Ditorehkan melalui hapalan batas-batas klasik “alam” Minangkabau yang imajinatif, bertahun-tahun lamanya nama Air Bangis lekat dan hidup dalam ingatan saya. Bersama beberapa nama lain, Air Bangis disebut dalam patok-patok unik, jika bukan ganjil—campuran yang “imajiner” dengan yang nyata, yang riil dan simbolik, dengan pengucapan mendekati pepatah, sebagaimana disitir A.A. Navis: dari sikilang aie bangih sampai ke taratak aia itam, dari sipisok-pisok pisau hanyuik sampai ka sialang balantak besi, dari riak nan badabua sampai ka durian ditakuak rajo. Artinya: dari sikilang air bangis sampai ke taratak air itam dari sipisok-pisok pisau hanyut sampai ke sialang bersengat besi, dari riak yang berdebur sampai ke durian ditekuk raja (Navis, 1984: 53-54).
Mungkin lantaran merujuk kepada tambo, Navis sengaja tidak membedakan penulisan nama tempat dalam kalimat, misal mengawalinya dengan huruf kapital. Padahal di dunia nyata, tempat tersebut memang ada, tentu saja lengkap dengan letak geografisnya. Hal tersebut diakui Navis di catatan kakinya kemudian, dengan menuliskan nama tempat secara “benar”—memakai huruf kapital. Batas Minangkabau dahulu, demikian Navis, kira-kira di sebelah barat daya ialah Air Bangis, di sebelah tenggara Desa Taratak dekat Teluk Kuantan, di sebelah utara dekat Sipisok-pisok sampai ke Sialang dekat perbatasan Riau, dan di selatan dari Pesisir sampai desa Durian dekat perbatasan Jambi. Itulah yang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Barat sekarang (ibid, 54).
Dua nama tempat yang dinukilkan tambo tersebut, Sikilang dan Air Bangis, secara administratif merupakan bagian Kabupaten Pasaman Barat (yang dimekarkan dari Kabupaten Pasaman), beribukota Simpang Empat. Sikilang masuk Kecamatan Sasak Ranah Pasisie sedangkan Air Bangis masuk Kecamatan Sungai Beremas.
Penghujung November 2019, saya menyusuri daerah-daerah di seputaran Pasaman Barat ini, khususnya Air Bangis yang entah kenapa meninggalkan jejak mendalam pada diri saya. Saya duga, selain kuatnya rujukan batas-batas, nama ini juga dikekalkan nelayan kampung saya di pesisir bagian selatan, dikenal sebagai Bandar Sepuluh. Dalam musim-musim tertentu, bila ikan sedang mengena di utara, nelayan kampung saya melabuhkan bagan (kapal ikan) mereka di pelabuhan Air Bangis.
Dulu, seingat saya, tidak ada batas-batas teritori menangkap ikan di laut. Nelayan dari pesisir mana saja bebas melaut di samudera yang menjadi halaman depan mereka, tak ada pertengkaran atau konflik berarti di antara nelayan; mereka saling menyediakan tempat berlabuh.
Paman saya, Paman Untung, sebagaimana pernah saya ceritakan dalam sebuah cerpen “Cerita Campur-Aduk dari Pamanku” (Koran Tempo, 12 Februari 2012) termasuk salah seorang yang rutin berlabuh di sana. Ia selalu membawa cerita-cerita mengesankan, buah interaksinya dengan orang-orang etnik lain seperti Mandailiang, Nias, Sunda dan Jawa. Ini terkait posisi Air Bangis sebagai daerah perbatasan, keterhubungannya dengan sejumlah pulau lepas pantai serta Pasaman yang menjadi sentra transmigrasi nasional.
Nisbinya Batas-Batas
Dalam bayangan saya paling awal, nama Air Bangis diambil dari fenomena pusaran air yang ganas. Saya kira “bangis” itu berasal dari kata “bengis” dalam bahasa Indonesia yang di-Minang-kan. Ternyata Air Bangis, menurut Zusneli Zubir (2007), peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, berasal dari nama pohon bangei, yang justru di-Indonesia-kan. Pohon ini (saya tidak menemukan nama latinnya) banyak terdapat di tepi air dekat muara sungai yang semula dikenal sebagai wilayah Patibubua dan Ujung Biang.
Sungguh pun begitu, bayangan saya tentang air yang ganas tidaklah terlalu meleset. Ketika saya datang, hujan baru saja reda, tapi sejumlah sungai yang saya lewati sejak dari Simpang Empat, seperti Sungai Aie Gadang, benar-benar dihala aie gadang (banjir). Begitu juga muara Air Bangis terlihat keruh dan gelombang laut sedang bergemuruh. Sebagai wilayah pesisir yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia—sekalipun di depannya ada Pulau Panjang, dan di lepas pantainya ada gugus Kepulauan Batu—tentu saja air di sini terbilang ganas, apalagi saat datang angin munson yang berpengaruh pada pelayaran. Ini bertolak belakang dengan wilayah darek (pedalaman) Minangkabau, utamanya tiga luhak “induk”. Luhak Agam disebutkan “buminya hangat, airnya keruh ikannya liar”; Tanah Datar “buminya nyaman airnya tawar ikannya banyak,” dan luhak Limo Puluh Koto “airnya jernih ikannya jinak” (Navis, 1984: 48).
Perbandingan dengan darek ini saya rasa menarik jika kita lihat lagi cara tambo menggambarkan batas-batas; ia tidak menyatakan “ke” melainkan “dari”. “Ke” bisa berarti ke luar, misalnya, batas alam Minangkabau itu: ke utara Sikilang-Air Bangis, ke selatan Taratak Air Hitam, dan seterusnya—dan itu artinya ada titik awal yang merentang tangan ke arah mata angin. Namun yang tersua adalah: “dari Sikilang-Air-Bangis” sampai Taratak Air Hitam. Posisi ini menunjukkan “pusat” (katakanlah Pagaruyung) merengkuh yang tepi-tepi ke dalam, semacam hubungan sentrifetal (menuju pusat), bukan sentrifugal (menjauhi pusat), terlebih dihubungkan oleh kata “sampai” sehingga batas-batas itu juga terhubung satu sama lain.
