Menu

Menjejak Talang Mamak | Bagian II

Di Rumah Pak Dukun

Rumah Pak Dukun paling besar dibanding semua rumah yang saya lihat saat melewati jalan kampung. Terbuat dari kayu kulim (ulin), bertiang setinggi satu meter, menyisakan kolong nyaman bagi anjing, ayam dan hewan piaraan. Sejenak mengingatkan saya pada rumah panjang Dayak, Balai Malaris, di Loksado, Pegunungan Meratus. 

Rumah itu terbagi dua. Bagian utama saya perkirakan berukuran 12 meter x 9 meter. Berdinding dan berlantai papan, sudah mengenakan jendela-jendela kaca dengan bingkai polos. Atapnya dari seng. Sedangkan bagian kedua berukuran sekitar 8 meter x 5 meter, merupakan bagian dari dapur, berdinding kulit kayu tarab dan beratap daun rumbia. Bahan-bahan kayu, termasuk kulitnya yang tebal dan kuat, diambil dari pohon-pohon terakhir kawasan Rakit Kulim. Belakangan rumah-rumah berganti tembok-beton sebagaimana jamak kita jumpai di kampung-kampung lain.

Di belakang samping kiri terdapat bangunan lumbung yang semuanya berbahan kayu. Kecuali atapnya yang tidak selengkung tanduk kerbau, bentuk bangunan persis lumbung di Minangkabau dengan ukuran mengecil ke bawah, lazim disebut rangkiang. Rangkiang biasanya didirikan di bagian depan rumah gadang, tapi di Talang Mamak berada di samping belakang. Lebih ke belakang lagi dari lumbung, terdapat kandang kambing Pak Dukun yang sesekali terdengar ramai mengembik. 

Padi di lumbung dan ternak di kandang, bukankah cukup bukti untuk menunjukkan kekuatan orang Talang Mamak untuk mandiri?

Begitulah saya mengartikan semua hal yang saya lihat di seputar rumah dan pemukiman Pak Dukun. 

Pak Dukun, laki-laki bertubuh gempal dengan air muka yang akrab. Saya taksir usianya belum 60. Ia tersenyum lebar menyambut kami di pintu rumah bagian dapur. Tiga orang anaknya sepantaran Dita dan Ayu ikut duduk menunggu. Hairil Candra, anak Pak Batin, ikut bergabung. Keakraban segera terasa di antara kami. Persis keakraban yang saya rasakan saat bertemu Pak Batin dan anak-anak Talang Mamak di Hotel Premiere Pekanbaru tempo hari. 

“Beginilah keadaan kami di sini, Pak. Rumah kayu gotong royong, sisa masa lalu,” kata Pak Dukun memperkenalkan “istana”-nya.

“Enak rumah Pak Dukun ini, sejuk,” kata saya tanpa bermaksud berbasa-basi. 

Kami dipersilahkan menaiki anak tangga pendek, dan mendapati ruangan berlantai bambu dialasi bentangan tikar rumbai hasil anyaman sendiri. Selain tikar, perempuan-perempuan Talang Mamak juga pandai menganyam rupa-rupa wadah keseharian mulai bakul, tas, ambung, hingga tempat tembakau-sirih-pinang. 

Rupanya ruangan bagian dapur inilah yang difungsikan tuan rumah untuk menerima setiap tamu. Baik tamu dari jauh maupun orang sekitar yang datang hendak berobat. Saya duduk menyandar ke dinding kulit pohon tarab yang kuat.

“Di tempat bapak duduk nanko, hampir tiap tahun ada orang partai politik ikut duduk. Terakhir bapak gubernur Riau. Semua menjanjikan perubahan,” kata Pak Dukun dengan nada ironis. Saya merasa tergelitik. Ia lalu membuat sirih, dan menyilahkan saya ikut menginang. 

Teringat masa kecil bersama nenek, saya pun mencoba melipat sesirih pinang. Sebenarnya saya ingin sambil bertanya siapa nama Pak Dukun, tapi entah kenapa saya rasa belum saatnya, atau mungkin tak perlu. Sebab dengan panggilan “Pak Dukun” saja  sudah cukup mewakili segala hal tentang dirinya.

