Menu

Catatan Perjalanan

Pagi, 14 Februari 2023, tepat Hari Kasih Sayang, Mardi Luhung – penyair sekaligus ayahku – diundang oleh Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik untuk berbagi pengajaran cipta puisi kepada para peserta didik yang masih kelas tiga, empat, dan lima. Lalu, waktu beranjak duhur, lewat aplikasi WhatsApp, Mardi Luhung mengirim beberapa foto perihal dirinya bersama para peserta didik kepadaku. Mardi Luhung juga mengirim pesan: “Ini kegiatan literasi. Di lapangan desa. Grogi aku.” Aku hanya membalas pesan: “Fotonya bagus, Yah.”

Sore, di rumah sepulang dari pengajaran cipta puisi, aku mendengarkan cerita Mardi Luhung, betapa antusias para peserta didik menulis puisi. “Aku memberi tema peliharaan,” ucap Mardi Luhung yang bersamaan menyerahkan sebuah foto kertas coklat berisi puisi, “ini puisi yang Ayah sukai.” Aku membaca judul puisi dalam foto kertas coklat adalah Bingo. Dan, puisi Bingo ditulis oleh Habibi, salah satu peserta didik kelas tiga. Lewat pembacaan judul, kata Bingo mengingatkanku pada nama permainan, serta kata-seru yang menunjukkan perasaan beruntung.

Tapi, dari cerita Mardi Luhung, aku baru mengetahui, bahwa Bingo adalah nama anjing yang menjadi peliharaan Habibi. Bukan anjing sebagai hewan nyata, melainkan khayal. Jadi, Habibi menciptakan dan memelihara Bingo di ruang imajinasi. Lewat pembacaan utuh puisi Bingo, aku memahami bagaimana Habibi memberikan wujud pada anjing peliharaannya, yaitu: //warnanya biru/ matanya hitam/ makanannya tulang ikan/ kakinya tinggi/ bulunya biru/ guk-guk/ kalau malam sering guk-guk/ tiba-tiba saya kebangun/ dengar suara guk-guk//.

Aku kagum pada wujud Bingo yang digambarkan Habibi. Wujud Bingo yang tidak mirip anatomi anjing pada umumnya, sebab memiliki bulu bewarna biru dan berkaki tinggi. Apalagi, makanan Bingo adalah tulang ikan, bukan tulang sapi atau kambing. Lain itu, suara guk-guk seolah pertanda Bingo suka membangunkan Habibi untuk bermain, seolah tidak ada lagi sekat antara nyata dan khayal. Aku membayangkan, di ruang imajinasi, Habibi penuh riang menaiki Bingo yang melompat-lompat.

Keterangan: Pengajaran cipta puisi dalam pertemuan pertama di lapangan desa Foto: Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik, 2023  

Tidak hanya seputar puisi Bingo, Mardi Luhung juga bercerita, bahwa pengajaran cipta puisi yang terlaksana pada tanggal 14 Februari 2023 sebagai pertemuan pertama. Artinya, ada pertemuan-pertemuan berikutnya yang akan dilalui. Dan pada pertemua kedua atau berikutnya nanti, tidak lagi berada di lapangan desa, melainkan tempat Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Selesai bercerita, Mardi Luhung memintaku agar menemaninya pada pertemuan kedua yang terlaksana pada 11 Maret 2023. Aku meng-iya-kan permintaan Mardi Luhung.

Pariwasata Mangrove Desa Karangkiring

Kira-kira pukul 09.30 WIB, 11 Maret 2023, aku dan Mardi Luhung tiba di UPT SD Negeri 20 Gresik. Aku baru mengetahui bahwa UPT SD Negeri 20 Gresik berada di tengah perkampungan pesisir, Desa Karangkiring, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Setelah memarkir sepeda motor, aku mengikuti Mardi Luhung dari belakang. Lalu, ketika Mardi Luhung masuk di ruang guru, aku langsung menengok para peserta didik yang mengenakan seragam pramuka. Aku melihat para peserta didik sedang duduk berjejer sembari memegang meja lipat dan polybag kecil berisi tanaman krokot.

Tidak sampai 10 menit, aku dan Mardi Luhung meninggalkan UPT SD Negeri 20 Gresik untuk menuju Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Di muka gerbang, sebelum Mardi Luhung menarik hendel sepeda motor, datang Muhammad Gus Maulana Yasin (aku memanggilnya Gus Yasin), salah satu anggota Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik. Lalu, Gus Yasin ikut bersama kami ke Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Dalam perjalanan, kami melewati tiga atau empat gang, lalu satu jalan dengan sekeliling semak-semak. Barangkali, jarak antara UPT SD Negeri 20 Gresik dengan Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring sekitar kurang lebih 900 meter.

Keterangan: Suasana Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring dilihat dari bale. Foto: Aji, 2023  

Aku memerhatikan tidak ada papan nama Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring, kecuali area parkir, mangrove, dan geladak (jembatan tanpa pegangan tangan untuk memarkir perahu). Berkat lebatnya mangrove, hawa Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring terasa sejuk. Dan, tidak terasa sunyi, sebab lagu dangdut dari sistem suara elektronik dinyalakan dari kejauhan. Jadi, lagu dangdut itu mengiringi setiap langkah kami (aku, Mardi Luhung, dan Gus Yasin) berada di Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Aku memerhatikan lagi, bahwa geladak yang berlebar 150 centimeter itu cukup dilewati dua orang yang berdampingan. Meski begitu, seseorang tidak boleh berlarian di atas geladak demi keamanan dirinya.

Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring memiliki dua sisi, kiri dan kanan, kalau aku mengacu posisi mulai masuk dari atas geladak. Dua sisi itu terdapat tempat, yaitu: pada sisi kiri, berdiri warung dan bale (tempat istirahat para nelayan); sedangkan pada sisi kanan, berdiri beberapa gazebo seluas 3 meter x 3 meter. Wisatawan dapat membeli makanan dan minuman serta bercengkerama dengan nelayan atau penduduk setempat pada sisi kiri. Lalu, wisawatan dapat menikmati suasana pantai Desa Karangkiring yang ditumbuhi mangrove atau tempat tongkrong bersama keluarga di gazebo pada sisi kanan. Serta, pada sisi kanan, wisawatan dapat berswafoto atau memancing ikan di salah satu sudut.

Untuk pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua, Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik mengajak para peserta didik pada sisi kanan Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Ketika para peserta didik tiba, aku melihat mereka berbaris rapi dan masuk satu per satu ke dua gazebo. Enam peserta yang tidak kebagian tempat di gazebo harus duduk bersama Tim Literasi di atas geladak. Setelah duduk, salah satu Tim Literasi meminta para peserta didik untuk menggunakan meja lipatnya. Beberapa peserta didik malah sibuk sendiri dengan tanaman krokot yang mereka bawa dari UPT SD Negeri 20 Gresik. Tapi, suara para peserta didik tidak begitu bising, sebab kalah dengan kemerduan lagu dangdut dari sistem suara elektronik.

Literasi 20

Spanduk berukuran 250 centimeter x 200 centimeter dipasang oleh Tim Literasi pada salah satu gazebo. Dalam spanduk itu bertulis “Literasi 20” sebagai nama kegiatan. Barangkali angka “20” mengacu pada nama sekolah. Sedangkan, kata “literasi” menjadi nama kegiatannya untuk tujuan perkembangan bakat para peserta didik. Perihal tujuan literasi itu, aku merasa telah tercanangkan di pelbagai sekolah di Gresik. Apalagi, dalam pengertianku, literasi adalah kegiatan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, penggunaan kata “literasi” berhubungan dengan semua pengajaran di sekolah.

Sebelum pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua dimulai, aku mendengarkan pengarahan Gus Yasin kepada para peserta didik. Pengarahan mengenai tanaman krokot yang baru diterima oleh para peserta didik di UPT SD Negeri 20 Gresik. Gus Yasin menjelaskan bahwa para peserta didik harus merawat tanaman krokot. Kalau tanaman krokot mati? Para peserta didik segera melaporkan pada Gus Yasin atau Tim Literasi yang lain. Atau, tiap peserta didik yang tanaman krokotnya mati dapat meminta potongan cabang tanaman krokot milik temannya. Sebab, tanaman krokot mudah tumbuh hanya dengan potongan cabang yang menancap dalam tanah.

Aku menganggap tanaman krokot yang diberikan para peserta didik untuk merawatnya adalah bagian dari literasi. Barangkali, Tim Literasi ingin mengajarkan kepada para peserta didik mengenai tanggung jawab dan kepedulian terhadap tanaman. Dan, perihal perawatan tanaman krokot, para peserta didik juga memeroleh kosakata baru setelah mendengarkan pengarahan Gus Yasin. “Pak, apa itu penyiangan?” tanya salah satu peserta didik. Gus Yasin langsung menjelaskan bahwa penyiangan adalah tindakan mencabut rumput yang tumbuh di sekitar tanaman krokot.

Bagiku, tanya-jawab antara Tim Literasi dengan para peserta didik begitu penting sebagai bagian dari literasi. Tidak hanya Tim Literasi saja, juga tanya jawab antara Mardi Luhung dengan para peserta didik, seperti pertanyaan salah satu peserta didik setelah Mardi Luhung memberikan tema tanaman: “Apakah selain menulis puisi, juga tanamannya digambar, Pak?” Mardi Luhung tidak menjawab langsung pertanyaan itu, tapi bertanya kepada para peserta yang lain: “Apakah pakai digambar?” Serentak para peserta yang lain menjawab: “Tidak, Pak!” Nah, jawaban serentak para peserta yang lain menjadi jawaban atas pertanyaan salah satu peserta didik.

Keterangan: Mardi Luhung memberikan tema tanaman kepada para peserta didik. Foto: Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik, 2023
 

Aku menangkap bahwa kegiatan “Literasi 20” telah menempatkan orang dewasa (Gus Yasin dan Mardi Luhung) sebatas pendamping bagi anak-anak (para peserta didik). Sebatas pendamping yang meletupkan keingintahuan dan kemauan untuk berkreasi. Sehingga, orang dewasa memberikan pemahaman yang lebih mudah dicerna oleh anak-anak. Ya, ketika sebagian peserta didik masih ragu menuliskan jenis tanaman apa sebagai puisi, Tim Literasi dan Mardi Luhung harus sigap memberikan contoh jenis tanaman yang diketahui mereka, bisa mawar, kamboja, anggrek, tin, cemara, hingga mangrove.

Puisi Bertema Tanaman

Ada sekitar enam puluh peserta didik yang mengikuti pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua di Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Di tengah pengajaran cipta puisi, ada pembacaan puisi yang dimulai dari pertanyaan dari Mardi Luhung: “Siapa yang mau baca puisi? Boleh kok baca puisi walau belum selesai menulis.” Sebagian besar dari para peserta didik masih terlihat malu membacakan puisi karya sendiri. Tapi, beberapa anak justru mengacungkan jari dan memberanikan diri, seperti peserta didik kelas tiga yang bernama Dita.

Judul puisi yang Dita tulis adalah Bunga Sedap Malam. Berikut kutipan utuh puisi Bunga Sedap Malam, yaitu: //setiap hari aku menyiram bunga/ sedap malamku. setiap malam aku/ menghirup bunga sedap malamku/ dan kukasih nama satu malam indah./ dan aku selalu memetik bunga. yang/ layu aku merasa sedih karena/ bungaku sendiri. jadi aku beli 2 bunga/ sedap malam dua bunga itu kukasih/ nama malam dan indah agar ada/ sama sedikit. bunga yang sangat/ harum sekali warnanya putih./ hari yang lalu. mama papaku/ tidak punya uang dan aku punya/ ide. ideku adalah menjual 3 bungaku/ itu pengalaman tersedihku tapi tidak papa//

Keterangan: Peserta didik kelas tiga yang bernama Dita membacakan puisinya berjudul Bunga Sedap Malam. Foto: Aji, 2023  

Aku sangat tertarik mendengarkan puisi Bunga Sedap Malam, sebab Dita memberikan nama, antara lain: Satu Malam Indah, Malam, dan Indah. Lain itu, Dita memberikan dua kesedihan dalam puisinya terhadap tanaman dan orang tua. Dua kesedihan yang digambarkan Dita, yaitu: …aku merasa sedih karena/ bungaku sendiri. jadi aku beli 2 bunga/ sedap malam… dan /hari yang lalu. mama papaku/ tidak punya uang dan aku punya/ ide. ideku adalah menjual 3 bungaku/ itu pengalaman tersedihku tapi tidak papa//.

Pembacaan dua kesedihan yang aku kutip dari puisi Bunga Sedap Malam di atas memerlihatkan empati aku-lirik terhadap tanaman dan orang tua. Aku-lirik juga tidak larut dalam dua kesedihan karena memiliki solusi, misal membeli dua tanaman agar tanamannya tidak sendirian, serta terpaksa menjual tiga tanaman ketika orang tuanya membutuhkan uang. Frasa tidak papa pada penutup puisi Bunga Sedap Malam menandakan aku-lirik begitu teguh atas tindakannya. Aku merasa tersentuh bagaimana cara Dita menghadirkan dua kesedihan dalam puisinya.

Selesai pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua ini, para peserta didik telah pulang, Nita Agustian, anggota Tim Literasi yang lain, memerlihatkan kepadaku setumpuk kertas coklat berisi puisi. Puisi yang ditulis oleh para peserta didik. Dalam pembacaan ringkasku, ternyata beberapa dari para peserta didik telah menulis jenis tanaman yang sama, seperti mawar. Penulisan puisi yang mengambil jenis tanaman yang sama menandakan beberapa dari para peserta didik memiliki pengalaman serupa, misal mawar bewarna merah, memiliki duri yang unik, hingga bau yang wangi.

Keterangan: Karya-karya peserta didik yang didokumentasikan Foto: Aji, 2023  

Sebagai penutup tulisan ini, aku mengutip utuh puisi dari peserta didik kelas tiga yang bernama Rahel, berjudul Pohon Jambu, yaitu: //di rumahku ada pohon jambu yang besar/ jambu itu berbuah dengan sangat besar/ aku menyukai rasa jambunya karena manis dan enak/ setiap hari aku mengambil jambunya karena enak/ aku sungguh suka dengan jambu itu/ tetapi kalau malam jambu itu dimakan kelelawar/ kelelawar sungguh suka dengan jambu karena manis// Dari apa yang disampaikan Rahel dalam puisi Pohon Jambu, aku menangkap kesinambungan antara makhluk hidup (manusia, tumbuhan, dan hewan). Kesinambungan itu menjadi poin penting dari pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua ini. Dan, para peserta didik bisa mengembangkannya pada pertemuan-pertemuan berikutnya.

“Begawai” dan Sabung Ayam

Selesai makan malam yang nikmat, kami beranjak ke tempat semula, dan kembali menghanyutkan diri ke dalam sungai cerita. Ke mana lagi kami hendak menghanyutkan diri jika tidak dalam batang hikayat dan mata air kisah, wahai Tuan dan Puan? 

Beberapa orang perempuan kampung datang menyambangi rumah Pak Dukun. Suara cakap mereka ditimpali gelak berderai sudah terdengar sejak dari halaman. Di antara mereka ada mengenakan kain panjang, sehingga harus menarik ujung kain supaya mudah naik tangga. Sebagian ibu mengunyah sirih. 

Kebetulan besok pagi akan ada acara turun tanah, yakni mengupacarai arwah orang baru meninggal dunia. Beberapa waktu lalu adik ipar Pak Dukun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat kejadian. Pak Dukun sendiri besok yang akan memimpin ritualnya, sebagaimana lazimnya ia badukun di rumah-rumah warga untuk hal yang sama. Perempuan-perempuan datang untuk menyiapkan bahan-bahan pekerjaan esok hari. Suasana jadi sedikit ramai. Mereka terus bercakap dalam aksen dan logat yang asing, tapi akrab sekali

Saat perempuan-perempuan itu asyik dengan pekerjaan mereka, saya meminta Pak Dukun mengisahkan cerita rakyat Talang Mamak. Ia bilang sudah banyak tak hapal, tapi toh ia ceritakan juga sebuah kisah tentang Putri Talang dan Pangeran Langit. Si pangeran, yang semula turun ke bumi menyerupai seekor burung kuau, tepatnya di Sungai Ekok, menjelma pangeran tampan. Gadis-gadis yang semula takut, ganti berebut mencari perhatian. Si bungsu, Putri Talang yang jelita jadi tumpuan iri kakak-kakaknya.

Saya menahan nafas.

“Putri Talang Bungsu diusir kakak-kakaknya itu. Tapi terlebih dulu mereka buat wajahnya jadi buruk rupa dengan memberi getah pohon kajai,” kata Pak Dukun kembali mulai. 

Adakah Putri Talang itu engkau, Ayu? Saya berbisik dalam hati. Terbayang cerita Ayu tadi sore, bagaimana ia dan keluarga harus meninggalkan keindahan Sungai Ekok karena terusir mesin-mesin. Meski caranya berbeda tapi sama-sama memiliki kata getir; terusir!  

“Tapi sebelum pergi, si Putri mencuci wajahnya dengan air telaga Sungai Ekok. Jadi tambah cantik dan elok. Kakak-kakaknya yang mengintip melihat sang Pangeran menjumpai si Putri di batas desa dengan tambah suka. Besoknya kakak-kakaknya meniru dengan menggetahi wajah mereka, tapi keburu dihinggapi lalat-lalat pertanda hatinya busuk,” lagi-lagi Pak Dukun terkekeh. 

Ayu, sebagaimana sang Putri Talang, bukankah telah mencuci hatinya dengan mata air kisah Sungai Ekok, sehingga dengan itulah mungkin, sesore hari kulihat matanya berbinar.

Dan sebagai mana cerita Putri dan Pangeran di mana-mana, kisah Pak Dukun pun berakhir bahagia. Putri Talang dan Pangeran Langit menikah dalam pesta (begawai) tujuh hari tujuh malam.  

Menurut Pak Dukun ada banyak cerita rakyat Talang Mamak. Ia menyebut Cerita Orang Bunut, Cerita Mambang Jinut, Bujang Romandung, Malim Sayang bahkan Malim Kundang, cerita kondang pantai barat. Menurutnya cerita Bujang Rumandung paling seru. Cerita ini merupakan bagian partembahan, yakni cerita lisan Talang Mamak di acara begawai (pesta perkawinan) yang dikenal juga sebagai bedar mayang (kembang pesta). Artinya, dalam sebuah pesta perkawinan bukan hanya pengantin perempuan ibarat kembang, bukan juga hanya gadis-gadis kampung yang berdandan, tapi tak kalah penting adalah cerita sebagai kembang kata-kata yang menghidupkan sebuah pesta. 

“Anak-anak sekarang sudah jarang mendengar cerita moyang, kite yang tua pun sudah banyak lupe,” aku Pak Dukun jujur. Ia mengucapkannya dengan setengah terpejam.  

Saya tanya apakah Pak Dukun tahu Cerita Bujang Tan Domang. Cerita lisan orang Petalangan ini juga biasa dituturkan dalam acara perkawinan, dan makan waktu empat sampai lima hari. Saya mengetahui hal itu dari sebuah buku tebal yang sudah ditranskrip oleh Tenas Effendi, terbitan Bentang Budaya bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan The Toyota Foundation (1997). 

Pak Dukun mengaku  tidak tahu. Tapi itu dapat dimengerti. Meski orang Talang Mamak secara umum kadang disebut juga sebagai orang Petalangan. Hanya saja yang dimaksud dalam Cerita Bujang Tan Domang merupakan masyarakat Petalangan yang bermukim di Desa Betung, Kecamatan Pangkalan Kuras, dulu masuk Kabupaten Kampar, sekarang Kabupaten Pelalawan. 

Namun jika merujuk catatan Obdeyn, sebagaimana saya lihat dalam pengantar buku puisi Dheni Kurnia, Olang 2 (2016), semua suku pedalaman Riau berasal dari rumpun besar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Mereka turun dari Gunung Marapi, menghiliri Sungai Kuantan/Indragiri, sebagian melalui Sungai Kampar dan sampai di Sungai Mandau, sebagian lagi menghilir melalui Sungai Batanghari. Di Mandau mereka menyebut diri Suku Sakai, di Jambi menyebut diri Suku Kubu/Anak Dalam, dan di Kuantan menyebut diri Talang Mamak. Jadi sangat mungkin semua suku tua pedalaman Sumatera ini punya silsilah besar yang sama sehingga alur dan fungsi cerita juga banyak yang sama.  

“Cerita Bujang Rumandeung juga sangat panjang,” Pak Dukun memberi perbandingan. “Bisa tiga hari tiga malam, sampai tujuh kali perang, tujuh kali mati dan tujuh kali hidup kembali…,” kembali Pak Dukun terkekeh, dan perempuan-perempuan di dapur ikut bersorak girang membayangkan adegan dalam cerita. “Sayang itu sudah mulai jarang dipertunjukan,” Pak Dukun lalu seperti mengeluh. 

Malahan yang sering “dipertunjukan” dalam acara begawai sekarang adalah sabung ayam, yang berbau judi. Meski sejatinya, sabung ayam merupakan acara sah dalam ritual-ritual penting orang Talang Mamak, mulai perkawinan (begawai), kelahiran maupun kematian (turun tanah). Hampir sama dengan ritual tabuh rah masyarakat Hindu Bali, ada ritual adu ayam untuk memulai sebuah upacara. Demi memenuhi syarat mendarahi halaman pura dengan tetesan darah si jago. Semacam persembahan pada Semesta. Itulah intinya.