Tapi apakah upaya “merengkuh” itu meninggalkan jejak kemajuan pada tapal batas, atau hanya sekedar simbol dan kias, secara faktual dapat kita bandingkan kondisi “desa pesisir” dengan “desa dataran” dan “desa bukit” ala Dobbin (1983). “Desa dataran” di kawasan lembah Agam, 50 Koto, Tanah Datar, dan sebagian Solok, digambarkan Dobbin serba tertata, dengan sawah hijau, kebun kelapa dan buah-buahan. Desa-desanya berdempetan, lebih besar, dan beberapa di antaranya berpenduduk beberapa ribu orang. Raffles yang pernah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau, menyebut kampung-kampung yang ia lalui sebagai “kota”, seperti Simawang, Saruaso dan Pagaruyung. “Seluruh negeri dan Pagerruyung, sejauh mata memandang merupakan pemandangan budi daya yang berkesinambungan. Daerah ini disela dengan kota dan desa yang tak terhingga banyaknya serta dinaungi oleh pepohonan kelapa dan bebuahan lainnya.” (Dobbin, 1983: 21). Dalam sebuah referensi lain, Sungai Tarab bahkan pernah disebut sebagai “kota besar”.
Begitu pula “desa bukit” di Minangkabau Tengah, di antara bukit Barisan dan Gunung Singgalang, Merapi, Talang dan Sago. Penduduknya hidup dengan kerajinan besi, emas dan perak, tenun, perkebunan dan pertambangan. Desa Taram misalnya, digambarkan sebagai “distrik kecil yang sangat makmur. Rumah-rumahnya kelihatan bagus dengan lukisan bunga-bunga. Ada cukup banyak kebun kopi, sawah yang berlimpah dan tambak penuh ikan. Air Terbit, menyajikan sawah-sawah yang melandai dengan indahnya (…) taji-taji gunung di antara lembah-lembah ditanami dengan pohon kopi yang memberikan si penanam keuntungan yang cukup banyak. (Dobbin, 1983: 63, 64)
Air Bangis tidak. Ia, lebih tepat orang-orangnya, jauh dari “induk” sebab ia termasuk wilayah rantau. Sudah rantau, pesisir pula. Apalagi jika benar Air Bangis didirikan rombongan Indrapura, Tuan Lanang Bisai, tentu saja rantau dan pesisir itu jadi berganda. Indrapura, kita tahu merupakan rantau Minangkabau di pesisir bagian selatan, dan si perantau selatan itu lalu merantau lagi ke pesisir utara.
Proses ini membuat rantau pesisir begitu setia dengan tetap merasa sebagai bagian Pagaruyung, sehingga saya bayangkan bukan “pusat” yang merengkuh rantau, tapi (orang) rantaulah yang membawa (pusat) Minangkabau ke mana-mana! Apakah itu berarti ungkapan tambo hanya sekedar simbol dan basa-basi dalam batas-batas yang nisbi?
Saya tak sampai mengatakannya begitu. Tapi situasi rantau pesisir yang berbeda jauh dengan darek, terutama dengan tigo luhak nan tuo, menunjukkan bahwa rantau pesisir adalah wilayah yang belum selesai diteruka. Status dan posisi tersebut sangat mungkin membuat rantau pesisir seperti Air Bangis berhadapan dengan segala yang “bengis”. Mulai alam yang ganas dengan ombak-gelombang, seringai badai dan amuk muara. Juga hidup sehari-hari yang keras. Kehidupan di pantai, sebagaimana digambarkan Dobbin (1983: 125), menghadapi ekonomi naik-turun secara fluktuatif. Keluarga pendatang yang paling awal seringkali bertentangan dengan pendatang kemudian. Kekayaan bisa didapat dan lenyap lagi dengan cepat. Tingkat persaingan sangat tinggi. Meskipun Dobbin merujuk Padang, namun merepresentasikan pelabuhan lain, termasuk Air Bangis, yang berada di garis pantai yang sama (biasanya orang menyebut semuanya dengan “Pantai Pariaman”).
Dalam perkembangannya, sebagai daerah terbuka di tengah lintasan samudera, Air Bangis memang berhadapan dengan rupa-rupa kebengisan segala yang datang: kapal-kapal dengan lambung yang lapar, senjata dan meriam ditembakkan!
Itulah yang terjadi ketika orang-orang kulit putih datang, mula-mula dengan niat berdagang, lalu dihantui hasrat menguasai. Upaya menguasai itu bukan saja dengan cara memonopoli jalur niaga dan harga barang, namun juga menentukan secara paksa tanaman apa yang harus ditanam, yakni komoditi yang laku di pasaran. Daerah pedalaman tentu juga merasakan hal yang sama, terutama saat tanam paksa kopi diterapkan pada tahun 1847. Namun kawasan pesisir lebih mengenaskan. Lahan pertaniannya yang tidak terlalu luas, karena diapit laut dan Bukit Barisan, juga sungai-sungai, mula-mula ditanami lada. Tanaman yang disebut “lado kabun” ini pada awal atau pertengahan abad ke-16 mendapat sambutan pasar dunia. Segera Belanda memonopoli perdagangan lada dengan menyingkirkan panglima-panglima Aceh yang sekaligus berfungsi sebagai pialang, khususnya dengan mitra India mereka. Ketika pialang Aceh ternyata diam-diam masih bekerjasama dengan penguasa bandar, Belanda segera memberlakukan bea pelabuhan yang besar. Hasilnya sama saja. Pelabuhan sepi, perdagangan gelap terjadi di mana-mana, yang hanya menguntungkan pialang gelap pula. Rakyat tetap menderita.
