Author Archives: Mohammad Sirojul Akbar
Masyarakat Desa merupakan masyarakat yang masih erat ngugemi (berpegang teguh pada) tradisi dan budaya yang turun-temurun dari leluhurnya. Karena pada setiap tradisi dan budaya terdapat nilai-nilai dan pelajaran yang dapat menuntun manusia menuju jalan ketenangan atau slamet. Tradisi dan budaya tersebut banyak bentuknya dan setiap daerah memiliki tradisi dan budayanya masing-masing. Salah satu bentuknya adalah tradisi jamasan.
Jamasan/Jamas merupakan upacara menyucikan, membasuh, merawat serta memelihara benda-benda pusaka, bertuah atau keramat. Biasanya, benda-benda tersebut berupa keris, tombak, gamelan, kereta kencana dan benda lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh bagi dirinya atau masyarakat. Jamasan umumnya dilaksanakan di waktu-waktu yang dianggap sakral bagi masyarakat setempat, seperti bulan Suro dalam penanggalan Jawa atau Muharam dalam penanggalan Islam. Tujuan dari Jamasan adalah menjalin ikatan batin antara pemilik pusaka dengan benda pusaka. Selain itu juga sebagai bentuk rasa syukur dan nguri-nguri warisan adiluhung para leluhur agar tetap terawat dan ter-ruwat.
Jamas sendiri dalam bahasa Jawa berarti “keramas”. Maksudnya, jamasan adalah kegiatan membersihkan benda yang dianggap mempunyai kedudukan tinggi, sebagaimana keramas pada kepala. Jika jamasan pada umumnya membersihkan benda pusaka, berbeda dengan Jamasan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Jajar. Apa yang membedakannya yaitu jamasan di Desa Jajar, dalam pelaksanaannya, bukan men-jamasbenda pusaka atau keramat, melainkan men-jamas diri sendiri.
Jamasan ini dilakukan setiap menjelang bulan suci Ramadhan. Tradisi ini sudah turun-temurun dari para pendahulu. Pada saat menjelang bulan Ramadhan, setiap orang dianjurkan untuk melaksakan mandi jamas. Karena memasuki bulan yang suci, maka manusia haruslah mensucikan diri pula. Suci di sini selain dimaknai sebagai suci jasmani, juga dimaksudkan untuk mensucikan rohani dari hal-hal yang sudah mengotori jiwa. Tradisi ini mirip dengan tradisi mandi merang di daerah Betawi atau tradisi padusan di daerah Jawa Tengah, yang tujuannya sama, yaitu untuk menyucikan diri dalam rangka menyambut bulan yang suci.
Proses Jamasan
Jika tradisi padusan dan mandi merang biasanya dilakukan di sumber air atau sendang, tradisi jamasan di Desa Jajar dilaksanakan di Jeding Wanatirta, sebuah kamar mandi umum yang ada di Desa Jajar sejak dekade 70-80-an. Kata “jeding” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti kamar mandi; dan “Wanatirta” berasal dari dua kata, yaitu “wana” yang berarti hutan dan “tirta” yang berarti sumber air. Maksudnya sebutan Jeding Wanatirta adalah kamar mandi yang berada di hutan, karena memang letaknya yang berada di alas/hutan.
Jeding Wanatirta ini berukuran cukup luas, hingga muat 10 orang lebih. Konon, dulunya tidak semua rumah mempunyai kamar mandi, sehingga aktivitas mandi harus dilakukan di sumber atau sumur-sumur umum, yang kemudian pada dekade 70-80-an dibangun kamar mandi umum untuk memudahkan kebutuhan masyarakat. Selain itu, penggunaan Jeding Wanatirta sebagai ritual jamasan adalah karena di desa Jajar tidak ada sendang atau kolam yang cukup luas untuk ritual tersebut.