Namun seolah bernasib sama dengan tabuh rah, tradisi adu ayam itu kerap dilanjutkan oleh para bandar sebagai ajang perjudian. Jadilah sabung ayam di sini atau metajen di Bali, jadi arena pertaruhan dan itu menghabiskan waktu berhari-hari. Ini membuat orang Talang Mamak dicap punya tradisi kurang elok. Padahal, secara adat, mereka tak pernah merestui adu ayam untuk berjudi, kecuali sebatas ritual mendarahi tanah tempat upacara. Tapi para bandar dan peminat judi sabung ayam akan lekas berkumpul jika ada acara begawai di kampung, dan itu sulit dicegah oleh siempunya acara.

Saya teringat dalam diskusi komisi-komisi di acara Pekanbaru kemarin. Budy Utami, penyair yang juga aktif berkegiatan di masyarakat pedalaman dan punya akses kepada sejumlah petinggi Riau, sampai menelepon langsung Kapolda Riau. Ia mengonfirmasi bagaimana pandangan polisi atas sabung ayam dalam begawai. Kata Budy, Pak Kapolda bilang jika sabung ayam sebatas ritual, tidak ada masalah. Yang persoalan adalah kalau sabung ayam itu dilanjutkan dengan perjudian. 

Begawai itu sendiri bukan hanya punya sabung ayam, tapi ada proses panjang dari sejumlah tata-cara warisan leluhur. Mulai betandang, membibit, menyulu, berjanji,  menjemput hingga menambul. Semua itu tak bisa sepenuhnya dinilai hitam-putih dengan kacamata agama langit. Sekali pun itu dianggap “pahit”. Betandang misalnya, laki-laki boleh bermalam di rumah perempuan, berangkat malam pulang pagi. Tapi itu bukan tanpa aturan. Ada pengawasan yang dilakukan secara ketat secara adat. Tulisan Ayu yang dimuat dalam buku hasil pelatihan menulis memori kolektif, sangat detail menceritakan tata cara dan falsafah Begawai

Karena itu, jika memang ada penyesuaian atau perubahan, katakanlah sesuai ajaran Islam yang banyak dipeluk orang Talang Mamak, maka harus dengan pendekatan persuasif. Sebagaimana Ustaz Abdul Somad yang sering masuk secara kekeluargaan ke kalangan masyarakat adat Riau, termasuk ke komunitas Talang Mamak. 

Kemarahan Pak Batin 

Dalam lintasan waktu yang panjang, tak kalah banyak unsur-unsur adat Talang Mamak yang hilang. Ritual membuka huma, mengobat padi dan memanen ladang, misalnya, sudah tak bisa dilakukan lagi seperti dulu. Hampir tak ada hutan bersisa untuk dibuka menjadi huma. Padahal di situlah teater ritual mereka dipentaskan. Penanam padi ladang juga makin sedikit. Selain lahan kurang subur karena tak ada proses menabur abu dari hasil pembakaran, beras dari kota juga menyerbu masuk ke kampung-kampung. Lagi pula, siapa yang mau menggara burung-burung? Dulu anak-anak mereka yang melakukannya. 

“Sekarang anak-anak sibuk main hp,” seorang perempuan tua ikut berciloteh.

“Burung mereka sekarang burung kartun, dan kesukaan mereka main game,” sela perempuan lain.

“Iya, memang begitu,” Pak Dukun membenarkan. “Dulu banyak permainan dalam acara begawai. Sekarang banyak pilihan permainan dalam gawai,” Pak Dukun tertawa lepas mendapat dua perbandingan yang memuaskan itu: begawai sebagai pesta perkawinan yang punya banyak mata acara, dan gawai sebagai gadget yang penuh tawaran.   

Begitulah, sabung ayam dalam begawai, misalnya, hanyalah satu rangkaian dari acara lain yang tak kalah penting, seperti bapantun dan basilat. Sekarang, katanya, tinggal sabung ayamnya saja.

Saat bercerita tentang sabung ayam, Pak Batin Irasan muncul di pintu. Ia menepati janji untuk datang. Wajah Pak Batin jauh lebih dingin dan “angker” dibanding Pak Dukun. Rupanya ia sempat menguping kami bercerita soal adu ayam. Langsung saja ketika masuk Pak Batin menyambung,”Dalam acara di Pekanbaru kemarin sudah aku bilang kalau sabung ayam itu wajib ada di acara begawai, jangan hanya lihat lanjutannya…

Matanya merah. “Aku tak suka ada kepala desa yang bilang itu semua haram dan membuat kita jadi miskin. Untung aku idak satu kelompok dengan dio, kalau satu kelompok kuhabisi pendapat dio. Tahu apa orang adat kita!” Pak Batin merujuk sidang komisi di acara Pekanbaru tempo hari. Menurutnya ada seorang kepala desa dari Rakit Kulim membuat pernyataan kontra terhadap adat. Padahal yang ia lihat hanya efek dari adat yang tidak dikawal semestinya. 

“Tapi saat istirahat, aku panggil dio sendirian, dan aku cecar soal adat…” nada Pak Batin terdengar gemilang.

Saya tak tahu sejauh itu kemarahan Pak Batin. Meski kemarin, saya memang melihat ia sosok paling vokal bicara keadaan masyarakatnya. Kebetulan ia salah seorang pembicara di forum, bersanding dengan Prof. Dr. Kurnia Warman, dan lain-lain. Jauh sebelum kawasan Rakit Kulim memiliki sistem pemerintahan desa dan kecamatan, ia sudah malang-melintang sebagai pemimpin kampung-kampung Talang Mamak. Pak Batin juga kerap diundang dalam pertemuan masyarakat adat di berbagai tempat, termasuk ke Ambon. Para kepala desa sekarang rata-rata adalah angkatan keponakan dan anak-anaknya, sebagian punya hubungan darah dengan dia. Jadi wajar Pak Batin bisa langsung “menjewer” mereka bila dianggap kurang pas dalam tugas. 

Ruang dapur Pak Dukun jadi sedikit mencekam karena pelampiasan amarah Pak Batin. Saya pun nyaris ciut nyali melihat wajahnya yang merah berkeringat. Apa akal? Jika saya bawa rokok sendiri, pasti sudah saya tawari dia sebagai pemecah kebuntuan. Tapi saya tidak merokok, kecuali sesekali saat kepedasan, cuaca dingin atau nongkrong—jika dihitung sebenarnya kelewatan juga untuk sebutan “tidak merokok”. Sedang berpikir-pikir demikian, eh, tak lama kemudian, Pak Batin angkat baju kaos yang dikenakannya sambil bilang,”Cuacanya panas, mungkin sebentar mau hujan…” 

Lalu ia telentang begitu saja di atas tikar, dengan perut terbuka menggunung. Seketika “kengerian” yang ia timbulkan buyar…

Pak Batin pamit menjelang tengah malam dengan air muka yang mulai bersahabat. Sepulang Pak Batin, saya dipersilahkan Pak Dukun untuk tidur di tengah rumah induk. Rumah induk punya tiga kamar yang ditempati Pak Dukun dan istrinya serta anak-anak perempuannya. Selebihnya ruangan dibiarkan lapang terbuka, tidak banyak perabot. Saya bayangkan itu tempat yang luas bagi anak-anak untuk berlarian sepuasnya.

Di bagian atas ada pagu tempat menyimpan alat-alat rumah tangga. Karena besok pagi mau ada acara, beberapa kali perempuan-perempuan kampung naik ke tangga pagu menurunkan alat-alat dapur. Seiring malam yang kian larut, perempuan-perempuan itu pun pamit, dan suara yang tadi ramai di dapur perlahan surut.

Ditemani anak-anak lelaki Pak Dukun, rasa lelah dan kantuk segera menggamit saya ke peraduan. Malam itu, meski hanya beralas tikar, saya tidur nyenyak sekali. Apalagi, benar terka Pak Batin, hujan turun tengah malam membuat hawa jadi nyaman.

Pagi Bening di Talang Sungai Parit

Saya terbangun saat kokok ayam jantan bergema nyaring di kolong rumah. Sengaja saya bangun pagi-pagi, selain untuk menunaikan sholat subuh, juga mengambil waktu mandi mumpung anggota keluarga yang lain belum bangun. Soalnya adalah, kamar mandi Pak Dukun yang berada di samping rumah, persis dekat lorong orang ke luar-masuk, tidak berdaun pintu. Kamar mandi itu sendiri bersih, luas, dan memiliki bak air yang besar. Sebuah mesin cuci merk terbaru juga ada di situ. 

Tapi saya tak punya bayangan lain bagaimana caranya mandi di tempat terbuka seperti itu, kecuali bangun lebih dulu selagi masih gelap. Eh, ternyata saya tetap keduluan orang lain! Anak-anak Pak Dukun sudah pada bangun. Malahan kakak David, saya lupa namanya, sudah bersiul-siul menyisir rambut di depan kaca, bersiap sekolah karena sekolahnya cukup jauh. Terpaksalah pagi itu saya hanya cuci muka dan berwuduk saja.

Tentu saya tahu, orang-orang di kampung yang dekat dengan alam terbiasa bangun sebelum fajar untuk menunaikan darma baktinya di sawah, ladang dan huma penghidupan. Begitulah yang saya lihat di Talang Sungai Parit. Saya sengaja berjalan keliling kampung dan menjumpai orang-orang mulai beraktivitas. Kebanyakan berangkat ke kebun, dan sebagian pergi membangkit bubu dan jala di sungai atau parit. Saya juga melihat kakak David berangkat sekolah dengan berjalan kaki, masih bersiul-siul riang. Ada pun David yang sudah berapa waktu ini tak mau masuk sekolah, tak kalah riang dengan senyumnya, datang menyusul saya.

“Mau ikut saya, ndak, Pak?” katanya.

“Ke mana?”

“Menyusul Hairil ke parit angkat jala!”

“Baik,” jawab saya, dan David segera berbalik.

Tak berapa lama ia kembali mengendarai motor bebek yang rodanya dimodifikasi dengan ban bergerigi besar. Pilihan ban ini untuk menundukkan medan licin berlumpur ke kebun atau ke ladang. Motor pun menderu membawa kami menyusuri jalan tanah liat yang tak kalah licin. Saat mau masuk ke arah kebun di mana Hairil memasang jala di salah satu paritnya, anak itu lebih dulu muncul bersama seorang temannya. 

Keno ula,” katanya. Ternyata jalanya dimasuki seekor ular seukuran kaki orang dewasa. Badannya jadi tambah gemuk karena memangsa ikan-ikan di jala. Ular itu sendiri akhirnya tersangkut dan mati. Hairil terpaksa membuang sekalian jalanya, dan tanpa kelihatan kecewa, ia segera meluncur pulang dengan knalpot motor berasap. 

Saya dan David melanjutkan perjalanan ke arah Talang Perigi. Di perbatasan, di atas jembatan Sungai Ekok II, kami berhenti. Sisi sungai itu dijadikan tepian mandi oleh masyarakat terdekat. Tapi karena semalam hujan cukup deras, airnya melimpah kuning kecoklatan. Sungai ini akan bergabung dengan anak-anak sungai lain sampai akhirnya masuk Sungai Kuantan atau Indragiri. 

Posisi jembatan yang diresmikan tahun 2013 itu lumayan tinggi. Dari sana saya bisa melihat hamparan kebun kelapa sawit seluas mata memandang. Seperti lautan. Hijau tua kemerahan. Mengepung kampung-kampung adat Talang Mamak. Hanya sebagian kecil lahan tampak menyisakan kebun karet.

Setelah memotret menggunakan hp ke arah empat mata angin—dengan pemandangan yang sama; lautan hijau tua—saya lalu googling mencari luasan kebun sawit di Indragiri Hulu. Pusat Statistik Provinsi Riau mencatat luas areal perkebunan sawit Indragiri Hulu tahun 2019 mencapai 118.969, 00 hektar. Bandingkan dengan kebun karet seluas 61.370, hektar. Apalagi kelapa  yang hanya 1.828, 00 hektar. 

Karena sinyal hilang-timbul, saya tidak sempat menemukan berapa luas kebun sawit di Kecamatan Rakit Kulim. Tapi saya duga pasti sangat luas, jika bukan yang terluas. Dalam kegiatan kemarin, saya sempat mendengar para aktivis menyebut sejumlah nama perusahaan besar yang beroperasi di Rakit Kulim. Mereka disebut kerap terlibat konflik dengan masyarakat adat.

Tak heran, di google dengan gampang terlihat judul-judul berita media online tentang kondisi lapangan. Misalnya lahan warga Desa Pring Jaya yang diduga diserobot perusahaan, sehingga masyarakat balik menangkap karyawan (Riau Madani, 4 Oktober 2016). Atau tentang pengrusakan pondokan petani sawit Desa Talang Tujuh Buah Tangga yang diduga dilakukan pihak perusahaan (Merdeka, 27 Desember 2017). Juga tentang sebuah perusahaan yang ditaksir merugikan negara Rp 12 trilyun karena mengalihfungsikan hutan adat Talang Mamak di Desa Talang Selantai (Berita One, 23 Juli 2022). Dan masih banyak lagi.

Tapi ada juga berita-berita memikat hati seperti petani Talang Mamak yang diajak bikin kelompok tani oleh perusahaan di Petalongan, perusahaan sawit yang membangun jembatan antar desa, perusahaan salurkan CSR ke empat sekolah, hingga PTPN V yang membuka akses jalan penghubung 11 desa.

Bagaimana pun, media adalah arena kontestasi. Saya hanya bisa berbisik dalam hati, semoga saja jurnalis-jurnalis masa kini tetap setia pada hati nurani. Salah satunya menjaga kejujuran membela nasib masyarakat adat menghadapi penyerobotan lahan oleh perusahaan perkebunan.  

“Kalau air surut, enak mancing di sini,” suara David yang jernih membasuh pikiran saya. Bila air besar dan deras, kata David, ikan-ikannya ikut hanyut. Bila banjir meluapi kebun sawit, maka ikan-ikan itu akan masuk ke parit-parit kebun. Saat air surut, galur-galur akan terisi ikan puyu, sepat, gabus, limbat dan bakok. Itulah asal-usul ikan di parit. Tapi kata David lagi, tak jarang ikan diberi racun potas oleh mereka yang tak sabar.

“Sekalinya dapat memang banyak, Pak, tapi semua ikan musnah. Harus menunggu lagi musim banjir supaya parit ada ikannya.”

Ya, selalu ada yang dikalahkan lewat kekuasaan jalan pintas, gumam saya.

Dan untuk memintas pikiran berat supaya tak menggencet pagi bening saya di Talang Sungai Parit, maka saya mengingat kenangan manis dengan ikan rawa. Waktu kecil saya senang memancing di sungai kecil dan rawa-rawa kampung saya. Dulu kampung di pantai barat Sumatera itu masih menyisakan rawa dan kebun sagu. Kini, seperti kampung-kampung Talang Mamak yang berubah, lingkungan kampung saya juga berubah. Semua rawa mengeras kering lalu dijadikan lahan membangun rumah. 

Karena itulah, setiap kali pergi ke Kalimantan, saya selalu melirik spot mancing ikan rawa, dan bernostalgia dengan ikan aruan, papuyu dan sepat. Dan di Talang Mamak, saya tak mau kehilangan moment yang sama. Maka saya bilang ke David, nanti sore kita harus mancing. David dengan senang hati menyambut, dan segera menyebut nama-nama tempat yang bisa dijajal sebagai spot mancing terbaik. (Dan itulah yang kami lakukan kemudian, meski karena keterbatasan waktu tak sempat ke spot rekomendasi David, tapi mancing di parit dekat rumah cukup melepas klangenan masa kecil).

“Badukun, Turun Tanah”

Pulang ke rumah, saya melihat jejalan sepeda motor parkir di halaman. Selain motor baru, dalam arti terlihat bersih dan tidak dimodifikasi, tak kalah banyak motor tua dengan ban bergerigi besar. Itu artinya, orang yang bekerja di kampung atau kecamatan, serta mereka yang bekerja di ladang, sekarang sama-sama berkumpul di rumah Pak Dukun. Untuk menunaikan acara turun tanah seperti saya dengar kemarin.

Benar saja. Rumah bagian dapur sudah penuh dengan laki-laki yang duduk sambil merokok dan menginang. Di bagian lain ruang itu para perempuan sibuk menyiapkan segala sesuatu. Mereka merebus ramuan dari tumbuhan hutan, dan yang lain membuat wadah dan anyaman untuk badukun. Ruang itu konsisten digunakan sebagai aktivitas umum, mulai menerima tamu hingga berupacara. Sementara ruang rumah utama dibiarkan kosong lapang, sehingga ketika saya masuk dari pintu samping sejenak saya merasa asing, seolah terkepung mata-mata yang serentak menatap dari arah dapur. 

Tapi itu tidak lama. Sesuara yang akrab saya dengar menyela di antara tatapan mata,”Ayo makan, Pak, nasinya sudah keburu dingin!” Di tengah rumah, dekat tiang, ternyata telah terhidang nasi dengan sayur-mayur segar seperti kemarin malam. Tampaknya tuan rumah mengerti kesukaan saya.

Dan Pak Dukun masih sempat menyilahkan saya makan sesaat sebelum ia sendiri bersiap-siap menjalankan aktivitasnya badukun. Ia duduk di tengah-tengah hadirin, buka baju saja. Mulutnya komat-kamit bukan mengucap mantra, tapi mengunyah sirih. Di depannya, seorang laki-laki duduk menghadap. Laki-laki itulah yang mulai beraksi menggerakan segala piranti upacara. Menyan dibakar, asapnya diusapkannya ke wajah Pak Dukun. Ia ucap bismillah, setelah itu bercampur mantra-mantra. 

Rupanya dalam upacara tersebut Pak Dukun lebih berperan sebagai “medium” bagi arwah si mati. Peran itu, saya ketahui kemudian, jauh lebih berat. Ia ibarat pemimpin upacara, sedangkan pelaksana upacara adalah balian atau kumantan. Laki-laki yang membaca mantra di hadapan Pak Dukun itulah sang Kumantan.

Mantra Pak Kumantan kian “liar”, mulutnya kian cepat berucap. Tangannya menyentuh tiap titik tubuh Pak Dukun, menggarisnya dengan kapur, dan menempelkan anyaman daun rumbai yang dibuat perempuan-perempuan tadi, mulai di kepala, bahu dan dada. Anyaman itu menjuntai berjumbai-jumbai di kening Pak Dukun yang masih terus mengunyah sirih seperti mengunyah permen karet, membuat wajahnya seperti berubah jadi wajah masa silam seolah saya belum mengenalinya sejak semalam. 

“Jangan kau foto,” bisik Pak Batin kepada saya yang mendekat tegak di pintu. Tangan saya sebenarnya ingin bergerak memotret agak sepetik dua petik, tapi seolah tahu hasrat saya, Pak Dukun mendelik. “Makan saja sekarang,” katanya.

Seorang laki-laki kurus dengan kepala terikat kain hitam, ikut mengulang,”Ya, makanlah, Bang. Kami semua tadi sudah makan bahidang…

Saya akhirnya patuh. Lagi pula saya lihat, sejumlah laki-laki sudah mulai beringsut turun jenjang. Yang lain terus berbincang sesamanya. Tentang kebun dan ladang-ladang. Info terbaru perusahaan perkebunan, dan segala macam. Perlahan barisan orang-orang mulai longgar. Bunyi mesin motor ribut di halaman. 

Saya tak mengerti mengapa ritual yang saya bayangkan begitu sakral, ternyata berlangsung di antara percakapan dan kepergian orang-orang tanpa perlu pamit pulang. Padahal dalam buku Upacara Tradisional (Upacara Kematian) di Riau susunan Daud Kadir dkk. yang sempat saya scan di perpustakaan Komunitas Suku Seni Pekanbaru, kematian bagi orang Talang Mamak dianggap sangat “menakutkan”. Saya lihat buku itu lagi di hp. Di situ disebutkan kematian adalah kejadian yang tidak baik, bahkan disebut peristiwa sial. Karena itu mereka akan berupacara dengan sangat hikmat supaya roh si mati tidak mengganggu yang tinggal dan selamat ke tempat asal (1985:40).

Apakah ini hanya acara “sampingan” mengingat peristiwa kematian adik ipar Pak Dukun sudah lewat berapa waktu berselang? Atau ini bagian dari perubahan?

Saya tak tahu. Tapi boleh jadi saya telah terperangkap romantisisme yang kadung menganggap segala sesuatu tentang masyarakat adat itu eksotik. Ah, tidak! Sudah lama saya menyadari bahwa anggapan itu tak perlu. Saya teringat puisi yang saya tulis tentang masyarakat Dayak Loksado beberapa waktu lalu. Puisi tersebut justru ingin mengejek sikap orang-orang yang datang bertandang ke Loksado dengan semangat destinasi wisata. Jadi saya paham masyarakat adat tak saatnya lagi dikaitkan dengan eksotisme, sebagaimana kolonial memandang segalanya dari kacamata mooi-indie!

Hanya saja, jujur, sepanjang upacara yang saya lihat barusan, bukankah menyangkut kematian? Kematian, bagi saya, selalu terasa lain: sakral, ngelangut, hikmat. Tapi orang Talang Mamak pasti punya persfektifnya sendiri dengan filsafat dan semesta adat.   

“Swalayan Sayur-Mayur” dan “Olang” 

Sekarang saya ingin tahu ladang Pak Dukun, dari mana sayuran segar yang saya lahap dengan nikmat, berasal. David segera membawa saya ke sana. Letaknya tak jauh dari rumah, hanya di seberang jalan yang masuk ke arah kebun karet. Ladang sayur itu sendiri bekas ladang karet Pak Dukun yang sudah ditebangi karena harga tak kunjung membaik.

