Author Archives: Chubbi Syauqi
Banyumas atau yang dahulu bernama Wirasaba, memiliki sejarah yang panjang. Penelusuran sejarahnya dapat ditelisik dari historiografi (Babad Banyumas). Pengkajian Babad Banyumas terbilang pekat berkat kerja-kerja riset dan penerjamahan oleh: Soegeng Priyadi dan Nassirun Purwokartun. Membincang perihal babad, ia merupakan karya sastra berbahasa Jawa yang mengisahkan peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti peperangan dan kepahlawanan. Secara etimologis, babad bermakna “tebang, buka, riwayat, sejarah”. Isi cerita babad memang mengandung sejarah, tetapi tidak selalu mengandung fakta. Banyumas memiliki babad yang sangat melimpah. Dalam penelitian Soegeng Priyadi, sekiranya terdapat 62 naskah Babad Banyumas atau 12 versi (lihat Babad Banyumas dan Versi-Versinya, 2006). Beragamnya Babad Banyumas ditengarai adanya kecenderungan dari para keluarga penguasa (bupati) sebagai legitimasi kekuasaan. Bisa dibilang isi cerita babad memang mengandung sejarah, tetapi tidak selalu mengandung fakta. Sebab babad merupakan perpaduan antara fakta sejarah, kepercayaan, dan mitos. Demikianlah babad, “betapapun memang campuran data, dongeng, pelipur lara, dan pembenaran kekuasaan, pewarisan nilai-nilai,” kata Goenawan Mohamad.
Muasal Sebuah Kota: Banyumas
Dalam naskah Wirasaba diceritakan, sekira abad 15 berdiri sebuah kadipaten di bawah Kerajaan Pajang bernama Wirasaba. Kadipaten Wirasaba dipimpin oleh Adipati Warga Utama 1 atau Raden Bagus Swarga. Ia memiliki 4 anak: 1) Rara Kartimah; 2) Ki Ngabehi Warga Wijaya; 3) Ngabehi Wira Kusuma; 4) Rara Sukartiyah. Putri Sulung (Rara Kartimah menikah dengan Raden Joko Kahiman), sedang putri bungsu (Rara Sukartiyah). Muasal berdirinya Kabupaten Banyumas terjadi pada era Kerajaan Pajang. Kala itu, Sultan Pajang menginginkan putri Adipati Warga Utama (Wirasaba) untuk dijadikan pelara-lara (penari serimpi di keraton dan bisa diambil selir oleh raja). Setelah putri Adipati Warga Utama diserahkan, munculah pemberitaan dusta. Adalah putra Demang Toyareka yang melapor: putri Adipati Wirasaba merupakan perempuan yang telah beristri. Mendengar berita tersebut Sultan Pajang tersulut marah. Ia serta merta menyuruh utusan untuk membunuh Adipati Wirasaba (lihat Sejarah Kota Banyumas 1571 Hingga Kini, 2018:107).
Sultan Pajang (Sultan Hadiwijaya) teramat menyesali perbuatannya. Ia kemudian mengundang para putra Adipati Wirasaba ke Pajang. Dari berbagai putra Adipati Wirasaba, hanya menantunya (Joko Kahiman) yang berani menghadap Sultan Pajang. Demi menebus kesalahannya, Sultan Pajang melantik Joko Kahiman sebagai Adipati Wirasaba. Ia kemudian membagi wilayah kadipaten menjadi empat yakni : Senon, Wirasaba, Toyareka, dan Pasir. Wirasaba inilah muasal Banyumas (lihat Menuju Keemasan Banyumas, 2015:126). Seiring berjalannya waktu, Banyumas yang semula diurus Kerajaan Pajang, beralih tangan ke kerajaan Kasunan Surakarta. Waktu itu wilayah Karisedenan Banyumas meliputi: Kabupaten Purbalingga; Kabupaten Banjarnegara; Kabupaten Banyumas; Kabupaten Cilacap; dan Kabupaten Purwokerto. Baru pada zaman kolonial Banyumas dijadikan kota Residente (Karisedenan) sekaligus Ibu Kota Kabupaten Banyumas. Segera pemerintah kolonial melakukan pembangunan di sekitar Ibu Kota Kabupaten Banyumas.
Untuk mencandra Banyumas di masa lalu, saya akan menceritakan kisah-kisah mainstream yang ada. Pasalnya, hal semacam itu sayup dalam sejarah. Perubahan status Banyumas, yang pada dasarnya merupakan akal-akalan administratif, yang tidak mengubah gaya pemerintahannya. Ujung-ujungnya Banyumas tetap diperintah sebagai daerah wilayah barat mengingat jaraknya yang jauh dari ibu kota dan susunan pemerintahannya. Banyumas yang asli sudah diperintah sebagai provinsi wilayah barat Surakarta sampai 1773, ketika kedudukannya diubah menjadi bagian Negara Agung demi melegakan perasaan Sultan Mangkubumi yang keberatan bahwa Yogya menguasai sedikit saja daerah di ujung barat wilayah Mataram lama.
Wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah “Mancanegara Kulon” dari kerajaan-kerajaan Jawa sejak: Majapahit; Demak; Pajang; Mataram; Kartasura hingga Kasunanan Surakarta. Pasca Perang Jawa (1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1830. Bagi kolonial, menumpas Perang Jawa sama halnya melindungi kepentingan 2 kerajaan: Kerajaan Yogyakarta dan Kerajaan Surakarta dari pemberontakan oleh kerabat kerajaan (Pangeran Diponegoro). Kerugian besar diderita oleh pihak kolonial nyaris dibebankan kepada pihak kerajaan. Akhirnya, sebagai tebusan pihak kolonial meminta wilayah “Mancanegara Barat”: Banyumas dan Bagelen, dan “Mancanegara Timur: Kediri dan Madiun.
Wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah “Mancanegara Kulon” dari kerajaan-kerajaan Jawa sejak: Majapahit; Demak; Pajang; Mataram; Kartasura hingga Kasunanan Surakarta. Pasca Perang Jawa (1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1830.
Banyumas dalam Cengkraman Kolonial
Sebelum jatuh dalam cengkraman kolonial, Banyumas merupakan daerah yang sangat terisolasi. Beratus-ratus tahun, Kota Banyumas tak gampang diakses sebab terkungkung oleh pegunungan terjal yang terbelintang di sepanjang sisi utara dan selatan, diiris lembah Sungai Serayu. Kota Banyumas merupakan salah satu kota di lembah Sungai Serayu yang memiliki hulu di pegunungan Dieng serta bermuara di Samudera Hindia. Sungai Serayu membelah wilayah Banyumas. Selain itu, wilayah Banyumas juga merupakan wilayah dengan gunung-gunung dan bukit-bukit sehingga cukup merepotkan untuk dijangkau wilayah-wilayah tertentu. Posisi Banyumas strategis bagi daerah-daerah sekitar Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen. Akan tetapi dengan kondisi geografis yang demikian, wilayah Banyumas yang berada di pinggiran Sungai Serayu diberkahi kesuburan tanah yang bagus dan subur. Karena itulah ada ungkapan yang galib terdengar: “cedak gunung, adoh ratu”. Artinya : dekat dengan gunung (kemakmuran), jauh dari pusat pemerintahan (Kerajaan Surakarta). Perihal Gunung Slamet dan Sungai Serayu, saya terngiang lagu keroncong yang menjadi bel kedatangan kereta di Stasiun Purwokerto, “Di Tepi Sungai Serayu” karya penyanyi Banyumas: Soetedja Poerwodibroto. Begini :
“Gunung Slamet nan Agung,
Tampak jauh di sana, bagai sumber kemakmuran serta kencana,
Indah murni alam semesta,
Tepi Sungai Serayu,
Sungai pujaan bapak tani,
Penghibur hati rindu”.
Sungai Serayu turut memberikan berkah terhadap Kota Banyumas menjadi kota tepi sungai, meski tak sebesar sungai Bengawan Solo, tapi tercatat dalam sejarah transportasi Banyumas. Saya membayangkan, Banyumas yang konon berasal dari sungai kecil di perbatasan Desa Kalisube dan Desa Dawuhan. Sungai ini bernama Sungai Banyumas sebab menghanyutkan kayu berwarna tembaga. Pertemuan antara Sungai Banyumas dan Sungai Pasinggangan menjadi patokan awal letak Banyumas. Kemudian banyaknya sungai di sekitar Kota Banyumas saya amsalkan “Venesia di Mancanegeri Kilen”. Meski soal kemiripan dengan “Venesia yang sejati”, entahlah. Bukan hal yang tak mungkin jika zaman dahulu sungai menjadi lintasan transportasi. Ingatan saya melayang pada Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) menaiki gethek di Sungai Bengawan untuk menemui Sutawijaya. Kota Banyumas, dikenal sebagai kota perdagangan. Dalam hal ini, Sungai Serayu yang memainkan denyut transportasi perdagangan.

Peta Kota Banyumas tahun 1920-an (Sumber: troppenmuseum.nl)

Kompleks Kota Banyumas 1948 (Sumber : freisfotoarchief.nl)
Barangkali itulah salah satu pertimbangan Belanda menjadikan Kota Banyumas sebagai ibu kota. Bayangan Ibu Kota Banyumas oleh Kapten Godfrey Phipps Baker (1786-1850) : sebagai yang terpenting di antara kota-kota wilayah barat dalam hal penduduk dan sumber daya. Diperintah oleh dua bupati setempat yang berpengaruh, ibu kota ini sangat menderita akibat kesewenang-wenangan Bupati, Wedana, Kepala Pemerintahan provinsi wilayah barat terdahulu. Kepala pemerintahan ini, Raden Tumenggung Yudonegoro, yang kemudian dipecat dari jabatannya menyusul persekongkolan Sepoy di Jawa Tengah Selatan, September-Oktober 1815. Digambarkan sebagai tokoh paling hitam oleh Residen Inggris di Surakarta, Mayor Jeremiah Martin Johnson: Bila ia berada di Banyumas, waktunya dihabiskan untuk main judi atau main tandak (perempuan, penari, pelacur), sementara tugas memerintah kabupaten yang terluas di wilayah kekuasaan kaisar (sunan), sama sekali ditelantarkan atau diserahkan kepada putra-putra dan orang suruhan, yang semua sama borosnya bermewah-mewah, yang dipikirkannya hanya bagaimana menguras duit dari penduduk untuk membiayai kesenangannya. Akibatnya, pertanian dan perniagaan banyumas terlantar (lihat Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, 2011: 24).
Pada paruh abad 18, Banyumas mengalami modernisasi melalui politik etis. Bermula dari buku Van Deventer berjudul “Utang Budi” yang mengkritik atas penderitaan negara jajahan Belanda, Ratu Wilhelmina lantas membuat sebuah kebijakan: politik Etis. Politik etis yakni sebuah politik balas budi (Trias Van Deventer): irigasi, emigrasi, dan edukasi. Setelah penerapan politik etis pembangunan di Banyumas semakin signifikan, di antaranya: infrastruktur transportasi; industri; irigasi perkebunan; fasilitas pendidikan; fasilitas kesehatan; hingga arsitektur kota Banyumas.

Suasana Kota Lama Banyumas. (Sumber : freisfotoarchief.nl)
Dalam pengembangan infrastruktur transportasi, pada pertengahan abad 19 dibangun jalan post (post weg) Banyumas-Buntu-Gombong-Rawalo. Kemudian jalan-jalan darat lain bermunculan dan bercabang serupa ranting pohon. Pihak kolonial juga membagun transportasi modern: rel keret api (Trem Serajoedal Stoomtram Maatschappij) pada Mei 1895. Proyek rel ini dipimpin oleh Ir. C. Groll, melintasi pada tiap-tiap pabrik gula yang merentang Banyumas-Banjarnegara-Cilacap-Purwokerto. Namun, rel ini tidak melintas di daerah Ibu Kota Banyumas, sebab pihak kolonial memproyeksikan sebagai kepentingan ekonomi, bukan pemerintah. Belanda membuat kota Banyumas menjadi menjauhi tepian sungai: memilih keramaian dengan banyak membangun jalur darat dan rel kereta api. Lagi pula, transportasi darat yang dibangun kolonial tetap menyusuri Sungai Serayu. Pengembangan Pendidikan: Pemerintah Kolonial membangun Holland-Indies School (HIS), di belakang HIS dibangun Kazerne Politie (tangsi polisi Belanda), di sebelah barat HIS dibangun gedung Inlander 2e School (Sekolah Ongko Loro). Pengembangan Kesehatan: pada 1925 Pemerintah kolonial membangun rumah sakit Julianna, yang sekarang dikenal RSUD Banyumas.
Pada 1836, Residen De Seriere membuka akses Kota Banyumas, membangun kanal yang kemudian dinamakan Kali Yasa. Jadilah Banyumas menjadi sebuah kota dalam rancang kolonial. Arsitektur: pemerintah kolonial Belanda berhasrat membangun Kota Banyumas dengan gaya arsitektur Eropa. Sebelum Kota Banyumas dalam kekuasaan Belanda, bangunan rumah warga ialah tradisional Jawa Banyumasan (tidak sama dengan bangunan Yogya dan Solo). Pasca kedatangan Belanda bangunan tradisional Jawa Banyumasan itu tereduksi bangunan berasitektur kolonial. Dalam esai di langgar.co “Bangunan Besar di Kampoeng Londo Gresik” (2023) karya Aji Ramadhan. Begini: “arsitektur kolonial merupakan proses adaptasi mereka agar mampu bertahan hidup di lingkungan yang jauh dari asalnya”. Dalam perkembangannya, mungkin saja seseorang yang bukan londo dan menginginkan berbagai kebutuhan ruang, lebih mendirikan bangunan berarsitektur Belanda daripada bangunan tradisional Jawa Banyumasan.
Kota Banyumas adalah kota lama yang masih memperlihatkan corak tata kota tradisional Jawa yang ditunjukan dengan keberadaan alun-alun, yakni lapangan terbuka yang pada bagian tengahnya ditanami dengan sepasang pohon beringin. Alun-alun lebih dari lapangan terbuka saja. Ia menjadi semacam pelataran sakral yang mengamsalkan keserasian antara langit yang disimbolkan dengan pohon beringin dan bumi yang disimbolkan dengan pasir halus (Handinoto, 2015). Sebagai sebuah kota yang memiliki sejarah panjang sejak zaman kerajaan-kerajaan nusantara, pola tata ruang pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas menunjukan filosofi kuat antara manusia dan alam. Ada semacam garis lurus imajiner antara gunung (baca: Gunung Slamet); pusat pemerintahan (baca: Pendopo Kabupaten, Kantor Karesidenan) dan laut (baca: Pantai Selatan). Pendopo Kabupaten menghadap ke arah selatan, berseberangan dengan alun-alun, di sebelah barat alun-alun terdapat Masjid Agung Banyumas dan Kampung Kauman Pemerintah kolonial membangun gedung penjara di sebelah timur, antara alun-alun dan pendopo kabupaten.Di antara jalan yang menghubungkan pendopo kabupaten dan kantor residen dibangun gedung Societeit Harmonie, gedung tempat bersosialisasi dan rekreasi bagi kalangan elit di Kota Banyumas.
Dalam amatan Ronald. G Gill, Kota Banyumas adalah wujud tata kota tradisional Jawa yang masih terpelihara dengan baik, bahkan bila dibanding Yogyakarta atau Surakarta. Tata kota Banyumas benar-benar masih murni dan antik, belum ada sentuhan tata kolonial modern yang diperkenalkan oleh arsitek-arsitek pendatang dari Eropa seperti Kotabaru di Yogyakarta dan Villapark di Surakarta (Lihat De Indische Stad op Java en Madoera, 1994). Satu-satunya bangunan Eropa hanyalah rumah Residen dan itupun letaknya jauh di selatan kota, tidak mengganggu tata letak bangunan yang dibangun sebelum kekuasaan pemerintah kolonial. Dalam pada itu, Gill menggolongkan Banyumas ke dalam jenis kota Oud Indisiche Stad, kota indis lama. Kota Oud Indische Stad adalah kota yang memadukan unsur kota tradisional Jawa dengan kota kolonial. Jenis kota Oud Indische Stad muncul pasca pemerintahan kolonial memberlakukan tanam paksa pada tahun 1830an. Untuk mendukung kegiatan eksploitasi, pemerintah kolonial menempatkan pegawai-pegawai kolonial di kota-kota yang sudah lama menjadi kedudukan penguasa lokal.
Ciri dari kota Oud Indische Stad ditandai dengan adanya kediaman bupati dan residen yang letaknya terpisah. Terletak di sebelah utara alun-alun, terdapat kompleks yang disebut kabupaten. Berbeda di masa sekarang dimana sebutan kabupaten merujuk pada satuan wilayah di bawah provinsi, di masa lalu kabupaten juga menjadi sebutan untuk kediaman bupati. Pada era Jawa pra-kolonial, bupati merupakan kepala daerah di wilayahnya sekaligus seorang abdi kepada raja yang lebih senior. Kekuasaan seorang bupati tidak dihitung dari seberapa luas wilayah yang di milikinya, namun dari seberapa banyak rumah tangga atau cacah. Sebagai bentuk “penghormatan” terhadap masyarakat pribumi, pada masa kolonial kedudukan bupati masih dipelihara dengan memasukan mereka ke jajaran birokrasi kolonial. Para bupati diberi wewenang mengatur nasib rakyat kecil seperti halnya penguasa negeri, namun ketundukan mereka yang semula kepada Raja Jawa kini dialihkan kepada Ratu Belanda. Gengsi sebelum era kolonial juga dijaga sebagai cara agar mereka bergantung kepada pemerintah kolonial. Dapat dikatakan, mereka semacam berada di perbatasan antara kepala negeri dan pamong pemerintah (Lombard, 2018). Gemerlapnya jabatan bupati dapat dilihat dari mewahnya kediaman mereka yang menjadi bagian utama tata kota kolonial.

