Menu

Muhammadiyah Representasi Islam Jawa: Sebuah Pertanyaan Kembali

Dewasa ini, membaca perihal ke-jawaan menjadi suatu ihwal yang saya gandrungi. Entah karena dorongan apa yang membuat saya begitu tertarik pada ihwal ke-jawaan tersebut. Terlebih setelah perjumpaan saya dengan buku karya Irfan Afifi berjudul Saya, Jawa, dan Islam. Usai membacanya, saya cukup gandrung pada buku-buku ihwal ke-jawaan. Kegandrungan itu menggulirkan saya pada perjumpaan buku ke-jawaan lain berjudul Muhammadiyah Jawa (2010) karya Ahmad Najib Burhani, seorang intelektual muda Muhammadiyah lulusan University of Leiden Belanda. Buku tersebut merupakan karya disertasi dengan judul asli The Muhammadiyah’s attitude to Javanese Culture in 1912-1930.

Disertasi yang telah diterbitkan menjadi buku ini bagi saya cukup fantastis. Dalam pengantarnya, Najib Burhani secara eksplisit melakukan Validasi kepada pembaca bahwa Muhammadiyah adalah representasi Islam Jawa. Saya cukup terkejut dengan argumentasi tersebut, sebab sebagaimana yang kita mafhumi, sejak awal berdirinya, Muhammadiyah terkesan sebagai gerakan reformis Islam, purifikasi, dan berjarak dengan budaya Jawa. Muhammadiyah terlihat ingin memurnikan Islam dari berbagai pengaruh budaya yang diselimuti Takhayul, Bid’ah, Churofat (TBC). Melalui buku Muhammadiyah Jawa, Najib Burhani berusaha mencampakkan stigma puritanistik Muhammadiyah yang vis a vis (menghadap-hadapkan) dengan kebudayaan dalam hal ini Jawa.

Untuk membuktikan ke-jawaan pada Muhammadiyah, Najib Burhani menyuguhkan dua proses penting di Jawa, yaitu Islamisasi dan Jawanisasi. Kedua entitas yang saling berkelindan memberi pengaruh dan sumbangsih nilai dalam dirinya sendiri. Sikap Muhammadiyah di awal berdirinya tampak merepresentasi Islam Jawa. Pertama, adanya simbol busana Jawa yang digunakan oleh para tokoh Muhammadiyah. Dalam hal ini, para pendiri Muhammadiyah di masa awal memperlihatkan ketertarikan pada pilihan dan gaya berpakaian orang Jawa. Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo tahun 1929, merupakan salah satu contoh yang memperlihatkan itu. Para tokoh Muhammadiyah menggunakan pakaian Jawa, lengkap dengan aksesoris keris, beskap, blangkon, dan kain batik. Politik busana para tokoh Muhammadiyah itu seolah mengontraskan busana para tokoh Nahdlatul Ulama yang lebih memilih busana bernuansa Arab.

 Kedua, penggunaan bahasa Jawa sebagai identitas. Dalam hal publikasi: Muhammadiyah menerjemahkan al-Qur’an ke Bahasa Jawa, Muhammadiyah memiliki terbitan-terbitan beraksara Jawa seperti Pepadhanging Moehammadijah, dan Soengoeting Moehammadijah. Dalam hal ibadah: KH. Ahmad membolehkan orang menggunakan Bahasa Jawa dalam shalat dan khotbah jum’at (Tanfidz Hoofdbestuur Moehammadijah: Boeah Congres Moehammadijah XXIII, h. 20).  Ketiga, adanya seperangkat perilaku, nama, dan keanggotaan yang beridentitaskan Jawa. Kemudian dalam bersikap terhadap tradisi Jawa, KH Ahmad Dahlan merupakan seorang priyayi sekaligus abdi dalem keraton Yogyakarta. Meskipun KH Ahmad Dahlan menjadi abdi dalem santri, namun tetap mampu bersikap akomodatif dan toleran terhadap adat dan tradisi yang telah ada di keraton. Salah satu bukti perilaku Muhammadiyah mengapresiasi budaya Jawa adalah sikapnya terhadap grebeg. Beriring dengan itu, Muhammadiyah di masa awal pernah menggunakan kalender Jawa (tahun Saka), bersamaan dengan kalender Arab (Hijriyah) dan Gregoria (Masehi) dalam surat dan laporan-laporan.