Dalam melakukan ritual jamasan, ada beberapa piranti yang diperlukan. Pertama adalah kendil yang dihias oleh janur (daun kelapa) secara melingkar. Kendil adalah wadah air yang terbuat dari tanah liat. Mengingat Jamasan ini sudah dilakukan secara turun menurun, dulu masyarakat masih menggunakan kendil untuk menyimpan/membawa air. Maka dari itu untuk menjaga kemurnian dan sakralitas tradisi, masih dipergunakanlah kendil untuk membawa air dalam ritual Jamasan. Selain itu penggunaan kendi dalam jamasan juga dalam rangka merawat eksistensi kendil sebagai alat wadah air pada masa lampau.
Kata janur sendiri sangat melekat dengan budaya Jawa. Janur dalam kepercayaan masyarakat Jawa bermakna “sejatining nur” atau cahaya yang sejati. Bisa juga berarti “jaa`a nuur” dalam bahasa Arab yang berarti datangnya cahaya. Dalam konteks ini Jamasan diharapkan dapat memberikan cahaya, penerangan dan pencerahan bagi para pelaku jamasan dalam menjalani puasa pada bulan ramadhan kelak.
Dalam kendil tersebut berisi landha. Landha adalah rendaman air merang (bekas tangkai padi yang sudah kering) yang telah dibakar. Landha tersebut yang kemudian digunakan untuk keramas. Penggunaan landhauntuk keramas sudah berlangsung dari zaman nenek moyang, mengingat zaman dahulu belum ada sampo dan sabun. Khasiat dari landha atau rendaman merang ini adalah menghitamkan rambut, mengurangi minyak dan ketombe. Hal itu juga menunjukkan bahwa pembersihan diri, termasuk perawatan rambut, sudah terkonsep sejak dahulu.
Pada umumnya, pengikut ritual mandi Jamas adalah perempuan, betapa pun sebenarnya mandi Jamas diperuntukkan bagi semua kalangan. Namun, dalam hal ritual, perempuan lebih utama, karena perempuan dianggap lebih khusyuk dalam menjalankan ibadah. Perempuan tersebut berjumlah sembilan atau ganjil, dengan memakai kemben serta membawa gayung dan kendi berisi rendaman landha.
Sebelum melaksanakan ritual inti, para penjamas terlebih dahulu bersimpuh dan menengadahkan tangan sembari berdoa di depan jeding sebagai bentuk kulo nuwun kepada para penunggu. Hal itu tidak dimaksudkan sebagai penyembahan, melainkan bentuk solidaritas manusia dengan yang lain (makhluk halus) sebagai sesama makhluk yang menghuni daerah tersebut. Selaras dengan apa yang diajarkan dalam Islam bahwa ketika memasuki kamar mandi dianjurkan membaca doa.
Usai memanjatkan doa-doa, para penjamas tersebut memasuki Jeding Wanatirta dengan berurutan. Kemudian mereka mengalirkan air merang yang ada dalam kendil tersebut ke rambut yang digunakan untuk keramas dengan menggosok-gosokkannya layaknya keramas. Sekiranya sudah cukup menggosokkan air merang ke rambut, selanjutnya para penjamas membasuh rambutnya dengan mengalirkan air bersih dari Jeding Wanatirta. Selain membersihkan rambut, para penjamas juga mengalirkannya ke seluruh tubuh. Proses pembasuhan tersebut dimulai dari yang paling atas menuju ke bawah, sembari melantunkan salawat. Setelah seluruh tubuh dibasuh, para penjamas tersebut keluar dari jeding secara berurutan dengan tetap melantunkan salawat yang menandai bahwa ritual telah selesai.
Ritual jamasan ini merupakan bentuk penyucian dan pembersihan diri sebelum memasuki bulan Ramadhan atau pasa (dibaca: poso) dalam kalender Jawa. Pada dasarnya manusia tidak luput dari dosa dan kesalahan. Maka dari itu perlu yang namanya menjamas diri. Secara tidak langsung, ritual jamasan juga memberikan pelajaran tentang penghargaan pada diri, bahwa manusia adalah pusaka itu sendiri. Sebagaimana pusaka, manusia jika tidak di-jamas juga akan hilang kekeramatannya.
