Di Rumah Pak Dukun
Rumah Pak Dukun paling besar dibanding semua rumah yang saya lihat saat melewati jalan kampung. Terbuat dari kayu kulim (ulin), bertiang setinggi satu meter, menyisakan kolong nyaman bagi anjing, ayam dan hewan piaraan. Sejenak mengingatkan saya pada rumah panjang Dayak, Balai Malaris, di Loksado, Pegunungan Meratus.
Rumah itu terbagi dua. Bagian utama saya perkirakan berukuran 12 meter x 9 meter. Berdinding dan berlantai papan, sudah mengenakan jendela-jendela kaca dengan bingkai polos. Atapnya dari seng. Sedangkan bagian kedua berukuran sekitar 8 meter x 5 meter, merupakan bagian dari dapur, berdinding kulit kayu tarab dan beratap daun rumbia. Bahan-bahan kayu, termasuk kulitnya yang tebal dan kuat, diambil dari pohon-pohon terakhir kawasan Rakit Kulim. Belakangan rumah-rumah berganti tembok-beton sebagaimana jamak kita jumpai di kampung-kampung lain.
Di belakang samping kiri terdapat bangunan lumbung yang semuanya berbahan kayu. Kecuali atapnya yang tidak selengkung tanduk kerbau, bentuk bangunan persis lumbung di Minangkabau dengan ukuran mengecil ke bawah, lazim disebut rangkiang. Rangkiang biasanya didirikan di bagian depan rumah gadang, tapi di Talang Mamak berada di samping belakang. Lebih ke belakang lagi dari lumbung, terdapat kandang kambing Pak Dukun yang sesekali terdengar ramai mengembik.
Padi di lumbung dan ternak di kandang, bukankah cukup bukti untuk menunjukkan kekuatan orang Talang Mamak untuk mandiri?
Begitulah saya mengartikan semua hal yang saya lihat di seputar rumah dan pemukiman Pak Dukun.
Pak Dukun, laki-laki bertubuh gempal dengan air muka yang akrab. Saya taksir usianya belum 60. Ia tersenyum lebar menyambut kami di pintu rumah bagian dapur. Tiga orang anaknya sepantaran Dita dan Ayu ikut duduk menunggu. Hairil Candra, anak Pak Batin, ikut bergabung. Keakraban segera terasa di antara kami. Persis keakraban yang saya rasakan saat bertemu Pak Batin dan anak-anak Talang Mamak di Hotel Premiere Pekanbaru tempo hari.
“Beginilah keadaan kami di sini, Pak. Rumah kayu gotong royong, sisa masa lalu,” kata Pak Dukun memperkenalkan “istana”-nya.
“Enak rumah Pak Dukun ini, sejuk,” kata saya tanpa bermaksud berbasa-basi.
Kami dipersilahkan menaiki anak tangga pendek, dan mendapati ruangan berlantai bambu dialasi bentangan tikar rumbai hasil anyaman sendiri. Selain tikar, perempuan-perempuan Talang Mamak juga pandai menganyam rupa-rupa wadah keseharian mulai bakul, tas, ambung, hingga tempat tembakau-sirih-pinang.
Rupanya ruangan bagian dapur inilah yang difungsikan tuan rumah untuk menerima setiap tamu. Baik tamu dari jauh maupun orang sekitar yang datang hendak berobat. Saya duduk menyandar ke dinding kulit pohon tarab yang kuat.
“Di tempat bapak duduk nanko, hampir tiap tahun ada orang partai politik ikut duduk. Terakhir bapak gubernur Riau. Semua menjanjikan perubahan,” kata Pak Dukun dengan nada ironis. Saya merasa tergelitik. Ia lalu membuat sirih, dan menyilahkan saya ikut menginang.
Teringat masa kecil bersama nenek, saya pun mencoba melipat sesirih pinang. Sebenarnya saya ingin sambil bertanya siapa nama Pak Dukun, tapi entah kenapa saya rasa belum saatnya, atau mungkin tak perlu. Sebab dengan panggilan “Pak Dukun” saja sudah cukup mewakili segala hal tentang dirinya.