Sekelompok militer Belanda berdiri di sisa lantai Pendapa Si Panji menghadap bekas rumah Bupati Banyumas pada tahun 1947(Sumber : freisfotoarchief.nl)
Banyumas sebagai salah satu kota lama di Jawa menempatkan kediaman penguasa sebagai inti kota. Bangunan ini didirikan pada masa Tumenggung Yudanegara yang bertahta sekira (1708-1743). Perombakan yang senantiasa dilakukan oleh penerusnya menjadikan sulit untuk mengetahui bentuk asli dari bangunan kabupaten banyumas. Kini, bekas kediaman Bupati Banyumas dimanfaatkan sebagai kantor kecamatan Banyumas. Meskipun turun status, namun sisa keagungan Kabupaten Banyumas masih dipertahankan dengan baik. Secara umum, semua kota-kota kolonial memiliki persamaan, yakni fakta bahwa mereka terbagi menjadi dua bagian: pertama, bagian yang berasal dari penduduk/budaya lokal; kedua, bagian yang merupakan hasil dari cipta karya/budaya pendatang/orang asing, karena proses dari imposisi kota yang mereka hasilkan. Oposisi antara belahan campuran & asing ini berakar pada sifat komunitas kolonial yang menekankan, dan karena hal ini, kota-kota kolonial sering kali dikarakterisasikan sebagai duality atau kota ganda.
Lehman (2008) menjabarkan tiga elemen dari penyusunan kota: kraton; ruko; dan Benteng yang mengatur sebuah konfigurasi yang bisa dianggap umum bagi kota-kota kolonial di Indonesia. Kota Banyumas memiliki beberapa kelompok permukiman, antara lain: kauman; kepatihan; kepangeranan; pacinan; dan permukiman Eropa. Kawasan kauman berada di sebelah barat Masjid Nur Sulaiman, sementara kepatihan dan kepangeranan berada di sekitar tempat tinggal patih dan pangeran. Pacinan atau tempat tinggal kelompok masyarakat Tionghoa berada di dekat pasar Banyumas dan Sudagaran. Salah satu rumah bergaya Tionghoa di Sudagaran memperlihatkan serambi depan yang lumayan besar. Pada tahun 1850, jumlah penduduk Tionghoa di Banyumas sudah mencapai 200 jiwa. Dahulu selain berprofesi sebagai pedagang, orang Tionghoa di Banyumas juga menjalankan usaha batik. Sementara itu, orang-orang Eropa tinggal di sepanjang Jalan pengadilan lama mengarah ke Sungai Serayu.
Pemerintah kolonial juga turut memasang benteng-benteng kecil di Kota Banyumas. Pengisahan P. Bleeker (1846): benteng tersebut diperkuat sesudah Perang Jawa karena militer Belanda saat itu sedang menyiapkan strategi pertahanan Pulau Jawa untuk menahan serbuan bangsa asing. Pada 1846, benteng tersebut pernah menjadi markas untuk pasukan Jayeng-Sekar , pasukan keamanan. Kota Banyumas pada 1846 memiliki 26 pasukan Jayeng Sekar. Tujuan pembentukan Jayeng Sekar adalah untuk menyerap penggangguran dari anak-anak elit pribumi yang tidak tertampung dalam birokrasi kolonial dan mengisi kekurangan tenaga keamanan. Mereka diberi pelatihan militer, senjata, dan kuda. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dari satuan kepolisian di masa kolonial. Institusi keamanan kemudian digantikan dengan datasemen velpolitie atau polisi lapangan yang menempati markas di tenggara kota (Verslag BOW 1921-1924).
Peralihan Pusat Pemerintahan: Kota Banyumas- Kota Purwokerto
Pada 1937, di masa pemerintahan Bupati Banyumas, K.P.A.A Gandasoebrata, Ibu Kota Banyumas beralih ke Purwokerto. Peralihan ini berasal dari kebangkrutan pabrik-pabrik gula; lesunya komiditi ekspor perkebunan; geografis Banyumas. Tentang tenggelam dan munculnya kota, saya teringat dengan cerpen Raudal Tanjung Banua “(Hidup) Matinya Sebuah Kota” (Jawa Pos, 15 Juli 2012). Dalam cerpen tersebut Raudal menceritakan bagaimana kota-kota itu memilki biografi, ciri fisik, dan wataknya sendiri. Pendek kata kota itu seperti makhluk hidup, dan karena itu bisa mati. Kiranya pasang-surut, hidup-matinya kota, terjadi sebab beberapa siklus. Penyebabnya beragam. Mulai tangan panjang kekuasaan bertangan panjang yang mencomot setiap jengkal, apakah bedanya? Habisnya sumber daya alam, berubahnya peta dan jalur utama sampai keroposnya kebijakan lokal, mungkin juga bencana yang membuat karam. Tepat 1861 kota Banyumas nyaris ditelan air banjir sungai Serayu. Peristiwa ini galib dikenal hikayat “Blabur Banyumas”.
Konon, kedahsyatan banjir sekira 3,5 meter, dan melibas kawasan Kabupaten dan Pendopo Sipanji. Karena itulah ungkapan yang lazim dalam cerita rakyat “besuk bakal ana bethik mangan manggar” (ikan bethik makan bunga kelapa) Pencandraan banjir Banyumas diabadikan melalui lukisan Raden Saleh berjudul “Eene overstrooming op Java” (suatu banjir di Jawa).

(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:A_Flood_on_Java)
Ekses banjir Banyumas dicatat oleh William Barrington D’Almeida (1861), dalam safari ke Banyumas, Kedu, dan sekitarnya. Konon, banjir berselang pada 21-23 Februari 1861. Dalam lukisan kita melihat: wedana yang meminta bantuan; anak laki-laki dengan sorot mata yang ketakutan; perempuan tua yang memeluk erat leher putranya, dan beberapa orang yang berusaha berenang menyelamatkan diri. Lukisan ini menjadi bukti kedahsayatan banjir sekaligus penanda bahwa Banyumas rawan banjir.
Ibu Kota Banyumas (Kota Banyumas) terpaksa dipindah ke Kota Purwokerto. Kata Purwokerto berasal dari “purwo” yang artinya wiwitan atau asal muasal, dan “kerto” yang artinya kemakmuran, jadi purwokerto: awal; mula kemakmuran. Peralihan ini menjadikan Kota Banyumas menjadi ibu kota kecamatan Banyumas, sedangkan Purwokerto menjadi ibu kota Kabupaten Banyumas sekaligus kota penyanggah (hinterland) bagi Banyumas dengan beberapa alasan sejarah: industri; tempat wisata; sarana transportasi; pabrik dan sebagainya. Kota Banyumas Kota tanpa terminal? Lihatlah bus-bus dari Jawa maupun luar Jawa selalu mencantumkan Purwokerto sebagai trayek utama. Orang rantau akan tahu Purwokerto ketimbang Banyumas. Oleh karenanya, Banyumas menjadi kota kedua yang dirujuk setelah menyebut nama kota “induk”. Tersebutlah Banyumas, ingatan pembaca melayang ke Purwokerto, kota mungil dengan deretan kampus-kampus, yang berlari menjadi kota pelajar. Kampus (swasta dan negeri) banyak bercokol; Lembaga kursus (swasta dan negeri) kian bersemai; ruko-ruko berdesak-desakan. Kota Purwokerto mencipta banyak jalan dan persimpangan. Jalan purwokerto: jalan kecil yang punya hasrat terlalu besar, semua bernafsu tumbuh di sisinya, tak kenal ruang, tak kenal waktu. Meminjam istilah J.J, Helsdingen (1928) : masalah jalan adalah masalah hidup matinya kota.
Begitulah, ada begitu banyak kota yang dulu jaya, kini surut, hilang gema. Kota-kota kecil di Banyumas muncul berebut tumbuh, sebut saja: Ajibarang; Sokaraja; Baturraden; Kota Lama Banyumas. Ajibarang tumbuh dengan jalan-jalan membujur lapang. Kota ini memilki sumber daya alam berupa sawah yang luas, perkebunan, dan tanah yang subur. Kota ini mulai dicaplok industri: pabrik semen. Sokaraja tumbuh manis dengan industri pangan dan sandang. Kota ini juga pernah menyandang kota lukis. Baturraden, kota kecil yang permai, dikelilingi sawah bertingkat, air terjun dan bukit biru. Destinasi wisata tumbuh mekar menghias lanskap Gunung Slamet. Baturraden terasa sejuk meski kerap saya merasa panas sendiri, sebab saya ketahui diam-diam banyak perempuan tebal bergincu berkeliaran. Dan kota lama Banyumas tak hendak menyerah, susah payah menjaga apa yang pantas dijaga. Kota Banyumas menjadi kota kebudayaan. Kota tua dan murung tengah mencari ruh untuk mewartakan diri pada dunia tentang jejak peradaban manusia. Kota Lama Banyumas menjelma kota nostalgia dan utopia. Banyak event kebudayaan dan gedung-gedung sisa kolonial. Inilah hikayat kota lama yang berbagi peran dengan kota kecil yang menjadi penyanggah. Bagaimanapun peran kota lama Banyumas tidak akan terganti, sebab kota lama telah menjadi cerita, legenda, bahkan kenangan. “Kota-kota, seperti halnya mimpi, terjadi karena hasrat dan ketakutan,” kata toko Marco Polo kepada Kublai Khan dalam salah satu kisah ajaib Italo Calvino.
Kota Banyumas menjadi kota kebudayaan. Kota tua dan murung tengah mencari ruh untuk mewartakan diri pada dunia tentang jejak peradaban manusia. Kota Lama Banyumas menjelma kota nostalgia dan utopia. Banyak event kebudayaan dan gedung-gedung sisa kolonial. Inilah hikayat kota lama yang berbagi peran dengan kota kecil yang menjadi penyanggah.
Saya tinggal di Purwokerto, di kota kecil ini semua jalan beraspal, jumlahnya terus bertambah, seperti labirin. Terbaru, terdapat simpangan di jalan kota: Jalan Bung Karno. Simpangan jalan memiliki porsfektif untuk berkembang deretan gedung-gedung, menara, restaurant, tempat publik. Kemudian sawah-sawah diratakan dan ditanam beton dan cor, lalu mencipta gudang kebutuhan dan pusat konsumsi. Saya merasa beruntung tinggal di Purwokerto. Tapi kadang ngelangut sedih teringat banyak area persawahan banyak tercaplok pembangunan.

Jalan Bung Karno dilihat dari Menara Teratai. Sumber: (suara merdeka banyumas.com)

Alun-Alun Purwokerto dan sebuah Mall yang berhadapan. Sumber: (suara merdeka banyumas.com)
Tata bangunan (arsitektur) kota purwokerto cukup indah. Dulu, alun-alun purwokerto terdapat dua beringin kurung yang akarnya terjela-jela. Ada jalan tengah yang membelah alun-alun menjadi: sisi timur dan sisi barat. Kini apa yang tinggal? Pohon beringin kurung sudah ditebang; pondasi alun-alun ditinggikan; jalan tengah alun-alun dihilangkan; dan sebuah mall yang menghadap alun-alun. Bangunan Mall ini, meminjam selarik puisi Chairil Anwar, ia seolah “iseng sendiri”. Kemegahan dan gemerlapnya menandingi gegap gempitanya suasana alun-alun. Pembaruan, seperti biasa. Tapi terutama di zaman kiwari ini, Menyitir Goenawan Mohammad, kaum nouveaux riches (Orang Kaya Baru) telah mengambil alih arsitektur kota. Mereka yang baru saja memperoleh kekayaan; kekuasaan; dan kesempatan, telah merombak apa yang bagi mereka tak memikat lagi. Dan bila keindahan yang mereka coba utarakan itu tidak ada sangkut pautnya dengan keindahan lama, apa mau dikata?
Kota Purwokerto dan berbagai kota di Indonesia mengalami revolusi. Yakni perubahan-perubahan golongan yang berkuasa; ledakan penduduk; uang. Semuanya menghasilkan penjungkirbalikan. Alun-alun sekrang terasa ruang terbuka: sosial dan ekonomi. Sedangkan dulu, ketika saya kecil, alun-alun terasa akan makna spiritual, filosofis, politis, historis dan budaya. Dalam buku “Banyumas: fiksi & fakta sebuah kota” (2013) karya: Abdul Aziz Rasjid; Arif Hidayat; dan Teguh Trianton, kumpulan esai tentang Banyumas: sebagai kota kecil yang cukup unik dan sebagai subkultur Jawa, maka kontestasi penataan alun-alun Purwokerto ditengari sebagai lunturnya karakter wong Banyumas: Bawor. Ikonisitas Bawor mengejawantahkan : Cablaka (transparan); jujur, nrima ing pandum (apa adanya).
Makam Dawuhan : Kisah dan Hikmah
Kembali ke Banyumas,tidak jauh dari Kota Banyumas, di bukit kecil Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas, terdapat kumpulan makam tokoh elit Banyumas (Bupati dan Pejabat Banyumas). Kompleks ini semacam makam Imogiri. Bangunan makam tergolong terawat, mesti tetap rawan dengan pengikisan: iklim. Apa sebenarnya yang harus dipertahankan pada Makam Dawuhan Banyumas? Mungkin kenang-kenangan, sesuatu yang rupanya begitu penting. Manusia adalah makhluk khusus: ia mengingat-ingat. Dihadapannya, kematian menjadi sebuah paradoks: ajal berarti jalan ke keabadian, tapi sekaligus juga ancaman akan ambruknya kenangan. Sementara itu, kita tak mau lupa. Sebab itulah sejarah ditulis.

Foto penulis di Makam Dawuhan. Tepat di belakang Makam Raden Djaka Kahiman, Bupati Pertama Banyumas. Sumber: (Dokumentasi Pribadi)
Apa, misalnya, yang kita ketahui tentang riwayat Makam Dawuhan dan para elit Banyumas? Kita tak tahu apakah rakyat hidup sejahtera di tengah tren zaman dahulu yang feodal. Kita tak tahu bagaimana sehari-hari mereka hidup dan berpikir, bagaimana mereka bebas atau ditindas. Penulis sejarah sebagaimana para wartawan cenderung lebih memilih kejadian yang dramatis dan manusia yang tidak biasa. Pembaca sejarah, umumnya sebagaimana pembaca surat kabar memang lebih menyukai hal seperti itu. Perang dan kejatuhan; kekejaman dan perselisihan; kebejatan dan kesalahan. Lantas orang berkata bahwa dengan mudah sejarah akan bercampur baur dengan dongeng, dan tokoh menjadi mitos. Napoleon bahkan menganggap sejarah hanya sebuah fabel yang disepakati bersama.
Komplek makam bersuasana sepi dan wingit: kita dapat bertanya kepada kasepuhan dan juru kunci tentangnya. Bukan semacam makam yang keramat lagi sakral ; : “Sssst,” peziarah jangan keras-keras bicara. Dan semua diam. Oleh karenanya, jika kita ingin tergetar oleh kisah hidup para tokoh elit banyumas, kita mesti banyak membaca naskah babad; dan tak ketinggalan penuturan dari kasepuhan, kita tak sepatutnya membuat ceritanya berhenti. Jangan nobatkan mereka jadi orang keramat. Orang terkadang ingin menghentikannya tanpa tahu apa yang dilakukannya: orang tak sadar bahwa tokoh mati untuk kedua kalinya dan tak akan hidup lagi ketika ia jadi orang keramat.
Demikianlah asumsi ataukah pretensi saya yang merasa memiliki kota ini (Banyumas dan Purwokerto) karena menjadi bagian komplet dari biografi diri dan keluarga. Tulisan ini semacam sengatan agar pembaca sadar terhadap kota sebagai ruang hidup dan imajinatif. Pengisahan sejarah kota semacam ini memeberi kemungkinan penyelamatan biografi kota ketika tak tergarap dalam studi sejarah, sosiologi, politik, arsitektur atau ekonomi. Setiap tahun Banyumas berulang tahun, tepat di tanggal 22 Februari. Perayaan dihelat dengan meriah dan suka cita. Tapi sejauh mana kita (warga Banyumas) memaknai perayaan tersebut? Saya memaknai dengan beropini. Sebab saya tak ingin disiksa dengan kenangan. Persis yang diucapkan Montaigne: “Orang tersiksa oleh opini mereka tentang hal ikhwal, bukan hal-ikhwal itu sendiri”.
Saya mengenal namanya dari tempat saya kuliah: IAIN Purwokerto yang kemudian bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN SAIZU). Pilihan nama Saifuddin Zuhri menyeruak tanya dalam pikiran saya: siapakah tokoh Saifuddin Zuhri (Selanjutnya Kiai Saifuddin) itu? Apa dalih pemberian nama tersebut pada kampus saya? Pasalnya, nama perguruan tinggi Islam di Indonesia lazim menggunakan nama-nama dari masa silam Islam awal: Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, Alauddin, dan lain-lain. Hingga kemudian, pemberian nama Saifuddin Zuhri membuat saya terbujuk untuk dapat menelusurinya lebih jauh.
Tempo hari, saya menemukan dua buku induk penting tentang Kiai Saifuddin: Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977) & Berangkat dari Pesantren (1987). Buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren merupakan sebuah buku autobiografi yang menceritakan hal ikhwal pesantren dan segenap perjuangannya dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Buku ini ditulis: “Bertujuan untuk membangun pengertian masyarakat terhadap Pondok Pesantren, sebagai sebuah persemaian pendidikan Islam yang merakyat dan sering diartikan oleh masyarakat umum secara salah bahkan hingga penilaian negatif. Buku tersebut sekaligus untuk menggugah kembali rasa hormat kepada guru dan tokoh lainnya yang mendidik semua anak-anak didik dengan perlakuan layaknya anak kandung sendiri”.
Terdapat kisah unik dibalik penulisan dan penerbitan buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Sebagaimana pengakuan Kiai Saifuddin, bahwa penulisan buku tersebut karena disulut oleh Asrul Sani, seorang sastrawan sekaligus politisi dari NU. Asrul Sani mengusulkan agar Kiai Saifuddin sudah kondang di politik “berbuat sesuatu untuk dan atas nama pesantren” dengan cara menulis novel tentang alam pesantren. Mulanya Kiai Saifuddin keberatan, karena tidak pernah menulis novel. Akan tetapi, ia suka menuliskan tentang peri kehidupan orang lain. Seperti halnya saat menulis biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah. Dari diskusi bersama Asrul Sani itu, akhirnya muncullah karya autobiografi yang memotret laku perjalanan hidupnya.