Tradisi jamasan di desa Jajar merupakan bentuk akulturasi nilai-nilai Islam dan Jawa dalam bingkai budaya lokal yang masih dilestarikan sampai saat ini. Di masa modern ini, tradisi hampir punah digerus oleh kecanggihan teknologi yang mengakibatkan masyarakat tidak lagi percaya akan adanya tradisi. Maka dari itu, perlulah generasi muda untuk memberi perhatian terhadap budaya dan tradisi setempat. Karena generasi muda lah yang akan menggantikan generasi sebelumnya kelak, yang akan tetap membawa dan melanjutkan khazanah tradisi dan budaya masyarakat setempat.
Pedukuhan/dukuh merupakan bagian dari desa. Mungkin beberapa daerah menganggap sama antara dusun dan dukuh, lebih tepatnya menggantikan istilah dukuh dengan dusun pada masa Orde Baru. Walaupun di beberapa daerah ada yang masih menggunakan istilah dukuh, tetapi yang termasuk dalam struktur pemerintahan desa saat ini adalah dusun, dibuktikan dengan adanya kepala dusun yang dibawahi oleh kepala desa dalam struktur pemerintahan desa.
Definisi dusun sendiri menurut UU No. 6 tahun 2014 pasal 8 ayat 4 berbunyi, “Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa”. Definisi tersebut menurut saya sama seperti definisi dukuh, di mana sama-sama bagian dari desa dan pemberian namanya berdasarkan dengan khazanah lokalitasnya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa istilah dusun dan dukuh memiliki pengertian dan kedudukan yang sama. Hal yang membedakannya adalah istilah dusun digunakan secara resmi dalam struktur pemerintahan desa, sedang dukuh adalah nama lain dusun yang masih berlaku di masyarakat.
Desa Jajar, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek sendiri memiliki 3 dusun, yaitu Krajan, Kebon dan Belik. Namun, betapapun secara administratif hanya ada tiga dusun, masyarakat masih mengugemi istilah dukuh untuk menyebutkan lingkungan masyarakat. Sekilas, mungkin itu hanya penyebutan istilah dusun dengan dukuh, tapi sebenarnya tidak sesederhana itu. Masyarakat Jajar masih mengugemi dukuh untuk menyebutkan lingkungan yang berjumlah setidaknya 10 wilayah—bisa jadi lebih dari itu. Berarti setidaknya ada 10 wilayah pedukuhan yang ada di desa Jajar. Lantas, apa yang membedakan antara dusun dan dukuh di desa Jajar, jika keduanya pun sudah berbeda jumlahnya.
Saya tidak tahu bagaimana pastinya, tetapi saya pernah mempertanyakan itu kepada kepala desa atau lurah desa Jajar. Penjelasannya kurang lebih bahwa 3 dusun tersebut merupakan hasil penyatuan yang baru atas 10 wilayah dukuh—atau lebih—yang sudah ada sebelumnya agar lebih ringkas. Tentunya ringkas di sini adalah ringkas dalam struktur pemerintahan desa, bukan meniadakan eksistensi dan penyebutannya dalam masyarakat. Karena asumsi saya, mungkin akan tambah rumit jika dalam struktur pemerintahan desa terdapat 10 kepala dusun. Sehingga diringkaslah menjadi 3 dusun yang masing-masing dipimpin oleh kepala dusun. Lantas bagaimana status 10 wilayah yang sudah ada sebelumnya?
Sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas, bahwa masyarakat Jajar masih mengugemi ada 10 wilayah—atau lebih—untuk menyebutkan suatu lingkungan masyarakat. Dan sebagaimana istilah ‘dukuh’ sebagai penyebutan wilayah lebih dahulu daripada istilah ‘dusun’, maka masyarakat menggunakan istilah dukuh untuk menyebut wilayah yang berjumlah sepuluh tersebut, sebagai pembeda dengan istilah dusun yang berjumlah tiga. Nama-nama dukuh tersebut yaitu: Trobasan, Karang, Kebon, Nglumpang, Ngasinan, Ngelo, Krajan, Ngepoh, Klatak dan Belik. Sepuluh dukuh tersebut berdasarkan apa yang pernah saya tanyakan kepada perangkat dan masyarakat desa Jajar.
Masing-masing dukuh tersebut dikelompokkan dalam 3 dusun. Dukuh Trobasan, Karang, Kebon dan Nglumpang masuk dalam wilayah dusun Kebon; dukuh Klatak, Ngepoh, Ngelo dan Ngasinan yang masuk dalam wilayah dusun Krajan; dan dukuh Belik masuk wilayah dusun dengan nama yang sama, Belik. Adapun juga yang menambahkan dua dukuh lainnya, seperti dukuh Centong dan Tretes — atau mungkin ada lagi — tapi sebagian pendapat mengatakan itu bukan termasuk dukuh. Benar salahnya mungkin akan saya klarifikasi lain waktu. Yang pasti, di desa Jajar istilah dusun dan dukuh tidaklah sama dalam penyebutannya.
Masyarakat Jajar lebih sering menyebutkan dukuh yang berjumlah sepuluh tersebut untuk menyebutkan wilayah lingkungan masyarakat. Karena penyebutan wilayah berjumlah 10 dukuh tersebut lebih dahulu melekat dalam masyarakat, serta skala wilayahnya yang kecil memudahkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan memobilisasi warga. Selain itu juga tiga nama dusun tersebut masih berasal dari nama wilayah dukuh. Toh, seandainya pembagian tiga dusun itu tidak ada, masyarakat akan tetap bisa mengenali lingkungan masyarakat melalui dukuh-dukuh yang memang sudah ada jauh sebelumnya. Sedangkan penyebutan dusun hanya sebatas dalam struktur administrasi desa, berhubungan dengan mungkin pendataan, pembuatan KTP, atau hal-hal yang berkaitan dengan sistem administrasi desa. Jadi, di desa Jajar pembedaan istilah dusun dengan dukuh merujuk pada konteks sebutan wilayah administratif dengan wilayah kultural.
Luas wilayah dukuh tentunya berbeda-beda, dan saya pribadi tidak tahu apa yang menjadi pembatas antar dukuh. Namun yang pasti dalam satu wilayah dukuh, terdapat beberapa RT, yang memungkinkan dengan itu bisa mengetahui batasan tiap-tiap dukuh. Tapi itu juga masih belum pasti, karena ada beberapa RT yang berada di dua dukuh sekaligus. Hal demikian memang tidak bisa dipungkiri, karena keberadaan RT/RW memang baru pada masa Orde Baru — meskipun secara konsep sudah ada sejak pendudukan Jepang melalui Tonarigumi dan Azazyookai — dan memungkinkan akan terus berkembang ke depannya. Mungkin, masyarakat Jajar sendiri yang tahu dan mempunyai konsensus akan batas-batas antar dukuh yang sudah berlangsung sejak lama itu.
Penggunaan dukuh dalam penyebutan lingkungan masyarakat di desa Jajar memang sudah biasa dan selayaknya patut diapresiasi. Karena dengan itu, masyarakat, secara sadar maupun tidak sadar, turut melestarikan peninggalan adiluhung dari para pendahulunya. Sebuah wilayah pedukuhan diberi nama bukan tanpa sebab. Pasti ada yang melatarbelakangi dari pemberian nama masing-masing dukuh tersebut. Bisa jadi, dulunya, di dukuh tersebut terdapat sebuah batu atau pohon, atau sesuatu yang menjadikan nama dukuh itu ada. Hal itu yang akan menjadi khazanah pengetahuan tentang ‘ke-desa-an’ bagi masyarakat setempat. Namun, pengetahuan tentang pedukuhan tersebut akan lenyap dan terputus dari generasi selanjutnya, jika sudah jarang orang menggunakannya sebagai ‘bahasa masyarakat’. Maka dari itu perlu adanya pangeling-eling akan eksistensi sebuah pedukuhan.
