Author Archives: Lukman Solihin
Entitas politik seperti negara, lahir dan kukuh tidak dengan jalan yang lurus. Dalam upaya membangun dirinya, ada yang disingkirkan, dihapus, dicaplok, juga dibentuk.
Dilihat dari satu sisi, Majapahit adalah imperium besar. Tetapi dari tepi barat Jawa, di mata Dyah Pitaloka, ia tak hanya mengancam, tetapi juga memusnahkan. Begitu pula kebesaran Gowa, bila dilihat dari kacamata Arung Palakka, adalah penjajahan belaka.
Begitu pun Indonesia, berdiri tidak hanya melalui serangkaian aksi heroik melawan kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, maupun perang kemerdekaan, melainkan pula penumpasan mereka yang dianggap kelompok separatis, pendudukan Papua Barat, aneksasi Timor Timur, juga operasi militer di sejumlah daerah.
Kehendak berdaulat, kerap dibersamai oleh hasrat berkuasa. Sayangnya, seperti cerita klasik di berbagai belahan dunia dan masa, kuasa sering kali jadi pangkal malapetaka. Dan di belakang hari, ia menjelma sebagai sumber rasa malu.
Seorang kawan yang pernah bermastautin di Jerman bercerita, tak banyak orang di sana yang nyaman membahas masa lalu mereka terkait NAZI dan Holocaust. Pemerintah Jepang juga sering kali tak enak hati ketika diungkit dosa-dosanya di seputar Perang Pasifik: ihwal kamp kerja paksa, perempuan penghibur, juga tragedi Nanking/Nanjing.
Sementara kita punya peristiwa ’65, Timor Timur, Papua, dan sederet memori “perang saudara” lainnya. Kita mungkin dapat membaca Amba, atau Pulang, atau bahkan Ronggeng Dukuh Paruk untuk sedikit tahu soal cerita hilir pasca-tragedi ’65.
Tetapi, di seputar tragedi Timor-Timur, kecuali pandangan dan pengisahan dari Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata dan Jazz, Parfum, dan Insiden yang seolah telah menjadi klasik, tak banyak yang bisa kita pelajari. Untungnya, Felix K. Nesi menulis Orang-orang Oetimu dengan sepenuh hati dan menyajikannya pada kita, generasi Indonesia pasca’98.
Terus terang, saya merasa risi dan tak enak hati ketika membaca Orang-Orang Oetimu. Kisah di dalamnya seperti dari negeri antah berantah yang jauh, tetapi ada pantulan “kita” di dalamnya—kita sebagai sebagai bagian dari sebuah negara bernama Indonesia.
Bagi sementara kalangan, kisah Timor-Timur adalah bentuk kegagalan mewujudkan “NKRI harga mati” lantaran lepas dari Indonesia. Tetapi bagi kalangan yang lain, kemerdekaan Timor-Leste adalah harga yang pantas untuk menebus kesalahan di masa lalu.
Pada masa yang kemudian, kita dapat menimbang keputusan-keputusan politik di masa silam melalui pendar perenungan sastra. Dan, Orang-orang Oetimu menyajikan itu. Kisah tentang para korban yang dinistakan, juga pelaku yang dihela oleh ambisi, dendam, juga semangat menjadi “patriot bangsa”.
* * *
Paruh pertama kisah dalam Orang-orang Oetimu berpusat pada penderitaan Laura, gadis muda periang berdarah Portugis yang nasib baiknya direnggut Operasi Seroja. Tentara tak hanya merudapaksa kemudaannya, tetapi merampas segala apa yang dimilikinya (orang tua dan kebahagiaan) sembari menitipkan benih dalam rahimnya.
Setelah mendapatkan kesempatan lepas dari kamp laknat yang menyiksanya, berhari-hari Laura berjalan ke barat, menyusuri hutan, lembah, sungai dan berakhir di Oetimu. Di kampung itu, dia berjumpa Am Siki, kakek tua yang kisah hidupnya telah melegenda di antero negeri.
Am Siki adalah pedagang cendana dan pengolah nira. Di zaman sebelumnya, dia memilih berdagang dengan Portugis ketimbang Belanda karena yakin orang Belanda selalu berlaku culas. Ketika Jepang menduduki pulau-pulau di Nusa Tenggara, dia ditangkap dan memulai ritme kerja paksa.