Namun ketika permintaan lada mulai lesu, lahan yang sempit itu dipaksa ditanami kapas untuk memenuhi kebutuhan tenun di pedalaman. Komoditi kapas termasuk unik, sebab ia menyuplai kebutuhan orang di hinterlands, berbeda dengan komoditi lain yang biasanya turun dari gunung ke pantai. Lada juga termasuk unik. Meski bukan tanaman endemik, terbukti pertumbuhannya di pesisir paling baik terutama antara Sungai Masang dengan Tiku, atau Indrapura di selatan. Tahun 1710 harga lada kembali naik, sementara stok menipis akibat lada diganti kapas. Tanpa tedeng aling-aling, petani diperintah lagi bertanam lada, bahkan Panglima Raja Padang yang diangkat Belanda dengan satu kompensasi bahwa ia akan melarang penanaman kapas. Celakanya tambang garam pun sempat dilarang karena Belanda menginginkan hanya garam “ekspor” dari Jawa dan sebagian garam Siam yang boleh dipasarkan. Padahal Air Bangis dan Naras di Pariaman termasuk yang bisa memproduksi garam sendiri. Seiring dengan itu, perdagangan candu dibuka leluasa, terutama menyasar para penghulu dan pembesar nagari; salah satu bom waktu yang memicu gerakan Padri.
Dengan demikian, kawasan pantai yang diasumsikan bebas, justru tidak bebas bahkan untuk menentukan komoditi yang hendak mereka tanam atau usahakan sendiri!
Resisten dalam Peran dan Jaringan
Kebengisan alam dan rupa-rupa paksaan kolonial membuat pantai barat, juga Air Bangis, dibangun dan ditegakkan dengan resistensi yang cukup. Pelabuhan, menurut Dobbin, tak hanya sebagai tempat penyaluran atau distribusi barang dagang, tapi juga penyaluran gagasan. Istilah terakhir ini menarik, mengingat kawasan pesisir terbiasa berhubungan dengan orang asing atau dunia luar. Tapi gagasan itu saya kira juga menyangkut cara bertahan. Strategi dan diplomasi. Kekuatan untuk menghadapi situasi, jatuh-bangun dalam pusaran arus kekuasaan, menjadi modal bagi Air Bangis untuk terus tegak. Dan mungkin karena teruji oleh berbagai tempaan itu, maka ia merepresentasikan resistensi pelabuhan pantai barat dengan segala peran dan jaringannya.
Alhasil Air Bangis tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pelabuhan penting di pantai barat Sumatera bagian utara, bersama Singkil, Barus, Sibolga dan Natal. Agak ke selatan ada Sasak, Tiku dan Pariaman, dan terus ke selatan ada Pulau Cingkuak, Bandar Sepuluh dan Indrapura. Selain itu juga ada pelabuhan transit yang lebih kecil seperti Susoh, Sorkam, Batumundam, Singkuang, Tabuyung, Sikilang, Mandiangin, Katilagan, Bayang, dan Salido. Terkait dengan posisi bandar, Gusti Asnan (2013) menyebut ada tiga bentuk jaringan perdagangan di pantai barat dan setelah saya periksa ketiganya ternyata dimiliki Air Bangis.
Pertama, jaringan perdagangan pantai dengan daerah pedalaman (hinterlands). Dalam hal ini posisi Air Bangis strategis, karena merupakan muara perdagangan daerah-daerah hinterlands yang luas bukan hanya Pasaman, juga Agam bahkan Potjan (Tapanuli). Terlebih ketika pelabuhan Padang, Pariaman dan Tiku jatuh sepenuhnya dalam kontrol Belanda. Kedua, jaringan perdagangan antar bandar. Posisi Air Bangis yang dikelilingi sejumlah pelabuhan transit membuatnya muncul sebagai pelabuhan utama, setelah pelabuhan transit berfungsi sebagai pengumpul. Ketiga, jaringan perdagangan dengan dunia luar. Dalam hal ini, Air Bangis telah menjalin perdagangan bebas dengan anak benua India, Jazirah Arab dan Eropa. Dobbin (1983: 139), merujuk Laporan Residen Belanda, menyebut bahwa pada tahun 1760 paling sedikit ada 200 perahu (kapal?) Inggris merapat di Air Bangis. Kapal itu menjalani rute Madras, Benggali dan Bombay. Mereka menguasai perdagangan lebih besar daripada Belanda yang masif dengan sistem dagang VOC mereka—birokratis, ruwet, penuh intrik dan korupsi. Sedangkan rute India-Air Bangis digerakkan oleh swasta dan pensiunan karyawan East India Company (Kongsi dagang Inggris) yang lebih luwes dan partikelir.
Karenap serta mitra dagangnya yang kuat, Air Bangis tak tersentuh Belanda, setidaknya sampai akhir abad ke-16. Pergerakan Belanda praktis hanya di selatan (Indrapura, Bandar Sepuluh, Painan atau Padang), itu pun tak signifikan. Pedagang Bandar Sepuluh misalnya, sebagaimana diceritakan Rusli Amran (1981:128), diam-diam tetap berdagang dengan Aceh. Namun ketika diselidik VOC, mereka menyatakan menolak panglima sekaligus pialang Aceh. Inilah yang melahirkan “Sandiwara Batangkapas”; sebuah pertemuan diam-diam penguasa Batangkapas, Rajo Lele dan Kende Marajo, dengan petinggi VOC, Groenewegen. Mereka membahas hubungan kedua belah pihak. Perwakilan Bandar Sepuluh berpura-pura bekerjasama dengan Belanda untuk menolak Aceh. Di sisi lain, jangan lupakan betapa berabe-nya apa yang disebut “Tipu Aceh”!
Akhirnya secara administratif Belanda mengikat pantai barat dengan memasukkannya dalam Afdeeling Sumateras Weskuts. Tapi tak pernah efektif, tulis Asnan (2007). Sama tidak efektifnya Afdelling Tapanoelli ketika Belanda memasukkan Singkel sebagai wilayah administratifnya. Bahkan tahun 1792, Belanda sudah tak berarti banyak dalam perdagangan pantai barat karena didominasi Inggris. Tahun 1792, Belanda menutup posnya di Air Bangis dan Tiku, dan hanya mempertahankan pos militer kecil di Pariaman, Pulau Cingkuak dan Air Haji. Tahun 1795, Padang bahkan jatuh ke tangan Inggris (Dobbin, 1983: 142).
