Menu

Air Bangis, Simpang Empat: Potret Ironis Hubungan Laut-Darat

Ditorehkan melalui hapalan batas-batas klasik “alam” Minangkabau yang imajinatif, bertahun-tahun lamanya nama Air Bangis lekat dan hidup dalam ingatan saya. Bersama beberapa nama lain, Air Bangis disebut dalam patok-patok unik, jika bukan ganjil—campuran yang “imajiner” dengan yang nyata, yang riil dan simbolik, dengan pengucapan mendekati pepatah, sebagaimana disitir A.A. Navis: dari sikilang aie bangih sampai ke taratak aia itam, dari sipisok-pisok pisau hanyuik sampai ka sialang balantak besi, dari riak nan badabua sampai ka durian ditakuak rajo. Artinya: dari sikilang air bangis sampai ke taratak air itam dari sipisok-pisok pisau hanyut sampai ke sialang bersengat besi, dari riak yang berdebur sampai ke durian ditekuk raja (Navis, 1984: 53-54).

Mungkin lantaran merujuk kepada tambo, Navis sengaja tidak membedakan penulisan nama tempat dalam kalimat, misal mengawalinya dengan huruf kapital. Padahal di dunia nyata, tempat tersebut memang ada, tentu saja lengkap dengan letak geografisnya. Hal tersebut diakui Navis di catatan kakinya kemudian, dengan menuliskan nama tempat secara “benar”—memakai huruf kapital. Batas Minangkabau dahulu, demikian Navis, kira-kira di sebelah barat daya ialah Air Bangis, di sebelah tenggara Desa Taratak dekat Teluk Kuantan, di sebelah utara dekat Sipisok-pisok sampai ke Sialang dekat perbatasan Riau, dan di selatan dari Pesisir sampai desa Durian dekat perbatasan Jambi. Itulah yang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Barat sekarang (ibid, 54).

Dua nama tempat yang dinukilkan tambo tersebut, Sikilang dan Air Bangis, secara administratif merupakan bagian Kabupaten Pasaman Barat (yang dimekarkan dari Kabupaten Pasaman), beribukota Simpang Empat. Sikilang masuk Kecamatan Sasak Ranah Pasisie sedangkan Air Bangis masuk Kecamatan Sungai Beremas.

Penghujung November 2019, saya menyusuri daerah-daerah di seputaran Pasaman Barat ini, khususnya Air Bangis yang entah kenapa meninggalkan jejak mendalam pada diri saya. Saya duga, selain kuatnya rujukan batas-batas, nama ini juga dikekalkan nelayan kampung saya di pesisir bagian selatan, dikenal sebagai Bandar Sepuluh. Dalam musim-musim tertentu, bila ikan sedang mengena di utara, nelayan kampung saya melabuhkan bagan (kapal ikan) mereka di pelabuhan Air Bangis.

Dulu, seingat saya, tidak ada batas-batas teritori menangkap ikan di laut. Nelayan dari pesisir mana saja bebas melaut di samudera yang menjadi halaman depan mereka, tak ada pertengkaran atau konflik berarti di antara nelayan; mereka saling menyediakan tempat berlabuh.

Paman saya, Paman Untung, sebagaimana pernah saya ceritakan dalam sebuah cerpen “Cerita Campur-Aduk dari Pamanku” (Koran Tempo, 12 Februari 2012) termasuk salah seorang yang rutin berlabuh di sana. Ia selalu membawa cerita-cerita mengesankan, buah interaksinya dengan orang-orang etnik lain seperti Mandailiang, Nias, Sunda dan Jawa. Ini terkait posisi Air Bangis sebagai daerah perbatasan, keterhubungannya dengan sejumlah pulau lepas pantai serta Pasaman yang menjadi sentra transmigrasi nasional.

Nisbinya Batas-Batas
Dalam bayangan saya paling awal, nama Air Bangis diambil dari fenomena pusaran air yang ganas. Saya kira “bangis” itu berasal dari kata “bengis” dalam bahasa Indonesia yang di-Minang-kan. Ternyata Air Bangis, menurut Zusneli Zubir (2007), peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, berasal dari nama pohon bangei, yang justru di-Indonesia-kan. Pohon ini (saya tidak menemukan nama latinnya) banyak terdapat di tepi air dekat muara sungai yang semula dikenal sebagai wilayah Patibubua dan Ujung Biang.

Sungguh pun begitu, bayangan saya tentang air yang ganas tidaklah terlalu meleset. Ketika saya datang, hujan baru saja reda, tapi sejumlah sungai yang saya lewati sejak dari Simpang Empat, seperti Sungai Aie Gadang, benar-benar dihala aie gadang (banjir). Begitu juga muara Air Bangis terlihat keruh dan gelombang laut sedang bergemuruh. Sebagai wilayah pesisir yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia—sekalipun di depannya ada Pulau Panjang, dan di lepas pantainya ada gugus Kepulauan Batu—tentu saja air di sini terbilang ganas, apalagi saat datang angin munson yang berpengaruh pada pelayaran. Ini bertolak belakang dengan wilayah darek (pedalaman) Minangkabau, utamanya tiga luhak “induk”. Luhak Agam disebutkan “buminya hangat, airnya keruh ikannya liar”; Tanah Datar “buminya nyaman airnya tawar ikannya banyak,” dan luhak Limo Puluh Koto “airnya jernih ikannya jinak” (Navis, 1984: 48).

Perbandingan dengan darek ini saya rasa menarik jika kita lihat lagi cara tambo menggambarkan batas-batas; ia tidak menyatakan “ke” melainkan “dari”. “Ke” bisa berarti ke luar, misalnya, batas alam Minangkabau itu: ke utara Sikilang-Air Bangis, ke selatan Taratak Air Hitam, dan seterusnya—dan itu artinya ada titik awal yang merentang tangan ke arah mata angin. Namun yang tersua adalah: “dari Sikilang-Air-Bangis” sampai Taratak Air Hitam. Posisi ini menunjukkan “pusat” (katakanlah Pagaruyung) merengkuh yang tepi-tepi ke dalam, semacam hubungan sentrifetal (menuju pusat), bukan sentrifugal (menjauhi pusat), terlebih dihubungkan oleh kata “sampai” sehingga batas-batas itu juga terhubung satu sama lain.