Am Siki yakin leluhurnya adalah pohon lontar. Ketika pada suatu malam buta dia menebang pohon lontar, satu tandan buah lontar jatuh di kepalanya. Dia rebah. Dalam kondisi berkunang-kunang itu, dia seperti mendengarkan pohon itu membacakan syair yang menguatkan batinnya. Sekonyong-konyong terbit keberanian dan kekuatan dalam dirinya. Dia mengamuk. Semua tentara Jepang di kamp itu dihabisinya.
Am Siki-lah yang merawat Laura di Oetimu sampai kelahiran anaknya. Agaknya, usia perempuan muda ini hanya dicukupkan sampai tugasnya sebagai ibu tuntas. Empat hari setelah Siprianus Portakes Oetimu lahir, Laura meninggal. Anaknya inilah yang kemudian memainkan peran di Oetimu sebagai Sersan Ipi.
Sersan Ipi sepertinya mewarisi perangai bapaknya yang merupakan anggota pasukan penyerbu dalam Operasi Seroja yang entah siapa. Dia temperamental, suka menggampar, dan mencari kesalahan apa pun bahkan ketika tidak ada alasan kecuali suasana hati dan perutnya sedang tidak berkenan.
Perangainya sedikit mendingan setelah berjumpa Silvy Hakuak Namepan, perempuan muda yang pindah dari SMA Santa Maria Helena ke Oetimu karena baru saja mengandung. Perempuan ini bunting bukan lantaran kelakuan Romo Yosef yang mengepalai sekolah favorit itu. Melainkan hasil perbuatan Linus Atoin Maloket, guru muda yang sejak kanak ingin menjadi pelayan negara seperti para tentara yang dijumpainya, namun berakhir menjadi guru sejarah yang tak becus di SMA Santa Maria Helena.
Felix secara lihai memasukkan banyak kisah lain dalam jalinan benang merah yang sama dalam Orang-orang Oetimu. Misalnya sosok Romo Yosef yang memendam “cinta terlarang” dengan Maria, seorang aktivis mahasiswa yang selalu mendebat khotbah-khotbahnya. Maria kemudian meninggalkan Frater Yosef karena khawatir cintanya membuat bimbang calon pastor itu. Peristiwa ini terjadi setelah kelompok-kelompok mahasiswa banyak diringkus karena ada “orang dalam” yang menjadi mata-mata—tak lain adalah Linus Atoin Maloket ketika masih berstatus sebagai mahasiswa.
Tetapi kisah Yosef dan Maria tak berhenti di situ. Setelah Maria berkeluarga, memiliki seorang anak, Yosef berjumpa lagi dengan Maria. Kedekatan mereka kian rapat setelah suami Maria dan anaknya dilindas iring-iringan unimog, ketika tentara kembali melancarkan operasi militer di Timor Timur.
Di hari pemakaman suami dan anaknya itu, Maria berang ketika seorang perwira muda menyampaikan pidato penyesalan sekaligus pembenaran bahwa peristiwa yang terjadi tak lain karena usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Dengan murka, Maria menjerit:
“Bahkan dalam perjalanan membunuh orang tak bersalah, kalian masih sempat membunuh orang tak bersalah? Anjing keparat!” (hlm. 175).
Maria akhirnya memilih bunuh diri setelah tak mampu menanggungkan penderitaannya.
Sementara Sersan Ipi, di akhir cerita, tak jadi menikahi Silvy. Bukan lantaran perempuan ini meninggalkannya, tetapi karena Sersan Ipi keburu mati di rumah Martin Kabiti, mantan tokoh laskar yang pernah berperang untuk republik.
Membaca Orang-orang Oetimu, mau tak mau menuntut kita mengumpulkan informasi seputar tragedi yang pernah belangsung di Timor-Timur, mulai dari Operasi Seroja, Pembantaian Kraras yang dikenal sebagai “Kampung Janda”, dan tentu saja Pembantaian Santa Cruz.
* * *
Memikirkan kisah dalam Orang-orang Oetimu membawa saya pada diskursus mengenai “banalitas kejahatan” seperti diutarakan Hannah Arendt, filosof keturunan Yahudi yang banyak merekam dan mengalami kekejaman NAZI.