Karena situasi politik di Eropalah maka pada tahun 1824 berdasarkan Traktat London, Inggris harus meninggalkan pantai barat Sumatera. Inggris terutama harus rela meninggalkan Bengkulen (Bengkulu) yang sudah seratus tahun lebih didudukinya, “tukar-guling” dengan Tumasik di timur. Hindia Belanda juga diwajibkan mengambil-alih dua pelabuhan yang masih dikuasai Inggris di utara, yang dilaksanakan Belanda dengan bahagia: Natal dan Air Bangis, termasuk Potjan.
Akan tetapi pengambil-alihan itu tidak menjamin tenangnya Air Bangis. Pelabuhan ini tetap bergolak dalam dinamika tak terduga. Pecahnya Perang Padri membuat pelabuhan di utara jadi tumpuan perdagangan orang-orang Padri yang sudah menguasai wilayah Minangkabau dan sebagian kawasan Batak. Praktis segala kepentingan dagang kaum Padri berpindah ke utara setelah pelabuhan utama mereka di daerah tengah mulai dikuasai Belanda. Bahkan, meskipun Perang Padri bisa dikatakan selesai tahun 1838, tapi jalur perdagangan di utara, masih berada di tangan kaum Padri, meskipun berpindah secara sporadis ke pelabuhan transit seperti Tabuyung dan Singkuang.
Air Bangis sendiri berhasil ditundukkan Belanda dalam perang sengit tanggal 29 Januari 1833. Tuanku Rao, pemimpin Padri yang disebut keponakan Sisingamangaraja X (meski ia justru membunuh sang paman) terluka parah dan berhasil ditangkap Belanda. Dari pelabuhan Air Bangis ia dinaikkan ke atas kapal, seperti biasa hendak dijadikan orang buangan. Namun Tuanku Rao keburu meninggal dan jasadnya konon dibuang ke laut. Sebagian sumber menyebut, ia dikuburkan di Pulau Panjang.
Meski jatuh, sebagaimana jatuhnya seluruh pantai barat, bahkan Kesultanan Aceh yang kuat, peran Air Bangis telah menjadi kunci gerbang yang menghidupkan daerah-daerah lain di Pasaman: Ujung Gading, Silaping, Batahan, Lubuk Sikaping, Simpang Empat, Kinali, hingga pedalaman Bonjol dan Rao. Mereka saling topang dalam perdagangan antara pantai dan pedalaman, atau sebaliknya. Proses itu tak hanya memunculkan daerah penghasil komoditi, tetapi juga daerah yang tumbuh sebagai daerah lintasan (transit). Ujung Gading misalnya, merupakan persinggahan lalu-lintas orang dan barang dari pedalaman Rao ke pelabuhan Air Bangis. Simpang Empat jadi daerah transit jalur emas dari Gunung Ophir dan Talamau ke Sasak dan seterusnya. Itulah sebabnya, bersama nama Air Bangis, kita juga akan ikut melafalkan nama-nama lain yang tumbuh bersama di kawasan Pasaman.
Posisi Air Bangis sebagai “daerah perbatasan” sedikit banyak pastilah memberi warna, baik kultural maupun pertahanan. Pedagang Minangkabau akan memilih perbatasan daerahnya sendiri untuk berdagang daripada daerah yang dikuasai Belanda. Secara kultural, ia juga terbuka pada pembauran bukan hanya adat dan tradisi Minang, pun menyerap unsur-unsur budaya di perbatasan, dalam hal ini, yang terdekat bisa Nias, Angkola, Mandailiang atau Batak. Sebagai entropot pantai, Air Bangis tidak homogen. Ia terbuka untuk lebih kosmopolit.
Begitulah, Air Bangis terus tumbuh dan runtuh juga. Silvia Devi (2013), dengan mengutip M. Nur, menyebut pada tahun 1906 bandar Air Bangis dipisahkan dari Karesidenan Tapanuli. Ini menyebabkan pusat perdagangan berpindah dari Air Bangis ke Sibolga. Kenapa bisa begitu? Saya duga karena posisinya di perbatasan Minangkabau dan Batak, maka komoditi yang dihasilkan orang Batak mereka alirkan ke pelabuhan mereka sendiri, di samping memang hasil bumi bergeser ke kawasan lebih utara di sekitar Danau Toba. Tapi boleh jadi juga dendam dan trauma Batak dengan Padri masih bersisa. Maka, kelanjutan dari itu, masih menurut Silvia, pada tahun 1912 kondisi Air Bangis semakin memburuk karena tidak teraturnya perkembangan kota, planologi yang buruk dan berjangkitnya penyakit malaria. Tahun 1939 keadaan ekonomi semakin mundur ditambah kondisi jalan rusak parah dan tak kunjung diperbaiki meski masyarakat membayar pajak yang tinggi (Silvia Devi, 2013, mengutip M. Nur, 2013).
Turunnya peran pelabuhan bahkan cenderung menjadi wilayah terbelakang, dilihat Asnan masih dalam konteks klasik seperti jatuhnya harga kopi dunia dan berubahnya peta politik ekonomi kawasan serta kebijakan pemerintah Hindia. Namun Silvia melihat dalam konteks kekinian bahwa status pelabuhan antara Tipe A dan Tipe B, ikut mempengaruhi peran pelabuhan. Satu hal, menyangkut fasilitas dan infrastruktur. Pelabuhan Tipe A jelas lebih lengkap dibanding tipe B, dan status pelabuhan Tipe A hanya disandang Padang yang itu pun, dalam kehidupan mutakhir boleh dikatakan minus kapal-kapal.
Lalu apa yang kemudian disebut “pedalaman”, menurut saya bukan hanya daerah yang harfiah berada di pegunungan, lembah atau perbukitan. Pengertiannya pun berubah menjadi daerah “terkurung” atau terisolasi.
Padahal merujuk kondisi pedalaman Minangkabau sebagaimana diceritakan panjang-lebar di atas, pedalaman bukanlah kategori yang berhubungan dengan akses atau isolasi, kecuali hanya letak dan posisi (di pegunungan). Itulah sebabnya pedalaman Minangkabau tumbuh dengan kota-kotanya, beberapa disebut sebagai “kota besar”.