Meskipun KH Ahmad Dahlan menjadi abdi dalem santri, namun tetap mampu bersikap akomodatif dan toleran terhadap adat dan tradisi yang telah ada di keraton. Salah satu bukti perilaku Muhammadiyah mengapresiasi budaya Jawa adalah sikapnya terhadap grebeg.

Para tokoh Muhammadiyah masa awal banyak yang beridentitaskan nama Jawa, seperti Djojotaruno dan lain sebagainya. Para tokoh Muhammadiyah masa awal pun memiliki hubungan harmonis dengan Boedi Oetomo. Hal ini dianalisis oleh Najib Burhani sebagai indikasi kuat bahwa persekutuan Muhammadiyah adalah bentuk apresiasi dan dukungan gerakan reformis Islam terhadap identitas Jawa. Pada tahap selanjutnya, Najib Burhani menuliskan perihal pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap identitas Jawa yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal merupakan perubahan sikap Muhammadiyah masa awal. Pertama, sejak dominasi ulama dari Minangkabau, terutama sejak Haji Rasul (ayah Buya Hamka). Ia merupakan ulama puritan yang rajin melancarkan gerakan reformis Islam di Minangkabau. Haji Rasul tanpa ampun menolak segala hal yang beraroma TBC. Haji Rasul masuk Muhammadiyah tahun 1925 saat berkunjung ke Pulau Jawa (lihat karya Buya Hamka berjudul Ayahku). Menurut Najib Burhani, kehadiran Haji Rasul menyebabkan pergeseran orientasi Muhammadiyah dari spirit pembaruan sosial ke pembaruan ritual semata. Apa yang dipropagandakan oleh Haji Rasul hanyalah fanatisme dan revivalisme kaku. Lalu peran intelektual dan puritan Haji Rasul merembes ke seluruh tubuh struktur Muhammadiyah. H.M. Federspiel mengungkapkan “….. upaya mengenyahkan Bid’ah dan Churafat diberi perhatian lebih, tampaknya karena minat pimpinan baru dan ekspansi gerakan ini ke Sumatera di saat muslim modernis telah membahas masalah ini. Selain itu, pada masa itu masalah-masalah nyata menyangkut Bid’ah, yaitu perubahan dalam ritual yang dibenarkan dan menjadi terkenal di Jawa.”

 Kedua, pendirian Majelis Tarjih yang secara formal diresmikan pada Kongres Muhammadiyah ke-7 di Yogyakarta tahun 1928. Mulanya, majelis tersebut didirikan guna menangani masalah-masalah ikhtilafiyah (perbedaan), seperti: wajib/fardhu, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Namun, menurut Najib Burhan menganggap bahwa Majelis Tarjih mengindikasikan pergeseran Muhammadiyah dari gagasan modernisasi (pendidikan dan sosial), ke gagasan purifikasi (pemurnian). Pergeseran Muhammadiyah mendapat kritik pedas dari Soekarno, Ia mengatakan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan modernisme Islam tampak menjadi ambigu. Pada satu sisi Muhammadiyah benar-benar menganjurkan merujuk ortodoksi Islam (al-Qur’an dan Hadis) serta menolak untuk mengikuti mazhab. Namun, pada sisi lain, muhammadiyah ambigu dalam metode memahami dua sumber ortodoksi Islam, yakni tekstual atau skriptual. Kerja-kerja purifikasi Majelis Tarjih inilah yang lambat laun menghilangkan identitas Jawa dan kecenderungan pada dunia Arab.

