongkrong—jika dihitung sebenarnya kelewatan juga untuk sebutan “tidak merokok”. Sedang berpikir-pikir demikian, eh, tak lama kemudian, Pak Batin angkat baju kaos yang dikenakannya sambil bilang,”Cuacanya panas, mungkin sebentar mau hujan…”
Lalu ia telentang begitu saja di atas tikar, dengan perut terbuka menggunung. Seketika “kengerian” yang ia timbulkan buyar…
Pak Batin pamit menjelang tengah malam dengan air muka yang mulai bersahabat. Sepulang Pak Batin, saya dipersilahkan Pak Dukun untuk tidur di tengah rumah induk. Rumah induk punya tiga kamar yang ditempati Pak Dukun dan istrinya serta anak-anak perempuannya. Selebihnya ruangan dibiarkan lapang terbuka, tidak banyak perabot. Saya bayangkan itu tempat yang luas bagi anak-anak untuk berlarian sepuasnya.
Di bagian atas ada pagu tempat menyimpan alat-alat rumah tangga. Karena besok pagi mau ada acara, beberapa kali perempuan-perempuan kampung naik ke tangga pagu menurunkan alat-alat dapur. Seiring malam yang kian larut, perempuan-perempuan itu pun pamit, dan suara yang tadi ramai di dapur perlahan surut.
Ditemani anak-anak lelaki Pak Dukun, rasa lelah dan kantuk segera menggamit saya ke peraduan. Malam itu, meski hanya beralas tikar, saya tidur nyenyak sekali. Apalagi, benar terka Pak Batin, hujan turun tengah malam membuat hawa jadi nyaman.
Pagi Bening di Talang Sungai Parit
Saya terbangun saat kokok ayam jantan bergema nyaring di kolong rumah. Sengaja saya bangun pagi-pagi, selain untuk menunaikan sholat subuh, juga mengambil waktu mandi mumpung anggota keluarga yang lain belum bangun. Soalnya adalah, kamar mandi Pak Dukun yang berada di samping rumah, persis dekat lorong orang ke luar-masuk, tidak berdaun pintu. Kamar mandi itu sendiri bersih, luas, dan memiliki bak air yang besar. Sebuah mesin cuci merk terbaru juga ada di situ.
Tapi saya tak punya bayangan lain bagaimana caranya mandi di tempat terbuka seperti itu, kecuali bangun lebih dulu selagi masih gelap. Eh, ternyata saya tetap keduluan orang lain! Anak-anak Pak Dukun sudah pada bangun. Malahan kakak David, saya lupa namanya, sudah bersiul-siul menyisir rambut di depan kaca, bersiap sekolah karena sekolahnya cukup jauh. Terpaksalah pagi itu saya hanya cuci muka dan berwuduk saja.
Tentu saya tahu, orang-orang di kampung yang dekat dengan alam terbiasa bangun sebelum fajar untuk menunaikan darma baktinya di sawah, ladang dan huma penghidupan. Begitulah yang saya lihat di Talang Sungai Parit. Saya sengaja berjalan keliling kampung dan menjumpai orang-orang mulai beraktivitas. Kebanyakan berangkat ke kebun, dan sebagian pergi membangkit bubu dan jala di sungai atau parit. Saya juga melihat kakak David berangkat sekolah dengan berjalan kaki, masih bersiul-siul riang. Ada pun David yang sudah berapa waktu ini tak mau masuk sekolah, tak kalah riang dengan senyumnya, datang menyusul saya.
“Mau ikut saya, ndak, Pak?” katanya.
“Ke mana?”
“Menyusul Hairil ke parit angkat jala!”
“Baik,” jawab saya, dan David segera berbalik.
Tak berapa lama ia kembali mengendarai motor bebek yang rodanya dimodifikasi dengan ban bergerigi besar. Pilihan ban ini untuk menundukkan medan licin berlumpur ke kebun atau ke ladang. Motor pun menderu membawa kami menyusuri jalan tanah liat yang tak kalah licin. Saat mau masuk ke arah kebun di mana Hairil memasang jala di salah satu paritnya, anak itu lebih dulu muncul bersama seorang temannya.
“Keno ula,” katanya. Ternyata jalanya dimasuki seekor ular seukuran kaki orang dewasa. Badannya jadi tambah gemuk karena memangsa ikan-ikan di jala. Ular itu sendiri akhirnya tersangkut dan mati. Hairil terpaksa membuang sekalian jalanya, dan tanpa kelihatan kecewa, ia segera meluncur pulang dengan knalpot motor berasap.
Saya dan David melanjutkan perjalanan ke arah Talang Perigi. Di perbatasan, di atas jembatan Sungai Ekok II, kami berhenti. Sisi sungai itu dijadikan tepian mandi oleh masyarakat terdekat. Tapi karena semalam hujan cukup deras, airnya melimpah kuning kecoklatan. Sungai ini akan bergabung dengan anak-anak sungai lain sampai akhirnya masuk Sungai Kuantan atau Indragiri.
Posisi jembatan yang diresmikan tahun 2013 itu lumayan tinggi. Dari sana saya bisa melihat hamparan kebun kelapa sawit seluas mata memandang. Seperti lautan. Hijau tua kemerahan. Mengepung kampung-kampung adat Talang Mamak. Hanya sebagian kecil lahan tampak menyisakan kebun karet.
Setelah memotret menggunakan hp ke arah empat mata angin—dengan pemandangan yang sama; lautan hijau tua—saya lalu googling mencari luasan kebun sawit di Indragiri Hulu. Pusat Statistik Provinsi Riau mencatat luas areal perkebunan sawit Indragiri Hulu tahun 2019 mencapai 118.969, 00 hektar. Bandingkan dengan kebun karet seluas 61.370, hektar. Apalagi kelapa yang hanya 1.828, 00 hektar.
Karena sinyal hilang-timbul, saya tidak sempat menemukan berapa luas kebun sawit di Kecamatan Rakit Kulim. Tapi saya duga pasti sangat luas, jika bukan yang terluas. Dalam kegiatan kemarin, saya sempat mendengar para aktivis menyebut sejumlah nama perusahaan besar yang beroperasi di Rakit Kulim. Mereka disebut kerap terlibat konflik dengan masyarakat adat.
Tak heran, di google dengan gampang terlihat judul-judul berita media online tentang kondisi lapangan. Misalnya lahan warga Desa Pring Jaya yang diduga diserobot perusahaan, sehingga masyarakat balik menangkap karyawan (Riau Madani, 4 Oktober 2016). Atau tentang pengrusakan pondokan petani sawit Desa Talang Tujuh Buah Tangga yang diduga dilakukan pihak perusahaan (Merdeka, 27 Desember 2017). Juga tentang sebuah perusahaan yang ditaksir merugikan negara Rp 12 trilyun karena mengalihfungsikan hutan adat Talang Mamak di Desa Talang Selantai (Berita One, 23 Juli 2022). Dan masih banyak lagi.
Tapi ada juga berita-berita memikat hati seperti petani Talang Mamak yang diajak bikin kelompok tani oleh perusahaan di Petalongan, perusahaan sawit yang membangun jembatan antar desa, perusahaan salurkan CSR ke empat sekolah, hingga PTPN V yang membuka akses jalan penghubung 11 desa.
Bagaimana pun, media adalah arena kontestasi. Saya hanya bisa berbisik dalam hati, semoga saja jurnalis-jurnalis masa kini tetap setia pada hati nurani. Salah satunya menjaga kejujuran membela nasib masyarakat adat menghadapi penyerobotan lahan oleh perusahaan perkebunan.
“Kalau air surut, enak mancing di sini,” suara David yang jernih membasuh pikiran saya. Bila air besar dan deras, kata David, ikan-ikannya ikut hanyut. Bila banjir meluapi kebun sawit, maka ikan-ikan itu akan masuk ke parit-parit kebun. Saat air surut, galur-galur akan terisi ikan puyu, sepat, gabus, limbat dan bakok. Itulah asal-usul ikan di parit. Tapi kata David lagi, tak jarang ikan diberi racun potas oleh mereka yang tak sabar.
“Sekalinya dapat memang banyak, Pak, tapi semua ikan musnah. Harus menunggu lagi musim banjir supaya parit ada ikannya.”
Ya, selalu ada yang dikalahkan lewat kekuasaan jalan pintas, gumam saya.
Dan untuk memintas pikiran berat supaya tak menggencet pagi bening saya di Talang Sungai Parit, maka saya mengingat kenangan manis dengan ikan rawa. Waktu kecil saya senang memancing di sungai kecil dan rawa-rawa kampung saya. Dulu kampung di pantai barat Sumatera itu masih menyisakan rawa dan kebun sagu. Kini, seperti kampung-kampung Talang Mamak yang berubah, lingkungan kampung saya juga berubah. Semua rawa mengeras kering lalu dijadikan lahan membangun rumah.
Karena itulah, setiap kali pergi ke Kalimantan, saya selalu melirik spot mancing ikan rawa, dan bernostalgia dengan ikan aruan, papuyu dan sepat. Dan di Talang Mamak, saya tak mau kehilangan moment yang sama. Maka saya bilang ke David, nanti sore kita harus mancing. David dengan senang hati menyambut, dan segera menyebut nama-nama tempat yang bisa dijajal sebagai spot mancing terbaik. (Dan itulah yang kami lakukan kemudian, meski karena keterbatasan waktu tak sempat ke spot rekomendasi David, tapi mancing di parit dekat rumah cukup melepas klangenan masa kecil).
“Badukun, Turun Tanah”
Pulang ke rumah, saya melihat jejalan sepeda motor parkir di halaman. Selain motor baru, dalam arti terlihat bersih dan tidak dimodifikasi, tak kalah banyak motor tua dengan ban bergerigi besar. Itu artinya, orang yang bekerja di kampung atau kecamatan, serta mereka yang bekerja di ladang, sekarang sama-sama berkumpul di rumah Pak Dukun. Untuk menunaikan acara turun tanah seperti saya dengar kemarin.
Benar saja. Rumah bagian dapur sudah penuh dengan laki-laki yang duduk sambil merokok dan menginang. Di bagian lain ruang itu para perempuan sibuk menyiapkan segala sesuatu. Mereka merebus ramuan dari tumbuhan hutan, dan yang lain membuat wadah dan anyaman untuk badukun. Ruang itu konsisten digunakan sebagai aktivitas umum, mulai menerima tamu hingga berupacara. Sementara ruang rumah utama dibiarkan kosong lapang, sehingga ketika saya masuk dari pintu samping sejenak saya merasa asing, seolah terkepung mata-mata yang serentak menatap dari arah dapur.
Tapi itu tidak lama. Sesuara yang akrab saya dengar menyela di antara tatapan mata,”Ayo makan, Pak, nasinya sudah keburu dingin!” Di tengah rumah, dekat tiang, ternyata telah terhidang nasi dengan sayur-mayur segar seperti kemarin malam. Tampaknya tuan rumah mengerti kesukaan saya.
Dan Pak Dukun masih sempat menyilahkan saya makan sesaat sebelum ia sendiri bersiap-siap menjalankan aktivitasnya badukun. Ia duduk di tengah-tengah hadirin, buka baju saja. Mulutnya komat-kamit bukan mengucap mantra, tapi mengunyah sirih. Di depannya, seorang laki-laki duduk menghadap. Laki-laki itulah yang mulai beraksi menggerakan segala piranti upacara. Menyan dibakar, asapnya diusapkannya ke wajah Pak Dukun. Ia ucap bismillah, setelah itu bercampur mantra-mantra.
Rupanya dalam upacara tersebut Pak Dukun lebih berperan sebagai “medium” bagi arwah si mati. Peran itu, saya ketahui kemudian, jauh lebih berat. Ia ibarat pemimpin upacara, sedangkan pelaksana upacara adalah balian atau kumantan. Laki-laki yang membaca mantra di hadapan Pak Dukun itulah sang Kumantan.
Mantra Pak Kumantan kian “liar”, mulutnya kian cepat berucap. Tangannya menyentuh tiap titik tubuh Pak Dukun, menggarisnya dengan kapur, dan menempelkan anyaman daun rumbai yang dibuat perempuan-perempuan tadi, mulai di kepala, bahu dan dada. Anyaman itu menjuntai berjumbai-jumbai di kening Pak Dukun yang masih terus mengunyah sirih seperti mengunyah permen karet, membuat wajahnya seperti berubah jadi wajah masa silam seolah saya belum mengenalinya sejak semalam.
“Jangan kau foto,” bisik Pak Batin kepada saya yang mendekat tegak di pintu. Tangan saya sebenarnya ingin bergerak memotret agak sepetik dua petik, tapi seolah tahu hasrat saya, Pak Dukun mendelik. “Makan saja sekarang,” katanya.
Seorang laki-laki kurus dengan kepala terikat kain hitam, ikut mengulang,”Ya, makanlah, Bang. Kami semua tadi sudah makan bahidang…”
Saya akhirnya patuh. Lagi pula saya lihat, sejumlah laki-laki sudah mulai beringsut turun jenjang. Yang lain terus berbincang sesamanya. Tentang kebun dan ladang-ladang. Info terbaru perusahaan perkebunan, dan segala macam. Perlahan barisan orang-orang mulai longgar. Bunyi mesin motor ribut di halaman.
Saya tak mengerti mengapa ritual yang saya bayangkan begitu sakral, ternyata berlangsung di antara percakapan dan kepergian orang-orang tanpa perlu pamit pulang. Padahal dalam buku Upacara Tradisional (Upacara Kematian) di Riau susunan Daud Kadir dkk. yang sempat saya scan di perpustakaan Komunitas Suku Seni Pekanbaru, kematian bagi orang Talang Mamak dianggap sangat “menakutkan”. Saya lihat buku itu lagi di hp. Di situ disebutkan kematian adalah kejadian yang tidak baik, bahkan disebut peristiwa sial. Karena itu mereka akan berupacara dengan sangat hikmat supaya roh si mati tidak mengganggu yang tinggal dan selamat ke tempat asal (1985:40).
Apakah ini hanya acara “sampingan” mengingat peristiwa kematian adik ipar Pak Dukun sudah lewat berapa waktu berselang? Atau ini bagian dari perubahan?
Saya tak tahu. Tapi boleh jadi saya telah terperangkap romantisisme yang kadung menganggap segala sesuatu tentang masyarakat adat itu eksotik. Ah, tidak! Sudah lama saya menyadari bahwa anggapan itu tak perlu. Saya teringat puisi yang saya tulis tentang masyarakat Dayak Loksado beberapa waktu lalu. Puisi tersebut justru ingin mengejek sikap orang-orang yang datang bertandang ke Loksado dengan semangat destinasi wisata. Jadi saya paham masyarakat adat tak saatnya lagi dikaitkan dengan eksotisme, sebagaimana kolonial memandang segalanya dari kacamata mooi-indie!
Hanya saja, jujur, sepanjang upacara yang saya lihat barusan, bukankah menyangkut kematian? Kematian, bagi saya, selalu terasa lain: sakral, ngelangut, hikmat. Tapi orang Talang Mamak pasti punya persfektifnya sendiri dengan filsafat dan semesta adat.
“Swalayan Sayur-Mayur” dan “Olang”
Sekarang saya ingin tahu ladang Pak Dukun, dari mana sayuran segar yang saya lahap dengan nikmat, berasal. David segera membawa saya ke sana. Letaknya tak jauh dari rumah, hanya di seberang jalan yang masuk ke arah kebun karet. Ladang sayur itu sendiri bekas ladang karet Pak Dukun yang sudah ditebangi karena harga tak kunjung membaik.
Lahan seluas hampir dua hektar itu semua diisi aneka tanaman sayur, mulai jagung, labu, ketimun, terong tunjuk-terong bulat-terong ungu, singkong berbagai jenis (saya baru lihat ada singkong berdaun keriting), rimbang, cabe, tomat, kecipir, pitula, kacang panjang, pariya, keladi, semua ada. Tak berlebihan ladangnya dikatakan sebagai “swalayan sayur-mayur.”
Menurut David, ladang sayur seluas itu tidak untuk dijual. Buat kebutuhan sehari-hari saja. Kalau ada tetangga atau orang kampung mau, boleh ambil. Dua buah pondok leang-leang berdiri di tengah ladang. Di atas pondok terdapat berbagai bungkus bibit tanaman berupa bebijian yang dikemas kelompok usaha tani atau mungkin hasil kemasan pabrik. Kata David, bapaknya membeli semua itu di Air Molek. Sekalian membeli pupuk dan obat, sebab, lanjut David, pupuk kandang saja kadang tak cukup.
“Kenapa tidak dibuat sendiri, David?”
“Lebih praktis. Dulu bila panen jagung misalnya, berapa tongkol jagung tua digantung di atas tungku dapur sampai siap tanam. Kini sudah jarang. Begitu juga pupuk, dulu dari kotoran lembu dan kambing, sekarang bapak tak sempat lagi membuatnya. Lagi pula, kurang mempan. Tanahnya sudah beda.”
Saya memandang hamparan ladang sambil menyimak jawaban perubahan yang disampaikan David. Di tengah ladang berdiri tiang sutet, dan kabel-kabel besar listrik melintang di atas langit ladang. Serombongan burung bertengger sebagaimana hinggap di ranting. Jadilah pemandangan “arkaik” berbaur dengan “futuristik”—hal-hal yang banyak mewarnai kehidupan orang Talang Mamak sekarang.