 

Tapi apakah upaya “merengkuh” itu meninggalkan jejak kemajuan pada tapal batas, atau hanya sekedar simbol dan kias, secara faktual dapat kita bandingkan kondisi “desa pesisir” dengan “desa dataran” dan “desa bukit” ala Dobbin (1983). “Desa dataran” di kawasan lembah Agam, 50 Koto, Tanah Datar, dan sebagian Solok, digambarkan Dobbin serba tertata, dengan sawah hijau, kebun kelapa dan buah-buahan. Desa-desanya berdempetan, lebih besar, dan beberapa di antaranya berpenduduk beberapa ribu orang. Raffles yang pernah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau, menyebut kampung-kampung yang ia lalui sebagai “kota”, seperti Simawang, Saruaso dan Pagaruyung. “Seluruh negeri dan Pagerruyung, sejauh mata memandang merupakan pemandangan budi daya yang berkesinambungan. Daerah ini disela dengan kota dan desa yang tak terhingga banyaknya serta dinaungi oleh pepohonan kelapa dan bebuahan lainnya.” (Dobbin, 1983: 21). Dalam sebuah referensi lain, Sungai Tarab bahkan pernah disebut sebagai “kota besar”.

Begitu pula “desa bukit” di Minangkabau Tengah, di antara bukit Barisan dan Gunung Singgalang, Merapi, Talang dan Sago. Penduduknya hidup dengan kerajinan besi, emas dan perak, tenun, perkebunan dan pertambangan. Desa Taram misalnya, digambarkan sebagai “distrik kecil yang sangat makmur. Rumah-rumahnya kelihatan bagus dengan lukisan bunga-bunga. Ada cukup banyak kebun kopi, sawah yang berlimpah dan tambak penuh ikan. Air Terbit, menyajikan sawah-sawah yang melandai dengan indahnya (…) taji-taji gunung di antara lembah-lembah ditanami dengan pohon kopi yang memberikan si penanam keuntungan yang cukup banyak. (Dobbin, 1983: 63, 64)

Air Bangis tidak. Ia, lebih tepat orang-orangnya, jauh dari “induk” sebab ia termasuk wilayah rantau. Sudah rantau, pesisir pula. Apalagi jika benar Air Bangis didirikan rombongan Indrapura, Tuan Lanang Bisai, tentu saja rantau dan pesisir itu jadi berganda. Indrapura, kita tahu merupakan rantau Minangkabau di pesisir bagian selatan, dan si perantau selatan itu lalu merantau lagi ke pesisir utara.

Proses ini membuat rantau pesisir begitu setia dengan tetap merasa sebagai bagian Pagaruyung, sehingga saya bayangkan bukan “pusat” yang merengkuh rantau, tapi (orang) rantaulah yang membawa (pusat) Minangkabau ke mana-mana! Apakah itu berarti ungkapan tambo hanya sekedar simbol dan basa-basi dalam batas-batas yang nisbi?

Saya tak sampai mengatakannya begitu. Tapi situasi rantau pesisir yang berbeda jauh dengan darek, terutama dengan tigo luhak nan tuo, menunjukkan bahwa rantau pesisir adalah wilayah yang belum selesai diteruka. Status dan posisi tersebut sangat mungkin membuat rantau pesisir seperti Air Bangis berhadapan dengan segala yang “bengis”. Mulai alam yang ganas dengan ombak-gelombang, seringai badai dan amuk muara. Juga hidup sehari-hari yang keras. Kehidupan di pantai, sebagaimana digambarkan Dobbin (1983: 125), menghadapi ekonomi naik-turun secara fluktuatif. Keluarga pendatang yang paling awal seringkali bertentangan dengan pendatang kemudian. Kekayaan bisa didapat dan lenyap lagi dengan cepat. Tingkat persaingan sangat tinggi. Meskipun Dobbin merujuk Padang, namun merepresentasikan pelabuhan lain, termasuk Air Bangis, yang berada di garis pantai yang sama (biasanya orang menyebut semuanya dengan “Pantai Pariaman”).

Dalam perkembangannya, sebagai daerah terbuka di tengah lintasan samudera, Air Bangis memang berhadapan dengan rupa-rupa kebengisan segala yang datang: kapal-kapal dengan lambung yang lapar, senjata dan meriam ditembakkan!
Itulah yang terjadi ketika orang-orang kulit putih datang, mula-mula dengan niat berdagang, lalu dihantui hasrat menguasai. Upaya menguasai itu bukan saja dengan cara memonopoli jalur niaga dan harga barang, namun juga menentukan secara paksa tanaman apa yang harus ditanam, yakni komoditi yang laku di pasaran. Daerah pedalaman tentu juga merasakan hal yang sama, terutama saat tanam paksa kopi diterapkan pada tahun 1847. Namun kawasan pesisir lebih mengenaskan. Lahan pertaniannya yang tidak terlalu luas, karena diapit laut dan Bukit Barisan, juga sungai-sungai, mula-mula ditanami lada. Tanaman yang disebut “lado kabun” ini pada awal atau pertengahan abad ke-16 mendapat sambutan pasar dunia. Segera Belanda memonopoli perdagangan lada dengan menyingkirkan panglima-panglima Aceh yang sekaligus berfungsi sebagai pialang, khususnya dengan mitra India mereka. Ketika pialang Aceh ternyata diam-diam masih bekerjasama dengan penguasa bandar, Belanda segera memberlakukan bea pelabuhan yang besar. Hasilnya sama saja. Pelabuhan sepi, perdagangan gelap terjadi di mana-mana, yang hanya menguntungkan pialang gelap pula. Rakyat tetap menderita.