Paparan lebih lanjut Najib Burhani, mengungkapkan bahwa faktor eksternal telah menggeser sikap Muhammadiyah. Pertama, kemenangan Wahabi di Arab Saudi tahun 1924 yang disambut dengan suka cita oleh sebagian anggota Muhammadiyah. Julukan atau ejekan “Wahabi indonesia” kepada Muhammadiyah direspon oleh anggota Muhammadiyah layaknya sebuah penghormatan. Pengejawantahan ini tercermin dari sambutan yang dilakukan oleh orang-orang Borneo (Kalimantan) pada Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin tahun 1932. Namun, tuduhan Muhammadiyah adalah Wahabi dianulir oleh Muarif, yaitu seorang pengkaji sejarah Muhammadiyah. Kedua, berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Ketiga, kebijakan kolonial yang memisahkan dan vis-a-vis (menghadap-hadapkan) Islam dan adat. Menurut Najib Burhani, kebijakan tersebut merupakan akal bulus kolonial dalam upaya menjinakkan Islam. Di kemudian hari, Muhammadiyah melalui Kongres Muhammadiyah ke-22 tahun 1933 di Semarang, melakukan ultimatum perang terhadap adat.

Dengan membaca buku Muhammadiyah Jawa karya Ahmad Najib Burhani, pembaca dapat memahami bahwa sebetulnya ideologi keagamaan Muhammadiyah terkonstruksi oleh dimensi-dimensi etis dan kultural yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, khususnya di awal dekade pertama pendirian persyarikatan (sekitar tahun 1912-1927). Sungguhpun begitu, argumentasi Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa perlu ditangguhkan dan perlu ditelaah lebih lanjut. Adapun tinjauan sejawat (kritik) mengenai buku Muhammadiyah Jawa, yang bagi saya cukup rinci ditulis oleh Muhammad Khoirul Fata dalam skripsinya berjudul “Kritik Gagasan Muhammadiyah Jawa: Studi Literatur dalam Buku Muhammadiyah Jawa (2017).

Sungguhpun begitu, argumentasi Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa perlu ditangguhkan dan perlu ditelaah lebih lanjut. Adapun tinjauan sejawat (kritik) mengenai buku Muhammadiyah Jawa, yang bagi saya cukup rinci ditulis oleh Muhammad Khoirul Fata dalam skripsinya berjudul “Kritik Gagasan Muhammadiyah Jawa: Studi Literatur dalam Buku Muhammadiyah Jawa (2017).

Dalam karya skripsi tersebut, Khoirul Fata menganulir perihal tesis Muhammadiyah Jawa yang menempatkannya sebagai representasi Islam Jawa. Karena pada mulanya, tesis Najib Burhani tidak mendasarkan kepada sejarah kelahiran Muhammadiyah yang ingin mendambakan otentisitas Islam dengan merujuk hanya kepada Al-Quran dan Hadis. Tesis tersebut membatasi pada relasi-relasi, dan sikap-sikap, sebagaimana diterangkan secara eksplisit sejak awal buku itu ditulis. Namun begitu, tinjauan yang dilakukan oleh Khoirul Fata mampu memberikan sudut pandang baru terhadap pembaca dalam menelisik nalar-nalar yang mengerumuni cara berpikir Najib Burhani dalam mengkaji Muhammadiyah dan para pendirinya.

Tulisan Khoirul Fata menginterupsi gagasan Najib Burhani mengenai Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa. Menurutnya, sikap Muhammadiyah yang dinarasikan Najib Burhani tidak lain sebagai sikap tebang pilih terhadap Budaya Jawa. Pertama, sikap apresiatif Muhammadiyah terhadap budaya Jawa hanya sebatas surface culture (budaya permukaaan, seperti: busana, bahasa, nama, dan identitas), dan hal tersebut tidak berpretensi bahwa Muhammadiyah benar-benar apresiatif terhadap deep culture. Hal itu disebabkan Muhammadiyah memiliki semangat untuk merasionalisasikan dan modern atas deep culture Kebudayaan Jawa. Alasan Najib Burhani memilih surface culture, karena berangkat dari kebudayaan yang selalu bergerak dinamis. Sehingga Muhammadiyah dalam pandangan Najib Burhani, merupakan agen perubahan identitas Jawa, yaitu Jawanisasi dan Islamisasi. Meminjam istilah Kuntowijoyo mengenai Muhammadiyah masa awal ialah “kebudayaan baru tanpa kebudayaan lama.” Betapapun Muhammadiyah telah mengapresiasi budaya Jawa di wilayah permukaan, namun tetap ingin menggeser dan mengganti posisi deep culture. Karena bagaimanapun, sosok KH. Ahmad Dahlan adalah ulama reformis Islam, sebagaimana Muhammad Abduh, Hasan Afghani, dan Rasyid Ridha yang memandang negatif terhadap tradisi.