Konsep pangeling-eling tersebut beragam bentuknya. Di desa Jajar, konsep pengeling-eling berupa sebuah plang pedukuhan. Plang tersebut sederhana, terbuat dari kayu yang kemudian di-cat warna hijau dengan ditulisi nama dukuh beserta dalam aksara Jawa-nya. Konsep tersebut mirip dengan plang-plang nama jalan yang berada di Malioboro. Konsep plang pedukuhan tersebut merupakan peninggalan mahasiswa KKN UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 2022, mengingat bahwa perlu adanya revitalisasi menyoal pedukuhan yang masih dan harus lestari.
Selain itu, adanya pangeling-eling pedukuhan juga akan memantik kembali ingatan-ingatan generasi sepuh masyarakat Jajar terhadap pedukuhan dan diturunkan kepada generasi selanjutnya. Dan begitu pula sebaliknya, agar memacu generasi muda untuk mengenali konsep pedukuhan yang sudah turun-temurun dari para pendahulunya sebagai khazanah pengetahuan desa. Jelas, konsep pedukuhan adalah warisan berharga yang masih dimiliki desa Jajar dan akan terus dimiliki sampai ke depannya, sejauh masyarakat Jajar masih mengugeminya sebagai bahasa masyarakat.
Tempo bulan lalu, saya melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) bertajuk “Membangun Desa Berkelanjutan” yang bertempat di desa Jajar, Gandusari, Trenggalek, yang berlangsung selama 6 bulan. Salah satu program dari KKN tersebut adalah menarasikan cerita tutur sejarah desa dalam sebuah tulisan/buku. Hal itu tentunya berkaitan dengan urgensi menarasikan sejarah desa dalam bentuk teks. Karena di zaman modern ini, pengetahuan akan sejarah desa mulai luntur, beriringan dengan para sesepuh sebagai “penutur” cerita sejarah desa yang tidak sedikit sudah tutup usia. Maka, cerita lisan sejarah desa perlu dinarasikan dalam bentuk tulisan sebagai bentuk pendokumentasian sejarah desa, agar pengetahuan tentang sejarah desa tetap bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya. Tentunya selain sebagai pengingat, juga sebagai penguat identitas dan jati diri masyarakat desa tersebut.
Lantas saya bersama teman-teman KKN mulai menghimpun cerita demi cerita dari masyarakat desa Jajar. Dan akhirnya kami berhasil menarasikannya dalam sebuah buku dengan judul “Jajar Gumregah: Sejarah, Potensi Desa dan Kearifan lokal”. Itu adalah pengalaman pertama saya menulis tentang desa. Dari situ saya mulai tertarik dan berkenalan dengan literatur-literatur yang menyoal tentang desa, seperti bukunya Misbahus Surur berjudul Kronik Pedalaman (2020), Agus Ali Imron Al Akhyar berjudul Membingkai Tradisi Tutur Lisan di Daerah Tulungagung (2021), Saiful Mustofa berjudul Sambijajar Tempoe Doeloe (2021), dll.
Agus Ali Imron dalam bukunya mengungkapkan bahwa menarasikan cerita tutur sejarah desa melalui tiga istilah: ndhuduk, ndhudhah dan gugah. Ndhudhuk bermakna menggali sumber informasi dan potensi yang ada di desa. Kemudian ndhudhah yaitu memilah dan mengembangkan khazanah informasi dan potensi yang telah didhudhuk sebelumnya. Tentunya disertai dengan pembacaan terhadap literatur-literatur yang mendukung dalam penulisan sejarah desa. Setelah proses ndhudhuh dan ndhudhah, barulah gugah, yaitu akan tergugah untuk mentransformasikan tradisi lisan menjadi tradisi tulisan. Karena sampai hari ini, konten lokal masih kurang memiliki ruang dalam khazanah pengetahuan sejarah (Agus Ali Imron, 2021).