Melalui konsep itu, Arendt berupaya mendedah bagaimana Holocaust berlangsung sedemikian brutal dan dianggap sebagai “kewajaran” oleh para pelakunya. Banalitas sendiri dapat kita maknai sebagai suatu kondisi yang dianggap wajar, dapat dimaklumi.
Sederhananya, sebuah tindakan jahat alih-alih dipandang salah, justru dinilai sebagai sebuah kewajaran, bahkan keharusan bukan karena ia dilakukan berulang-ulang, melainkan lantaran ada pembenaran di baliknya. Pendek kata, saya melakukannya karena benar, karena memang seharusnya begitu!
Sayangnya, untuk kasus Timor-Timur, pembenarannya adalah “NKRI harga mati!”.
Hatta, mengutip secara serampangan esai Seno Gumira Ajidarma, meski jurnalisme tak lagi (begitu) dibungkam, sastra tetap perlu bicara. Lantaran kita tak cukup hanya memamah informasi melalui beragam kanal berita, akan tetapi tetap memerlukan pendaran kebenaran dalam dunia sastra. Seperti kisah Felix dalam Orang-orang Oetimu ini.
Sebelum menamatkan Raden Mandasia, saya telah membaca Muslihat Musang Emas. Pada kumpulan cerita itu, saya menikmati betul gaya bercerita Yusi Avianto Pareanom, juga topik dan paradoks yang dia ajukan. Kita dijamu dengan sisi gelap, lucu tapi haru, dan anjay dalam kumpulan cerita itu. Siapkan diri untuk sering memaki. Hehehe.
Saya menduga—tepatnya berharap—kejutan yang akan saya alami selama membaca Raden Mandasia. Dan, tapir bunting! Bagus betul, batin saya. Maka, tak syak lagi jika novel ini diganjar penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2016 silam.
Buku ini kisah tentang petualangan seorang bekas pangeran dari negeri kalah, berjumpa pangeran dari pihak yang menjajah , kemudian terlibat persahabatan yang ganjil. Mengambil latar Babad Tanah Jawa, Sungu Lembu, pangeran dari Banjaran Waru yang menjadi si pencerita berteman dengan Raden Mandasia, pangeran dari Gilingwesi yang gemar mencuri daging sapi.
Sungu Lembu sendiri memiliki kemampuan yang tak kalah ganjil: ingatan lidah. Apa pun yang dicecap niscaya melekat dalam ingatan dengan sendirinya, termasuk unsur-unsur yang membentuknya. Ingatan lidah inilah yang beberapa kali menyelamatkan peruntungannya, termasuk ketika berjumpa dengan Putri Tabassum, putri yang menjelma mitos dari kerajaan Gerbang Agung.
Dua pemuda bengal ini berjumpa di Rumah Dadu Nyai Manggis. Ah, Nyai Manggis. Pesonanya, kata Yusi, adalah pesona perempuan tigapuluh enam tahun. Kau tahu, konon ini masa ketika seluruh unsur kecantikan merekah sempurna. Setiap ada nama Nyai, saya acap curiga, pasti pengarangnya menyematkan karakter kuat, seperti Dasima, juga Ontosoroh.
Dendam Sungu terhadap Kerajaan Gilingwesi, terutama pada Prabu Watugunung, dipupuk sejak kanak. Dia dianggap keturunan Gilingwesi karena ibunya pernah disuguhkan pada para perwira Gilingwesi (atau Watugung sendiri?). Kesumat itu makin menjadi ketika keluarga Banyak Wetan, tempat dirinya menemukan keluarga, harus tercerai berai karena diserbu pasukan Gilingwesi. Sungu menggelandang dengan satu tujuan: membunuh Watugunung. Dan takdir mempertemukannya dengan Raden Mandasia, anak Watugunung, yang tak hanya mengantarkannya mendekat ke lingkaran istana, tetapi juga melayari laut, benua, pelabuhan, kebudayaan, dan tentu saja Putri Tabassum.
Ah, tentu saya tak akan menggaraminya dengan mengisahkannya detail. Menceritakan ulang di sini adalah perbuatan kasip. Saya pembaca karya-karya Yusi yang terlambat. Begitu juga karya sastra lain yang sudah direkomendasikan beberapa orang di sekitar saya. Entah mengapa, bacaan sastra saya merosot beberapa tahun ini.