Kini, pengertian pedalaman beralih. Meski tak bisa dikatakan terisolasi, Air Bangis bersama Sasak dan Sikilang, tak berlebihan disebut “daerah buntu”, yang bahkan lebih mengenaskan dibanding sebutan “pedalaman”. Begitu kita memasukinya kita harus kembali putar haluan untuk ke luar. Tak ada jalan lain, semacam jalan lingkar yang akan mempertemukan kita dengan kota tujuan. Sementara ke arah laut, ke “riak yang berdebur”, juga tak mungkin sebab tak ada lagi kapal ke Padang, kecuali sebatas menyeberang ke Pulau Panjang. Jalur laut surut dan tutup usia.
Dalam kemundurannya yang dramatis, gambaran romantik-nostalgik Air Bangis sekilas dapat kita napak-tilasi lewat cerpen Wildan Yatim, “Di Lingkung Gunung” dalam buku Pertengkaran (1976). Kita pinjam kacamata tokoh Abd. Sukur, seorang bendahara kantor pemerintah yang pernah bertugas di sana:
(…..) Dulu ia berkantor di tepi pantai Air Bangis. Saban pagi dan siang ia lewat perkampungan nelayan, dan melihatkan ombak berdebur dan mendesir berbuih di pasir. Sambil mengiangkan bunyi ombak itu ia membayangkan para pencalang yang bergantian menepi, layar mereka yang putih bentuk trapezium miring, lalu layar itu cepat digulung dan didayung sekejap, sebelum seseorang turun untuk menarik perahu ke darat. Anak-anak yang datang merubung perahu, kaki yang disemburi ombak, onggokan ikan, udara yang berbau anyir dan ikan pari berbentuk seperti pesawat pemburu jet. Lalat yang merubung kucing yang menunggu sisa ikan dan angin yang meliukkan semua dahan kelapa ke satu arah, rambut kita juga begitu….(Yatim, 1977: 57-58)
Lompatan Simpang Empat
Perjalanan saya ke Air Bangis menyusuri jalur darat dari Pariaman, melewati Tiku—pelabuhan haru-biru itu—dan sampai terlebih dulu di Simpang Empat. Simpang Empat merupakan kota kabupaten daerah pemekaran baru, Pasaman Barat, berdasarkan UU No. 38/2003. Sesuai namanya, pusat kota ini memang terletak di simpang empat. Ke barat menuju Lubuk Landua terus ke Talu dan Lubuksikaping; ke barat menuju Sasak dan Sikilang, melewati Bandara Pusako Anak Nagari. Ke utara menuju Ujung Gading, Air Bangis, Silapiang, dan daerah-daerah di perbatasan Mandailiang. Ke selatan (arah saya datang) menuju Pariaman, Padang dan Lubukbasung (terus ke Bukittinggi). Simpang ini mengingatkan saya pada kota bernama sama yang menjadi ibukota Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, meski lebih dikenal nama lamanya, Batulicin.
Untuk ukuran kota kecil, Simpang Empat termasuk hidup, ramai dan penuh aktivitas. Malam hari, lampu-lampu menyala dan tugu perempatan memperlihatkan sepasang penari Minang menyambut siapa pun yang datang. Patung penari itu menghadap utara, bukan ke selatan yang notabene arah ke Padang, ibukota Propinsi. Itu artinya—andaian saya—Simpang Empat lebih siap menyambut mereka yang datang dari luar, dari arah perbatasan (Sumut-Sumbar), sebagai simbol investor. Menurut anggota DPD Sumbar, Emma Yohana, ada sedikitnya 18 perusahaan perkebunan sawit di Pasaman Barat (Klikpositif, 27 Desember 2019).
Sejumlah hotel atau penginapan terdapat di jalan lintas atau ke kawasan pinggir kota. Penginapan dan wisma itu penuh oleh mobil-mobil box (kanvas) yang membawa berbagai barang untuk didistribusikan. Entah kenapa saya membayangkan wisma dan penginapan itu seperti gudang di pelabuhan. Saya cukup lama berputar mencari penginapan yang cocok, baik karena harga maupun fasilitas. Ada satu tempat yang cukup bagus, “Wisma Amanah”; berpendingin udara dan bersih, tapi anehnya pintu akan ditutup pada pukul 23.00 sebab kamar itu terletak di dalam rumah induk. Saya keberatan, meski akhirnya terpaksa menerima. Tak ada pilihan. Kamar di luar rumah induk tanpa ac, dan agak sempit. Sementara penginapan lain yang sempat membuat saya berputar mencarinya, pada akhir pekan, penuh dengan pelanggan tetap—sopir dan karyawan mobil kanvas—ujung tombak pemasaran produk!
Tak banyak yang saya tahu tentang Simpang Empat, bahkan jujur namanya seperti muncul tiba-tiba menyeruak geografi kawasan Pasaman yang selama ini lebih identik dengan nama-nama lokal klasik familiar. Sebutlah Rao, tanah kelahiran Asrul Sani dan kubu Tuanku Rao. Lalu ada Talu yang cukup dikenal dalam lagu Minang lama, “Urang Talu”, Panti dengan hutan lindungnya, Bonjol dengan Tuanku Imam Bonjol, dan seterusnya. Simpang Empat saya rasa muncul bersamaan dengan booming kelapa sawit tahun 80-an. Meski harganya tak selalu stabil di pasar dunia, tapi “ketabahan” dan konsistensi Pasaman dengan komoditi yang satu ini lambat-laun tetap membuahkan hasil. Pemekaran Kabupaten Pasaman Barat, pastilah mempertimbangkan potensi perkebunan sawit ini sebagai sentra perekonomian daerah.