Sesuai namanya, Pak Dukun berperan mengobati orang sakit dengan menggunakan ramuan daun-daunan: si tawar sidingin dan pucuk kumpai serta tanaman hutan. Namun untuk memetik atau mencarinya, termasuk menyiapkan perlengkapan badukun, Pak Dukun dibantu para bantara. Sepasang bantara laki-laki dan sepasang bantara perempuan. 

Dukun memang menjadi bagian penting dari struktur masyarakat adat Talang Mamak, selain batin dan balian atau lazim disebut kumantan. Kalau Pak Batin berperan sebagai katuha atau pemimpin adat, maka dukun dan balian sama-sama mengobati penyakit dan memimpin ritual. Bedanya, dukun lebih menangani hal-hal tak kasat mata, seperti ilmu gaib, gangguan roh atau menjinakkan harimau. Sedangkan balian mengobati penyakit fisik seperti luka atau patah tulang. 

“Istilahnya, kumantan untuk berobat tangga di atas, dukun tangga di bawah,” jelas Pak Dukun. Karena itulah, di ruangan tempat kami duduk, ada sebuah bilik kecil berdinding kulit kayu tempat menyimpan benda-benda keramat milik Pak Dukun.

“Dulu, ketika hutan kami masih ada, harimau yang tersesat masuk kampung atau mengganggu orang berhuma, tugas aku mengurus,” kata Pak Dukun dengan bahasa Minangkabau campur bahasa Melayu, namun dengan logat yang khas. 

Sebagaimana bahasanya yang khas, orang Talang Mamak juga punya hubungan khas dengan si raja hutan. Mereka tidak saling bermusuhan. Tak ada harimau yang dibunuh, tak ada manusia yang terbunuh. Justru itulah peran sentral Pak Dukun; menjinakkan harimau dengan semangat persahabatan. Hal ini mengingatkan saya pada cerita-cerita masa kecil dulu di kampung, yakni tentang manusia harimau atau cendaku, harimau jadi-jadian. Ia akan beraksi bila ada tindak kejahatan di kampung. Tapi di kampungku, pantai barat Sumatera, cendaku dipercaya berasal dari pedalaman Jambi. 

“Sebenarnya, cendaku itu merujuk Sungai Batang Cenaku, daerah pemukiman Talang Mamak arah perbatasan Jambi. Masyarakatnya memang akrab dengan harimau, habitat asli Bukit Tiga Puluh,” saya teringat cerita Sanak Andiko Sutan Mancayo kemarin di Pekanbaru.   

“Segalanya Berantakan”

Peran sentral dukun sebagai penetralisir jagad kosmos dan jagad hayati, membuat keberadaannya sangat dihormati. Apalagi dukun merupakan jabatan turun-temurun dengan ilmu warisan yang tidak semua keluarga memilikinya. Meski tentu mutlak legitimasi adat dan masyarakat. Karenanya, meski Pak Dukun mewarisi profesi dukun dari sang ayah dan ayahnya dari kakeknya dan begitu seterusnya, tapi harus ditahbiskan lewat upacara khusus. 

“Saya ini orang tidak sekolah. Kebanyakan kami di sini begitulah adanya. Mungkin karena itu perusahaan sawit bersilintas angan kepada kami. Semua hutan tempat kami berhuma, bahkan ladang karet kami, habis diambil perusahaan dan ditanami sawit. Atas nama HGU,” Pak Dukun menerawang. 

HGU adalah Hak Guna Usaha, izin konsesi pengolahan lahan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan kelapa sawit. Semacam HPH (Hak Penguasaan Hutan)  pada masa Orde Baru yang menghabiskan jutaan hektar hutan dari Sumatera hingga Papua. Hal sama terulang lewat HGU. Berkat surat sakti itu, sejumlah perusahaan perkebunan besar milik swasta bersimaharajalela membuka kebun tanpa batas. Keanekaragaman hayati di planet bumi mereka buat homogen dengan satu jenis tanaman saja.  