Sedang berpikir-pikir demikian, di pondok terjauh terdengar suara tembakan.
“Bedil?” saya kaget.
Lalu disusul suara ribut monyet-monyet menjauh.
“Kena?” saya lanjut bertanya.
David tertawa.
“Itu kakak saya menakut-nakuti monyet dengan bazoka buatan, Pak,” jelas David kemudian. Katanya, bila Doni tidak menyopir truk, ia akan membantu menjaga ladang dari serbuan monyet. Saya mendatangi pondok itu dan melihat bazoka buatan mereka menggunakan paralon diisi spritus. Di pangkalnya dilekatkan sebuah alat pemantik eletrik yang dihubungkan dengan kabel. Bila diisi spritus dan dipantik, akan menimbulkan gema suara, tapi tak ada benda yang keluar sebagai peluru. Semacam tembakan hampa. Saya mencoba, sayang tidak bisa meletus.
Puas berkeliling ladang sayur, saya pamit kepada kakak David yang sedang menonton sebuah acara musik di kanal Youtube. Katanya, sambil menunggui kebun dari usikan monyet, bisa asyik buka Youtube karena sinyal di kebun bagus ketimbang di rumah. O, okelah kalau begitu.
Kami bermaksud kembali ke rumah. Tapi persis di depan rumah Pak Batin, kami berpapasan dengan Ayu. Ia segera mengingatkan janji saya saat di Pekanbaru.
“Jadi Bapak ke huma melihat padi kami?”
Tentu saya ingat janji itu.
“Ayo, sekarang saja, Ayu,” jawab saya menghemat waktu.
Ayu tinggal mengubik Hairil yang sedang menjemur cucian di halaman rumahnya. Mungkin ia mengambil alih tugas keluarga karena ayah-ibunya sibuk membantu acara di rumah Pak Dukun. Anak tiri Pak Batin itu sudah tahu rencana ke huma. Jadi ia pun bersiap naik motor. Di sebuah warung, ia mampiri Harianto. Berombongan kecil, kami berangkat menuju huma yang terletak di luar desa. Memasuki jalan tanah becek berlumpur, hingga motor tak bisa lagi dinaiki. Di batas itulah kami berhenti dan harus berjalan kaki.
Apa yang disebut ladang di sini berbeda dengan ladang di Bukit Barisan, kampung saya. Di tempat saya, ladang berada di atas bukit, penuh pendakian. Ladang Talang Mamak terhampar datar karena memang terletak di hutan gambut. Tapi suasana yang ditimbulkannya sama: kedamaian huma. Angin semilir, suara burung-burung, dan kuik elang yang melayang layah di langit, membuat bayang-bayangnya memanjang menyepuh bubungan pondok yang berdiri kukuh di tengah ladang.
Kulik elang mengingatkan saya pada buku puisi Dheni Kurnia, penyair dan jurnalis kelahiran Air Molek, Olang 2 (Palagan Press, 2016). Buku pemenang utama Anugrah Hari Puisi itu sengaja saya bawa dan kebetulan saya yang mencetaknya dulu di Yogya. Puisi-puisi Bang Dheni dalam Olang bertolak dari kehidupan masyarakat Talang Mamak. Maklum kakekya dari pihak ibu, punya hubungan darah dengan keturunan suku tuha ini.
Dalam masyarakat Talang Mamak, tulisnya di pengantar, olang (elang) merupakan perlambang. Sakral. Tidak boleh dipelihara, diburu, ditangkap apalagi dibunuh. Elang dianggap sebagai perantara pesan kepada yang gaib. Baik ketika melakukan pengobatan maupun ketika menyampaikan pesan kepada roh-roh orang yang sudah mati. Suara kulik elang juga mengandung pertanda.
Melihat sisa hamparan padi huma yang terjepit di tengah kepungan sawit, saya baca sebait sajak Bang Dheni, “Ruh Olang” yang menyayat hati:
Tampek ruh nanlah tobang
Tompek zat nanlah runtuh
Tompek bunian nanlah putus
Ke sarang olang-olang
Padi Ladang, Huma dan Harapan di Pondok Kukuh
Padi ladang milik keluarga Ayu tampak tidak terlalu subur, terutama jika dihubungkan dengan huma tempatnya tumbuh. Bukankah huma diasumsikan berhumus tebal? Tapi lihatlah, batang padi Ayu kurang tinggi. Daunnya agak menguning. Buah-buahnya banyak yang hampa. Menurut Ayu, sejak mereka dilarang membakar lahan, padi ladang jadi berubah kerdil. Biasanya, abu lahan yang dibakar akan menyuburkan tanaman.
“Tapi kami tidak membakar seperti orang buka kebun sawit. Kami punya aturan, dan tak pernah api menjalar memusnahkan hutan,” kata Ayu sungguh-sungguh.
Engkau benar, Ayu. Di kalangan masyarakat peladang, membakar lahan ada cara dan aturan mainnya. Tidak asal bakar, apalagi dengan sikap praktis akan mendapat lahan seluas-luasnya. Peladang terlebih dulu membersihkan sekeliling lahan minimal sejarak satu depa dari belukar atau hutan sekitar. Itu akan menjadi jalur pengaman api untuk tidak menjalar, sekaligus tempat memantau jika angin berhembus kencang.
Saya tahu persis tradisi itu karena ayah saya juga seorang peladang. Di sana. Di kaki Bukit Barisan. Ayah saya biasa membakar hasil tebasan ladangnya, dan abunya dibiarkan sebagai pupuk alami yang menyuburkan tanaman. Tapi di sini, di kaki Bukit Tiga Puluh, sejak para pekebun besar main bakar lahan demi keperluan praktis, yang tertuduh sebagai pembakar hutan dengan kabut asap pekat, adalah petani kecil dengan huma-huma kecil penghidupannya ini.
Lalu dengan konyol dan naif pemerintah mengeluarkan larangan membakar lahan. Beberapa kali terjadi kasus: lantaran membakar hasil tebasan di tengah huma, peladang Talang Mamak ditangkap polisi bahkan ada yang ditahan. Sejak itu mereka takut membakar hasil tebasan, sekalipun berakibat pada pola membuka lahan dan hasil ladang.
“Padahal padi ladang harus tetap ada,” kata Harianto, anak Talang Mamak yang berhasil menamatkan kuliah di Pekanbaru. Bagi komunitas mereka, padi ladang merupakan bahan untuk setiap upacara. Keberadaannya tak bisa digantikan dengan beras dari padi sawah yang banyak dijual di pasar atau toko sembako.
Begitu juga tuduhan sebagai peladang berpindah. Jangan bayangkan mereka membuka hutan seperti pemilik HPH dan HGU yang menghabisi semua pohon dalam waktu singkat. Masyarakat adat Talang Mamak punya aturan berladang dalam siklus yang diatur sepanjang musim, sepanjang masa. Saya teringat cerita Pak Dukun semalam tentang tata cara membuka ladang. Dimulai lebih dulu dengan malambas (menebas). Lalu di situ dipasang limasan dari pelepah pisang.
Setelah tiga hari, wadah yang sudah dimantrai Pak Dukun maupun kumantan itu, akan dilihat kembali. Jika posisinya tertelungkup, berarti tak ada izin dari penunggu hutan. Jika tidak tertelungkup, berarti ada izin. Maka dibolehkan mulai membuka hutan dengan terlebih dulu memperhatikan sembilan malata di langit (hal-hal gaib), sembilan malata di awang-awang (seperti angin, puang, petir), dan sembilan melata di bumi (seperti ular, kerong-kerong, kala, lawa-lawa, selembada, cicak, semut…).
“Huya, huyaa!!” tiba-tiba terdengar suara menggusah dari tengah ladang, dan tali-temali orang-orangan dari jerami serentak bergerak-gerak. Ternyata itu adik perempuan Ayu yang bertugas menjaga padi dari serbuan burung-burung….
Aneh, ingatan saya melayang kepada sebuah sajak pendek kawan seperantauan saya, Riki Dhamparan Putra. Sajak berjudul “Huya” itu sudah sama-sama kami hapal sejak menyusuri malam-malam Kota Denpasar. Rasanya, cocok belaka ketika saya dawamkan di tengah huma orang Talang Mamak.
HUYA
Kami minum darah kami
Didih kerikil pasir di jalan
Nyanyian cinta
Sepanjang jalan nasib
Patuk biji musim
Kami terusir
Terbang cari makna kata
Huya
Kami saksikan
Lumbung demi lumbung punah
Dibakar tangan-tangan waktu
Cukuplah
Kami tak lagi akan minta padamu
Kami makan hati kami
Kami kepalkan
Bagi yang mengais sampah
Di taman-taman negeri
1996
“Burungnya banyak sekali, sebab tinggal ladang kami dan ladang Dita saja yang belum panen,” kata Ayu sambil menunjuk ladang Dita di seberang pondoknya. Hari itu ladang Dita tidak ada yang menjaga, sebab ibunya yang biasa menjaga sedang sibuk membantu acara di rumah Pak Dukun. Dita sendiri pergi menunggui saudara yang sakit yang kemarin sudah ia jenguk. Tapi sesekali adik Ayu ikut menggusah burung-burung ke huma Dita.
Burung-burung pipit pemangsa datang bergerombol setiap saat, dan setiap itu pula adik Ayu menghardik dan mengusirnya. Butuh kesabaran khusus untuk menunggui padi pada masa seperti ini, yang menurut Ayu bisa hampir sebulanan.
Umur padi ladang sejak ditanam dan panen berkisar enam bulan. Sebagaimana saat menanam, saat menuai pun ada upacara dan lelaku khusus yang harus dijalani para peladang. Misalnya, pekerjaan menuai akan dilakukan para perempuan, dan itu tidak boleh bersuara. Jangankan berbincang sesama mereka, bahkan jika ada yang menyapa atau memanggil, tak boleh disahut.
“Sebab boleh jadi yang menyapa itu bukan makhluk seperti kita…”
Saat berbincang di depan pondok, ayah Ayu datang. Saya mengulurkan tangan. Laki-laki penuh keringat itu menjabat tangan saya erat-erat. Betapa hangat. Kemudian ia perintahkan Ayu mengajak kami naik ke pondok. “Buatkan minum,” katanya.
Setelah mencuci kaki di sebuah parit yang dilengkapi dengan titian dan lantai papan, selayaknya tepian mandi, kami semua naik ke pondok bertiang tinggi itu. Pondok kayu berukuran sekitar 6 x 5 meter itu memang kukuh. Punya serambi kecil, ruang tengah dan dapur. Ayu segera menyalakan api di tungku. Sementara saya mengajak Harianto, Hairil dan David, bercerita tentang kehidupan mereka.
Keluarlah semua riwayat, hikayat, silsilah, juga cita-cita dari mulut mereka. Penuh hikmat. Dan lebih dari suara yang begitu fasih merangkai cerita, saya juga melihat banyak kisah terpancar dari mata dan muka yang bersih.
Kemudian seorang gadis yang saya lupa namanya datang menyusul. Ia membawa sekresek kue-kue yang tampaknya sengaja ia beli di warung.
Ketika kopi terhidang, dan anak-anak pun mulai makan kue, saya berkata,”Tulislah apa-apa yang kalian ceritakan itu dalam bentuk cerpen, puisi, novel…”
“Bagaimana caranya, Bapak?” tanya mereka hampir berbarengan.
Saya tersenyum. “Kalian bisa mulai dengan membaca. Buku-buku yang saya bawakan kemarin, semuanya buku cerita dan buku puisi.” Saya memang membawakan mereka sekardus buku dari Yogya dan sudah saya serahkan sewaktu di Pekanbaru.
“Siap, Bapak, tapi kami juga ingin diajari cara menulisnya,” kata Hairil penuh minat. Yang lain terlihat antusias. Saya sesap kopi dengan nikmat.
Rasa lelah terasa sirna. Saya bersyukur telah menjejak tanah orang Talang Mamak, dalam dua makna. Pertama boleh jadi harafiah, di mana telah saya susuri sejumlah tempat dan saya jejaki sebagian kecil jalur hidup mereka. Kedua, segala yang saya dapat di sini menjejak di benak saya sebagai pengalaman berharga dan falsafah yang kaya. Namun saya masih berharap ada makna ketiga: meninggalkan jejak, sekecil apa pun kelak…
“Saya siap mengajari kalian menulis. Akan kita agendakan. Sekarang kalian lanjut dulu menulis hikayat kampung bersama Pak Pinto. Lewat menulis, kita semua akan menorehkan jejak,” saya meyakinkan mereka, dan sebenarnya lebih meyakinkan diri saya sendiri. Karenanya, nada suara saya nyaris tersedak.
Saya lihat wajah semua anak berseri-seri. Seperti bulir padi yang terbit dari batang-batangnya yang kurus di tengah ladang.
“Huyaa!!” adik Ayu berseru lagi. “Huya, huyaaa…!” Tali-temali bergerak. Ia terus berseru. Saya membayangkan gadis belia itu bagai Pak Dukun mengucap mantra-manta yang tak nampak, setia memagar kampung dari serbuan burung-burung liar. Bukan sekedar pipit dari tepi-tepi rimba, melainkan deru mesin-mesin sawit dari pusat-pusat kekuasaan.
Kami pun lalu berteriak bersama-sama,“Huya, huyaa!!”
Begitulah, kami gusah langit Talang Mamak yang masih mendung. Tapi dari balik awan, matahari akan bersinar membuat semuanya kembali cerah. Menumbuhkan harapan. Seperti biji buah labu yang diberikan Pak Dukun ketika saya pamit dari Talang Sungai Parit.
“Dalam buah labu kering ini masih tersimpan biji-bijinya. Pak Raudal bisa mengeluarkannya untuk ditanam di mana saja, sementara buahnya bisa buat wadah tempat air minum, sebagaimana kami memakainya di sini. Air akan menjadi sejuk,” tentu, Pak Dukun tidak sedang membaca mantra, walau ucapannya penuh simbol. Ia menyerahkan labu kering ukuran sedang ke tangan saya. Juga kambuik (tas bulat kecil) dan anyaman tempat tembakau dari daun rumbai yang kuat. Saya menerimanya dengan rasa haru dan terima kasih.
/Talang Sungai Parit-Lemahdadi,
awal tahun 2023 Menja
Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian ke tiga dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co
Di Rumah Pak Dukun
Rumah Pak Dukun paling besar dibanding semua rumah yang saya lihat saat melewati jalan kampung. Terbuat dari kayu kulim (ulin), bertiang setinggi satu meter, menyisakan kolong nyaman bagi anjing, ayam dan hewan piaraan. Sejenak mengingatkan saya pada rumah panjang Dayak, Balai Malaris, di Loksado, Pegunungan Meratus.
Rumah itu terbagi dua. Bagian utama saya perkirakan berukuran 12 meter x 9 meter. Berdinding dan berlantai papan, sudah mengenakan jendela-jendela kaca dengan bingkai polos. Atapnya dari seng. Sedangkan bagian kedua berukuran sekitar 8 meter x 5 meter, merupakan bagian dari dapur, berdinding kulit kayu tarab dan beratap daun rumbia. Bahan-bahan kayu, termasuk kulitnya yang tebal dan kuat, diambil dari pohon-pohon terakhir kawasan Rakit Kulim. Belakangan rumah-rumah berganti tembok-beton sebagaimana jamak kita jumpai di kampung-kampung lain.
Di belakang samping kiri terdapat bangunan lumbung yang semuanya berbahan kayu. Kecuali atapnya yang tidak selengkung tanduk kerbau, bentuk bangunan persis lumbung di Minangkabau dengan ukuran mengecil ke bawah, lazim disebut rangkiang. Rangkiang biasanya didirikan di bagian depan rumah gadang, tapi di Talang Mamak berada di samping belakang. Lebih ke belakang lagi dari lumbung, terdapat kandang kambing Pak Dukun yang sesekali terdengar ramai mengembik.
Padi di lumbung dan ternak di kandang, bukankah cukup bukti untuk menunjukkan kekuatan orang Talang Mamak untuk mandiri?
Begitulah saya mengartikan semua hal yang saya lihat di seputar rumah dan pemukiman Pak Dukun.
Pak Dukun, laki-laki bertubuh gempal dengan air muka yang akrab. Saya taksir usianya belum 60. Ia tersenyum lebar menyambut kami di pintu rumah bagian dapur. Tiga orang anaknya sepantaran Dita dan Ayu ikut duduk menunggu. Hairil Candra, anak Pak Batin, ikut bergabung. Keakraban segera terasa di antara kami. Persis keakraban yang saya rasakan saat bertemu Pak Batin dan anak-anak Talang Mamak di Hotel Premiere Pekanbaru tempo hari.
“Beginilah keadaan kami di sini, Pak. Rumah kayu gotong royong, sisa masa lalu,” kata Pak Dukun memperkenalkan “istana”-nya.
“Enak rumah Pak Dukun ini, sejuk,” kata saya tanpa bermaksud berbasa-basi.
Kami dipersilahkan menaiki anak tangga pendek, dan mendapati ruangan berlantai bambu dialasi bentangan tikar rumbai hasil anyaman sendiri. Selain tikar, perempuan-perempuan Talang Mamak juga pandai menganyam rupa-rupa wadah keseharian mulai bakul, tas, ambung, hingga tempat tembakau-sirih-pinang.
