Menu

Meziarahi Candi Dadi

Di masa lalu, sejarah tak pernah tumbuh sebagai sebuah kebetulan. Intuisi manusia telah membubuhkan makna pada ruang dan waktu. Menahbiskannya menjadi kudus, bahkan pusat dunia.

Sebuah bus membawa saya ke pusat dunia itu. Suasana dalam bus tersebut cukup lengang. Tidak ada penumpang yang berdiri di tengah kabin, kursi yang berjejalan, atau pedagang asongan yang menjajakan dagangan. Kursi di sebelah kanan saya pun masih kosong, menyisakan ruang bagi saya untuk meletakkan ransel yang sesak oleh berbagai barang keperluan mendaki Gunung Penanggungan. Akan tetapi, sayang sekali, karena suatu alasan, teman mendaki saya tiba-tiba tidak bisa berangkat. Padahal saya ingin sekali mendaki gunung yang dulunya adalah sebuah mandala agung itu. Saya terpaksa harus mengubah rencana perjalanan.

Saya bertolak ke Tulungagung. Sebenarnya saya sudah pernah berkunjung ke Tulungagung pada 2019 lalu untuk menengok candi-candi yang ada di sana. Namun, tiga tahun lalu, sebuah candi gagal saya kunjungi karena aksesnya yang tidak bisa dibilang mudah. Candi Dadi, sebuah tempat suci yang berdiri di puncak Bukit Walikukun, salah satu bagian dari wilayah perbukitan Wajak Kidul. Saat nongkrong di warung dan hendak mengunjunginya, warga sekitar menakut-nakuti. Mereka berkata bahwa beberapa orang yang hendak mendaki ke puncak tempat candi itu berdiri, tersesat dan hanya berputar-putar tak tentu arah. Saya yang belum tahu rute pasti menuju ke sana sontak berpikir bahwa jalurnya pasti panjang, terjal, dan membingungkan. Begitulah akhirnya saya batal menengok situs tersebut. 

Candi Dadi terletak di Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung. Tampaknya, Boyolangu dulunya adalah tempat yang cukup populer di masa Hindu-Buddha. Banyak situs peninggalan leluhur masih bisa ditemui di daerah ini. Bahkan, Candi Gayatri yang masyhur itu, tempat pendharmaan Rajapatni, istri Dyah Wijaya, sang pendiri Majapahit, ada di sini. 

Agar tidak sendirian saat mendaki bukit yang katanya cukup tinggi dan menguras tenaga itu, saya mengajak sepupu saya untuk menemani mendaki. Begitu masuk ke Desa Wajak Kidul, kami disambut gapura raksasa bertatahkan aksara Jawa yang saya pun tidak mengerti artinya. Namun, itu tidak penting karena apa pun itu, inilah tangga sewu (sebenarnya jumlah anak tangganya tidak sampai seribu/sewu;hanya metafora), jalan menuju Bukit Walikukun tempat Candi Dadi menanti.

Pagi itu cukup panas. Barangkali kami mendaki kesiangan. Perbukitan Wajak Kidul adalah bebatuan kapur yang kering. Vegetasi utamanya adalah pohon jati. Lanskap perbukitan juga didominasi rerumputan dan semak belukar. Teriknya matahari dan rerumputan kering berwarna keemasan seolah mengingatkan kami bahwa ini musim kemarau.

Sepanjang perjalanan kami berhenti beberapa kali. Udara yang begitu kering dan panas membuat kami lebih sering merasa haus. Air minum yang cuma satu botol harus kami hemat supaya tidak habis di tengah perjalanan. Saya jadi berpikir, betapa repotnya peziarah dan para tukang yang membangun candi ini di masa lalu. Bayangkan, membawa material berupa batuan candi ke puncak bukit tentunya bukan tugas yang mudah dan pastinya memakan waktu dan tenaga. Begitu pula bagi para peziarah yang harus rela mendaki cukup jauh untuk beribadah. Meskipun ada beberapa lainnya di sekitar sini, hanya Candi Dadi yang dibangun di puncak bukit. 