Pak Dukun menyepuh mulutnya dengan punggung tangan, mulut yang terpercik air sirih. Ia kemudian mengganti sirih dengan menyulut sebatang rokok. Setelah isapan pertama, sembari menghembuskan asap tipis di udara, ia mulai menceritakan nasibnya sendiri berhadapan dengan pemegang HGU. 

“Kebun karet saya habis dibabat perusahaan,” katanya dengan nada tertahan.

Sebanyak empat hektar kebun karet Pak Dukun ludes nyaris dalam sehari ditebangi mesin-mesin raksasa perusahaan. Ia yang hari itu tidak ke kebun, diberi tahu oleh peladang lain, dan saat bergegas datang dia hanya menemui batang-batang karet kesayangannya sudah rebah terhumbalang. 

“Itu ditebangi tanpa ganti rugi, Pak?” saya bertanya polos.

“Macam mano nak ganti rugi, izin pun dio tidak, Pak,” kata Pak Dukun seolah tersedak. “Karena aku marah, besoknya aku dipanggil ke kantor perusahaan dan diberi uang empat juta. Kalau itu ganti rugi, ya, rugi aku, Pak!”

Pak Dukun mengaku tak tahu dari mana perusahaan itu muncul, tahu-tahu sudah menerabas hutan di sekitar Talang Sungai Limau, Talang Sungai Parit dan kampung-kampung sekitar. Mulanya perusahaan membuka kebun di kawasan Seberida yang masih jauh dari Talang Parit. Tapi pelan dan pasti merangsek ke kawasan Rakit Kulim. Padahal jika dilihat di peta Indragiri Hulu, Rakit Kulim terletak di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Tapi entah bagaimana ceritanya kebun sawit milik sejumlah perusahaan leluasa membuka lahan di kawasan yang dilindungi. Ini mengingatkan saya pada Taman Nasional Tessa Nilo di Pelalawan yang juga beririsan dengan hutan tanaman industri. 

Anak-anak seusia Dita dan Ayu lebih tak mengerti perubahan alam mereka. Dalam separoh usia mereka, tiba-tiba mereka telah menjumpai saja sawit tumbuh di mana-mana.

“Dulu kami tinggal di Sungai Ekok,” Ayu menyela. “Ayah berladang karet dan membuka huma berladang padi. Pohon-pohon kulim, tarab, sialang, pulai hingga enau dan nibung rapat mengepung kampung. Sungai juga jernih, banyak ikannya. Ada sebuah danau kecil di sana, selalu berair sepanjang musim,” mata Ayu berbinar-binar menuturkan cerita dalam bahasa yang indah. Pasti ia terbayang masa kecilnya yang tak kalah indah. 

Tapi kemudian mata Ayu berubah memendam amarah. Suatu hari sepulang sekolah, katanya, ia lihat hutan di sekitar kampungnya habis ditebangi. Ia melihat ayahnya panik. Dan ibunya menangis di sudut rumah. Ayu yang lelah berjalan kaki dari sekolah hanya diam memeluk ibunya, tidak mengerti apa yang terjadi. Ia pikir, besok ayahnya masih bisa menyadap karet, dan ibunya menggara burung-burung di huma.

Untuk beberapa hari ke depan, ayah dan ibunya, sebagaimana keluarga peladang lain, memang masih bisa bekerja di lahan mereka. Tapi setelah beberapa waktu segalanya berubah. Air mulai keruh, lantas mengering. Hutan berganti hamparan tanah terbuka dan segera ditanami anakan sawit. Cuaca terasa panas. Hidup setiap keluarga menjadi sulit. Seolah tak ada lagi masa depan. 

“Untunglah kami masih punya lahan di Talang Parit sini. Ayah mengajak kami pindah, dan tinggallah ladang kenangan kami, dirajam sawit,” mata Ayu kini berkaca-kaca. Kami semua hening sejenak.    

“Segalanya rusak, Pak!” suara Pak Dukun menyentak kami. Seketika saya teringat novel pascakolonial Chinua Achebe, Segalanya Berantakan. Apa yang dialami orang Ibo di Afrika, sebagaimana diceritakan Chinua, juga dialami orang Talang Mamak di Sumatera sebagaimana diceritakan Pak Dukun dan Ayu. 