Namun ketika permintaan lada mulai lesu, lahan yang sempit itu dipaksa ditanami kapas untuk memenuhi kebutuhan tenun di pedalaman. Komoditi kapas termasuk unik, sebab ia menyuplai kebutuhan orang di hinterlands, berbeda dengan komoditi lain yang biasanya turun dari gunung ke pantai. Lada juga termasuk unik. Meski bukan tanaman endemik, terbukti pertumbuhannya di pesisir paling baik terutama antara Sungai Masang dengan Tiku, atau Indrapura di selatan. Tahun 1710 harga lada kembali naik, sementara stok menipis akibat lada diganti kapas. Tanpa tedeng aling-aling, petani diperintah lagi bertanam lada, bahkan Panglima Raja Padang yang diangkat Belanda dengan satu kompensasi bahwa ia akan melarang penanaman kapas. Celakanya tambang garam pun sempat dilarang karena Belanda menginginkan hanya garam “ekspor” dari Jawa dan sebagian garam Siam yang boleh dipasarkan. Padahal Air Bangis dan Naras di Pariaman termasuk yang bisa memproduksi garam sendiri. Seiring dengan itu, perdagangan candu dibuka leluasa, terutama menyasar para penghulu dan pembesar nagari; salah satu bom waktu yang memicu gerakan Padri.

Dengan demikian, kawasan pantai yang diasumsikan bebas, justru tidak bebas bahkan untuk menentukan komoditi yang hendak mereka tanam atau usahakan sendiri!

Resisten dalam Peran dan Jaringan
Kebengisan alam dan rupa-rupa paksaan kolonial membuat pantai barat, juga Air Bangis, dibangun dan ditegakkan dengan resistensi yang cukup. Pelabuhan, menurut Dobbin, tak hanya sebagai tempat penyaluran atau distribusi barang dagang, tapi juga penyaluran gagasan. Istilah terakhir ini menarik, mengingat kawasan pesisir terbiasa berhubungan dengan orang asing atau dunia luar. Tapi gagasan itu saya kira juga menyangkut cara bertahan. Strategi dan diplomasi. Kekuatan untuk menghadapi situasi, jatuh-bangun dalam pusaran arus kekuasaan, menjadi modal bagi Air Bangis untuk terus tegak. Dan mungkin karena teruji oleh berbagai tempaan itu, maka ia merepresentasikan resistensi pelabuhan pantai barat dengan segala peran dan jaringannya.

Alhasil Air Bangis tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pelabuhan penting di pantai barat Sumatera bagian utara, bersama Singkil, Barus, Sibolga dan Natal. Agak ke selatan ada Sasak, Tiku dan Pariaman, dan terus ke selatan ada Pulau Cingkuak, Bandar Sepuluh dan Indrapura. Selain itu juga ada pelabuhan transit yang lebih kecil seperti Susoh, Sorkam, Batumundam, Singkuang, Tabuyung, Sikilang, Mandiangin, Katilagan, Bayang, dan Salido. Terkait dengan posisi bandar, Gusti Asnan (2013) menyebut ada tiga bentuk jaringan perdagangan di pantai barat dan setelah saya periksa ketiganya ternyata dimiliki Air Bangis.

Pertama, jaringan perdagangan pantai dengan daerah pedalaman (hinterlands). Dalam hal ini posisi Air Bangis strategis, karena merupakan muara perdagangan daerah-daerah hinterlands yang luas bukan hanya Pasaman, juga Agam bahkan Potjan (Tapanuli). Terlebih ketika pelabuhan Padang, Pariaman dan Tiku jatuh sepenuhnya dalam kontrol Belanda. Kedua, jaringan perdagangan antar bandar. Posisi Air Bangis yang dikelilingi sejumlah pelabuhan transit membuatnya muncul sebagai pelabuhan utama, setelah pelabuhan transit berfungsi sebagai pengumpul. Ketiga, jaringan perdagangan dengan dunia luar. Dalam hal ini, Air Bangis telah menjalin perdagangan bebas dengan anak benua India, Jazirah Arab dan Eropa. Dobbin (1983: 139), merujuk Laporan Residen Belanda, menyebut bahwa pada tahun 1760 paling sedikit ada 200 perahu (kapal?) Inggris merapat di Air Bangis. Kapal itu menjalani rute Madras, Benggali dan Bombay. Mereka menguasai perdagangan lebih besar daripada Belanda yang masif dengan sistem dagang VOC mereka—birokratis, ruwet, penuh intrik dan korupsi. Sedangkan rute India-Air Bangis digerakkan oleh swasta dan pensiunan karyawan East India Company (Kongsi dagang Inggris) yang lebih luwes dan partikelir.

Karenap serta mitra dagangnya yang kuat, Air Bangis tak tersentuh Belanda, setidaknya sampai akhir abad ke-16. Pergerakan Belanda praktis hanya di selatan (Indrapura, Bandar Sepuluh, Painan atau Padang), itu pun tak signifikan. Pedagang Bandar Sepuluh misalnya, sebagaimana diceritakan Rusli Amran (1981:128), diam-diam tetap berdagang dengan Aceh. Namun ketika diselidik VOC, mereka menyatakan menolak panglima sekaligus pialang Aceh. Inilah yang melahirkan “Sandiwara Batangkapas”; sebuah pertemuan diam-diam penguasa Batangkapas, Rajo Lele dan Kende Marajo, dengan petinggi VOC, Groenewegen. Mereka membahas hubungan kedua belah pihak. Perwakilan Bandar Sepuluh berpura-pura bekerjasama dengan Belanda untuk menolak Aceh. Di sisi lain, jangan lupakan betapa berabe-nya apa yang disebut “Tipu Aceh”!

Akhirnya secara administratif Belanda mengikat pantai barat dengan memasukkannya dalam Afdeeling Sumateras Weskuts. Tapi tak pernah efektif, tulis Asnan (2007). Sama tidak efektifnya Afdelling Tapanoelli ketika Belanda memasukkan Singkel sebagai wilayah administratifnya. Bahkan tahun 1792, Belanda sudah tak berarti banyak dalam perdagangan pantai barat karena didominasi Inggris. Tahun 1792, Belanda menutup posnya di Air Bangis dan Tiku, dan hanya mempertahankan pos militer kecil di Pariaman, Pulau Cingkuak dan Air Haji. Tahun 1795, Padang bahkan jatuh ke tangan Inggris (Dobbin, 1983: 142).
Karena situasi politik di Eropalah maka pada tahun 1824 berdasarkan Traktat London, Inggris harus meninggalkan pantai barat Sumatera. Inggris terutama harus rela meninggalkan Bengkulen (Bengkulu) yang sudah seratus tahun lebih didudukinya, “tukar-guling” dengan Tumasik di timur. Hindia Belanda juga diwajibkan mengambil-alih dua pelabuhan yang masih dikuasai Inggris di utara, yang dilaksanakan Belanda dengan bahagia: Natal dan Air Bangis, termasuk Potjan.