Lahan seluas hampir dua hektar itu semua diisi aneka tanaman sayur, mulai  jagung, labu, ketimun, terong tunjuk-terong bulat-terong ungu, singkong berbagai jenis (saya baru lihat ada singkong berdaun keriting), rimbang, cabe, tomat, kecipir, pitula, kacang panjang, pariya, keladi, semua ada. Tak berlebihan ladangnya dikatakan sebagai “swalayan sayur-mayur.” 

Menurut David, ladang sayur seluas itu tidak untuk dijual. Buat kebutuhan sehari-hari saja. Kalau ada tetangga atau orang kampung mau, boleh ambil. Dua buah pondok leang-leang berdiri di tengah ladang. Di atas pondok terdapat berbagai bungkus bibit tanaman berupa bebijian yang dikemas kelompok usaha tani atau mungkin hasil kemasan pabrik. Kata David, bapaknya membeli semua itu di Air Molek. Sekalian membeli pupuk dan obat, sebab, lanjut David, pupuk kandang saja kadang tak cukup.

“Kenapa tidak dibuat sendiri, David?”

“Lebih praktis. Dulu bila panen jagung misalnya, berapa tongkol jagung tua digantung di atas tungku dapur sampai siap tanam. Kini sudah jarang. Begitu juga pupuk, dulu dari kotoran lembu dan kambing, sekarang bapak tak sempat lagi membuatnya. Lagi pula, kurang mempan. Tanahnya sudah beda.”

Saya memandang hamparan ladang sambil menyimak jawaban perubahan yang disampaikan David. Di tengah ladang berdiri tiang sutet, dan kabel-kabel besar listrik melintang di atas langit ladang. Serombongan burung bertengger sebagaimana hinggap di ranting. Jadilah pemandangan “arkaik” berbaur dengan “futuristik”—hal-hal yang banyak mewarnai kehidupan orang Talang Mamak sekarang.

Sedang berpikir-pikir demikian, di pondok terjauh terdengar suara tembakan. 

“Bedil?” saya kaget. 

Lalu disusul suara ribut monyet-monyet menjauh.

“Kena?” saya lanjut bertanya.

David tertawa.

“Itu kakak saya menakut-nakuti monyet dengan bazoka buatan, Pak,” jelas David kemudian. Katanya, bila Doni tidak menyopir truk, ia akan membantu menjaga ladang dari serbuan monyet. Saya mendatangi pondok itu dan melihat bazoka buatan mereka menggunakan paralon diisi spritus. Di pangkalnya dilekatkan sebuah alat pemantik eletrik yang dihubungkan dengan kabel. Bila diisi spritus dan dipantik, akan menimbulkan gema suara, tapi tak ada benda yang keluar sebagai peluru. Semacam tembakan hampa. Saya mencoba, sayang tidak bisa meletus.

Puas berkeliling ladang sayur, saya pamit kepada kakak David yang sedang menonton sebuah acara musik di kanal Youtube. Katanya, sambil menunggui kebun dari usikan monyet, bisa asyik buka Youtube karena sinyal di kebun bagus ketimbang di rumah. O, okelah kalau begitu.

Kami bermaksud kembali ke rumah. Tapi persis di depan rumah Pak Batin, kami berpapasan dengan Ayu. Ia segera mengingatkan janji saya saat di Pekanbaru. 

“Jadi Bapak ke huma melihat padi kami?”

Tentu saya ingat janji itu. 

“Ayo, sekarang saja, Ayu,” jawab saya menghemat waktu. 

Ayu tinggal mengubik Hairil yang sedang menjemur cucian di halaman rumahnya. Mungkin ia mengambil alih tugas keluarga karena ayah-ibunya sibuk membantu acara di rumah Pak Dukun. Anak tiri Pak Batin itu sudah tahu rencana ke huma. Jadi ia pun bersiap naik motor. Di sebuah warung, ia mampiri Harianto. Berombongan kecil, kami berangkat menuju huma yang terletak di luar desa. Memasuki jalan tanah becek berlumpur, hingga motor tak bisa lagi dinaiki. Di batas itulah kami berhenti dan harus berjalan kaki. 

Apa yang disebut ladang di sini berbeda dengan ladang di Bukit Barisan, kampung saya. Di tempat saya, ladang berada di atas bukit, penuh pendakian. Ladang Talang Mamak terhampar datar karena memang terletak di hutan gambut. Tapi suasana yang ditimbulkannya sama: kedamaian huma. Angin semilir, suara burung-burung, dan kuik elang yang melayang layah di langit, membuat bayang-bayangnya memanjang menyepuh bubungan pondok yang berdiri kukuh di tengah ladang.

Kulik elang mengingatkan saya pada buku puisi Dheni Kurnia, penyair dan jurnalis kelahiran Air Molek, Olang 2 (Palagan Press, 2016). Buku pemenang utama Anugrah Hari Puisi itu sengaja saya bawa dan kebetulan saya yang mencetaknya dulu di Yogya. Puisi-puisi Bang Dheni dalam Olang bertolak dari kehidupan masyarakat Talang Mamak. Maklum kakekya dari pihak ibu, punya hubungan darah dengan keturunan suku tuha ini. 

Dalam masyarakat Talang Mamak, tulisnya di pengantar, olang (elang) merupakan perlambang. Sakral. Tidak boleh dipelihara, diburu, ditangkap apalagi dibunuh. Elang dianggap sebagai perantara pesan kepada yang gaib. Baik ketika melakukan pengobatan maupun ketika menyampaikan pesan kepada roh-roh orang yang sudah mati. Suara kulik elang juga mengandung pertanda.

Melihat sisa hamparan padi huma yang terjepit di tengah kepungan sawit, saya baca sebait sajak Bang Dheni, “Ruh Olang” yang menyayat hati:

Tampek ruh nanlah tobang

Tompek zat nanlah runtuh

Tompek bunian nanlah putus

Ke sarang olang-olang

Padi Ladang, Huma dan Harapan di Pondok Kukuh

Padi ladang milik keluarga Ayu tampak tidak terlalu subur, terutama jika dihubungkan dengan huma tempatnya tumbuh. Bukankah huma diasumsikan berhumus tebal? Tapi lihatlah, batang padi Ayu kurang tinggi. Daunnya agak menguning. Buah-buahnya banyak yang hampa. Menurut Ayu, sejak mereka dilarang membakar lahan, padi ladang jadi berubah kerdil. Biasanya, abu lahan yang dibakar akan menyuburkan tanaman. 

“Tapi kami tidak membakar seperti orang buka kebun sawit. Kami punya aturan, dan tak pernah api menjalar memusnahkan hutan,” kata Ayu sungguh-sungguh. 

Engkau benar, Ayu. Di kalangan masyarakat peladang, membakar lahan ada cara dan aturan mainnya. Tidak asal bakar, apalagi dengan sikap praktis akan mendapat lahan seluas-luasnya. Peladang terlebih dulu membersihkan sekeliling lahan minimal sejarak satu depa dari belukar atau hutan sekitar. Itu akan menjadi jalur pengaman api untuk tidak menjalar, sekaligus tempat memantau jika angin berhembus kencang. 

Saya tahu persis tradisi itu karena ayah saya juga seorang peladang. Di sana. Di kaki Bukit Barisan. Ayah saya biasa membakar hasil tebasan ladangnya, dan abunya dibiarkan sebagai pupuk alami yang menyuburkan tanaman. Tapi di sini, di kaki Bukit Tiga Puluh, sejak para pekebun besar main bakar lahan demi keperluan praktis, yang tertuduh sebagai pembakar hutan dengan kabut asap pekat, adalah petani kecil dengan huma-huma kecil penghidupannya ini. 

Lalu dengan konyol dan naif pemerintah mengeluarkan larangan membakar lahan. Beberapa kali terjadi kasus: lantaran membakar hasil tebasan di tengah huma, peladang Talang Mamak ditangkap polisi bahkan ada yang ditahan. Sejak itu mereka takut membakar hasil tebasan, sekalipun berakibat pada pola membuka lahan dan hasil ladang. 

“Padahal padi ladang harus tetap ada,” kata Harianto, anak Talang Mamak yang berhasil menamatkan kuliah di Pekanbaru. Bagi komunitas mereka, padi ladang merupakan bahan untuk setiap upacara. Keberadaannya tak bisa digantikan dengan beras dari padi sawah yang banyak dijual di pasar atau toko sembako. 

Begitu juga tuduhan sebagai peladang berpindah. Jangan bayangkan mereka membuka hutan seperti pemilik HPH dan HGU yang menghabisi semua pohon dalam waktu singkat. Masyarakat adat Talang Mamak punya aturan berladang dalam siklus yang diatur sepanjang musim, sepanjang masa. Saya teringat cerita Pak Dukun semalam tentang tata cara membuka ladang. Dimulai lebih dulu dengan malambas (menebas). Lalu di situ dipasang limasan dari pelepah pisang. 

Setelah tiga hari, wadah yang sudah dimantrai Pak Dukun maupun kumantan itu, akan dilihat kembali. Jika posisinya tertelungkup, berarti tak ada izin dari penunggu hutan. Jika tidak tertelungkup, berarti ada izin. Maka dibolehkan mulai membuka hutan dengan terlebih dulu memperhatikan sembilan malata di langit (hal-hal gaib), sembilan malata di awang-awang (seperti angin, puang, petir), dan sembilan melata di bumi (seperti ular, kerong-kerong, kala, lawa-lawa, selembada, cicak, semut…).

“Huya, huyaa!!” tiba-tiba terdengar suara menggusah dari tengah ladang, dan tali-temali orang-orangan dari jerami serentak bergerak-gerak. Ternyata itu adik perempuan Ayu yang bertugas menjaga padi dari serbuan burung-burung….

Aneh, ingatan saya melayang kepada sebuah sajak pendek kawan seperantauan saya, Riki Dhamparan Putra. Sajak berjudul “Huya” itu sudah sama-sama kami hapal sejak menyusuri malam-malam Kota Denpasar. Rasanya, cocok belaka ketika saya dawamkan di tengah huma orang Talang Mamak.

HUYA

Kami minum darah kami

Didih kerikil pasir di jalan

Nyanyian cinta

Sepanjang jalan nasib

Patuk biji musim

Kami terusir

Terbang cari makna kata

Huya

 Kami saksikan

Lumbung demi lumbung punah

Dibakar tangan-tangan waktu

Cukuplah

Kami tak lagi akan minta padamu

Kami makan hati kami

Kami kepalkan

Bagi yang mengais sampah

Di taman-taman negeri

1996

“Burungnya banyak sekali, sebab tinggal ladang kami dan ladang Dita saja yang belum panen,” kata Ayu sambil menunjuk ladang Dita di seberang pondoknya. Hari itu ladang Dita tidak ada yang menjaga, sebab ibunya yang biasa menjaga sedang sibuk membantu acara di rumah Pak Dukun. Dita sendiri pergi menunggui saudara yang sakit yang kemarin sudah ia jenguk. Tapi sesekali adik Ayu ikut menggusah burung-burung ke huma Dita. 

Burung-burung pipit pemangsa datang bergerombol setiap saat, dan setiap itu pula adik Ayu menghardik dan mengusirnya. Butuh kesabaran khusus untuk menunggui padi pada masa seperti ini, yang menurut Ayu bisa hampir sebulanan. 

Umur padi ladang sejak ditanam dan panen berkisar enam bulan. Sebagaimana saat menanam, saat menuai pun ada upacara dan lelaku khusus yang harus dijalani para peladang. Misalnya, pekerjaan menuai akan dilakukan para perempuan, dan itu tidak boleh bersuara. Jangankan berbincang sesama mereka, bahkan jika ada yang menyapa atau memanggil, tak boleh disahut.

“Sebab boleh jadi yang menyapa itu bukan makhluk seperti kita…”

Saat berbincang di depan pondok, ayah Ayu datang. Saya mengulurkan tangan. Laki-laki penuh keringat itu menjabat tangan saya erat-erat. Betapa hangat. Kemudian ia perintahkan Ayu mengajak kami naik ke pondok. “Buatkan minum,” katanya.

Setelah mencuci kaki di sebuah parit yang dilengkapi dengan titian dan lantai papan, selayaknya tepian mandi, kami semua naik ke pondok bertiang tinggi itu. Pondok kayu berukuran sekitar 6 x 5 meter itu memang kukuh. Punya serambi kecil, ruang tengah dan dapur. Ayu segera menyalakan api di tungku. Sementara saya mengajak Harianto, Hairil dan David, bercerita tentang kehidupan mereka. 

Keluarlah semua riwayat, hikayat, silsilah, juga cita-cita dari mulut mereka. Penuh hikmat. Dan lebih dari suara yang begitu fasih merangkai cerita, saya juga melihat banyak kisah terpancar dari mata dan muka yang bersih. 

Kemudian seorang gadis yang saya lupa namanya datang menyusul. Ia membawa sekresek kue-kue yang tampaknya sengaja ia beli di warung.  

Ketika kopi terhidang, dan anak-anak pun mulai makan kue, saya berkata,”Tulislah apa-apa yang kalian ceritakan itu dalam bentuk cerpen, puisi, novel…”

“Bagaimana caranya, Bapak?” tanya mereka hampir berbarengan.

Saya tersenyum. “Kalian bisa mulai dengan membaca. Buku-buku yang saya bawakan kemarin, semuanya buku cerita dan buku puisi.” Saya memang membawakan mereka sekardus buku dari Yogya dan sudah saya serahkan sewaktu di Pekanbaru.

“Siap, Bapak, tapi kami juga ingin diajari cara menulisnya,” kata Hairil penuh minat. Yang lain terlihat antusias. Saya sesap kopi dengan nikmat. 

Rasa lelah terasa sirna. Saya bersyukur telah menjejak tanah orang Talang Mamak, dalam dua makna. Pertama boleh jadi harafiah, di mana telah saya susuri sejumlah tempat dan saya jejaki sebagian kecil jalur hidup mereka. Kedua, segala yang saya dapat di sini menjejak di benak saya sebagai pengalaman berharga dan falsafah yang kaya. Namun saya masih berharap ada makna ketiga: meninggalkan jejak, sekecil apa pun  kelak… 

“Saya siap mengajari kalian menulis. Akan kita agendakan. Sekarang kalian lanjut dulu menulis hikayat kampung bersama Pak Pinto. Lewat menulis, kita semua akan menorehkan jejak,” saya meyakinkan mereka, dan sebenarnya lebih meyakinkan diri saya sendiri. Karenanya, nada suara saya nyaris tersedak. 

Saya lihat wajah semua anak berseri-seri. Seperti bulir padi yang terbit dari batang-batangnya yang kurus di tengah ladang. 

“Huyaa!!” adik Ayu berseru lagi. “Huya, huyaaa…!” Tali-temali bergerak. Ia terus berseru. Saya membayangkan gadis belia itu bagai Pak Dukun mengucap mantra-manta yang tak nampak, setia memagar kampung dari serbuan burung-burung liar. Bukan sekedar pipit dari tepi-tepi rimba, melainkan deru mesin-mesin sawit dari pusat-pusat kekuasaan. 

Kami pun lalu berteriak bersama-sama,“Huya, huyaa!!” 

Begitulah, kami gusah langit Talang Mamak yang masih mendung. Tapi dari balik awan, matahari akan bersinar membuat semuanya kembali cerah. Menumbuhkan harapan. Seperti biji buah labu yang diberikan Pak Dukun ketika saya pamit dari Talang Sungai Parit.

“Dalam buah labu kering ini masih tersimpan biji-bijinya. Pak Raudal bisa mengeluarkannya untuk ditanam di mana saja, sementara buahnya bisa buat wadah tempat air minum, sebagaimana kami memakainya di sini. Air akan menjadi sejuk,” tentu, Pak Dukun tidak sedang membaca mantra, walau ucapannya  penuh simbol. Ia menyerahkan labu kering ukuran sedang ke tangan saya. Juga kambuik (tas bulat kecil) dan anyaman tempat tembakau dari daun rumbai yang kuat. Saya menerimanya dengan rasa haru dan terima kasih.

/Talang Sungai Parit-Lemahdadi, 

awal tahun 2023 Menja


Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian ke tiga dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co

Di Rumah Pak Dukun

Rumah Pak Dukun paling besar dibanding semua rumah yang saya lihat saat melewati jalan kampung. Terbuat dari kayu kulim (ulin), bertiang setinggi satu meter, menyisakan kolong nyaman bagi anjing, ayam dan hewan piaraan. Sejenak mengingatkan saya pada rumah panjang Dayak, Balai Malaris, di Loksado, Pegunungan Meratus. 

Rumah itu terbagi dua. Bagian utama saya perkirakan berukuran 12 meter x 9 meter. Berdinding dan berlantai papan, sudah mengenakan jendela-jendela kaca dengan bingkai polos. Atapnya dari seng. Sedangkan bagian kedua berukuran sekitar 8 meter x 5 meter, merupakan bagian dari dapur, berdinding kulit kayu tarab dan beratap daun rumbia. Bahan-bahan kayu, termasuk kulitnya yang tebal dan kuat, diambil dari pohon-pohon terakhir kawasan Rakit Kulim. Belakangan rumah-rumah berganti tembok-beton sebagaimana jamak kita jumpai di kampung-kampung lain.

Di belakang samping kiri terdapat bangunan lumbung yang semuanya berbahan kayu. Kecuali atapnya yang tidak selengkung tanduk kerbau, bentuk bangunan persis lumbung di Minangkabau dengan ukuran mengecil ke bawah, lazim disebut rangkiang. Rangkiang biasanya didirikan di bagian depan rumah gadang, tapi di Talang Mamak berada di samping belakang. Lebih ke belakang lagi dari lumbung, terdapat kandang kambing Pak Dukun yang sesekali terdengar ramai mengembik. 

Padi di lumbung dan ternak di kandang, bukankah cukup bukti untuk menunjukkan kekuatan orang Talang Mamak untuk mandiri?

Begitulah saya mengartikan semua hal yang saya lihat di seputar rumah dan pemukiman Pak Dukun. 

Pak Dukun, laki-laki bertubuh gempal dengan air muka yang akrab. Saya taksir usianya belum 60. Ia tersenyum lebar menyambut kami di pintu rumah bagian dapur. Tiga orang anaknya sepantaran Dita dan Ayu ikut duduk menunggu. Hairil Candra, anak Pak Batin, ikut bergabung. Keakraban segera terasa di antara kami. Persis keakraban yang saya rasakan saat bertemu Pak Batin dan anak-anak Talang Mamak di Hotel Premiere Pekanbaru tempo hari. 

“Beginilah keadaan kami di sini, Pak. Rumah kayu gotong royong, sisa masa lalu,” kata Pak Dukun memperkenalkan “istana”-nya.

“Enak rumah Pak Dukun ini, sejuk,” kata saya tanpa bermaksud berbasa-basi. 

Kami dipersilahkan menaiki anak tangga pendek, dan mendapati ruangan berlantai bambu dialasi bentangan tikar rumbai hasil anyaman sendiri. Selain tikar, perempuan-perempuan Talang Mamak juga pandai menganyam rupa-rupa wadah keseharian mulai bakul, tas, ambung, hingga tempat tembakau-sirih-pinang. 

Rupanya ruangan bagian dapur inilah yang difungsikan tuan rumah untuk menerima setiap tamu. Baik tamu dari jauh maupun orang sekitar yang datang hendak berobat. Saya duduk menyandar ke dinding kulit pohon tarab yang kuat.

“Di tempat bapak duduk nanko, hampir tiap tahun ada orang partai politik ikut duduk. Terakhir bapak gubernur Riau. Semua menjanjikan perubahan,” kata Pak Dukun dengan nada ironis. Saya merasa tergelitik. Ia lalu membuat sirih, dan menyilahkan saya ikut menginang. 

Teringat masa kecil bersama nenek, saya pun mencoba melipat sesirih pinang. Sebenarnya saya ingin sambil bertanya siapa nama Pak Dukun, tapi entah kenapa saya rasa belum saatnya, atau mungkin tak perlu. Sebab dengan panggilan “Pak Dukun” saja  sudah cukup mewakili segala hal tentang dirinya.

Sesuai namanya, Pak Dukun berperan mengobati orang sakit dengan menggunakan ramuan daun-daunan: si tawar sidingin dan pucuk kumpai serta tanaman hutan. Namun untuk memetik atau mencarinya, termasuk menyiapkan perlengkapan badukun, Pak Dukun dibantu para bantara. Sepasang bantara laki-laki dan sepasang bantara perempuan. 

Dukun memang menjadi bagian penting dari struktur masyarakat adat Talang Mamak, selain batin dan balian atau lazim disebut kumantan. Kalau Pak Batin berperan sebagai katuha atau pemimpin adat, maka dukun dan balian sama-sama mengobati penyakit dan memimpin ritual. Bedanya, dukun lebih menangani hal-hal tak kasat mata, seperti ilmu gaib, gangguan roh atau menjinakkan harimau. Sedangkan balian mengobati penyakit fisik seperti luka atau patah tulang. 

“Istilahnya, kumantan untuk berobat tangga di atas, dukun tangga di bawah,” jelas Pak Dukun. Karena itulah, di ruangan tempat kami duduk, ada sebuah bilik kecil berdinding kulit kayu tempat menyimpan benda-benda keramat milik Pak Dukun.

“Dulu, ketika hutan kami masih ada, harimau yang tersesat masuk kampung atau mengganggu orang berhuma, tugas aku mengurus,” kata Pak Dukun dengan bahasa Minangkabau campur bahasa Melayu, namun dengan logat yang khas. 

Sebagaimana bahasanya yang khas, orang Talang Mamak juga punya hubungan khas dengan si raja hutan. Mereka tidak saling bermusuhan. Tak ada harimau yang dibunuh, tak ada manusia yang terbunuh. Justru itulah peran sentral Pak Dukun; menjinakkan harimau dengan semangat persahabatan. Hal ini mengingatkan saya pada cerita-cerita masa kecil dulu di kampung, yakni tentang manusia harimau atau cendaku, harimau jadi-jadian. Ia akan beraksi bila ada tindak kejahatan di kampung. Tapi di kampungku, pantai barat Sumatera, cendaku dipercaya berasal dari pedalaman Jambi. 