Sesuai namanya, Pak Dukun berperan mengobati orang sakit dengan menggunakan ramuan daun-daunan: si tawar sidingin dan pucuk kumpai serta tanaman hutan. Namun untuk memetik atau mencarinya, termasuk menyiapkan perlengkapan badukun, Pak Dukun dibantu para bantara. Sepasang bantara laki-laki dan sepasang bantara perempuan.
Dukun memang menjadi bagian penting dari struktur masyarakat adat Talang Mamak, selain batin dan balian atau lazim disebut kumantan. Kalau Pak Batin berperan sebagai katuha atau pemimpin adat, maka dukun dan balian sama-sama mengobati penyakit dan memimpin ritual. Bedanya, dukun lebih menangani hal-hal tak kasat mata, seperti ilmu gaib, gangguan roh atau menjinakkan harimau. Sedangkan balian mengobati penyakit fisik seperti luka atau patah tulang.
“Istilahnya, kumantan untuk berobat tangga di atas, dukun tangga di bawah,” jelas Pak Dukun. Karena itulah, di ruangan tempat kami duduk, ada sebuah bilik kecil berdinding kulit kayu tempat menyimpan benda-benda keramat milik Pak Dukun.
“Dulu, ketika hutan kami masih ada, harimau yang tersesat masuk kampung atau mengganggu orang berhuma, tugas aku mengurus,” kata Pak Dukun dengan bahasa Minangkabau campur bahasa Melayu, namun dengan logat yang khas.
Sebagaimana bahasanya yang khas, orang Talang Mamak juga punya hubungan khas dengan si raja hutan. Mereka tidak saling bermusuhan. Tak ada harimau yang dibunuh, tak ada manusia yang terbunuh. Justru itulah peran sentral Pak Dukun; menjinakkan harimau dengan semangat persahabatan. Hal ini mengingatkan saya pada cerita-cerita masa kecil dulu di kampung, yakni tentang manusia harimau atau cendaku, harimau jadi-jadian. Ia akan beraksi bila ada tindak kejahatan di kampung. Tapi di kampungku, pantai barat Sumatera, cendaku dipercaya berasal dari pedalaman Jambi.
“Sebenarnya, cendaku itu merujuk Sungai Batang Cenaku, daerah pemukiman Talang Mamak arah perbatasan Jambi. Masyarakatnya memang akrab dengan harimau, habitat asli Bukit Tiga Puluh,” saya teringat cerita Sanak Andiko Sutan Mancayo kemarin di Pekanbaru.
“Segalanya Berantakan”
Peran sentral dukun sebagai penetralisir jagad kosmos dan jagad hayati, membuat keberadaannya sangat dihormati. Apalagi dukun merupakan jabatan turun-temurun dengan ilmu warisan yang tidak semua keluarga memilikinya. Meski tentu mutlak legitimasi adat dan masyarakat. Karenanya, meski Pak Dukun mewarisi profesi dukun dari sang ayah dan ayahnya dari kakeknya dan begitu seterusnya, tapi harus ditahbiskan lewat upacara khusus.
“Saya ini orang tidak sekolah. Kebanyakan kami di sini begitulah adanya. Mungkin karena itu perusahaan sawit bersilintas angan kepada kami. Semua hutan tempat kami berhuma, bahkan ladang karet kami, habis diambil perusahaan dan ditanami sawit. Atas nama HGU,” Pak Dukun menerawang.
HGU adalah Hak Guna Usaha, izin konsesi pengolahan lahan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan kelapa sawit. Semacam HPH (Hak Penguasaan Hutan) pada masa Orde Baru yang menghabiskan jutaan hektar hutan dari Sumatera hingga Papua. Hal sama terulang lewat HGU. Berkat surat sakti itu, sejumlah perusahaan perkebunan besar milik swasta bersimaharajalela membuka kebun tanpa batas. Keanekaragaman hayati di planet bumi mereka buat homogen dengan satu jenis tanaman saja.