Rupanya ruangan bagian dapur inilah yang difungsikan tuan rumah untuk menerima setiap tamu. Baik tamu dari jauh maupun orang sekitar yang datang hendak berobat. Saya duduk menyandar ke dinding kulit pohon tarab yang kuat.
“Di tempat bapak duduk nanko, hampir tiap tahun ada orang partai politik ikut duduk. Terakhir bapak gubernur Riau. Semua menjanjikan perubahan,” kata Pak Dukun dengan nada ironis. Saya merasa tergelitik. Ia lalu membuat sirih, dan menyilahkan saya ikut menginang.
Teringat masa kecil bersama nenek, saya pun mencoba melipat sesirih pinang. Sebenarnya saya ingin sambil bertanya siapa nama Pak Dukun, tapi entah kenapa saya rasa belum saatnya, atau mungkin tak perlu. Sebab dengan panggilan “Pak Dukun” saja sudah cukup mewakili segala hal tentang dirinya.
Sesuai namanya, Pak Dukun berperan mengobati orang sakit dengan menggunakan ramuan daun-daunan: si tawar sidingin dan pucuk kumpai serta tanaman hutan. Namun untuk memetik atau mencarinya, termasuk menyiapkan perlengkapan badukun, Pak Dukun dibantu para bantara. Sepasang bantara laki-laki dan sepasang bantara perempuan.
Dukun memang menjadi bagian penting dari struktur masyarakat adat Talang Mamak, selain batin dan balian atau lazim disebut kumantan. Kalau Pak Batin berperan sebagai katuha atau pemimpin adat, maka dukun dan balian sama-sama mengobati penyakit dan memimpin ritual. Bedanya, dukun lebih menangani hal-hal tak kasat mata, seperti ilmu gaib, gangguan roh atau menjinakkan harimau. Sedangkan balian mengobati penyakit fisik seperti luka atau patah tulang.
“Istilahnya, kumantan untuk berobat tangga di atas, dukun tangga di bawah,” jelas Pak Dukun. Karena itulah, di ruangan tempat kami duduk, ada sebuah bilik kecil berdinding kulit kayu tempat menyimpan benda-benda keramat milik Pak Dukun.
“Dulu, ketika hutan kami masih ada, harimau yang tersesat masuk kampung atau mengganggu orang berhuma, tugas aku mengurus,” kata Pak Dukun dengan bahasa Minangkabau campur bahasa Melayu, namun dengan logat yang khas.
Sebagaimana bahasanya yang khas, orang Talang Mamak juga punya hubungan khas dengan si raja hutan. Mereka tidak saling bermusuhan. Tak ada harimau yang dibunuh, tak ada manusia yang terbunuh. Justru itulah peran sentral Pak Dukun; menjinakkan harimau dengan semangat persahabatan. Hal ini mengingatkan saya pada cerita-cerita masa kecil dulu di kampung, yakni tentang manusia harimau atau cendaku, harimau jadi-jadian. Ia akan beraksi bila ada tindak kejahatan di kampung. Tapi di kampungku, pantai barat Sumatera, cendaku dipercaya berasal dari pedalaman Jambi.
“Sebenarnya, cendaku itu merujuk Sungai Batang Cenaku, daerah pemukiman Talang Mamak arah perbatasan Jambi. Masyarakatnya memang akrab dengan harimau, habitat asli Bukit Tiga Puluh,” saya teringat cerita Sanak Andiko Sutan Mancayo kemarin di Pekanbaru.
“Segalanya Berantakan”
Peran sentral dukun sebagai penetralisir jagad kosmos dan jagad hayati, membuat keberadaannya sangat dihormati. Apalagi dukun merupakan jabatan turun-temurun dengan ilmu warisan yang tidak semua keluarga memilikinya. Meski tentu mutlak legitimasi adat dan masyarakat. Karenanya, meski Pak Dukun mewarisi profesi dukun dari sang ayah dan ayahnya dari kakeknya dan begitu seterusnya, tapi harus ditahbiskan lewat upacara khusus.
“Saya ini orang tidak sekolah. Kebanyakan kami di sini begitulah adanya. Mungkin karena itu perusahaan sawit bersilintas angan kepada kami. Semua hutan tempat kami berhuma, bahkan ladang karet kami, habis diambil perusahaan dan ditanami sawit. Atas nama HGU,” Pak Dukun menerawang.
HGU adalah Hak Guna Usaha, izin konsesi pengolahan lahan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan kelapa sawit. Semacam HPH (Hak Penguasaan Hutan) pada masa Orde Baru yang menghabiskan jutaan hektar hutan dari Sumatera hingga Papua. Hal sama terulang lewat HGU. Berkat surat sakti itu, sejumlah perusahaan perkebunan besar milik swasta bersimaharajalela membuka kebun tanpa batas. Keanekaragaman hayati di planet bumi mereka buat homogen dengan satu jenis tanaman saja.
Pak Dukun menyepuh mulutnya dengan punggung tangan, mulut yang terpercik air sirih. Ia kemudian mengganti sirih dengan menyulut sebatang rokok. Setelah isapan pertama, sembari menghembuskan asap tipis di udara, ia mulai menceritakan nasibnya sendiri berhadapan dengan pemegang HGU.
“Kebun karet saya habis dibabat perusahaan,” katanya dengan nada tertahan.
Sebanyak empat hektar kebun karet Pak Dukun ludes nyaris dalam sehari ditebangi mesin-mesin raksasa perusahaan. Ia yang hari itu tidak ke kebun, diberi tahu oleh peladang lain, dan saat bergegas datang dia hanya menemui batang-batang karet kesayangannya sudah rebah terhumbalang.
“Itu ditebangi tanpa ganti rugi, Pak?” saya bertanya polos.
“Macam mano nak ganti rugi, izin pun dio tidak, Pak,” kata Pak Dukun seolah tersedak. “Karena aku marah, besoknya aku dipanggil ke kantor perusahaan dan diberi uang empat juta. Kalau itu ganti rugi, ya, rugi aku, Pak!”
Pak Dukun mengaku tak tahu dari mana perusahaan itu muncul, tahu-tahu sudah menerabas hutan di sekitar Talang Sungai Limau, Talang Sungai Parit dan kampung-kampung sekitar. Mulanya perusahaan membuka kebun di kawasan Seberida yang masih jauh dari Talang Parit. Tapi pelan dan pasti merangsek ke kawasan Rakit Kulim. Padahal jika dilihat di peta Indragiri Hulu, Rakit Kulim terletak di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Tapi entah bagaimana ceritanya kebun sawit milik sejumlah perusahaan leluasa membuka lahan di kawasan yang dilindungi. Ini mengingatkan saya pada Taman Nasional Tessa Nilo di Pelalawan yang juga beririsan dengan hutan tanaman industri.
Anak-anak seusia Dita dan Ayu lebih tak mengerti perubahan alam mereka. Dalam separoh usia mereka, tiba-tiba mereka telah menjumpai saja sawit tumbuh di mana-mana.
“Dulu kami tinggal di Sungai Ekok,” Ayu menyela. “Ayah berladang karet dan membuka huma berladang padi. Pohon-pohon kulim, tarab, sialang, pulai hingga enau dan nibung rapat mengepung kampung. Sungai juga jernih, banyak ikannya. Ada sebuah danau kecil di sana, selalu berair sepanjang musim,” mata Ayu berbinar-binar menuturkan cerita dalam bahasa yang indah. Pasti ia terbayang masa kecilnya yang tak kalah indah.
Tapi kemudian mata Ayu berubah memendam amarah. Suatu hari sepulang sekolah, katanya, ia lihat hutan di sekitar kampungnya habis ditebangi. Ia melihat ayahnya panik. Dan ibunya menangis di sudut rumah. Ayu yang lelah berjalan kaki dari sekolah hanya diam memeluk ibunya, tidak mengerti apa yang terjadi. Ia pikir, besok ayahnya masih bisa menyadap karet, dan ibunya menggara burung-burung di huma.
Untuk beberapa hari ke depan, ayah dan ibunya, sebagaimana keluarga peladang lain, memang masih bisa bekerja di lahan mereka. Tapi setelah beberapa waktu segalanya berubah. Air mulai keruh, lantas mengering. Hutan berganti hamparan tanah terbuka dan segera ditanami anakan sawit. Cuaca terasa panas. Hidup setiap keluarga menjadi sulit. Seolah tak ada lagi masa depan.
“Untunglah kami masih punya lahan di Talang Parit sini. Ayah mengajak kami pindah, dan tinggallah ladang kenangan kami, dirajam sawit,” mata Ayu kini berkaca-kaca. Kami semua hening sejenak.
“Segalanya rusak, Pak!” suara Pak Dukun menyentak kami. Seketika saya teringat novel pascakolonial Chinua Achebe, Segalanya Berantakan. Apa yang dialami orang Ibo di Afrika, sebagaimana diceritakan Chinua, juga dialami orang Talang Mamak di Sumatera sebagaimana diceritakan Pak Dukun dan Ayu.
“Hidup kami jadi susah,” Pak Dukun mulai lagi. “Banyak warga kami sudah tak punya lahan. Ada yang diambil perusahaan, atau tak ada lagi hutan yang hendak dibuka. Sebagian terpaksa menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.”
Pak Dukun menggambarkan keterpaksaan itu lewat sosok perempuan-perempuan perkasa Talang Mamak. Mereka terpaksa harus ikut mendodos ke kebun PTPN. Padahal upahnya tak masuk akal. Bayangkan, sekarung goni besar buah sawit hanya dihargai Rp. 6000. “Untuk dapat uang Rp. 30.000 sehari berapa goni kami nak dodos?”ucapan Pak Dukun itu bergema di rongga telinga saya.
Mendodos adalah proses menjuluk buah sawit dengan galah besi. Jika tidak pandai, buah sawit bisa-bisa jatuh menimpa si tukang dodos. Masih untung kalau pohon sawitnya masih rendah. Kelapa sawit PTPN V yang ditanam sejak tahun 1991 itu sudah terbilang tua sehingga pohon-pohonnya tinggi. Kesulitan itu dihadapi orang Talang Mamak yang tak punya pilihan. Tak terkecuali para perempuannya. Seorang di antaranya adalah perempuan remaja yang ikut kelas latihan menulis dengan Pinto Anugrah.
Pak Dukun boleh dikatakan cukup beruntung. Sebagai tokoh masyarakat, ia akhirnya ditawari bekerja di salah satu perusahaan perkebunan sebagai tenaga security. Ia mengaku terpaksa menerimanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun itu pun hanya status kontrak, karena untuk bekerja tetap harus ada ijazah. Sementara Pak Dukun, jangankan ijazah, baca tulis saja susah. Sampai suatu hari, sebagai security ia sempat melihat peta HGU perusahaan. Ia melihat ada bagian ditandai warna hijau, dan ia bertanya kepada rekannya yang paham apa maksudnya.
“Itu ternyata kawasan yang diperuntukkan buat masyarakat, kebun plasma. Namun itu sering tidak dipatuhi perusahaan. Mereka tetap menanam kawasan itu, dan jika tak ada gugatan, maka warna hijau itu bisa saja lanjut dikuasai perusahaan.”
Melihat itu, Pak Dukun berpikir, kalau begitu aku harus menguasai lahan itu sebelum didiamkan, tekadnya. Maka ia kumpulkan beberapa orang kampung, lalu lahan itu mereka kuasai. Setiap karyawan perkebunan masuk mereka usir dan lawan. Lahan yang baru ditanami sawit itu lalu mereka bagi-bagi. Luas totalnya ada 16 hektar.
“Itu cara saya melawan, Pak, karena itu hak kami,” kata Pak Dukun berani.
Saat bercerita demikian, Pak Batin Irasan datang. Rumahnya hanya bersebelahan dengan rumah Pak Dukun, sebuah rumah semi permanen yang lebih kecil. Dia hanya menengok kami sebentar, kemudian pamit dan berjanji akan datang lagi nanti malam. Seiring dengan itu, Pinto dan sopir kami pun pamit ke Air Molek. Diikuti Ayu, Dita dan Hairil yang juga pamit. Tinggallah saya bersama Pak Dukun dan keluarganya.
Di luar, gelap mulai menyungkup perkampungan. Serangga malam mulai mengatur konser dengan nada kodratinya masing-masing. Ramai yang terasa senyap.
“Mengaji” di Rumah Pak Dukun
Istri Pak Dukun sudah menyalakan lampu teplok yang terbuat dari kaleng minuman ringan. Ia berseru meminta David, anak lelaki bungsunya, untuk membawakan lampu itu ke hadapan saya dan Pak Dukun yang masih duduk berhadap-hadapan. Selintas persis orang sedang mengaji. Saya yang dimasa kecil duduk menghadap guru dengan lidi di tangan, kini menghadap seseorang yang juga tak ubahnya seorang guru dengan rokok di jari. Ia beri saya tunjuk-ajar, cerita dan falsafah nenek moyang.
Sebuah bola listrik sebenarnya menyala cukup terang di ruang dapur, dan sebuah lagi di tengah rumah, tapi lampu minyak buatan ini tetap sengaja dinyalakan.
“Listrik sering mati. Lebih baik sedia pelita sebelum gelap,” kata Pak Dukun sambil menerima lampu teplok yang diulurkan David.
“Masih gampang dapat minyak tanah di sini, Pak?” tanya saya, sambil mengingat kehidupan di kampung dulu. Listrik baru masuk kampung saya ketika saya sudah SMA. Sebelumnya, sejak terpancar ke dunia, keluarga saya dan keluarga lain di kampung memakai lampu teplok minyak tanah yang dibuat dari kaleng-kaleng bekas. Hanya surau dan lapau yang punya lampu stronkeng, menguapkan aroma spirtus, dan setiap kali dipompa akan bertambah terang berdengking.
“Ini pakai solar. Aman. Jangan pakai bensin, apinya bisa menjalar.”
Untuk pertama kali saya tahu bahwa solar juga bisa dijadikan bahan bakar lampu teplok. Saya kira karena Riau kaya minyak, dan pusat tambangnya tak jauh dari sini, akan gampang dapat minyak tanah. Padahal, saya sadar kemudian, untuk mendapat bahan bakar solar pun masyarakat Riau masih sering antri di POM, sebagaimana saya lihat sepanjang jalan Lintas Sumatera. Segala macam jenis minyak lebih gampang didapatkan di Ibukota, pusat kekuasaan, ketimbang di daerah yang menjadi pusat tambang dan basis kedaulatan.
David ikut duduk bersama kami. Bayang-bayang kami memanjang di dinding kulit kayu, bergoyang ditiup angin lembab yang berhembus di tiap celah. Saya membayangkan bayang-bayang itu seperti mambang hutan memanjati pohon-pohon.
“Si David sudah tak mau sekolah,” Pak Dukun menoleh anaknya.
“Kelas berapa kamu, David?”
“Kelas dua SMP, Pak.”
“Sudah dua kali gurunya mencari ke mari, menanyakan kenapa David tak masuk sekolah. Aku tak tahu apo jawabnyo,” jelas Pak Dukun.
David senyum sumringah. Sikap tak mau sekolah itu bukan perkara baru di sini.
“Sekolahlah lagi, David,” bujuk saya. David hanya mengangguk-angguk.
“Dulu minta motor bebek, kemudian ganti motor sport,” gumam Pak Dukun. Tadi di luar memang saya lihat sebuah motor sport bagus parkir di halaman. “Kebetulan ada masa harga sawit baik, bisa saya belikan motor. Pernah juga dapat penambah beli truk dengan menjual sebidang kebun karet. Dulu ada dua truk. Sekarang tinggal satu. Anak saya Doni yang menyopirinya cari muatan, kadang sampai ke Seberida dan Peranap.”
Istri Pak Dukun memberi isyarat bahwa makan malam sudah siap. Pak Dukun mengajak saya bergeser sejarak dua lembar tikar ke arah tungku. Di sana sudah terhidang nasi kemerahan dari beras ladang yang ditumbuk sendiri dengan alu. Kesannya seperti beras pirang. Kata guru saya di SD dulu, beras seperti itu lebih sehat karena kulit ari padi masih melekat, ketimbang beras putih ngecling yang jadi favorit orang kota, sampai ada berita beras diberi zat pemutih segala.
Ada goreng ikan laut, yang kata Pak Dukun biasa dibawa pedagang ikan dari pesisir, entah pesisir barat atau pesisir timur. Yang menggoda saya adalah goreng ikan air tawar seperti gabus dan sepat yang didapat langsung dengan memancing. Atau memasang bubu dan jala malam hari, diangkat pagi. Tak kalah menakjubkan adalah aneka sayuran rebus dan dibuatkan sambal belacan. Mulai daun pucuk ubi, terong, rimbang, kacang panjang, kecipir dan pariya. Semua itu ditanam sendiri oleh Pak Dukun di kebunnya yang tak jauh dari rumah.
Bayangkanlah betapa “mewah”-nya makan malam kami. Nasi dari beras ladang yang ditumbuk sendiri, aneka sayur yang ditanam sendiri dan ikan air tawar yang ditangkap sendiri. Semua sayur saya coba. Sampai akhirnya saya merasakan rasa pahit yang luar biasa. Saya ternyata telah memakan buah pariya. Saya kira pariya sama dengan pare yang banyak di Jawa, ternyata beda.