“Sebenarnya, cendaku itu merujuk Sungai Batang Cenaku, daerah pemukiman Talang Mamak arah perbatasan Jambi. Masyarakatnya memang akrab dengan harimau, habitat asli Bukit Tiga Puluh,” saya teringat cerita Sanak Andiko Sutan Mancayo kemarin di Pekanbaru.   

“Segalanya Berantakan”

Peran sentral dukun sebagai penetralisir jagad kosmos dan jagad hayati, membuat keberadaannya sangat dihormati. Apalagi dukun merupakan jabatan turun-temurun dengan ilmu warisan yang tidak semua keluarga memilikinya. Meski tentu mutlak legitimasi adat dan masyarakat. Karenanya, meski Pak Dukun mewarisi profesi dukun dari sang ayah dan ayahnya dari kakeknya dan begitu seterusnya, tapi harus ditahbiskan lewat upacara khusus. 

“Saya ini orang tidak sekolah. Kebanyakan kami di sini begitulah adanya. Mungkin karena itu perusahaan sawit bersilintas angan kepada kami. Semua hutan tempat kami berhuma, bahkan ladang karet kami, habis diambil perusahaan dan ditanami sawit. Atas nama HGU,” Pak Dukun menerawang. 

HGU adalah Hak Guna Usaha, izin konsesi pengolahan lahan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan kelapa sawit. Semacam HPH (Hak Penguasaan Hutan)  pada masa Orde Baru yang menghabiskan jutaan hektar hutan dari Sumatera hingga Papua. Hal sama terulang lewat HGU. Berkat surat sakti itu, sejumlah perusahaan perkebunan besar milik swasta bersimaharajalela membuka kebun tanpa batas. Keanekaragaman hayati di planet bumi mereka buat homogen dengan satu jenis tanaman saja.  

Pak Dukun menyepuh mulutnya dengan punggung tangan, mulut yang terpercik air sirih. Ia kemudian mengganti sirih dengan menyulut sebatang rokok. Setelah isapan pertama, sembari menghembuskan asap tipis di udara, ia mulai menceritakan nasibnya sendiri berhadapan dengan pemegang HGU. 

“Kebun karet saya habis dibabat perusahaan,” katanya dengan nada tertahan.

Sebanyak empat hektar kebun karet Pak Dukun ludes nyaris dalam sehari ditebangi mesin-mesin raksasa perusahaan. Ia yang hari itu tidak ke kebun, diberi tahu oleh peladang lain, dan saat bergegas datang dia hanya menemui batang-batang karet kesayangannya sudah rebah terhumbalang. 

“Itu ditebangi tanpa ganti rugi, Pak?” saya bertanya polos.

“Macam mano nak ganti rugi, izin pun dio tidak, Pak,” kata Pak Dukun seolah tersedak. “Karena aku marah, besoknya aku dipanggil ke kantor perusahaan dan diberi uang empat juta. Kalau itu ganti rugi, ya, rugi aku, Pak!”

Pak Dukun mengaku tak tahu dari mana perusahaan itu muncul, tahu-tahu sudah menerabas hutan di sekitar Talang Sungai Limau, Talang Sungai Parit dan kampung-kampung sekitar. Mulanya perusahaan membuka kebun di kawasan Seberida yang masih jauh dari Talang Parit. Tapi pelan dan pasti merangsek ke kawasan Rakit Kulim. Padahal jika dilihat di peta Indragiri Hulu, Rakit Kulim terletak di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Tapi entah bagaimana ceritanya kebun sawit milik sejumlah perusahaan leluasa membuka lahan di kawasan yang dilindungi. Ini mengingatkan saya pada Taman Nasional Tessa Nilo di Pelalawan yang juga beririsan dengan hutan tanaman industri. 

Anak-anak seusia Dita dan Ayu lebih tak mengerti perubahan alam mereka. Dalam separoh usia mereka, tiba-tiba mereka telah menjumpai saja sawit tumbuh di mana-mana.

“Dulu kami tinggal di Sungai Ekok,” Ayu menyela. “Ayah berladang karet dan membuka huma berladang padi. Pohon-pohon kulim, tarab, sialang, pulai hingga enau dan nibung rapat mengepung kampung. Sungai juga jernih, banyak ikannya. Ada sebuah danau kecil di sana, selalu berair sepanjang musim,” mata Ayu berbinar-binar menuturkan cerita dalam bahasa yang indah. Pasti ia terbayang masa kecilnya yang tak kalah indah. 

Tapi kemudian mata Ayu berubah memendam amarah. Suatu hari sepulang sekolah, katanya, ia lihat hutan di sekitar kampungnya habis ditebangi. Ia melihat ayahnya panik. Dan ibunya menangis di sudut rumah. Ayu yang lelah berjalan kaki dari sekolah hanya diam memeluk ibunya, tidak mengerti apa yang terjadi. Ia pikir, besok ayahnya masih bisa menyadap karet, dan ibunya menggara burung-burung di huma.

Untuk beberapa hari ke depan, ayah dan ibunya, sebagaimana keluarga peladang lain, memang masih bisa bekerja di lahan mereka. Tapi setelah beberapa waktu segalanya berubah. Air mulai keruh, lantas mengering. Hutan berganti hamparan tanah terbuka dan segera ditanami anakan sawit. Cuaca terasa panas. Hidup setiap keluarga menjadi sulit. Seolah tak ada lagi masa depan. 

“Untunglah kami masih punya lahan di Talang Parit sini. Ayah mengajak kami pindah, dan tinggallah ladang kenangan kami, dirajam sawit,” mata Ayu kini berkaca-kaca. Kami semua hening sejenak.    

“Segalanya rusak, Pak!” suara Pak Dukun menyentak kami. Seketika saya teringat novel pascakolonial Chinua Achebe, Segalanya Berantakan. Apa yang dialami orang Ibo di Afrika, sebagaimana diceritakan Chinua, juga dialami orang Talang Mamak di Sumatera sebagaimana diceritakan Pak Dukun dan Ayu. 

“Hidup kami jadi susah,” Pak Dukun mulai lagi. “Banyak warga kami sudah tak punya lahan. Ada yang diambil perusahaan, atau tak ada lagi hutan yang hendak dibuka. Sebagian terpaksa menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.”

Pak Dukun menggambarkan keterpaksaan itu lewat sosok perempuan-perempuan perkasa Talang Mamak. Mereka terpaksa harus ikut mendodos ke kebun PTPN. Padahal upahnya tak masuk akal. Bayangkan, sekarung goni besar buah sawit hanya dihargai Rp. 6000. “Untuk dapat uang Rp. 30.000 sehari berapa goni kami nak dodos?”ucapan Pak Dukun itu bergema di rongga telinga saya. 

Mendodos adalah proses menjuluk buah sawit dengan galah besi. Jika tidak pandai, buah sawit bisa-bisa jatuh menimpa si tukang dodos. Masih untung kalau pohon sawitnya masih rendah. Kelapa sawit PTPN V yang ditanam sejak tahun 1991 itu sudah terbilang tua sehingga pohon-pohonnya tinggi. Kesulitan itu dihadapi orang Talang Mamak yang tak punya pilihan. Tak terkecuali para perempuannya. Seorang di antaranya adalah perempuan remaja yang ikut kelas latihan menulis dengan Pinto Anugrah. 

Pak Dukun boleh dikatakan cukup beruntung. Sebagai tokoh masyarakat, ia akhirnya ditawari bekerja di salah satu perusahaan perkebunan sebagai tenaga security. Ia mengaku terpaksa menerimanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun itu pun hanya status kontrak, karena untuk bekerja tetap harus ada ijazah. Sementara Pak Dukun, jangankan ijazah, baca tulis saja susah. Sampai suatu hari, sebagai security ia sempat melihat peta HGU perusahaan. Ia melihat ada bagian ditandai warna hijau, dan ia bertanya kepada rekannya yang paham apa maksudnya.

“Itu ternyata kawasan yang diperuntukkan buat masyarakat, kebun plasma. Namun itu sering tidak dipatuhi perusahaan. Mereka tetap menanam kawasan itu, dan jika tak ada gugatan, maka warna hijau itu bisa saja lanjut dikuasai perusahaan.”

Melihat itu, Pak Dukun berpikir, kalau begitu aku harus menguasai lahan itu sebelum didiamkan, tekadnya. Maka ia kumpulkan beberapa orang kampung, lalu lahan itu mereka kuasai. Setiap karyawan perkebunan masuk mereka usir dan lawan. Lahan yang baru ditanami sawit itu lalu mereka bagi-bagi. Luas totalnya ada 16 hektar. 

“Itu cara saya melawan, Pak, karena itu hak kami,” kata Pak Dukun berani.

Saat bercerita demikian, Pak Batin Irasan datang. Rumahnya hanya bersebelahan dengan rumah Pak Dukun, sebuah rumah semi permanen yang lebih kecil. Dia hanya menengok kami sebentar, kemudian pamit dan berjanji akan datang lagi nanti malam. Seiring dengan itu, Pinto dan sopir kami pun pamit ke Air Molek. Diikuti Ayu, Dita dan Hairil yang juga pamit. Tinggallah saya bersama Pak Dukun dan keluarganya.

Di luar, gelap mulai menyungkup perkampungan. Serangga malam mulai mengatur konser dengan nada kodratinya masing-masing. Ramai yang terasa senyap. 

“Mengaji” di Rumah Pak Dukun

Istri Pak Dukun sudah menyalakan lampu teplok yang terbuat dari kaleng minuman ringan. Ia berseru meminta David, anak lelaki bungsunya, untuk membawakan lampu itu ke hadapan saya dan Pak Dukun yang masih duduk berhadap-hadapan. Selintas persis orang sedang mengaji. Saya yang dimasa kecil duduk menghadap guru dengan lidi di tangan, kini menghadap seseorang yang juga tak ubahnya seorang guru dengan rokok di jari. Ia beri saya tunjuk-ajar, cerita dan falsafah nenek moyang. 

Sebuah bola listrik sebenarnya menyala cukup terang di ruang dapur, dan sebuah lagi di tengah rumah, tapi lampu minyak buatan ini tetap sengaja dinyalakan.

“Listrik sering mati. Lebih baik sedia pelita sebelum gelap,” kata Pak Dukun sambil menerima lampu teplok yang diulurkan David.

“Masih gampang dapat minyak tanah di sini, Pak?” tanya saya, sambil mengingat kehidupan di kampung dulu. Listrik baru masuk kampung saya ketika saya sudah SMA. Sebelumnya, sejak terpancar ke dunia, keluarga saya dan keluarga lain di kampung memakai lampu teplok minyak tanah yang  dibuat dari kaleng-kaleng bekas. Hanya surau dan lapau yang punya lampu stronkeng, menguapkan aroma spirtus, dan setiap kali dipompa akan bertambah terang berdengking.

“Ini pakai solar. Aman. Jangan pakai bensin, apinya bisa menjalar.”

Untuk pertama kali saya tahu bahwa solar juga bisa dijadikan bahan bakar lampu teplok. Saya kira karena Riau kaya minyak, dan pusat tambangnya tak jauh dari sini, akan gampang dapat minyak tanah. Padahal, saya sadar kemudian, untuk mendapat bahan bakar solar pun masyarakat Riau masih sering antri di POM, sebagaimana saya lihat sepanjang jalan Lintas Sumatera. Segala macam jenis minyak lebih gampang didapatkan di Ibukota, pusat kekuasaan, ketimbang di daerah yang menjadi pusat tambang dan basis kedaulatan.

David ikut duduk bersama kami. Bayang-bayang kami memanjang di dinding kulit kayu, bergoyang ditiup angin lembab yang berhembus di tiap celah. Saya membayangkan bayang-bayang itu seperti mambang hutan memanjati pohon-pohon.

“Si David sudah tak mau sekolah,” Pak Dukun menoleh anaknya. 

“Kelas berapa kamu, David?”

“Kelas dua SMP, Pak.”

“Sudah dua kali gurunya mencari ke mari, menanyakan kenapa David tak masuk sekolah. Aku tak tahu apo jawabnyo,” jelas Pak Dukun.

David senyum sumringah. Sikap tak mau sekolah itu bukan perkara baru di sini. 

“Sekolahlah lagi, David,” bujuk saya. David hanya mengangguk-angguk.

“Dulu minta motor bebek, kemudian ganti motor sport,” gumam Pak Dukun. Tadi di luar memang saya lihat sebuah motor sport bagus parkir di halaman. “Kebetulan ada masa harga sawit baik, bisa saya belikan motor. Pernah juga dapat penambah beli truk dengan menjual sebidang kebun karet. Dulu ada dua truk. Sekarang tinggal satu. Anak saya Doni yang menyopirinya cari muatan, kadang sampai ke Seberida dan Peranap.”

Istri Pak Dukun memberi isyarat bahwa makan malam sudah siap. Pak Dukun mengajak saya bergeser sejarak dua lembar tikar ke arah tungku. Di sana sudah terhidang nasi kemerahan dari beras ladang yang ditumbuk sendiri dengan alu. Kesannya seperti beras pirang. Kata guru saya di SD dulu, beras seperti itu lebih sehat karena kulit ari padi masih melekat, ketimbang beras putih ngecling yang jadi favorit orang kota, sampai ada berita beras diberi zat pemutih segala. 

Ada goreng ikan laut, yang kata Pak Dukun biasa dibawa pedagang ikan dari pesisir, entah pesisir barat atau pesisir timur. Yang menggoda saya adalah goreng ikan air tawar seperti gabus dan sepat yang didapat langsung dengan memancing. Atau memasang bubu dan jala malam hari, diangkat pagi. Tak kalah menakjubkan adalah aneka sayuran rebus dan dibuatkan sambal belacan. Mulai daun pucuk ubi, terong, rimbang, kacang panjang, kecipir dan pariya. Semua itu ditanam sendiri oleh Pak Dukun di kebunnya yang tak jauh dari rumah. 

Bayangkanlah betapa “mewah”-nya makan malam kami. Nasi dari beras ladang yang ditumbuk sendiri, aneka sayur yang ditanam sendiri dan ikan air tawar yang ditangkap sendiri. Semua sayur saya coba. Sampai akhirnya saya merasakan rasa pahit yang luar biasa. Saya ternyata telah memakan buah pariya. Saya kira pariya sama dengan pare yang banyak di Jawa, ternyata beda.

“Pare lebih panjang dan besar, tidak terlalu pahit,” kata istri Pak Dukun tersenyum. “Pariya paling besar hanya seempu kaki, panjangnya setelunjuk, tapi lebih pahit…”

Mendengar itu, Pak Dukun yang sudah lebih dulu cuci tangan segera menyambut,”Kalau kutahu periya pahit, tidak kumakan sejak semula, kalau kutahu bercinta pahit tidak kucoba sejak semula,” ia berhenti sebentar. “Kalau sampirannya pare, maka jadinya: kalau kutahu kere itu pahit, kupilih kaya sejak semula,” ia lalu tertawa dengan tubuh terguncang-guncang. Kesan seorang dukun yang biasanya “ngeri-ngeri sedap” sirna berkat kreativitas dan keakrabannya menghidupkan suasana.

Pak Dukun mengingatkan saya pada sosok laki-laki Minang atau Melayu yang gemar berpantun. Memang, masyarakat Talang Mamak memiliki tradisi berpantun dan kefasihan berpetatah-petitih. Banyak tunjuk-ajar adat dan ajaran leluhur disampaikan dalam bentuk bidal, pantun berkait dan berbagai metafor. 

Pak Dukun mengenal baik alam tempatnya lahir dan tumbuh. Dari Pak Dukunlah saya tahu bahwa kancil, pelanduk dan nafu itu berbeda. Kancil lebih kecil, beratnya sekitar 3-5 kg saja. Telinga dan taringnya lebih panjang dan warnanya kemerahan. Pelanduk lebih besar, bisa mencapai 7-8 kg warnanya agak kelabu. Nafu paling besar, bisa mencapai 10-15 kg, taringnya pendek dan punya bintik-bintik putih di leher. 

“Dan yang paling cerdik memang kancil. Kalau kena jerat, ia akan diam tak bergerak, mulutnya penuh lalat. Saat dilepas karena dikira mati, ia segera bangkit berlari,” Pak Dukun terkekeh. 

Saya terbayang cerita-cerita kancil yang cerdik dan lucu. Kadang kelucuannya juga dramatis. Misalnya, bagaimana ia menukar dirinya yang terkurung di kandang peladang dengan seekor anjing. Si kancil membujuk anjing peladang untuk masuk dan membiarkan dirinya pergi. Sebab katanya pesta khusus telah menanti. Di atas rumah, Pak Peladang dan Bu Peladang memang sedang sibuk menyiapkan masak besar. Seekor kancil kena jerat dan kini sudah ada di kandang di kolong rumah. Si anjing malang terpikat. Ketika tiba saat memotong, Pak Peladang ternyata telah memotong anjingnya sendiri. 

Pak Dukun juga punya kisah dramatis seperti itu. “Adakalanya kancil menggigit kakinya yang kena jerat. Hingga putus. Maklumlah taringnya tajam, dan tungkainya memang kecil,” sebut Pak Dukun tenang, nyaris dingin. 

Ia juga menjelaskan beda kura-kura dengan labi-labi, dan beda lagi dengan bulus. “Apalagi dengan penyu, bedanya jauh. Meski di sini ada Kecamatan Pasir Penyu, padahal jauh dari laut…” Pak Dukun terkekeh lagi. Kreatif, pikirku.

Cerita Pak Dukun tentu berangkat dari pengalamannya berhadapan langsung dengan segala makhluk rimba, sungai atau rawa. Kala itu hutan rimba masih jaya di tangan pemilik tanah ulayat. Sungai dan sumber air masih terawat. Sebelum mesin-mesin perusahaan bagai ulat-ulat ganas merenggut dan menggerogoti pusat semesta mereka. 


Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian ke dua, dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co

(Catatan Asa dari Talang Sungai Parit,  Desa Adat di Tengah Lautan Sawit)

TALANG Mamak. Saya mendengar namanya jauh saat masih berseragam putih-abu-abu. Lalu mengendap lama dalam kepala, sebagaimana saya memendam ingatan pada Suku Sakai dan Suku Anak Dalam. Kehidupan ketiga suku asli pedalaman Sumatera ini sama-sama berkaitan erat dengan alam. Ketika hutan sumber kehidupan mereka disulap menjadi kebun kelapa sawit, maka tidak bisa tidak, ada yang bangkit kembali dari ingatan. Bukan hanya isu lingkungan, juga bayangan pergulatan masyarakat adat mempertahankan tanah dan hutan ulayat. Dan itu sungguh tidak mudah.     

Keingintahuan sekaligus ingatan saya atas Suku Talang Mamak akhirnya menemukan kanal. Adalah AsM Law Office, kantor hukum yang peduli pada masyarakat marginal, mengundang saya dalam sebuah kegiatan. “Up Date Upaya Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Talang Mamak di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.” Begitulah disampaikan Andiko Sutan Mancayo, Senior Lawyer AsM Law Office. Kegiatan berlangsung di Pekanbaru, 16-17 Januari lalu.

Tokoh-tokoh masyarakat adat, para batin dan para kepala desa sekecamatan Rakit Kulim (kecamatan terbanyak dihuni suku Talang Mamak), termasuk anak-anak muda Talang Mamak, hadir bersatu dalam acara dua hari penuh itu. Tak ketinggalan kaum akademik, peneliti, aktivis LSM dari berbagai basis seperti AMAN, Huma, WALHI, LBH dan entah apa lagi. Pun pejabat pemerintahan Kabupaten Indragiri Hulu dan Provinsi Riau.

Acara mendapat respon bagus dari berbagai kalangan, menunjukkan atensi besar atas persoalan hidup Talang Mamak yang saat ini tergencet sawit. Sudah bertahun-tahun orang Talang Mamak berhadapan dengan korporasi perkebunan yang mencaplok tanah hutan ulayat mereka. Bertahun-tahun pula upaya pendampingan dilakukan berbagai pihak, baik secara hukum, lingkungan dan adat. 

Sederhana saja permintaannya: akui hak adat dan tanah ulayat Suku Talang Mamak. Dari situlah eksistensi dan hak mereka sebagai warga masyarakat asli Indragiri terpulihkan. Namun tuntutan yang terdengar sederhana itu masih jauh panggang dari api.  

AsM Law Office mencoba memberi aksentuasi lain dalam kerja pendampingan. Masyarakat dijadikan subjek utama perubahan, khususnya anak-anak dan para remaja. Sebab generasi mudalah yang akan berhadapan langsung dengan persoalan riil tanah kelahirannya. Maka diadakan kerja-kerja literasi, pelatihan menulis, membangun perpustakaan serta upaya peningkatan kapasitas personal dan kolektif lainnya. 

Bahkan kantor kecil mereka yang ada di Belilas, kemudian pindah ke Air Molek, diserahkan pengelolaannya kepada anak-anak muda Talang Mamak itu sendiri. Anak-anak muda itu juga diajak berkunjung ke komunitas dan tempat-tempat yang dapat membuka cakrawala. Juga anjangsana ke kota dan daerah-daerah baru bagi mereka: Pekanbaru, Padang, Bukittinggi, Bengkulu hingga Kualalumpur.