Berbicara tentang sejarah desa pasti tidak lepas dari cerita tutur masyarakat (folklore). Maka saya menyebutnya dengan istilah ‘cerita tutur sejarah desa’. Cerita tutur tersebut merupakan cerita yang sudah dituturkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Berdasarkan pengalaman saya menuliskan cerita tutur sejarah desa dan pembacaan saya terhadap literatur tentang desa, ada hal yang unik dan berpola dari cerita tutur sejarah desa. Pola-pola yang unik tersebut hampir sering saya temui ketika mendengar atau membaca cerita tutur sejarah desa di tempat-tempat lain.
Pertama, yaitu adanya penokohan dalam sejarah desa. Sebagaimana ada tiga unsur penggerak sejarah, yaitu aktor, ruang dan waktu. Maka letak penokohan dalam cerita tutur sejarah desa menjadi aktor sejarahnya. Penokohan dalam sejarah tersebut biasanya digambarkan dengan seorang tokoh heroik, orang sakti, kiai, prajurit, atau bangsawan yang melarikan diri dari istananya. Penokohan menjadi kunci dari cerita tutur sejarah desa. Karena hal itu berkaitan dengan awal mula adanya sebuah desa. Dan cerita tutur sejarah desa di berbagai daerah di Jawa hampir memiliki pola yang sama seperti itu.
Cerita yang yang diyakini secara umum di masyarakat adalah konon suatu desa sebelum ditempati oleh penduduk mulanya adalah hutan belantara. Kemudian tokoh tersebut datang untuk membangun peradaban di wilayah tersebut, dengan membersihkannya (mbabad) baik secara fisik maupun membersihkan dari gangguan makhluk halus yang sebelumnya mendiami tempat tersebut. Setelah dibersihkan, kemudian tokoh pembabad tersebut akan membagi tanahnya dengan para pengikutnya dan membuat struktur pemerintahan yang dipimpin oleh tokoh pembabad sebagai lurah pertama. Adapun juga biasanya di daerah Jawa Timur-an melekat cerita bahwa tokoh pembabad desa adalah bekas prajurit pangeran Diponegoro. Prajurit tersebut melarikan diri dari Jawa Tengah ke arah timur, pasca perang Jawa yang ditandai penangkapan pangeran Diponegoro oleh kolonial. Kemudian bekas prajurit tersebut membabad desa untuk menata hidup yang baru.
Adapun juga biasanya di daerah Jawa Timur-an melekat cerita bahwa tokoh pembabad desa adalah bekas prajurit pangeran Diponegoro. Prajurit tersebut melarikan diri dari Jawa Tengah ke arah timur, pasca perang Jawa yang ditandai penangkapan pangeran Diponegoro oleh kolonial. Kemudian bekas prajurit tersebut membabad desa untuk menata hidup yang baru.
Kedua, yang melekat dari cerita tutur sejarah desa adalah toponimi atau penamaan dari desa tersebut. Toponimi atau nama-nama desa biasanya tidak lepas dari unsur alam, seperti tetumbuhan, pepohonan, bebatuan, dll. Misalnya desa Bawang dan Blimbing di Kediri, desa Ringinpitu di Tulungagung yang berarti pohon ringin yang berjumlah tujuh, atau desa Watulimo di Trenggalek yang berarti batu berjumlah lima, dan masih banyak yang lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat dahulu menjunjung tinggi sakralitas alam. Memang tidak bisa dipungkiri, peran alam tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, bahwa alam telah memberikan banyak penghidupan bagi manusia.