Setelah naskah buku itu selesai, Asrul Sani mengajak Kiai Saifuddin ke penerbit Pustaka Jaya yang digawangi oleh Ajip Rosidi. Kisah lainnya dari seorang Ajip, sebagaimana ditulis dalam autobiografinya “Hidup Tanpa Ijazah (Pustaka Jaya, 2008)”. Menurut Ajip Rosidi, naskah tersebut cukup baik untuk diterbitkan. Hanya saja perlu ada penyuntingan agar bisa dibaca lebih lentur. Sebenarnya Ajip hendak menyunting sendiri, tapi karena ia tidak begitu karib dengan Kiai Saifuddin, lalu menyarankan orang lain untuk melakukannya. Adalah Mahbub Djunaidi, penulis yang karib dengan Kyai Saifuddin, sekaligus mendapat amanah untuk menjadi editor naskahnya. Walhasil, naskah itu pun diserahkan ke Mahbub untuk disunting. Mahbub menyanggupi dan berjanji akan melakukannya dengan cepat. Nahas, seiring berjalannya waktu, Mahbub tak sungguh-sungguh menyerahkan hasil suntingan yang telah diserahkan kepadanya. Setiap ditagih oleh Ajip, selalu berkilah:
“Entar, nggak sabaran bener sih lu. Kalo udah selesai gue anterin.” Naskah itu benar-benar tidak sampai pada Ajip. Ajip begitu kecewa. Terlebih kelakuan Mahbub yang menerbitkan naskah “Guruku Orang-Orang dari Pesantren” pada penerbit yang ia pimpin: Penerbit Al-Ma’arif. Ajip menilai naskah yang diterbitkan tersebut tidak ada bedanya dengan naskah awal dari Kiai Saifuddin. Artinya, tidak ada penyuntingan sama sekali. Saat dikonfirmasi perihal perbuatannya tersebut, Mahbub dengan enteng menjawab, “Pokoknya jadi buku! Dibaca orang! Pengarangnya juga senang bukunya terbit.” Ucapan Mahbub seperti bertuah, buku menjadi best seller. Alhasil buku tersebut ternyata dikoleksi oleh 100 perpustakaan di Jepang. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Kato, Guru Besar Antropologi Universitas Chuo di Tokyo (kemenag.co.id, 15 November 2017). Menurutnya, buku karya Kiai Saifuddin merupakan buku penting bagi para akademisi di Jepang. Kemudian, pembacaan atas warisan-warisan buku Kiai Saifuddin menggoda saya untuk menafsir sekaligus memberi penghormatan dengan cara yang bisa saya lakukan.
Biografi, dan Genealogi Keilmuan Kiai Saifuddin
Kiai Saifuddin lahir 1 Oktober 1919 di Kawedanan, Sokaraja, Banyumas. Perihal tempat kelahirannya, Kiai Saifuddin menulis: “Bangsaku bukanlah cuma penduduk desaku. Tanah airku bukanlah hanya Sokaraja, sebuah kota kawedanan kecil terletak antara Sungai Serayu dan kaki Gunung Slamet. Mungkin tidak akan dijumpai pada peta yang mana pun. Tetapi jika ditarik garis lurus segitiga antara Purwokerto-Purbalingga-Banyumas, pada titik di tengah-tengah itulah terletak kota kecilku”. Kiai Saifuddin lahir dan tumbuh di sebuah keluarga asketik, ialah Mohammad Zuhri dan Siti Saudatun. Ibunya berprofesi sebagai perajin batik, sedangkan ayahnya seorang petani dan kusir delman. Melalui doa, keteladanan, serta hikmah tradisi yang melekat pada kedua orang tuanya, Kiai Saifuddin seperti dipicu untuk melesat dalam semesta “perjalanan” yang menggetarkan. Ibunda Saudatun, kiranya yang meneguhkan perjalanan Kiai Saifuddin. Ibunda berucap: “Jangan mau jadi orang yang sengsara, padahal orang bodoh paling sengsara hidupnya”.
Dengan gemblengan keagamaan yang kuat, Kiai Saifuddin muda menyerap ilmu dari lingkungan keluarga, yaitu para kiai di pesantren. Mula-mula Kiai Saifuddin kecil mengaji pada ayahnya: Mohammad Zuhri. Penjelasan tertuliskan “Aku memang sedikit-sedikit telah mempunyai kepandaian mengaji, tetapi sekedar pelajaran yang diberikan oleh Ayah dan pengajian di surau malam hari. kitab al-Qur’an dan Barzanji sudah aku khatamkan, ditambah kitab Safinah setengah jalan”. Ayah Kiai Saifuddin (Mohammad Zuhri) memiliki genealogi keilmuan yang mumpuni. Konon, Mohammd Zuhri bin Haji Abdurrasyid bin Haji Jakfar pernah menyesap ilmu ke berbagai pesantren: Pondok Bogangin Sumpiuh Banyumas, Ponpes Lirap Kebumen, Ponpes Gunungpring Watucongol Muntilan, dan Pesantren Tremas Pacitan.
Pertautan pesantren Mohammad Zuhri nyantri, konon merupakan simpul jejaring ulama pengikut Diponegoro. Pasalnya, Eyang H. Jakfar (kakek Mohammad Zuhri atau mbah buyut Kiai Saifuddin) merupakan laskar perang Diponegoro dari daerah Bagelen. Kiai Saifuddin juga mengaji ke berbagai kiai di Kauman, Sokaraja-Banyumas, di antaranya Kiai Nahrawi, Ustadz Abdul Fattah, Ustadz Muhajir; Kiai Khudlori. Kemudian guru Kiai Saifuddin lainnya, yakni: Kiai Ilyas, Kiai Khalimi, Kiai Muhammad Dini dari Karangbangkang, Kiai Khoiroji, Kiai Abdul Khalik, Kiai Abu Dzarrin, Kiai Ahmad Syatibi, Kiai Haji Raden Iskandar, Kiai Ahmad Bunyamin Purwokerto, Kiai Zuhdi Rawalo dan Mas Kiai Mursyid.
Santri Lelana
Semasa masih muda, Kiai Saifuddin sibuk mengaji dan ibadah keaksaraan. Ia membentuk diri mulai zaman kolonial hingga orde baru. Membaca majalah dan buku dimaksudkan tindakan keaksaraan religius. Hari demi hari, jumlah buku terus bertambah. Ia khatam dan membagi isi buku melalui percakapan atau tulisan. Di Sokaraja, ia bersama santri dan para guru bergairah mengobrolkan tema-tema imperialisme, kapitalisme, non kooperatif berbarengan dengan diskusi mengenai fa’il, naibul fa’il, anwa’uz zakat, mad wajib muttashil. Pada masanya, Indonesia menapaki zaman pergerakan kemerdekaaan. Di situ ada peran pers. Kiai Saifuddin muda aktif dalam dunia pers dan turut membebaskan bangsa Indonesia. Ia melancong ke Solo untuk menekuni dunia pers sambil sekolah. Debut karier pers Kiai Saifuddin dimulai sebagai staf koresponden surat kabar Pemandangan yang terbit di Jakarta, untuk bertugas meliput berbagai peristiwa, khususnya bidang politik yang terjadi di Solo. Pendidikannya di Solo mangkrak karena tugasnya sebagai seorang wartawan terlalu menyita waktu. Setelah belajar di Manbaul ‘Ulum dan Salafiyah (tidak selesai), ia masih berupaya untuk melanjutkan pendidikannya di Lembaga Pendidikan Al-Islam, tapi tidak selesai juga.
Meskipun secara formal pendidikannya boleh dibilang gagal, tidak ada orang yang meragukan ke-aliman, kecerdasan, keluasan wawasannya, dan tentu saja kecintaanya pada organisasi. Ketekunan dalam dunia pers memungkinkan percakapan dan dialog dengan berbagai pihak. Ia karib dengan tokoh-tokoh Nasional seperti Sukarno, Bung Hatta, Soedirman, KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasbullah dan masih banyak lagi. Kita ingin mengenang Kiai Saifuddin (1939) mendapat surat dari idola: “Begitulah, surat yang aku terima tertulis di bagian si pengirimnya, nama A. Wahid Hasyim, Tebuireng Jombang”. Kiai Saifuddin itu Santri Kelana dalam konteks pengembaraan ilmu. Kesediaanya untuk menempuh perjalanan jauh hanya dengan kendaraan ala kadarnya, sesungguhnya merupakan “tradisi” para santri yang memiliki cita-cita besar untuk melakukan perubahan di tengah umat. Aku sering naik sepeda untuk mengajar di dua madrasah (Purwokerto dan Sokaraja), sedangkan untuk tugas konsul NU aku naik bus. Kiai Saifuddin mengisahkan dalam bukunya yang berjudul “Berangkat dari Pesantren”.
Kesediaanya untuk menempuh perjalanan jauh hanya dengan kendaraan ala kadarnya, sesungguhnya merupakan “tradisi” para santri yang memiliki cita-cita besar untuk melakukan perubahan di tengah umat.
Demikianlah santri kelana, meminjam istilah Gus Dur “Wandering Santris”. Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (2014), jenis santri kelana inilah yang menjadi mediator melawan penjajah. Santri keliling atau santi kelana, seperti ditulis Ensiklopedia NU, menyebarkan informasi dari satu tempat, dan dari satu kiai ke kiai lain, juga dari pesantren ke pesantren. Santri kelana bahkan memimpin perlawanan fisik menghadapi penjajah. Dalam memoarnya ia menulis: “Aku tak bisa lagi lebih lama berada di rumah, karena semakin lama di rumah semakin besar kemungkinan mati konyol menjadi korban sia-sia. Pukul 16.40, rumah kutinggalkan setelah sebelumnya meneliti pistolku, FN 48, yang tinggal berisi empat butir peluru. Pistol itu aku selipkan pada pinggangku….”
Berdakwah dan Berpolitik
Berdakwah dan berpolitik menjadi paket harokah Kiai Saifuddin dalam memahami Islam dan Indonesia. Kita mengingat Kiai Saifuddin adalah jurnalis, sekjen PBNU, anggota parlemen, DPA, pemimpin laskar Hizbullah, dan Menteri Agama. Berbagai predikat dimiliki dengan tumpukan tanggung jawab dan risiko. Ia selalu memajukan Islam dengan dakwah dan memuliakan Indonesia di wilayah kerja-kerja politik. Sekian pengalaman dan pemikiran diwariskan pada kita melalui buku bermutu: Dari Zaman ke Zaman (1947), Agama Unsur Mutlak dalam Nation Building (1965), Almaghfurlah KH. Abdul Wahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972), Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977), Sejarah Kebangkitan Islam da Perkembangannya di Indonesia (1980), Kaleidoskop Politik di Indonesia (1981), dan Berangkat dari Pesantren (1987).
Sosok berpeci “miring” ini mungkin tidak berpikiran bakal menjadi politisi unggul. Foto peci “miring” memiliki masa lalu untuk pengisahan dan penjelasan. Pilihan menaruh peci di kepala menandakan kesungguhan mengenalkan iman, ideologi, dan tradisi. Berpeci mengartikan kemauan “berpolitik” dengan tutup kepala di hadapan kaum penjajah. Di kepala, ide-ide dibiarkan berbarengan tutup kepala. Kita dapat mengingat ia di berbagai kerja-kerja pemuliaan pesantren dan universitas Islam dalam sejarah Indonesia. Kala itu, Kiai Saifuddin ingat gagasan Satiman Wirjosandjojo untuk menginisiasi berdirinya “pesantren luhur” dalam bentuk pendidikan Tinggi. Pada 1962, Kiai Saifuddin menjadi Menteri Agama. Ia menunaikan kerja besar mendirikan IAIN di sekian provinsi. Bermula dari pesantren, Kiai Saifuddin memiliki misi di perguruan tinggi Islam. Ia mengenang: “Sejak pagi-pagi, aku telah membuat tanggul-tanggul agar IAIN tidak menjadi saingan dengan pondok pesantren. Kedua lembaga persemaian dan pendidikan generasi Islam ini mempunyai peranan yang berbeda, tetapi harus saling mengisi. Sistem pesantren tidak mungkin bisa diterapkan dalam IAIN. Sebaliknya, sistem IAIN tidak mungkin pula bisa diterapkan dalam pondok pesantren. Masing-masing mempunyai kekhususan dan identitas yang berbeda, namun tetap keduanya dibutuhkan menjadi kesatuan nilai dalam pendidikan Islam”.
Sosok berpeci “miring” ini mungkin tidak berpikiran bakal menjadi politisi unggul. Foto peci “miring” memiliki masa lalu untuk pengisahan dan penjelasan. Pilihan menaruh peci di kepala menandakan kesungguhan mengenalkan iman, ideologi, dan tradisi. Berpeci mengartikan kemauan “berpolitik” dengan tutup kepala di hadapan kaum penjajah
Lebih jauh lagi, Kiai Saifuddin memandang posisi IAIN menduduki fungsi strategis di bidang ukhuwah Islamiyah. Yakni keinginan agar para Ulama NU, Muhammadiyah, PSII, Perti dan lain-lain duduk sederet menjadi dosen. Kegairahan mendirikan IAIN juga memuat efek politik. Tertuliskan: “Efeknya di bidang politik ialah membendung atau setidak-tidaknya mengimbangi kampanye PKI yang giat membuka “universitas rakyat” di tiap-tiap kota untuk mendidik kader-kader komunis yang Marxis-Leninis-Stalinis-Maois”. Orang-orang pasti lekas mengingat kedongkolan Kiai Saifuddin terhadap kader-kader komunis. Ia berani memprotes penguasa (Ir.Soekarno) yang hendak membubarkan HMI. PKI ingin melenyapkan HMI, siasat dengan memanfaatkan kekuasaan Soekarno. Pengisahan Kiai Saifuddin: “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan kebijakan Bapak. Maka tugas saya sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini…!”
Keteladanan: Kesederhanaan dan Keaksaraan
Puluhan tahun berselang dari kesibukan politik dan birokrasi, Kai Saifuddin memilih menunaikan ibadah keaksaraan. Ia tak perlu lagi menunggu orang lain mengadakan penulisan biografi. Buku autobiografi itu dijuduli “Berangkat dari Pesantren”. Buku tebal, ditulis setelah Kiai Saifuddin rampung menjadi menteri Agama. Buku yang memuat segala hal ihwal Kiai Saifuddin dalam pemuliaan Islam dan Indonesia. Pada masa sesudah rampung menjadi menteri, ia tetap menjadi tokoh terhormat: rajin menulis, menerbitkan buku, dan hidup sederhana. Ingatan menulis: ”Mengetik karangan hingga larut malam, kadang-kadang hingga pukul 03.00 dini hari, tanpa mengenakan baju. Jendela aku buka lebar-lebar. Mengetik sambil mengisap rokok tanpa henti, bisa sampai 20-30 batang. Ditemani oleh setoples kacang goreng dan setermos air es”. Kesederhanaanya semakin terlihat pada akhir 1980-an (purna menjadi Menteri Agama), Kiai Saifuddin memiliki kebiasaan baru yang tak dinyana oleh keluarganya. Selepas shalat dhuha, sekira pukul 09.00, ia keluar rumah, mengendarai mobilnya sendiri. Jelang dhuhur ia kembali ke rumah. Kita kaget bukan kepalang dengan apa yang dilakukan Kiai Saifuddin Zuhri. Rupanya, selepas shalat dhuha, ia pergi ke pusat perdagangan Glodok, Jakarta. Tanpa malu-malu, ia berdagang beras kecil-kecilan.
Ia senang menyandang predikat kolumnis. “Dari kalangan pers dan kepartaian, aku mendapat gelar, “kolumnis”, artinya tukang mengisi kolom (column), ruangan dalam surat kabar”, tulis Kiai Saifuddin. Buku Kiai Saifuddin mengandung peran sebagai pelaku dan saksi sejarah. Hidup sejak zaman kolonial hingga orde baru ditandai dengan kecakapan literasi. Ia mahir mengutip dan mengingat perkataan atau kejadian yang historis. Kita simak catatan historis yang memukau: “Pada tanggal 23-26 Rabiul Akhir 1365 atau 26-29 Maret 1946. Muktamar NU ke-16 berlangsung di Purwokerto. Sebagai Konsul NU Kedu yang berkedudukan di Purworejo, aku tentu saja terpanggil untuk menghadirinya”. Dalam resepsi yang dihadiri oleh Panglima Besar Soedirman, Hadratus Syekh membacakan “Resolusi Jihad ke-2”.
Gus Mus dalam “Sejarah Sosial Pesantren Menurut KH. Saifuddin Zuhri (2016) karya Moh. Slamet Untung”, menilai: “Berbicara tentang budaya tulis menulis di kalangan NU, mungkin Pak Saifuddin Zuhri termasuk, kalau tidak satu-satunya, pengecualian. Beliau bukan saja penulis yang produktif, tapi juga aktif merekam sejarah tentang tokoh-tokoh kiai pesantren. Dari tangan beliau lahir banyak tulisan yang bukan saja sangat bermanfaat bagi NU dan warganya, tapi juga bangsa Indonesia secara umum”.
Dari Kiai Saifuddin, kita semakin mengerti bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah dengan keutamaan para ulama dan santri. Kesungguhan dan keikhlasan berdakwah dan beraksi menebar benih-benih nasionalisme membuktikan ejawantah agama dalam cinta tanah air. Daftar ulama diangkat menjadi pahlawan terus bertambah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, kita menunggu Kiai Saifuddin bakal menjadi Pahlawan Nasional. Mengingat, ia punya segudang aksi demi memuliakan Indonesia. Kembali ke UIN SAIZU (Saifuddin Zuhri), kini penulis menanti pengenalan Kiai Saifuddin berlaku bagi civitas akademika (UIN SAIZU) melalui seminar atau seri diskusi memungkinkan penghormatan jasa. Saya sedikit ragu, buku-buku warisan Kiai Saifuddin terbaca oleh mahasiswa bahkan dosen UIN SAIZU. Semoga ada mahasiswa-mahasiswa UIN SAIZU atau dosen-dosen UIN SAIZU untuk mengingatkan, dan mencuatkan lagi tulisan-tulisan yang mengacu pada Kiai Saifuddin Zuhri, meski tidak harus ilmiah atau dimuat di Jurnal Internasional.
Dari Kiai Saifuddin, kita semakin mengerti bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah dengan keutamaan para ulama dan santri. Kesungguhan dan keikhlasan berdakwah dan beraksi menebar benih-benih nasionalisme membuktikan ejawantah agama dalam cinta tanah air
Editor: Mohammad Hagie
“Bagi kolonial, Islam memunculkan kecurigaan sebagai sebuah kenyataan berbahaya, suatu kekuatan yang mampu dan mungkin akan muncul di mana saja dan kapan saja”
(Nancy. K. Florida, “Jawa-Islam di Masa Kolonial”, 2020)
Politik Haji: Imaji dan Praktik Kolonial
Kolonialisme membutuhkan pengetahuan memadai tentang Islam dan masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan di Hindia Belanda. Imaji kekhawatiran inilah yang menyadarkan kolonial bahwa untuk mengatur tanah jajahan, ternyata tidak hanya membutuhkan tentara dan armada yang kuat, pula pemahaman tentang masyarakatnya. Belanda mengawali penelitian dengan mengerahkan para misionaris, namun hal ini dinilai tidak efektif, mengingat situasi politik masa itu bisa menimbulkan ketegangan dengan pemimpin muslim. Arkian, Pada 1778 VOC menginisiasi berdirinya lembaga penelitian ilmiah pertama di Hindia: Bataviasche Genootschap van Kunsten en Westenschappen. Lembaga ini bergerak dalam bidang ilmu alam sosial dan humaniora. Tujuannya yakni mengadvokasi persoalan pertanian, perdagangan, dan kesejahteraan sosial di Hindia Belanda.