Pak Dukun menyepuh mulutnya dengan punggung tangan, mulut yang terpercik air sirih. Ia kemudian mengganti sirih dengan menyulut sebatang rokok. Setelah isapan pertama, sembari menghembuskan asap tipis di udara, ia mulai menceritakan nasibnya sendiri berhadapan dengan pemegang HGU.
“Kebun karet saya habis dibabat perusahaan,” katanya dengan nada tertahan.
Sebanyak empat hektar kebun karet Pak Dukun ludes nyaris dalam sehari ditebangi mesin-mesin raksasa perusahaan. Ia yang hari itu tidak ke kebun, diberi tahu oleh peladang lain, dan saat bergegas datang dia hanya menemui batang-batang karet kesayangannya sudah rebah terhumbalang.
“Itu ditebangi tanpa ganti rugi, Pak?” saya bertanya polos.
“Macam mano nak ganti rugi, izin pun dio tidak, Pak,” kata Pak Dukun seolah tersedak. “Karena aku marah, besoknya aku dipanggil ke kantor perusahaan dan diberi uang empat juta. Kalau itu ganti rugi, ya, rugi aku, Pak!”
Pak Dukun mengaku tak tahu dari mana perusahaan itu muncul, tahu-tahu sudah menerabas hutan di sekitar Talang Sungai Limau, Talang Sungai Parit dan kampung-kampung sekitar. Mulanya perusahaan membuka kebun di kawasan Seberida yang masih jauh dari Talang Parit. Tapi pelan dan pasti merangsek ke kawasan Rakit Kulim. Padahal jika dilihat di peta Indragiri Hulu, Rakit Kulim terletak di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Tapi entah bagaimana ceritanya kebun sawit milik sejumlah perusahaan leluasa membuka lahan di kawasan yang dilindungi. Ini mengingatkan saya pada Taman Nasional Tessa Nilo di Pelalawan yang juga beririsan dengan hutan tanaman industri.
Anak-anak seusia Dita dan Ayu lebih tak mengerti perubahan alam mereka. Dalam separoh usia mereka, tiba-tiba mereka telah menjumpai saja sawit tumbuh di mana-mana.
“Dulu kami tinggal di Sungai Ekok,” Ayu menyela. “Ayah berladang karet dan membuka huma berladang padi. Pohon-pohon kulim, tarab, sialang, pulai hingga enau dan nibung rapat mengepung kampung. Sungai juga jernih, banyak ikannya. Ada sebuah danau kecil di sana, selalu berair sepanjang musim,” mata Ayu berbinar-binar menuturkan cerita dalam bahasa yang indah. Pasti ia terbayang masa kecilnya yang tak kalah indah.
Tapi kemudian mata Ayu berubah memendam amarah. Suatu hari sepulang sekolah, katanya, ia lihat hutan di sekitar kampungnya habis ditebangi. Ia melihat ayahnya panik. Dan ibunya menangis di sudut rumah. Ayu yang lelah berjalan kaki dari sekolah hanya diam memeluk ibunya, tidak mengerti apa yang terjadi. Ia pikir, besok ayahnya masih bisa menyadap karet, dan ibunya menggara burung-burung di huma.
Untuk beberapa hari ke depan, ayah dan ibunya, sebagaimana keluarga peladang lain, memang masih bisa bekerja di lahan mereka. Tapi setelah beberapa waktu segalanya berubah. Air mulai keruh, lantas mengering. Hutan berganti hamparan tanah terbuka dan segera ditanami anakan sawit. Cuaca terasa panas. Hidup setiap keluarga menjadi sulit. Seolah tak ada lagi masa depan.
“Untunglah kami masih punya lahan di Talang Parit sini. Ayah mengajak kami pindah, dan tinggallah ladang kenangan kami, dirajam sawit,” mata Ayu kini berkaca-kaca. Kami semua hening sejenak.
“Segalanya rusak, Pak!” suara Pak Dukun menyentak kami. Seketika saya teringat novel pascakolonial Chinua Achebe, Segalanya Berantakan. Apa yang dialami orang Ibo di Afrika, sebagaimana diceritakan Chinua, juga dialami orang Talang Mamak di Sumatera sebagaimana diceritakan Pak Dukun dan Ayu.