Tentu, sudah pada tempatnya pula kita membuka cakrawala atas keberadaan Suku Talang Mamak supaya saling mengenal. Dan pada gilirannya membangun empati atas ketergusuran mereka dari tanah hutan ulayat. Dalam dua hari pertemuan di Pekanbaru itu, saya sadar belumlah cukup memahami kehidupan mereka yang kompleks, apalagi setelah rezim dan kartel sawit merangsek hidup mereka dengan berbagai-bagai efek, nyaris tanpa ampun. Namun sebagai langkah awal perkenalan, sejumlah literatur bolehlah dibuka.

Sekilas Suku Talang Mamak

Suku Talang Mamak tersebar di Kecamatan Rengat Barat, Kecamatan Batang Cenaku, Kecamatan Batang Gangsal, Kecamatan Kelayang dan Kecamatan Rakit Kulim. Semuanya di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Mereka tinggal dalam puluhan dusun dan desa. Di Kecamatan Rakit Kulim saja misalnya, ada 15 desa, antara lain Talang Sungai Limau, Talang Perigi, Talang Sungai Parit, Talang Gadabu, Talang Durian Cacar, Talang Sukamaju, Talang Tujuh Tangga, Lubuk Sitarak, Sungai Ekok, Talang Salantai, dan seterusnya. Selain itu mereka juga ada di Dusun Semerantihan, Desa Suo-Suo, Kecamatan Sumay,Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. 

Zulyani Hidayah dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (1997) mencatat bahwa kata talang dalam Suku Talang Mamak berarti ladang, merujuk kehidupan mereka sebagai peladang di kawasan Pegunungan Bukit Tiga Puluh. Mamak merujuk sosok laki-laki tertua dalam keluarga dari pihak ibu. Jadi Talang Mamak artinya ladang milik pihak ibu yang dijaga oleh seorang mamak. Mereka memang menganut sistem materilinial sebagaimana orang Minangkabau yang mempengaruhi mereka lewat Datuk Perpatih nan Sabatang dari Pagaruyung. Bahasa mereka tergolong bahasa Melayu dengan dialek sendiri.

Masyarakat Talang Mamak bermukim di sepanjang anak-anak sungai Indragiri. Mereka terbagi dua kelompok berdasarkan pandangan asal-usul. Pertama, kelompok Talang Mamak Sungai Limau yang berdiam di aliran Sungai Limau dan Sungai Cenaku. Mereka menganggap keturunan Datuk Mendarjati. Kedua, kelompok Talang Mamak yang tinggal di sepanjang Sungai Gangsal dan Sungai Akar. Mereka menganggap keturunan tiga bersaudara: Datuk Ria Belimbing, Datuk Ria Tanjung dan Datuk Ria Muncak. 

Perbedaan pandangan mengenai asal-usul tidak membedakan sistem kekerabatan materilinial yang mereka anut, sistem pewarisan harta pusaka serta jabatan kepemimpinan yang terdiri dari batin, penghulu, mangku dan monti. Ini menunjukkan sebenarnya mereka satu asal, hanya saja ada tempat awal dan ada pengembangan wilayah. Rumah tangga terbentuk dari keluarga inti dengan membuat rumah sendiri di sekitar tempat tinggal orang tua perempuan (uksorilokal). Kesatuan hidup tertinggi adalah kampung yang dipimpin seorang batin atau penghulu adat (1997: 253).

Wikipedia mencatat bahwa dalam kelompok masyarakat Talang Mamak, terdapat sub kelompok yang disebut dengan suku. Kemudian dibagi lagi dalam tobo dan hinduik atau perut alias puak. Kelompok masyarakat ini tergolong Proto Melayu, suku asli Indragiri Hulu (Suku Tuha) dan lebih berhak atas sumber daya alam di Indragiri

Dalam hal agama dan kepercayaan, tulis Zulyani lebih lanjut, sebagian besar orang Talang Mamak menganut religi lama yang mereka sebut agama adat atau dikenal dengan agama Langkah Lama. Mereka berorientasi kepada pemujaan roh ninik-datuk (nenek moyang) dan makhluk halus penghuni hutan-rimba. Di sisi lain, Agama Adat tersebut mengharuskan mereka melaksanakan lima kebiasaan adat; bersunat, mengasah gigi, menyabung ayam, berdukun bekumantan (praktek syamanisme) dan pesemahan (ritual mengorbankan hewan di makam keramat) (ibid, 1997: 254). 

Belakangan, kepercayaan mereka lebih spesifik lagi disebut Islam Langkah Lama, semacam sinkretisme kepercayaan leluhur dengan agama Islam. Orang Talang Mamak menyatakan diri sebagai keturunan Nabi Adam dan mengakui Nabi Muhammad sebagai junjungan. Mereka menjalankan syariat Islam, melafalkan ayat-ayat suci Al Quran, berpuasa di bulan Ramadan, tanpa meninggalkan falsafah dan ajaran adat mereka. Seperti mantra-mantra dan berbagai ritual terkait alam maupun siklus hidup manusia. Beberapa kawan menganggap pola beragama mereka serupa Kejawen di Jawa, tapi saya khawatir itu akan membuat semacam simplikasi. 

Bahkan apa yang pernah dicatat asisten Residen Indragiri, V. Obdeyn pada 1930, menurut saya sudah menjadi bias. Sebagaimana dinukil Syafrizaldi Jpang dalam Talang Mamak di Tepi Zaman (2020), Obdeyn menyebut Islam Langkah Lama berarti kembali ke awal adat dan kebiasaan. Inilah yang memunculkan simplikasi bahwa orang Talang Mamak berasal dari kelompok masyarakat adat yang menolak pengaruh Islam dan Sultan sehingga mereka memilih masuk hutan. 

Ini tentu saja kontradiktif alih-alih keliru sebab di satu sisi disebutkan bahwa adat orang Talang Mamak berasal dari sistem adat Pagaruyung yang dibawa Datuk Perpatih Nan Sebatang. Dalam cerita lisan masyarakat Talang Mamak sebagaimana dicatat Pinto Anugerah di buku Yang Dipagari Talang Yang Dijaga Mamak, wilayah mereka dikuasai oleh tiga patih yang mewarisi semangat Datuk Perpatih: Jambuana, patih yang berkuasa di sepanjang aliran Sungai Kampar, Jambuani, berkuasa di aliran Batanghari dan Jambulipo berkuasa di sepanjang aliran Sungai Kuantan atau Indragiri (2022: viii).

Leluhur Talang Mamak juga ikut menjemput raja Indragiri, Narasinga, ke Melaka. Tradisi menjelang sultan ke bekas istana Indragiri bahkan masih dilangsungkan sampai hari ini, sambil tetap memberi penghormatan pada Pagaruyung. Setiap dua kali setahun, Idul Fitri dan Idul Adha, para batin dan tokoh Talang Mamak akan menjelang ke istana Raja Indragiri di tepi Danau Raja. Itu artinya, sembari beraja ke Pagaruyung, orang Talak Mamak juga beraja ke Indragiri. 

Tak kalah menarik, selain hidup dari hutan, orang Talang Mamak juga menyatu dengan ekologi sungai. Jika hutan simbol sumber daya, sungai adalah simbol peradaban. Gusti Asnan dalam Sungai dan Sejarah Sumatera (2016) menyebut bahwa sungai merupakan jalur perdagangan dan lalu-lintas yang membentuk sejarah Andalas. 

Orang Talang Mamak sangat menguasai jalur sungai, meski bukan untuk ekspedisi apalagi menundukkan. Mereka punya kemampuan membuat dan mengendalikan rakit dan perahu untuk transportasi dan pengangkutan hasil hutan. Konon dengan rakit kayu kulim (ulin) orang Talang Mamak menjemput Perpatih Nan Sabatang ke Pagaruyung. Mereka lewat jalur Sungai Batang Kuantan yang berhulu di Sijunjung, Sumatera Barat (gabungan Batang Ombilin, Batang Sukam dan Batang Palangki). Mereka juga ikut menjemput raja Indragiri ke Melaka, menghiliri Batang Kuantan/Indragiri yang bermuara di Selat Berhala. 

“Bayangkan, kayu kulim yang berat itu bisa dibuat mengapung oleh leluhur kami. Kayu itu dipilih karena kuat,” kata Pak Batin Irasan saat jeda acara. Konon itulah yang melatari nama Kecamatan Rakit Kulim. 

Posisi beraja kepada kedua tahta ini tentu menarik untuk dikaji. Boleh dikatakan orang Talang Mamak berada dalam dua pengaruh kerajaan penting, Minangkabau dan Melayu. Posisi ini dapat dipastikan membuat mereka memiliki khazanah kebudayaan yang lengkap dan kompleks, punya posisi tawar yang kuat, meski disaat yang sama boleh jadi membuat mereka “lemah”. Seolah selamanya mereka dalam pengaruh orang luar. Namun, kemampuan tetua mereka mengolah apa yang datang dari luar dan mensintesakannya dengan kebijakan lokal, tak bisa dinisbikan. Saripati itulah yang tertinggal dalam adat dan kepercayaan mereka. 

Di sisi lain, hutan sebagai sumber kehidupan dan sungai sebagai jalur peradaban, juga dua hal yang pernah melatari posisi historis orang Talang Mamak. Bila mendapatkan moment yang pas tentu berpotensi besar untuk diaktualkan.   

Kota-Kota Kecil yang Dilewati: Menuju Kampung Talang Mamak

Persentuhan pertama saya dengan sejumlah orang Talang Mamak di Pekanbaru seraya mendengar paparan persoalan yang mereka hadapi di forum kegiatan, ditambah sedikit referensi, membuat saya justru tertarik ingin mendatangi langsung kampung halaman mereka. Beruntung, pihak AsM bersedia memfasilitasi saya untuk berkunjung ke Desa Talang Sungai Parit, satu di antara 15 desa yang mayoritas dihuni suku Talang Mamak di Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu. 

Jadilah kemudian, dalam waktu tidak terlalu lama, saya sudah berada di jalur Lintas Timur Sumatera. Melaju ke lokasi yang dituju. 

Jalan Lintas Timur Sumatera terbilang mulus, minus lobang, namun bergelombang, naik-turun, dan itu sangat rawan. Berbeda dengan jalur pantai barat yang sekalian penuh kelokan tajam, sehingga kewaspadaan lebih terjaga. Sopir dituntut ekstra waspada karena sering sekali jalan bergelombang itu menipu kemunculan lawan. 

Saya yang melaju di atas mobil sewaan bersama Pinto Anugrah, sastrawan cum datuk penghulu Sungai Tarab, selalu mengingatkan sopir kami untuk hati-hati. Saya pun mengajaknya bercakap sepanjang jalan supaya kami sama-sama terjaga. Tampaknya bagi sang sopir, pucuk dicinta ulam tiba. Ia tak henti-hentinya bercerita. Mulai kehidupan mutakhir orang Melayu, pilihannya bergabung dengan sebuah kelompok salafi meski menganggap lucu HTI hingga pengalamannya jadi sopir pribadi orang penting di Riau. Saya malah jadi terkantuk-kantuk dibuatnya. 

Pada siang bermendung itu kami meluncur dari Pekanbaru, melewati sebagian Kabupaten Kampar dan Pelalawan menuju Indragiri Hulu. Kami melewati kota-kota kecil sepanjang Jalan Lintas Timur yang menggeliat hidup. Berkat perkebunan, hutan produksi, tambang, perdagangan dan transmigrasi. Tercatat kota-kota kecil seperti Pangkalan Kerinci yang kini telah menjadi ibukota Kabupaten Pelalawan dengan pabrik kertas terbesar di Tanah Air. Kemudian Sorek, Pangkalan Lesung, Ukui, Lirik dan Japura. 

Di Japura jalan bersimpang ke arah Teluk Kuantan. Di sini terdapat sebuah bandara. Menurut sopir kami, petinggi tambang dan perkebunan sering memilih terbang atau mendarat di Bandara Japura. Ia sering menjemput atau mengantar mereka. 

Kota kecil persimpangan ini memang strategis. Di masa lalu, Japura pernah menjadi ibukota Kerajaan Indragiri. Tahun 1765, Sultan Hasan Salahuddin Kramat Syah memindahkan ibukota ke sini. Makam raja-raja Indragiri juga tak jauh dar Japura, tepatnya di Kota Lama, Rengat Barat. Tahun 1930-an ditemukan ladang minyak di Lirik, dan tahun 1939 dilakukan pengeboran pertama. Sampai sekarang tetap beroperasi di bawah Medco-Pertamina. Lirik hanya sepelirikan mata dari Japura. 

Japura juga berada di tengah kawasan perkebunan sawit yang membentang di Kabupaten Indragiri Hulu sampai Jambi. Sementara tambang batubara di Peranap, kian meramaikan jalur lalu-lintas Japura. Lurus ke timur, jalan membentang ke Rengat, Jambi dan terus ke Palembang atau Lampung. 

Boleh dikatakan Japura titik penyebaran arus barang dan manusia ke segala arah. Bahkan dulu, Jalan Lintas Timur Sumatera hanya sampai di pertigaan Japura ini, untuk kemudian berbelok ke jalur Air Molek, terus ke Teluk Kuantan; satu bersimpang ke Pekanbaru lewat Lipat Kain, Gunung Sahilan dan Buluk Kasok, satu lagi menuju ke Kiliran Jao, bertemu dengan Jalan Lintas Tengah Sumatera di Dharmasraya, Sumatera Barat. Ditemukannya ladang minyak di Lirik, membuat simpang Japura terhubung dengan kawasan pertambangan itu. Selanjutnya, jalur menuju Pangkalan Kerinci hingga tembus ke Pekanbaru dan Siak, merupakan pengembangan jalan perusahaan HPH, yang kini berubah menjadi perusahaan hutan produksi untuk industri kertas dan triplek. 

Di Japura kami berhenti cukup lama di sebuah warung makan paling top sejak tahun 80-an. Sop tunjang Dwi Sidomulyo namanya. Dulu warung ini terletak persis di tepi jalan lintas. Sejak jalan diluruskan di sisi lapangan terbang Japura, warung sop tunjang Dwi Sidomulyo menjadi masuk ke dalam. Tapi tidak mengurangi minat orang untuk singgah, berbelok sejenak dan tak sampai 300 meter kita akan bersua plang nama bercat merah dengan bangunan lapang khas warung makan model lama. 

Di sanalah kami istirahat, setelah hampir enam jam perjalanan dari Pekanbaru. Ini pemberhentian kami yang kedua, setelah sebelumnya kami sempat ngopi di rest area dekat gerbang Kota Pangkalan Kerinci. Baru di Japura kami pilih makan siang, dengan sop tunjang andalan dan jeruk panas madu. Makan siang yang berkeringat itu cukup jadi amunisi untuk melanjutkan perjalanan. 

Kami memutar sebentar ke arah bandara dan menyeberangi jembatan Batang Kuantan. Sungai ini berubah nama menjadi Sungai Indragiri selepas melewati jembatan Jalan Lintas Timur Sumatera ini, sampai bermuara di Tembilahan, Indragiri Hilir. Dari Bandara Japura, tak lebih setengah jam perjalanan, kami tiba di Air Molek. Namanya cukup familiar di telinga saya, baik karena terdengar unik, juga karena merupakan kota lintasan (sebagian kota tujuan) perantau Minang sejak masa PRRI hingga sekarang. Selain itu, namanya tercantum di biodata beberapa penyair Riau sebagai tempat kelahiran seperti Dheni Kurnia dan A. Aris Abeba. Sebenarnya Air Molek ibukota Kecamatan Pasir Penyu, namun kecamatannya sendiri tidak sepopuler nama kotanya. 

Air Molek, kota kecil yang bersolek, tumbuh sealur badan jalan dengan beberapa belokan. Kota seolah meliuk mengikuti kontur jalan yang lebar. Hotel, restoran, rumah makan, pertokoan dan perkantoran bergerak tumbuh, tak terkecuali rumah-rumah burung walet. Pasar lamanya bertahan dengan bangunan-bangunan tua berdebu, dan pasar barunya menata diri bersama masjid bermenara tinggi. Sebatang sungai kecil membelah kota, berair keruh kecoklatan. Jelas tak cukup menyebutnya molek, jika ini sebagai latar nama kota. Tapi boleh jadi dulu airnya memang molek; waktu membuatnya berubah. Sebenarnya pula Air Molek terletak tak jauh dari Sungai Indragiri atau Sungai Batang Kuantan, namun ia memilih tumbuh bergeser, menjauh dari air.

Di Air Molek, Pinto mencari hotel. Ia dan sopir akan menginap di sini, sementara saya akan menginap di Desa Talang Sungai Parit, di tengah masyarakat Talang Mamak. Sebagai dosen muda yang mengampu banyak kelas MKDU di Unilak (Universitas Lancang Kuning), Pinto harus menyetor daftar nilai dan sejumlah laporan, pasca kampus selesai ujian semester. Ia pilih Hotel Simpang Raya untuk membereskan itu semua.

Namun ia harus mengantar saya terlebih dulu ke Talang Sungai Parit, sebab dialah yang beberapa waktu terakhir berhubungan intens dengan masyarakat setempat. Ia mendampingi proses penulisan memori kolektif oleh anak-anak muda Talang Mamak yang juga difasilitasi AsM Law Office. Pendampingan itu melahirkan buku tentang orang Talang Mamak yang ditulis sendiri oleh anak-anak Talang Mamak (Ayu, Dita, Gunawan dan Rendi) berjudul Memori kolektif: Yang Dipagari Talang, Yang Dijaga Mamak. Buku ini diluncurkan di kampus Unilak Pekanbaru, 28 Juli 2022 lalu. Sekarang sedang dalam persiapan buku kedua, Talang Mamak: Curaian Luak Talang Parit yang ditulis Herianto, Dita, Hairil Candra, Wulan Mardiana Ningsih dan Ayu. 

Tiba di Talang Sungai Parit

Sore itu juga saya memasuki kawasan perkampungan Talang Mamak, melalui sebuah simpang tak jauh dari pasar Air Molek, menyisir Batang Kuantan. Di Desa Pasir Ringgit kami melintasi sebuah jembatan di atas Batang Kuantan. Dari atas jembatan, terlihat aktivitas masyarakat menambang pasir dengan perahu. Di tengah alur yang lebar terlihat pula satu-dua dompeng, rakit terapung untuk menambang emas.

“Sebenarnya dompeng sudah dilarang pemerintah, tapi tetap beroperasi,” kata sopir kami. Kalau ada razia, katanya, pemilik sering tahu.

“Pasti ada yang membocorkan, ya?” saya bersikap lugu.

“Ya, apa-apa ‘kan bisa diatur, Pak.” Ia lanjut cerita tentang tambang dan kebun sawit yang diatur pemodal. Tapi saya tak lagi bisa berpura-pura lugu ketika ia ceritakan pengalamannya mengantar seorang aktivis LSM ke daerah konflik di Belilas. Tengah malam sepulang pertemuan dengan warga, mereka dicegat preman di jalan. Sepucuk pistol terarah ke kaca. Sang aktivis tegang di belakang. Saya yang mendengar juga tegang.

Hanya sang sopir berpantang panik. Ia membuka kaca, pura-pura menyerah. Lalu ketika tangan berpistol itu mencolot ke dalam, mobil mundur kencang, tiba-tiba. Pistol itu terpelanting, dan si penghadang tak ia tahu lagi nasibnya. Sebab setelah itu mobil berbalik maju lebih kencang, dan lolos dari batang kayu yang dibelintangkan. Saya melirik pergelangan tangannya yang tergurat bekas luka dalam, tapi saya tidak bertanya.

“Bukan saya hebat, Pak, itu hanya S.O.P yang biasa diajarkan kepada Paspampres,” katanya. Sebagai orang yang sering menyopiri pejabat, ia mendapat pelatihan itu. Dari dia saya dapat cerita-cerita menarik seputar pengamanan, mulai konvoi pejabat, cara lolos dari hadangan pohon, tips mundur cepat tanpa membuka kaca jendela, sampai pura-pura menyerah pada penjahat. Untuk membuktikan ucapannya, sang sopir mencoba memutar arah mobil di atas jembatan yang sempit. 

Selepas turunan jembatan, kami disambut bentangan jalan tanah liat. Apa yang segera terlihat bukanlah hutan rimba sebagaimana identik dengan kehidupan masyarakat Talang Mamak, melainkan lautan kelapa sawit menghampar kiri-kanan. Pemandangan hanya diselingi jalur-jalur parit, semacam kanal pengering gambut, membatasi tiap kapling kebun. Terisi penuh genangan air hujan, dan sebagian meluap ke badan jalan. 

Kampung-kampung yang dilalui cukup ramai, bahkan ada pasar desa yang sesore itu baru mulai berkemas dari para pedagang yang hendak pulang. Kami juga melewati perkampungan masyarakat keturunan Jawa dengan masjidnya yang cukup besar. Mereka bermukim di kawasan ini sejak puluhan tahun silam. Bukan sebagai transmigran, melainkan sebagai tenaga kerja perkebunan karet era kolonial. Perkebunan itu sekarang masih ada, yakni PTPN V, namun isinya berubah menjadi kelapa sawit. Masyarakat Jawa yang didatangkan lewat program transmigrasi terdapat di Belilas, arah jalan ke Jambi. Belilas berada di Kecamatan Seberida, sebuah kecamatan di Jalan Lintas Timur Sumatera. 

Kecamatan Rakit Kulim yang kampung-kampungnya saya masuki, berada jauh dari Jalan Lintas. Karena itu, jalanan di sini selang-seling antara rusak dan baik; sebagian masih jalan tanah baru dibuka, sebagian lagi sudah ditimbun kerikil atau bekas sisa aspal. Tapi ada juga bagian jalan diaspal mulus menuju Talang Sungai Limau, terus ke Kelayang. 