Pada 1851, Belanda kemudian memperluas spektrum kajian perihal penduduk, kebudayaan dan masyarakat Hindia Belanda dalam lembaga Royal Institute of Linguistics, Geography and Ethnology of the Netherlands Indies atau yang sering kita kenal (Koninklijk Instituut Voor Taal- Land En Volkenkunde Van Nederlanch Indie/KITLV) di Leiden. Lembaga ini memberikan hajat pemerintah kolonial, baik akademik maupun praktis dalam mengatur Hindia Belanda. Dalam studi-studi KITLV, Islam dipandang sebagai agama yang berbahaya bagi kepentingan Belanda, dan karenanya mereka takut terhadap Islam (Islamophobia). Oleh sebab itu, Belanda menginginkan agar kekuatan Islam yakni para ulama, distagnasikan dan dikuasai secara politis. Selain mengadopsi Islamophobia, VOC juga sangat takut pada ibadah haji (haji phobia). Untuk yang terakhir ini, Raffles pernah memorandum dalam karya The History of Java-nya, bahwa para gubernur harus hati-hati terhadap “pastor pribumi” (sebutan Raffles untuk para haji). Mereka, para haji dianggap sering memimpin pemberontakan terhadap orang Eropa.
Seorang pegawai Raffles mengatakan bahwa, seorang bupati yang telah meninggal, dua dari sejumlah anaknya sangat tidak layak menggantikannya hanya karena yang satu sudah berhaji dan satu sedang melakukan ibadah berhaji. (Steenbrink, 1984). Raffles bukanlah satu-satunya, dan tidak pula nan perdana yang memiliki kacamata seperti itu terhadap haji. Menurut Jajat Burhanudin dalam bukunya “Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017)”, walaupun sangat dilandasi kepentingan ekonomi, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) memiliki pandangan yang sama, tatkala pada 1664 melarang tiga orang Bugis yang baru pulang dari Makkah untuk mendarat di Hindia Belanda, dengan alasan bahwa “kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang percaya takhayul di daerah ini memiliki konsekuensi yang sangat serius”.
Menurut catatan Henri Chambert-Loir, di tahun 1482, orang Hindia Belanda (Nusantara) telah menunaikan ibadah haji yaitu laksamana Melaka Hang Tuah. Sekitar 1520 disusul Sunan Gunung Jati dan Syekh Yusuf Makassar pada 1650 (data lain, 1644). Pada abad ke-19, dengan mujurnya transportasi laut, menunaikan haji menjadi gejala massa. Dari 1853-1859, pemerintahan Hindia Belanda mendaftar 13.000 peziarah tetap, artinya rata-rata sekitar 2.000 setahun. Pada 1872, kunjungan jemaah haji orang Nusantara, hampir 10.000 peziarah setahun selama musim haji 1880; dan meningkat 11.788 pada 1895; 24.024 pada 1991, pada 1927 mencapai 52.412. Untuk enam tahun yaitu 1914, 1921, 1924, 1927, 1928, 1931, rombongan haji Nusantara 42-50 persen dari total orang naik haji. Jumlah jemaah haji terbanyak berasal dari Nusantara, baik pada masa itu maupun masa kini.
Pada 1825, Belanda berupaya membatasi haji dengan memutuskan bahwa setiap haji, dari Jawa dan Madura, harus membayar 110 gulden untuk paspor haji, yang diwajibkan bagi setiap muslim yang berniat pergi ke Makkah untuk mengambil langkah-langkah yang mempersulit umat muslim membuat paspor haji. Beberapa tahun kemudian, pada 1831, sebuah aturan baru dikeluarkan untuk merevisi Resolusi 1825, bahwa haji tanpa paspor diwajibkan membayar dua kali harga sebuah paspor, fl 220. Peraturan ini tetap berlaku hingga tahun 1859, ketika pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah peraturan (ordonansi) yang menentukan kebijakan haji pemerintah kolonial Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Dalam kaitan ini, di samping mewajibkan biaya tersebut, ordonansi 1859 mewajibkan orang-orang yang ingin berhaji agar memiliki surat keterangan dari bupati, menunjukkan bahwa dia memiliki cukup biaya, baik untuk perjalanan maupun untuk keluarga di rumah yang ditinggalkan. Lebih jauh, ketika kembali, para haji diwajibkan untuk menjalani ujian oleh Bupati, yang dengan dasar itu, mereka diizinkan untuk menggunakan gelar haji dan memakai jenis pakaian haji bergaya Arab (Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19).
Oleh karena itu, pada 1872 Belanda mendirikan sebuah konsulat di Jeddah, untuk menambah informasi yang telah mereka peroleh melalui surat keterangan para bupati, dan lamat-lamat meningkatkan kontrol mereka atas para haji di negeri jajahan. Rasa takut terhadap bahaya politik haji meningkat secara signifikan di antara para pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian melahirkan orientasi baru dalam kebijakan kolonial terhadap Islam. Sehingga, orientasi anyar ini ditautkan dengan karir intelektual seseorang, saat ia datang untuk mempelajari komunitas Jawi di Makkah: Christian Snouck Hurgronje.
Rasa takut terhadap bahaya politik haji meningkat secara signifikan di antara para pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian melahirkan orientasi baru dalam kebijakan kolonial terhadap Islam. Sehingga, orientasi anyar ini ditautkan dengan karir intelektual seseorang, saat ia datang untuk mempelajari komunitas Jawi di Makkah: Christian Snouck Hurgronje.
Snouck Hurgronje dan Politik Haji
Christian Snouck Hurgronje, demikian nama lengkapnya, dilahirkan dari pasangan Jacob Julianus dan Anna Maria De Visser. Snouck lahir pada Minggu, 8 Februari 1857, di kota Oosterhout, Provinsi Noord Brabant. Keluarga dari garis keturunan ayahnya seorang terpelajar dan dikenal sebagai teolog serta pendeta. Studi setingkat SMA ditempuh Snouck di lembaga Rijks Hogere Burger School (RHBS) di Breda. Lulus dari RHBS, ia mempersiapkan jenjang pendidikan di Universitas Leiden. Untuk persiapan ke Leiden, Snouck berkonsultasi dengan Abraham Kuenen, teolog dan peneliti Alkitab. Snouck menjadi salah satu dari 62 orang yang dinyatakan lulus untuk studi di Universitas Leiden. Di Leiden inilah jaring-jaring intelektual Snouck berkembang. Bersama dengan teman kuliahnya, Herman Bavinck, Snouck mereguk dunia akademisi. Pada pusat studi Leiden ini pula Snouck menemukan mentor yang makin mengasah kemampuannya mengkaji Islam dan kebudayaan Semit yakni Michael De Goeje. Kuliah yang disampaikan De Goeje menjadi inspirasi bagi Snouck memantapkan pilihan sebagai intelektual.
Pada tanggal 21 September 1878 Snouck berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dengan disertasi yang mengetengahkan ritual ibadah haji di Mekkah, “Het Mekkaansche feest” (perayaan Mekkah) pada usia 23 tahun, tapi belum pernah ke Mekkah. Disertasi Snouck memesona Konsul Jenderal Belanda di Jeddah Johannes Adrianus Kruijt untuk membantunya. Kruijt menyampaikan bahwa pelaksanaan ibadah haji oleh jamaah haji Hindia Belanda dengan jemaah lainnya berdampak pada dinamika perkembangan politik di Hindia Belanda (Wim Van den Doel, 2023). J.A. Kruij meminta bantuan Snouck untuk meneliti jamaah haji asal jajahan Belanda. Sebelum berangkat ke Jeddah, Snouck telah membaca penelitian pendahulunya Brooshooft, tentang politik haji yang dimuat di harian De Locomotief. Brooshooft menumangkan ekskalasi bilangan jamaah haji asal Indonesia setiap tahunnya.
Pada 1884, Snouck berangkat ke Jeddah mengemban misi senyap-senyap dari negerinya, Belanda. Setiba di pelabuhan Jeddah, ia tidak langsung masuk ke tanah suci. Ia melancarkan observasi dan pengkodifikasi sebagai bahan informasi yang penting disampaikan kepada atasannya. Di Jeddah, Snouck membangun korespondensi dengan seorang dokter, Abu Sa’d Kamaran yang bertugas di dinas kebersihan Laut Merah. Kantor ini di bawah pengawasan badan internasional, Dewan Tinggi Kebersihan yang berkedudukan di Konstantinopel. Pejabat kedinasan ini bertugas mencatat dan mengawasi lalu lintas orang, termasuk memeriksa kesehatan dan melakukan karantina orang-orang yang bermasalah kesehatan. Melalui pengamatan yang jeli dan serius, Snouck menemukan celah kebobrokan berupa banyak petugas kedinasan yang kerja tak serius. Ditambah pula, keadaan yang tidak kondusif setiap musim haji yakni “persekongkolan” antara syarif Mekkah-Madinah dengan para ketua suku Badui di satu sisi, dan di sisi lain antara Syarif Mekkah sebagai wakil penguasa Turki Utsmani dengan orang-orang Barat.
Persekongkolan itu terkait dengan tarik-menarik kepentingan dalam setiap penyelenggaraan haji pada masa itu. Dalam situasi seperti itulah, Snouck membaca peluang untuk dapat masuk lebih dekat ke dalam wilayah tanah suci. Dengan mengubah nama menjadi Abdul Ghoffar, Snouck menyaru menjadi muallaf dan dapat masuk ke wilayah yang paling dianggap sakral oleh umat Islam. Bukan itu saja, bak pemimpin besar Snouck diantar dan dipersilakan masuk ke dalam Ka’bah oleh Syarif Mekkah. Semenjak itu, Snouck mulai leluasa menjalankan operasi rahasia di Mekkah. Narasi inilah yang luput dari sejarah, beruntung saya jumpai tulisan Sartono Kartodirdjo di harian Kompas Minggu (3/1/1982) “Surat dari Wassenaar”. Dalam tulisan tersebut Sartono Kartodirdjo menyitir berbagai kritik yang dilancarakan oleh para sarjana Leiden terhadap Snouck, di antaranya Van Koningsveld. Menurutnya, kerja-kerja Snouck lebih tepat dengan istilah “spionase” (mata-mata) bahkan mungkin sebagai “counter-insurgency” (upaya militer dan sipil meredam pemberontakan).
Berdasarkan amatan intelijen Snouck, jamaah haji Nusantara dapat diklasifikasikan menjadi 4 macam golongan muslim: kaya; biasa; berilmu; awam. Muslim kaya adalah para priyayi, para raja, kepala daerah di luar Jawa, para pangreh praja dan pensiunan pegawai di Jawa yang berhasil mengumpulkan tabungannya, serta para saudagar kaya dari pelosok negeri. Muslim biasa adalah para petani dan pegawai biasa yang jarang menabung, namun memiliki mimpi yang kuat untuk menunaikan haji. Tidak jarang mereka memaksakan diri untuk menjual sawah, rumah, barang berharga, dan hewan ternak mereka untuk biaya menunaikan haji. Muslim berilmu adalah mereka yang menurut Snouck disebut santri-santri Nusantara di Mekkah, berhaji sambil menimba ilmu kepada para ulama Hijaz, maupun ulama asal Indonesia. Sedangkan muslim awam adalah mereka yang menunaikan haji dalam rangka menggugurkan rukun Islam ke-5.
Pada tahun 1885, tercatat Snouck pernah menghadiri halaqah yang diadakan di kediaman Syekh Nawawi al-Bantani. Hal itu ia telurkan dalam catatannya berjudul, “Mecca in the Latter Part of 19th Century”. Diceritakan oleh Snouck bahwa halaqah itu dihadiri lebih dari 200 orang, secara rutin baik di waktu pagi, siang, maupun malam. Syekh Nawawi yang ditemui setelah beberapa hari merampungkan karyanya, Tafsir Munir atau dikenal pula dengan Marah Labid, dicandrakan Snouck sebagai sosok ulama yang sangat asketis. Kepribadian dan penampilannya merepresentasikan sosok orang-orang Nusantara pada umumnya yang sedang menunaikan haji. Dalam halaqah itu, Syekh Nawawi sendiri yang memimpin forum itu dengan bahasa pengantar terkadang menggunakan bahasa Arab, Melayu, dan Jawa. Di tengah keintimannya mengemban misi, Snouck terpaksa hengkang dari Hijaz lantaran dituding terlibat skandal pembunuhan orientalis Perancis, Charles Hubber. Pada 1 September 1885, ia kembali ke Leiden dan mengajar di Institut Pendidikan Pegawai Pemerintahan di Hindia Belanda, sebelum ia memutuskan ke Hindia Belanda yang memikatnya lewat kabar di media massa.
Snouck Pergi Ke Hindia Belanda
Pada Tahun 1889, Snouck mendapat mandat dari pemerintah Belanda untuk meneliti Aceh. Kemudian tepat pada 23 Mei 1892 ia menyampaikan laporan berjudul “Verslag omtrent de religieus politieke toestanden Aceh” (Laporan tentang situasi politik agama di Aceh) kepada Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk. Laporan tersebut ada empat buah jilid: dua jilid pertama (uraian tentang alam dan bangsa dan tokoh-tokoh yang penting), dinotulen menjadi buku “De Atjehers” yang terdiri dari dua jilid, yang terbit pada tahun 1893-1894 pada penerbitan pemerintah kolonial Belanda. “De Atjehers” ini merupakan telaah antropologi budaya lengkap yang meliputi segalanya, yang belum ada duanya dilakukan mengenai bagian Hindia Belanda mana pun. Namun, karya “De Atjehers” hanya berisi tentang Islam pada saat Islam lahir, tidak ada dalam kemunduran dan beberapa fakta-fakta keterbelakangan yang berkembang di kalangan umat Islam.
Di Hindia Belanda, Snouck tak hanya pergi ke Aceh. Pada Maret 1889, Ia ke Batavia (Jakarta) mengemban tugas meneliti Islam di Jawa. Di Jawa, Snouck melakukan perjalanan keliling Jawa dari Batavia-Weltevreden ke Buitenzorg (Bogor) lalu Sukabumi, Garut menuju Galuh (Ciamis), Cirebon, Tegal, Pekalongan, Purbalingga, Kebumen, Purworejo, Banyumas, dan Wonosobo. Terkait strategi soal menjinakkan Hindia Belanda, Snouck menyarankan penerapan politik asosiasi bagi elite Indonesia, menghidupkan kembali pengaruh kelompok tradisional dan hukum adat setempat bersanding dengan hukum Islam dan pemisahan kaum ulama, meniadakan ruang politik dalam domain kehidupan beragama (Islam). Menyangkut strategi politik Snouck, dalam tulisan ini saya memfokuskan pada keturunan Arab.
Adalah Hamid Algadri, seorang Warga Negara Indonesia berdarah Arab menuliskan perihal politik kolonial terhadap keturunan Arab dengan judul “C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab”. Buku tersebut menjadi pemantik saya untuk menulis artikel ini. Dalam kumpulan tulisan itu, Hamid Algadri mencoba mencatat sejarah politik Islam Belanda dengan sejarah keturunan Arab yang acapkali “tenggelam” dalam narasi sejarah Indonesia. Keturunan Arab boleh dikatakan mendapat perhatian khusus oleh Snouck selaku Islamolog. Menyitir Kevin W Fogg dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia: “Mencari Arab, Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck tentang Hindia Belanda (2017)” menyatakan bahwa Snouck menggunakan kacamata Arab untuk studi Islam di Hindia Belanda. Hidup di tanah jajahan dalam waktu lama tak sanggup menghilangan kecenderungan kiblat menilai Islam melulu dari Arab.
Cara itu mengakibatkan konklusi: Islam di tanah jajahan itu “rendahan” atau “ternoda” jika ditilik dari terapan ajaran-ajaran Islam di Arab. Snouck sengaja abai atau “menghilangkan” harmoni Islam dan lokalitas di Hindia Belanda. Di mata Penasehat Urusan Pribumi, Islam harus berstandar Arab. Jika dahulu politik Belanda berusaha memisahkan antara kaum priyayi dan kaum kiai, maka di paruh akhir abad 18 Belanda mempolarisasi terhadap keturunan Arab. Di mata kolonial, keturunan Arab menjadi sebuah ancaman hingga dinyatakan dalam kolonial verslag: “Orang Cina mengganggu perkembangan ekonomi yang sehat di Pulau Jawa, tetapi orang Arab mengganggu keamanan, menimbulkan kerusuhan”. Oleh karenanya aktivitas mereka mesti dibatasi dengan seksama.
Snouck sengaja abai atau “menghilangkan” harmoni Islam dan lokalitas di Hindia Belanda. Di mata Penasehat Urusan Pribumi, Islam harus berstandar Arab. Jika dahulu politik Belanda berusaha memisahkan antara kaum priyayi dan kaum kiai, maka di paruh akhir abad 18 Belanda mempolarisasi terhadap keturunan Arab.
Snouck dan Othman Ibn Yahya
Snouck memulai politik terhadap keturunan Arab dengan bersahabat: Othman Ibn Yahya (Sayid Utsman). Seorang ulama bergelar “Sayid” yang memiliki genealogical chart (silsilah keluarga) yang terhubung dalam mata rantai keturunan Nabi Muhammad. Ia dihormati khalayak ramai sekaligus memiliki kedudukan sosial tinggi. Snouck menerapkan politik ini, setelah ia membaca tulisannya Lois Rinn, seorang Perancis, yang berjudul “Marabouts et Khovan”. Dalam buku tersebut mengisahkan bagaimana Perancis menaklukan Aljazair dengan cara berteman dengan suatu tarikat untuk menghadapi tarekat lain yang memusuhi Perancis. Semacam taktik devide et empire (pecah belah). Othman Ibn Yahya merupakan ulama penentang tarekat, utamanya Naqsabandiyah, yang acap kali menentang pemerintah kolonial.