“Hidup kami jadi susah,” Pak Dukun mulai lagi. “Banyak warga kami sudah tak punya lahan. Ada yang diambil perusahaan, atau tak ada lagi hutan yang hendak dibuka. Sebagian terpaksa menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.”
Pak Dukun menggambarkan keterpaksaan itu lewat sosok perempuan-perempuan perkasa Talang Mamak. Mereka terpaksa harus ikut mendodos ke kebun PTPN. Padahal upahnya tak masuk akal. Bayangkan, sekarung goni besar buah sawit hanya dihargai Rp. 6000. “Untuk dapat uang Rp. 30.000 sehari berapa goni kami nak dodos?”ucapan Pak Dukun itu bergema di rongga telinga saya.
Mendodos adalah proses menjuluk buah sawit dengan galah besi. Jika tidak pandai, buah sawit bisa-bisa jatuh menimpa si tukang dodos. Masih untung kalau pohon sawitnya masih rendah. Kelapa sawit PTPN V yang ditanam sejak tahun 1991 itu sudah terbilang tua sehingga pohon-pohonnya tinggi. Kesulitan itu dihadapi orang Talang Mamak yang tak punya pilihan. Tak terkecuali para perempuannya. Seorang di antaranya adalah perempuan remaja yang ikut kelas latihan menulis dengan Pinto Anugrah.
Pak Dukun boleh dikatakan cukup beruntung. Sebagai tokoh masyarakat, ia akhirnya ditawari bekerja di salah satu perusahaan perkebunan sebagai tenaga security. Ia mengaku terpaksa menerimanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun itu pun hanya status kontrak, karena untuk bekerja tetap harus ada ijazah. Sementara Pak Dukun, jangankan ijazah, baca tulis saja susah. Sampai suatu hari, sebagai security ia sempat melihat peta HGU perusahaan. Ia melihat ada bagian ditandai warna hijau, dan ia bertanya kepada rekannya yang paham apa maksudnya.
“Itu ternyata kawasan yang diperuntukkan buat masyarakat, kebun plasma. Namun itu sering tidak dipatuhi perusahaan. Mereka tetap menanam kawasan itu, dan jika tak ada gugatan, maka warna hijau itu bisa saja lanjut dikuasai perusahaan.”
Melihat itu, Pak Dukun berpikir, kalau begitu aku harus menguasai lahan itu sebelum didiamkan, tekadnya. Maka ia kumpulkan beberapa orang kampung, lalu lahan itu mereka kuasai. Setiap karyawan perkebunan masuk mereka usir dan lawan. Lahan yang baru ditanami sawit itu lalu mereka bagi-bagi. Luas totalnya ada 16 hektar.
“Itu cara saya melawan, Pak, karena itu hak kami,” kata Pak Dukun berani.
Saat bercerita demikian, Pak Batin Irasan datang. Rumahnya hanya bersebelahan dengan rumah Pak Dukun, sebuah rumah semi permanen yang lebih kecil. Dia hanya menengok kami sebentar, kemudian pamit dan berjanji akan datang lagi nanti malam. Seiring dengan itu, Pinto dan sopir kami pun pamit ke Air Molek. Diikuti Ayu, Dita dan Hairil yang juga pamit. Tinggallah saya bersama Pak Dukun dan keluarganya.
Di luar, gelap mulai menyungkup perkampungan. Serangga malam mulai mengatur konser dengan nada kodratinya masing-masing. Ramai yang terasa senyap.
“Mengaji” di Rumah Pak Dukun
Istri Pak Dukun sudah menyalakan lampu teplok yang terbuat dari kaleng minuman ringan. Ia berseru meminta David, anak lelaki bungsunya, untuk membawakan lampu itu ke hadapan saya dan Pak Dukun yang masih duduk berhadap-hadapan. Selintas persis orang sedang mengaji. Saya yang dimasa kecil duduk menghadap guru dengan lidi di tangan, kini menghadap seseorang yang juga tak ubahnya seorang guru dengan rokok di jari. Ia beri saya tunjuk-ajar, cerita dan falsafah nenek moyang.