Di jalan lurus dengan aspal yang relatif bagus, dan tampaknya baru, Pinto melihat dua sepeda motor beriringan. Anak di belakangnya memeluk barang-barang bawaan. Mungkin mereka baru belanja dari pasar. Pinto segera mengenali mereka. 

“Nah, itu Ayu dan Dita,” katanya, sekaligus mengisyaratkan bahwa kami telah tiba di tujuan. Ia buka kaca jendela mobil,,”Hai, dari mana kalian?”

Dua gadis Talang Mamak itu menoleh.

”Nengok saudara di rumah sakit, sekalian belanja, Pak,” jawab Dita, gadis manis berjilbab putih. Kami lalu mengiringi mereka dari belakang. Sampai mereka berhenti di rumah masing-masing, menarok bawaan. Setelah itu mereka balik mengiringi kami menuju rumah Pak Dukun yang sudah mereka persiapkan sebagai tempat saya menginap. Rumah Pak Dukun menyimpang lagi masuk ke jalan tanah. Jika diikuti terus akan sampai ke desa-desa Talang Mamak lainnya hingga ke kantor camat di Talang Perigi. 

Halaman rumah Pak Dukun luas, namun mobil harus melewati jalan berlumpur karena tergenang air hujan. Sebagian halaman itu ditanami kelapa sawit. Sebuah pra-oto parkir di bawah batang sawit yang dahan-dahannya dibiarkan berlumut. 

Sawit, bagaimana pun pada akhirnya menjadi pilihan masyarakat Talang Mamak untuk sedikit-banyak mengikuti langgam dunia di sekeliling mereka yang disetir pola perkebunan. Sebelum sawit mengepung habis kawasan hutan dan huma, orang Talang Mamak ikut berkebun karet sebagaimana trend perkebunan waktu itu. Namun jelas tidak semasif dan seinvansif sawit. Berhektar lahan mereka buka dan ditanami komoditi yang laku  di pasaran dunia. 

Ini menunjukkan bahwa orang Talang Mamak bukanlah sosok pasif di tengah berbagai usaha ekonomi dan upaya meretas kesejahteraan. Truk itu sendiri menunjukkan keikutsertaan mereka dalam kegiatan distribusi barang dan komoditi. Setidaknya itulah yang saya dengar kemudian dari Pak Dukun, si pemilik truk. 

Hanya saja, citra yang dilekatkan kepada mereka cenderung streotipe, yakni kelompok masyarakat terasing. Mula-mula boleh jadi dicantumkan petugas sensus. Namun lama-lama melekat sebagai diksi kewarganegaraan yang tidak netral. Atau bisa pula ini istilah antropologi yang terlalu menyederhanakan kehidupan masyarakat adat. Dalam buku Zulyani Hidayah sebagaimana disinggung di atas, Suku Talang Mamak masih digambarkan sebagai kelompok masyarakat “primitif” yang tinggal di hutan dan hidup dari meramu dan berburu. “Peralatan dan kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak bisa mereka penuhi sendiri diperoleh dari tukar-menukar dengan pedagang Melayu,” tulisnya. 

Memang, Zulyani menyebut bahwa pada masa sekarang kehidupan ekonomi mereka banyak didukung oleh hasil penyadapan getah karet. “Kalau padi hasil ladang habis, maka uang hasil menyadap getah mereka gunakan untuk membeli beras dari luar. Sayangnya tanaman komoditi tersebut tumbuh secara liar, dan masih amat sedikit yang menanamnya secara benar (1997: 253)”. 

 Narasi di atas jelas salah besar. Okelah, jika merujuk kehidupan masa lalu orang Talang Mamak yang hidup meramu dan berburu. Tapi, bukankah mereka juga punya hari ini dan masa depan? Dalam konteks kekinian, karet bukanlah komoditi yang dihasilkan secara liar. Orang Talang Mamak membuka kebun, menanam dan merawat karet sebaik petani karet mana pun merawat karetnya. Mereka juga perlu fasilitas dan infrastruktur hidup yang lebih baik sebagaimana masyarakat modern lainnya. Mereka butuh pasar memadai, sekolah, pusat kesehatan dan jalan yang baik untuk mencapai itu semua. Atau, jika hendak merujuk kehidupan moyang, di mana mereka dianggap hidup dari meramu dan berburu, mestinya menimbulkan narasi kritis: kalau hutan mereka habis, masihkah mereka dapat hidup dengan cara begitu?    

Namun streotipe “suku terasing” itu tetap melekat seolah Talang Mamak dan suku senasib dianggap tak punya semangat memoderasi diri. Secara ekonomi mereka dianggap tak punya potensi kemandirian. Rasa iba pemerintah plus lembaga swadaya, di satu sisi memang memberi ruang perhatian dan empati kepada mereka. Namun di sisi lain, cara itu memunculkan sikap tidak percaya terhadap kemampuan dan resistensi kelompok suku itu sendiri. Apalagi jika rasa kasihan itu hanya basa-basi, alih-alih kerap berbalik jadi anomali: mengizinkan kelompok oligarki mengobok-obok tanah ulayat mereka.


Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian pertama, dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co

Di masa lalu, sejarah tak pernah tumbuh sebagai sebuah kebetulan. Intuisi manusia telah membubuhkan makna pada ruang dan waktu. Menahbiskannya menjadi kudus, bahkan pusat dunia.

Sebuah bus membawa saya ke pusat dunia itu. Suasana dalam bus tersebut cukup lengang. Tidak ada penumpang yang berdiri di tengah kabin, kursi yang berjejalan, atau pedagang asongan yang menjajakan dagangan. Kursi di sebelah kanan saya pun masih kosong, menyisakan ruang bagi saya untuk meletakkan ransel yang sesak oleh berbagai barang keperluan mendaki Gunung Penanggungan. Akan tetapi, sayang sekali, karena suatu alasan, teman mendaki saya tiba-tiba tidak bisa berangkat. Padahal saya ingin sekali mendaki gunung yang dulunya adalah sebuah mandala agung itu. Saya terpaksa harus mengubah rencana perjalanan.

Saya bertolak ke Tulungagung. Sebenarnya saya sudah pernah berkunjung ke Tulungagung pada 2019 lalu untuk menengok candi-candi yang ada di sana. Namun, tiga tahun lalu, sebuah candi gagal saya kunjungi karena aksesnya yang tidak bisa dibilang mudah. Candi Dadi, sebuah tempat suci yang berdiri di puncak Bukit Walikukun, salah satu bagian dari wilayah perbukitan Wajak Kidul. Saat nongkrong di warung dan hendak mengunjunginya, warga sekitar menakut-nakuti. Mereka berkata bahwa beberapa orang yang hendak mendaki ke puncak tempat candi itu berdiri, tersesat dan hanya berputar-putar tak tentu arah. Saya yang belum tahu rute pasti menuju ke sana sontak berpikir bahwa jalurnya pasti panjang, terjal, dan membingungkan. Begitulah akhirnya saya batal menengok situs tersebut. 

Candi Dadi terletak di Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung. Tampaknya, Boyolangu dulunya adalah tempat yang cukup populer di masa Hindu-Buddha. Banyak situs peninggalan leluhur masih bisa ditemui di daerah ini. Bahkan, Candi Gayatri yang masyhur itu, tempat pendharmaan Rajapatni, istri Dyah Wijaya, sang pendiri Majapahit, ada di sini. 

Agar tidak sendirian saat mendaki bukit yang katanya cukup tinggi dan menguras tenaga itu, saya mengajak sepupu saya untuk menemani mendaki. Begitu masuk ke Desa Wajak Kidul, kami disambut gapura raksasa bertatahkan aksara Jawa yang saya pun tidak mengerti artinya. Namun, itu tidak penting karena apa pun itu, inilah tangga sewu (sebenarnya jumlah anak tangganya tidak sampai seribu/sewu;hanya metafora), jalan menuju Bukit Walikukun tempat Candi Dadi menanti.

Pagi itu cukup panas. Barangkali kami mendaki kesiangan. Perbukitan Wajak Kidul adalah bebatuan kapur yang kering. Vegetasi utamanya adalah pohon jati. Lanskap perbukitan juga didominasi rerumputan dan semak belukar. Teriknya matahari dan rerumputan kering berwarna keemasan seolah mengingatkan kami bahwa ini musim kemarau.

Sepanjang perjalanan kami berhenti beberapa kali. Udara yang begitu kering dan panas membuat kami lebih sering merasa haus. Air minum yang cuma satu botol harus kami hemat supaya tidak habis di tengah perjalanan. Saya jadi berpikir, betapa repotnya peziarah dan para tukang yang membangun candi ini di masa lalu. Bayangkan, membawa material berupa batuan candi ke puncak bukit tentunya bukan tugas yang mudah dan pastinya memakan waktu dan tenaga. Begitu pula bagi para peziarah yang harus rela mendaki cukup jauh untuk beribadah. Meskipun ada beberapa lainnya di sekitar sini, hanya Candi Dadi yang dibangun di puncak bukit. 

Pemilihan tempat untuk mendirikan candi tentunya tidak sembarangan. Para silpin (seniman candi) tentunya punya alasan khusus yang bisa jadi praktis atau magis ketika memilih tempat di mana bangunan sakral ini akan dibangun. Candi-candi yang dibangun di tempat mudah dijangkau mempertimbangkan alasan kepraktisan. Sementara itu, candi-candi yang berada di tempat yang sulit dijangkau seperti di gunung atau bukit, dibangun karena alasan magis.  

Bukit, sebagaimana gunung, memiliki makna khusus dalam kepercayaan Hindu-Buddha dan kepercayaan asli Nusantara sebelum periode indianisasi. Kepercayaan kuno Nusantara menganggap roh leluhur (hyang) bersamayam di puncak gunung. Konon, begitulah muasal daerah bernama Dihyang(Dieng) dan Parahyangan(Priangan) yang diyakini merupakan singgasana sang hyang. Kepercayaan tersebut menjadi cikal-bakal lahirnya punden berundak sebagai replika gunung yang merupakan bangunan pemujaan kepada roh leluhur. 

Budaya Hindu-Buddha yang masuk kemudian pada periode indianisasi Nusantara juga meyakini gunung (meru) sebagai tempat suci, singgasana para dewata. Mereka bahkan menyebut Dewa Shiva sebagai Giri Natha, raja gunung. Kisah Samudera Manthana yang kini mewujud dalam sebuah monumen di Bandara Suvarnabhumi,Bangkok, mengisahkan pengadukan lautan dengan sebuah gunung demi pencarian air kehidupan, tirta amerta. Tantu Panggelaran dari era Majapahit mengisahkan pemindahan Mahameru dari Jambhudvipa(India) ke Javadvipa(Jawa) oleh para dewa yang akhirnya melahirkan gunung-gunung suci di tanah Jawa. Gunung adalah axis mundi, pusat kosmos bagi masyarakat Hindu-Buddha. 

Axis mundi, poros dunia, juga merupakan jembatan antartiga alam dalam keyakinan masyarakat Hindu-Buddha, yaitu alam bawah (jagat orang mati), alam tengah (jagat manusia), dan alam atas (jagat para dewa). Seperti pohon, gunung yang berdiri vertikal sarat akan simbol tersebut sehingga kerap dianggap sebagai tangga menuju entitas tertinggi.

Konsep pembagian dunia menjadi tiga tingkatan semacam ini dikenal dengan triloka. Bahkan, candi pun dibangun dengan konsep ini, yaitu bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Bhurloka adalah kaki candi, simbol alam bawah, sedangkan bhuvarloka dan svarloka adalah dua alam di atasnya. Ketiga dunia tersebut dihubungkan oleh satu pusat, yaitu axis mundi. Jadi, tidak mengherankan jika gunung sebagai poros semesta diyakini masyarakat Hindu-Buddha memiliki akses terhadap alam atas, tengah, dan bawah. Lokus inimemungkinkan penganut Hindu-Buddha menjalin hubungan dengan alam atas dan bawah.

Kedua kepercayaan dari budaya yang berbeda tersebut seakan mendapatkan titik temu. Keduanya beririsan pada gunung sebagai tempat suci. Bagi saya, kepercayaan tersebut masuk akal. Bagaimana tidak, agama-agama samawi juga seringkali menautkan gunung dengan Tuhan, seperti kisah Musa yang menerima Taurat di Sinai. Suku Masai di Afrika menyebut puncak Kilimanjaro sebagai ngaje ngai (rumah tuhan). Entitas tertinggi, apa pun namanya, entah Tuhan, hyang, atau dewata, selalu diasosiasikan dengan ketinggian. Jadi, masuk akal jika masyarakat dari berbagai kebudayaan menganggap tempat-tempat tinggi sebagai ruang kudus.

Jika diamati, bentuk bangunan candi merupakan replika gunung, baik yang bertipe prasada (menjulang tinggi) maupun punden berundak. Candi-candi yang berasal dari periode klasik awal seperti di dataran tinggi Dieng, belum bercampur kepercayaan lokal. Candi-candi dari periode ini tidak mengadopsi konsep punden berundak seperti candi-candi dari masa-masa akhir Hindu-Buddha di Jawa. Pengaruh Hindu-Buddha yang kian luntur di masa-masa akhirnya (menjelang abad ke-15) mengubah arsitekturnya dan menghadirkan kembali unsur-unsur lokal. Tidak mengejutkan jika Candi Sukuh dan Cetho di lereng Lawu yang dibangun pada masa akhir Majapahit mengadopsi arsitektur semacam itu sehingga orang-orang menghubungkannya dengan piramida suku Maya di Amerika Tengah. Padahal, keduanya berasal dari akar kebudayaan yang sama sekali berbeda.

 

Tidak mengejutkan jika Candi Sukuh dan Cetho di lereng Lawu yang dibangun pada masa akhir Majapahit mengadopsi arsitektur semacam itu sehingga orang-orang menghubungkannya dengan piramida suku Maya di Amerika Tengah. Padahal, keduanya berasal dari akar kebudayaan yang sama sekali berbeda.

Baru dua puluh menit mendaki, kami sudah kehabisan hampir setengah botol air mineral. Kami tidak tahu berapa lama lagi waktu yang kami butuhkan untuk mencapai tujuan. Sepanjang jalan, pemandangan didominasi lanskap kering, warna kuning rerumputan, dan bebatuan kapur dengan sudut-sudut tajam. Sesekali kami menemukan tumbuhan kayu putih. Namun, saya belum melihat satu pun pohon walikukun yang menjadi nama bukit ini. Hanya pohon jati dan semak belukar yang silang sengkarut.

Dengan mengikuti petunjuk jalan yang dibuat  oleh warga, kami melanjutkan perjalanan. Di setiap persimpangan, kami berhenti untuk mencari petunjuk arah. Dalam perjalanan, kami bertemu sejumlah orang. Beberapa di antaranya merupakan wisatawan yang baru kembali turun dari Candi Dadi. Beberapa lainnya para pesepeda dan pengendara motor trail yang tampak menikmati jalur perbukitan yang memang cukup menantang.

Akhirnya, kami tiba di sebuah persimpangan. Di situ, kami disambut tanjakan curam. Kami yakin, dari derajat kecuramannya, ini adalah tanjakan terakhir menuju puncak. Jalan setapak di depan kami masih didominasi semak di sisi kanan dan kiri. Dari atas sini, Gunung Budek yang berada di sebelah barat dari tempat kami berpijak, bisa terlihat jelas. Gunung—yang menurut saya lebih tepat adalah bukit—Budek memiliki mitosnya sendiri (soal ini kelak saya ketahui dari sang juru pelihara candi). Konon, dulu ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang wanita hingga tidak mendengarkan seruan ibunya. Ibu sang pemuda yang murka mengutuk anaknya yang budek itu menjadi sebuah gundukan tanah yang menjulang ke langit. Lebih kurang, kisahnya sama dengan Malin Kundang. 

Setelah hampir satu jam berjalan dari anak tangga pertama tangga sewu, akhirnya kami sampai juga ke tujuan. Papan nama bertuliskan ‘Candi Dadi’ menyambut kami yang terengah-engah.

Di puncak Bukit Walikukun, Candi Dadi berdiri kokoh. Saya memandangnya takjub. Seketika dahaga di korongkongan terlupakan. Rasa lelah saya kalah. Memang tidak semegah Prambanan yang tinggi menjulang, atau senyentrik Sukuh dengan arca falusnya yang ugal-ugalan. Candi ini memiliki keunikan sendiri. Candi Dadi bahkan tidak memiliki pintu masuk seperti lazimnya candi-candi lain. Bangunan ini juga tidak berbentuk punden berundak seperti Candi Mirigambar yang berada di bawah bukit ini. Sejauh yang bisa saya duga, situs ini masih sama dengan bentuk aslinya. Dengan kata lain, belum ada pemugaran.

Saat saya berjalan mengitari bangunan, yang ternyata nyaris tanpa relief dan angka tahun ini, saya bertemu Pak Andi, sang juru pelihara candi. Berbadan tegap, kekar, dengan celana panjang loreng dan sepatu bot, membuat saya berpikir, ia pasti anggota TNI. Tapi ternyata bukan. Laki-laki dari desa setempat ini adalah juru kunci Candi Dadi yang bersahaja. Sambil membersihkan tanah di sekitar dari dedaunan kering, ia menemani saya mengobrol. Benar saja, menurutnya, candi ini memang masih orisinal.

Candi Dadi merupakan bangunan tunggal tanpa relief dan arca. Berdiri di puncak bukit dengan ketinggian lebih kurang 400 m dpl, candi ini terletak paling tinggi di antara tiga lainnya yang masih bisa ditemukan di wilayah perbukitan ini. Tiga candi lainnya, antara lain Urung, Gemali, dan Buta. Ukuran Candi Dadi memang tidak terlalu besar. Denah dasarnya berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 14 m x 14 m dengan tinggi 6,5 m. Jika dilihat dari atas, candi ini berbentuk segi delapan dengan lubang sumuran di tengahnya. Ceruk ini unik karena diameternya cukup besar, yaitu  3,5 m dengan kedalaman 3 m dan tampaknya, tidak banyak candi yang memiliki lubang sebesar ini di bagian tengah atapnya. Beberapa orang berpendapat bahwa lubang tersebut adalah yoni, simbol kesuburan yang biasanya ditemukan di candi-candi Hindu. Berdasarkan papan informasi, diduga, candi ini dibuat pada masa akhir Majapahit.

Candi Dadi dengan pola geometrisnya merupakan representasi mandala. Layaknya Penanggungan yang dikelilingi delapan bukit di sekelilingnya yang menjadi mandala agung Majapahit, candi ini pun memiliki delapan sudut. Delapan sudut tersebut merupakan simbol arah mata angin. Lubang di tengah seakan-akan mempertegas titik pusat pola sakral itu. Menurut Pak Andi, beberapa orang percaya bahwa liang itu adalah pusat kosmos dalam keyakinan mereka. 

Mandala secara harfiah berarti ‘lingkaran’. Namun, dalam penerapannya, konsep ini diberi makna kontekstual yang berbeda-beda. Misalnya, mandala dapat dipahami sebagai diagram simbolis dengan pola geometris paling hakiki dan dasar, yaitu lingkaran atau persegi. Dalam konteks lain dapat diartikan juga sebagai ‘tempat yang disucikan’. Borobudur merupakan manifestasi sempurna dari konsep ini. Mandala berbentuk lingkaran lebih umum dijumpai di candi-candi Buddha, sementara candi-candi Hindu berpola persegi. Bagi saya, Candi Dadi yang berbentuk persegi delapan merupakan transisi antara pola persegi dan lingkaran. 

Borobudur merupakan manifestasi sempurna dari konsep ini. Mandala berbentuk lingkaran lebih umum dijumpai di candi-candi Buddha, sementara candi-candi Hindu berpola persegi. Bagi saya, Candi Dadi yang berbentuk persegi delapan merupakan transisi antara pola persegi dan lingkaran. 

Mandala dengan titik pusat pada pola konsentrisnya merupakan pasangan sempurna bagi  kultus gunung sebagai tempat suci. Kombinasi kedua konsep ini menjadikan Candi Dadi sebagai wujud komplet axis mundi. Barangkali inilah alasan para silpin Jawa mendesain dan memilih puncak bukit sebagai tempatnya didirikan.

Sayang sekali saya tidak membawa drone untuk mengambil gambar Candi Dadi dari atas, 

 “Iya, Mas, memang bagus kalau dilihat dari atas,” tanggap Pak Andi sambil menghentikan sejenak aktivitasnya menyapu halaman di sekitar candi. “Tapi enggak boleh sembarangan ambil gambar. Soalnya rawan sekali kami kecolongan data sama peneliti-peneliti asing. Makanya, untuk pengambilan gambar menggunakan drone memang harus izin dulu.” 

Pria yang setiap hari naik-turun bukit untuk melaksanakan tugasnya ini pun menceritakan mitos-mitos lokal seputar Candi Dadi (termasuk mitos tentang Gunung Budek yang sudah saya ceritakan sebelumnya) kepada saya yang duduk di kaki candi yang rindang oleh pepohonan. 

Konon, di wilayah pebukitan ini dulu ada seorang pangeran yang jatuh cinta kepada seorang putri.

“Nama pangeran dan putrinya sendiri enggak jelas siapa,” kelakar Pak Andi. Sang pangeran ingin sekali mempersunting sang putri untuk dijadikan istri. Namun, seperti Dewi Kilisuci dalam kisah Lembu Sura dan Rara Janggrang dalam kisah Prambanan, sang putri mengajukan syarat kepada sang pangeran. Tidak seugal-ugalan Rara Janggrang yang meminta seribu candi pada Bandung Bandawasa, sang putri hanya meminta dibuatkan empat candi.

Layaknya Bandung Bandawasa, sang pangeran memanggil bala bantuan bangsa lelembut untuk membantunya memenuhi syarat sang putri. Namun, sayang sekali, memang sejak awal sang putri cuma iseng dan tidak serius menangapi pinangan sang pangeran. Melihat empat candi yang dimintanya hendak rampung, sang putri kebingungan. Tak sudi dia menjadi istri sang pangeran, entah mengapa. Akhirnya, sang putri meminta bantuan para perempuan desa sekitar. Mereka melepas ayam-ayam, menumbuk lesung, membakar kayu-kayu, membuat langit terang benderang di sebelah timur seolah fajar menyingsing. Karena pada masa itu belum ditemukan jam tangan, pangeran pun kaget pagi datang secepat itu. Para lelembut pun kocar-kacir dibuatnya, meninggalkan pekerjaannya, membiarkan tiga candi (Candi Urung, Gemali, dan Buta) runtuh seketika. Hanya satu candi yang berhasil dirampungkan sang pangeran. Karena hanya satu yang jadi, candi itulah Candi Dadi (dalam bahasa Jawa, dadi berarti ‘jadi’). Salah satu candi dinamai Candi Urung. Urung  adalah bahasa Jawa yang artinya ‘batal’ atau ‘tidak jadi’. Kini ketiga candi tersebut memang sudah tidak utuh lagi, terutama Candi Urung yang hanya menyisakan bongkahan-bongkahan batu yang disusun serampangan oleh warga. Namun, kisah sang pangeran dan putri belum berakhir. 

Sang pangeran murka oleh tipu muslihat sang putri yang licik. Merasa kecewa karena dirinya dikerjai, pangeran mengeluarkan kutukan kepada sang putri sebagai bentuk kemarahannya. “Karena kau dan perempuan-perempuan itu sudah menipuku, kukutuk kalian semua! Tidak akan ada laki-laki yang mau meminang kalian! Kalian tidak akan mendapatkan pasangan hingga tua!”  Saya pikir, kesamaan tema kisah ini dengan kisah Rara Janggrang dan Lembu Sura menunjukkan bahwa cerita-cerita semacam itu cukup populer di zamannya. Atau, boleh jadi legenda semacam ini berfungsi sebagai gimmick bagi tempat-tempat tertentu untuk menarik pengunjung. 

Begitulah kisah tentang Candi Dadi dan kutukan lajang yang konon menimpa sebuah dusun di sekitar perbukitan ini. Meski demikian, menurut warga sekitar, tampaknya saat ini yang tak kunjung menikah di dusun itu adalah para lelaki. Namun hal ini cukup masuk akal. Belakangan, mungkin hidup memang makin sulit bagi para lelaki. Lapangan kerja makin susah, harga kebutuhan pokok menjulang, dan masalah sosial ekonomi lainnya kian kompleks, sehingga membuat mereka berpikir ulang untuk cepat menikah. 

Ada pula teori lain tentang penamaan candi ini. Menurut Pak Andi, beberapa meyakini bahwa penamaan candi didasarkan pada banyaknya keinginan para peziarah yang terkabul setelah melakukan samadi atau ritual di tempat ini. “Ada juga yang bilang kalau melakukan ritual di sini, keinginannya akan terpenuhi, dadi, alias jadi,” tuturnya sambil menunjuk sisa-sisa ritual semalam yang dilakukan beberapa peziarah.

Merasa cukup dengan legenda Candi Dadi, saya kembali mengamati badan candi. Tak seperti candi-candi lain yang pernah saya kunjungi, bangunan ini tidak disusun menggunakan batu andesit atau batu kali. Candi Dadi dibangun menggunakan batu kapur yang menurut saya lebih mirip batako. Kemungkinan batu-batu tersebut diambil dari sekitar bukit mengingat letak candi yang tidak praktis untuk mengangkut bahan dari lokasi yang jauh. 

Karena candi ini tidak pernah dipugar sejak penemuannya, tak heran jika batu-batu candi ditumbuhi lumut kerak yang tidak baik bagi tubuh candi. Lumut kerak adalah simbiosis antara alga dan jamur yang biasanya tumbuh di pepohonan atau bebatuan. Lumut kerak dikenal sebagai organisme perintis yang dapat melapukkan batuan dan memberikan tempat hidup bagi organisme lainnya. Banyaknya lumut kerak menjadi petunjuk bahwa tingkat polusi udara di sini masih rendah.

Candi Dadi, seperti candi-candi yang lain, tentunya sudah bertahan selama berabad-abad  di bawah gempuran cuaca yang mengikis kekuatan bangunan indah nan luhur ini. Tak seperti candi-candi lainnya, akses yang sulit membuat perawatan pada badan candi kian rumit. Walhasil, Pak Andi merawat candi ini sekadarnya. Ia berharap akses menuju candi dibenahi sehingga dapat memudahkan perawatan dan juga memuluskan jalan bagi wisatawan. 

Cuaca dan usia memang faktor alami. Candi-candi yang eksis hingga kini tentunya telah melewati sekian banyak paparan kekuatan alam yang terjadi sepanjang sejarah. Bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, tentunya berkontribusi bagi rusaknya candi-candi sehingga beberapa mungkin belum sempat tercatat sejarah. Namun, bukan hanya bencana alam yang mengancam eksistensi situs bersejarah. Ada juga faktor lain yang tak kalah penting, yaitu ‘bencana budaya’.

Bencana budaya yang saya maksud, yaitu perubahan kondisi sosial di sekitar situs bersejarah. Masyarakat sekitar candi kini sudah bukan lagi penganut Hindu-Buddha. Fenomena ini turut menentukan eksistensi dan kelestarian situs bersejarah. Fakta inilah yang membagi situs bersejarah menjadi ‘monumen hidup’ dan ‘monumen mati.’ Monumen hidup adalah situs cagar budaya yang hingga kini masih berfungsi sama seperti saat situs tersebut dibuat. Misalnya, masjid atau gereja yang kini masih aktif digunakan masyarakat. Candi, meskipun sewaktu-waktu digunakan untuk ritual tertentu, termasuk ke dalam monumen mati. Karena sudah tak lagi berfungsi sebagaimana dulu, situs-situs semacam ini cenderung dilupakan masyarakat. Candi-candi yang tak lagi berfungsi pun terlantar, tertimbun tanah, dan ditumbuhi rerumputan, hingga akhirnya lenyap dari catatan sejarah. Kondisi menjadi semakin mengenaskan saat batu-batu candi dibongkar orang-orang untuk kepentingan lain, seperti kebutuhan lahan atau bahan bangunan. Arca dan panel relief diperdagangkan demi dijadikan koleksi dan pajangan.

Setelah berbincang cukup banyak dengan sang juru pelihara, saya mengambil gambar sekadarnya. Sayang sekali saya tidak bisa mengambil penampakan candi ini dari atas untuk melihat pola mandala yang mengagumkan itu. Merasa lelah dan belum siap untuk perjalanan turun, saya memilih duduk-duduk di bawah pepohonan hingga kemudian sadar bahwa pokok-pokok di sekitar candi inilah yang memberi nama bukit tersebut: walikukun yang sejak tadi saya cari.

Walikukun (Schoutenia ovata) merupakan pohon yang diyakini memiliki magi oleh masyarakat Jawa. Jika ditanam di empat penjuru mata angin, mereka percaya pohon ini akan melindungi suatu tempat dari gangguan makhluk gaib. Walikukun yang tumbuh di sekitar candi mengindikasikan bahwa tempat ini suci, memagari situs dari gangguan yang tampak maupun tidak. Jika dilhat dari bawah situs ini benar-benar tersembunyi, tidak terlihat karena tertutup rimbunnya pepohonan. 

Candi Dadi memang tidak ramah pengunjung. Akses yang sulit membuat hanya segelintir orang yang mau menempuh satu jam berjalan kaki mendaki bukit untuk sekadar melihat candi. Jalur yang terjal, panjang, dan letaknya yang nyaris tersembunyi dapat berfungsi sebagai pelindung situs ini dari gangguan manusia, tapi juga mempersulit perawatan batuan candi yang terus terkikis oleh waktu dan kekuatan alam.

Berbagai simbol meneguhkan status bangunan ini sebagai ruang sakral. Mandala, axis mundi, bukit, dan walikukun yang mengitarinya membuat candi di puncak bukit ini tak hanya suci, tapi juga poros semesta.

Ketika kita mendengar acara festival kita pasti akan membayangkan sebuah acara dengan gegab gempita keramaian serta rangkaian acara yang berlarat-larat dipenuhi banyak pagelaran seremonial. Tetapi beda halnya dengan acara festival Ili-Ili yang ada di Kecamatan Ngadirejo Temanggung Jawa Tengah (17-19/10/ 2022). Acara festival yang satu ini tidak hanya menyuguhkan seremoni seperti festival biasa, lebih dalam dari hal itu festival ini digunakan oleh kolektif anak muda di sana sebagai bentuk upaya konservasi mata air di tengah ancaman krisis lingkungan di lereng Gunung Sumbing.

****

Pagi itu saya berangkat ke Temanggung dengan banyak pertanyaan yang membayangi saya sepanjang jalan. Sebuah Pertanyaan penasaran akan seperti apa festival Ili-Ili dijalankan dan bagaimana format acara yang seperti apa yang akan dipresentasikan oleh panitia. Dengan mengangkat tagline yang menurut saya cukup dalam yaitu “mensyukuri nikmat dengan merawat” festival ini tampaknya ingin memberi makna lebih bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya.

Benar saja sesampainya saya di sana, semua peserta yang sebagian besar dari luar kota kemudian diarahkan oleh panitia pada satu bangunan rumah tua yang tampak masih klasik. Ndalem Abdurahman nama rumah yang tampak masih berdiri kokoh tersebut. Bentuk rumahnya seperti perpaduan antara arsitektur Jawa, Cina dan Arab yang bisa dilihat dari bangunan utama berbentuk limasan dengan pagar yang tinggi menjulang kemudian pintu masuk yang agak menjorok ke dalam, seperti yang kita dapati pada rumah-rumah di daerah kauman ataupun pecinan. Di rumah tersebut peserta melakukan registrasi kemudian diajak untuk melihat pembukaan pameran fotografi dan desain visual hasil lomba yang diadakan oleh panitia yang berkaitan dengan krisis lingkungan yang ada di daerah Temanggung.

Karya-karya fotografi dan desain visual dipresentasikan dengan rapi disertai tata letak layaknya di galeri profesional. Walaupun hanya sebuah rumah tua, yang menurut cerita panitia rumah tersebut sudah sekian lama tidak ditempati lalu dengan adanya festival rumah ini kemudian dijadikan ruang pemeran. Hal itu menunjukkan sebuah upaya pemanfaatan ruang secara lebih kreatif, sekaligus mengajak kembali peserta untuk menikmati suasana bangunan klasik yang mempunyai nilai sejarah dimana model arsitektur seperti rumah tersebut tidak banyak lagi digunakan oleh masyarakat sekitar saat ini.

Selepas acara pembukaan pameran selesai, peserta kemudian memasuki acara selanjutnya yaitu jelajah desa dengan tajuk “Desa Urban dan Ketahanan Pangannya.” Tidak jauh dari Ndalem Abdurahman, kira-kira hanya 200 meter peserta berjalan menyusuri jalan Desa Ngadirejo yang sudah padat penduduk. Peserta diajak untuk melihat laboratorium desa (Labdes) Ngadirejo. Lokasi Labdes ini sendiri dulunya adalah lahan mangkrak dengan tumpukan sampah yang menggunung, kemudian diaktivasi menjadi kebun kolektif yang asri bagi warga di tengah permukiman urban dusun Demangan.

M Anton Rifai sebagai kordinator Labdes dalam sarasehan madya menjelaskan bahwa laboratorium desa sendiri adalah ruang kolektif dari sekumpulan masyarakat yang ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di desa. Awal munculnya Lebdes dipicu karena ada kebutuhan karena selama ini tidak jarang realisasi pembangunan dan pemberdayaan yang diterapkan di desa masih jauh dari akar persoalan masyarakat. Anggota Labdes sendiri terdiri dari berbagai lapisan masyarakat terutama pemuda dan perangkat desa yang sadar akan pentingnya menjaga ekosistem yang sehat dan berdaya di desa.

“Keberadaan Lebdes ini diharapkan bisa menjadi titik temu untuk riset/laboratorium bagi pemikir dan pelaku dengan tujuan untuk melahirkan metode-metode baru untuk mewujudkan ruang hidup––khususnya di desa––yang lebih seimbang dari sisi lingkungan, ekonomi, sosial dan kebudayaan” ujar Anton­­­­­ yang juga sebagai Sekertaris Desa Ngadirejo (Pak Carik).

Sesampainya di Labdes peserta kemudian disuguhkan dengan dua bangunan dengan desain arsitektur berbahan dasar bambu. Penggunaan bambu sebenarnya selaras dengan tipografi daerah Temanggung yang masih banyak ditemukan bambu jenis ori atau petung. Tidak hanya itu, dalam Labdes juga terdapat kebun kolektif pangan lokal. Di sana ditanami dengan berbagai tanaman, sayuran, empon-empon dan obat-obatan.

Tidak lama kemudian kami dipersilakan untuk makan bersama di selasar Labdes yang tampak artistik dan asri. Semua peserta makan barsama dengan cara kembulan (makan bersama-sama beralaskan dengan daun pisang) yang berlarat panjang. Seperti dijelaskan oleh panitia bagian konsumsi semua makanan yang disuguhkan merupakan hasil dari olahan ibu-ibu desa setempat. Ada tuju lauk yang bermakna pitulungan mulai dari ayam Ingkung, sayur kacang kentang, rempeyek dan sebagainya yang menemani santap siang kami saat itu.

Ekologi dan Air: Antara Krisis dan Upaya Pelestariannya

Setelah santap siang sarasehan pertama dimulai. Peserta diajak urun rembuk soal bagaimana melihat krisis air dan upaya pelestariannya. Sarasehan madya ini dilaksanakan di rumah pak Erda tak jauh dari Labdes. Dalam sesi ini panitia mendatangkan beberapa penggiat lingkungan mulai dari penggerak aktivis hingga akademisi. Pertama Ukke R Kosasih salah satu penggiat lingkungan dari Bandung, Diah Widuretno sekolah Pagesangan dari Gunung Kidul Yogyakarta, Feby H. Kaluara Akademisi yang fokus meneliti soal air di kota urban dari Depok, dan Dicky Senda penggiat lingkungan dan pemberdayaan masyarakat di NTT. Dalam forum ini para pemateri memaparkan pengalaman dan perspektifnya melihat krisis lingkungan dan air.

Seperti diungkapkan oleh Feby dalam sarasehan bahwa ia menekankan di daerah hilir manajemen distribusi air yang sudah digunakan harus diperhatikan. Hal tersebut bertujuan agar penggunaan air bisa tepat guna dan tidak terbuang yang bisa jadi malah mencemari lingkungan.

“Di daerah urban ketersediaan air bersih ke depan akan menjadi persoalan serius. Maka dari hal itu ketersediaan mata air yang masih banyak bisa kita temukan di desa harus kita rawat dan jaga,” Ujar akademisi dan praktisi yang tinggal di Depok tersebut.

Tidak hanya itu Ukke R Kosasih juga menambahkan bahwa soal pengelolaan air sebenarnya ada di tangan setiap individu. Tanggung jawab tersebut tidak bisa hanya dilimpahkan pada orang-orang tertentu saja. Manusia seharusnya memiliki pilihan: apakah akan menjadi solusi atau justru menjadi polusi atas pengelolaan air. Karena pengelolaan air merupakan tanggung jawab bersama dari setiap kita manusia.

Sebenarnya keresahan terkait krisis air yang mana setiap musim hujan melimpah mengakibatkan banjir dan ketika musim kemarau kekurangan air menjadi persoalan bagi warga Ngadirejo inilah yang awalnya menjadi pemantik munculnya festival Ili-ili ini. Munif salah satu ketua acara menjelaskan bahwa ketergantungan manusia dengan air begitu tinggi. Tetapi hal itu tidak disadari oleh banyak orang hari ini termasuk warga Ngadirejo. Padahal Munif yang juga warga setempat menceritakan bahwa ancaman krisis air bersih semakin nyata di daerah Ngadirejo. Hal tersebut bisa dilihat dari semakin kecilnya debit air yang masuk ke rumah-rumah warga setiap jam produktif pagi hari. Hal ini dirasakan oleh sebagian besar warga Ngadirejo yang bertempat pada hilir Gunung Sumbing sebagai hulu resapan air bersih di bawahnya. Padahal selama ini masyarakat di hilir untuk kebutuhan air bersih warga di sana bergantung penuh pada PDAM yang mengambil sumber mata air dari hulu Gunung Sumbing.

Sebenarnya keresahan terkait krisis air yang mana setiap musim hujan melimpah mengakibatkan banjir dan ketika musim kemarau kekurangan air menjadi persoalan bagi warga Ngadirejo inilah yang awalnya menjadi pemantik munculnya festival Ili-ili ini. Munif salah satu ketua acara menjelaskan bahwa ketergantungan manusia dengan air begitu tinggi. Tetapi hal itu tidak disadari oleh banyak orang hari ini termasuk warga Ngadirejo.

“Bahkan ada sebuah riset dari salah satu akademisi bahwa 10 tahun ke depan jika tidak ada pengelolaan air lebih baik, daerah Temanggung bisa kekurangan air. Itu baru soal air, belum bagaimana soal alih fungsi lahan dan persoalan lainnya. Dari hal itu melalui festival ini setidaknya ada upaya untuk membangun kesadaran bersama untuk menjaga lingkungan” tegas Munif yang juga menjadi pegawai di pemerintahan Desa Ngadirejo.

Adanya ancaman terhadap kesediaan air bersih inilah kemudian memunculkan keprihatinan sebagian pemuda desa yang terhimpun dalam Labdes. Sehingga Lebdes yang di desain sebagai episentrum pengetahuan untuk memecahkan persoalan-persoalan di desa memunculkan ide untuk diadakan semacam gerakan konservasi mata air yang ada di daerah hulu lereng Gunung Sumbing sebagai sumber penyedia air bersih yang ada di Kecamatan Ngadirejo. Munculnya gagasan konservasi tentu tidak langsung disikapi dengan gegabah oleh pemuda yang ada di sana. Tetapi melalui berbagai dialog dan diskusi hampir selama setengah tahun seperti dikatakan Munif, kemudian dilakukan pemetaan masalah dan berupaya menginventarisir potensi yang ada di sana sehingga muncullah gagasan desain festival Ili-Ili ini.

Pemilihan bentuk festival sebagai medium konservasi bukan tanpa sebab. Karena bagaimanapun bentuk festival merupakan instrumen kebudayaan yang paling dekat dengan masyarakat. Sehingga diharapkan melalui berbagai konten acara dalam festival yang terhubung dengan tradisi yang sudah melekat dalam alam pikiran masyarakat di sana upaya transfer of kenowledge bisa tersampaikan secara lebih sublim dan mendasar.

Makna Ili-ili sendiri mengandung arti aliran air. Penggunaan kata Ili-ili dalam festival ini berangkat dari ungkapan bahasa Jawa yang dekat dengan kesadaran masyarakat di sana terkait air. Hal ini juga yang membedakan festival ini dengan bentuk festival lainnya, yang mana festival Ili-ili berusaha berangkat dari persoalan masyarakat dan berupaya menjawab persoalan tersebut menggunakan metode festival sebagai metrum kesadaran baru orang hari ini. Sehingga bentuk acara hingga konten-konten yang ada di dalamnya, mulai dari diskusi sarasehan, trip jelajah desa dan mata air, hingga pertunjukan seni semuanya berangkat dari apa yang ada di desa kemudian di kemas dengan sentuhan acara dalam bentuk festival yang lebih modern.

Selepas sarasehan madya selesai, peserta kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok. Tidak lama kemudian beberapa angkutan desa (mobil angkudes) telah siap menjemput peserta. Di bawah langit sore Desa Ngadirejo yang mulai gelap, semua peserta di bawa naik ke atas menuju homestay di lereng Gunung Sumbing untuk menginap. Menariknya homestay yang akan peserta tempati bukan di homestay mewah layaknya di tempat wisata, tetapi peserta diajak untuk tinggal dibeberapa rumah warga setempat agar lebih bisa secara langsung bersentuhan dengan masyarakat setempat.

Kebetulan saya dan kelompok kecil saya ditempatkan di salah satu rumah warga bapak “Sulasyo”. Rumah sederhana, tetapi begitu hangat dengan sambutan dan rasa kekeluargaan yang disuguhkan mereka ketika menyambut kedatangan kami. Bapak Sulasyo sendiri hanya tinggal dengan istrinya dan satu cucunya yang masih kelas 3 SD. Ke dua anaknya sudah tinggal terpisah dengan dirinya. Dalam kehidupan di masa tuanya tersebut hari-harinya di isi dengan beribadah kemudian bekerja di kebun tembakau dan cabai di ladang yang ia miliki. Walaupun usianya sudah tidak muda lagi, rasa perhatiannya kepada tradisi dan budaya Jawa begitu kuat. Bisa dikatakan Sulasyo adalah seorang seniman kesenian di desanya. Ia adalah penggiat jaran kepang kesenian khas daerah di sana. Walaupun sekarang tidak menjadi pelaku seni yang aktif, tetapi rasa perhatiannya terhadap kesenian tidaklah luntur. Seperti yang ia ceritakan ia masih jadi kordinator untuk menghidupkan kesenian di sana. Hal ini bisa di lihat dari beberapa set gamelan yang ada di rumahnya untuk latihan kesenian.