Akan tetapi pengambil-alihan itu tidak menjamin tenangnya Air Bangis. Pelabuhan ini tetap bergolak dalam dinamika tak terduga. Pecahnya Perang Padri membuat pelabuhan di utara jadi tumpuan perdagangan orang-orang Padri yang sudah menguasai wilayah Minangkabau dan sebagian kawasan Batak. Praktis segala kepentingan dagang kaum Padri berpindah ke utara setelah pelabuhan utama mereka di daerah tengah mulai dikuasai Belanda. Bahkan, meskipun Perang Padri bisa dikatakan selesai tahun 1838, tapi jalur perdagangan di utara, masih berada di tangan kaum Padri, meskipun berpindah secara sporadis ke pelabuhan transit seperti Tabuyung dan Singkuang.

Air Bangis sendiri berhasil ditundukkan Belanda dalam perang sengit tanggal 29 Januari 1833. Tuanku Rao, pemimpin Padri yang disebut keponakan Sisingamangaraja X (meski ia justru membunuh sang paman) terluka parah dan berhasil ditangkap Belanda. Dari pelabuhan Air Bangis ia dinaikkan ke atas kapal, seperti biasa hendak dijadikan orang buangan. Namun Tuanku Rao keburu meninggal dan jasadnya konon dibuang ke laut. Sebagian sumber menyebut, ia dikuburkan di Pulau Panjang.

Meski jatuh, sebagaimana jatuhnya seluruh pantai barat, bahkan Kesultanan Aceh yang kuat, peran Air Bangis telah menjadi kunci gerbang yang menghidupkan daerah-daerah lain di Pasaman: Ujung Gading, Silaping, Batahan, Lubuk Sikaping, Simpang Empat, Kinali, hingga pedalaman Bonjol dan Rao. Mereka saling topang dalam perdagangan antara pantai dan pedalaman, atau sebaliknya. Proses itu tak hanya memunculkan daerah penghasil komoditi, tetapi juga daerah yang tumbuh sebagai daerah lintasan (transit). Ujung Gading misalnya, merupakan persinggahan lalu-lintas orang dan barang dari pedalaman Rao ke pelabuhan Air Bangis. Simpang Empat jadi daerah transit jalur emas dari Gunung Ophir dan Talamau ke Sasak dan seterusnya. Itulah sebabnya, bersama nama Air Bangis, kita juga akan ikut melafalkan nama-nama lain yang tumbuh bersama di kawasan Pasaman.

Posisi Air Bangis sebagai “daerah perbatasan” sedikit banyak pastilah memberi warna, baik kultural maupun pertahanan. Pedagang Minangkabau akan memilih perbatasan daerahnya sendiri untuk berdagang daripada daerah yang dikuasai Belanda. Secara kultural, ia juga terbuka pada pembauran bukan hanya adat dan tradisi Minang, pun menyerap unsur-unsur budaya di perbatasan, dalam hal ini, yang terdekat bisa Nias, Angkola, Mandailiang atau Batak. Sebagai entropot pantai, Air Bangis tidak homogen. Ia terbuka untuk lebih kosmopolit.

Begitulah, Air Bangis terus tumbuh dan runtuh juga. Silvia Devi (2013), dengan mengutip M. Nur, menyebut pada tahun 1906 bandar Air Bangis dipisahkan dari Karesidenan Tapanuli. Ini menyebabkan pusat perdagangan berpindah dari Air Bangis ke Sibolga. Kenapa bisa begitu? Saya duga karena posisinya di perbatasan Minangkabau dan Batak, maka komoditi yang dihasilkan orang Batak mereka alirkan ke pelabuhan mereka sendiri, di samping memang hasil bumi bergeser ke kawasan lebih utara di sekitar Danau Toba. Tapi boleh jadi juga dendam dan trauma Batak dengan Padri masih bersisa. Maka, kelanjutan dari itu, masih menurut Silvia, pada tahun 1912 kondisi Air Bangis semakin memburuk karena tidak teraturnya perkembangan kota, planologi yang buruk dan berjangkitnya penyakit malaria. Tahun 1939 keadaan ekonomi semakin mundur ditambah kondisi jalan rusak parah dan tak kunjung diperbaiki meski masyarakat membayar pajak yang tinggi (Silvia Devi, 2013, mengutip M. Nur, 2013).

Turunnya peran pelabuhan bahkan cenderung menjadi wilayah terbelakang, dilihat Asnan masih dalam konteks klasik seperti jatuhnya harga kopi dunia dan berubahnya peta politik ekonomi kawasan serta kebijakan pemerintah Hindia. Namun Silvia melihat dalam konteks kekinian bahwa status pelabuhan antara Tipe A dan Tipe B, ikut mempengaruhi peran pelabuhan. Satu hal, menyangkut fasilitas dan infrastruktur. Pelabuhan Tipe A jelas lebih lengkap dibanding tipe B, dan status pelabuhan Tipe A hanya disandang Padang yang itu pun, dalam kehidupan mutakhir boleh dikatakan minus kapal-kapal.

Lalu apa yang kemudian disebut “pedalaman”, menurut saya bukan hanya daerah yang harfiah berada di pegunungan, lembah atau perbukitan. Pengertiannya pun berubah menjadi daerah “terkurung” atau terisolasi.

Padahal merujuk kondisi pedalaman Minangkabau sebagaimana diceritakan panjang-lebar di atas, pedalaman bukanlah kategori yang berhubungan dengan akses atau isolasi, kecuali hanya letak dan posisi (di pegunungan). Itulah sebabnya pedalaman Minangkabau tumbuh dengan kota-kotanya, beberapa disebut sebagai “kota besar”.

Kini, pengertian pedalaman beralih. Meski tak bisa dikatakan terisolasi, Air Bangis bersama Sasak dan Sikilang, tak berlebihan disebut “daerah buntu”, yang bahkan lebih mengenaskan dibanding sebutan “pedalaman”. Begitu kita memasukinya kita harus kembali putar haluan untuk ke luar. Tak ada jalan lain, semacam jalan lingkar yang akan mempertemukan kita dengan kota tujuan. Sementara ke arah laut, ke “riak yang berdebur”, juga tak mungkin sebab tak ada lagi kapal ke Padang, kecuali sebatas menyeberang ke Pulau Panjang. Jalur laut surut dan tutup usia.
Dalam kemundurannya yang dramatis, gambaran romantik-nostalgik Air Bangis sekilas dapat kita napak-tilasi lewat cerpen Wildan Yatim, “Di Lingkung Gunung” dalam buku Pertengkaran (1976). Kita pinjam kacamata tokoh Abd. Sukur, seorang bendahara kantor pemerintah yang pernah bertugas di sana:

(…..) Dulu ia berkantor di tepi pantai Air Bangis. Saban pagi dan siang ia lewat perkampungan nelayan, dan melihatkan ombak berdebur dan mendesir berbuih di pasir. Sambil mengiangkan bunyi ombak itu ia membayangkan para pencalang yang bergantian menepi, layar mereka yang putih bentuk trapezium miring, lalu layar itu cepat digulung dan didayung sekejap, sebelum seseorang turun untuk menarik perahu ke darat. Anak-anak yang datang merubung perahu, kaki yang disemburi ombak, onggokan ikan, udara yang berbau anyir dan ikan pari berbentuk seperti pesawat pemburu jet. Lalat yang merubung kucing yang menunggu sisa ikan dan angin yang meliukkan semua dahan kelapa ke satu arah, rambut kita juga begitu….(Yatim, 1977: 57-58)

Lompatan Simpang Empat
Perjalanan saya ke Air Bangis menyusuri jalur darat dari Pariaman, melewati Tiku—pelabuhan haru-biru itu—dan sampai terlebih dulu di Simpang Empat. Simpang Empat merupakan kota kabupaten daerah pemekaran baru, Pasaman Barat, berdasarkan UU No. 38/2003. Sesuai namanya, pusat kota ini memang terletak di simpang empat. Ke barat menuju Lubuk Landua terus ke Talu dan Lubuksikaping; ke barat menuju Sasak dan Sikilang, melewati Bandara Pusako Anak Nagari. Ke utara menuju Ujung Gading, Air Bangis, Silapiang, dan daerah-daerah di perbatasan Mandailiang. Ke selatan (arah saya datang) menuju Pariaman, Padang dan Lubukbasung (terus ke Bukittinggi). Simpang ini mengingatkan saya pada kota bernama sama yang menjadi ibukota Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, meski lebih dikenal nama lamanya, Batulicin.

Untuk ukuran kota kecil, Simpang Empat termasuk hidup, ramai dan penuh aktivitas. Malam hari, lampu-lampu menyala dan tugu perempatan memperlihatkan sepasang penari Minang menyambut siapa pun yang datang. Patung penari itu menghadap utara, bukan ke selatan yang notabene arah ke Padang, ibukota Propinsi. Itu artinya—andaian saya—Simpang Empat lebih siap menyambut mereka yang datang dari luar, dari arah perbatasan (Sumut-Sumbar), sebagai simbol investor. Menurut anggota DPD Sumbar, Emma Yohana, ada sedikitnya 18 perusahaan perkebunan sawit di Pasaman Barat (Klikpositif, 27 Desember 2019).

Sejumlah hotel atau penginapan terdapat di jalan lintas atau ke kawasan pinggir kota. Penginapan dan wisma itu penuh oleh mobil-mobil box (kanvas) yang membawa berbagai barang untuk didistribusikan. Entah kenapa saya membayangkan wisma dan penginapan itu seperti gudang di pelabuhan. Saya cukup lama berputar mencari penginapan yang cocok, baik karena harga maupun fasilitas. Ada satu tempat yang cukup bagus, “Wisma Amanah”; berpendingin udara dan bersih, tapi anehnya pintu akan ditutup pada pukul 23.00 sebab kamar itu terletak di dalam rumah induk. Saya keberatan, meski akhirnya terpaksa menerima. Tak ada pilihan. Kamar di luar rumah induk tanpa ac, dan agak sempit. Sementara penginapan lain yang sempat membuat saya berputar mencarinya, pada akhir pekan, penuh dengan pelanggan tetap—sopir dan karyawan mobil kanvas—ujung tombak pemasaran produk!

Tak banyak yang saya tahu tentang Simpang Empat, bahkan jujur namanya seperti muncul tiba-tiba menyeruak geografi kawasan Pasaman yang selama ini lebih identik dengan nama-nama lokal klasik familiar. Sebutlah Rao, tanah kelahiran Asrul Sani dan kubu Tuanku Rao. Lalu ada Talu yang cukup dikenal dalam lagu Minang lama, “Urang Talu”, Panti dengan hutan lindungnya, Bonjol dengan Tuanku Imam Bonjol, dan seterusnya. Simpang Empat saya rasa muncul bersamaan dengan booming kelapa sawit tahun 80-an. Meski harganya tak selalu stabil di pasar dunia, tapi “ketabahan” dan konsistensi Pasaman dengan komoditi yang satu ini lambat-laun tetap membuahkan hasil. Pemekaran Kabupaten Pasaman Barat, pastilah mempertimbangkan potensi perkebunan sawit ini sebagai sentra perekonomian daerah.

Ya, sawit dan Pasaman bagai sekeping mata uang di tengah pusaran komoditi nasional dan regional. Meski pada era sekarang daratan memiliki kebebasan menanam komoditi apa saja, tapi yang dipilih tetap tanaman pengincar pasar dunia. Dan itu adalah kelapa sawit yang ditanam secara massal, merentang dari Malaya, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi hingga Papua. Untuk mewujudkannya dalam skala besar, lahan tanam mengorbankan hutan dan lahan-lahan peruntukan lainnya. Tangan kedua atau ketiga bernama investor mesti dilibatkan. Kelapa sawit tumbuh sebagai tanaman dominan abad mutakhir, menggeser cengkeh, kulit manis, gambir, apalagi kelapa (kopra). Bandingannya hanyalah tambang, emas atau batubara. Akibatnya daratan Tanah Air dipenuhi tanaman yang homogen dan juga dominasi dua bidang usaha: perkebunan dan pertambangan. Efek lebih lanjut, dalam kasus kelapa sawit, penentuan harga CPO dunia sangat tergantung pada aturan main Eropa. Dalam arti ada yang tetap menyetir. Berbeda dengan era karet, ketika petani ramai-ramai menanam komoditas pilihan mereka dalam ladang atau kebun milik sendiri di tanah ulayat. Dengan itu mereka banyak yang naik haji ke Makkah tanpa ribet dengan tata cara penanaman modal.

Tapi begitulah, saya mengenal Pasaman ketika dulu orang-orang menyebut kelapa sawit, dan sebaliknya. Saya tahu nama tanaman itu ketika orang mengucapkan nama Pasaman. Itu terjadi jauh sebelum kelapa sawit merajalela di mana-mana, termasuk di kampung saya di selatan, dari Pancung Soal hingga Bengkulu. Dalam era kelapa sawit inilah, pusat pertumbuhan Pasaman bergeser ke Simpang Empat. Boleh dikatakan semaraknya Simpang Empat dan meredupnya Air Bangis, mencerminkan pergeseran orientasi dari laut ke darat. Dari hasil kebun dan hutan rakyat, ke tanaman industri milik korporasi. Sistem kerja ala korporasi kita tahu mematok keuntungan sebesar-besarnya untuk perusahaan, kadang dengan mengabaikan tanggung jawab moral pada lingkungan sekitar. Sebuah berita misalnya menyebut, “21 Perusahaan Sawit dan Perbankan di Pasbar Tak Realisasikan CSR” (Info Sawit, 20 Februari 2019).

Apapun, sebagai kota yang terus tumbuh, posisi Simpang Empat sangat strategis. Bukan saja keterhubungannya dengan kota-kota utama yang dapat dicapai dengan mudah dari titik persimpangannya itu—Lubuk Basung, Pariaman, Padang, atau Lubuk Sikaping—juga hubungannya dengan wilayah perkebunan di semua kawasan. Ini berkat pembukaan jalan baru sekitar tahun 90-an yang menurut informasi seorang kawan dikerjakan oleh kontraktor Filipina. “Jadi jangan heran kalau ada beberapa anak mirip orang Filipina, sebab dulu ada kawin kontrak segala,” kata kawan tersebut. Ia juga menceritakan pengalamannya naik bis Patra jurusan Padang-Simpang Empat, termasuk naik kapal laut Air Bangis-Padang karena jalan lintas barat belum dibangun. Naik kapal laut seperti itu pernah pula dilakukan penyair Hartojo Andangdjaja atau para toke karet dengan getahnya.

Perkembangan Simpang Empat yang pesat, dengan infrastruktur jalan yang mulus dan lebar, mengingatkan saya pada Pangkalan Bun di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Saya menyebutnya kota di tengah kebun. Kotawaringin termasuk kota kecil yang punya bandara sendiri, Bandara Iskandar dan Pelabuhan Laut di tepian Sungai Kumai. Simpang Empat juga demikian, tumbuh di tengah kebun, punya Bandara Pusako Anak Nagari dan pelabuhan laut Sasak atau Air Bangis.

Setiap masa punya komoditinya sendiri, dan setiap komoditas memunculkan kotanya sendiri pula. Pasaman punya keterlibatan yang intens dengan hal ini.

Pada zaman kolonial, Pasaman dengan sejumlah titik wilayahnya adalah penghasil lada yang sangat diincar pasar, lalu gaharu, kamfer, rotan dan damar, tak ketinggalan emas yang disimbolkan dengan Gunung Ophir. Ophir disebut salah satu sumber emas Nabi Sulaiman dan tercantum dalam peta Yunani kuno. Pada tahun 60-an, karet menjadi primadona sumber daya alam. Pasaman pun tercatat paling banyak menghasilkan komoditi ini, meski disaat bersamaan situasi sosial-politik kurang menguntungkan. Jalan pada rusak sehingga truk-truk pengangkut getah karet sering tertahan di “jalur-jalur yang membenam”. Hal ini banyak diceritakan Wildan Yatim dalam karya sastranya.

Salah satu karya Wildan yang menarik perhatian adalah cerpen “Jalur Membenam” (1977), bercerita tentang jauhnya jarak antar kota karena jalan remuk-redam. Ini dapat disimak dari percakapan pemilik warung nasi dengan tokoh “aku” (Idris). Idris adalah orang Talu yang merantau ke Bandung, dan pada saat itu pulang kampung. Dari Bandung, ia naik bis lewat Bukittinggi dan Bonjol. Ia akan melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya di Talu. Tapi jalur ke Talu (berada di luar Jalan Lintas Tengah Sumatera) tidak punya angkutan umum karena jalannya rusak parah. Maka “aku” harus menunggu tumpangan truk atau pra-oto pembawa getah ke Sasak. Celakanya, truk yang ditunggu itu pun belum pasti kapan datangnya—ibarat menunggu godod:

“Anak mau makan sekarang?”
“Ya! Siapa tahu sebentar lagi ada mobil.”
“Kukira belum. Biasanya mobil si Murad yang ke sana hari ini. Tapi ia sedang ke Bonjol. Kemarin dia pergi, kalau tak ada halangan nanti siang baru kembali.”
“Apakah tak mungkin mobil lain yang datang, umpamanya dari arah Rao?”
“Ya! Sebuah lagi kesempatan anak untuk dapat mobil hari ini. Ialah mobil si Bidin, yang sewaktu lewat sini untuk mengangkut getah ke Sasak. Anak tahu, sejak jalan-jalan raya di daerah ini hancur, banyak saudagar yang mengangkut getahnya ke Padang lewat laut.” (Wildan Yatim, 1977: 13)

Atau bisa disimak pengakuan tokoh Hasnah, mantan kekasih “aku” waktu masih di kampung. Mereka secara tak sengaja bertemu di kampung simpang jalan ke Talu itu. Dalam pertemuan itu, Hasnah mengaku juga tak leluasa pulang ke Talu.