* * *
Membaca cerita seperti Raden Mandasia, atau Kambing dan Hujan, atau Orang-Orang Oetimu (yang terakhir ini belum beres karena ketika saya mulai membacanya berbarengan dengan istri yang ingin segera menyelesaikannya, jadi suami harus mengalah, wkwkwk), sedikit banyak membuat saya merasa perlu berterima kasih pada berbagai sayembara dan penghargaan sastra yang melambungkan karya-karya itu.
Untuk pembaca sastra awam seperti saya yang juga tidak begitu menaruh perhatian pada isu “kanonisasi sastra”, penghargaan semacam Kusala Sastra Khatulistiwa, Sayembara DKJ, atau penghargaan sebagai karya terbaik oleh surat kabar, majalah dan lain sebagainya, setidaknya dapat menjadi patokan untuk memilih bacaan. Risikonya, saya pasrah saja pada “selera” para pembuat kriteria karya yang mereka anggap bagus.
Tetapi, sejauh saya memilih bacaan dengan cara itu, saya merasa baik-baik saja. Meskipun yang terlambat saya sadari, ternyata selain turut menyetujui beberapa karya yang dianggap baik memang adalah baik belaka, saya juga jadi ikut-ikutan merasa ada karya lain yang tidak bermutu, sehingga saya kurang berminat mengoleksi atau membacanya.
Misalnya, untuk beberapa karya yang memilih judul nama planet dan tata surya, saya hanya mengoleksi dan membaca kisah tentang ambruknya ekonomi dan kongkalikong para garong: Negeri di Ujung Tanduk dan Negeri Para Bedebah.
Begitu pula, lama sekali saya baru memutuskan untuk membeli Laskar Pelangi yang kurang lebih karena bentukan selera yang demikian. Saya juga membeli Ketika Cinta Bertasbih hanya karena sedang diobral dan saya merasa juga perlu mengoleksi buku-buku yang mengundang perhatian publik, meskipun saya tak turut membacanya.
Saya merasa Laskar Pelangi tidak buruk, hanya kurang. Tetapi, saya merasa, pada masa tertentu, novel seperti ini jauh lebih tepat saya sodorkan pada anak gadis saya yang mulai remaja. Ya, semacam novel yang “memotivasi”. Ke depan, mungkin saya mulai akan menawarkan kepadanya Filosofi Kopi, Perahu Kertas, atau beberapa karya Dee lainnya yang ya, agak bucin-bucin tapi “sopan”.
Tentu saya belum berani menawarkan karya Ayu Utami, Djenar, Eka Kurniawan, juga Yusi ini. Terlampau banyak adegan cerrr-ke-cehhh yang mungkin baru siap dipahami ketika anak-anak telah beranjak dewasa.
Sependek yang saya tahu, kecuali Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) dan tentu saja buku-buku Abinaya Ghina Jamela, masih sedikit karya yang pas, baik, dan bagus buat remaja. Kecuali, kau pasrah pada yang semacam teenlit itu.
* * *
Mengikuti selera para kritikus dan penilai sastra nyatanya tidak selalu menyenangkan. Beberapa kali saya tak bisa menikmati membacanya. Bisa jadi karena saya awam atau karena memang penilaiannya terlampau dilebih-lebihkan.
Sebuah novel tentang “Aruna dan Lidahnya” yang akhirnya digarap jadi film dengan pemain Dian Sastro, gagal saya baca pada lembar-lembar pertama hanya karena di bagian awal semuanya satu paragraf (pengalaman ini tidak terjadi ketika saya membaca salah satu cerita Eka Kurniawan dengan teknik serupa tetapi jauh lebih mulus).
Pada intinya, beriman pada pilihan para kritikus itu berarti siap-siap menerima asupan selera mereka. Kita ingat, dulu ada Paus Sastra HB Jassin, juga berbagai tuduhan dan kritik terhadap Komunitas Utan Kayu (TUK), karena dianggap terlampau membentuk selera pembaca.
Tetapi saya masih yakin, berbagai sayembara dan penghargaan sastra itu ada gunanya, sehingga karya-karya bagus lahir dan menemui pembacanya. Sebagaimana pemeluk keyakinan setengah jalan, kita hanya perlu menyiapkan rasa ragu secukupnya. Sebab, setiap pembaca punya selera sendiri yang dibentuk oleh pengalaman membacanya.[]
Syahdan, pada 2045 kelak Indonesia akan memanen generasi produktif atau biasa disebut Bonus Demografi. Disebut demikian karena jumlah usia produktif mengisi ruang paling besar dalam piramida penduduk, jauh lebih besar dari usia tak produktif, yaitu anak-anak dan manula. Sayangnya, tak ada diskursus yang memadai di kalangan umat Islam dalam mempersiapkan generasi emas itu. Padahal, umat Islam saat ini berjumlah 87,2 persen dari total penduduk Indonesia yang sekira 209,1 juta.
Intelektual muslim dan kalangan Islam politik pun agaknya abai mendiskusikan bagaimana generasi Islam masa depan. Di tengah akses terhadap pendidikan yang kian terbuka, saluran terhadap informasi dan pengetahuan yang makin memadai, apakah bonus demografi Muslim Indonesia bakal menyumbang kemajuan bagi dirinya maupun peradaban manusia pada galibnya, atau malah sebaliknya?
Menguatnya Islam politik sebagaimana tampak dalam diskursus publik akhir-akhir ini tidak dilambari visi yang jelas mengenai arah transformasi yang ingin dituju.
Menguatnya Islam politik sebagaimana tampak dalam diskursus publik akhir-akhir ini tidak dilambari visi yang jelas mengenai arah transformasi yang ingin dituju. Dalam kebangkitan parade Islam politik itu nyaris tidak dibahas kekuatan Islam akan mengubah masyarakat buy sustanon 250 injection masa depan menjadi seperti apa.
Inilah kekosongan diskursus yang membuat kita kangen pada perdebatan intelektual muslim tanah air di akhir 80-an sampai 90-an mengenai transfromasi masyarakat dalam terminologi ‘paradigma Islam’, ‘paradigma profetik’, maupun ‘pribumisasi Islam’. Segala daya upaya dan sumber daya yang dimiliki terserap hampir seluruhnya untuk meneguhkan identitas, sekaligus diarahkan untuk kepentingan politik praktis.
* * *
Tulisan ini tidak berpretensi membahas tuntas masalah ‘berat’ di atas, melainkan sedikit berupaya mendiskusikan kemungkinan yang dapat terjadi dengan berupaya memahami gejala umum saat ini.
Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia menyimpulkan tiga ciri kelas menengah muslim di Indonesia, yaitu menjadi muslim yang taat yang berpegang pada landasan moral agama, menjadi warga negara yang terhormat dan bertanggung jawab, sekaligus menjadi anggota dari komunitas produsen dan konsumen global. Menurut dia, kelas menengah muda perkotaan pada dekade pertama abad ke-21 ini berupaya merumuskan ulang identitas mereka. Inilah era di mana di satu sisi kebebasan dirasakan secara luas, namun di sisi lain menemukan banyak tantangan dan perdebatan.
Kalangan muda perkotaan ini berangkat dari latar belakang yang cukup beragam namun disatukan oleh ciri-ciri yang sama, yaitu tingkat pendidikan yang relatif tinggi, kemampuan ekonomi yang relatif mapan, selera kultural, pola konsumsi, dan ketertarikan terhadap persoalan-persoalan nasional dan internasional. Akses mereka terhadap dunia layar, seperti televisi, film layar lebar, internet, dan media sosial sangat terbuka sehingga aspirasi dan usaha merumuskan identitas itu berlangsung ramai dan sengit.
Indonesia sendiri telah mengalami fase sejarah yang cukup panjang dalam upaya menyatukan perbedaan dalam satu kesatuan negara bangsa.
Indonesia sendiri telah mengalami fase sejarah yang cukup panjang dalam upaya menyatukan perbedaan dalam satu kesatuan negara bangsa. Sejarah telah memperlihatkan bahwa di tengah berbagai macam perbedaan latar belakang, para pendiri bangsa diikat oleh satu watak yang sama, yaitu kosmopolitanisme, yakni pandangan luas tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mau tidak mau mereka berupaya merumuskan upaya jalan tengah dalam membentuk sebuah bangsa.
Sayangnya pandangan kosmopolitanisme itu, menurut Heryanto (2015), kini menjadi sasaran serangan dari kalangan kelompok modernis Islam yang saling bersaing, dan masing-masing mereka berupaya memaksakan “batasan sempit” dalam memaknai “menjadi Indonesia” yang ideal. Gejala konservatisme dan fundamentalisme keagamaan di tengah keterbukaan akses terhadap ilmu pengetahuan, informasi, dan ekonomi, di masa depan dapat membalik arah keterbukaan yang selama ini kita rayakan.
* * *
Kaum muda milenial, terutama kaum milenial muslim seperti digambarkan di atas, di satu sisi berupaya mengakrabi modernitas dengan segala konsumerismenya, merayakan dakwah melalui media sosial, namun di sisi lain memupuk eksklusivisme dan kejumudan pandangan keagamaan.
Pada yang terakhir ini, gejala dan bibit-bibitnya mulai tampak dalam berbagai segi, antara lain menguatnya pandangan keagamaan yang sempit, maraknya lembaga pendidikan yang tersegregasi (sekolah formal dengan basis keagamaan), permukiman dengan warga sealiran, dan upaya mewujudkan nilai dan hukum Islam sebagai satu-satunya visi bagi Indonesia masa depan.
Fenomena ini tentu akan berpengaruh terhadap masa depan kita, termasuk bonus demografi muslim seperti apa yang akan kita panen: apakah generasi muslim masa depan yang terbuka atau sebaliknya tertutup; apakah generasi muslim yang menyokong kemajuan ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan peradaban atau sebaliknya. Dari gejala yang tampak, saya khawatir pada 100 tahun kemerdekaan kita akan melihat generasi muslim yang secara ekonomi maju namun secara ideologi tertutup.
Saya khawatir pada 100 tahun kemerdekaan kita akan melihat generasi muslim yang secara ekonomi maju namun secara ideologi tertutup.
Patut direnungkan bahwa kemajuan peradaban Islam di masa lalu sebagaimana ditunjukkan oleh kejayaan Dinasti Abbasiyah tidak dibangun oleh masyarakat yang tertutup, melainkan terbuka menerima ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban lain. Inilah contoh masyarakat yang siap menghimpun sumber daya dari segala penjuru untuk diolah dan kemudian diwariskan kepada abad pencerahan Eropa.
Kita tentu tak ingin lagi diejek sedemikian rupa sebagaimana para orientalis pernah mengatakan bahwa masyarakat muslim di Indonesia merupakan masyarakat ‘kuburan’ karena orientasinya berat sebelah terhadap kematian (dunia akhirat). Akibatnya, sumbangan terhadap peradaban dunia tidak terlampu diprioritaskan.
* * *
Dunia pendidikan yang menjadi kanal bagi lahirnya sumber daya manusia Indonesia masa depan yang terdidik sayangnya juga masih mengkhawatirkan. Alih-alih menyuburkan sikap kritis, nalar ilmiah, dan perilaku positif, gejala konservatisme bahkan intoleransi di dunia pendidikan malahan menunjukkan indikasi menguat. Sebagaimana ditunjukkan oleh survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagian besar guru agama memiliki paham intoleran. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pun menengarai kampus dan sekolah menengah rentan terpengaruh paham radikal (Koran Tempo, 30/11/2018).
Jauh sebelum dua survei ini, Hairus Salim HS. dkk. (2011) sebetulnya telah menunjukkan bahwa, sebagaimana ruang sosial lainnya, lembaga pendidikan juga menjadi ‘ruang politik’, yaitu arena melakukan negosiasi dalam praktik keagamaan. Musala, kantin, dan ruang-ruang bersama lainnya di sekolah penuh dengan praktik negosiasi tersebut. Sekolah negeri di Yogyakarta yang menjadi kasus dalam penelitian ini memperlihatkan ‘sengitnya’ pertarungan ideologis tersebut. Dan kini secara umum kita dapat melihat di pihak mana kemenangan pertarungan itu mengarah: siswa diarahkan menjadi pribadi yang agamis, ruang sekolah dibentuk dengan norma agama yang ketat, ritual keagamaan dipraktikkan sebagai ‘keharusan’ di sekolah.