“Pare lebih panjang dan besar, tidak terlalu pahit,” kata istri Pak Dukun tersenyum. “Pariya paling besar hanya seempu kaki, panjangnya setelunjuk, tapi lebih pahit…”
Mendengar itu, Pak Dukun yang sudah lebih dulu cuci tangan segera menyambut,”Kalau kutahu periya pahit, tidak kumakan sejak semula, kalau kutahu bercinta pahit tidak kucoba sejak semula,” ia berhenti sebentar. “Kalau sampirannya pare, maka jadinya: kalau kutahu kere itu pahit, kupilih kaya sejak semula,” ia lalu tertawa dengan tubuh terguncang-guncang. Kesan seorang dukun yang biasanya “ngeri-ngeri sedap” sirna berkat kreativitas dan keakrabannya menghidupkan suasana.
Pak Dukun mengingatkan saya pada sosok laki-laki Minang atau Melayu yang gemar berpantun. Memang, masyarakat Talang Mamak memiliki tradisi berpantun dan kefasihan berpetatah-petitih. Banyak tunjuk-ajar adat dan ajaran leluhur disampaikan dalam bentuk bidal, pantun berkait dan berbagai metafor.
Pak Dukun mengenal baik alam tempatnya lahir dan tumbuh. Dari Pak Dukunlah saya tahu bahwa kancil, pelanduk dan nafu itu berbeda. Kancil lebih kecil, beratnya sekitar 3-5 kg saja. Telinga dan taringnya lebih panjang dan warnanya kemerahan. Pelanduk lebih besar, bisa mencapai 7-8 kg warnanya agak kelabu. Nafu paling besar, bisa mencapai 10-15 kg, taringnya pendek dan punya bintik-bintik putih di leher.
“Dan yang paling cerdik memang kancil. Kalau kena jerat, ia akan diam tak bergerak, mulutnya penuh lalat. Saat dilepas karena dikira mati, ia segera bangkit berlari,” Pak Dukun terkekeh.
Saya terbayang cerita-cerita kancil yang cerdik dan lucu. Kadang kelucuannya juga dramatis. Misalnya, bagaimana ia menukar dirinya yang terkurung di kandang peladang dengan seekor anjing. Si kancil membujuk anjing peladang untuk masuk dan membiarkan dirinya pergi. Sebab katanya pesta khusus telah menanti. Di atas rumah, Pak Peladang dan Bu Peladang memang sedang sibuk menyiapkan masak besar. Seekor kancil kena jerat dan kini sudah ada di kandang di kolong rumah. Si anjing malang terpikat. Ketika tiba saat memotong, Pak Peladang ternyata telah memotong anjingnya sendiri.
Pak Dukun juga punya kisah dramatis seperti itu. “Adakalanya kancil menggigit kakinya yang kena jerat. Hingga putus. Maklumlah taringnya tajam, dan tungkainya memang kecil,” sebut Pak Dukun tenang, nyaris dingin.
Ia juga menjelaskan beda kura-kura dengan labi-labi, dan beda lagi dengan bulus. “Apalagi dengan penyu, bedanya jauh. Meski di sini ada Kecamatan Pasir Penyu, padahal jauh dari laut…” Pak Dukun terkekeh lagi. Kreatif, pikirku.
Cerita Pak Dukun tentu berangkat dari pengalamannya berhadapan langsung dengan segala makhluk rimba, sungai atau rawa. Kala itu hutan rimba masih jaya di tangan pemilik tanah ulayat. Sungai dan sumber air masih terawat. Sebelum mesin-mesin perusahaan bagai ulat-ulat ganas merenggut dan menggerogoti pusat semesta mereka.
Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian ke dua, dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co
(Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit)
TALANG Mamak. Saya mendengar namanya jauh saat masih berseragam putih-abu-abu. Lalu mengendap lama dalam kepala, sebagaimana saya memendam ingatan pada Suku Sakai dan Suku Anak Dalam. Kehidupan ketiga suku asli pedalaman Sumatera ini sama-sama berkaitan erat dengan alam. Ketika hutan sumber kehidupan mereka disulap menjadi kebun kelapa sawit, maka tidak bisa tidak, ada yang bangkit kembali dari ingatan. Bukan hanya isu lingkungan, juga bayangan pergulatan masyarakat adat mempertahankan tanah dan hutan ulayat. Dan itu sungguh tidak mudah.
Keingintahuan sekaligus ingatan saya atas Suku Talang Mamak akhirnya menemukan kanal. Adalah AsM Law Office, kantor hukum yang peduli pada masyarakat marginal, mengundang saya dalam sebuah kegiatan. “Up Date Upaya Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Talang Mamak di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.” Begitulah disampaikan Andiko Sutan Mancayo, Senior Lawyer AsM Law Office. Kegiatan berlangsung di Pekanbaru, 16-17 Januari lalu.
Tokoh-tokoh masyarakat adat, para batin dan para kepala desa sekecamatan Rakit Kulim (kecamatan terbanyak dihuni suku Talang Mamak), termasuk anak-anak muda Talang Mamak, hadir bersatu dalam acara dua hari penuh itu. Tak ketinggalan kaum akademik, peneliti, aktivis LSM dari berbagai basis seperti AMAN, Huma, WALHI, LBH dan entah apa lagi. Pun pejabat pemerintahan Kabupaten Indragiri Hulu dan Provinsi Riau.
Acara mendapat respon bagus dari berbagai kalangan, menunjukkan atensi besar atas persoalan hidup Talang Mamak yang saat ini tergencet sawit. Sudah bertahun-tahun orang Talang Mamak berhadapan dengan korporasi perkebunan yang mencaplok tanah hutan ulayat mereka. Bertahun-tahun pula upaya pendampingan dilakukan berbagai pihak, baik secara hukum, lingkungan dan adat.
Sederhana saja permintaannya: akui hak adat dan tanah ulayat Suku Talang Mamak. Dari situlah eksistensi dan hak mereka sebagai warga masyarakat asli Indragiri terpulihkan. Namun tuntutan yang terdengar sederhana itu masih jauh panggang dari api.
AsM Law Office mencoba memberi aksentuasi lain dalam kerja pendampingan. Masyarakat dijadikan subjek utama perubahan, khususnya anak-anak dan para remaja. Sebab generasi mudalah yang akan berhadapan langsung dengan persoalan riil tanah kelahirannya. Maka diadakan kerja-kerja literasi, pelatihan menulis, membangun perpustakaan serta upaya peningkatan kapasitas personal dan kolektif lainnya.
Bahkan kantor kecil mereka yang ada di Belilas, kemudian pindah ke Air Molek, diserahkan pengelolaannya kepada anak-anak muda Talang Mamak itu sendiri. Anak-anak muda itu juga diajak berkunjung ke komunitas dan tempat-tempat yang dapat membuka cakrawala. Juga anjangsana ke kota dan daerah-daerah baru bagi mereka: Pekanbaru, Padang, Bukittinggi, Bengkulu hingga Kualalumpur.
Tentu, sudah pada tempatnya pula kita membuka cakrawala atas keberadaan Suku Talang Mamak supaya saling mengenal. Dan pada gilirannya membangun empati atas ketergusuran mereka dari tanah hutan ulayat. Dalam dua hari pertemuan di Pekanbaru itu, saya sadar belumlah cukup memahami kehidupan mereka yang kompleks, apalagi setelah rezim dan kartel sawit merangsek hidup mereka dengan berbagai-bagai efek, nyaris tanpa ampun. Namun sebagai langkah awal perkenalan, sejumlah literatur bolehlah dibuka.
Sekilas Suku Talang Mamak
Suku Talang Mamak tersebar di Kecamatan Rengat Barat, Kecamatan Batang Cenaku, Kecamatan Batang Gangsal, Kecamatan Kelayang dan Kecamatan Rakit Kulim. Semuanya di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Mereka tinggal dalam puluhan dusun dan desa. Di Kecamatan Rakit Kulim saja misalnya, ada 15 desa, antara lain Talang Sungai Limau, Talang Perigi, Talang Sungai Parit, Talang Gadabu, Talang Durian Cacar, Talang Sukamaju, Talang Tujuh Tangga, Lubuk Sitarak, Sungai Ekok, Talang Salantai, dan seterusnya. Selain itu mereka juga ada di Dusun Semerantihan, Desa Suo-Suo, Kecamatan Sumay,Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.
Zulyani Hidayah dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (1997) mencatat bahwa kata talang dalam Suku Talang Mamak berarti ladang, merujuk kehidupan mereka sebagai peladang di kawasan Pegunungan Bukit Tiga Puluh. Mamak merujuk sosok laki-laki tertua dalam keluarga dari pihak ibu. Jadi Talang Mamak artinya ladang milik pihak ibu yang dijaga oleh seorang mamak. Mereka memang menganut sistem materilinial sebagaimana orang Minangkabau yang mempengaruhi mereka lewat Datuk Perpatih nan Sabatang dari Pagaruyung. Bahasa mereka tergolong bahasa Melayu dengan dialek sendiri.
Masyarakat Talang Mamak bermukim di sepanjang anak-anak sungai Indragiri. Mereka terbagi dua kelompok berdasarkan pandangan asal-usul. Pertama, kelompok Talang Mamak Sungai Limau yang berdiam di aliran Sungai Limau dan Sungai Cenaku. Mereka menganggap keturunan Datuk Mendarjati. Kedua, kelompok Talang Mamak yang tinggal di sepanjang Sungai Gangsal dan Sungai Akar. Mereka menganggap keturunan tiga bersaudara: Datuk Ria Belimbing, Datuk Ria Tanjung dan Datuk Ria Muncak.
Perbedaan pandangan mengenai asal-usul tidak membedakan sistem kekerabatan materilinial yang mereka anut, sistem pewarisan harta pusaka serta jabatan kepemimpinan yang terdiri dari batin, penghulu, mangku dan monti. Ini menunjukkan sebenarnya mereka satu asal, hanya saja ada tempat awal dan ada pengembangan wilayah. Rumah tangga terbentuk dari keluarga inti dengan membuat rumah sendiri di sekitar tempat tinggal orang tua perempuan (uksorilokal). Kesatuan hidup tertinggi adalah kampung yang dipimpin seorang batin atau penghulu adat (1997: 253).
Wikipedia mencatat bahwa dalam kelompok masyarakat Talang Mamak, terdapat sub kelompok yang disebut dengan suku. Kemudian dibagi lagi dalam tobo dan hinduik atau perut alias puak. Kelompok masyarakat ini tergolong Proto Melayu, suku asli Indragiri Hulu (Suku Tuha) dan lebih berhak atas sumber daya alam di Indragiri
Dalam hal agama dan kepercayaan, tulis Zulyani lebih lanjut, sebagian besar orang Talang Mamak menganut religi lama yang mereka sebut agama adat atau dikenal dengan agama Langkah Lama. Mereka berorientasi kepada pemujaan roh ninik-datuk (nenek moyang) dan makhluk halus penghuni hutan-rimba. Di sisi lain, Agama Adat tersebut mengharuskan mereka melaksanakan lima kebiasaan adat; bersunat, mengasah gigi, menyabung ayam, berdukun bekumantan (praktek syamanisme) dan pesemahan (ritual mengorbankan hewan di makam keramat) (ibid, 1997: 254).
Belakangan, kepercayaan mereka lebih spesifik lagi disebut Islam Langkah Lama, semacam sinkretisme kepercayaan leluhur dengan agama Islam. Orang Talang Mamak menyatakan diri sebagai keturunan Nabi Adam dan mengakui Nabi Muhammad sebagai junjungan. Mereka menjalankan syariat Islam, melafalkan ayat-ayat suci Al Quran, berpuasa di bulan Ramadan, tanpa meninggalkan falsafah dan ajaran adat mereka. Seperti mantra-mantra dan berbagai ritual terkait alam maupun siklus hidup manusia. Beberapa kawan menganggap pola beragama mereka serupa Kejawen di Jawa, tapi saya khawatir itu akan membuat semacam simplikasi.
Bahkan apa yang pernah dicatat asisten Residen Indragiri, V. Obdeyn pada 1930, menurut saya sudah menjadi bias. Sebagaimana dinukil Syafrizaldi Jpang dalam Talang Mamak di Tepi Zaman (2020), Obdeyn menyebut Islam Langkah Lama berarti kembali ke awal adat dan kebiasaan. Inilah yang memunculkan simplikasi bahwa orang Talang Mamak berasal dari kelompok masyarakat adat yang menolak pengaruh Islam dan Sultan sehingga mereka memilih masuk hutan.
Ini tentu saja kontradiktif alih-alih keliru sebab di satu sisi disebutkan bahwa adat orang Talang Mamak berasal dari sistem adat Pagaruyung yang dibawa Datuk Perpatih Nan Sebatang. Dalam cerita lisan masyarakat Talang Mamak sebagaimana dicatat Pinto Anugerah di buku Yang Dipagari Talang Yang Dijaga Mamak, wilayah mereka dikuasai oleh tiga patih yang mewarisi semangat Datuk Perpatih: Jambuana, patih yang berkuasa di sepanjang aliran Sungai Kampar, Jambuani, berkuasa di aliran Batanghari dan Jambulipo berkuasa di sepanjang aliran Sungai Kuantan atau Indragiri (2022: viii).
Leluhur Talang Mamak juga ikut menjemput raja Indragiri, Narasinga, ke Melaka. Tradisi menjelang sultan ke bekas istana Indragiri bahkan masih dilangsungkan sampai hari ini, sambil tetap memberi penghormatan pada Pagaruyung. Setiap dua kali setahun, Idul Fitri dan Idul Adha, para batin dan tokoh Talang Mamak akan menjelang ke istana Raja Indragiri di tepi Danau Raja. Itu artinya, sembari beraja ke Pagaruyung, orang Talak Mamak juga beraja ke Indragiri.
Tak kalah menarik, selain hidup dari hutan, orang Talang Mamak juga menyatu dengan ekologi sungai. Jika hutan simbol sumber daya, sungai adalah simbol peradaban. Gusti Asnan dalam Sungai dan Sejarah Sumatera (2016) menyebut bahwa sungai merupakan jalur perdagangan dan lalu-lintas yang membentuk sejarah Andalas.
Orang Talang Mamak sangat menguasai jalur sungai, meski bukan untuk ekspedisi apalagi menundukkan. Mereka punya kemampuan membuat dan mengendalikan rakit dan perahu untuk transportasi dan pengangkutan hasil hutan. Konon dengan rakit kayu kulim (ulin) orang Talang Mamak menjemput Perpatih Nan Sabatang ke Pagaruyung. Mereka lewat jalur Sungai Batang Kuantan yang berhulu di Sijunjung, Sumatera Barat (gabungan Batang Ombilin, Batang Sukam dan Batang Palangki). Mereka juga ikut menjemput raja Indragiri ke Melaka, menghiliri Batang Kuantan/Indragiri yang bermuara di Selat Berhala.
“Bayangkan, kayu kulim yang berat itu bisa dibuat mengapung oleh leluhur kami. Kayu itu dipilih karena kuat,” kata Pak Batin Irasan saat jeda acara. Konon itulah yang melatari nama Kecamatan Rakit Kulim.
Posisi beraja kepada kedua tahta ini tentu menarik untuk dikaji. Boleh dikatakan orang Talang Mamak berada dalam dua pengaruh kerajaan penting, Minangkabau dan Melayu. Posisi ini dapat dipastikan membuat mereka memiliki khazanah kebudayaan yang lengkap dan kompleks, punya posisi tawar yang kuat, meski disaat yang sama boleh jadi membuat mereka “lemah”. Seolah selamanya mereka dalam pengaruh orang luar. Namun, kemampuan tetua mereka mengolah apa yang datang dari luar dan mensintesakannya dengan kebijakan lokal, tak bisa dinisbikan. Saripati itulah yang tertinggal dalam adat dan kepercayaan mereka.
Di sisi lain, hutan sebagai sumber kehidupan dan sungai sebagai jalur peradaban, juga dua hal yang pernah melatari posisi historis orang Talang Mamak. Bila mendapatkan moment yang pas tentu berpotensi besar untuk diaktualkan.
Kota-Kota Kecil yang Dilewati: Menuju Kampung Talang Mamak
Persentuhan pertama saya dengan sejumlah orang Talang Mamak di Pekanbaru seraya mendengar paparan persoalan yang mereka hadapi di forum kegiatan, ditambah sedikit referensi, membuat saya justru tertarik ingin mendatangi langsung kampung halaman mereka. Beruntung, pihak AsM bersedia memfasilitasi saya untuk berkunjung ke Desa Talang Sungai Parit, satu di antara 15 desa yang mayoritas dihuni suku Talang Mamak di Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu.
Jadilah kemudian, dalam waktu tidak terlalu lama, saya sudah berada di jalur Lintas Timur Sumatera. Melaju ke lokasi yang dituju.
Jalan Lintas Timur Sumatera terbilang mulus, minus lobang, namun bergelombang, naik-turun, dan itu sangat rawan. Berbeda dengan jalur pantai barat yang sekalian penuh kelokan tajam, sehingga kewaspadaan lebih terjaga. Sopir dituntut ekstra waspada karena sering sekali jalan bergelombang itu menipu kemunculan lawan.