Ya, sawit dan Pasaman bagai sekeping mata uang di tengah pusaran komoditi nasional dan regional. Meski pada era sekarang daratan memiliki kebebasan menanam komoditi apa saja, tapi yang dipilih tetap tanaman pengincar pasar dunia. Dan itu adalah kelapa sawit yang ditanam secara massal, merentang dari Malaya, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi hingga Papua. Untuk mewujudkannya dalam skala besar, lahan tanam mengorbankan hutan dan lahan-lahan peruntukan lainnya. Tangan kedua atau ketiga bernama investor mesti dilibatkan. Kelapa sawit tumbuh sebagai tanaman dominan abad mutakhir, menggeser cengkeh, kulit manis, gambir, apalagi kelapa (kopra). Bandingannya hanyalah tambang, emas atau batubara. Akibatnya daratan Tanah Air dipenuhi tanaman yang homogen dan juga dominasi dua bidang usaha: perkebunan dan pertambangan. Efek lebih lanjut, dalam kasus kelapa sawit, penentuan harga CPO dunia sangat tergantung pada aturan main Eropa. Dalam arti ada yang tetap menyetir. Berbeda dengan era karet, ketika petani ramai-ramai menanam komoditas pilihan mereka dalam ladang atau kebun milik sendiri di tanah ulayat. Dengan itu mereka banyak yang naik haji ke Makkah tanpa ribet dengan tata cara penanaman modal.
Tapi begitulah, saya mengenal Pasaman ketika dulu orang-orang menyebut kelapa sawit, dan sebaliknya. Saya tahu nama tanaman itu ketika orang mengucapkan nama Pasaman. Itu terjadi jauh sebelum kelapa sawit merajalela di mana-mana, termasuk di kampung saya di selatan, dari Pancung Soal hingga Bengkulu. Dalam era kelapa sawit inilah, pusat pertumbuhan Pasaman bergeser ke Simpang Empat. Boleh dikatakan semaraknya Simpang Empat dan meredupnya Air Bangis, mencerminkan pergeseran orientasi dari laut ke darat. Dari hasil kebun dan hutan rakyat, ke tanaman industri milik korporasi. Sistem kerja ala korporasi kita tahu mematok keuntungan sebesar-besarnya untuk perusahaan, kadang dengan mengabaikan tanggung jawab moral pada lingkungan sekitar. Sebuah berita misalnya menyebut, “21 Perusahaan Sawit dan Perbankan di Pasbar Tak Realisasikan CSR” (Info Sawit, 20 Februari 2019).
Apapun, sebagai kota yang terus tumbuh, posisi Simpang Empat sangat strategis. Bukan saja keterhubungannya dengan kota-kota utama yang dapat dicapai dengan mudah dari titik persimpangannya itu—Lubuk Basung, Pariaman, Padang, atau Lubuk Sikaping—juga hubungannya dengan wilayah perkebunan di semua kawasan. Ini berkat pembukaan jalan baru sekitar tahun 90-an yang menurut informasi seorang kawan dikerjakan oleh kontraktor Filipina. “Jadi jangan heran kalau ada beberapa anak mirip orang Filipina, sebab dulu ada kawin kontrak segala,” kata kawan tersebut. Ia juga menceritakan pengalamannya naik bis Patra jurusan Padang-Simpang Empat, termasuk naik kapal laut Air Bangis-Padang karena jalan lintas barat belum dibangun. Naik kapal laut seperti itu pernah pula dilakukan penyair Hartojo Andangdjaja atau para toke karet dengan getahnya.
Perkembangan Simpang Empat yang pesat, dengan infrastruktur jalan yang mulus dan lebar, mengingatkan saya pada Pangkalan Bun di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Saya menyebutnya kota di tengah kebun. Kotawaringin termasuk kota kecil yang punya bandara sendiri, Bandara Iskandar dan Pelabuhan Laut di tepian Sungai Kumai. Simpang Empat juga demikian, tumbuh di tengah kebun, punya Bandara Pusako Anak Nagari dan pelabuhan laut Sasak atau Air Bangis.
Setiap masa punya komoditinya sendiri, dan setiap komoditas memunculkan kotanya sendiri pula. Pasaman punya keterlibatan yang intens dengan hal ini.
Pada zaman kolonial, Pasaman dengan sejumlah titik wilayahnya adalah penghasil lada yang sangat diincar pasar, lalu gaharu, kamfer, rotan dan damar, tak ketinggalan emas yang disimbolkan dengan Gunung Ophir. Ophir disebut salah satu sumber emas Nabi Sulaiman dan tercantum dalam peta Yunani kuno. Pada tahun 60-an, karet menjadi primadona sumber daya alam. Pasaman pun tercatat paling banyak menghasilkan komoditi ini, meski disaat bersamaan situasi sosial-politik kurang menguntungkan. Jalan pada rusak sehingga truk-truk pengangkut getah karet sering tertahan di “jalur-jalur yang membenam”. Hal ini banyak diceritakan Wildan Yatim dalam karya sastranya.
Salah satu karya Wildan yang menarik perhatian adalah cerpen “Jalur Membenam” (1977), bercerita tentang jauhnya jarak antar kota karena jalan remuk-redam. Ini dapat disimak dari percakapan pemilik warung nasi dengan tokoh “aku” (Idris). Idris adalah orang Talu yang merantau ke Bandung, dan pada saat itu pulang kampung. Dari Bandung, ia naik bis lewat Bukittinggi dan Bonjol. Ia akan melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya di Talu. Tapi jalur ke Talu (berada di luar Jalan Lintas Tengah Sumatera) tidak punya angkutan umum karena jalannya rusak parah. Maka “aku” harus menunggu tumpangan truk atau pra-oto pembawa getah ke Sasak. Celakanya, truk yang ditunggu itu pun belum pasti kapan datangnya—ibarat menunggu godod:
“Anak mau makan sekarang?”
“Ya! Siapa tahu sebentar lagi ada mobil.”
“Kukira belum. Biasanya mobil si Murad yang ke sana hari ini. Tapi ia sedang ke Bonjol. Kemarin dia pergi, kalau tak ada halangan nanti siang baru kembali.”
“Apakah tak mungkin mobil lain yang datang, umpamanya dari arah Rao?”
“Ya! Sebuah lagi kesempatan anak untuk dapat mobil hari ini. Ialah mobil si Bidin, yang sewaktu lewat sini untuk mengangkut getah ke Sasak. Anak tahu, sejak jalan-jalan raya di daerah ini hancur, banyak saudagar yang mengangkut getahnya ke Padang lewat laut.” (Wildan Yatim, 1977: 13)
Atau bisa disimak pengakuan tokoh Hasnah, mantan kekasih “aku” waktu masih di kampung. Mereka secara tak sengaja bertemu di kampung simpang jalan ke Talu itu. Dalam pertemuan itu, Hasnah mengaku juga tak leluasa pulang ke Talu.