Sebuah bola listrik sebenarnya menyala cukup terang di ruang dapur, dan sebuah lagi di tengah rumah, tapi lampu minyak buatan ini tetap sengaja dinyalakan.
“Listrik sering mati. Lebih baik sedia pelita sebelum gelap,” kata Pak Dukun sambil menerima lampu teplok yang diulurkan David.
“Masih gampang dapat minyak tanah di sini, Pak?” tanya saya, sambil mengingat kehidupan di kampung dulu. Listrik baru masuk kampung saya ketika saya sudah SMA. Sebelumnya, sejak terpancar ke dunia, keluarga saya dan keluarga lain di kampung memakai lampu teplok minyak tanah yang dibuat dari kaleng-kaleng bekas. Hanya surau dan lapau yang punya lampu stronkeng, menguapkan aroma spirtus, dan setiap kali dipompa akan bertambah terang berdengking.
“Ini pakai solar. Aman. Jangan pakai bensin, apinya bisa menjalar.”
Untuk pertama kali saya tahu bahwa solar juga bisa dijadikan bahan bakar lampu teplok. Saya kira karena Riau kaya minyak, dan pusat tambangnya tak jauh dari sini, akan gampang dapat minyak tanah. Padahal, saya sadar kemudian, untuk mendapat bahan bakar solar pun masyarakat Riau masih sering antri di POM, sebagaimana saya lihat sepanjang jalan Lintas Sumatera. Segala macam jenis minyak lebih gampang didapatkan di Ibukota, pusat kekuasaan, ketimbang di daerah yang menjadi pusat tambang dan basis kedaulatan.
David ikut duduk bersama kami. Bayang-bayang kami memanjang di dinding kulit kayu, bergoyang ditiup angin lembab yang berhembus di tiap celah. Saya membayangkan bayang-bayang itu seperti mambang hutan memanjati pohon-pohon.
“Si David sudah tak mau sekolah,” Pak Dukun menoleh anaknya.
“Kelas berapa kamu, David?”
“Kelas dua SMP, Pak.”
“Sudah dua kali gurunya mencari ke mari, menanyakan kenapa David tak masuk sekolah. Aku tak tahu apo jawabnyo,” jelas Pak Dukun.
David senyum sumringah. Sikap tak mau sekolah itu bukan perkara baru di sini.
“Sekolahlah lagi, David,” bujuk saya. David hanya mengangguk-angguk.
“Dulu minta motor bebek, kemudian ganti motor sport,” gumam Pak Dukun. Tadi di luar memang saya lihat sebuah motor sport bagus parkir di halaman. “Kebetulan ada masa harga sawit baik, bisa saya belikan motor. Pernah juga dapat penambah beli truk dengan menjual sebidang kebun karet. Dulu ada dua truk. Sekarang tinggal satu. Anak saya Doni yang menyopirinya cari muatan, kadang sampai ke Seberida dan Peranap.”
Istri Pak Dukun memberi isyarat bahwa makan malam sudah siap. Pak Dukun mengajak saya bergeser sejarak dua lembar tikar ke arah tungku. Di sana sudah terhidang nasi kemerahan dari beras ladang yang ditumbuk sendiri dengan alu. Kesannya seperti beras pirang. Kata guru saya di SD dulu, beras seperti itu lebih sehat karena kulit ari padi masih melekat, ketimbang beras putih ngecling yang jadi favorit orang kota, sampai ada berita beras diberi zat pemutih segala.
Ada goreng ikan laut, yang kata Pak Dukun biasa dibawa pedagang ikan dari pesisir, entah pesisir barat atau pesisir timur. Yang menggoda saya adalah goreng ikan air tawar seperti gabus dan sepat yang didapat langsung dengan memancing. Atau memasang bubu dan jala malam hari, diangkat pagi. Tak kalah menakjubkan adalah aneka sayuran rebus dan dibuatkan sambal belacan. Mulai daun pucuk ubi, terong, rimbang, kacang panjang, kecipir dan pariya. Semua itu ditanam sendiri oleh Pak Dukun di kebunnya yang tak jauh dari rumah.