Perihal pertentangan dengan ulama tarekat terekam dalam perdebatan sengit antara dirinya dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Bermula dari Syekh Abdul Shamad Palembang yang mendirikan masjid baru pasca dibakarnya masjid Kesultanan. Masjid itu menjadi kegiatan intelektual dan digunakan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Pada saat itu juga Belanda juga tengah membangun masjid untuk Kesultanan Palembang. Belanda tentu saja khawatir dengan aktivitas tersebut. Oleh karenanya, Belanda pada 1893 meminta Othman Ibn Yahya (Mufti Betawi) itu mengeluarkan fatwa bahwa shalat jumat di “masjidnya” Syekh Abdul Shamad tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan, karena sejatinya di satu kota hanya boleh dilaksanakan shalat jumat di satu masjid saja. Syekh Abdul Shamad lantas berkorespondensi kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Korespondensi tersebut berbalas sebuah kitab berjudul “Shulhul Jama’atain bi Jawaz Ta’addudil Jum’atain” yang ditulis langsung oleh Syekh Ahmad Khotib. Kitab ini menjadi semacam hukum otoritatif fiqih di Nusantara, sekaligus meruntuhkan “reputasi dan wibawa” Mufti Betawi. Tak tinggal diam, Othman Ibn Yahya kemudian menulis kitab susulan berisi tanggapan atas tanggapan dengan judul: Tabyinul Khati’atain Fi Shulhil Jama’atain. Melalui kitab ini, Othman Ibn Yahya mengudara kekeliruan pandangan dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabu dalam karyanya, Shulhul Jama’atain. Snouck memberi jabatan kepada Othman Ibn Yahya sebagai mufti urusan-urusan pribumi. Dalam beberapa tahun masa jabatannya sebagai mufti kolonial, reputasi keulamaan Sayid Usman tetap dipertaruhkan dan terbukti sukses dalam banyak hal meredam berbagai aktivisme politik umat muslim yang merongrong pemerintah Hindia Belanda.
Dalam beberapa tahun masa jabatannya sebagai mufti kolonial, reputasi keulamaan Sayid Usman tetap dipertaruhkan dan terbukti sukses dalam banyak hal meredam berbagai aktivisme politik umat muslim yang merongrong pemerintah Hindia Belanda.
Keberadaan Sayid Utsman dalam lingkaran politik kolonial, semata-mata agar dirinya dapat memberi pengaruh baik, terutama dalam soal kebijakan-kebijakan keagamaan Islam di Indonesia. Paling tidak, Sayid Utsman menjadi peletak dasar utama dalam pembentukan lembaga pengadilan agama di Indonesia yang melepaskan diri dari pengadilan tata negara yang lebih umum. Pengaruh Sayid Utsman dalam pembentukan lembaga peradilan agama ini, diwujudkan dalam suatu karyanya berjudul, “Kitab al-Qawanin al-Syar’iyyah li ahl al-Majalis al-Hukmiyyah wa al-Ifta’iyyah” (Buku aturan hukum Islam bagi staf dewan pengadilan dan penasehat) yang selanjutnya menjadi buku standar bagi para hakim pada Peradilan Agama di Indonesia. Dalam penelitian Dr. P.S. van Koningsveld yang dimuat Harian Kompas (tanggal 16 Januari dan 6 Februari 1983), Snouck juga menggaet pribumi lainnya untuk berkoresponden, di antaranya adalah Abu bakar Djajadiningrat dan Haji Mustafa.
Snouck dan Pan Islamisme
Kepada keturunan Arab, Snouck menerapkan strategi politik passen-stelsel dan wijken-stelsel, yakni kebijakan kolonial yang berusaha membatasi kegiatan para keturunan Arab. Sebuah upaya Snouck untuk menghentikan imigrasi Arab Hadramaut (Orang Hadhrami) yang tak terbendung. Ancaman nyata kolonial terhadap keturunan Arab adalah Pan Islamisme. Menyitir dalam buku Ensiklopedia Islam terbitan Departemen Agama bahwa Pan Islamisme memiliki tiga pengertian: Pertama, penentang secara umum terhadap kolonialisme Barat dengan berbasis Islam dan umat Islam di setiap daerah koloni; Kedua, alat yang digunakan Sultan Turki Utsmani Abdul Hamid II (1876-1909) untuk mempertahankan dan mengembangkan pengaruh kekuasaan Turki Utsmani atas dunia Islam; Ketiga, usaha membangkitkan kembali sistem kekhalifahan pasca keruntuhan Khilafah Utsmaniyyah tahun 1924.
Kesultanan Turki juga membuat Konsulat Jendral di Batavia sebagai wakil kekuasaan yang akan menolong dan mewujudkan keinginan mereka, sekalipun hal itu tidak dikehendaki oleh para penguasa negeri ini. Akan tetapi, gerakan Pan Islamisme mereda seturut kalahnya Turki di perang dunia I. Dengan demikian politik Snouck untuk membendung imigrasi keturunan Arab Hadramaut tercapai oleh keadaan perang dunia I.
Diaspora Keturunan Arab
Para keturunan Arab atau orang-orang Hadhrami adalah kelompok minoritas di negeri ini, tetapi mereka memiliki peran yang sangat besar (dominant minorities) dalam berbagai bidang. Istilah Hadhrami atau Hadharim dinisbatkan kepada tanah leluhur mereka di Hadhramaut, Yaman. Menilik analisis para pengamat dan sejarawan, orang hadhrami hadir sejak sebelum bangsa ini merdeka. Tidak sedikit pengamat politik menilai, bahwa peran keturunan Arab dalam membentuk nilai-nilai kebangsaan jauh lebih besar daripada kelompok etnis lainnya. Salah satu epos kisah tentang orang Hadhrami yang berkesan hingga Belanda memperingati jasanya ialah Sayid Abdullah Mohammad Boestam. Ia hidup sekira paruh awal abad ke-17. Ia memiliki ayah bernama Sayid Husen, dan acapkali karib dengan sebutan Wangsa Naya, dan Ibunya, adalah seorang cucu wanita Raja Mataram II (Hamid Algadri, 1984).
Sayid Boestam sebagaimana dijelaskan dalam Herinneringen van Kiai Bustam alias Kertoboso adalah orang yang berjasa dalam meredam konflik antara Mangkubumi dengan Belanda, sekaligus ia yang mencetuskan gagasan adanya kerajaan Surakarta dan Yogyakarta (Kijai Bustam, De Kern, Collectie No 355). Kajian ilmiah mengenai Hadhrami sebagai sebuah kelompok sosial sangat minim di Indonesia. Kita acapkali menjadikan karya-karya klasik Belanda sebagai karya yang otoritatif semacam karya Huub de Jonge, Raffles, L.W.C. Van den Berg, Nico J Kaptein, Snouck, hingga Natalie Kesheh. Sementara karya klasik Belanda tersebut syarat dengan kesan negatif dan intrik orientalisme. Memang sangat diperlukan sebuah pembacaan kritis baru atas narasi sejarah kita terutama berkait para keturunan Arab, karena merupakan realitas minoritas yang terberi yang bagaimanapun punya sumbangsih dalam membentuk semacam diaspora keragaman ke-Indonesiaan (dan tentu saja juga harus diikuti pembacaan sejenis atas etnis-etnis lain yang akan membantu pembacaan realitas keragaman yang mengukuhkan).
Wallahu a’lam.
Editor: Mohammad Hagie
Dewasa ini, membaca perihal ke-jawaan menjadi suatu ihwal yang saya gandrungi. Entah karena dorongan apa yang membuat saya begitu tertarik pada ihwal ke-jawaan tersebut. Terlebih setelah perjumpaan saya dengan buku karya Irfan Afifi berjudul Saya, Jawa, dan Islam. Usai membacanya, saya cukup gandrung pada buku-buku ihwal ke-jawaan. Kegandrungan itu menggulirkan saya pada perjumpaan buku ke-jawaan lain berjudul Muhammadiyah Jawa (2010) karya Ahmad Najib Burhani, seorang intelektual muda Muhammadiyah lulusan University of Leiden Belanda. Buku tersebut merupakan karya disertasi dengan judul asli The Muhammadiyah’s attitude to Javanese Culture in 1912-1930.
Disertasi yang telah diterbitkan menjadi buku ini bagi saya cukup fantastis. Dalam pengantarnya, Najib Burhani secara eksplisit melakukan Validasi kepada pembaca bahwa Muhammadiyah adalah representasi Islam Jawa. Saya cukup terkejut dengan argumentasi tersebut, sebab sebagaimana yang kita mafhumi, sejak awal berdirinya, Muhammadiyah terkesan sebagai gerakan reformis Islam, purifikasi, dan berjarak dengan budaya Jawa. Muhammadiyah terlihat ingin memurnikan Islam dari berbagai pengaruh budaya yang diselimuti Takhayul, Bid’ah, Churofat (TBC). Melalui buku Muhammadiyah Jawa, Najib Burhani berusaha mencampakkan stigma puritanistik Muhammadiyah yang vis a vis (menghadap-hadapkan) dengan kebudayaan dalam hal ini Jawa.
Untuk membuktikan ke-jawaan pada Muhammadiyah, Najib Burhani menyuguhkan dua proses penting di Jawa, yaitu Islamisasi dan Jawanisasi. Kedua entitas yang saling berkelindan memberi pengaruh dan sumbangsih nilai dalam dirinya sendiri. Sikap Muhammadiyah di awal berdirinya tampak merepresentasi Islam Jawa. Pertama, adanya simbol busana Jawa yang digunakan oleh para tokoh Muhammadiyah. Dalam hal ini, para pendiri Muhammadiyah di masa awal memperlihatkan ketertarikan pada pilihan dan gaya berpakaian orang Jawa. Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo tahun 1929, merupakan salah satu contoh yang memperlihatkan itu. Para tokoh Muhammadiyah menggunakan pakaian Jawa, lengkap dengan aksesoris keris, beskap, blangkon, dan kain batik. Politik busana para tokoh Muhammadiyah itu seolah mengontraskan busana para tokoh Nahdlatul Ulama yang lebih memilih busana bernuansa Arab.
Kedua, penggunaan bahasa Jawa sebagai identitas. Dalam hal publikasi: Muhammadiyah menerjemahkan al-Qur’an ke Bahasa Jawa, Muhammadiyah memiliki terbitan-terbitan beraksara Jawa seperti Pepadhanging Moehammadijah, dan Soengoeting Moehammadijah. Dalam hal ibadah: KH. Ahmad membolehkan orang menggunakan Bahasa Jawa dalam shalat dan khotbah jum’at (Tanfidz Hoofdbestuur Moehammadijah: Boeah Congres Moehammadijah XXIII, h. 20). Ketiga, adanya seperangkat perilaku, nama, dan keanggotaan yang beridentitaskan Jawa. Kemudian dalam bersikap terhadap tradisi Jawa, KH Ahmad Dahlan merupakan seorang priyayi sekaligus abdi dalem keraton Yogyakarta. Meskipun KH Ahmad Dahlan menjadi abdi dalem santri, namun tetap mampu bersikap akomodatif dan toleran terhadap adat dan tradisi yang telah ada di keraton. Salah satu bukti perilaku Muhammadiyah mengapresiasi budaya Jawa adalah sikapnya terhadap grebeg. Beriring dengan itu, Muhammadiyah di masa awal pernah menggunakan kalender Jawa (tahun Saka), bersamaan dengan kalender Arab (Hijriyah) dan Gregoria (Masehi) dalam surat dan laporan-laporan.
Meskipun KH Ahmad Dahlan menjadi abdi dalem santri, namun tetap mampu bersikap akomodatif dan toleran terhadap adat dan tradisi yang telah ada di keraton. Salah satu bukti perilaku Muhammadiyah mengapresiasi budaya Jawa adalah sikapnya terhadap grebeg.
Para tokoh Muhammadiyah masa awal banyak yang beridentitaskan nama Jawa, seperti Djojotaruno dan lain sebagainya. Para tokoh Muhammadiyah masa awal pun memiliki hubungan harmonis dengan Boedi Oetomo. Hal ini dianalisis oleh Najib Burhani sebagai indikasi kuat bahwa persekutuan Muhammadiyah adalah bentuk apresiasi dan dukungan gerakan reformis Islam terhadap identitas Jawa. Pada tahap selanjutnya, Najib Burhani menuliskan perihal pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap identitas Jawa yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal merupakan perubahan sikap Muhammadiyah masa awal. Pertama, sejak dominasi ulama dari Minangkabau, terutama sejak Haji Rasul (ayah Buya Hamka). Ia merupakan ulama puritan yang rajin melancarkan gerakan reformis Islam di Minangkabau. Haji Rasul tanpa ampun menolak segala hal yang beraroma TBC. Haji Rasul masuk Muhammadiyah tahun 1925 saat berkunjung ke Pulau Jawa (lihat karya Buya Hamka berjudul Ayahku). Menurut Najib Burhani, kehadiran Haji Rasul menyebabkan pergeseran orientasi Muhammadiyah dari spirit pembaruan sosial ke pembaruan ritual semata. Apa yang dipropagandakan oleh Haji Rasul hanyalah fanatisme dan revivalisme kaku. Lalu peran intelektual dan puritan Haji Rasul merembes ke seluruh tubuh struktur Muhammadiyah. H.M. Federspiel mengungkapkan “….. upaya mengenyahkan Bid’ah dan Churafat diberi perhatian lebih, tampaknya karena minat pimpinan baru dan ekspansi gerakan ini ke Sumatera di saat muslim modernis telah membahas masalah ini. Selain itu, pada masa itu masalah-masalah nyata menyangkut Bid’ah, yaitu perubahan dalam ritual yang dibenarkan dan menjadi terkenal di Jawa.”
Kedua, pendirian Majelis Tarjih yang secara formal diresmikan pada Kongres Muhammadiyah ke-7 di Yogyakarta tahun 1928. Mulanya, majelis tersebut didirikan guna menangani masalah-masalah ikhtilafiyah (perbedaan), seperti: wajib/fardhu, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Namun, menurut Najib Burhan menganggap bahwa Majelis Tarjih mengindikasikan pergeseran Muhammadiyah dari gagasan modernisasi (pendidikan dan sosial), ke gagasan purifikasi (pemurnian). Pergeseran Muhammadiyah mendapat kritik pedas dari Soekarno, Ia mengatakan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan modernisme Islam tampak menjadi ambigu. Pada satu sisi Muhammadiyah benar-benar menganjurkan merujuk ortodoksi Islam (al-Qur’an dan Hadis) serta menolak untuk mengikuti mazhab. Namun, pada sisi lain, muhammadiyah ambigu dalam metode memahami dua sumber ortodoksi Islam, yakni tekstual atau skriptual. Kerja-kerja purifikasi Majelis Tarjih inilah yang lambat laun menghilangkan identitas Jawa dan kecenderungan pada dunia Arab.
Paparan lebih lanjut Najib Burhani, mengungkapkan bahwa faktor eksternal telah menggeser sikap Muhammadiyah. Pertama, kemenangan Wahabi di Arab Saudi tahun 1924 yang disambut dengan suka cita oleh sebagian anggota Muhammadiyah. Julukan atau ejekan “Wahabi indonesia” kepada Muhammadiyah direspon oleh anggota Muhammadiyah layaknya sebuah penghormatan. Pengejawantahan ini tercermin dari sambutan yang dilakukan oleh orang-orang Borneo (Kalimantan) pada Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin tahun 1932. Namun, tuduhan Muhammadiyah adalah Wahabi dianulir oleh Muarif, yaitu seorang pengkaji sejarah Muhammadiyah. Kedua, berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Ketiga, kebijakan kolonial yang memisahkan dan vis-a-vis (menghadap-hadapkan) Islam dan adat. Menurut Najib Burhani, kebijakan tersebut merupakan akal bulus kolonial dalam upaya menjinakkan Islam. Di kemudian hari, Muhammadiyah melalui Kongres Muhammadiyah ke-22 tahun 1933 di Semarang, melakukan ultimatum perang terhadap adat.
Dengan membaca buku Muhammadiyah Jawa karya Ahmad Najib Burhani, pembaca dapat memahami bahwa sebetulnya ideologi keagamaan Muhammadiyah terkonstruksi oleh dimensi-dimensi etis dan kultural yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, khususnya di awal dekade pertama pendirian persyarikatan (sekitar tahun 1912-1927). Sungguhpun begitu, argumentasi Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa perlu ditangguhkan dan perlu ditelaah lebih lanjut. Adapun tinjauan sejawat (kritik) mengenai buku Muhammadiyah Jawa, yang bagi saya cukup rinci ditulis oleh Muhammad Khoirul Fata dalam skripsinya berjudul “Kritik Gagasan Muhammadiyah Jawa: Studi Literatur dalam Buku Muhammadiyah Jawa (2017).
Sungguhpun begitu, argumentasi Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa perlu ditangguhkan dan perlu ditelaah lebih lanjut. Adapun tinjauan sejawat (kritik) mengenai buku Muhammadiyah Jawa, yang bagi saya cukup rinci ditulis oleh Muhammad Khoirul Fata dalam skripsinya berjudul “Kritik Gagasan Muhammadiyah Jawa: Studi Literatur dalam Buku Muhammadiyah Jawa (2017).
Dalam karya skripsi tersebut, Khoirul Fata menganulir perihal tesis Muhammadiyah Jawa yang menempatkannya sebagai representasi Islam Jawa. Karena pada mulanya, tesis Najib Burhani tidak mendasarkan kepada sejarah kelahiran Muhammadiyah yang ingin mendambakan otentisitas Islam dengan merujuk hanya kepada Al-Quran dan Hadis. Tesis tersebut membatasi pada relasi-relasi, dan sikap-sikap, sebagaimana diterangkan secara eksplisit sejak awal buku itu ditulis. Namun begitu, tinjauan yang dilakukan oleh Khoirul Fata mampu memberikan sudut pandang baru terhadap pembaca dalam menelisik nalar-nalar yang mengerumuni cara berpikir Najib Burhani dalam mengkaji Muhammadiyah dan para pendirinya.
Tulisan Khoirul Fata menginterupsi gagasan Najib Burhani mengenai Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa. Menurutnya, sikap Muhammadiyah yang dinarasikan Najib Burhani tidak lain sebagai sikap tebang pilih terhadap Budaya Jawa. Pertama, sikap apresiatif Muhammadiyah terhadap budaya Jawa hanya sebatas surface culture (budaya permukaaan, seperti: busana, bahasa, nama, dan identitas), dan hal tersebut tidak berpretensi bahwa Muhammadiyah benar-benar apresiatif terhadap deep culture. Hal itu disebabkan Muhammadiyah memiliki semangat untuk merasionalisasikan dan modern atas deep culture Kebudayaan Jawa. Alasan Najib Burhani memilih surface culture, karena berangkat dari kebudayaan yang selalu bergerak dinamis. Sehingga Muhammadiyah dalam pandangan Najib Burhani, merupakan agen perubahan identitas Jawa, yaitu Jawanisasi dan Islamisasi. Meminjam istilah Kuntowijoyo mengenai Muhammadiyah masa awal ialah “kebudayaan baru tanpa kebudayaan lama.” Betapapun Muhammadiyah telah mengapresiasi budaya Jawa di wilayah permukaan, namun tetap ingin menggeser dan mengganti posisi deep culture. Karena bagaimanapun, sosok KH. Ahmad Dahlan adalah ulama reformis Islam, sebagaimana Muhammad Abduh, Hasan Afghani, dan Rasyid Ridha yang memandang negatif terhadap tradisi.
Kedua, menurut Khoirul Fata, pendirian Majelis Tarjih sebagai tempat untuk merumuskan prinsip akidah dan syari’at Islam, dan ini menjadi semacam mazhab sesungguhnya Muhammadiyah. Meskipun anggota Muhammadiyah dapat berkilah bahwa mazhab bukan Majelis Tarjih, namun faktanya semua anggota patuh pada keputusan Majelis tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa Majelis Tarjih berfungsi untuk mewujudkan otentisitas Islam berupa (al-Qur’an dan Hadis). Ketiga, tentang narasi pergeseran Muhammadiyah yang disebabkan hadirnya Nahdlatul Ulama (NU). Penjabaran Najib Burhani perihal tersebut dinilai oleh Khoirul Fata salah kaprah dalam mengkaji sejarah. Justru Nahdlatul Ulama (NU), hadir untuk membendung gempuran dari serangan gerakan reformis Islam semacam Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Sebagaimana kata M.C Ricklefs, mengatakan bahwa Muhammadiyah cenderung keras terhadap tradisi Islam tradisional. Dalam buku Sejarah Kauman (2000), Adaby Darban mengungkapkan K.H. Ahmad Dahlan turut memberangus praktik TBC semacam: kenduri, ziarah kubur, barzanji, sholawat, dan sebagainya. Adapun genealogi puritan K.H. Ahmad Dahlan dapat ditengarai dengan kentalnya literatur (baik kitab, buku, majalah) karya ulama reformis Islam: Al-Urwatul Wutsqa (karya: Jamaluddin Al-Afghani), Al-Manar (karya: Rasyid Ridha), Al-Munir (Haji Rasul), Izharul Haq (karya: Rahmatullah Hindi) Risalah At-Tauhid, Al-Islam Wa An-Nasiriyah, Fil Bid’ah dan at-Tawassul wa al-Washilah (ketiganya: karya Muhammad Abduh).
Keempat, sanggahan atas kesalahan fatal terhadap Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa sebagai entitas, pada gilirannya menjadi kabur, tidak jelas, dan seolah-olah Jawa hanya diposisikan dalam tataran permukaan. Argumentasi Najib Burhani cukup kental terhadap oposisi terpisah, antara surface culture dan deep culture. Kedua hal ini dianggap terpisah dan tidak memiliki pertautan yang kuat. Najib Burhani sesungguhnya ingin membenarkan sikap Muhammadiyah di awal yang merasionalkan atau menundukan deep culture di tubuh ke-jawan. Bagaimanapun, Muhammadiyah tetap memandang deep culture sebagai sesuatu yang uncivilized (tidak beradab) dan harus dilakukan civilization (pemberadaban). Najib Burhani memberi maklumat konsepsi Islam Jawa yang diusungnya ialah “curiga manjing warangka” (belati menyesuaikan sarungnya), ia melihat bahwa Islam adalah “curiga”, sedangkan budaya Jawa adalah “warangkanya”.
Argumentasi keislaman Jawa yang dinarasikan Najib Burhani berpretensi mengamini kerangka keilmuan yang dibangun olehpara orientalis. Dominasi dan hegemoni kaum orientalis dalam memberi pandangan atas keislaman Jawa berlangsung ratusan tahun lamanya, pula tidak sedikit sarjana dan akademisi dalam negeri yang bersikap serupa dengan pandangan para orientalis tersebut. Meminjam kesimpulan hasil pembacaan Irfan Afifi (dalam bukunya Saya, Jawa, dan Islam) mengenai pembacaan para orientalis atas Jawa Islam bahwa, dari sejak Raffles, Snouck Hurgronje, Pigeud, G.W.J Drewes, D.A. Rinkes, Pijper, De Graff, Zoetmulder, Geertz, Neil Mulders, Mark Woodward, hingga Ricklefs, secara persetujuan menilai bahwa Islam hanya merupakan “baju” yang menyelubungi “lapisan tipis” kebudayaan asli masyarakat Jawa, yaitu nilai-nilai nenek moyang bertaut dengan kebudayaan animisme dan dinamisme, serta Hindu dan Budha.
Para orientalis tersebut hingga hari ini masih dianggap paling otoritatif dalam membicarakan perihal Jawa, bahkan Jawa Islam (mengutip Kenji Tsuchiya, dalam Javanologi di Zaman Ranggawarsita). Maka upaya mengenali Islam Jawa dengan sudut pandang sendiri, perlu dinarasikan ulang dan ditunjang dengan basis penelaahan yang kuat oleh bangsa sendiri untuk menemukan bagaimana Islam Jawa. Dengan demikian, penarasian ulang tersebut mampu menjadi kritik dan pembanding bagi penelitian kaum orientalis Indonesia yang dianggap paling otoritatif itu. Sebagaimana paparan M.C Ricklefs dalam Polarizing Javanese Society, Islamic and Other Visions (c.1830-1930), implikasi dari kuasa para orientalis yang digunakan oleh pemerintah kolonial ialah terjadi polarisasi masyarakat Jawa. Salah satunya ialah adanya para pedagang Islam dan haji yang memiliki kecenderungan kasar mendesakkan ide-ide “ortodoksi” yang notabenenya adalah para penerus (Islam tradisional), seiring meningkatnya jamaah haji sejak pembukaan selat Suez di Tahun 1869.
Pada waktu itulah beberapa jamaah haji terpapar gelombang reformasi (ortodoksi yang terbaharui), yang melahirkan diskursus “Islam paling murni.” Contoh polarisasi Ricklefs ini dapat dijumpai pada sosok K.H. Ahmad Dahlan ketika melakukan ibadah haji ke dua, ia lalu bertemu dengan Rasyid Ridha di Mekkah. Sesampainya di Indonesia, gelombang reformis Islam terus dihembuskan. Corak Jawa Islam bernafaskan tasawuf, atau meminjam istilah dari Irfan Afifi, yaitu cara orang Jawa masa itu menerjemahkan tasawuf. Adapun warisan budaya berupa Serat, Suluk, Babad, dan Wirid, sepanjang pembacaan Irfan Afifi sejak tahun 2009 hingga hari ini merupakan produk kepengarangan periode Islamisasi (periode demak sampai mataram Islam). Atribusi kepengarangan warisan tasawuf (sufisme Jawa) tersebut adalah para wali, sehingga preferensi tasawuf tidak akan mampu dipahami oleh kaum puritan, reformis Islam, karena sejak awal telah menolak corak tasawuf.
Seluruh paham puritan sejatinya mewarisi pemikiran Ibnu Taimiyyah, acapkali disamakan dengan pembaharu Al-Ghazali di kalangan Syafi’iyah. Sejak usaha Imam Ghazali untuk menubuhkan tasawuf dalam bangun ortodoksi keislaman (baca: Ihya Ulumuddin), tasawuf secara umum dianggap merupakan praktik yang “sah di dalam Islam”. Hal inilah yang memicu perdebatan keras dari kelompok Hambali (Ibnu Taimiyyah) yang mencoba memurnikan keyakinan Islam dari praktik-praktik bid’ah tersebut. Meminjam istilah dalam Serat Wedhatama, sebagai masyarakat yang “anggung anggubel sarengat” (terus berbelit semata pada syariat). Ibn Taimiyyah dengan semangat pembaharuannya memiliki dua mata pisau, yaitu melahirkan konsep “ijtihad” yang mengilhami pembaharu macam Rasyid Ridha dan Mohammad Abduh, di saat bersamaan bersikap puritan dengan konsep “kembali pada al-Qur’an dan Hadis,” sebagaimana Muhammadiyah. Dan salah satu organisasi keagamaan yang memiliki gerakan sufisme yang khas adalah Nahdlatul Ulama (NU), yang di dalamnya memiliki tradisi pembinaan terhadap ajaran sufisme pada tahap lebih lanjut, khususnya ajaran Imam al-Ghazali.
Meminjam istilah dalam Serat Wedhatama, sebagai masyarakat yang “anggung anggubel sarengat” (terus berbelit semata pada syariat). Ibn Taimiyyah dengan semangat pembaharuannya memiliki dua mata pisau, yaitu melahirkan konsep “ijtihad” yang mengilhami pembaharu macam Rasyid Ridha dan Mohammad Abduh, di saat bersamaan bersikap puritan dengan konsep “kembali pada al-Qur’an dan Hadis,” sebagaimana Muhammadiyah.
Ketercerabutan sufisme Jawa dimulai semenjak perang Jawa, ditambah dengan adanya para priyayi Jawa yang menghimpun diri pada gerakan teosofi sebagai gerakan spiritualitas tanpa agama yang menyebar secara global di masa itu dan memberi lembaran spiritualitas baru kepada para priyayi. Di masa-masa inilah menjamur produksi tafsir warisan kesusasteraan Jawa masa sebelumnya (Jawa Islam), sehingga bercampur dengan penafsiran khas golongan teosofiyang hari ini dikenal dengan istilah “Kejawen” (paparan Irfan Afifi (2023) “Daulat Kebudayaan: Jawa dan Islam dalam Sebuah Pertemuan).” Maka seluruh warisan kesusasteraan dan kebudayaan “Jawa Islam” menyusut dilabeli semata Kejawen dan berkembang dengan dinamikanya sendiri. Hingga hari ini, dinamika itu semakin menjauh dan berdiri vis a vis atas penafsiran kelompok putihan yang terinfiltrasi “ortodoksi” (modernisme Islam, neo sufisme, reformime Islam, dan gerakan wahabi).
Kesimpulan Najib Burhani terkesan memaksa ingin menganulir asumsi Muhammadiyah sebagai organisasi puritan. Upaya Najib Burhani ini bisa dikatakan sebagai bentuk kegelisahan atas pelabelan Muhammadiyah yang puritan. Muhammadiyah juga turut merenungkan kembali konsep budaya yang bisa diterima oleh Islam, hal ini dapat ditengarai mulai dari Munas Majellis Tarjih di Aceh (1995), hingga Munas Majelis Tarjih ke XXV di Jakarta, Muhammadiyah berhasil merumuskan metodologi pemikiran Islam: burhani, irfani, dan bayani. Kegelisahan perihal Muhammadiyah yang puritan, turut dirasakan oleh intelektual Muhammadiyah lainnya, yakni Moeslim Abdurrahman, ia mengungkapkan bahwa, “dosa gerakan-gerakan purifikasi Islam, mungkin yang harus disesali, karena tidak hanya karena sejarahnya yang ganas dan apriori terhadap seni dan budaya lokal, namun Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan tampaknya menjadi jumud, karena tidak mampu memperbarui kesadaran Islam yang lebih substansial dan terbuka untuk memaknai dakwah, karena selalu diidentikkan dengan propaganda iman. Namun dakwah, sesungguhnya merupakan perkara kerja religius untuk peradaban dan kemanusiaan.
Sebagai akhiran, tesis Najib Burhani telah menarasikan Muhammadiyah Jawa atau Muhammadiyah sebagai representasi Islam Jawa masih perlu ditangguhkan. Bahkan, meminjam ungkapan Khoirul Fata, tesis Najib Burhani dibangun dengan dasar yang rapuh. Dengan dihujani berbagai kritik atas tesisnya itu, Najib Burhani melalui sebuah artikel berjudul “Muhammadiyah Jawa dan Landasan Kultural untuk Islam Berkemajuan” (Jurnal Ma’arif Vol. 14. No.2 Desember 2019), mengungkapkan bahwa: “Melihat perkembangan yang terjadi sekarang ini, saya seringkali juga ragu bahwa apakah Muhammadiyah itu benar-benar pernah dekat dengan tradisi Jawa”. Najib Burhani lalu menyodorkan pertanyaan: “Apakah tesis Muhammadiyah Jawa ini perlu dipertahankan? Perlu diragukan? Apa hubungan Muhammadiyah Jawa dengan Islam Jawa dan Islam Nusantara?” Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, saya rasa jawaban yang pas sebagaimana menyitir pendapat Abdul Munir Mulkan, bahwa buku karya Najib Burhani tetap patut dibaca oleh aktivis Muhammadiyah dan bahkan saya (saya kira warga Muhammadiyah), karena melalui buku itu pembaca dapat memperoleh kekayaan informasi yang berguna bagi peneguhan ideologi Muhammadiyah yang dewasa ini menjadi wacana publik persyarikatan.
Wallahu’alam.
Editor: Moh Hagie
Ritus Ziarah
Dalam pengamatan Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, praktik ziarah di Pulau Jawa memainkan peran penting dalam dua cakupan, yaitu: kunjungan ke makam-makam, sekaligus peranannya di kehidupan spiritual masyarakat. Henri Chambert dan Claude Guillot beranggapan bahwa praktik ziarah di Jawa terjadi ketika datangnya agama Islam. Hal ini disebabkan karena masyarakat Jawa memiliki kecenderungan mengeramatkan makam para penyebar agama Islam, seiring dengan terus berkembangnya tipologi (ortodoks, reformis, dan santri) dalam mempraktikkan ziarah. Di antara perkembangan tipologi itu ialah melengkapi makam-makam dengan hiasan dekoratif serta bangunan arsitektural.
Kecenderungan tersebut menjadikan praktik ziarah di Jawa khususnya, menjadi hidup dan berkembang pesat. Konon, jumlah geneaologi makam keramat di Jawa mencapai puluhan ribu dan relatif terpetakan dengan baik. Ada yang disebut kuburan keramat desa, makam wali, makam tokoh-tokoh historis, hingga makam tokoh rekaan dan petilasan.[1] Namun, pesatnya praktik ziarah tersebut belum diimbangi penelaahan para pegiatnya untuk membuat catatan khusus tentang perjalanannya. Hal ini cukup memprihatinkan, mengingat praktik ziarah yang begitu lama berakar di Jawa dan cukup merata di berbagai belahan dunia Islam.
Salah satu pegiat ziarah yang telah memberikan teladan mengenai pembuatan catatan khusus perjalanannya ialah Syekh Abdul Ghani An-Nabulusi, seorang ulama mazhab Hanafi yang lahir pada tahun 1050 H/ 1641 M, di Damaskus, Suriah. Syekh Abdul Ghani menuliskan semua perjalanan ziarah selama 45 hari dalam buku yang berjudul “Al-Hadhrah al Unsiyyah Fi Ar-Rihlah Al-Qudsiyyah,” (merupakan catatan anjangsana sang Syekh asal Damaskus ke sejumlah makam Nabi, Wali dan orang-orang saleh di daerah Palestina). Buku Rihlah Syekh Abdul Ghani mendapat apresiasi oleh Henri Chambert Loir, sebagaimana dalam prakata buku “Ziarah dan Wali di Dunia Islam” mengatakan bahwa Syekh Abdul Ghani mengunjungi tidak kurang dari 128 makam Wali dan Nabi, jarak rata-rata satu makam ke makam berikutnya sekitar dua kilometer. Ia menulis catatan perjalanannya dengan rinci, detail, serta menjelaskan semua daerah yang dikunjungi dalam bentuk nazam (puisi) dan natsar (prosa).
Melalui Syekh Abdul Ghani An-Nabulusi, saya mencoba berikhtiar meneladaninya lewat perjalanan ziarah dengan mengunjungi satu makam pilihan, yakni makam Syekh Nur Kalam. Alasannya sebagai ikhtiar sublimasi tokoh-tokoh yang cenderung terpinggirkan karena dianggap kecil. Makam Syekh Nur Kalam terletak di Dusun Brobot, Desa Tambaksogra, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas. Saya mengenal makam Syekh Nur Kalam dari proses penelusuran tanpa sengaja di internet tentang makam-makam ulama di Banyumas, salah satu makam yang membuat saya penasaran ialah Makam Syekh Nur Kalam. Rasa penasaran tersebut mendorong saya untuk menjelangi ke lokasi makamnya. Ikhtiar ini saya sesapi dari kisah Denys Lombard yang meriwayatkan makam tungkus lumus, yaitu makam Kiai Telingsing di Kudus. Kiai Telingsing adalah seorang tukang kayu keturunan Tionghoa. Nama aslinya The Ling Sing, seorang ulama keturunan Tionghoa yang ikut membantu Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam di wilayah Kudus.
Bagi peziarah yang ingin mengunjungi makam Syekh Nur Kalam, jalan yang paling mudah bisa melalui Jalan Raya Tambaksogra-Sumbang. Tepat di Dusun Brobot, Gang Hidayah 2, kompleks makam Syekh Nur Kalam. Bagi pengunjung pertama, lebih baik menggunakan Google Maps bila ingin sampai ke makam tersebut. Pasalnya, tidak ada papan nama atau petunjuk jalan yang memberi informasi letak makam tersebut. Kompleks makam Syekh Nur Kalam cukup senyap dari peziarah, meskipun terletak di tepi jalan dan dekat dengan pemukiman warga. Mungkin karena kompleks makam Syekh Nur Kalam terletak di pemukiman kaum fundamentalis Islam (baca: muslim yang tidak suka pada ritus ziarah). Kiranya mereka menuduh para peziarah tidak lebih dari perbuatan syirik. Agaknya tuduhan mereka berlebihan, karena pada galibnya para peziarah memohon kepada Allah, bukan langsung dialamatkan kepada wali. Pengejawantahan itu sebagaimana pengamatan Garcin de Tassy, dalam ungkapannya:
“Fatihah tidak dialamatkan langsung kepada Wali: ini dapat dibandingkan dengan doa “collecte” yang diucapkan pada akhir missa untuk menghormati para santo, yaitu doa tidak pernah dialamatkan langsung kepada Santo. Mereka sesungguhnya tidak pernah menjadi tujuan langsung dari doa (yang dipanjatkan ke Tuhan). Walaupun orang Islam di India memberikan penghormatan yang amat besar kepada Wali, tidaklah dapat dikatakan bahwa doa sebenarnya ditujukan kepada Wali (Garcin de Tassy, 1831: 26).”
Setibanya di lokasi makam, saya bersegera mengambil air wudhu dan berziarah. Sesaat saya sempat mencari-cari, adakah sumur tua atau sumber air peninggalan Syekh Nur Kalam? sebagaimana pada kompleks makam lainnya yang memiliki peninggalan keramat. Namun, saya tidak menjumpai. Kompleks makam Syekh Nur Kalam dibangun dengan gaya arsitektur sederhana pada umumnya, yaitu makam dengan bangunan persegi yang dicat kapur putih, beratap genteng, terdiri atas satu ruangan, dan terdapat sebuah kelambu (tirai) yang menyelubung di atas nisan. Dan beberapa, untuk wali-wali yang “beruntung”, terdapat sebuah kubah yang dibuat ala kadarnya: terbuka untuk siapa saja, hingga menjadi tempat tidur bagi peziarah yang setia. Namun, bangunan persegi kompleks makam Syekh Nur Kalam cukup minimalis, hanya mampu memuat 8 orang saja. Meski begitu, peziarah tetap dapat mencapai ekses-ekses yang mendebarkan.
Pada umumnya, kompleks makam keramat acapkali bersifat eksklusif, terjaga dengan pintu yang terkunci. Sebaliknya, kompleks makam Syekh Nur Kalam bersifat inklusif: pintu tidak terkunci dan peziarah diberi kebebasan untuk masuk. Dengan dorongan kesopanan spiritual, saya masuk dengan membungkukkan badan, lantas memberi salam pada sang wali: “Salamullah Ya Saadah…. ila akhirihi”.[2] Di dekat Makam Syekh Nur Kalam, saya lantunkan baris-baris doa. Dalam ekses geletar angin yang hening, pikiran imajinatif saya bergelayut pada sang Syekh: menghayati kebesaran, kemuliaan, kebaikan, keluhuran, hingga kekeramatan. Imaji ini seperti pada puisi “Makam Syekh Mahfudz Gurang-Garing” (2022) karya A. Warits Rovi:
“Cahaya sore mewakili ucap bibirmu, menjawab salamku
dalam geletar angin menjahit hening di senyap kening
Di dekat makammu, dipayungi lebat daun bidara
doaku menakik diam dada dengan baris Basmalah
Dalam kegaiban, aku yakin kau sedang mendengarkan
tetabuhan jiwaku yang kadang gendang, kadang gamelan
Berbunyi membentuk orkestrasi suara guguran melati
di kedalaman diri yang dijarum sepi, dirajam perih
Kutatap epitafmu, damai memeluk batu penantang waktu
mengurai asma dan cerita dari perkamen hari lalu yang rahasia”
Apapun bentuk praktik ziarah, hakikatnya adalah prinsip pertukaran antara peziarah dan Wali: permohonan (thalab), penyerahan (‘ata), pemberian (zyara), pertukaran kata, pertukaran material dan spiritual. Istilah ziarah di sini berarti pertemuan dengan sosok penting dan terhormat. Praktik ziarah mengungkapkan rasa pengabdian antar sesama. Dalam bahasa sehari-hari, kata ini digunakan dalam ungkapan “pergi menemui seseorang yang dipertuan.” Dalam pengertian yang khusus, istilah ziarah memiliki makna melawat makam. Ziarah merupakan suatu rentetan ritus dan unsurnya yang paling pokok adalah acara bersuci dan berdoa. Rentetan pertukaran lain yang berlangsung di antara sesama pengunjung (bertukar kata/kalimat, nasehat, saling membantu, berbagi makanan), membuat ziarah menjadi khidmat.
Prasyarat mutlak dalam praktik ziarah adalah kesucian batiniah, atau disebut sebagai niat. Para “Wali” hanyalah salah satu perantara agar bisa mencapai Allah. Pengejawantahan niat ditunjukan oleh kesungguhan pemohon dan kesediaannya untuk tunduk pada sosok yang dimintai bantuan dan berkah. Wujud konkret dari sikap itu adalah tindakan fisik yang menunjukkan kerendahan hati, yakni menyilangkan tangan dan menundukkan kepala di depan makam sang Wali seraya mengucapkan kalimat taslim (kepasrahan).
Soal pertanyaan mengapa seorang mukmin tidak langsung meminta kepada Allah, malah menghadap Wali dan menghadap ke makamnya masih menjadi pertanyaan bagi kaum fundamentalis Islam. Paham perantaraan atau wasilah sangat teguh dipegang oleh kaum tradisionalis Islam. Firman Allah dalam al-Qur’an (2:186), “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Kaum tradisionalis Islam lebih memilih memohon kepada Allah melalui perantara sosok saleh atau Wali. Dengan demikian, makam Wali merupakan tempat suci sekunder dan kurang sempurna, namun dapat memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat: hasrat memiliki akses yang nyata pada Allah, kesulitan membelakangi masa lalu dan melepaskan diri dari konsep-konsep lama, keperluan syafaat/berkah akibat rasa kecil hati atau tidak berdaya. Kaum fundamentalis Islam atau kaum terdidik sekuler sangat menentang ritus ziarah, hal itu menunjukkan betapa orang yang bertumpu berpikir dengan pola abstraksi akal cenderung meremehkan mereka yang sebaliknya menggunakan instrumen rasa.
Mencari Juru Kisah dan Asal-Usul Syekh Nur Kalam
Seusai menziarahi makam Syekh Nur Kalam, saya dan kawan saya, Zaenul Anwar, mencoba mencari orang yang bisa kami ajak bercerita tentang asal-usul makam tersebut. Kami ditunjukkan oleh warga sekitar supaya bertemu Bapak Edi. Namun, setelah mengutarakan maksud kedatangan kami yang ingin menggalurkan Syekh Nur Kalam, kami disarankan bertemu Mbah Arjosukarto. Sebab menurutnya, Mbah Arjosukarto yang lebih mengerti perihal sejarah dan seluk-beluk Syekh Nur Kalam. Lalu saya mengikuti saran itu. Jarak rumah Bapak Edi dengan Mbah Arjosukarto hanya seufuk mata. Kami menyusuri jalan desa sambil melepas pandang ke ladang-ladang dan memandang Ancala Slamet.

Sumber: Dokumen pribadi
Sebentar saja kami sampai di rumah Mbah Arjosukarto. Ketika kami datang, lelaki tua itu tengah duduk santai di pelataran rumahnya yang luas. Saya bergegas menghampiri untuk bersalaman dan memperkenalkan diri lebih lanjut. Mbah Arjosukarto tersenyum sumringah dan lekas bangkit pergi ke dalam rumah. Agaknya sang juru kisah tergugah dengan kedatangan kami yang menaruh minat pada jejak Wali, sekonyong-konyong ia mencarikan manuskrip perihal susur galur Syekh Nur Kalam. Manuskrip itu rupanya silsilah nasab (genealogical chart) Syekh Nur Kalam. Usut punya usut, Mbah Arjosukarto merupakan keturunan ke-6 (udeg-udeg) dari Syekh Nur Kalam. Sambil menyodorkan kertas (genealogical chart) silsilah nasab, sang juru kisah bertanya kepada kami perihal siapa kami? Apakah kalian masih memiliki ikatan darah dengan Syekh Nur Kalam? Dan kami hanya tersenyum sentimentil. Lalu berceritalah Mbah Arjosukarto.
Menurutnya, Syekh Nur Kalam adalah seorang Wali yang menyebarkan agama Islam di desa ini. Berdasarkan silsilah legendaris yang dimiliki oleh Mbah Arjosukarto, Syekh Nur Kalam atau Kyai Munada Muhammad Khasan merupakan keturunan dari Syekh Nur Ali, seorang ulama asal kerajaan Mataram. Ia diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-17 di keraton Mataram, Yogyakarta. Ia sering melakukan kelana (lelono) dalam rangka menyebarkan agama Islam, hingga akhirnya ia bertempat tinggal di Desa Tambaksogra, Sumbang, Kabupaten Banyumas. Konon, ia merupakan salah satu bagian dari laskar perang sabil Pangeran Diponegoro. Perihal waktu lahir dan wafatnya tidak diketahui secara pasti, diperkirakan meninggal sekitar abad ke-18. Dalam berbagai legenda, kepribadiannya diliputi berbagai suasana ajaib dan karomah.
Biografi di atas boleh dianggap sangat singkat, namun itulah data terlengkap yang ada tentang salah seorang wali. Tidak ada sumber sejarah satupun tentang Syekh Nur Kalam, bahkan tidak ada pula sumber rujukan hagiografis. Hanya ada sumber tradisi lisan dan kerangka silsilah nasab (genealogical chart) Syekh Nur Kalam yang kiranya bisa dianggap otoritatif. Memang tidak dapat dipungkiri, jika sumber sejarah sangat langka kita jumpai dalam bentuk tulisan. Hal ini dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat literasi masyarakatnya, dalam penelitian Rijklof van Goens dikatakan bahwa di antara tahun 1648-1654, masyarakat Jawa mampu membaca dan menulis. Itu pun hanya dimiliki oleh orang-orang yang hidup di lingkungan Keraton. Barulah pada abad ke-19 kemampuan baca-menulis bisa didapatkan secara lebih meluas. (lihat Anthony Reid “Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, 2014: 254).

Sumber: Dokumen pribadi

Sumber: Dokumen pribadi
Sifat, Bentuk, dan Fungsi Kewalian
Istilah Wali dengan kata jamaknya Awliya, dalam arti harfiah semacam kelompok elite spiritual. Kata dasar Wali memiliki kata dasar yang berarti “kedekatan”, bila meminjam istilah dari Michel Chodkiewicz: Wali adalah “Friends of God” (mereka yang mencintai dan dicintai oleh Allah).Bagi kaum tradisionalis Islam, percaya bahwa Wali boleh dikatakan tidak memiliki akar sejarah yang jelas. Wali adalah tokoh-tokoh yang “ada dalam ketidakhadiran”: mereka masih hidup, masih aktif di dunia fana ini, karena mereka lepas dari maut, dan tidak terikat lagi pada waktu. Terdapat suatu perkembangan fenomena Wali yang hingga kini belum diteliti secara baik, dan tampaknya pada setiap periode historis terdapat tipe Wali yang berbeda. Acapkali Wali tidak lebih dari suatu nama yang tertulis pada pintu masuk makamnya, tidak diketahui kapan mereka hidup dan siapa mereka sebenarnya. Jika bangunan persegi kuburannya runtuh, lenyaplah sisa terakhir dari keberadaan mereka. Namun, ada juga Wali yang merupakan tokoh historis dengan asal-usul yang dapat ditelusuri.
Sosok Syekh Nur Kalam merupakan sosok Wali yang dapat ditulis dengan pendekatan hagiologi (ilmu Wali). Syekh Nur Kalam merupakan tipe Wali pelindung dusun/desa, hal ini karena dari sang Wali lah pemberian dusun/desa tersebut disematkan, yakni “Dusun Brobot”. Konon, penamaan desa Brobot berasal lantaran kawasan tersebut sering terjadi praktik genosida (pembantaian) pribumi oleh penjajah Belanda. Kemudian di kawasan itu terdengar desing anak bedil yang beruntun, yang dalam lingua-franca mereka berbunyi: “Brobot!!!…Brobot!!!”. Jadilah dusun itu diberi nama “Dusun Brobot”. Menurut Mbah Sarno, sang Wali lah yang menumpas kebengisan kapir Belanda sekaligus meneroka kawasan tersebut.
Tempat dan Waktu Ziarah
Perangai keagamaan di makam-makam juga menarik untuk diamati. Ada berbagai varian ritus ziarah di berbagai dunia Islam; mulai dari waktu ziarah, prosesi ziarah, dan segala ubo rampenya. Di Indonesia, pengunjung makam tidak terlalu peduli pada pada waktu apa mereka berziarah. Namun, ada beberapa waktu yang menjadikan tempat ziarah selalu ramai, yakni: pada bulan Rajab; Sadran; dan Maulud. Pada prosesi ziarah, para peziarah menunjukan sikap yang amat beragam: ada yang berdoa dengan lantang atau justru berdiam diri; ada yang duduk di dekat batu nisan; ada yang menyentuh dan memegang pagar. Lawatan ke makam dapat dilaksanakan pada hari apa pun.
Namun, sebagaimana pengamatan F. de Jong (1976), para wali seolah-olah mempunyai hari khusus untuk menerima tamu. Seperti di Mesir: makam Sayyidah Nafisah (gurunya Imam Syafi’i) diziarahi pada hari Ahad, sedangkan Imam Syafi’I pada hari Jumat. Konon, makam Syekh Nur Kalam memiliki hari yang disukai oleh sang wali, yakni: hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Bagi peziarah yang beruntung mendapat “berkah wali”, sang wali dapat menampakan diri dihadapannya.
Karomah Syekh Nur Kalam
Seperti galibnya Wali, ada berbagai hal-hal ikonik (karamah) yang melekat pada sosok Syekh Nur Kalam. Dituturkan langsung dari Mbah Arjosukarto, berbagai kisah anekdot Syekh Nur Kalam, di antaranya: Pertama, ia memiliki semacam hal ikonik berupa “Ajian Bolo Sewu”, yakni dapat memperbanyak wujud. Konon, hal itu pernah terjadi ketika Syekh Nur Kalam tengah berkelana di daerah Pemalang untuk bersyiar Islam, sekonyong-konyong pasukan Belanda menghadang. Syekh Nur Kalam hanya seorang diri melawan pasukan Belanda. Merasa terdesak, Syekh Nur Kalam arkian menampakkan hal ikonik berupa “Ajian Bolosewu” dengan menyebar entah itu kacang ijo, kedelai, kacang tolo, dapat berubah menjadi pasukan perang.
Kisah heroik semacam ini memiliki kesepadanan dengan kisah Mbah Longko, seorang lurah pasukan perang laskar Diponegoro yang ada di Dusun Tiban, Sendangmulyo, Minggir, Sleman, Yogyakarta.[3] Salah satu wujud dari “Ajian Bolosewu” Syekh Nur Kalam terbunuh, dan pasukan Belanda meyakini inilah wujud asli Syekh Nur Kalam. Oleh Bupati Pemalang, jasad tersebut disemayamkan di dekat alun-alun Pemalang. Jadi, sejatinya makam Syekh Nur Kalam yang berada di Pemalang, adalah makam kosong. Tapi saya tak bisa menganggap seperti fenomena “makam kosong” di Mesir atau makam semu (cenotaph) di Eropa, seperti pada ulasan bukunya Chambert dan kawan-kawan.
Entah, makam Syekh Nur Kalam di Pemalang masih menyisakan ironisme dan paradoks dalam kesejarahan. Apakah Syekh Nur Kalam yang dalam memori kolektif masyarakat Pemalang adalah sosok yang sama atau justru sosok yang berbeda dengan yang dikisahkan oleh Mbah Arjosukarto, hal itu masih menjadi misteri. Dalam khazanah keislaman masyarakat Pemalang, sosok Syekh Nur Kalam adalah Wali yang berperan besar dalam Islamisasi di wilayah Pemalang.[4]
Menurut Mbah Arjosukarto, sosok Syekh Nur Kalam yang ada di Pemalang bisa jadi adalah ayah dari Syekh Nur Kalam, yakni Syekh Nur Ali. Konon, ia juga kerap disebut Syekh Nur Kalam. Fenomena makam kosong menjadi penanda dari popularitas dari seorang Wali. Dalam amatan Catherine Mayeur Jaouen, bahwa Wali-wali yang popular acap mempunyai beberapa makam kosong (tabut) di beberapa tempat: di pemakaman Aswan yang terkenal itu terdapat makam kosong berbagai Wali, Badawi (yang sebenarnya dimakamkan di Tanta, Afrika Timur). Di Indonesia seperti Mbah Sholeh, tukang sapu Masjid Ampel cum santri Sunan Ampel, yang makamnya banyak di beberapa tempat. Makam-makam kosong tersebut memungkinkan bagi peziarah sebagai monumen sakral kehadiran kesucian yang setara dengan makam aslinya. Kedua, hal ikonik (keramat) dari Syekh Nur Kalam yaitu setiap Jum’at ia berjumatan di tanah Makkah.
Keramat Wali dan Sakralitas Makkah
Anekdot tentang kota Makkah acap menyelimuti berbagai orang-orang saleh. Salah satu padanan kisah Jumatan di Makkah sebagaimana dicatat oleh Martin van Bruinessen (2015: 5-6), perihal cerita sebuah lorong gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan, Jawa Barat), lokasi pusat persebaran tarekat Syattariyah di pulau Jawa. Menurut penjelasan juru kunci setempat, konon, gua tersebut setiap Jumat dilalui Syekh Abdul Muhyi untuk pergi ke Makkah. Ada pula kisah Mbah Sonhaji atau Mbah Bolong, santri kinasih Sunan Ampel yang dapat pergi ke Makkah lewat liang kuburan. Barangkali satu-dua kisah ajaib yang melingkupi sosok-sosok linuwih ini sebagian memang benar terjadi, namun sebagian yang lain ada yang sengaja dibentuk dan dimitoskan oleh komunitas masyarakat tertentu.
Khusus mengenai kisah Jumatan di Makkah, kemungkinan patron kisahnya telah menyebar luas ke seluruh penjuru Nusantara sejak lama, seturut dengan proses penyebaran Islam di tanah Jawa, dan lebih luasnya Nusantara. Berbagai anekdot kota Makkah menunjukkan betapa sakralnya kota itu. Di tanah Makkah terdapat bangunan paling sakral dalam khazanah Islam, yakni Ka’bah. Saya berspekulasi bahwa, anekdot tersebut mencuatkan sebuah pertanyaan bukankah kesakralan dekat dengan hal-hal ajaib? Sebagaimana kata Eliade, bahwa setiap aktivitas yang bertanggung jawab untuk mencapai tujuan tertentu merupakan aktivitas ritual (sakral). Sebaliknya, setiap aktivitas atau kegiatan yang tidak memiliki model untuk dicontoh adalah bagian dari aktivitas profan. Dengan begitu, aktivitas profan adalah aktivitas yang tidak memiliki makna sakral.
Bahkan, obyek atau perilaku dikatakan nyata hanya bila perilaku tersebut meniru atau mengulangi arketipe. Realitas diperoleh hanya melalui pengulangan atau partisipasi. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memiliki model untuk ditiru, dengan sendirinya menjadi tidak bermakna, sebab tidak memiliki realitas (Eliade, 2002: hlm 35). Agaknya anekdot tentang salat jumat di Mekkah adalah amsal untuk mengembangkan berbagai tradisi/kearifan warisan pengetahuan awal. Tapi, kepingan-kepingan cerita yang beredar di tengah masyarakat pada tahap-tahap selanjutnya, sebagiannya belum tentu sungguh-sungguh terjadi (nyata): jikapun terjadi, bisa jadi masuk wilayah metafisis. Sebuah wilayah gaib yang hanya pelaku dan Tuhan saja yang tahu.