Jalan-jalan kita kini sudah hancur, Ris. Nanti akan kau lihat lagi yang jauh lebih seram dari itu. Jalan yang tak bisa disebut jalan lagi. Aku sendiri sudah setahun tak pulang ke Talu. Sejak kami menetap lagi di sini aku belum pernah balik ke sana. Karena apa? Karena aku ngeri melihat jalan. (…) (Yatim, 1977: 16).
Saat itu, Sasak disebut sebagai pelabuhan yang digunakan mengangkut karet ke Padang. Jalan darat yang hancur sudah tak memungkinkan jadi jalur pembawa hasil bumi. Hubungan laut ini sebenarnya bisa dikelola dengan baik, bahkan layak dipertahankan sampai sekarang. Kalau dulu karena ketiadaan jalan, maka kini demi keselamatan jalan-jalan yang baru dibangun supaya tidak keburu hancur oleh truk-truk pengangkut sawit atau CPO. Sampai di sini saya teringat Hartojo Andangdjaja. Jika tak salah ingat, ia pernah menceritakan proses kreatifnya melahirkan sajak “Rakyat” dalam buku Dari Sunyi ke Bunyi (1992). Ia bercerita pernah naik kapal ke Padang, dan di tengah pelayaran kapal yang ia tumpangi dihala badai, sehingga harus menepi di sebuah pulau. Saat itulah ia mengantongi sejumlah bibit kata yang kelak ia olah menjadi sajak “Rakyat” yang fenomenal tersebut.
Hartojo memang pernah tinggal di Pasaman, 1957-1962. Ia mengajar di sebuah sekolah menengah pertama dan SMA Negeri Simpang Empat. Karena itulah sajak “Rakyat” dipersembahkannya sebagai “hadiah di hari krida buat siswa-siswa SMA Negeri Simpang Empat, Pasaman”. Sajak ini, sebagaimana sajak Hartojo yang lain, sangat kental dengan nuansa pedalaman, khas renungan yang terbit dari desa, tidak bisa lain merupakan pengaruh tempat ia bermukim: Simpang Empat tahun 60-an. Masa ketika simpangnya masih membentang lengang, sawit belum mengubahnya jadi pusat pertumbuhan.
Namun jangan bayangkan suasana kampung adem-tenteram yang membuatnya bisa melahirkan sajak demikian, melainkan pedalaman yang penuh pergolakan. Betapa tidak. Pasaman, atau Simpang Empat khususnya, adalah kota persimpangan yang menanggung beban dari persimpangannya; semua zaman lintas dan berganti. Bukan saja pada zaman Belanda ketika kolonialisme menghisapnya, juga pada masa berkecamuknya perang Padri, lalu zaman Jepang, juga masa PRRI, wilayah ini terus-menerus jadi arena pergolakan. Sampai akhirnya, pada pertengahan atau akhir masa Orde Baru, Pasaman tumbuh menjadi sentra perkebunan sawit. Saya kira bukan hal mudah. Rakyat penuh pengorbanan karena perkebunan skala besar menyentuh juga lahan ulayat dengan segepok persoalan agraria.
Di Pasaman Barat pula ada sebuah kampung yang menampung eks warga negara Surniame keturunan Jawa. Hal ini dapat dibaca sebagai kisah perjalanan hidup anak manusia. Mereka dipulangkan dalam program repatrian (1953) dan ditempatkan di Jorong Tongar Nagari Aia Gadang, Kecamatan Pasaman. Namun baru beberapa gelombang kedatangan, proyek kemanusiaan itu terhenti sebab pecahnya perang saudara. Alhasil, sejumlah orang yang datang terpisah dengan anggota keluarga lain yang direncanakan berangkat dalam rombongan belakangan. Kisah sedih ini bisa dibaca dalam cerpen Khairul Jasmi, “Bila Julies Sedang Rindu” (1999). Juga skripsi Hary B. Koriun, mahasiswa sejarah Universitas Andalas yang sayangnya tidak diterbitkan. Hartojo Andangdjaja juga mengabadikannya dalam dua puisi, “Orang-Orang dari Surinam” dan “Surinam di Pedalaman Pasaman” (Buku Puisi, 1973).
Otonomi tiba. Proyek pemekaran kabupaten/kota muncul di mana-mana, tak terkecuali di Pasaman. Kabupaten baru terbentuk, Pasaman Barat, dengan kota Simpang Empat, dengan simpang-simpangnya datang mengetuk, mula-mula lambat lalu mulai menggedor-gedor keramaian. Kemunculannya sebagai pusat pemerintahan (dan seperti biasa diikuti perdagangan dan jasa, baca: pusat ekonomi) menunjukkan bahwa daerah pelintasan (transit) di masa lalu juga bisa tegak jaya—pasca kejayaan kota yang lebih ke pedalaman, seperti Rao dengan emasnya atau Talu dengan karetnya, juga kota pesisir seperti Sasak dan Air Bangis dengan pelabuhannya. Kini saatnya kota transit tumbuh sebagai lokomotif, dengan mengandalkan simpang-simpangnya yang prosfektif!
Sekaligus dengan itu, kita tahu, sekali lagi, telah terjadi pergeseran orientasi, dari laut ke darat, sesuatu yang tidak mengejutkan sebab sejak kolonialisme hengkang, pantai barat memang tak lagi menjanjikan. Bahkan sebelum itu, masyarakat pedalaman Pasaman perlahan telah mengalihkan perdagangannya ke pantai timur melalui aliran Sungai Rokan, dalam apa yang disebut Gusti Asnan (2013) sebagai “gerakan ke timur”. Yakni, pergerakan alamiah masyarakat atau kebijakan sistem politik pantai barat yang melihat pantai timur sebagai jalur baru yang bisa diandalkan, baik dalam perdagangan, pertahanan maupun hubungan dengan dunia luar.