Bayangkanlah betapa “mewah”-nya makan malam kami. Nasi dari beras ladang yang ditumbuk sendiri, aneka sayur yang ditanam sendiri dan ikan air tawar yang ditangkap sendiri. Semua sayur saya coba. Sampai akhirnya saya merasakan rasa pahit yang luar biasa. Saya ternyata telah memakan buah pariya. Saya kira pariya sama dengan pare yang banyak di Jawa, ternyata beda.
“Pare lebih panjang dan besar, tidak terlalu pahit,” kata istri Pak Dukun tersenyum. “Pariya paling besar hanya seempu kaki, panjangnya setelunjuk, tapi lebih pahit…”
Mendengar itu, Pak Dukun yang sudah lebih dulu cuci tangan segera menyambut,”Kalau kutahu periya pahit, tidak kumakan sejak semula, kalau kutahu bercinta pahit tidak kucoba sejak semula,” ia berhenti sebentar. “Kalau sampirannya pare, maka jadinya: kalau kutahu kere itu pahit, kupilih kaya sejak semula,” ia lalu tertawa dengan tubuh terguncang-guncang. Kesan seorang dukun yang biasanya “ngeri-ngeri sedap” sirna berkat kreativitas dan keakrabannya menghidupkan suasana.
Pak Dukun mengingatkan saya pada sosok laki-laki Minang atau Melayu yang gemar berpantun. Memang, masyarakat Talang Mamak memiliki tradisi berpantun dan kefasihan berpetatah-petitih. Banyak tunjuk-ajar adat dan ajaran leluhur disampaikan dalam bentuk bidal, pantun berkait dan berbagai metafor.
Pak Dukun mengenal baik alam tempatnya lahir dan tumbuh. Dari Pak Dukunlah saya tahu bahwa kancil, pelanduk dan nafu itu berbeda. Kancil lebih kecil, beratnya sekitar 3-5 kg saja. Telinga dan taringnya lebih panjang dan warnanya kemerahan. Pelanduk lebih besar, bisa mencapai 7-8 kg warnanya agak kelabu. Nafu paling besar, bisa mencapai 10-15 kg, taringnya pendek dan punya bintik-bintik putih di leher.
“Dan yang paling cerdik memang kancil. Kalau kena jerat, ia akan diam tak bergerak, mulutnya penuh lalat. Saat dilepas karena dikira mati, ia segera bangkit berlari,” Pak Dukun terkekeh.
Saya terbayang cerita-cerita kancil yang cerdik dan lucu. Kadang kelucuannya juga dramatis. Misalnya, bagaimana ia menukar dirinya yang terkurung di kandang peladang dengan seekor anjing. Si kancil membujuk anjing peladang untuk masuk dan membiarkan dirinya pergi. Sebab katanya pesta khusus telah menanti. Di atas rumah, Pak Peladang dan Bu Peladang memang sedang sibuk menyiapkan masak besar. Seekor kancil kena jerat dan kini sudah ada di kandang di kolong rumah. Si anjing malang terpikat. Ketika tiba saat memotong, Pak Peladang ternyata telah memotong anjingnya sendiri.
Pak Dukun juga punya kisah dramatis seperti itu. “Adakalanya kancil menggigit kakinya yang kena jerat. Hingga putus. Maklumlah taringnya tajam, dan tungkainya memang kecil,” sebut Pak Dukun tenang, nyaris dingin.
Ia juga menjelaskan beda kura-kura dengan labi-labi, dan beda lagi dengan bulus. “Apalagi dengan penyu, bedanya jauh. Meski di sini ada Kecamatan Pasir Penyu, padahal jauh dari laut…” Pak Dukun terkekeh lagi. Kreatif, pikirku.
Cerita Pak Dukun tentu berangkat dari pengalamannya berhadapan langsung dengan segala makhluk rimba, sungai atau rawa. Kala itu hutan rimba masih jaya di tangan pemilik tanah ulayat. Sungai dan sumber air masih terawat. Sebelum mesin-mesin perusahaan bagai ulat-ulat ganas merenggut dan menggerogoti pusat semesta mereka.
Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian ke dua, dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co