Setelah istirahat sejenak dengan hawa dingin yang begitu menusuk tubuh. Kami kemudian di jemput masih dengan mobil angkudes untuk menonton pertunjukan sendratari Babad Alas Giripurno di lapangan Pringsewu desa Giripurno. Sesampainya kami di sana, lapangan sudah penuh dengan warga yang tampak antusias menonton pertunjukan malam itu. Gerimis tipis tidak menghalangi antusias warga yang datang. Sekitar jam 9 malam pertunjukan dimulai. Sendratari yang ditampilkan terlihat begitu megah dengan kostum dan tata rias yang ditampilkan oleh 9 penari. Tari tersebut menceritakan penaklukan pembukaan alas Giripurwo hingga bisa ditempati hingga sekarang––kira-kira itu yang saya pahami. Penampilan sendratari malam itu akhirnya menjadi menutup rangkaian acara pada hari pertama Festival Ili-ili hari pertama. Dengan tubuh lelah semua peserta kembali ke homestay dengan raut bahagia, menghayati keriuhan yang penuh makna dari desa yang jauh dari gemerlap kota tersebut.

Malam selepas acara pertunjukan kami tidak lantas tidur, masih dengan beberapa teman peserta kami sempat berdiskusi. Tak lama kemudian salah satu inisiator festival ili-ili ikut nimbrung di rumah tempat peristirahatan kami. Fransisca Kalista salah satu penggiat dalam pembangunan desa di Temanggung dan juga sebagai inisiator beberapa gerakan seperti pasar papringan, Kebon Jiwan dan Lebdes, menemani rasa penasaran kami dengan berdiskusi soal desain festival Ili-Ili.

Seperti diceritakan Siska panggilan akrabnya bahwa bisa dikatakan festival Ili-ili ini adalah hasil kerja kolaborasi lima desa melalui Lebdes yang dibentuk disetiap desa tersebut dengan berbagai komunitas–komunitas seni budaya yang ada di Temanggung. Berawal dari keprihatinan terhadap ancaman krisis lingkungan terutama air, festival ili-ili sebenarnya ingin mengajak kita semua untuk gugur gunung merawat sumber mata air. Dari hal itu festival Ili-ili ini bukanlah tujuan akhir tetapi awalan untuk upaya-upaya pelestarian alam Temanggung pada khususnya dan bumi pada umumnya. Ibarat sumber sumber mata air, Festival ili-ili ingin mengalirkan semangat untuk merawat alam dari hulu sampai hilir.

Siska menceritakan bahwa untuk sampai pada tahap ini, sebetulnya butuh proses yang panjang. Bahkan tidak mudah. Ia sendiri sudah hampir 7 tahun tinggal di Temanggung. Dari proses yang cukup panjang itulah ia belajar menyelami alam batin masyarakat Temanggung. Peran Siska selama ini seperti ia katakan sebagai fasilitator sekaligus desain program dalam beberapa gerakan desa termasuk di festival Ili-Ili ini. Ia berperan sebagai perajut sekaligus menjembatani lintas komunikasi dari banyaknya kolaborator yang terlibat dalam festival ini. Dan ia mengatakan suatu keberhasilan dalam semua program atau acara itu berangkat dari kesatuan visi dan makna apa yang ingin di cari. Dari hal itulah keinginan untuk tumbuh bersama dari setiap elemen masyarakat setempatlah yang sebenarnya menjadi energinya selama ini.

“Selama ini entah nama peran saya apa, yang jelas saya menemani mereka dan dari sana hidup saya lebih bermakna,” ujar perempuan dari Jawa Barat tersebut.

“Selama ini entah nama peran saya apa, yang jelas saya menemani mereka dan dari sana hidup saya lebih bermakna,” ujar perempuan dari Jawa Barat tersebut.

Menjaga Tradisi dan Seni Budaya sebagai wujud Konservasi

Hawa dingin dengan kabut putih menyelimuti pagi di hari ke dua festival Ili-ili. Sesuai susunan acara agenda pagi itu mengunjungi salah satu sumber mata air di hulu lereng Gunung Sumbing. Destinasi mata air yang akan kami kunjungi tidak jauh dari tempat tinggal kami. Tempatnya di Giripurno kami turun ke bawah bersama rombongan menggunakan angkudes menuju lapangan desa di sana. Sesampainya di lapangan kami berjalan sekitar dua ratus meter dengan jalan curam ke bawah, masuk menyusuri bantaran sungai dengan pepohonan yang masih lebat menuju sumber mata air yang terselip dalam gelapnya gua. Dalam jelajah mata air ini kami diperlihatkan bagaimana sumber mata air dialirkan ke rumah-rumah warga dengan selang-selang yang tidak begitu rapi. Ada puluhan bahkan ratusan selang berbahan plastik dengan warna yang tidak seragam menjalar panjang mengaliri rumah-rumah warga sekitar.

Seperti diterangkan salah satu petugas penjaga aliran mata air disebut penjabat Ili-ili dari pihak desa, bahwa sumber mata air di sini kebanyakan dikelola secara mandiri oleh keluarga masing-masing. Sehingga yang terjadi adalah banyaknya selang yang terlihat tidak beraturan. Petugas bagian Ili-Iii di sini bertugas pertama menjaga keberlangsungan mata air kemudian yang ke dua adalah memastikan distribusi air bersih merata kepada seluruh masyarakat. Walaupun sebagian besar untuk urusan distribusi air masyarakat mengusahakan sendiri, tetapi menurut petugas Ili-ili sumber mata air ini juga diambil oleh PDAM untuk mengalirkan air bagi masyarakat di bawah yg lebih jauh dengan sistem mekanisme pembayaran yang sudah ditentukan. Hal ini dilihat dari penggunaan selang yang lebih besar yang digunakan PDAM dalam mengalirkan air.

Peserta Festival Ili-Ili melihat kondisi mata air di daerah hulu Kec. Ngadirejo lereng Gunung Sumbing

Menurut penjelasan petugas, mata air di sini tidak pernah kekeringan walaupun di musim kemarau. Airnya tetap deras. Hal ini karena hutan alam di sana relatif masih terjaga. Tetapi kekawatiran akan ancaman krisis sumber mata air bukan tidak ada, mengingat pertumbuhan manusia yang semakin banyak secara otomatis kebutuhan terhadap air bersih semakin meningkat. Belum lagi soal alih fungsi lahan yang posisi berada lebih di atas sebagai ladang, otomatis hal tersebut akan mengurangi jumlah hutan yang sebenarnya sebagai penyangga utama sumber-sumber mata air itu agar bisa terus mengalirkan air. Status Gunung Sumbing sebagai hutan produksi bukan hutan lindung juga menjadi persoalan tersendiri ke depan, bukan tidak mungkin hal tersebut akan semakin menambah jumlah alih fungsi lahan secara besar-besaran yang artinya akan mengancam keberlangsungan mata air itu sendiri.

Dari hal itulah selepas menyusuri jejak mata air selepas dhuhur di bawah kabut Gunung Sumbing yang mulai turun Sarasehan Madya Hulu digelar. Sarasehan kali ini mengangkat tema ”Nguri-nguri Tradisi dan Seni Budaya sebagai Wujud Konservasi Lingkungan.” Dalam sarasehan kali ini terdapat 4 pemateri, pertama Mbah Sukoyo penggiat lingkungan dari Temangung, Didi Nini Towok dan Farid Stevy sebagai seorang seniman, dan Titah Aw seorang Jurnalis.

Masing-masing narasumber mengutarakan pendapatnya dengan sangat menarik. Seperti disampaikan salah satu narasumber yaitu Didi Nini Towok yang juga seorang maestro tari yang sekarang tinggal di Yogyakarta. Ia menceritakan pengalamannya setelah sekian lama meneliti berbagai jenis tari-tari yang ada di Jawa bahkan seni tradisi lainnya, ia bisa memastikan bahwa semuanya mengandung makna ritual. Makna ritual ini secara sederhana bisa dilihat dari berbagai pagelaran kesenian kita tersebut zaman dahulu selalu di pentaskan di waktu-waktu tertentu, misalnya setelah panen raya dengan tujuan mengucap rasa syukur atas kelimpahan rezeki dari Tuhan. Hal itu menunjukkan bahwa rasa keterikatan leluhur kita dengan alam sebagai sumber penghidupan merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga dengan nalar yang seperti itu, kesenian sebenarnya mempunyai nilai tidak hanya sebagai pertunjukan tetapi juga tuntunan untuk mengenal alam sekitar lebih tinggi adalah Tuhan.

Sementara itu Farid Stevy yang sekarang juga aktif di komunitas Resan Gunungkidul (semacam komunitas konservasi mata air dan pohon) memberi pernyataan menarik bahwa jangan sampai modernisasi menghilangkan keluhuran budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur kita. Menurutnya konservasi alam juga seharusnya dibarengi dengan konservasi nilai-nilai kehidupan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Karena melalui nilai-nilai yang sudah menjadi tradisi yang sebenarnya lamat-lamat masih hidup tersebut, anak cucu kita nanti akan belajar bagaimana leluhur kita dahulu menjaga lingkungan sekitarnya. Karena sebenarnya nilai-nilai yang mewujud menjadi mitologi yang sering kita dapati di desa-desa tersebut mempunyai tujuan pendidikan agar kita sebagai manusia tidak sembarangan merusak lingkungan. Dan kita kaya akan nilai-nilai seperti itu.

Menurutnya konservasi alam juga seharusnya dibarengi dengan konservasi nilai-nilai kehidupan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Karena melalui nilai-nilai yang sudah menjadi tradisi yang sebenarnya lamat-lamat masih hidup tersebut, anak cucu kita nanti akan belajar bagaimana leluhur kita dahulu menjaga lingkungan sekitarnya.

Sedangkan Mbah Sukoyo penggiat lingkungan dari daerah Krecek Temanggung menyatakan bahwa menanam adalah bagian dari laku hidupnya sebagai upaya meneruskan pesan para leluhurnya dulu. Sehingga kegiatan konservasi tidak lagi hanya menjadi gerakan yang butuh disuarakan tetapi sudah menjadi kesadaran personal sehingga termanifestasikan dalam laku kesehariannya.

Tita Aw sebagai seorang jurnalis yang selama ini dikenal melalui tulisan-tulisannya yang berusaha menarasikan tradisi dengan segala mitologi dibelakangnya mengungkapkan bahwa dalam tradisi kita banyak cerita-cerita yang mempunyai nilai-nilai tentang ajaran terkait menjaga lingkungan. Dengan terus merawat cerita-cerita yang tumbuh banyak di dalam tradisi masyarakat itulah sebenarnya tradisi mempunyai fungsi konservasi.

Kabut putih turun lebat menjadi penanda berakhirnya sarasehan madya hulu pada sore itu. Peserta kemudian diarahkan untuk kembali ke homestay untuk berpamitan dengan keluarga asuh. Sore itu juga kami berpindah lokasi ke daerah wisata situs liyangan yang berada di lereng sebelah Timur Gunung Sindoro. Agar tidak terlalu malam kami bergegas berlarian dengan petang agar kami dapat mengunjungi situs Liyangan yang konon katanya menjadi titik awal peradaban pertama di daerah Kedu Temangung.

Benar, kami sampai situs Liyangan sudah menjalang petang. Berkaitan dengan jadwal acara yang cukup padat akhirnya kami tetap melanjutkan jelajah situs Liyangan dengan salah satu tour gate yang terlihat cakap menjelaskan bekas perkampungan yang umurnya diprediksi hampir seribu tahun ini. 

Situs Liyangan ditemukan pada tahun 2005 oleh salah seorang pekerja yang sedang menambang pasir di kedalaman 8 meter. Area ini kemudian dieskavasi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan tujuan untuk observasi potensi temuan lebih lanjut. Wilayah penemuan ini kemudian semakin meluas. Seiring dengan perkembangan penelitiannya, situs ini diperkirakan merupakan pemukiman penduduk karena pada situs ini ditemukan gerabah, keramik cina, dan berbagai artefak lainnya.

Menariknya di Situs Liyangan ini ditemukan sebuah bekas lumbung yang terbakar. Hal ini dibuktikan dari adanya tumpukan artefak padi hitam yang masih bisa kita lihat sampai hari ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya tanam terutama padi pada zaman itu sudah berkembang sedemikian rupa di sana. Walaupun hari ini di daerah sekitar situs Liyangan saat ini tidak ada persawahan padi lagi. Hal lain misalnya juga ditemukan struktur irigasi tata kelola air yang juga menjadi bukti bahwa pada zaman dulu kesadaran atas ruang dan pengelolaan lingkungan menjadi hal yang utama dalam membangun sebuah pemukiman lebih luas peradaban.

Gema azan Magrib terdengar bersahutan menandakan jelajah situs Liyangan sore itu harus segera kami akhiri. Tidak jauh dari situs Liyangan kami diarahkan ke homestay yang tampaknya menjadi bagian dari daerah wisata situs Liyangan. Tempatnya cukup luas, ada sekitar 6 rumah panggung yang akan kami tempati malam itu. Dan akhirnya hari ke dua kami tutup dengan meditasi menghayati segala pengetahuan yang kami dapatkan hari itu. Melalui bersentuhan langsung dengan obyek pengetahuan yang selama ini terasa berjarak dengan kami, akhirnya kami sadar bahwa banyak warisan peninggalan pengetahuan dan kearifan yang mesti kita rawat hingga berbagai warisan tersebut menghantarkan hidup kita bisa sampai sejauh ini dengan air, tanah dan udara yang masih terjaga. Lalu dengan kondisi alam kita yang sudah diambang krisis ini apakah generasi kita saat ini mampu mewariskan keindahan alam ini untuk anak cucu kita nanti? Sebuah pertanyaan yang jawabannya coba kami endapkan pada sanubari masing-masing pada malam itu.

Tradisi Sebagai Jangkar Penyelesaian Persoalan Ekologi

Hari ke tiga langit Temanggung tampak begitu cerah. Gunung Sindoro yang terpapar cahaya mentari juga begitu gagah. Hari terakhir festival Ili-ili ini akan diawali dengan sarasehan Ageng. Yang mana dalam sarasehan Ageng ini merupakan puncak rangkaian sarasehan yang digelar sejak hari pertama meliputi sarasehan alit, madya hilir dan hulu hingga puncaknya Muasyawarah Ageng. Penggunaan nama sarasehan ageng sebetulnya bukan tanpa sebab, pasalnya sarasehan kali ini bisa jadi poin terpenting dari adanya festival Ili-ili ini sebagai medium konservasi. Karena dalam sarasehan ageng kali ini semua stakeholder mulai dari pemerintah desa (kepala desa dari 20 desa di Ngadirejo), hingga pemangku kebijakan dari tingkat kabupaten dan kecamatan semua dipertemukan dalam sarasehan ini. Semuanya diajak berdialog bersama, bermusyawarah untuk merumuskan langkah-langkah apa yang harus ditindak lanjuti untuk menyelamatkan sumber mata air lebih luas keberlanjutan ekosistem lingkungan di daerah Temanggung.

Sebelum surat rokemendasi di tandangi oleh seluruh kepala desa yang ada di Kecamatan Ngadirejo. Serasehan di buka dengan dialog yang dipantik oleh empat narasumber utama yaitu Fransisca Callisata, Totok Purwanto, Rara Sekar, dan Yoyo Yogasmana yang dipandu oleh Dicky Senda. Dalam sarasehan ini fokus perbincangan membahas terkait bagaimana  pendekatan tradisi, seni budaya, dan Inklusi sosial mampu mengatasi krisis ekologi.

Sarasehan Ageng Bersama Rara Sekar, Yoyo Yogasmana, Totok Purwanto, Fansisca Callista

Beberapa poin penting disampaikan dalam sarasehan ini oleh narasumber misalnya seperti diutarakan oleh Yoyo Yogasmana dari Kasepuhan Ciptagelar yang menyatakan bahwa tradisi merupakan hukum utama untuk menjaga keberlangsungan ekosistem lingkungan di Ciptagelar. Sehingga sampai hari ini di sana kondisi alam bisa di jaga bahkan surplus kebutuhan pangan ditengah banyak wilayah lainnya dilanda kekawatiran krisis pangan dan lingkungan. Salah satu sebab utama kenapa hal itu bisa terjadi seperti ia ceritakan bahwa adanya tradisi yang masih mereka pengang kuat sampai hari ini. Karena mereka meyakini bahwa sistem tradisi yang meliputi tatakelola pertanian, hunian (rumah), sampai nilai-nilai keseharian yang mengatur mereka semuanya dibuat oleh leluhur kita mempunyai tujuan untuk menjaga keseimbangan antara kita sebagai manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya, lebih jauh manusia dengan Tuhan. Dari kesadaran tradisi yang seperti itulah Kasepuhan Ciptagelar sampai hari ini masih terjaga.

Karena mereka meyakini bahwa sistem tradisi yang meliputi tatakelola pertanian, hunian (rumah), sampai nilai-nilai keseharian yang mengatur mereka semuanya dibuat oleh leluhur kita mempunyai tujuan untuk menjaga keseimbangan antara kita sebagai manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya, lebih jauh manusia dengan Tuhan. Dari kesadaran tradisi yang seperti itulah Kasepuhan Ciptagelar sampai hari ini masih terjaga

Lain halnya seperti disampaikan oleh Rara Sekar sebagai seorang seniman dan aktivis lingkungan, ia menyatakan bahwa kita harus mampu memahami alasan dan tujuan di balik lahirnya suatu tradisi dan budaya. Dengan pemahaman tersebut sebenarnya akan membantu kita dalam melihat masyarakat secara lebih utuh. Dengan demikian kebijakan konservasi harusnya berpijak dari cara pandang masyarakat yang sampai hari ini masih melekat dengan tradisi.

Siska sebagai orang yang terlibat jauh dalam desain festival Ili-Ili juga menambahkan secara lebih subtantif. Bahwa memaknai segala sesuatu yang kita lihat dan lakukan menjadi sangat penting ketimbang hanya sekedar seremoni dan euforia semata. Kemampuan untuk memaknai sesuatu akan berguna bagi kita dalam memandang masyarakat secara lebih nyata dengan segala kelemahan dan kelebihannya. Dan dalam tradisi masyarakat kitalah sebenarnya energi perubahan untuk harapan lebih baik itu ada.

Selepas diskusi PLT Camat Ngadirejo M. Setyo Nusantoro di dampingi kepala desa dan perwakilan kepala desa membacakan poin-poin komitmen bersama untuk melaksanakan konservasi air di kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temangung. Dua poin utama surat komitmen bersama adalah: bahwa air adalah aspek penting kehidupan yang perlu diupayakan kelestariannya. Selain itu harus adanya upaya memaknai nilai-nilai dan filosofi yang terkandung dalam tradisi, budaya dan peristiwa masa lampau untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan zaman hari ini, khususnya tentang pengelolaan dan konservasi air untuk difungsikan sebagai pijakan praktik rill konservasi.

Penandatangan surat komitment besama dipimpin oleh M Satyo Nusantoro sebagai Camat Ngadirjo

Pendatangan surat komitment bersama tersebut menjadi penanda acara sarasehan dan musyawarah ageng siang itu selesai. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan melalui proses diskusi dan belajar bareng selama dua hari dalam festival Ili-Ili menghasilkan suatu yang setidaknya kemudian nantinya dapat menjadi acuan para pengambil kebijakan sampai pada level terbawah untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan dan pemberdayaan yang selaras dengan visi konservasi air dan lingkungan di Kecamatan Ngadirejo.

Seperti yang disebutkan dalam paragraf awal tulisan ini, hal inilah yang sebenarnya membedakan Festival Ili-ili ini dengan jenis festival lainnya. Karena tujuan konservasi air yang menjadi tema besar dalam festival ini mampu dieksplorasi secara maksimal kemudian diwujudkan dalam konten-konten acara yang tidak hanya terjebak dalam seremoninya semata, tetapi mampu memberi satu jawaban atas persoalan yang ada di tengah masyarakat. Hal lain yang penting perlu dicatat juga adalah bagaimana unsur kebudayaan masyarakat meliputi kesenian dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dalam festival ini tidak hanya jadi obyek eksotisme yang selalu dilihat tidak sejajar. Tetapi melalui festival ini tradisi masyarakat yang berkembang di sana, desain acara dan jawaban atas persoalan krisis lingkungan dibayangkan, kemudian diangkat marwah nilai-nilai pengetahuan dialamnya untuk dijadikan pijakan.

Hal tersebut tercermin dalam ritual Tirta Mulya Adiraja yang dilaksanakan setelah acara Musyawarah Ageng yang mana dalam ritual ini dilakukan arak-arakan air yang sebelumnya diambil dari 20 tuk (mata air) keramat dari 20 kecamatan di Kabupaten Temanggung. Air yang telah diarak kemudian disatukan dalam benjana. Kemudian setelah terkumpul air didoakan oleh para sesepuh desa dan seluruh masyarakat. Pembacaan doa ini dipimpin secara langsung oleh Salah satu tokoh agama/kepercayaan yaitu Mbah Kawat. Dari rangkaian itu kita bisa melihat bahwa dalam sebuah ritual yang sakral secara tidak langsung menjadi pengikat kesadaran manusia yang tidak bisa lepas dari dimensi spiritual. Agaknya jika kita berangkat dari banyaknya tradisi kita yang hampir semuanya mempunyai makna ritual dan spritual, festival Ili-ili tampil lebih elegan.

Akhirnya malam puncak Festival Ili-ili tiba, penampilan Rara Sekar dan Umar Hean dengan lagu-lagunya membawa pengunjung yang datang pada refleksi panjang tentang makna kehidupan. Ikhsan Sekuter juga menjadi penampil penutup malam itu. Dengan musik flok nya yang sarat akan kritik sosial, membuat orang yang datang satu lapangan larut dalam keheningan malam. Begitulah rangkaian Festival Ili-ili ini bagi saya sendiri membawa pada pengalaman untuk lebih memaknai ulang kehidupan.