Pemilihan tempat untuk mendirikan candi tentunya tidak sembarangan. Para silpin (seniman candi) tentunya punya alasan khusus yang bisa jadi praktis atau magis ketika memilih tempat di mana bangunan sakral ini akan dibangun. Candi-candi yang dibangun di tempat mudah dijangkau mempertimbangkan alasan kepraktisan. Sementara itu, candi-candi yang berada di tempat yang sulit dijangkau seperti di gunung atau bukit, dibangun karena alasan magis.  

Bukit, sebagaimana gunung, memiliki makna khusus dalam kepercayaan Hindu-Buddha dan kepercayaan asli Nusantara sebelum periode indianisasi. Kepercayaan kuno Nusantara menganggap roh leluhur (hyang) bersamayam di puncak gunung. Konon, begitulah muasal daerah bernama Dihyang(Dieng) dan Parahyangan(Priangan) yang diyakini merupakan singgasana sang hyang. Kepercayaan tersebut menjadi cikal-bakal lahirnya punden berundak sebagai replika gunung yang merupakan bangunan pemujaan kepada roh leluhur. 

Budaya Hindu-Buddha yang masuk kemudian pada periode indianisasi Nusantara juga meyakini gunung (meru) sebagai tempat suci, singgasana para dewata. Mereka bahkan menyebut Dewa Shiva sebagai Giri Natha, raja gunung. Kisah Samudera Manthana yang kini mewujud dalam sebuah monumen di Bandara Suvarnabhumi,Bangkok, mengisahkan pengadukan lautan dengan sebuah gunung demi pencarian air kehidupan, tirta amerta. Tantu Panggelaran dari era Majapahit mengisahkan pemindahan Mahameru dari Jambhudvipa(India) ke Javadvipa(Jawa) oleh para dewa yang akhirnya melahirkan gunung-gunung suci di tanah Jawa. Gunung adalah axis mundi, pusat kosmos bagi masyarakat Hindu-Buddha. 

Axis mundi, poros dunia, juga merupakan jembatan antartiga alam dalam keyakinan masyarakat Hindu-Buddha, yaitu alam bawah (jagat orang mati), alam tengah (jagat manusia), dan alam atas (jagat para dewa). Seperti pohon, gunung yang berdiri vertikal sarat akan simbol tersebut sehingga kerap dianggap sebagai tangga menuju entitas tertinggi.

Konsep pembagian dunia menjadi tiga tingkatan semacam ini dikenal dengan triloka. Bahkan, candi pun dibangun dengan konsep ini, yaitu bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Bhurloka adalah kaki candi, simbol alam bawah, sedangkan bhuvarloka dan svarloka adalah dua alam di atasnya. Ketiga dunia tersebut dihubungkan oleh satu pusat, yaitu axis mundi. Jadi, tidak mengherankan jika gunung sebagai poros semesta diyakini masyarakat Hindu-Buddha memiliki akses terhadap alam atas, tengah, dan bawah. Lokus inimemungkinkan penganut Hindu-Buddha menjalin hubungan dengan alam atas dan bawah.

Kedua kepercayaan dari budaya yang berbeda tersebut seakan mendapatkan titik temu. Keduanya beririsan pada gunung sebagai tempat suci. Bagi saya, kepercayaan tersebut masuk akal. Bagaimana tidak, agama-agama samawi juga seringkali menautkan gunung dengan Tuhan, seperti kisah Musa yang menerima Taurat di Sinai. Suku Masai di Afrika menyebut puncak Kilimanjaro sebagai ngaje ngai (rumah tuhan). Entitas tertinggi, apa pun namanya, entah Tuhan, hyang, atau dewata, selalu diasosiasikan dengan ketinggian. Jadi, masuk akal jika masyarakat dari berbagai kebudayaan menganggap tempat-tempat tinggi sebagai ruang kudus.

Jika diamati, bentuk bangunan candi merupakan replika gunung, baik yang bertipe prasada (menjulang tinggi) maupun punden berundak. Candi-candi yang berasal dari periode klasik awal seperti di dataran tinggi Dieng, belum bercampur kepercayaan lokal. Candi-candi dari periode ini tidak mengadopsi konsep punden berundak seperti candi-candi dari masa-masa akhir Hindu-Buddha di Jawa. Pengaruh Hindu-Buddha yang kian luntur di masa-masa akhirnya (menjelang abad ke-15) mengubah arsitekturnya dan menghadirkan kembali unsur-unsur lokal. Tidak mengejutkan jika Candi Sukuh dan Cetho di lereng Lawu yang dibangun pada masa akhir Majapahit mengadopsi arsitektur semacam itu sehingga orang-orang menghubungkannya dengan piramida suku Maya di Amerika Tengah. Padahal, keduanya berasal dari akar kebudayaan yang sama sekali berbeda.