Jalan-jalan kita kini sudah hancur, Ris. Nanti akan kau lihat lagi yang jauh lebih seram dari itu. Jalan yang tak bisa disebut jalan lagi. Aku sendiri sudah setahun tak pulang ke Talu. Sejak kami menetap lagi di sini aku belum pernah balik ke sana. Karena apa? Karena aku ngeri melihat jalan. (…) (Yatim, 1977: 16).

Saat itu, Sasak disebut sebagai pelabuhan yang digunakan mengangkut karet ke Padang. Jalan darat yang hancur sudah tak memungkinkan jadi jalur pembawa hasil bumi. Hubungan laut ini sebenarnya bisa dikelola dengan baik, bahkan layak dipertahankan sampai sekarang. Kalau dulu karena ketiadaan jalan, maka kini demi keselamatan jalan-jalan yang baru dibangun supaya tidak keburu hancur oleh truk-truk pengangkut sawit atau CPO. Sampai di sini saya teringat Hartojo Andangdjaja. Jika tak salah ingat, ia pernah menceritakan proses kreatifnya melahirkan sajak “Rakyat” dalam buku Dari Sunyi ke Bunyi (1992). Ia bercerita pernah naik kapal ke Padang, dan di tengah pelayaran kapal yang ia tumpangi dihala badai, sehingga harus menepi di sebuah pulau. Saat itulah ia mengantongi sejumlah bibit kata yang kelak ia olah menjadi sajak “Rakyat” yang fenomenal tersebut.

Hartojo memang pernah tinggal di Pasaman, 1957-1962. Ia mengajar di sebuah sekolah menengah pertama dan SMA Negeri Simpang Empat. Karena itulah sajak “Rakyat” dipersembahkannya sebagai “hadiah di hari krida buat siswa-siswa SMA Negeri Simpang Empat, Pasaman”. Sajak ini, sebagaimana sajak Hartojo yang lain, sangat kental dengan nuansa pedalaman, khas renungan yang terbit dari desa, tidak bisa lain merupakan pengaruh tempat ia bermukim: Simpang Empat tahun 60-an. Masa ketika simpangnya masih membentang lengang, sawit belum mengubahnya jadi pusat pertumbuhan.

Namun jangan bayangkan suasana kampung adem-tenteram yang membuatnya bisa melahirkan sajak demikian, melainkan pedalaman yang penuh pergolakan. Betapa tidak. Pasaman, atau Simpang Empat khususnya, adalah kota persimpangan yang menanggung beban dari persimpangannya; semua zaman lintas dan berganti. Bukan saja pada zaman Belanda ketika kolonialisme menghisapnya, juga pada masa berkecamuknya perang Padri, lalu zaman Jepang, juga masa PRRI, wilayah ini terus-menerus jadi arena pergolakan. Sampai akhirnya, pada pertengahan atau akhir masa Orde Baru, Pasaman tumbuh menjadi sentra perkebunan sawit. Saya kira bukan hal mudah. Rakyat penuh pengorbanan karena perkebunan skala besar menyentuh juga lahan ulayat dengan segepok persoalan agraria.

Di Pasaman Barat pula ada sebuah kampung yang menampung eks warga negara Surniame keturunan Jawa. Hal ini dapat dibaca sebagai kisah perjalanan hidup anak manusia. Mereka dipulangkan dalam program repatrian (1953) dan ditempatkan di Jorong Tongar Nagari Aia Gadang, Kecamatan Pasaman. Namun baru beberapa gelombang kedatangan, proyek kemanusiaan itu terhenti sebab pecahnya perang saudara. Alhasil, sejumlah orang yang datang terpisah dengan anggota keluarga lain yang direncanakan berangkat dalam rombongan belakangan. Kisah sedih ini bisa dibaca dalam cerpen Khairul Jasmi, “Bila Julies Sedang Rindu” (1999). Juga skripsi Hary B. Koriun, mahasiswa sejarah Universitas Andalas yang sayangnya tidak diterbitkan. Hartojo Andangdjaja juga mengabadikannya dalam dua puisi, “Orang-Orang dari Surinam” dan “Surinam di Pedalaman Pasaman” (Buku Puisi, 1973).

Otonomi tiba. Proyek pemekaran kabupaten/kota muncul di mana-mana, tak terkecuali di Pasaman. Kabupaten baru terbentuk, Pasaman Barat, dengan kota Simpang Empat, dengan simpang-simpangnya datang mengetuk, mula-mula lambat lalu mulai menggedor-gedor keramaian. Kemunculannya sebagai pusat pemerintahan (dan seperti biasa diikuti perdagangan dan jasa, baca: pusat ekonomi) menunjukkan bahwa daerah pelintasan (transit) di masa lalu juga bisa tegak jaya—pasca kejayaan kota yang lebih ke pedalaman, seperti Rao dengan emasnya atau Talu dengan karetnya, juga kota pesisir seperti Sasak dan Air Bangis dengan pelabuhannya. Kini saatnya kota transit tumbuh sebagai lokomotif, dengan mengandalkan simpang-simpangnya yang prosfektif!

Sekaligus dengan itu, kita tahu, sekali lagi, telah terjadi pergeseran orientasi, dari laut ke darat, sesuatu yang tidak mengejutkan sebab sejak kolonialisme hengkang, pantai barat memang tak lagi menjanjikan. Bahkan sebelum itu, masyarakat pedalaman Pasaman perlahan telah mengalihkan perdagangannya ke pantai timur melalui aliran Sungai Rokan, dalam apa yang disebut Gusti Asnan (2013) sebagai “gerakan ke timur”. Yakni, pergerakan alamiah masyarakat atau kebijakan sistem politik pantai barat yang melihat pantai timur sebagai jalur baru yang bisa diandalkan, baik dalam perdagangan, pertahanan maupun hubungan dengan dunia luar.