Kedua, menurut Khoirul Fata, pendirian Majelis Tarjih sebagai tempat untuk merumuskan prinsip akidah dan syari’at Islam, dan ini menjadi semacam mazhab sesungguhnya Muhammadiyah. Meskipun anggota Muhammadiyah dapat berkilah bahwa mazhab bukan Majelis Tarjih, namun faktanya semua anggota patuh pada keputusan Majelis tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa Majelis Tarjih berfungsi untuk mewujudkan otentisitas Islam berupa (al-Qur’an dan Hadis). Ketiga, tentang narasi pergeseran Muhammadiyah yang disebabkan hadirnya Nahdlatul Ulama (NU). Penjabaran Najib Burhani perihal tersebut dinilai oleh Khoirul Fata salah kaprah dalam mengkaji sejarah. Justru Nahdlatul Ulama (NU), hadir untuk membendung gempuran dari serangan gerakan reformis Islam semacam Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Sebagaimana kata M.C Ricklefs, mengatakan bahwa Muhammadiyah cenderung keras terhadap tradisi Islam tradisional. Dalam buku Sejarah Kauman (2000), Adaby Darban mengungkapkan K.H. Ahmad Dahlan turut memberangus praktik TBC semacam: kenduri, ziarah kubur, barzanji, sholawat, dan sebagainya. Adapun genealogi puritan K.H. Ahmad Dahlan dapat ditengarai dengan kentalnya literatur (baik kitab, buku, majalah) karya ulama reformis Islam: Al-Urwatul Wutsqa (karya: Jamaluddin Al-Afghani), Al-Manar (karya: Rasyid Ridha), Al-Munir (Haji Rasul), Izharul Haq (karya: Rahmatullah Hindi) Risalah At-Tauhid, Al-Islam Wa An-Nasiriyah, Fil Bid’ah dan at-Tawassul wa al-Washilah (ketiganya: karya Muhammad Abduh).

Keempat, sanggahan atas kesalahan fatal terhadap Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa sebagai entitas, pada gilirannya menjadi kabur, tidak jelas, dan seolah-olah Jawa hanya diposisikan dalam tataran permukaan. Argumentasi Najib Burhani cukup kental terhadap oposisi terpisah, antara surface culture dan deep culture. Kedua hal ini dianggap terpisah dan tidak memiliki pertautan yang kuat. Najib Burhani sesungguhnya ingin membenarkan sikap Muhammadiyah di awal yang merasionalkan atau menundukan deep culture di tubuh ke-jawan. Bagaimanapun, Muhammadiyah tetap memandang deep culture sebagai sesuatu yang uncivilized (tidak beradab) dan harus dilakukan civilization (pemberadaban). Najib Burhani memberi maklumat konsepsi Islam Jawa yang diusungnya ialah “curiga manjing warangka” (belati menyesuaikan sarungnya), ia melihat bahwa Islam adalah “curiga”, sedangkan budaya Jawa adalah “warangkanya”.

Argumentasi keislaman Jawa yang dinarasikan Najib Burhani berpretensi mengamini kerangka keilmuan yang dibangun olehpara orientalis. Dominasi dan hegemoni kaum orientalis dalam memberi pandangan atas keislaman Jawa berlangsung ratusan tahun lamanya, pula tidak sedikit sarjana dan akademisi dalam negeri yang bersikap serupa dengan pandangan para orientalis tersebut. Meminjam kesimpulan hasil pembacaan Irfan Afifi (dalam bukunya Saya, Jawa, dan Islam) mengenai pembacaan para orientalis atas Jawa Islam bahwa, dari sejak Raffles, Snouck Hurgronje, Pigeud, G.W.J Drewes, D.A. Rinkes, Pijper, De Graff, Zoetmulder, Geertz, Neil Mulders, Mark Woodward, hingga Ricklefs, secara persetujuan menilai bahwa Islam hanya merupakan “baju” yang menyelubungi “lapisan tipis” kebudayaan asli masyarakat Jawa, yaitu nilai-nilai nenek moyang bertaut dengan kebudayaan animisme dan dinamisme, serta Hindu dan Budha.

Para orientalis tersebut hingga hari ini masih dianggap paling otoritatif dalam membicarakan perihal Jawa, bahkan Jawa Islam (mengutip Kenji Tsuchiya, dalam Javanologi di Zaman Ranggawarsita). Maka upaya mengenali Islam Jawa dengan sudut pandang sendiri, perlu dinarasikan ulang dan ditunjang dengan basis penelaahan yang kuat oleh bangsa sendiri untuk menemukan bagaimana Islam Jawa. Dengan demikian, penarasian ulang tersebut mampu menjadi kritik dan pembanding bagi penelitian kaum orientalis Indonesia yang dianggap paling otoritatif itu. Sebagaimana paparan M.C Ricklefs dalam Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions (c.1830-1930), implikasi dari kuasa para orientalis yang digunakan oleh pemerintah kolonial ialah terjadi polarisasi masyarakat Jawa. Salah satunya ialah adanya para pedagang Islam dan haji yang memiliki kecenderungan kasar mendesakkan ide-ide “ortodoksi” yang notabenenya adalah para penerus (Islam tradisional), seiring meningkatnya jamaah haji sejak pembukaan selat Suez di Tahun 1869.

Pada waktu itulah beberapa jamaah haji terpapar gelombang reformasi (ortodoksi yang terbaharui), yang melahirkan diskursus “Islam paling murni.” Contoh polarisasi Ricklefs ini dapat dijumpai pada sosok K.H. Ahmad Dahlan ketika melakukan ibadah haji ke dua, ia lalu bertemu dengan Rasyid Ridha di Mekkah. Sesampainya di Indonesia, gelombang reformis Islam terus dihembuskan. Corak Jawa Islam bernafaskan tasawuf, atau meminjam istilah dari Irfan Afifi, yaitu cara orang Jawa masa itu menerjemahkan tasawuf. Adapun warisan budaya berupa Serat, Suluk, Babad, dan Wirid, sepanjang pembacaan Irfan Afifi sejak tahun 2009 hingga hari ini merupakan produk kepengarangan periode Islamisasi (periode demak sampai mataram Islam). Atribusi kepengarangan warisan tasawuf (sufisme Jawa) tersebut adalah para wali, sehingga preferensi tasawuf tidak akan mampu dipahami oleh kaum puritan, reformis Islam, karena sejak awal telah menolak corak tasawuf.  

Seluruh paham puritan sejatinya mewarisi pemikiran Ibnu Taimiyyah, acapkali disamakan dengan pembaharu Al-Ghazali di kalangan Syafi’iyah. Sejak usaha Imam Ghazali untuk menubuhkan tasawuf dalam bangun ortodoksi keislaman (baca: Ihya Ulumuddin), tasawuf secara umum dianggap merupakan praktik yang “sah di dalam Islam”. Hal inilah yang memicu perdebatan keras dari kelompok Hambali (Ibnu Taimiyyah) yang mencoba memurnikan keyakinan Islam dari praktik-praktik bid’ah tersebut. Meminjam istilah dalam Serat Wedhatama, sebagai masyarakat yang “anggung anggubel sarengat” (terus berbelit semata pada syariat). Ibn Taimiyyah dengan semangat pembaharuannya memiliki dua mata pisau, yaitu melahirkan konsep “ijtihad” yang mengilhami pembaharu macam Rasyid Ridha dan Mohammad Abduh, di saat bersamaan bersikap puritan dengan konsep “kembali pada al-Qur’an dan Hadis,” sebagaimana Muhammadiyah. Dan salah satu organisasi keagamaan yang memiliki gerakan sufisme yang khas adalah Nahdlatul Ulama (NU), yang di dalamnya memiliki tradisi pembinaan terhadap ajaran sufisme pada tahap lebih lanjut, khususnya ajaran Imam al-Ghazali.

Meminjam istilah dalam Serat Wedhatama, sebagai masyarakat yang “anggung anggubel sarengat” (terus berbelit semata pada syariat). Ibn Taimiyyah dengan semangat pembaharuannya memiliki dua mata pisau, yaitu melahirkan konsep “ijtihad” yang mengilhami pembaharu macam Rasyid Ridha dan Mohammad Abduh, di saat bersamaan bersikap puritan dengan konsep “kembali pada al-Qur’an dan Hadis,” sebagaimana Muhammadiyah.

Ketercerabutan sufisme Jawa dimulai semenjak perang Jawa, ditambah dengan adanya para priyayi Jawa yang menghimpun diri pada gerakan teosofi sebagai gerakan spiritualitas tanpa agama yang menyebar secara global di masa itu dan memberi lembaran spiritualitas baru kepada para priyayi.  Di masa-masa inilah menjamur produksi tafsir warisan kesusasteraan Jawa masa sebelumnya (Jawa Islam), sehingga bercampur dengan penafsiran khas golongan teosofiyang hari ini dikenal dengan istilah “Kejawen” (paparan Irfan Afifi (2023) “Daulat Kebudayaan: Jawa dan Islam dalam Sebuah Pertemuan).” Maka seluruh warisan kesusasteraan dan kebudayaan “Jawa Islam” menyusut dilabeli semata Kejawen dan berkembang dengan dinamikanya sendiri. Hingga hari ini, dinamika itu semakin menjauh dan berdiri vis a vis atas penafsiran kelompok putihan yang terinfiltrasi “ortodoksi” (modernisme Islam, neo sufisme, reformime Islam, dan gerakan wahabi).

 Kesimpulan Najib Burhani terkesan memaksa ingin menganulir asumsi Muhammadiyah sebagai organisasi puritan. Upaya Najib Burhani ini bisa dikatakan sebagai bentuk kegelisahan atas pelabelan Muhammadiyah yang puritan. Muhammadiyah juga turut merenungkan kembali konsep budaya yang bisa diterima oleh Islam, hal ini dapat ditengarai mulai dari Munas Majellis Tarjih di Aceh (1995), hingga Munas Majelis Tarjih ke XXV di Jakarta, Muhammadiyah berhasil merumuskan metodologi pemikiran Islam: burhani, irfani, dan bayani. Kegelisahan perihal Muhammadiyah yang puritan, turut dirasakan oleh intelektual Muhammadiyah lainnya, yakni Moeslim Abdurrahman, ia mengungkapkan bahwa, “dosa gerakan-gerakan purifikasi Islam, mungkin yang harus disesali, karena tidak hanya karena sejarahnya yang ganas dan apriori terhadap seni dan budaya lokal, namun Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan tampaknya menjadi jumud, karena tidak mampu memperbarui kesadaran Islam yang lebih substansial dan terbuka untuk memaknai dakwah, karena selalu diidentikkan dengan propaganda iman. Namun dakwah, sesungguhnya merupakan perkara kerja religius untuk peradaban dan kemanusiaan.  

Sebagai akhiran, tesis Najib Burhani telah menarasikan Muhammadiyah Jawa atau Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa masih perlu ditangguhkan. Bahkan, meminjam ungkapan Khoirul Fata, tesis Najib Burhani dibangun dengan dasar yang rapuh. Dengan dihujani berbagai kritik atas tesisnya itu, Najib Burhani melalui sebuah artikel berjudul “Muhammadiyah Jawa dan Landasan Kultural untuk Islam Berkemajuan” (Jurnal Ma’arif Vol. 14. No.2 Desember 2019), mengungkapkan bahwa: “Melihat perkembangan yang terjadi sekarang ini, saya seringkali juga ragu bahwa apakah Muhammadiyah itu benar-benar pernah dekat dengan tradisi Jawa”.  Najib Burhani lalu menyodorkan pertanyaan: “Apakah tesis Muhammadiyah Jawa ini perlu dipertahankan? Perlu diragukan? Apa hubungan Muhammadiyah Jawa dengan Islam Jawa dan Islam Nusantara?” Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, saya rasa jawaban yang  pas sebagaimana  menyitir pendapat Abdul Munir Mulkan, bahwa buku karya Najib Burhani tetap patut dibaca oleh aktivis Muhammadiyah dan bahkan saya (saya kira warga Muhammadiyah), karena melalui buku itu pembaca dapat memperoleh kekayaan informasi yang berguna bagi peneguhan ideologi Muhammadiyah yang dewasa ini menjadi wacana publik persyarikatan.

Wallahu’alam.     


Editor: Moh Hagie

0
600
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.