 

Tidak mengejutkan jika Candi Sukuh dan Cetho di lereng Lawu yang dibangun pada masa akhir Majapahit mengadopsi arsitektur semacam itu sehingga orang-orang menghubungkannya dengan piramida suku Maya di Amerika Tengah. Padahal, keduanya berasal dari akar kebudayaan yang sama sekali berbeda.

Baru dua puluh menit mendaki, kami sudah kehabisan hampir setengah botol air mineral. Kami tidak tahu berapa lama lagi waktu yang kami butuhkan untuk mencapai tujuan. Sepanjang jalan, pemandangan didominasi lanskap kering, warna kuning rerumputan, dan bebatuan kapur dengan sudut-sudut tajam. Sesekali kami menemukan tumbuhan kayu putih. Namun, saya belum melihat satu pun pohon walikukun yang menjadi nama bukit ini. Hanya pohon jati dan semak belukar yang silang sengkarut.

Dengan mengikuti petunjuk jalan yang dibuat  oleh warga, kami melanjutkan perjalanan. Di setiap persimpangan, kami berhenti untuk mencari petunjuk arah. Dalam perjalanan, kami bertemu sejumlah orang. Beberapa di antaranya merupakan wisatawan yang baru kembali turun dari Candi Dadi. Beberapa lainnya para pesepeda dan pengendara motor trail yang tampak menikmati jalur perbukitan yang memang cukup menantang.

Akhirnya, kami tiba di sebuah persimpangan. Di situ, kami disambut tanjakan curam. Kami yakin, dari derajat kecuramannya, ini adalah tanjakan terakhir menuju puncak. Jalan setapak di depan kami masih didominasi semak di sisi kanan dan kiri. Dari atas sini, Gunung Budek yang berada di sebelah barat dari tempat kami berpijak, bisa terlihat jelas. Gunung—yang menurut saya lebih tepat adalah bukit—Budek memiliki mitosnya sendiri (soal ini kelak saya ketahui dari sang juru pelihara candi). Konon, dulu ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang wanita hingga tidak mendengarkan seruan ibunya. Ibu sang pemuda yang murka mengutuk anaknya yang budek itu menjadi sebuah gundukan tanah yang menjulang ke langit. Lebih kurang, kisahnya sama dengan Malin Kundang. 

Setelah hampir satu jam berjalan dari anak tangga pertama tangga sewu, akhirnya kami sampai juga ke tujuan. Papan nama bertuliskan ‘Candi Dadi’ menyambut kami yang terengah-engah.

Di puncak Bukit Walikukun, Candi Dadi berdiri kokoh. Saya memandangnya takjub. Seketika dahaga di korongkongan terlupakan. Rasa lelah saya kalah. Memang tidak semegah Prambanan yang tinggi menjulang, atau senyentrik Sukuh dengan arca falusnya yang ugal-ugalan. Candi ini memiliki keunikan sendiri. Candi Dadi bahkan tidak memiliki pintu masuk seperti lazimnya candi-candi lain. Bangunan ini juga tidak berbentuk punden berundak seperti Candi Mirigambar yang berada di bawah bukit ini. Sejauh yang bisa saya duga, situs ini masih sama dengan bentuk aslinya. Dengan kata lain, belum ada pemugaran.

Saat saya berjalan mengitari bangunan, yang ternyata nyaris tanpa relief dan angka tahun ini, saya bertemu Pak Andi, sang juru pelihara candi. Berbadan tegap, kekar, dengan celana panjang loreng dan sepatu bot, membuat saya berpikir, ia pasti anggota TNI. Tapi ternyata bukan. Laki-laki dari desa setempat ini adalah juru kunci Candi Dadi yang bersahaja. Sambil membersihkan tanah di sekitar dari dedaunan kering, ia menemani saya mengobrol. Benar saja, menurutnya, candi ini memang masih orisinal.

Candi Dadi merupakan bangunan tunggal tanpa relief dan arca. Berdiri di puncak bukit dengan ketinggian lebih kurang 400 m dpl, candi ini terletak paling tinggi di antara tiga lainnya yang masih bisa ditemukan di wilayah perbukitan ini. Tiga candi lainnya, antara lain Urung, Gemali, dan Buta. Ukuran Candi Dadi memang tidak terlalu besar. Denah dasarnya berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 14 m x 14 m dengan tinggi 6,5 m. Jika dilihat dari atas, candi ini berbentuk segi delapan dengan lubang sumuran di tengahnya. Ceruk ini unik karena diameternya cukup besar, yaitu  3,5 m dengan kedalaman 3 m dan tampaknya, tidak banyak candi yang memiliki lubang sebesar ini di bagian tengah atapnya. Beberapa orang berpendapat bahwa lubang tersebut adalah yoni, simbol kesuburan yang biasanya ditemukan di candi-candi Hindu. Berdasarkan papan informasi, diduga, candi ini dibuat pada masa akhir Majapahit.

Candi Dadi dengan pola geometrisnya merupakan representasi mandala. Layaknya Penanggungan yang dikelilingi delapan bukit di sekelilingnya yang menjadi mandala agung Majapahit, candi ini pun memiliki delapan sudut. Delapan sudut tersebut merupakan simbol arah mata angin. Lubang di tengah seakan-akan mempertegas titik pusat pola sakral itu. Menurut Pak Andi, beberapa orang percaya bahwa liang itu adalah pusat kosmos dalam keyakinan mereka. 

Mandala secara harfiah berarti ‘lingkaran’. Namun, dalam penerapannya, konsep ini diberi makna kontekstual yang berbeda-beda. Misalnya, mandala dapat dipahami sebagai diagram simbolis dengan pola geometris paling hakiki dan dasar, yaitu lingkaran atau persegi. Dalam konteks lain dapat diartikan juga sebagai ‘tempat yang disucikan’. Borobudur merupakan manifestasi sempurna dari konsep ini. Mandala berbentuk lingkaran lebih umum dijumpai di candi-candi Buddha, sementara candi-candi Hindu berpola persegi. Bagi saya, Candi Dadi yang berbentuk persegi delapan merupakan transisi antara pola persegi dan lingkaran. 

Borobudur merupakan manifestasi sempurna dari konsep ini. Mandala berbentuk lingkaran lebih umum dijumpai di candi-candi Buddha, sementara candi-candi Hindu berpola persegi. Bagi saya, Candi Dadi yang berbentuk persegi delapan merupakan transisi antara pola persegi dan lingkaran. 

Mandala dengan titik pusat pada pola konsentrisnya merupakan pasangan sempurna bagi  kultus gunung sebagai tempat suci. Kombinasi kedua konsep ini menjadikan Candi Dadi sebagai wujud komplet axis mundi. Barangkali inilah alasan para silpin Jawa mendesain dan memilih puncak bukit sebagai tempatnya didirikan.

Sayang sekali saya tidak membawa drone untuk mengambil gambar Candi Dadi dari atas, 

 “Iya, Mas, memang bagus kalau dilihat dari atas,” tanggap Pak Andi sambil menghentikan sejenak aktivitasnya menyapu halaman di sekitar candi. “Tapi enggak boleh sembarangan ambil gambar. Soalnya rawan sekali kami kecolongan data sama peneliti-peneliti asing. Makanya, untuk pengambilan gambar menggunakan drone memang harus izin dulu.” 

Pria yang setiap hari naik-turun bukit untuk melaksanakan tugasnya ini pun menceritakan mitos-mitos lokal seputar Candi Dadi (termasuk mitos tentang Gunung Budek yang sudah saya ceritakan sebelumnya) kepada saya yang duduk di kaki candi yang rindang oleh pepohonan. 

Konon, di wilayah pebukitan ini dulu ada seorang pangeran yang jatuh cinta kepada seorang putri.

“Nama pangeran dan putrinya sendiri enggak jelas siapa,” kelakar Pak Andi. Sang pangeran ingin sekali mempersunting sang putri untuk dijadikan istri. Namun, seperti Dewi Kilisuci dalam kisah Lembu Sura dan Rara Janggrang dalam kisah Prambanan, sang putri mengajukan syarat kepada sang pangeran. Tidak seugal-ugalan Rara Janggrang yang meminta seribu candi pada Bandung Bandawasa, sang putri hanya meminta dibuatkan empat candi.

Layaknya Bandung Bandawasa, sang pangeran memanggil bala bantuan bangsa lelembut untuk membantunya memenuhi syarat sang putri. Namun, sayang sekali, memang sejak awal sang putri cuma iseng dan tidak serius menangapi pinangan sang pangeran. Melihat empat candi yang dimintanya hendak rampung, sang putri kebingungan. Tak sudi dia menjadi istri sang pangeran, entah mengapa. Akhirnya, sang putri meminta bantuan para perempuan desa sekitar. Mereka melepas ayam-ayam, menumbuk lesung, membakar kayu-kayu, membuat langit terang benderang di sebelah timur seolah fajar menyingsing. Karena pada masa itu belum ditemukan jam tangan, pangeran pun kaget pagi datang secepat itu. Para lelembut pun kocar-kacir dibuatnya, meninggalkan pekerjaannya, membiarkan tiga candi (Candi Urung, Gemali, dan Buta) runtuh seketika. Hanya satu candi yang berhasil dirampungkan sang pangeran. Karena hanya satu yang jadi, candi itulah Candi Dadi (dalam bahasa Jawa, dadi berarti ‘jadi’). Salah satu candi dinamai Candi Urung. Urung  adalah bahasa Jawa yang artinya ‘batal’ atau ‘tidak jadi’. Kini ketiga candi tersebut memang sudah tidak utuh lagi, terutama Candi Urung yang hanya menyisakan bongkahan-bongkahan batu yang disusun serampangan oleh warga. Namun, kisah sang pangeran dan putri belum berakhir. 

Sang pangeran murka oleh tipu muslihat sang putri yang licik. Merasa kecewa karena dirinya dikerjai, pangeran mengeluarkan kutukan kepada sang putri sebagai bentuk kemarahannya. “Karena kau dan perempuan-perempuan itu sudah menipuku, kukutuk kalian semua! Tidak akan ada laki-laki yang mau meminang kalian! Kalian tidak akan mendapatkan pasangan hingga tua!”  Saya pikir, kesamaan tema kisah ini dengan kisah Rara Janggrang dan Lembu Sura menunjukkan bahwa cerita-cerita semacam itu cukup populer di zamannya. Atau, boleh jadi legenda semacam ini berfungsi sebagai gimmick bagi tempat-tempat tertentu untuk menarik pengunjung. 

Begitulah kisah tentang Candi Dadi dan kutukan lajang yang konon menimpa sebuah dusun di sekitar perbukitan ini. Meski demikian, menurut warga sekitar, tampaknya saat ini yang tak kunjung menikah di dusun itu adalah para lelaki. Namun hal ini cukup masuk akal. Belakangan, mungkin hidup memang makin sulit bagi para lelaki. Lapangan kerja makin susah, harga kebutuhan pokok menjulang, dan masalah sosial ekonomi lainnya kian kompleks, sehingga membuat mereka berpikir ulang untuk cepat menikah. 

Ada pula teori lain tentang penamaan candi ini. Menurut Pak Andi, beberapa meyakini bahwa penamaan candi didasarkan pada banyaknya keinginan para peziarah yang terkabul setelah melakukan samadi atau ritual di tempat ini. “Ada juga yang bilang kalau melakukan ritual di sini, keinginannya akan terpenuhi, dadi, alias jadi,” tuturnya sambil menunjuk sisa-sisa ritual semalam yang dilakukan beberapa peziarah.

Merasa cukup dengan legenda Candi Dadi, saya kembali mengamati badan candi. Tak seperti candi-candi lain yang pernah saya kunjungi, bangunan ini tidak disusun menggunakan batu andesit atau batu kali. Candi Dadi dibangun menggunakan batu kapur yang menurut saya lebih mirip batako. Kemungkinan batu-batu tersebut diambil dari sekitar bukit mengingat letak candi yang tidak praktis untuk mengangkut bahan dari lokasi yang jauh. 

Karena candi ini tidak pernah dipugar sejak penemuannya, tak heran jika batu-batu candi ditumbuhi lumut kerak yang tidak baik bagi tubuh candi. Lumut kerak adalah simbiosis antara alga dan jamur yang biasanya tumbuh di pepohonan atau bebatuan. Lumut kerak dikenal sebagai organisme perintis yang dapat melapukkan batuan dan memberikan tempat hidup bagi organisme lainnya. Banyaknya lumut kerak menjadi petunjuk bahwa tingkat polusi udara di sini masih rendah.