Hal itu sebenarnya berlangsung sudah sangat lama, seolah tak kasat mata. Bukan saja ditandai pindahnya jalur dagang Minangkabau via sungai ke timur, tetapi bahkan serangan-serangan Belanda ke pedalaman serta perjalanan Raffles yang secara harfiah memang mengarah dari pantai ke pegunungan Bukit Barisan, semua dimaknai Asnan sebagai bagian “gerakan ke timur” itu. Maka dapat dimaklumi, sisa laskar Imam Bonjol membangun kubu terakhirnya di timur Pasaman, Dalu-Dalu. Kubu yang dipimpin Tuanku Tambusai itu pun lantas ditinggalkan. Tuanku Tambusai bersama sejumlah pengikutnya menyeberangi Selat Malaka dan menetap sampai akhir hayat di semenanjung Malaya.

Praktis pantai Barat tak lagi dijenguk. Jalan ke Sasak masih sempit, tapi tidak sesak karena jalanan itu sendiri memang sepi. Sejumlah kampung dalam Kecamatan Sasak Ranah Pasisie masih terisolasi, sehingga melahirkan kisah pilu. Misalnya kisah seorang bayi yang lahir di tengah jalan berpasir, dari seorang ibu, Rani (26), warga Nagari Persiapan Maligi, karena jalan yang rusak parah (lihat Klikpositif, 27 Desember 2019).

Sementara Sikilang-Air Bangis tetap buntu. Tak ada jalan darat yang menyatukannya. Jika kita berada di Sasak dan hendak ke Air Bangis dan sebaliknya, harus jalan memutar ke Simpang Empat dan Ujung Gading sejauh lebih kurang 70-an km, sebagian menyusuri jalan sempit di tengah kebun sawit. Padahal di pantai, kedua daerah itu sudah berhadap muka. Begitu pula hubungan ke Katilagan. Harus menyebarang pakai ponton atau memutar ke arah Tiku. Batas-batas Minangkabau, “dari Sikilang-Air Bangis” hanya dihubungkan jalan imajinatif, dan jika pun di masa lalu itu terhubung, mungkin jalur lautlah penghubungnya, jalan yang sekarang justru ditinggalkan. Ironis.

Merenung di Air Bangis
Di Air Bangis, masih saya temukan sisa-sisa kejayaan dengan pelabuhan muaranya yang lebar. Sekitar 12 mil dari pintu muara terdapat Pulau Panjang, satu-satunya pulau berpenghuni di perairan Pasaman. Lebih jauh ke tengah, ada gugusan Kepulauan Batu, Nias Selatan, dengan pulau-pulaunya yang kaya, antara lain: Pulau Pini, Tanabala, Tanamasa dan Pulau Telo. Boleh dikatakan ini “kepulauan seribu”-nya pantai barat. Pada masa lalu pulau-pulau itu menjalin perdagangan dengan Air Bangis. Tapi sejak tahun 1730 dilaporkan perdagangan kopra dan minyak kelapa dengan pulau-pulau di seberang Air Bangis telah dialihkan ke Padang yang membuat Tiku juga ikut mati suri (Dobbin, 131).

Di muara Air Bangis, saya bersua kapal-kapal ikan yang menua. Sisanya kapal-kapal kayu yang membawa orang-orang menyeberang dan berwisata ke Pulau Panjang. Pengunjung lain bermain di pantai Air Bangis yang hamparannya tidak terlalu lebar, tapi memanjang sejauh mata memandang. Taman Lanang Bisai yang baru dibangun tampak lengang dan gersang. Dermaga wisata terulur jauh ke air, dengan sepasang landmark di pantai bertulisan Air Bangis berwarna oranye dan Lanang Bisai berwarna merah.

Kabarnya, setiap hari libur dan hari raya, para pengunjung membludak, dan sempat ada protes tentang mahalnya harga tiket. Sebuah gejala betapa orang-orang pedalaman merindukan pantai, kerinduan yang tak akan pernah selesai karena sejatinya mereka memang orang-orang pesisir barat Sumatera yang akrab dengan “ombak yang berdebur”. Dan di tengah upaya pariwisata lokal itu, kampung nelayan tampak tetap menyedihkan. Rumah-rumah kayu sederhana, dengan sampah kiriman laut memenuhi pantai. Di pasar, los-los tua berderet dengan kedai nasi dan rumah makan yang kurang gairah.

Di sisi lain, pelabuhan Teluk Tapang dibangun cukup megah agak ke utara. Pelabuhan ini untuk mengangkut CPO sawit, biji besi dan juga semen jika pabriknya jadi dibangun. Upaya ini boleh jadi untuk mengembalikan jalur laut sebagai lalu-lintas yang penting. Tapi sampai saat ini pelabuhan Teluk Tapang belum berfungsi karena tak kunjung selesai. Termasuk jalan utama yang menghubungkan Air Bangis dengan “hinterlands modern”-nya: kebun sawit di sepanjang Simpang Empat, Batahan, Silaping, Talu atau Kinali. Namun jika suatu saat pelabuhan resmi beroperasi, apakah ada garansi bagi masyarakat lokal Air Bangis untuk meningkatkan taraf hidupnya? Apakah mereka hanya akan jadi penonton truk-truk lewat, peti kemas dan kapal-kapal melenguh membawa CPO, biji besi, dan semen pergi?

Duduk merenung di muara Air Bangis, saya teringat puisi “Rakyat” (1973) Hartojo Andangdjaja. Puisi penuh pergulatan, tapi tetap rendah hati menjaga keharmonisan. Goenawan Mohammad pernah mengatakan bahwa puisi “Rakyat” bersifat penegasan, bukan pengakuan. Ia menegaskan secara pasti, “Rakyat ialah kita”, bukan pengakuan apalagi minta diakui,”Kita ialah rakyat.” Potongan-potongan puisi itu, sejauh yang saya hapal, saya gumamkan dengan lirih tapi optimis, berulang-ulang, di tepian Air Bangis menjelang petang. Kini perkenankan saya tampilkan secara utuh untuk menutup tulisan ini:

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang-siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa

0
1381
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.