“Hidup kami jadi susah,” Pak Dukun mulai lagi. “Banyak warga kami sudah tak punya lahan. Ada yang diambil perusahaan, atau tak ada lagi hutan yang hendak dibuka. Sebagian terpaksa menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.”

Pak Dukun menggambarkan keterpaksaan itu lewat sosok perempuan-perempuan perkasa Talang Mamak. Mereka terpaksa harus ikut mendodos ke kebun PTPN. Padahal upahnya tak masuk akal. Bayangkan, sekarung goni besar buah sawit hanya dihargai Rp. 6000. “Untuk dapat uang Rp. 30.000 sehari berapa goni kami nak dodos?”ucapan Pak Dukun itu bergema di rongga telinga saya. 

Mendodos adalah proses menjuluk buah sawit dengan galah besi. Jika tidak pandai, buah sawit bisa-bisa jatuh menimpa si tukang dodos. Masih untung kalau pohon sawitnya masih rendah. Kelapa sawit PTPN V yang ditanam sejak tahun 1991 itu sudah terbilang tua sehingga pohon-pohonnya tinggi. Kesulitan itu dihadapi orang Talang Mamak yang tak punya pilihan. Tak terkecuali para perempuannya. Seorang di antaranya adalah perempuan remaja yang ikut kelas latihan menulis dengan Pinto Anugrah. 

Pak Dukun boleh dikatakan cukup beruntung. Sebagai tokoh masyarakat, ia akhirnya ditawari bekerja di salah satu perusahaan perkebunan sebagai tenaga security. Ia mengaku terpaksa menerimanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun itu pun hanya status kontrak, karena untuk bekerja tetap harus ada ijazah. Sementara Pak Dukun, jangankan ijazah, baca tulis saja susah. Sampai suatu hari, sebagai security ia sempat melihat peta HGU perusahaan. Ia melihat ada bagian ditandai warna hijau, dan ia bertanya kepada rekannya yang paham apa maksudnya.

“Itu ternyata kawasan yang diperuntukkan buat masyarakat, kebun plasma. Namun itu sering tidak dipatuhi perusahaan. Mereka tetap menanam kawasan itu, dan jika tak ada gugatan, maka warna hijau itu bisa saja lanjut dikuasai perusahaan.”

Melihat itu, Pak Dukun berpikir, kalau begitu aku harus menguasai lahan itu sebelum didiamkan, tekadnya. Maka ia kumpulkan beberapa orang kampung, lalu lahan itu mereka kuasai. Setiap karyawan perkebunan masuk mereka usir dan lawan. Lahan yang baru ditanami sawit itu lalu mereka bagi-bagi. Luas totalnya ada 16 hektar. 

“Itu cara saya melawan, Pak, karena itu hak kami,” kata Pak Dukun berani.

Saat bercerita demikian, Pak Batin Irasan datang. Rumahnya hanya bersebelahan dengan rumah Pak Dukun, sebuah rumah semi permanen yang lebih kecil. Dia hanya menengok kami sebentar, kemudian pamit dan berjanji akan datang lagi nanti malam. Seiring dengan itu, Pinto dan sopir kami pun pamit ke Air Molek. Diikuti Ayu, Dita dan Hairil yang juga pamit. Tinggallah saya bersama Pak Dukun dan keluarganya.

Di luar, gelap mulai menyungkup perkampungan. Serangga malam mulai mengatur konser dengan nada kodratinya masing-masing. Ramai yang terasa senyap. 

“Mengaji” di Rumah Pak Dukun

Istri Pak Dukun sudah menyalakan lampu teplok yang terbuat dari kaleng minuman ringan. Ia berseru meminta David, anak lelaki bungsunya, untuk membawakan lampu itu ke hadapan saya dan Pak Dukun yang masih duduk berhadap-hadapan. Selintas persis orang sedang mengaji. Saya yang dimasa kecil duduk menghadap guru dengan lidi di tangan, kini menghadap seseorang yang juga tak ubahnya seorang guru dengan rokok di jari. Ia beri saya tunjuk-ajar, cerita dan falsafah nenek moyang. 