Candi Dadi, seperti candi-candi yang lain, tentunya sudah bertahan selama berabad-abad  di bawah gempuran cuaca yang mengikis kekuatan bangunan indah nan luhur ini. Tak seperti candi-candi lainnya, akses yang sulit membuat perawatan pada badan candi kian rumit. Walhasil, Pak Andi merawat candi ini sekadarnya. Ia berharap akses menuju candi dibenahi sehingga dapat memudahkan perawatan dan juga memuluskan jalan bagi wisatawan. 

Cuaca dan usia memang faktor alami. Candi-candi yang eksis hingga kini tentunya telah melewati sekian banyak paparan kekuatan alam yang terjadi sepanjang sejarah. Bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, tentunya berkontribusi bagi rusaknya candi-candi sehingga beberapa mungkin belum sempat tercatat sejarah. Namun, bukan hanya bencana alam yang mengancam eksistensi situs bersejarah. Ada juga faktor lain yang tak kalah penting, yaitu ‘bencana budaya’.

Bencana budaya yang saya maksud, yaitu perubahan kondisi sosial di sekitar situs bersejarah. Masyarakat sekitar candi kini sudah bukan lagi penganut Hindu-Buddha. Fenomena ini turut menentukan eksistensi dan kelestarian situs bersejarah. Fakta inilah yang membagi situs bersejarah menjadi ‘monumen hidup’ dan ‘monumen mati.’ Monumen hidup adalah situs cagar budaya yang hingga kini masih berfungsi sama seperti saat situs tersebut dibuat. Misalnya, masjid atau gereja yang kini masih aktif digunakan masyarakat. Candi, meskipun sewaktu-waktu digunakan untuk ritual tertentu, termasuk ke dalam monumen mati. Karena sudah tak lagi berfungsi sebagaimana dulu, situs-situs semacam ini cenderung dilupakan masyarakat. Candi-candi yang tak lagi berfungsi pun terlantar, tertimbun tanah, dan ditumbuhi rerumputan, hingga akhirnya lenyap dari catatan sejarah. Kondisi menjadi semakin mengenaskan saat batu-batu candi dibongkar orang-orang untuk kepentingan lain, seperti kebutuhan lahan atau bahan bangunan. Arca dan panel relief diperdagangkan demi dijadikan koleksi dan pajangan.

Setelah berbincang cukup banyak dengan sang juru pelihara, saya mengambil gambar sekadarnya. Sayang sekali saya tidak bisa mengambil penampakan candi ini dari atas untuk melihat pola mandala yang mengagumkan itu. Merasa lelah dan belum siap untuk perjalanan turun, saya memilih duduk-duduk di bawah pepohonan hingga kemudian sadar bahwa pokok-pokok di sekitar candi inilah yang memberi nama bukit tersebut: walikukun yang sejak tadi saya cari.

Walikukun (Schoutenia ovata) merupakan pohon yang diyakini memiliki magi oleh masyarakat Jawa. Jika ditanam di empat penjuru mata angin, mereka percaya pohon ini akan melindungi suatu tempat dari gangguan makhluk gaib. Walikukun yang tumbuh di sekitar candi mengindikasikan bahwa tempat ini suci, memagari situs dari gangguan yang tampak maupun tidak. Jika dilhat dari bawah situs ini benar-benar tersembunyi, tidak terlihat karena tertutup rimbunnya pepohonan. 

Candi Dadi memang tidak ramah pengunjung. Akses yang sulit membuat hanya segelintir orang yang mau menempuh satu jam berjalan kaki mendaki bukit untuk sekadar melihat candi. Jalur yang terjal, panjang, dan letaknya yang nyaris tersembunyi dapat berfungsi sebagai pelindung situs ini dari gangguan manusia, tapi juga mempersulit perawatan batuan candi yang terus terkikis oleh waktu dan kekuatan alam.

Berbagai simbol meneguhkan status bangunan ini sebagai ruang sakral. Mandala, axis mundi, bukit, dan walikukun yang mengitarinya membuat candi di puncak bukit ini tak hanya suci, tapi juga poros semesta.

0
237
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.