Sayangnya, langkah pembentukan karakter positif itu (yakni membentuk individu yang religius) sering kali tidak dilambari dengan semangat dan pemahaman tenggang rasa yang memadai.
Sayangnya, langkah pembentukan karakter positif itu (yakni membentuk individu yang religius) sering kali tidak dilambari dengan semangat dan pemahaman tenggang rasa yang memadai. Siswa diarahkan untuk memupuk keimanan sembari meliyankan bahkan ‘mengkafirkan’ pemahaman dan keyakinan yang lain. Sikap terbuka dan toleran menjadi sesuatu yang langka.
Saya sempat kaget ketika pada suatu siang menjemput anak saya yang sekolah SD di Bantul (ketika itu kami bermukim di Jogja) ternyata sedang melakukan yel-yel: “Islam-Islam Yes, Kafir-Kafir No” di lapangan terbuka. Saya tak sempat berdialog dengan guru agama yang memimpin yel-yel itu, namun akhirnya yang saya lakukan ialah ‘menetralisir’ pemahaman anak saya dengan cara berdialog di rumah.
Kita tak pernah tahu input apa saja yang anak dapatkan, namun orang tua perlu dan bertanggung jawab mendampingi anak-anaknya untuk menetralisir pemahaman yang radikal. Habituasi melalui proses pembelajaran dan relasi sehari-hari di sekolah merupakan proses kultural yang terjadi dalam ruang sosial. Dalam hal ini sekolah merupakan miniatur kehidupan bermasyarakat sehingga perlu mengelola norma, nilai, tanggung jawab, dan kode berperilaku dari unsur-unsur yang beragam di dalamnya.
* * *
Tentu, tak ada resep sapu jagat atau pil panasea untuk segala macam masalah dalam kehidupan sosial kita. Setiap persoalan memiliki karakteristik masalah dan jalan keluar sendiri. Begitu pula dengan imaji bonus demografi bagi kalangan muslim Indonesia. Apabila indikasi menguatnya potensi generasi Islam masa depan menjadi masyarakat ‘tertutup’ merupakan ancaman, maka salah satu cara yang dapat ditempuh ialah dengan mendorong agar generasi muda Islam dapat lebih terbuka, melek keragaman sejarah dan budaya, di samping dikuatkan aspek religiusitasnya.
Dalam konteks ini, literasi budaya dan kewargaan menjadi penting dikenalkan baik di lingkungan keluarga muslim, lebih-lebih di dunia pendidikan, sehingga kehidupan bersama terjalin dalam suasana tenggang rasa.
Dalam konteks ini, literasi budaya dan kewargaan menjadi penting dikenalkan baik di lingkungan keluarga muslim, lebih-lebih di dunia pendidikan, sehingga kehidupan bersama terjalin dalam suasana tenggang rasa. Melalui literasi budaya, masyarakat diharapkan dapat memiliki pemahaman yang memadai mengenai kearifan lokal serta budaya nasional sehingga tumbuh perasaan untuk melestarikan dan mengembangkan kekayaan itu, bukan sebaliknya (Hirsch, 1988). Dan melalui literasi kewargaan, generasi muda makin mengenal hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Keluarga, lembaga keagamaan, atau insitusi-institusi lainnya perlu menguatkan literasi budaya dan kewargaan untuk menginternalisasikan pandangan yang plural terhadap komunitasnya. Itulah mengapa piknik ke museum, cagar budaya, rumah ibadah, komunitas seni, parade dan pertunjukan budaya, patut dirayakan guna mengalami dan meneguhkan pentingnya hidup bersama dalam keragaman.
Pendek kata, pemahaman dan gairah keagamaan (islamisme) akhir-akhir ini perlu diimbangi dengan sikap terbuka agar bonus demografi tidak hanya melahirkan generasi muslim yang kuat secara ekonomi dan politik, religius dalam beragama, melainkan juga toleran dan siap menyokong kemanusiaan dan peradaban. Inilah saya kira wujud dari visi rahmatan lil ‘alamin itu, bahwa jumlah umat yang besar dapat memberi faedah yang besar pula bagi kemanusiaan dan peradaban.