Pengisahan Mbah Arjosukarto ihwal makam Syekh Nur Kalam sangat menarik. Meskipun saya agak getir, karena tidak ada benda atau manuskrip yang mengisahkan Syekh Nur Kalam. Hanya ada silsilah nasab (genealogical chart) dari sang Wali. Tradisi literasi masyarakat kita yang lebih mengandalkan lisan daripada tulisan, kerap tidak berlanjut ketika juru kisah pergi menghadap Sang Khalik. Akibatnya, kisah dan sejarah makam keramat pun tamat atau menjadi paradoks. Salah satu usaha untuk melanggengkan dan melestarikan ingatan makam keramat tersebut, ialah dengan menuliskannya.
Khusushon ila Syaikhina Mbah Wali Nur Kalam, al-Fatihah…..
Aamin. Wallahu a’alam.
[1] Lihat, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 2007:333, Komunitas Bambu, Depok.
[2] Lihat kitab Sabil ash Shalihin Fi Tartib Ziyarah al-Qubur – anggitan Ust. Husin Nabil Assegaf.
[3] Lihat di https://www.harianmerapi.com/kearifan/pr-40447535/sisasisa-laskar-diponegoro-1-mbah-longko-punya-ajian-bala-sewu.
[4] Sejarah singkatnya dapat diakses di https://joglojateng.com/2021/12/03/pesarean-agung-soeronatan-makam-bupati-dan-tokoh-berpengaruh-di-pemalang/
Editor: Moh. Hagie
Sejarah lokal memberikan kesempatan seseorang untuk mengenal lebih baik lingkungan tempat tinggalnya, dan pada akhirnya akan menumbuhkan rasa bangga terhadap dirinya.
(Mudiyah Winarti, 2017)
****
Sejarah lokal memiliki arti yang begitu penting bagi komunitas masyarakat yang tinggal di wilayah geografis tertentu. Terutama para sosok yang telah berjuang dalam membangun peradaban zaman. Sejarah lokal memiliki keterkaitan dan keterikatan dengan sejarah nasional, meskipun tidak semua sejarah lokal menjadi bagian dari sejarah nasional, karena dalam sejarah lokal juga melekat aspek sosio-kultural yang bersifat otonom. Acap kali hal-hal yang ada di tingkat nasional baru dapat dipahami dengan melihat apa yang terjadi di tingkat lokal, karena hal-hal di tingkat nasional yang lebih luas biasanya hanya memberikan gambaran dari pola-pola serta masalah-masalah umum, sedangkan situasi yang lebih konkrit dan mendetail baru dapat diketahui melalui sejarah lokal.
Menyitir pendapat Muhammad Alif Ichsan (2022), bahwa sejarah nasional teramat sempit untuk menampung tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa historis. Peristiwa-peristiwa penting di masa lalu sangatlah banyak, dan sejarah sebagai penjelasan atau narasi historiografi tak terlalu lega untuk dapat menampung seluruh nama-nama. Pada akhirnya, nama-nama tersebut seringkali teralineasi di antara nama-nama besar serta kehilangan jejaknya oleh masyarakat sendiri. Harus ada upaya yang sungguh-sungguh agar sosok nama-nama kecil (lokal) memiliki ruang di dalam historiografi, agar napas keteladanan mereka terus hidup melalmpaui waktu. Solusi atas keruwetan tersebut yakni pengeksplorasian terhadap sejarah lokal yang digaungkan melalui penulisan dan pengajaran.
Menukil Murdiyah Winarti (2017) dalam esainya: Sejarah Lokal di Indonesia: Harapan dan Tantangan, bahwa: sejarah lokal jauh lebih mudah menularkan nilai-nilai kepada masyarakat, sebab kedekatannya dengan lingkungan di mana masyarakat itu menetap. Penyertaan nama-nama sosok di dalam historiografi lokal sebagai memori masyarakat, sering terpahat dalam sebuah nama jalan. Sungguh pun begitu, ia kerap kali teralienasi dari memori masyarakat dan hilang. Hal ini terjadi karena narasi sejarah lokal itu disampaikan dalam turun-temurun melalui tutur lisan. Agus Ali Imron Al Akhyar di bukunya bertajuk Membingkai Tradisi Tutur Lisan di Daerah Tulungagung (2021) memberi penjelasan lebih lanjut mengenai pentingnya mengamati kemudian mempelajari sejarah lokal.
Pernyataan Agus Ali Imron Al-Akhyar menuntun saya untuk mengeksplorasi tokoh lokal yang berada di desa saya, yang namanya terpahat pada sebuah ruas jalan di Desa Pasir Kidul, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, bernama “Ahmad Zen”. Hubungan apakah yang terjalin antara seseorang dengan sebuah jalan? Dengan segala kesungguhan, saya mencoba memahaminya, dan tahu bahwa jalinan itu menjangkau ruang memori kolektif masyarakat yang dalam terpendam. Menyadari itu, saya memakai istilah ndudhuk, ndhudhah, dan gugah untuk mengail sejarah sosok Achmad Zein. Nduduk adalah langkah awal dalam mendedah informasi kepada siapa dan saja perihal tokoh. Kemudian, ia perlu dikolaborasikan dengan ndhudhah, yakni kajian pustaka. Kedua langkah ini lamat-lamat akan memicu munculnya perasaan gugah atau tergugah, lantas menarasikannya sesuai data-data yang diperoleh, dipilah, dan teranalisis.
Dalam mengail sejarah sosok Ahmad Zen, saya dibantu seseorang yang dianggap tahu sejarah dan seluk-beluk sosok Ahmad Zen. Seseorang itu bernama Pak Maksum, laki-laki 70-an tahun, berpeci dan berbaju koko. Ia merupakan kerabat dekat ayah saya, karena itu saya sudah mengenalnya lama. Maka berceritalah Pak Maksum. Menurutnya, Ahmad Zen lahir pada tanggal 10 Mei 1906 di Desa Pasir Kidul, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Ayahnya merupakan orang Martapura, Banjarmasin, bernama H. Amin, sedangkan ibunya bernama Siti Maryam. Orang tua Ahmad Zen merupakan orang reijius, oleh karenanya, ia banyak berguru dari langgar ke langgar. Sedari kecil hingga dewasa, ia habiskan untuk berguru (mengaji) pada para kiai di kampungnya. Dalam momentum suasana tanah air yang dalam cengkraman penjajah, ia turut memanggul senjata dengan bergabung di Laskar Hizbullah. Merujuk buku Saifuddin Zuhri yang berjudul “Guruku Orang-Orang Dari Pesantren” (1974) dijelaskan bahwa, “Laskar Hizbullah didirikan pada tanggal 4 Desember 1944”. Pendirian Hizbullah memiliki tujuan untuk mendidik para pemuda Islam dalam kemiliteran dengan dilandasi semangat Nasionalisme dan Islamisme.
Merujuk buku Saifuddin Zuhri yang berjudul “Guruku Orang-Orang Dari Pesantren” (1974) dijelaskan bahwa, “Laskar Hizbullah didirikan pada tanggal 4 Desember 1944”. Pendirian Hizbullah memiliki tujuan untuk mendidik para pemuda Islam dalam kemiliteran dengan dilandasi semangat Nasionalisme dan Islamisme.
Ahmad Zen hidup di tengah kekalutan perang ekspansi kolonial Belanda. Pencandraan kekalutan perang dapat dirupa sebagaimana dalam esai Abdul Aziz Rasyid “Setelah Perang Tak Ada Lagi” (2020: 124): “Segala hal menyangkut perang mengakibatkan kerugian humanitas tiada tara. Nyawa-nyawa manusia melayang sejauh jangkauan senjata, langkah gontai para pengungsi mencari suaka menjadi dampak tak terelakkan. Tatapan nanar, terlantar di ujung pendiritaan, air mata, memperlihatkan nestapa manusia kehilangan rasa aman”. Pun hingga mencapai tahap keadaan bangsa Indonesia sudah merdeka, tetapi bangsa Indonesia belum berdaulat. Bangsa Indonesia masih dibaluti cengkraman ekspansi penjajah.
Merujuk Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko, kemerdekaan bersinonim dengan independensi; kebebasan, kedaulatan, kemandirian dan otonomi (2006: 413). Dalam upaya mencapai negara merdeka-berdaulat, sepanjang April 1946 hingga November 1947, diadakan serangkaian perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Tapi tak berselang lama, Belanda melakukan tipu muslihat melalui agresi militer dan aksi polisional, atau yang disebut agresi militer Belanda 1 (21 Juli-5 Agustus 1947). Berbagai daerah mengalami pengusikan agresi militer Belanda, tak terkecuali daerah Banyumas. Hal itu sebagaimana pengisahan dalam buku Banyumas Membara: Era Tahun 1945-1950 (2003:57) bahwa, pada tanggal 4 Agustus 1947 pasukan Belanda telah menduduki Banyumas dan Purwokerto. Mereka melakukan genosida “pembersihan” pada pribumi yang diindikasi sebagai pejuang tanah air.
Sekitar tahun 1947, Ahmad Zen pernah menjabat RECOMBA (Regerings Commissie Voor Bestuurs Aangelegenheden) jabatan setingkat lurah di Desa Pasir Kidul, Purwokerto Barat, Banyumas, di masa penjajahan Belanda. Pada situasi itu, Ahmad Zen memilih berjuang alih-alih ia menjadi recomba (lurah). Ia tak kuasa menyaksikan kebengisan dan kebiadaban pasukan Belanda. Pilihan hati Ahmad Zen untuk berperang senada dengan “Merdeka atau Mati!”. Bak pepatah lawas, “lebih baik berputih tulang daripada hidup berputih mata”. Keberanian serta vitalitas Achmad Zein serupa puisi Chairil Anwar yang bilang “Aku ini binatang jalang…Biar peluru menembus kulitku..Aku tetap meradang, menerjang….”
Dooor…Dooor..Dooor! Terdengar letupan senapan disusul suara tubuh ambrol. Tubuh sawo matang itu terkapar di tanah. Badannya masih memakai seragam recomba, sedang tangannya tengah memegang erat bambu runcing. Tembakan dari serdadu Belanda, berkumis melintang, dengan mata menyala bagai anjing neraka, telah menghentikan detak jantungnya. Sungguh pun peristiwa ini hanya berupa sejarah lisan, namun menurut sejarawan Kuntowijoyo sebagaimana dalam artikelnya Sejarah Lisan Sebagai Pewarisan Nilai, Pengalaman, dan Kebijakan (2019), mengatakan begini: sejarah lisan sama nilainya dengan dokumen. Dan yang tak kalah penting juga sejarah lisan dapat mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan. Kuntowijoyo mencontohkan nilai-nilai kemanusiaan adalah seperti janda-janda pahlawan yang gugur, prajurit yang ditawan pemberontak, dan mata- mata pasukan yang ditugaskan mencari informasi tentang kekuatan lawan.
Nilai kemanusiaan yang begitu kentara dalam sejarah lisan Ahmad Zen yakni “kerelaan untuk mati”. Ia seolah memandang kematian sebagai suatu peristiwa yang berwarna indah. Kematian semacam ini dapat kita jumpai pada narasi cerpen Budi Darma yang berjudul “Secarik Surat”. Dalam cerpen tersebut mengisahkan: seorang prajurit yang berpangkat paling rendah suatu ketika mengajukan diri untuk melaksanakan tugasnya sebagai kurir dalam pertempuran. Tak lupa Budi Darma menceritakan gambaran peperangan mulai dari ledakan demi ledakan yang menyemburkan api dan melesat-melesat di atas prajurit muda. Tampaknya Budi Darma hendak menunjukan sisi “indah sebuah peperangan”. Prajurit muda itu tewas ketika situasi pasukan saling tembak-menembak dan prajurit saat itu tak berbekal senjata api, hanya berbekal sebilah pisau.
Kisah Ahmad Zen serta prajurit dalam cerpen “Secarik Surat” menahbiskan bahwa sejarah bukan hanya ihwal peristiwa besar dan orang besar. Teori sejarah semacam itu pernah didengungkan oleh Thomas Carlyle berupa “The Great Man”. Teori tersebut kemudian mendapat interupsi dari Karl Max yang menurutnya hanya akan membuat sejarah sangat miskin. Oleh karena itu, penulisan sejarah harus menyangkut peristiwa biasa, orang biasa, dan pengalaman biasa. Bahkan, menurut Kuntowijoyo, sejarah dapat menulis riwayat pedagang yang kena gusur. Ini tidak akan bertabrakan dengan “life story” dari antropologi atau sosiologi, sebab sejarah musti menceritakan “perubahan” yakni sebelum kejadian, pada saat kejadiaan, dan sesudah kejadian. Adapun keteledanan tokoh, menurut sejarawan Kuntowijoyo jika menggunakan teori Thomas Carlyle “ The Great Man”, maka orang biasa tak akan masuk. Oleh karenanya, partisipasi dalam peristiwa bersejarah harus dianggap cukup. Dengan cara itu sejarah dana keteladanan akan bersifat demokratis.
isah Ahmad Zen serta prajurit dalam cerpen “Secarik Surat” menahbiskan bahwa sejarah bukan hanya ihwal peristiwa besar dan orang besar. Teori sejarah semacam itu pernah didengungkan oleh Thomas Carlyle berupa “The Great Man”. Teori tersebut kemudian mendapat interupsi dari Karl Max yang menurutnya hanya akan membuat sejarah sangat miskin. Oleh karena itu, penulisan sejarah harus menyangkut peristiwa biasa, orang biasa, dan pengalaman biasa. Bahkan, menurut Kuntowijoyo, sejarah dapat menulis riwayat pedagang yang kena gusur. I
Kisah Ahmad Zen dan prajurit dalam cerpen “Secarik Surat” memiliki sebuah pesan keteladanan “kerelaan untuk mati”. Seperti dalam pendapat Seneca yang berbunyi, “dying well means dying willingly” (mati dengan baik berarti mati dengan rela) (Epistle 61). Mula-mula, secara spontan, kita sebagai manusia memiliki ketakutan terhadap kematian. Wajar saja, setiap manusia memiliki insting untuk bertahan hidup, sehingga kematian dianggap sebagai ancaman yang harus dihindari. Akan tetapi, Seneca memiliki anjuran yang lain, yaitu, “a whole lifetime is needed to learn how to live, and—perhaps you’ll find this more surprising— a whole lifetime is ‘needed to learn how to die.” (seumur hidup diperlukan untuk mempelajari hidup, dan—mungkin kamu akan menganggap hal ini mengejutkan—seumur hidup diperlukan untuk mempelajari cara untuk mati) (On the Shortness of Life 7.3). Bagi Seneca, kematian justru harus dipelajari semasa kita hidup. Di samping itu, cara seperti itu membuat manusia tidak terjebak pada pandangan spontan tentang kematian.
Ritual penghayatan kematian itu tidak hanya membubuhkan makna yang berbeda mengenai kematian, melainkan juga pada kehidupan. Jika dianalogikan, hal tersebut sama seperti saat kita menyantap jeruk. Kita perlu mengupas kulitnya dan baru buahnya bisa kita makan. Hasilnya, kita dapat menikmati kesegaran buah jeruk dengan mencapai intinya (buahnya). Sama seperti kematian, citra buruknya dikupas guna mendapatkan makna sesungguhnya dari kematian. Jika memakai anjuran dari Seneca, “strive for virtue” (berjuang untuk kebajikan). Seneca menganjurkan hal yang serupa, yaitu mengajak kita untuk melihat makna dibalik citra buruk kematian.
Senada dengan Seneca, Adonis seorang penyair Arab memberi amtsal bahwa kematian adalah sebagai jalan menuju rahasia-rahasia ilahi dan mengarah pada kesatuan dengan al-Haqq. Agar menyatu dengan al-Haqq, seseorang harus mematikan ke-aku-annya. Itulah yang dalam tasawuf disebut momen keterpisahan manusia dengan ke-aku-nnya (al-Farq) menuju momen pertemuan dengan al-Haqq (al-Jam’). Ketika momen pertemuan tersebut telah terjadi, tidak ada lagi yang plural, yang ada hanya yang tunggal (al-Haqq).
Rahasia-Rahasia
dengan kematian, kita akan mendekapnya
sebagai petualang, sebagai zahid
kematian membawa kita pada rahasia atas segala rahasianya
menetapkan yang tunggal dari kita yang plural
Seorang lurah semacam Ahmad Zen yang telah saya ceritakan di tengah esai ini, seakan teraleniasi perannya dalam gejolak sejarah kemerdekaan. Padahal seorang lurah semacam Ahmad Zein dan orang-orang kecil turut menjadi penentu dalam perang merebut kemerdakaan Indonesia di lini pedesaan. Dalam keunikannya perannya yang membaktikan diri menjadi lurah (recomba), ia dapat mewujudkan kecintaanya terhadap tanah air dengan turut serta berperang menumpas penjajah. Peran dan keikutsertaan sosok semacam Ahmad Zen dan orang-orang kecil dalam merebut kemerdekaan Indonesia sangatlah berarti. Jika meminjam istilah dari sejarawan Sartono Kartodirjo, mereka adalah “sekrup-sekrup kecil” yakni, seperti: petani, nelayan, pedagang, buruh, sopir, prajurit, pelajar dan seterusnya yang bahu membahu, menyatu membentuk bangun kebangsaan yang besar dan bergerak bersama. Seandainya di antara sekrup itu hilang, maka pasti ada yang rumpang, goyah, dan punya celah untuk runtuh.
Oleh karena itu, semua sekrup mesti terisi sepenuh-penuh hati sebagai jalan pengabdian pada perjuangan kemerdekaan. Tapi kini memori tentang sekrup-sekrup kecil itu teralienasi oleh “sekrup besar” (sosok besar). Hal ini meguatkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya masih cukup “berjarak” dengan pengalaman historis di sekitarnya. Akar masalah tersebut bersumber dari adanya jarak yang dirasakan antara masyarakat dengan sejarah. Masyarakat kita selalu dicekoki untuk belajar, menghapal, mengingat hingga mengapresiasi “sosok besar” yang sebenarnya jauh dari lingkungannya. Dan pada akhirnya, melupakan “sekrup-sekrup kecil”.