Saya yang melaju di atas mobil sewaan bersama Pinto Anugrah, sastrawan cum datuk penghulu Sungai Tarab, selalu mengingatkan sopir kami untuk hati-hati. Saya pun mengajaknya bercakap sepanjang jalan supaya kami sama-sama terjaga. Tampaknya bagi sang sopir, pucuk dicinta ulam tiba. Ia tak henti-hentinya bercerita. Mulai kehidupan mutakhir orang Melayu, pilihannya bergabung dengan sebuah kelompok salafi meski menganggap lucu HTI hingga pengalamannya jadi sopir pribadi orang penting di Riau. Saya malah jadi terkantuk-kantuk dibuatnya.
Pada siang bermendung itu kami meluncur dari Pekanbaru, melewati sebagian Kabupaten Kampar dan Pelalawan menuju Indragiri Hulu. Kami melewati kota-kota kecil sepanjang Jalan Lintas Timur yang menggeliat hidup. Berkat perkebunan, hutan produksi, tambang, perdagangan dan transmigrasi. Tercatat kota-kota kecil seperti Pangkalan Kerinci yang kini telah menjadi ibukota Kabupaten Pelalawan dengan pabrik kertas terbesar di Tanah Air. Kemudian Sorek, Pangkalan Lesung, Ukui, Lirik dan Japura.
Di Japura jalan bersimpang ke arah Teluk Kuantan. Di sini terdapat sebuah bandara. Menurut sopir kami, petinggi tambang dan perkebunan sering memilih terbang atau mendarat di Bandara Japura. Ia sering menjemput atau mengantar mereka.
Kota kecil persimpangan ini memang strategis. Di masa lalu, Japura pernah menjadi ibukota Kerajaan Indragiri. Tahun 1765, Sultan Hasan Salahuddin Kramat Syah memindahkan ibukota ke sini. Makam raja-raja Indragiri juga tak jauh dar Japura, tepatnya di Kota Lama, Rengat Barat. Tahun 1930-an ditemukan ladang minyak di Lirik, dan tahun 1939 dilakukan pengeboran pertama. Sampai sekarang tetap beroperasi di bawah Medco-Pertamina. Lirik hanya sepelirikan mata dari Japura.
Japura juga berada di tengah kawasan perkebunan sawit yang membentang di Kabupaten Indragiri Hulu sampai Jambi. Sementara tambang batubara di Peranap, kian meramaikan jalur lalu-lintas Japura. Lurus ke timur, jalan membentang ke Rengat, Jambi dan terus ke Palembang atau Lampung.
Boleh dikatakan Japura titik penyebaran arus barang dan manusia ke segala arah. Bahkan dulu, Jalan Lintas Timur Sumatera hanya sampai di pertigaan Japura ini, untuk kemudian berbelok ke jalur Air Molek, terus ke Teluk Kuantan; satu bersimpang ke Pekanbaru lewat Lipat Kain, Gunung Sahilan dan Buluk Kasok, satu lagi menuju ke Kiliran Jao, bertemu dengan Jalan Lintas Tengah Sumatera di Dharmasraya, Sumatera Barat. Ditemukannya ladang minyak di Lirik, membuat simpang Japura terhubung dengan kawasan pertambangan itu. Selanjutnya, jalur menuju Pangkalan Kerinci hingga tembus ke Pekanbaru dan Siak, merupakan pengembangan jalan perusahaan HPH, yang kini berubah menjadi perusahaan hutan produksi untuk industri kertas dan triplek.
Di Japura kami berhenti cukup lama di sebuah warung makan paling top sejak tahun 80-an. Sop tunjang Dwi Sidomulyo namanya. Dulu warung ini terletak persis di tepi jalan lintas. Sejak jalan diluruskan di sisi lapangan terbang Japura, warung sop tunjang Dwi Sidomulyo menjadi masuk ke dalam. Tapi tidak mengurangi minat orang untuk singgah, berbelok sejenak dan tak sampai 300 meter kita akan bersua plang nama bercat merah dengan bangunan lapang khas warung makan model lama.
Di sanalah kami istirahat, setelah hampir enam jam perjalanan dari Pekanbaru. Ini pemberhentian kami yang kedua, setelah sebelumnya kami sempat ngopi di rest area dekat gerbang Kota Pangkalan Kerinci. Baru di Japura kami pilih makan siang, dengan sop tunjang andalan dan jeruk panas madu. Makan siang yang berkeringat itu cukup jadi amunisi untuk melanjutkan perjalanan.
Kami memutar sebentar ke arah bandara dan menyeberangi jembatan Batang Kuantan. Sungai ini berubah nama menjadi Sungai Indragiri selepas melewati jembatan Jalan Lintas Timur Sumatera ini, sampai bermuara di Tembilahan, Indragiri Hilir. Dari Bandara Japura, tak lebih setengah jam perjalanan, kami tiba di Air Molek. Namanya cukup familiar di telinga saya, baik karena terdengar unik, juga karena merupakan kota lintasan (sebagian kota tujuan) perantau Minang sejak masa PRRI hingga sekarang. Selain itu, namanya tercantum di biodata beberapa penyair Riau sebagai tempat kelahiran seperti Dheni Kurnia dan A. Aris Abeba. Sebenarnya Air Molek ibukota Kecamatan Pasir Penyu, namun kecamatannya sendiri tidak sepopuler nama kotanya.
Air Molek, kota kecil yang bersolek, tumbuh sealur badan jalan dengan beberapa belokan. Kota seolah meliuk mengikuti kontur jalan yang lebar. Hotel, restoran, rumah makan, pertokoan dan perkantoran bergerak tumbuh, tak terkecuali rumah-rumah burung walet. Pasar lamanya bertahan dengan bangunan-bangunan tua berdebu, dan pasar barunya menata diri bersama masjid bermenara tinggi. Sebatang sungai kecil membelah kota, berair keruh kecoklatan. Jelas tak cukup menyebutnya molek, jika ini sebagai latar nama kota. Tapi boleh jadi dulu airnya memang molek; waktu membuatnya berubah. Sebenarnya pula Air Molek terletak tak jauh dari Sungai Indragiri atau Sungai Batang Kuantan, namun ia memilih tumbuh bergeser, menjauh dari air.
Di Air Molek, Pinto mencari hotel. Ia dan sopir akan menginap di sini, sementara saya akan menginap di Desa Talang Sungai Parit, di tengah masyarakat Talang Mamak. Sebagai dosen muda yang mengampu banyak kelas MKDU di Unilak (Universitas Lancang Kuning), Pinto harus menyetor daftar nilai dan sejumlah laporan, pasca kampus selesai ujian semester. Ia pilih Hotel Simpang Raya untuk membereskan itu semua.
Namun ia harus mengantar saya terlebih dulu ke Talang Sungai Parit, sebab dialah yang beberapa waktu terakhir berhubungan intens dengan masyarakat setempat. Ia mendampingi proses penulisan memori kolektif oleh anak-anak muda Talang Mamak yang juga difasilitasi AsM Law Office. Pendampingan itu melahirkan buku tentang orang Talang Mamak yang ditulis sendiri oleh anak-anak Talang Mamak (Ayu, Dita, Gunawan dan Rendi) berjudul Memori kolektif: Yang Dipagari Talang, Yang Dijaga Mamak. Buku ini diluncurkan di kampus Unilak Pekanbaru, 28 Juli 2022 lalu. Sekarang sedang dalam persiapan buku kedua, Talang Mamak: Curaian Luak Talang Parit yang ditulis Herianto, Dita, Hairil Candra, Wulan Mardiana Ningsih dan Ayu.
Tiba di Talang Sungai Parit
Sore itu juga saya memasuki kawasan perkampungan Talang Mamak, melalui sebuah simpang tak jauh dari pasar Air Molek, menyisir Batang Kuantan. Di Desa Pasir Ringgit kami melintasi sebuah jembatan di atas Batang Kuantan. Dari atas jembatan, terlihat aktivitas masyarakat menambang pasir dengan perahu. Di tengah alur yang lebar terlihat pula satu-dua dompeng, rakit terapung untuk menambang emas.
“Sebenarnya dompeng sudah dilarang pemerintah, tapi tetap beroperasi,” kata sopir kami. Kalau ada razia, katanya, pemilik sering tahu.
“Pasti ada yang membocorkan, ya?” saya bersikap lugu.
“Ya, apa-apa ‘kan bisa diatur, Pak.” Ia lanjut cerita tentang tambang dan kebun sawit yang diatur pemodal. Tapi saya tak lagi bisa berpura-pura lugu ketika ia ceritakan pengalamannya mengantar seorang aktivis LSM ke daerah konflik di Belilas. Tengah malam sepulang pertemuan dengan warga, mereka dicegat preman di jalan. Sepucuk pistol terarah ke kaca. Sang aktivis tegang di belakang. Saya yang mendengar juga tegang.
Hanya sang sopir berpantang panik. Ia membuka kaca, pura-pura menyerah. Lalu ketika tangan berpistol itu mencolot ke dalam, mobil mundur kencang, tiba-tiba. Pistol itu terpelanting, dan si penghadang tak ia tahu lagi nasibnya. Sebab setelah itu mobil berbalik maju lebih kencang, dan lolos dari batang kayu yang dibelintangkan. Saya melirik pergelangan tangannya yang tergurat bekas luka dalam, tapi saya tidak bertanya.
“Bukan saya hebat, Pak, itu hanya S.O.P yang biasa diajarkan kepada Paspampres,” katanya. Sebagai orang yang sering menyopiri pejabat, ia mendapat pelatihan itu. Dari dia saya dapat cerita-cerita menarik seputar pengamanan, mulai konvoi pejabat, cara lolos dari hadangan pohon, tips mundur cepat tanpa membuka kaca jendela, sampai pura-pura menyerah pada penjahat. Untuk membuktikan ucapannya, sang sopir mencoba memutar arah mobil di atas jembatan yang sempit.
Selepas turunan jembatan, kami disambut bentangan jalan tanah liat. Apa yang segera terlihat bukanlah hutan rimba sebagaimana identik dengan kehidupan masyarakat Talang Mamak, melainkan lautan kelapa sawit menghampar kiri-kanan. Pemandangan hanya diselingi jalur-jalur parit, semacam kanal pengering gambut, membatasi tiap kapling kebun. Terisi penuh genangan air hujan, dan sebagian meluap ke badan jalan.
Kampung-kampung yang dilalui cukup ramai, bahkan ada pasar desa yang sesore itu baru mulai berkemas dari para pedagang yang hendak pulang. Kami juga melewati perkampungan masyarakat keturunan Jawa dengan masjidnya yang cukup besar. Mereka bermukim di kawasan ini sejak puluhan tahun silam. Bukan sebagai transmigran, melainkan sebagai tenaga kerja perkebunan karet era kolonial. Perkebunan itu sekarang masih ada, yakni PTPN V, namun isinya berubah menjadi kelapa sawit. Masyarakat Jawa yang didatangkan lewat program transmigrasi terdapat di Belilas, arah jalan ke Jambi. Belilas berada di Kecamatan Seberida, sebuah kecamatan di Jalan Lintas Timur Sumatera.
Kecamatan Rakit Kulim yang kampung-kampungnya saya masuki, berada jauh dari Jalan Lintas. Karena itu, jalanan di sini selang-seling antara rusak dan baik; sebagian masih jalan tanah baru dibuka, sebagian lagi sudah ditimbun kerikil atau bekas sisa aspal. Tapi ada juga bagian jalan diaspal mulus menuju Talang Sungai Limau, terus ke Kelayang.
Di jalan lurus dengan aspal yang relatif bagus, dan tampaknya baru, Pinto melihat dua sepeda motor beriringan. Anak di belakangnya memeluk barang-barang bawaan. Mungkin mereka baru belanja dari pasar. Pinto segera mengenali mereka.
“Nah, itu Ayu dan Dita,” katanya, sekaligus mengisyaratkan bahwa kami telah tiba di tujuan. Ia buka kaca jendela mobil,,”Hai, dari mana kalian?”
Dua gadis Talang Mamak itu menoleh.
”Nengok saudara di rumah sakit, sekalian belanja, Pak,” jawab Dita, gadis manis berjilbab putih. Kami lalu mengiringi mereka dari belakang. Sampai mereka berhenti di rumah masing-masing, menarok bawaan. Setelah itu mereka balik mengiringi kami menuju rumah Pak Dukun yang sudah mereka persiapkan sebagai tempat saya menginap. Rumah Pak Dukun menyimpang lagi masuk ke jalan tanah. Jika diikuti terus akan sampai ke desa-desa Talang Mamak lainnya hingga ke kantor camat di Talang Perigi.
Halaman rumah Pak Dukun luas, namun mobil harus melewati jalan berlumpur karena tergenang air hujan. Sebagian halaman itu ditanami kelapa sawit. Sebuah pra-oto parkir di bawah batang sawit yang dahan-dahannya dibiarkan berlumut.
Sawit, bagaimana pun pada akhirnya menjadi pilihan masyarakat Talang Mamak untuk sedikit-banyak mengikuti langgam dunia di sekeliling mereka yang disetir pola perkebunan. Sebelum sawit mengepung habis kawasan hutan dan huma, orang Talang Mamak ikut berkebun karet sebagaimana trend perkebunan waktu itu. Namun jelas tidak semasif dan seinvansif sawit. Berhektar lahan mereka buka dan ditanami komoditi yang laku di pasaran dunia.
Ini menunjukkan bahwa orang Talang Mamak bukanlah sosok pasif di tengah berbagai usaha ekonomi dan upaya meretas kesejahteraan. Truk itu sendiri menunjukkan keikutsertaan mereka dalam kegiatan distribusi barang dan komoditi. Setidaknya itulah yang saya dengar kemudian dari Pak Dukun, si pemilik truk.
Hanya saja, citra yang dilekatkan kepada mereka cenderung streotipe, yakni kelompok masyarakat terasing. Mula-mula boleh jadi dicantumkan petugas sensus. Namun lama-lama melekat sebagai diksi kewarganegaraan yang tidak netral. Atau bisa pula ini istilah antropologi yang terlalu menyederhanakan kehidupan masyarakat adat. Dalam buku Zulyani Hidayah sebagaimana disinggung di atas, Suku Talang Mamak masih digambarkan sebagai kelompok masyarakat “primitif” yang tinggal di hutan dan hidup dari meramu dan berburu. “Peralatan dan kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak bisa mereka penuhi sendiri diperoleh dari tukar-menukar dengan pedagang Melayu,” tulisnya.
Memang, Zulyani menyebut bahwa pada masa sekarang kehidupan ekonomi mereka banyak didukung oleh hasil penyadapan getah karet. “Kalau padi hasil ladang habis, maka uang hasil menyadap getah mereka gunakan untuk membeli beras dari luar. Sayangnya tanaman komoditi tersebut tumbuh secara liar, dan masih amat sedikit yang menanamnya secara benar (1997: 253)”.
Narasi di atas jelas salah besar. Okelah, jika merujuk kehidupan masa lalu orang Talang Mamak yang hidup meramu dan berburu. Tapi, bukankah mereka juga punya hari ini dan masa depan? Dalam konteks kekinian, karet bukanlah komoditi yang dihasilkan secara liar. Orang Talang Mamak membuka kebun, menanam dan merawat karet sebaik petani karet mana pun merawat karetnya. Mereka juga perlu fasilitas dan infrastruktur hidup yang lebih baik sebagaimana masyarakat modern lainnya. Mereka butuh pasar memadai, sekolah, pusat kesehatan dan jalan yang baik untuk mencapai itu semua. Atau, jika hendak merujuk kehidupan moyang, di mana mereka dianggap hidup dari meramu dan berburu, mestinya menimbulkan narasi kritis: kalau hutan mereka habis, masihkah mereka dapat hidup dengan cara begitu?
Namun streotipe “suku terasing” itu tetap melekat seolah Talang Mamak dan suku senasib dianggap tak punya semangat memoderasi diri. Secara ekonomi mereka dianggap tak punya potensi kemandirian. Rasa iba pemerintah plus lembaga swadaya, di satu sisi memang memberi ruang perhatian dan empati kepada mereka. Namun di sisi lain, cara itu memunculkan sikap tidak percaya terhadap kemampuan dan resistensi kelompok suku itu sendiri. Apalagi jika rasa kasihan itu hanya basa-basi, alih-alih kerap berbalik jadi anomali: mengizinkan kelompok oligarki mengobok-obok tanah ulayat mereka.
Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian pertama, dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co
Pertengahan tahun 90-an saya bergabung di Sanggar Minum Kopi (SMK), Bali, yang kemudian malih-rupa jadi Yayasan CAK. Meski berganti nama, anggotanya masih sama, aktivitas dan intensitas berkaryanya juga masih sama, sehingga tiada beda saat saya bergabung di penghujung usia SMK dan di awal usia CAK. Komunitas ini berbasis seni modern/kontemporer meski tidak menutup diri pada seni tradisi.
SMK/CAK tidak sendiri. Ada Posti, Sanggar Purbacaraka, Teater Agustus, Forum Apresiasi Kebudayaan, Studio Wianta, Teater Angin, Sanggar Cipta Budaya dan lain-lain. Mereka memantik kebergairahan seni modern di Denpasar dan sekitarnya. Sementara di kota-kota kabupaten yang disebut Umbu Landu Paranggi sebagai “delapan negara bagian”, kegiatan seni modern tak kalah hidup, tentu dengan komunitasnya masing-masing.