Sebuah bola listrik sebenarnya menyala cukup terang di ruang dapur, dan sebuah lagi di tengah rumah, tapi lampu minyak buatan ini tetap sengaja dinyalakan.

“Listrik sering mati. Lebih baik sedia pelita sebelum gelap,” kata Pak Dukun sambil menerima lampu teplok yang diulurkan David.

“Masih gampang dapat minyak tanah di sini, Pak?” tanya saya, sambil mengingat kehidupan di kampung dulu. Listrik baru masuk kampung saya ketika saya sudah SMA. Sebelumnya, sejak terpancar ke dunia, keluarga saya dan keluarga lain di kampung memakai lampu teplok minyak tanah yang  dibuat dari kaleng-kaleng bekas. Hanya surau dan lapau yang punya lampu stronkeng, menguapkan aroma spirtus, dan setiap kali dipompa akan bertambah terang berdengking.

“Ini pakai solar. Aman. Jangan pakai bensin, apinya bisa menjalar.”

Untuk pertama kali saya tahu bahwa solar juga bisa dijadikan bahan bakar lampu teplok. Saya kira karena Riau kaya minyak, dan pusat tambangnya tak jauh dari sini, akan gampang dapat minyak tanah. Padahal, saya sadar kemudian, untuk mendapat bahan bakar solar pun masyarakat Riau masih sering antri di POM, sebagaimana saya lihat sepanjang jalan Lintas Sumatera. Segala macam jenis minyak lebih gampang didapatkan di Ibukota, pusat kekuasaan, ketimbang di daerah yang menjadi pusat tambang dan basis kedaulatan.

David ikut duduk bersama kami. Bayang-bayang kami memanjang di dinding kulit kayu, bergoyang ditiup angin lembab yang berhembus di tiap celah. Saya membayangkan bayang-bayang itu seperti mambang hutan memanjati pohon-pohon.

“Si David sudah tak mau sekolah,” Pak Dukun menoleh anaknya. 

“Kelas berapa kamu, David?”

“Kelas dua SMP, Pak.”

“Sudah dua kali gurunya mencari ke mari, menanyakan kenapa David tak masuk sekolah. Aku tak tahu apo jawabnyo,” jelas Pak Dukun.

David senyum sumringah. Sikap tak mau sekolah itu bukan perkara baru di sini. 

“Sekolahlah lagi, David,” bujuk saya. David hanya mengangguk-angguk.

“Dulu minta motor bebek, kemudian ganti motor sport,” gumam Pak Dukun. Tadi di luar memang saya lihat sebuah motor sport bagus parkir di halaman. “Kebetulan ada masa harga sawit baik, bisa saya belikan motor. Pernah juga dapat penambah beli truk dengan menjual sebidang kebun karet. Dulu ada dua truk. Sekarang tinggal satu. Anak saya Doni yang menyopirinya cari muatan, kadang sampai ke Seberida dan Peranap.”

Istri Pak Dukun memberi isyarat bahwa makan malam sudah siap. Pak Dukun mengajak saya bergeser sejarak dua lembar tikar ke arah tungku. Di sana sudah terhidang nasi kemerahan dari beras ladang yang ditumbuk sendiri dengan alu. Kesannya seperti beras pirang. Kata guru saya di SD dulu, beras seperti itu lebih sehat karena kulit ari padi masih melekat, ketimbang beras putih ngecling yang jadi favorit orang kota, sampai ada berita beras diberi zat pemutih segala. 

Ada goreng ikan laut, yang kata Pak Dukun biasa dibawa pedagang ikan dari pesisir, entah pesisir barat atau pesisir timur. Yang menggoda saya adalah goreng ikan air tawar seperti gabus dan sepat yang didapat langsung dengan memancing. Atau memasang bubu dan jala malam hari, diangkat pagi. Tak kalah menakjubkan adalah aneka sayuran rebus dan dibuatkan sambal belacan. Mulai daun pucuk ubi, terong, rimbang, kacang panjang, kecipir dan pariya. Semua itu ditanam sendiri oleh Pak Dukun di kebunnya yang tak jauh dari rumah. 