Hal itu sebenarnya berlangsung sudah sangat lama, seolah tak kasat mata. Bukan saja ditandai pindahnya jalur dagang Minangkabau via sungai ke timur, tetapi bahkan serangan-serangan Belanda ke pedalaman serta perjalanan Raffles yang secara harfiah memang mengarah dari pantai ke pegunungan Bukit Barisan, semua dimaknai Asnan sebagai bagian “gerakan ke timur” itu. Maka dapat dimaklumi, sisa laskar Imam Bonjol membangun kubu terakhirnya di timur Pasaman, Dalu-Dalu. Kubu yang dipimpin Tuanku Tambusai itu pun lantas ditinggalkan. Tuanku Tambusai bersama sejumlah pengikutnya menyeberangi Selat Malaka dan menetap sampai akhir hayat di semenanjung Malaya.
Praktis pantai Barat tak lagi dijenguk. Jalan ke Sasak masih sempit, tapi tidak sesak karena jalanan itu sendiri memang sepi. Sejumlah kampung dalam Kecamatan Sasak Ranah Pasisie masih terisolasi, sehingga melahirkan kisah pilu. Misalnya kisah seorang bayi yang lahir di tengah jalan berpasir, dari seorang ibu, Rani (26), warga Nagari Persiapan Maligi, karena jalan yang rusak parah (lihat Klikpositif, 27 Desember 2019).
Sementara Sikilang-Air Bangis tetap buntu. Tak ada jalan darat yang menyatukannya. Jika kita berada di Sasak dan hendak ke Air Bangis dan sebaliknya, harus jalan memutar ke Simpang Empat dan Ujung Gading sejauh lebih kurang 70-an km, sebagian menyusuri jalan sempit di tengah kebun sawit. Padahal di pantai, kedua daerah itu sudah berhadap muka. Begitu pula hubungan ke Katilagan. Harus menyebarang pakai ponton atau memutar ke arah Tiku. Batas-batas Minangkabau, “dari Sikilang-Air Bangis” hanya dihubungkan jalan imajinatif, dan jika pun di masa lalu itu terhubung, mungkin jalur lautlah penghubungnya, jalan yang sekarang justru ditinggalkan. Ironis.
Merenung di Air Bangis
Di Air Bangis, masih saya temukan sisa-sisa kejayaan dengan pelabuhan muaranya yang lebar. Sekitar 12 mil dari pintu muara terdapat Pulau Panjang, satu-satunya pulau berpenghuni di perairan Pasaman. Lebih jauh ke tengah, ada gugusan Kepulauan Batu, Nias Selatan, dengan pulau-pulaunya yang kaya, antara lain: Pulau Pini, Tanabala, Tanamasa dan Pulau Telo. Boleh dikatakan ini “kepulauan seribu”-nya pantai barat. Pada masa lalu pulau-pulau itu menjalin perdagangan dengan Air Bangis. Tapi sejak tahun 1730 dilaporkan perdagangan kopra dan minyak kelapa dengan pulau-pulau di seberang Air Bangis telah dialihkan ke Padang yang membuat Tiku juga ikut mati suri (Dobbin, 131).
Di muara Air Bangis, saya bersua kapal-kapal ikan yang menua. Sisanya kapal-kapal kayu yang membawa orang-orang menyeberang dan berwisata ke Pulau Panjang. Pengunjung lain bermain di pantai Air Bangis yang hamparannya tidak terlalu lebar, tapi memanjang sejauh mata memandang. Taman Lanang Bisai yang baru dibangun tampak lengang dan gersang. Dermaga wisata terulur jauh ke air, dengan sepasang landmark di pantai bertulisan Air Bangis berwarna oranye dan Lanang Bisai berwarna merah.
Kabarnya, setiap hari libur dan hari raya, para pengunjung membludak, dan sempat ada protes tentang mahalnya harga tiket. Sebuah gejala betapa orang-orang pedalaman merindukan pantai, kerinduan yang tak akan pernah selesai karena sejatinya mereka memang orang-orang pesisir barat Sumatera yang akrab dengan “ombak yang berdebur”. Dan di tengah upaya pariwisata lokal itu, kampung nelayan tampak tetap menyedihkan. Rumah-rumah kayu sederhana, dengan sampah kiriman laut memenuhi pantai. Di pasar, los-los tua berderet dengan kedai nasi dan rumah makan yang kurang gairah.
Di sisi lain, pelabuhan Teluk Tapang dibangun cukup megah agak ke utara. Pelabuhan ini untuk mengangkut CPO sawit, biji besi dan juga semen jika pabriknya jadi dibangun. Upaya ini boleh jadi untuk mengembalikan jalur laut sebagai lalu-lintas yang penting. Tapi sampai saat ini pelabuhan Teluk Tapang belum berfungsi karena tak kunjung selesai. Termasuk jalan utama yang menghubungkan Air Bangis dengan “hinterlands modern”-nya: kebun sawit di sepanjang Simpang Empat, Batahan, Silaping, Talu atau Kinali. Namun jika suatu saat pelabuhan resmi beroperasi, apakah ada garansi bagi masyarakat lokal Air Bangis untuk meningkatkan taraf hidupnya? Apakah mereka hanya akan jadi penonton truk-truk lewat, peti kemas dan kapal-kapal melenguh membawa CPO, biji besi, dan semen pergi?
Duduk merenung di muara Air Bangis, saya teringat puisi “Rakyat” (1973) Hartojo Andangdjaja. Puisi penuh pergulatan, tapi tetap rendah hati menjaga keharmonisan. Goenawan Mohammad pernah mengatakan bahwa puisi “Rakyat” bersifat penegasan, bukan pengakuan. Ia menegaskan secara pasti, “Rakyat ialah kita”, bukan pengakuan apalagi minta diakui,”Kita ialah rakyat.” Potongan-potongan puisi itu, sejauh yang saya hapal, saya gumamkan dengan lirih tapi optimis, berulang-ulang, di tepian Air Bangis menjelang petang. Kini perkenankan saya tampilkan secara utuh untuk menutup tulisan ini:
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerjaRakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang-siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angkaRakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beranekaRakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semestaRakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa