Piknik Literasi: Tanaman dan Puisi

Pagi, 14 Februari 2023, tepat Hari Kasih Sayang, Mardi Luhung – penyair sekaligus ayahku – diundang oleh Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik untuk berbagi pengajaran cipta puisi kepada para peserta didik yang masih kelas tiga, empat, dan lima. Lalu, waktu beranjak duhur, lewat aplikasi WhatsApp, Mardi Luhung mengirim beberapa foto perihal dirinya bersama para peserta didik kepadaku. Mardi Luhung juga mengirim pesan: “Ini kegiatan literasi. Di lapangan desa. Grogi aku.” Aku hanya membalas pesan: “Fotonya bagus, Yah.”

Sore, di rumah sepulang dari pengajaran cipta puisi, aku mendengarkan cerita Mardi Luhung, betapa antusias para peserta didik menulis puisi. “Aku memberi tema peliharaan,” ucap Mardi Luhung yang bersamaan menyerahkan sebuah foto kertas coklat berisi puisi, “ini puisi yang Ayah sukai.” Aku membaca judul puisi dalam foto kertas coklat adalah Bingo. Dan, puisi Bingo ditulis oleh Habibi, salah satu peserta didik kelas tiga. Lewat pembacaan judul, kata Bingo mengingatkanku pada nama permainan, serta kata-seru yang menunjukkan perasaan beruntung.

Tapi, dari cerita Mardi Luhung, aku baru mengetahui, bahwa Bingo adalah nama anjing yang menjadi peliharaan Habibi. Bukan anjing sebagai hewan nyata, melainkan khayal. Jadi, Habibi menciptakan dan memelihara Bingo di ruang imajinasi. Lewat pembacaan utuh puisi Bingo, aku memahami bagaimana Habibi memberikan wujud pada anjing peliharaannya, yaitu: //warnanya biru/ matanya hitam/ makanannya tulang ikan/ kakinya tinggi/ bulunya biru/ guk-guk/ kalau malam sering guk-guk/ tiba-tiba saya kebangun/ dengar suara guk-guk//.

Aku kagum pada wujud Bingo yang digambarkan Habibi. Wujud Bingo yang tidak mirip anatomi anjing pada umumnya, sebab memiliki bulu bewarna biru dan berkaki tinggi. Apalagi, makanan Bingo adalah tulang ikan, bukan tulang sapi atau kambing. Lain itu, suara guk-guk seolah pertanda Bingo suka membangunkan Habibi untuk bermain, seolah tidak ada lagi sekat antara nyata dan khayal. Aku membayangkan, di ruang imajinasi, Habibi penuh riang menaiki Bingo yang melompat-lompat.

Keterangan: Pengajaran cipta puisi dalam pertemuan pertama di lapangan desa Foto: Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik, 2023  

Tidak hanya seputar puisi Bingo, Mardi Luhung juga bercerita, bahwa pengajaran cipta puisi yang terlaksana pada tanggal 14 Februari 2023 sebagai pertemuan pertama. Artinya, ada pertemuan-pertemuan berikutnya yang akan dilalui. Dan pada pertemua kedua atau berikutnya nanti, tidak lagi berada di lapangan desa, melainkan tempat Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Selesai bercerita, Mardi Luhung memintaku agar menemaninya pada pertemuan kedua yang terlaksana pada 11 Maret 2023. Aku meng-iya-kan permintaan Mardi Luhung.

Pariwasata Mangrove Desa Karangkiring

Kira-kira pukul 09.30 WIB, 11 Maret 2023, aku dan Mardi Luhung tiba di UPT SD Negeri 20 Gresik. Aku baru mengetahui bahwa UPT SD Negeri 20 Gresik berada di tengah perkampungan pesisir, Desa Karangkiring, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Setelah memarkir sepeda motor, aku mengikuti Mardi Luhung dari belakang. Lalu, ketika Mardi Luhung masuk di ruang guru, aku langsung menengok para peserta didik yang mengenakan seragam pramuka. Aku melihat para peserta didik sedang duduk berjejer sembari memegang meja lipat dan polybag kecil berisi tanaman krokot.