Bayangkanlah betapa “mewah”-nya makan malam kami. Nasi dari beras ladang yang ditumbuk sendiri, aneka sayur yang ditanam sendiri dan ikan air tawar yang ditangkap sendiri. Semua sayur saya coba. Sampai akhirnya saya merasakan rasa pahit yang luar biasa. Saya ternyata telah memakan buah pariya. Saya kira pariya sama dengan pare yang banyak di Jawa, ternyata beda.

“Pare lebih panjang dan besar, tidak terlalu pahit,” kata istri Pak Dukun tersenyum. “Pariya paling besar hanya seempu kaki, panjangnya setelunjuk, tapi lebih pahit…”

Mendengar itu, Pak Dukun yang sudah lebih dulu cuci tangan segera menyambut,”Kalau kutahu periya pahit, tidak kumakan sejak semula, kalau kutahu bercinta pahit tidak kucoba sejak semula,” ia berhenti sebentar. “Kalau sampirannya pare, maka jadinya: kalau kutahu kere itu pahit, kupilih kaya sejak semula,” ia lalu tertawa dengan tubuh terguncang-guncang. Kesan seorang dukun yang biasanya “ngeri-ngeri sedap” sirna berkat kreativitas dan keakrabannya menghidupkan suasana.

Pak Dukun mengingatkan saya pada sosok laki-laki Minang atau Melayu yang gemar berpantun. Memang, masyarakat Talang Mamak memiliki tradisi berpantun dan kefasihan berpetatah-petitih. Banyak tunjuk-ajar adat dan ajaran leluhur disampaikan dalam bentuk bidal, pantun berkait dan berbagai metafor. 

Pak Dukun mengenal baik alam tempatnya lahir dan tumbuh. Dari Pak Dukunlah saya tahu bahwa kancil, pelanduk dan nafu itu berbeda. Kancil lebih kecil, beratnya sekitar 3-5 kg saja. Telinga dan taringnya lebih panjang dan warnanya kemerahan. Pelanduk lebih besar, bisa mencapai 7-8 kg warnanya agak kelabu. Nafu paling besar, bisa mencapai 10-15 kg, taringnya pendek dan punya bintik-bintik putih di leher. 

“Dan yang paling cerdik memang kancil. Kalau kena jerat, ia akan diam tak bergerak, mulutnya penuh lalat. Saat dilepas karena dikira mati, ia segera bangkit berlari,” Pak Dukun terkekeh. 

Saya terbayang cerita-cerita kancil yang cerdik dan lucu. Kadang kelucuannya juga dramatis. Misalnya, bagaimana ia menukar dirinya yang terkurung di kandang peladang dengan seekor anjing. Si kancil membujuk anjing peladang untuk masuk dan membiarkan dirinya pergi. Sebab katanya pesta khusus telah menanti. Di atas rumah, Pak Peladang dan Bu Peladang memang sedang sibuk menyiapkan masak besar. Seekor kancil kena jerat dan kini sudah ada di kandang di kolong rumah. Si anjing malang terpikat. Ketika tiba saat memotong, Pak Peladang ternyata telah memotong anjingnya sendiri. 

Pak Dukun juga punya kisah dramatis seperti itu. “Adakalanya kancil menggigit kakinya yang kena jerat. Hingga putus. Maklumlah taringnya tajam, dan tungkainya memang kecil,” sebut Pak Dukun tenang, nyaris dingin. 

Ia juga menjelaskan beda kura-kura dengan labi-labi, dan beda lagi dengan bulus. “Apalagi dengan penyu, bedanya jauh. Meski di sini ada Kecamatan Pasir Penyu, padahal jauh dari laut…” Pak Dukun terkekeh lagi. Kreatif, pikirku.

Cerita Pak Dukun tentu berangkat dari pengalamannya berhadapan langsung dengan segala makhluk rimba, sungai atau rawa. Kala itu hutan rimba masih jaya di tangan pemilik tanah ulayat. Sungai dan sumber air masih terawat. Sebelum mesin-mesin perusahaan bagai ulat-ulat ganas merenggut dan menggerogoti pusat semesta mereka. 


Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian ke dua, dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co

0
245
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.