Namun di tengah kegairahan itu ada yang kurang. Yaitu, ketiadaan event bersama tempat pelaku seni modern menampilkan karya-karya mutakhirnya. Ia, event itu, semacam oase yang mempertemukan kreator, pengamat dan publik. Ruang berkompetisi secara sehat, berdialog, tukar gagasan, kolaborasi, sinergisitas karya dan regenerasi pelaku seni.
Apalagi Bali sangat kental dengan seni tradisi, sebagaimana ditampilkan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Meski PKB mengagendakan juga seni modern, tapi porsinya kecil. Maka perlu penyeimbang: festival seni modern. Sebenarnya Bali, khususnya Denpasar, punya sejumlah festival seni modern. Hanya saja ruang lingkupnya terbatas dan sebagian digabung dengan seni tradisi sehingga bersifat umum, seperti Denpasar Festival (Denfest) dan Sanur Village Festival. Atau ada yang khusus, semisal Pekan Seni Remaja (PSR) dan Denpasar Documentary Film Festival. Bahkan jauh sebelumnya ada Warung Budaya (Warbud) sebagai “bale banjar budaya”. Sayang, tidak semua ruang itu bertahan.
Mimpi yang Terwujud
Akhirnya datanglah hari baik bagi mimpi yang baik. Momentumnya diraih ketika pasangan I Wayan Koster- Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati terpilih sebagai gubernur-wagub Bali, 2018. Pasangan ini memiliki visi memajukan semua potensi, tak terkecuali seni budaya yang dianggap “gen”-nya masyarakat Bali. Visi itu klop dengan sosok Putu Putri Suastini, istri sang gubernur, yang memiliki persentuhan cukup panjang dengan seni modern. Maka tidak sebatas sebagai ibu dhrama wanita di kantor-kantor pemerintah, Putu Suastini turun ke “habitat”-nya. Lahirlah Festival Seni Bali Jani (FSBJ) tahun 2019. Meski jelas ini buah pertemuan gagasan dan tindakan semua pihak.
Merujuk website Dinas Kebudayaan Bali, FSBJ adalah festival kesenian tahunan sebagai wadah aktivitas dan kreativitas para seniman dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan nilai-nilai seni budaya Bali modern. Secara garis besar FSBJ mencakup lomba (pawimba), pagelaran (adilango), pameran (megarupa), sarasehan (timbang rasa), bursa buku (beranda pustaka) dan penghargaan Bali Jani Nugraha.
FSBJ mengusung tema-tema aktual yang digali dari lokalitas Bali. Tahun ini bertema Jaladhara Sasmita Danu Kherti (Air sebagai Sumber Peradaban). Tema ini penting di tengah perjuangan makhluk bumi melestarikan sumber air. Ia juga bisa bermakna mata air kearifan. Dalam masa pandemi covid-19, FSBJ terus berjalan, baik daring maupun luring. Maka kiranya perlu juga respon tematik atas gerubug (wabah) yang secara riil kita hadapi ini. Atau jika tidak, tema yang sekarang pun sebenarnya cukup aplikatif untuk melihat wabah dari pelbagai persfektif. Bukankah tirta (air) menawarkan kesejukan dan kesembuhan?
Maka kiranya perlu juga respon tematik atas gerubug (wabah) yang secara riil kita hadapi ini. Atau jika tidak, tema yang sekarang pun sebenarnya cukup aplikatif untuk melihat wabah dari pelbagai persfektif. Bukankah tirta (air) menawarkan kesejukan dan kesembuhan?
Selain menyelam ke dalam memaknai kearifan lokal, FSBJ membuka diri ke luar, sebagaimana sifat seni modern yang mengglobal. Dalam FSBJ ke-4 yang akan dilaksanakan tanggal 9-23 Oktober 2022, diadakan sejumlah lomba untuk peserta dari seluruh Tanah Air. Pengisi acara di timbang rasa dan adilango, termasuk beranda pustaka juga melibatkan sosok/kelompok/penerbit dari luar Bali, bahkan luar negeri. Tentu saja pengisi utama tetap pengamat/pelaku/komunitas Bali sendiri.
Keterbukaan seperti ini yang pernah saya harapkan dari FKY. Ketika saya sempat menangani Devisi Sastra (2005-2007), bersama kurator lain, kami mengundang penyair terpilih dari berapa kota di Indonesia. Penyair terbanyak tetap dari Yogyakarta. Sambutan publik menggembirakan. Sayang ada reaksi kurang setuju dari sejumlah pelaku seni Yogya, sehingga FKY terkesan kembali ke zona nyamannya.
Begitu pula Aruh Sastra, event tahunan di Kalimantan Selatan. Upaya membuka diri baru sebatas mengundang seorang pembicara kunci dari luar, tapi tidak ada penampil/materi acara dari luar Kalsel. Apakah bersifat eksebisi, lomba atau dipilih dalam kerja kuratorial. Sebaliknya, Festival Sastra Gunung Bintan, mengundang sebanyak-banyaknya peserta dari luar sehingga terkesan serimonial.
Ada pun Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Sumatera Barat, semua agenda diisi oleh penampil dari dalam Sumbar. Namun kurator/panitia mencoba merengkuh latar kultur selain Minangkabau, seperti Mentawai dan budaya Jawa dari Dharmasraya. Ini perlu untuk menampilkan keberagaman budaya di provinsi yang selama ini identik dengan Minangkabau semata. Seharusnya ada budaya Tionghoa, Nias, Batak, Aceh atau kreol (tangsi) Sawahlunto dan seni-budaya di perbatasan yang juga eksis di provinsi ini.
Di Bali sendiri ada Ubud Writers and Readers Festival yang lebih banyak melibatkan peserta nasional/internasional sesuai orientasinya. Di antara semua itu, FSBJ termasuk cepat beradaptasi dan luwes menjaga keseimbangan. Meski tentu mesti diuji waktu.
Tak kalah menarik dari FSBJ adalah ajang penghargaan kepada pelaku seni modern Bali. Selain piagam sebagai simbol pengakuan, ada sejumlah uang yang nominalnya cukup berarti. Sebagian dana tersebut merupakan subsidi untuk menerbitkan buku terbaru sastrawan dan kritikus terpilih (saya belum tahu apakah juga berlaku bagi seni rupa untuk pameran, misalnya). Bukanlah mengurangi komitmen jika sebuah festival menganggarkan dana untuk anugerah, sebagaimana anggaran masing-masing kegiatan. Ini justru membedakan event seni tajaan pemerintah dengan event swadaya yang pontang-panting cari sponsor.
Di atas semua itu, konsep Bali Jani Nugraha adalah “kesetaraan bagi yang berhak”. Tiada beda antara tua dan muda, yang penting sama-sama memiliki intensitas berkarya. Jika di banyak event, penghargaan seni biasanya diberikan kepada kalangan tua, katakanlah maestro (misalnya penghargaan Sanghyang Kamahayanikan dari Borobudur Writers and Cultural Festival), Bali Jani Nugraha mematahkan mitos tersebut. Juga tidak dipersoalkan tempat domisili penerima, apakah di Jakarta, Mataram atau Kupang, sepanjang punya keterhubungan (kreatif) dengan Bali. Ini juga bisa dibalik, tak peduli dari mana pun mereka berasal asal tinggal dan bertungkus-lumus berkarya di Bali.
Ke depan, apakah perlu kategori penerima penghargaan? Sebagai contoh Anugerah Kebudayaan Sumatera Barat. Ada kategori pencipta/pelopor/pembahru, kategori maestro seni, dan kategori pelestari kebudayaan. Atau mengikutsertakan komunitas/institusi seni dan karya terbaik (bisa buku, koreografi, album, teater) untuk dinilai. Contohnya Anugerah Sagang di Riau. Ada kategori seniman/budayawan pilihan, seniman/budayawan serantau, institusi/lembaga pilihan, buku dan karya seni pilihan. Lewat kategori ini, posisi penerima penghargaan relatif jelas, pilihan kurator/penilai pun lebih dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, karya-karya terbaik dalam kurun waktu tertentu terakomodasi dan terakui.
Masa Depan Bali Jani
Sambil membenahi FSBJ dengan segala kekiniannya (teknis, menajemen, pengembangan konsep, kuratorial), tidak kalah penting mengulik masa depannya. Sampai di sini saya teringat buku Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (2003). Buku ini merupakan hasil penelitian bertahun-tahun Nancy di kraton Surakarta atas naskah-naskah kuno, terutama Babad Jaka Tingkir. Ia berhasil mentransformasikan penelitiannya dalam melihat sejarah sebagai nubuat di Jawa masa kolonial.
Apa korelasinya dengan FSBJ? Jika pengajar Universitas Michigan itu melihat masa kini dan masa depan dengan menyusuri akar masa silam, maka konseptor FSBJ boleh dikata sedang memindai cabang-cabang seni masa depan dengan memaknai dan mengeksplorasi pertumbuhan pohon hayat kesenian era sekarang. Masa sekarang pun bukan ruang kosong. Ia terhubung dengan masa silam, sebagaimana dapat dilacak dalam karya mutakhir sastrawan/seniman Bali. Bukankah novel Oka Rusmini, puisi GM Sukawidana, teater Putu Satria, monolog Cok Sawitri, karya rupa Kun Adnyana, atau kartun Jango Paramartha tidak serta-merta melepaskan diri dari akar tradisi, bahkan menggali dan mengkritisinya?
Masa sekarang pun bukan ruang kosong. Ia terhubung dengan masa silam, sebagaimana dapat dilacak dalam karya mutakhir sastrawan/seniman Bali. Bukankah novel Oka Rusmini, puisi GM Sukawidana, teater Putu Satria, monolog Cok Sawitri, karya rupa Kun Adnyana, atau kartun Jango Paramartha tidak serta-merta melepaskan diri dari akar tradisi, bahkan menggali dan mengkritisinya?
Konsep modern/kontemporer itu sendiri terkandung dalam sebutan “Bali Jani” yang artinya “Bali Kini”. Dalam konteks seni, ini berarti seni masa kini, seni modern atau dalam istilah posmo disebut seni sezaman (kontemporer) maupun avant-garde. Artinya, FSBJ tidak punya persoalan teknis dengan tradisi-modern yang dalam sejumlah kasus bisa jadi perdebatan melingkar. FSBJ tinggal start, karena basis berpijaknya sudah jelas, sembari berbagi peran dengan PKB. Ini analog dengan kehidupan banjar: ada klien adat yang mengurusi hal-hal ritual/tradisi dan ada klien dinas menangani hal-hal kekinian.
Sementara itu, pelibatan pengamat dan pelaku seni dari luar Bali harus terpilih. Penampil setidaknya sedang berada di tengah capaian, gejala atau fenomena tertentu dari kecenderungan seni modern, dan layak dijadikan rujukan. Pembicara memiliki gagasan kuat dan pengamatan luas atas kondisi serta perkembangan seni terkini, baik regional maupun global, dan layak jadi acuan. Dari sinilah kita bisa memindai kecenderungan seni modern ke depan, dan bibitnya disemai dari sekarang. Gesit melacak sejak dini sosok maupun kelompok yang memiliki konsentrasi, orientasi, keriangan dan akhirnya reputasi dalam mengeksplorasi kecenderungan seni tertentu, semisal seni-seni media baru dari jagad virtual. Ini terkait dengan regenerasi dan perkembangan seni modern di Bali.
Tak dapat dipungkiri, seni modern di Bali sekarang dalam tantangan, baik kuantitas maupun kualitas. Tanpa mengabaikan capaian karya dan lahirnya para pelaku seni modern yang baru, Bali harus melihat bahwa daerah lain terus berpacu. Sebutlah perkembangan sastra modern di Lombok. Komunitas Akar Pohon melahirkan banyak sastrawan muda berbakat di tingkat nasional, sebagaimana Komunitas Flabomora Kupang atau Inninawa Makassar. Di Bali, tentu ada komunitas sejenis, sebutlah Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Komunitas Sahaja dan Komunitas Mahima, yang juga banyak berkontribusi melahirkan pelaku seni modern. Hanya belakangan terkesan sebagai “penyelenggara seni” dan mungkin agak abai mengasah bakat seni anggota. Karena itulah diperlukan ruang perayaan baru, FSBJ, untuk penyegaran, merefleksi pencapaian dan mengevaluasi kekurangan.
Selanjutnya adalah soal keberlanjutan. Harus diakui FSBJ cukup lekat dengan sosok Putri Suastini, sehingga muncul pertanyaan: bagaimana jika gubernur berganti? FSBJ harus mengacu kepada sistem, bukan orang apalagi jabatan. Meski tentu nama Putri Suastini, Gubernur Koster dan mereka yang berperan dalam FSBJ, niscaya tetap diingat, sebagaimana IB Mantra dalam PKB. Beruntung, Bali punya Perda no. 4 tahun 2020 tentang penguatan dan pemajuan kebudayaan—yang kebetulan diundangkan dalam era kepemimpinan I Wayan Koster—sehingga siapa pun yang menjadi pemimpin seyogianya mengacu kepada “awig-awig” kultural tersebut. Artinya, di sisi lain, FSBJ dituntut terus berbenah dan para penyelenggaranya menyiapkan diri sepenuh hati menerima amanah kebudayaan ini. Rahayu!
Jemek Supardi (22 Mei 1957-16 Juli 2022) pantas disebut pantomimer sejati. Ia melakoni seni mime secara total. Bahkan keseharian hidupnya tak jauh beda dengan permainannya di atas panggung atau jalanan: mengandalkan isyarat tubuh dan wajah, tak banyak berkata-kata.
Mimik-ekspresinya selalu tampak seperti orang tersenyum. Geraknya luwes alih-alih karikatural. Memandang sosoknya saja seolah kita sedang nonton sang pendekar pantomim itu main mime.
Kita akan gampang bertemu sosok laki-laki bertubuh kecil itu berputar-putar dengan sepeda jengkinya di Taman Budaya Yogyakarta. Melongokkan wajah sebentar di jendela suatu ruangan, sekadar menyapa kru atau panitia acara yang sedang rapat. Melambaikan tangan. Lalu pergi ke titik lain: ke ruang pameran atau ke tempat anak-anak latihan teater. Puas berkeliling seperti orang “sidak”, ia akan menyandarkan sepedanya di ngisor ringin, dan ia melipir ke kantin bergabung dengan rekan-rekan seniman lain.
Kita juga dapat bertemu dia di Kedai Kebun, Bentara, JNM, Sangkring, Sarang, atau ruang-ruang kebudayaan lain di Yogya. Lain waktu ia nongol di warung Bu Ageng milik Butet Kartaredjasa atau di rumah Cak Nun gang Barokah. Mobilitasnya terbilang tinggi.
Tapi tak selalu sosoknya muncul di pusat-pusat kesenian adiluhung. Ketika alun-alun belum berpagar seperti sekarang, di situ ia sering nongkrong. Dan tempat paling gampang menjumpainya adalah di toko penjual peti mati di sebelah rumahnya Jalan Katamso. Itu saat ia nyambi jadi penjaga toko peti mati dengan sistem komisi. Pada masa warnet marak di Yogya, saya biasa menjumpainya sebagai tukang parkir 24 jam di sebuah warnet tak jauh dari rumahnya.
Kawasan Katamso seputar rumahnya itu memang telah menjadi panggung kehidupan Jemek yang riil, darimana ia beroleh nama kondang seantero kota: Kampret. Ketika Purawisata masih berupa terminal bus, lalu jadi pusat Taman Hiburan Rakyat (THR) dengan dangdutnya yang semanak, Jemek sudah berkisar di sana. Begitu pula di kuburan sebelah THR, yang dikenal sebagai kerkop (Belanda: kherkoff). Ia biasa dapat jatah rokok dari peziarah, sembari latihan mime di antara nisan. Di terminal ia jago jadi calo dan di THR ia punya banyak teman.
Kelak, peti mati dan kuburan serta hingar-bingar ruang urban, menyatu jadi simbol-isyarat dalam nomor-nomor pantomimnya yang fenomenal. Ia misalnya, dengan naik becak, menggotong peti mati ke makam Kintelan dalam lakon Bedah Bumi (1998). Sementara kehidupan terminal dan THR bersekutu dalam karya-karya khas akar rumput yang tak jarang berisi gugatan pada kekuasaan seperti Terminal-Terminal (1986), Balada Tukang Beca (1988) dan Kuasa Maha Kuasa (1997). Sebagai rasa syukur berkesenian, ia kerap bilang bahwa seni menyelamatkannya dari dunia “per-kampret-an”.
Kelak, peti mati dan kuburan serta hingar-bingar ruang urban, menyatu jadi simbol-isyarat dalam nomor-nomor pantomimnya yang fenomenal.
Istrinya, Threeda Mayrayanti, seorang pelukis, kesehariannya di rumah pun tanpa banyak berkata-kata. Putri satu-satunya, Kinanti Sekar Rahina, juga tumbuh dengan disiplin gerak: tari. Jemek hanya dua bulan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta. Tapi ia sukses men-sarjana-kan istri dan anaknya di ISI Yogyakarta.
Pada hari tertentu, kemunculan Jemek intensif ke rumah kawan atau ke tempat ngumpul. Itu adalah hari deadline pasang angka yang digemarinya. Ia selalu berhasil menggaet kawan-kawannya untuk ikut“berderma”. Dan angka cesplengnya selalu tak kena. Tapi besoknya kawan-kawannya kena “derma” lagi, dan semua tertawa. Persis saat nonton dia main pantomim yang memang sarat humor dan karikatural. Semua sayang Jemek.