Alam (bumi) sendiri secara filosofis disebut dengan ibu bumi. Sebagaimana sifat ibu yang merawat dan memberi, alam juga merawat dan memberi manusia apa-apa yang dibutuhkan, sampai-sampai orang terdahulu menghormati alam dengan cara mengabadikan alam sebagai nama desa. Maka sudah selayaknya manusia menjaga dan merawat alam, terlebih alam pedesaan yang masih sejuk dan asri. Sehingga dengan itu terbentuklah interaksi antara manusia dengan alam. Bukan malah mengeksploitasi alam sebagai komoditas dagang yang justru akan membuat marah ibu bumi (alam) dan merugikan generasi berikutnya.
Alam (bumi) sendiri secara filosofis disebut dengan ibu bumi. Sebagaimana sifat ibu yang merawat dan memberi, alam juga merawat dan memberi manusia apa-apa yang dibutuhkan, sampai-sampai orang terdahulu menghormati alam dengan cara mengabadikan alam sebagai nama desa.
Aspek ketiga, yaitu adanya pepunden/punden desa. Punden adalah tempat yang dihormati dan dijunjung tinggi sakralitasnya oleh masyarakat setempat. Punden diyakini masyarakat sebagai tempat persemayaman dari danyangan/danyang desa. Masyarakat meyakini danyangan dulunya adalah tokoh yang membabad desa tersebut. Kemudian ketika jasadnya meninggal, rohnya masih tinggal di punden desa untuk mengawasi desa. Punden desa biasanya berupa makam dari tokoh tersebut, petilasan, ataupun pepohonan/bebatuan yang cukup tua, bahkan bisa jadi lebih tua dari keberadaan desa tersebut. Maka untuk menghormati jasa dari tokoh pembabad desa dan sebagai wujud terima kasih, biasanya terdapat ritual yang bertempat di punden desa di waktu tertentu atau yang biasa disebut dengan bersih desa.
Bersih desa biasanya dilakukan dengan membawa uborampe yang telah ditentukan ke punden desa. Bersih desa juga merupakan bentuk syukur masyarakat desa atas nikmat, rahmat, kesehatan dan keamanan desa kepada Allah Swt. Bersih desa bisanya dibarengi dengan doa bersama masyarakat dengan membawa ambengan yang kemudian disantap bersama. Adapun juga, bersih desa diisi dengan pagelaran-pagelaran seni dan budaya serta hiburan masyarakat sebagai bentuk kegembiraan masyarakat atas desa sebagai tempat yang telah dihuninya.
Kembali ke persoalan, adanya cerita tutur sejarah desa memang tidak bisa lepas dari ketiga aspek tersebut: tokoh, nama desa dan punden. Ketiganya mempunyai pengaruh dalam melacak asal-usul dari suatu desa. Penokohan menginformasikan siapa yang membabad desa, nama desa menginformasikan bagaimana adanya desa dan punden sebagai pengingat/monumen lahirnya sebuah desa. Lebih-lebih jika bisa dilacak, punden bisa menginformasikan kapan adanya desa tersebut. Maka dari itu, dalam menarasikan cerita tutur sejarah desa haruslah menelusuri ketiganya, tentunya didukung dengan kajian terhadap literatur terkait.
Cerita tutur sejarah desa memiliki kelemahan dalam hal ingatan narasumber. Bisa jadi cerita yang dituturkan telah mengalami reduksi dari penutur kepada yang dituturkan. Lantas, dalam rangka menyimpan ingatan-ingatan masyarakat terhadap cerita tutur sejarah desa yang dituturkan dari para pendahulunya, perlu menarasikannya ke dalam bentuk tulisan. Tentunya agar narasi sejarah desa bukan hanya sebagai pengingat, tapi juga penguat identitas masyarakat desa, serta diambil nilai-nilainya sebagai jati diri yang mencerminkan masyarakat desa tersebut.
Ilustrasi : https://id.pinterest.com/pin/741053313654808548/