Tidak sampai 10 menit, aku dan Mardi Luhung meninggalkan UPT SD Negeri 20 Gresik untuk menuju Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Di muka gerbang, sebelum Mardi Luhung menarik hendel sepeda motor, datang Muhammad Gus Maulana Yasin (aku memanggilnya Gus Yasin), salah satu anggota Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik. Lalu, Gus Yasin ikut bersama kami ke Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Dalam perjalanan, kami melewati tiga atau empat gang, lalu satu jalan dengan sekeliling semak-semak. Barangkali, jarak antara UPT SD Negeri 20 Gresik dengan Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring sekitar kurang lebih 900 meter.

Keterangan: Suasana Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring dilihat dari bale. Foto: Aji, 2023  

Aku memerhatikan tidak ada papan nama Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring, kecuali area parkir, mangrove, dan geladak (jembatan tanpa pegangan tangan untuk memarkir perahu). Berkat lebatnya mangrove, hawa Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring terasa sejuk. Dan, tidak terasa sunyi, sebab lagu dangdut dari sistem suara elektronik dinyalakan dari kejauhan. Jadi, lagu dangdut itu mengiringi setiap langkah kami (aku, Mardi Luhung, dan Gus Yasin) berada di Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Aku memerhatikan lagi, bahwa geladak yang berlebar 150 centimeter itu cukup dilewati dua orang yang berdampingan. Meski begitu, seseorang tidak boleh berlarian di atas geladak demi keamanan dirinya.

Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring memiliki dua sisi, kiri dan kanan, kalau aku mengacu posisi mulai masuk dari atas geladak. Dua sisi itu terdapat tempat, yaitu: pada sisi kiri, berdiri warung dan bale (tempat istirahat para nelayan); sedangkan pada sisi kanan, berdiri beberapa gazebo seluas 3 meter x 3 meter. Wisatawan dapat membeli makanan dan minuman serta bercengkerama dengan nelayan atau penduduk setempat pada sisi kiri. Lalu, wisawatan dapat menikmati suasana pantai Desa Karangkiring yang ditumbuhi mangrove atau tempat tongkrong bersama keluarga di gazebo pada sisi kanan. Serta, pada sisi kanan, wisawatan dapat berswafoto atau memancing ikan di salah satu sudut.

Untuk pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua, Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik mengajak para peserta didik pada sisi kanan Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Ketika para peserta didik tiba, aku melihat mereka berbaris rapi dan masuk satu per satu ke dua gazebo. Enam peserta yang tidak kebagian tempat di gazebo harus duduk bersama Tim Literasi di atas geladak. Setelah duduk, salah satu Tim Literasi meminta para peserta didik untuk menggunakan meja lipatnya. Beberapa peserta didik malah sibuk sendiri dengan tanaman krokot yang mereka bawa dari UPT SD Negeri 20 Gresik. Tapi, suara para peserta didik tidak begitu bising, sebab kalah dengan kemerduan lagu dangdut dari sistem suara elektronik.

Literasi 20

Spanduk berukuran 250 centimeter x 200 centimeter dipasang oleh Tim Literasi pada salah satu gazebo. Dalam spanduk itu bertulis “Literasi 20” sebagai nama kegiatan. Barangkali angka “20” mengacu pada nama sekolah. Sedangkan, kata “literasi” menjadi nama kegiatannya untuk tujuan perkembangan bakat para peserta didik. Perihal tujuan literasi itu, aku merasa telah tercanangkan di pelbagai sekolah di Gresik. Apalagi, dalam pengertianku, literasi adalah kegiatan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, penggunaan kata “literasi” berhubungan dengan semua pengajaran di sekolah.

Sebelum pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua dimulai, aku mendengarkan pengarahan Gus Yasin kepada para peserta didik. Pengarahan mengenai tanaman krokot yang baru diterima oleh para peserta didik di UPT SD Negeri 20 Gresik. Gus Yasin menjelaskan bahwa para peserta didik harus merawat tanaman krokot. Kalau tanaman krokot mati? Para peserta didik segera melaporkan pada Gus Yasin atau Tim Literasi yang lain. Atau, tiap peserta didik yang tanaman krokotnya mati dapat meminta potongan cabang tanaman krokot milik temannya. Sebab, tanaman krokot mudah tumbuh hanya dengan potongan cabang yang menancap dalam tanah.

Aku menganggap tanaman krokot yang diberikan para peserta didik untuk merawatnya adalah bagian dari literasi. Barangkali, Tim Literasi ingin mengajarkan kepada para peserta didik mengenai tanggung jawab dan kepedulian terhadap tanaman. Dan, perihal perawatan tanaman krokot, para peserta didik juga memeroleh kosakata baru setelah mendengarkan pengarahan Gus Yasin. “Pak, apa itu penyiangan?” tanya salah satu peserta didik. Gus Yasin langsung menjelaskan bahwa penyiangan adalah tindakan mencabut rumput yang tumbuh di sekitar tanaman krokot.

Bagiku, tanya-jawab antara Tim Literasi dengan para peserta didik begitu penting sebagai bagian dari literasi. Tidak hanya Tim Literasi saja, juga tanya jawab antara Mardi Luhung dengan para peserta didik, seperti pertanyaan salah satu peserta didik setelah Mardi Luhung memberikan tema tanaman: “Apakah selain menulis puisi, juga tanamannya digambar, Pak?” Mardi Luhung tidak menjawab langsung pertanyaan itu, tapi bertanya kepada para peserta yang lain: “Apakah pakai digambar?” Serentak para peserta yang lain menjawab: “Tidak, Pak!” Nah, jawaban serentak para peserta yang lain menjadi jawaban atas pertanyaan salah satu peserta didik.

Keterangan: Mardi Luhung memberikan tema tanaman kepada para peserta didik. Foto: Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik, 2023
 

Aku menangkap bahwa kegiatan “Literasi 20” telah menempatkan orang dewasa (Gus Yasin dan Mardi Luhung) sebatas pendamping bagi anak-anak (para peserta didik). Sebatas pendamping yang meletupkan keingintahuan dan kemauan untuk berkreasi. Sehingga, orang dewasa memberikan pemahaman yang lebih mudah dicerna oleh anak-anak. Ya, ketika sebagian peserta didik masih ragu menuliskan jenis tanaman apa sebagai puisi, Tim Literasi dan Mardi Luhung harus sigap memberikan contoh jenis tanaman yang diketahui mereka, bisa mawar, kamboja, anggrek, tin, cemara, hingga mangrove.

Puisi Bertema Tanaman

Ada sekitar enam puluh peserta didik yang mengikuti pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua di Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Di tengah pengajaran cipta puisi, ada pembacaan puisi yang dimulai dari pertanyaan dari Mardi Luhung: “Siapa yang mau baca puisi? Boleh kok baca puisi walau belum selesai menulis.” Sebagian besar dari para peserta didik masih terlihat malu membacakan puisi karya sendiri. Tapi, beberapa anak justru mengacungkan jari dan memberanikan diri, seperti peserta didik kelas tiga yang bernama Dita.

Judul puisi yang Dita tulis adalah Bunga Sedap Malam. Berikut kutipan utuh puisi Bunga Sedap Malam, yaitu: //setiap hari aku menyiram bunga/ sedap malamku. setiap malam aku/ menghirup bunga sedap malamku/ dan kukasih nama satu malam indah./ dan aku selalu memetik bunga. yang/ layu aku merasa sedih karena/ bungaku sendiri. jadi aku beli 2 bunga/ sedap malam dua bunga itu kukasih/ nama malam dan indah agar ada/ sama sedikit. bunga yang sangat/ harum sekali warnanya putih./ hari yang lalu. mama papaku/ tidak punya uang dan aku punya/ ide. ideku adalah menjual 3 bungaku/ itu pengalaman tersedihku tapi tidak papa//

Keterangan: Peserta didik kelas tiga yang bernama Dita membacakan puisinya berjudul Bunga Sedap Malam. Foto: Aji, 2023  

Aku sangat tertarik mendengarkan puisi Bunga Sedap Malam, sebab Dita memberikan nama, antara lain: Satu Malam Indah, Malam, dan Indah. Lain itu, Dita memberikan dua kesedihan dalam puisinya terhadap tanaman dan orang tua. Dua kesedihan yang digambarkan Dita, yaitu: …aku merasa sedih karena/ bungaku sendiri. jadi aku beli 2 bunga/ sedap malam… dan /hari yang lalu. mama papaku/ tidak punya uang dan aku punya/ ide. ideku adalah menjual 3 bungaku/ itu pengalaman tersedihku tapi tidak papa//.

Pembacaan dua kesedihan yang aku kutip dari puisi Bunga Sedap Malam di atas memerlihatkan empati aku-lirik terhadap tanaman dan orang tua. Aku-lirik juga tidak larut dalam dua kesedihan karena memiliki solusi, misal membeli dua tanaman agar tanamannya tidak sendirian, serta terpaksa menjual tiga tanaman ketika orang tuanya membutuhkan uang. Frasa tidak papa pada penutup puisi Bunga Sedap Malam menandakan aku-lirik begitu teguh atas tindakannya. Aku merasa tersentuh bagaimana cara Dita menghadirkan dua kesedihan dalam puisinya.

Selesai pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua ini, para peserta didik telah pulang, Nita Agustian, anggota Tim Literasi yang lain, memerlihatkan kepadaku setumpuk kertas coklat berisi puisi. Puisi yang ditulis oleh para peserta didik. Dalam pembacaan ringkasku, ternyata beberapa dari para peserta didik telah menulis jenis tanaman yang sama, seperti mawar. Penulisan puisi yang mengambil jenis tanaman yang sama menandakan beberapa dari para peserta didik memiliki pengalaman serupa, misal mawar bewarna merah, memiliki duri yang unik, hingga bau yang wangi.

Keterangan: Karya-karya peserta didik yang didokumentasikan Foto: Aji, 2023  

Sebagai penutup tulisan ini, aku mengutip utuh puisi dari peserta didik kelas tiga yang bernama Rahel, berjudul Pohon Jambu, yaitu: //di rumahku ada pohon jambu yang besar/ jambu itu berbuah dengan sangat besar/ aku menyukai rasa jambunya karena manis dan enak/ setiap hari aku mengambil jambunya karena enak/ aku sungguh suka dengan jambu itu/ tetapi kalau malam jambu itu dimakan kelelawar/ kelelawar sungguh suka dengan jambu karena manis// Dari apa yang disampaikan Rahel dalam puisi Pohon Jambu, aku menangkap kesinambungan antara makhluk hidup (manusia, tumbuhan, dan hewan). Kesinambungan itu menjadi poin penting dari pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua ini. Dan, para peserta didik bisa mengembangkannya pada pertemuan-pertemuan berikutnya.

Aji Ramadhan
Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Tinggal dan bekerja di Gresik. Lulusan Desain Interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Puisinya termuat di Koran Tempo, Kompas, Bali Post, Suara Merdeka, majalah Kalimas, dan portal Buruan.Co. Buku puisi tunggalnya adalah Sang Perajut Sayap (Muhipress, 2011) dan Sepatu Kundang (Buku Bianglala, 2012). Sejak akhir 2021, dia mengasuh rubrik Sastra di portal Gresiksatu.com.