Panggung Tanpa Batas
Jemek Supardi, sebagaimana dicatat Dr. Nur Iswantara (2007), bergabung di Teater Alam tahun 1974. Ia giat mengikuti olah tubuh. Malangnya, ia selalu dapat peran cameo. Itu pun tanpa kata. Kadang hanya muncul gerak tangan, atau sekadar lewat saja. Penyebabnya: ia sulit hapal naskah.
Kepalang basah, Jemek kian intens mengolah gerak. Ia tertarik “eksplorasi tubuh” ala Merit Hendra. Kemudian berlanjut pada “gerak indah” Moortri Poernomo yang bersumber dari tari Jawa. Saat berkunjung ke Jepang, Moortri berhasil merespon huruf kanji dalam gerak stakato. Semua itu memperkaya eksplorasi gerak Teater Alam.
Namun Jemek baru ngeh (paham) seni pantomim saat Wisnu Wardhana mementaskan mime Manusia dan Kursi di Seni Sono (1975). Potensi diri Jemek meronta. Kesulitannya menghapal naskah mencuatkan secelah jalan keluar yang siap ia lakoni. Sejak itulah ia giat berlatih dan berpentas pantomim.
“Tak tahu bagaimana jadinya jika saya tak ketemu mime,” kata Jemek, jauh di tahun 2000 ketika saya pertama kali mewawancarainya untuk tabloid TaFeril, ISI Yogyakarta.
“Tak tahu bagaimana jadinya jika saya tak ketemu mime,” kata Jemek, jauh di tahun 2000 ketika saya pertama kali mewawancarainya untuk tabloid TaFeril, ISI Yogyakarta.
Jemek ikut mendirikan Teater Dipo bersama Fajar Suharno yang kelak berubah jadi Teater Dinasti. Ia juga terlibat mendirikan GAPY (Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta) bersama antara lain, Moortri dan Deddy Ratmoyo. Banyak pantomimer bergabung seperti Ende Reza, Broto, Nur Is, Yayat Surya, Ahmad Jusmar, Yusi, Dyan Dwinita, Jamaludin Latif dan lain-lain.
Meski kerap pentas kolektif bareng GAPY sepanjang 1994-1998, Jemek tetap lebih kuat dengan karya personalnya. Bahkan menurut Dr. Nur Iswantara, dosen teater ISI Yogyakarta dan sejawat Jemek di GAPY, ini merupakan pembeda aktor mime Yogya dengan Jakarta. Di Jakarta, mime digarap jadi pentas bersama secara utuh. Naskah, aktor, tata panggung, semua lengkap. Tak jarang diselipkan kata-kata verbal. Sebagaimana karya Seno A. Utoyo dan Didi Petet (Seno-Didi Mime). Basis aktor mimenya terutama di IKJ.
Sementara di Yogya, aktor mime lebih kuat pentas personal. Sepenuhnya mengandalkan gerak tubuh hingga bagian-bagian terkecil seperti leher, telapak tangan dan kaki beserta jari-jemari. Tanpa bicara, hanya gerak dan mimik-ekpresi semata, sebagaimana diperlihatkan Jemek. Basis aktornya terutama di ASDRAFI dan ISI.
Pentas personal tak lantas sukar merebut panggung atau terbatas pada “pertunjukan intim”. Panggung Jemek terbukti meluas ke ruang-ruang publik dengan properti “raksasa” seperti forklift, kereta bahkan Monas. Ia bermain di Benteng Verdeburg, Malioboro, stasiun dan di atas kereta api yang melaju dari Yogya ke Jakarta.
Karyanya Badut-Badut Republik atawa Badut-Badut Politik (1998), tepat saat tuntutan Reformasi bergelora, sukses mengumpulkan massa penonton dalam kondisi seolah siap aksi di sepanjang jalan yang ia lalui. Ia bertolak dari Bundaran UGM, simbol perjuangan mahasiswa, berlanjut ke Malioboro dengan naik forklift pinjaman seorang kontraktor. Di atasnya Jemek beraksi sebagai politikus berjas dan berdasi penuh janji– hal yang berlaku hingga kini. Pentas itu sendiri berlangsung di tengah pengawasan ketat aparat kepolisian.
Sebelumnya, 1997, Jemek memprotes panitia Festival Kesenian Yogya yang tak mengagendakan pantomim. Ia terobos barisan satpam Benteng Verdeburg tempat festival berlangsung, dan ia segera merebut perhatian dengan mementaskan ”Pak Jemek Pamit Pensiun”. Itu parodi acara Umar Kayam di UGM,”Pak Kayam Pamit Pensiun.”
Melihat bahwa sampai sejauh ini seni pantomim masih belum mendapat tempat yang layak, tak terkecuali dalam ekologi teater sendiri, maka protes itu saya kira tetap relevan. Terasa kurang tepat jika Yogya sebagai salah satu kiblat teater nasional sampai hari ini terkesan menganggap sepi seni pantomim. Meski kota ini pernah punya basis aktor mime di ASDRAFI, kampus akting yang didirikan Srimoertono dan tempat Putu Wijaya mengasah bakat teaternya. Sekarang pun terus lahir aktor mime handal, seperti generasi Andi Sri Wahyudi dan kawan-kawan. Namun secara umum kehidupan seni mime terasa kurang gayeng.
Padahal mime punya sejarah yang panjang, sepanjang sejarah teater yang menjadi ekologinya. Mime berkembang sejak masa Mesir kuno dan India kuno, Yunani dan Romawi. Di Romawi, selain jenis teater tragedi dan komedi, ada bentuk lain berupa face, mime atau pantomim (Jakob Sumardjo, 1986 via Iswantara, 2007). Dalam karya Aristhopanes, pantomim jadi bagian pesta Dewa Dyonisus. Aristoteles bahkan mencatatnya dalam risalah Poetics.
Para mime pun moncer sebagai aktor kelas dunia, mulai era klasik sampai modern seperti Angelo Beoclo, Lope de Ruede, Jhon Rich, Jhon Weaver, George Noverre, Deburau, Joseph Grimaldi, George Fox, Max Linder. Termasuk Charlie Chaplin, aktor “film bisu” yang sebenarnya kata lain dari aktor mime itu.
Indonesia, lanjut Iswantara, beruntung didatangi tokoh-tokoh mime kelas dunia, mulai Charlie Chaplin sendiri yang jatuh cinta pada Garut, Marcel Marceu, pencipta tokoh Bip Prancis, yang membawakan lakon-lakon Bip di TIM Jakarta dan Gedung Seni Sono Yogyakarta, akhir 80-an. Milan Sladek, pantomimer Jerman sepanjang tahun 1980-1988 pentas dan memberi lokakarya di Jakarta. Begitu pula David Glass dari Inggris, tahun 1985 pentas di Karangmalang, Yogya.
Namun jejak pantomim senyap seolah “sampiran” dalam teater. Tak jarang pemainnya dianggap badut belaka. Belakangan malah muncul fenomena “manusia silver” yang mengambil model seni pantomim. Pelakunya menjajal “panggung” di perempatan lampu merah, untuk mencari nafkah. Ini tentu kemungkinan lain dari seni pantomim, namun sayangnya sisi “ngamen”-nya jauh lebih mengemuka, nyaris tak bersentuhan lagi dengan kompleksitas dunia pantomim.
Namun jejak pantomim senyap seolah “sampiran” dalam teater. Tak jarang pemainnya dianggap badut belaka. Belakangan malah muncul fenomena “manusia silver” yang mengambil model seni pantomim. Pelakunya menjajal “panggung” di perempatan lampu merah, untuk mencari nafkah.
Padahal, selain ciri karikatural-humoral, pantomim merengkuh hal-hal serius. Jemek mengakui, “Begini-begini, saya ini harus merenung jika mau pentas. Mikir sampai ke toilet. Merancang properti dan bikin oret-oret,” kata Jemek suatu kali. Ia membuktikan melalui cara kreatif mewujudkan tema-tema yang ia usung, mulai politik yang gaduh hingga kehidupan rakyat kecil yang meng-aduh, seperti Perahu Nabi Nuh (1984), Sedia Payung Sesudah Hujan (1986), Balada Tukang Becak (1988), Menanti di Stasiun (1992), Pisowanan (1997) dan Kesaksian Udin (1997).
Nomor-nomor itu bukan hanya memuat daya kritis Jemek sebagai aktor sekaligus kreator, juga mensyaratkan olah estetis yang tinggi. Karena itulah, meski pentasnya sering tanpa naskah atau cukup merujuk draf, Jemek tetap harus melewati tahapan latihan yang ketat. Jika tidak, hasilnya kurang maksimal. Pentasnya Adam-Hawa tahun 1992 di Purna Budaya, sebagai misal, ia anggap gagal karena persiapan terbatas dan latihannya singkat. Menariknya, di sisi lain, Jemek juga dikenal kuat dalam nomor-nomor improvisasi (misalnya respon spontan atas seorang penyair yang sedang baca puisi, atau pembukaan sebuah pameran). Ketahuilah, itu lantaran laku mime telah menyatu dengan naluri dan geraknya, sehingga improvisasi dalam waktu yang tepat, merupakan letupan energi kreatifnya yang mengendap.
Tahun 1998, Jemek mencatat rekor—meski tak ada dalam MURI—dengan panggung terpanjang dan waktu terlama di Indonesia, yakni Pantomim Yogya-Jakarta: Siapa Suruh Datang Jakarta. Sejak keberangkatan di Stasiun Tugu, di kereta selama lebih 8 jam, hingga berlanjut di Lapangan Monas. Itu mengisyaratkan nafas panjang sang pendekar pantomim, sekaligus bukti mime melintasi kompleksitas ruang-waktu.
Panggung yang Canggung
Di tengah bisingnya adu bicara di mimbar, ruang kampanye hingga di platform media sosial seperti sekarang, laku mime Jemek sungguh layak diaktualkan. Tak banyak berkata-kata, hening menghayati isyarat semesta.
Tapi bukan berarti Jemek bersih dari sisi keriuhan ini. Jika ada hal yang saya kenang relatif gaduh dari sosok Jemek adalah ketika di facebook ia cukup gencar mengomentari kasus penembakan empat tahanan rutan Cebongan, Sleman, oleh oknum militer, 23 Maret 2013. Tahanan tersebut merupakan pelaku tindak kekerasan beberapa hari sebelumnya yang menewaskan seorang tentara di sebuah kafe. Atas nama jiwa korsa, rekan korban menyerbu masuk ke Cebongan dan menghabisi para pelaku. Sebanyak 12 orang oknum militer yang terlibat berhasil ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan militer.
Di statusnya, Jemek menganggap tindakan itu efek emosional dari lapangan, mengingat tindakan kekerasan di kafe sebelumnya dianggap dapat meresahkan keamanan dan kenyamanan Yogya. Jadi perlu shock therapy dengan legitimasi keamanan dan kenyamanan? Seorang kawan dari Kupang berkomentar, tak kalah emosional, sebab secara kebetulan empat orang pelaku yang lalu jadi korban di Cebongan itu, berasal dari Timor. Saya tak ingat bagaimana persisnya Jemek menjawab, tapi yang jelas kawan yang marah tersebut merasa tidak puas dan kecewa dengan Jemek yang dikenal sebagai orang kesenian.
Apalagi dalam persidangan 12 anggota Kopassus tersebut, Jemek datang ke gedung pengadilan Militer Yogya membawakan sebuah lakon pantomim, lengkap dengan kostum dan tata riasnya. Ia membagikan bunga dan melepas burung merpati. Hal itu membuat terdakwa yang mendapat persembahan bunga mawar dari Jemek, mengucapkan terima kasih (Detik, Selasa, 2 Juli 2013).
Saya sendiri jujur merasa “shock” dengan status-status dan “pentas” Jemek tentang peristiwa itu karena seperti bertolak belakang dengan sosok kesenimanannya yang “tak banyak berkata-kata”. “Panggung” di halaman belakang gedung militer itu tampak bukan seperti dunianya, terasa canggung dan jauh dari sublimitas.
Namun, kekecewaan saya sedikit terobati ketika akhirnya kawan dari Kupang tersebut memberi tahu saya bahwa akun facebook Jemek hanya menggunakan namanya. Konon pengendalinya bukan dia, melainkan seseorang semacam admin! Saya tidak tahu apakah Jemek tahu. Saya juga tidak tahu dari mana kawan Kupang itu tahu. Sekalipun “pentas” Jemek di gedung militer tetap membuat saya kurang sreg. Tapi itulah realitas yang telah digariskan jalan hidupnya.
Kembali ke mime. Tentu tak tertutup mime dikontestasikan secara luas, tak terkecuali di ruang “profan”. Iklan-iklan visual misalnya, bisa bertolak dari kreasi pantomimer. Aksi-aksi dalam pelbagai isu seperti lingkungan atau pelecehan seksual bisa diekspresikan secara kuat lewat mime. Bahkan sejumlah platform medsos yang kini banyak berbasis gerak semisal di Tik-tok, bisa diolah mime secara lebih unik, segar dan juga “sakral”. Mime pun bisa sangat instagrabel di instagram.
Kini, Jemek Supardi, Sang Pendekar Pantomim itu telah berpulang, ketika ruang-ruang mime terbuka untuk segala kemungkinan. Sungguh sayang jika para pantomimer muda tak mengisi dan meresponnya.
Pertemanan saya dengan Nurel terbentuk sebagaimana pertemanan dengan kawan penulis satu angkatan di Yogyakarta akhir 90-an. Hanya jika dengan kawan-kawan lain semacam Satmoko Budi Santoso, Binhad Nurrohmat, Asa Jatmiko, Akhmad Muhaimin Azzet, Ahmad Sekhu, dan seterusnya kami awalnya dipertemukan oleh tulisan di media, lalu sebagian bertemu di kios koran, dan ngumpul di satu tempat dan beraktivitas di even bikinan komunitas, dengan Nurel agak lain.
Ia tak pernah antri di kios koran, membuka-buka lipatan yang kadang disteples oleh si pemilik kios, sebab ia memang tak mengirim karya ke koran (atau mengirim diam-diam saya tak tahu), setidaknya karyanya tak banyak dipublikasikan di koran.
Dalam buku Tamansari, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) X/1998 yang memuat puisi, cerpen dan esei penulis yang pernah dimuat media terbitan Yogya (MP, KR, Bernas, Yogya Post dan Suara Muhamadiyah) tidak ada nama Nurla Gautama atau Nur Laili Rahmat (nama awal Nurel). Namanya baru ada dalam buku FKY XII/2000 Embun Tajalli.
Ini sekedar menunjukkan bahwa sejak awal, Nurel sebenarnya punya jalan berbeda. Perjumpaan kami lebih banyak saat ngumpul di rumah kawan, misalnya di tempat Teguh Winarsho di Warungboto, Umbulharjo, atau sesekali di tempat Amien Wangsitalaja yang tinggal satu kompleks di situ. Kadang di kostnya Nurel sendiri di Ngasem, atau ia main ke tempat saya.
Dalam amatan saya, Nurel seperti punya dunia sendiri, dan kadang-kadang itu tercermin dari caranya yang khas: mesem-mesem sendiri, ngguyu jika bukan cengengesan, pada saat kita bicara ini-itu tentang sastra. Ia akan terus merokok tanpa banyak tanggapan. Namun ia selalu tampak punya rencana lain yang tak sempat juga kita selidik.
Ia, misalnya, biasa datang ke tempat yang kadang tak terpikirkan oleh kami sebagai referensi dunia kepenulisan. Salah satunya, ke kediaman Suryanto Sastroatmojo, seorang ahli Jawa yang bekerja sebagai redaktur di Harian Bernas. Ia sering bolak-balik ke sana, dan bahkan seperti menjadi pelanjut gagasannya. Termasuk meniru “lompat jendela” untuk masuk kamar.
Ia pernah cerita Mas Sur itu masuk dan keluar rumah selalu lewat jendela, pintunya sudah tak bisa dibuka karena penuh buku. Nurel pun memalang pintu kamar kostnya, dan memilih lewat jendela. Meski beberapa waktu lalu ia bilang itu caranya merasakan orang yang hidup dalam penjara, namun saya duga itu hal yang ia tiru bulat-bulat dari prilaku Mas Sur.
Sementara kawan-kawan lain masih melihat sosok mainstream Iman Budhi Santoso sebagai sosok tua untuk didatangi dan bicara ngalor-ngidul. Nurel juga cukup responsif dengan Otto Sukatno Cr, yang kita tahu juga punya basis di sastra dan kebudayaan Jawa. Tampaknya jagad Jawa menjadi minat Nurel.
Tapi sebagai orang yang pernah nyantri di sebuah pesantren di Jombang, ia juga rajin datang ke Komunitas Kutub pimpinan Zainal Arifin Thoha. Jika saya pernah menyebut silaturahmi sebagai nafas pergaulan sastra di Yogya, maka Nurel boleh dijadikan simbol dalam jagad silaturahmi itu (itu pun jika ia setuju), sebab dialah yang paling selalu laju dan siap ada di mana-mana.
Jika saya pernah menyebut silaturahmi sebagai nafas pergaulan sastra di Yogya, maka Nurel boleh dijadikan simbol dalam jagad silaturahmi itu (itu pun jika ia setuju), sebab dialah yang paling selalu laju dan siap ada di mana-mana.
Mobilitasnya sangat ditunjang oleh sebuah sepeda motor besar, Tiger, kalo tak salah, yang waktu itu masih kemewahan bagi sebagian besar penulis di Yogya, terutama angkatan saya yang ke mana-mana masih menggunakan sepeda onthel atau motor bebek bekas. Itu lengkap dengan gaya tongkrongannya. Jika sekarang banyak penulis ibukota memakai topi laken, Nurel sudah memakainya sejak dulu, genap dengan sepatu bot Harly Davidson dan mantel kulit hitam atau coklat.
Saya sendiri kadang menunjukkan rasa sinis pada semangat Nurel yang terlalu menggebu-gebu itu, sehingga terasa tak masuk akal. Ia misalnya, antara guyon dan serius bilang akan mengejar Hadiah Nobel Kesusasteraan. Bahkan di kamarnya ia pasang semacam spanduk Geger Wong Ngoyak Nobel, yang ia pelesetkan dari naskah Teater Dinasti-Emha: Geger Wong Ngoyak Macan.
Saya berterus-terang saja sama dia, “Rel, mimpimu dibuat riil dong! Itu terlalu bernafsu, tak ketulungan. Ntar kau bisa sakit lho! Ingat kau tesis Mas Iman bahwa di Yogya banyak orang senewen beneran karena ingin terkenal jadi sastrawan?” kataku mengingatkan apa yang pernah dikatakan Mas Iman. Jika saya pikir sekarang, ucapan itu terasa lugu.
Tapi jawabannya juga tak kalah lugu, atau mungkin lucu,”Ojo, Nobel itu hak segala bangsa kok…”
Saya juga tahu ia kadang tersenyum sinis kepadaku yang selalu bilang padanya untuk lebih serius. Hal-hal ini justru saya rasakan membuat kami saling paham dan mengerti dan malah menguatkan persahabatan. Saya tak akan membicarakan hal-hal yang sekiranya membuatnya tak nyaman, dan begitu pula sebaliknya, ia akan “sadar diri” menyingkir jika ia melakukan hal-hal yang sekiranya membuat saya tak nyaman.
Ia juga pernah mendirikan Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia (KSTI), bersama Asa Jatmiko, Yatno Wibowo dan Devisi Teaternya: Si Thenk Dwi Arti. Ia hanya mengundang saya untuk hadir di peresmiannya, tapi tidak menawarkan saya untuk ikut bergabung.
***
UNTUK mimpi besarnya tersebut, satu hari ia membuat kami semua tercengang: ia menjual motor besarnya, simbol kemakmuran penulis Yogya itu! Konon untuk modal menerbitkan karya-karyanya sendiri.
Dan benar, ia mulai menerbitkan buku-bukunya dengan penerbitnya sendiri, Pustaka Pujangga. Bahkan ia sempat menerbitkan jurnal sastra/budaya dua sekaligus: The Sandour dan satu lagi saya lupa.
Saya diminta menulis di jurnalnya dan sejumlah bukunya ia berikan padaku meski masih dengan cengengesan seolah tahu saya masih menyinisinya. Karena itu, dari sekian banyak buku yang ia tulis dan terbitkan, ia memilihkan dua-tiga judul saja yang kira-kira membuat saya nyaman. Ia juga tak pernah meminta saya membuatkan semacam endrosment untuk bukunya, namun ia mau meminta saya menulis di jurnal kebudayaan yang ia terbitkan dan saya mengirimkan untuknya. Jelas sekali ia tahu porsi menempatkan saya, dan saya menghormatinya soal itu.
Saat banyak kawan penulis seangkatan saya mulai meninggalkan Yogya, dan sebaliknya tak kalah banyak juga yang memutuskan menetap di Yogya, termasuk saya, Nurel saya lihat punya sikap mendua. Ia seperti tak bisa lepas dari Yogya meski juga seperti merasa sudah kehilangan sudut petualangannya. Akhirnya ia bolak-balik Lamongan-Yogya.
Suatu ketika ia mengundang saya dan istri saya, Nur Wahida Idris, untuk mengisi diskusi sastra di Lamongan. Setelah mencari waktu yang tepat, akhirnya kami putuskan ke Lamongan saat sekalian pulang ke Bali. Ia menuntun kami lewat SMS perihal angkutan ke alamatnya dan tempat berhenti untuk ke Kendal-Kemlangi, Karangeneng, kampungnya. Dari Yogya, kami naik bus Eka sampai Ngawi. Dari Ngawi naik bus mini ke Bojonegoro melewati hutan jati dan keluar di Kalatidu. Dari Bojonegero naik bus arah Surabaya, dan kami diminta turun selepas Pasar Babat.
Kami dijemput di tepi jalan Babat-Surabaya, dan waktu itu ia punya semacam “markas” di samping kampus Universitas Islam Darul Ulum (Unisda), yakni di kios Alang Kahirudin. Di kios itu, tak jauh dari palang rel kereta api, Alang dan Nurel membuat sejumlah kegiatan literasi, selain juga difungsikan sebagai toko buku kecil. Toko buku Nurel sendiri terletak di pasar rakyat, di arah jalan ke rumahnya, sehingga saya geleng-geleng kepala bagaimana di sebuah pasar pagi ia menyewa kios dan meletakkan buku-buku di sana.
Rumahnya masuk ke dalam, dari jalan besar, melewati pasar tempatnya membuka toko buku tadi, dan hamparan tambak yang luas dan sebagian sawah. Dia juga mengajak kami makan di sebuah warung yang dipenuhi petambak dan petani. Dari suasana inilah kemudian saya membuat sebuah puisi, “Tanah Tambak” yang saya persembahkan buat Nurel.
Rumah Nurel adem, dan kami tambah nyaman terutama karena ruang Nurel terpisah dari ruang keluarga besarnya (ayah-ibu dan adik-adiknya). Ruangnya sendiri di belakang. Waktu itu ia sudah punya istri dan seorang anak. Si istri membuka warung kelontong yang cukup lengkap di kios depan rumah. Tampaknya dari perputaran kios inilah ia bisa jalan-jalan atau mungkin juga subsidi silang menerbitkan buku-buku.
Yang paling saya ingat dari kunjungan itu adalah setiap kali pergi ke luar mengajak kami jalan-jalan, istrinya akan memanggilnya memberi bekal: rokok dan uang. Ia terima dengan ngguyu dan cengengesan. Tapi di sisi lain saya juga menangkap mata Bapak Nurel yang tampak sinis melihat aktivitas anaknya itu. Sang bapak tampaknya seorang PNS. Mungkin tatapan semacam itu membuat Nurel tetap tak nyaman di rumah. Entahlah.
Kami mengisi acara di dua tempat, di kampus Unisda dan sebuah pondok pesantren. Kami didampingi kalau tak salah oleh kawan-kawan penulis Lamongan seperti AS Sumbawi, Imamudin, Alang dan Haris. Setelah itu kami lebih banyak jalan-jalan. Kami bahkan sempat mampir ke Gresik, ke rumah penyair Mardiluhung.
Saya dipinjami motor bebek oleh Nurel, dan dengan itu saya membonceng Ida, dan Nurel mengiringi naik motor besarnya, uniknya dengan sandal refleksi yang terbuat dari kayu runcing-runcing itu. Saya sempat menegurnya nanti membuat kakinya bengkak, tapi lagi-lagi ia jawab nyeleneh,”Kalau di rumah saya pakai ini, tapi kalau ke luar kota siap dengan sepatu bot.” Dan ia benar, setiap datang ke Yogya selalu dengan sepatu botnya yang besar tinggi seperti sepatu tentara itu.
Saat itu baru terjadi bom Bali dan nama Amrozi ramai diperbincangkan. Saya kemudian minta diajak ke Tenggulun, kampung Amrozi. Kami ke sana ditemani seorang anak yang super-hati-hati sehingga kami tak dibolehkan ngapa-ngapain. Suasana ia buat tegang dan mencekam. Namun membuat Nurel senyum-senyum. Kami melewati sawah, hutan dan sebuah telaga untuk sampai ke sana. Di kompleks pondok Amrozi sendiri aktivitas berjalan seperti biasa dengan para santri. Kami ngopi di sebuah warung, dan berfoto beberapa kali. Kami akan lanjut ke Tanjung Kodok, yang di lepas pantainya Kapal Vander Wijk dulu tenggelam, tapi batal karena waktu mepet. Begitu pula rencana ziarah ke makam Sunan Dradjad. Kapan-kapan ke sini lagi, kata Nurel. Dan kami mengiyakan.
Ada cerita agak nyeleneh setelah itu. Besoknya kami langsung ke Surabaya dan lanjut pulang ke Bali. Karena naik bus nyambung, Surabaya-Banyuwangi, maka setelah menyeberang Ketapang-Gilimanuk, kami siap mencari angkutan umum melanjutkan perjalanan ke Negara. Sengaja kami tak masuk terminal supaya tak lama ngetem. Kami jalan kaki sampai ke arah simpang Cekik (pertigaan ke Buleleng). Saat itulah kami didekati seorang intel tentara yang bertanya macam-macam. Dan kami menjawab akan pulang ke Negara. Ternyata, hari itu memang ada operasi besar-besaran sehubungan dengan adanya isu ditemukannya bom di Singaraja. Untung saja kamera kami tak diperiksa, bisa panjang ceritanya…
Rasanya itulah terakhir kalinya saya mengajak Nurel bicara sastra dengan “serius”, terutama soal-soal penciptaan yang tidak instan, dan bla-bla lain soal idealisme dan sikap berkesenian. Dalam diskusi hampir semalam suntuk itu makin terasa bahwa pertemuan kami dengan Nurel tampaknya bukan pada wilayah sikap yang gampang dirumuskan, namun ada jalan berbeda yang dipilih. Monggo, kata kami sama-sama. Sejak itu semakin jelas bahwa pertemuan dan hubungan kami bukan lagi pada soal-soal contens kesenian dan sebangsanya, namun sebagai sahabat penulis yang sama-sama ikhlas atas apa pun jalan yang dipilih.
Sejak itu semakin jelas bahwa pertemuan dan hubungan kami bukan lagi pada soal-soal contens kesenian dan sebangsanya, namun sebagai sahabat penulis yang sama-sama ikhlas atas apa pun jalan yang dipilih.
Ia memberi saya hadiah buku Padang Riwayatmu Dulu, buku langka karangan Rusli Amran. Untuk soal beri-memberi, bantu-membantu, semua kawan tahu Nurel sangat ringan tangan untuk itu.
***
SETELAHNYA, untuk masa agak lama hubungan saya sempat terputus, sampai ia kemudian meluncurkan atau mendiskusikan sejumlah bukunya di IAIN Sunan Kalijaga. Saya datang bersama Fahrudin Nasurollah (juga almarhum), dan bertemu dengannya yang masih dengan gaya yang dulu. Ngguyu, cengengesan.
Fahrudin yang saya kenalkan tak kalah merasa aneh dengan buku-buku Nurel. Membacanya kadang agak ribet, dengan kalimat-kalimat ala pujangga lawas, menyebut “aku penulis” dengan “diri ini”, persis seperti gaya tulisan Mas Sur.
Sementara ISBN bukunya bukan dari Perpusnas, melainkan bikinannya sendiri. Akronim ISBN ia artikan sendiri: Insyaallah Selamat Berkah Nama (atau saya lupa persisnya).
Fahrudin tipe orang yang menulis agak ketat, sementara Nurel sebaliknya, sangat longgar. Saya tak dapat bayangkan bahwa beberapa waktu kemudian sejak pertemuan di IAIN itu kedua “manusia langka” tersebut ternyata bisa akrab dan malah seiring jalan. Pernah waktu saya launching Jurnal Puisi Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Edisi Khusus di Komunitas Lembah Pring Jombang asuhan Fahrudin, Nurel datang dari Lamongan. Waktu itu datang juga Mashuri dari Surabaya. Nurel menemani kami sampai besoknya kami pulang ke Yogya naik bus.
Pada periode di Lamongan, Nurel sering bolak-balik ke Yogya dengan motor besarnya yang lain (ia sudah mengganti motornya dengan motor terbaru), itulah periode ia sering ke Lampung. Kadang langsung dari Ponorogo, dari mana saya dengar ia membuka toko buku alternatif di sana.
Saat saya tanya ada kegiatan apa di Lampung, ia bilang membangun jaringan. Apakah juga mendekati muli (gadis) Lampung? Ia tertawa.
Untuk jaringan saya tahu ia punya beberapa kawan di Lampung, salah satunya Yatno Wibowo yang dulu satu kampus dengannya di Widyamataram. Tapi soal gadis itu (jika memang ada), kami mengingatkan betapa baik istrimu, Rel. Rokok dan sangu, ingat itu. Lagi-lagi ia tertawa.
Periode ini juga ia gunakan main ke Jakarta. Waktu itu Teguh Winarsho, Akhmad Sekhu dan Binhad sudah tinggal di Jakarta, jadi kepada mereka ini ia terhubung, meski dari ceritanya ia tampak paling sering ke tempat Teguh.
Dari sini pula ia cukup dekat dengan Maman Mahayana. Tapi menariknya, meski dekat dengan Pak Maman, ia tak pernah sungkan mengkritik “sajak-sajak sufi Sutardji”– padahal kita tahu Maman dekat dengan Tardji. Ini dapat dibaca sikap profesional seorang “gerilyawan sastra” ini…
Saat itu ia sudah mengganti namanya dengan Nurel Javisarqi dan ia jelaskan artinya pada Ida bahwa itu cahaya dari timur, sesuai statusnya yang orang Jawa Timur.
Setiap kali hendak ke Lampung ia selalu menyempatkan diri singgah dan kadang bermalam di rumah kami di Sewon.
Suatu kali saya mendapat undangan komunitas sastra/teater Purwokerto untuk menonton dan mengulas sebuah pertunjukan teater di auditorium RRI Purwokerto. Kalau tak salah Komunitas Hujan tak Pernah Padam, atau sejenis-jenis itu, tapi koordinatornya saya ingat Ryan Rachman. Nurel menawarkan diri untuk ikut. Saya yang sudah berencana naik bus bersama Tsabit, akhirnya dibonceng Nurel naik motor. Kami lewat jalur selatan, Jalan Deandles, yang dalam periode sebelumnya pernah juga saya lalui bersama Mas Joni Ariadinata, Satmoko, dan Ida naik motor (motor pinjaman bos Bentang, Mas Buldanul Khuri), saat ke rumah Pak Ahmad Tohari untuk urusan Jurnal Cerpen.
Jadi saya hapal jalannya, termasuk tempat berhenti yang enak. Kami berhenti di beberapa titik, makan sate berkuah tempe di Ambal dan berhenti di Karangbolong, tempat Seno Gumira menulis cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku.
Selesai acara kami juga main ke Baturaden. Pulangnya kami cukup lama berkeliling Gua Jatijajar. Di sini Nurel bercerita tentang sejumlah falsafah Jawa, dan ia mengkritik pembuatan patung cerita rakyat yang memapas beberapa bagian gua.
Sayang, baik foto-foto saya di Lamongan maupun ke Purwokerto sudah tak ditemukan. Dulu masih menggunakan kamera saku, dan pernah saya pindah ke laptop, dan laptop itu sekarang rusak.
Setelah periode ke Lampung ini selesai, kami jarang bertemu Nurel. Saya bahkan lupa kapan terakhir bertemu dengannya. Meski saya dengar ia masih beberapa kali bolak-balik Lamongan-Yogya, tapi urusannya lebih banyak ke percetakan. Saya juga dengar dari seorang kawan bahwa ia sudah kembali ke Lamongan (pasca Ponorogo), dan ia berpisah dengan istri pertamanya yang dulu pernah kami jumpai di Karangeneng itu. Tapi tak lama setelah itu ia menikah lagi.
Meski lama tak bertemu fisik, namun kontak via WA dan inbox justru kian intens. Saya kemudian tahu bahwa tulisan saya di media sudah terhimpun dengan baik di media online yang ia buatkan. Kami juga sudah sepakat akan jalan-jalan dan diskusi di Ponorogo, tapi keburu pandemi.
Belakangan ia aktif di Apsas dan super giat memposting tulisan-tulisan lepas di media. Sebelum memosting, ia akan mengedit kata typo atau melengkapi tulisan “yg”, misalnya, jadi “yang”. Dan siap mengedit jika diminta penulisnya. Jadi ia tak asal posting.
Kini tulisan tersebut terbuhul dalam satu pumpunan di Apsas yang sangat membantu dokumentasi semua orang. Setiap saya menulis esei kecil-kecilan di facebook seperti ini, ia akan mengontak saya untuk mempostingnya. Dan saya jawab oke, sip, atau monggo, Lur!
Seharusnya, tulisan ini juga akan atau sudah dipostingnya. Namun, Selasa 7 September 2021 ia sudah mendahului kita semua. Kami sempat kaget, sebab setahu kami ia masih segar-bugar dan baru beberapa hari membalas inbox saya untuk merevisi sebuah tulisan di facebook yang dipostingnya. Namun ajal dan kepulangan milik Tuhan Semesta Alam. Dan takdirnya telah ditentukan, yang, seperti judul sebuah bukunya, Takdir Terlalu Dini…
Selamat jalan, Kawan, ngguyu dan cengengesanmu pertanda ikhlas….