Menu

Politik Kolonial Terhadap Islam dan Keturunan Arab

“Bagi kolonial, Islam memunculkan kecurigaan sebagai sebuah kenyataan berbahaya, suatu kekuatan yang mampu dan mungkin akan muncul di mana saja dan kapan saja”

(Nancy. K. Florida, “Jawa-Islam di Masa Kolonial”, 2020)

Politik Haji: Imaji dan Praktik Kolonial

Kolonialisme membutuhkan pengetahuan memadai tentang Islam dan masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan di Hindia Belanda. Imaji kekhawatiran inilah yang menyadarkan kolonial bahwa untuk mengatur tanah jajahan, ternyata tidak hanya membutuhkan tentara dan armada yang kuat, pula pemahaman tentang masyarakatnya. Belanda mengawali penelitian dengan mengerahkan para misionaris, namun hal ini dinilai tidak efektif, mengingat situasi politik masa itu bisa menimbulkan ketegangan dengan pemimpin muslim. Arkian, Pada 1778 VOC menginisiasi berdirinya lembaga penelitian ilmiah pertama di Hindia: Bataviasche Genootschap van Kunsten en Westenschappen. Lembaga ini bergerak dalam bidang ilmu alam sosial dan humaniora. Tujuannya yakni mengadvokasi persoalan pertanian, perdagangan, dan kesejahteraan sosial di Hindia Belanda.

Pada 1851, Belanda kemudian memperluas spektrum kajian perihal penduduk, kebudayaan dan masyarakat Hindia Belanda dalam lembaga Royal Institute of Linguistics, Geography and Ethnology of the Netherlands Indies atau yang sering kita kenal (Koninklijk Instituut Voor Taal- Land En Volkenkunde Van Nederlanch Indie/KITLV) di Leiden. Lembaga ini memberikan hajat pemerintah kolonial, baik akademik maupun praktis dalam mengatur Hindia Belanda. Dalam studi-studi KITLV, Islam dipandang sebagai agama yang berbahaya bagi kepentingan Belanda, dan karenanya mereka takut terhadap Islam (Islamophobia). Oleh sebab itu, Belanda menginginkan agar kekuatan Islam yakni para ulama, distagnasikan dan dikuasai secara politis. Selain mengadopsi Islamophobia, VOC juga sangat takut pada ibadah haji (haji phobia). Untuk yang terakhir ini, Raffles pernah memorandum dalam karya The History of Java-nya, bahwa para gubernur harus hati-hati terhadap “pastor pribumi” (sebutan Raffles untuk para haji). Mereka, para haji dianggap sering memimpin pemberontakan terhadap orang Eropa.

Seorang pegawai Raffles mengatakan bahwa, seorang bupati yang telah meninggal, dua dari sejumlah anaknya sangat tidak layak menggantikannya hanya karena yang satu sudah berhaji dan satu sedang melakukan ibadah berhaji. (Steenbrink, 1984). Raffles bukanlah satu-satunya, dan tidak pula nan perdana yang memiliki kacamata seperti itu terhadap haji. Menurut Jajat Burhanudin dalam bukunya “Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017)”, walaupun sangat dilandasi kepentingan ekonomi, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) memiliki pandangan yang sama, tatkala pada 1664 melarang tiga orang Bugis yang baru pulang dari Makkah untuk mendarat di Hindia Belanda, dengan alasan bahwa “kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang percaya takhayul di daerah ini memiliki konsekuensi yang sangat serius”.

Menurut catatan Henri Chambert-Loir, di tahun 1482, orang Hindia Belanda (Nusantara) telah menunaikan ibadah haji yaitu laksamana Melaka Hang Tuah. Sekitar 1520 disusul Sunan Gunung Jati dan Syekh Yusuf Makassar pada 1650 (data lain, 1644). Pada abad ke-19, dengan mujurnya transportasi laut, menunaikan haji menjadi gejala massa. Dari 1853-1859, pemerintahan Hindia Belanda mendaftar 13.000 peziarah tetap, artinya rata-rata sekitar 2.000 setahun. Pada 1872, kunjungan jemaah haji orang Nusantara, hampir 10.000 peziarah setahun selama musim haji 1880; dan meningkat 11.788 pada 1895; 24.024 pada 1991, pada 1927 mencapai 52.412. Untuk enam tahun yaitu 1914, 1921, 1924, 1927, 1928, 1931, rombongan haji Nusantara 42-50 persen dari total orang naik haji. Jumlah jemaah haji terbanyak berasal dari Nusantara, baik pada masa itu maupun masa kini.

Pada 1825, Belanda berupaya membatasi haji dengan memutuskan bahwa setiap haji, dari Jawa dan Madura, harus membayar 110 gulden untuk paspor haji, yang diwajibkan bagi setiap muslim yang berniat pergi ke Makkah untuk mengambil langkah-langkah yang mempersulit umat muslim membuat paspor haji. Beberapa tahun kemudian, pada 1831, sebuah aturan baru dikeluarkan untuk merevisi Resolusi 1825, bahwa haji tanpa paspor diwajibkan membayar dua kali harga sebuah paspor, fl 220. Peraturan ini tetap berlaku hingga tahun 1859, ketika pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah peraturan (ordonansi) yang menentukan kebijakan haji pemerintah kolonial Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Dalam kaitan ini, di samping mewajibkan biaya tersebut, ordonansi 1859 mewajibkan orang-orang yang ingin berhaji agar memiliki surat keterangan dari bupati, menunjukkan bahwa dia memiliki cukup biaya, baik untuk perjalanan maupun untuk keluarga di rumah yang ditinggalkan. Lebih jauh, ketika kembali, para haji diwajibkan untuk menjalani ujian oleh Bupati, yang dengan dasar itu, mereka diizinkan untuk menggunakan gelar haji dan memakai jenis pakaian haji bergaya Arab (Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19).

Oleh karena itu, pada 1872 Belanda mendirikan sebuah konsulat di Jeddah, untuk menambah informasi yang telah mereka peroleh melalui surat keterangan para bupati, dan lamat-lamat meningkatkan kontrol mereka atas para haji di negeri jajahan. Rasa takut terhadap bahaya politik haji meningkat secara signifikan di antara para pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian melahirkan orientasi baru dalam kebijakan kolonial terhadap Islam. Sehingga, orientasi anyar ini ditautkan dengan karir intelektual seseorang, saat ia datang untuk mempelajari komunitas Jawi di Makkah: Christian Snouck Hurgronje.

Rasa takut terhadap bahaya politik haji meningkat secara signifikan di antara para pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian melahirkan orientasi baru dalam kebijakan kolonial terhadap Islam. Sehingga, orientasi anyar ini ditautkan dengan karir intelektual seseorang, saat ia datang untuk mempelajari komunitas Jawi di Makkah: Christian Snouck Hurgronje.

Snouck Hurgronje dan Politik Haji

Christian Snouck Hurgronje, demikian nama lengkapnya, dilahirkan dari pasangan Jacob Julianus dan Anna Maria De Visser. Snouck lahir pada Minggu, 8 Februari 1857, di kota Oosterhout, Provinsi Noord Brabant. Keluarga dari garis keturunan ayahnya seorang terpelajar dan dikenal sebagai teolog serta pendeta. Studi setingkat SMA ditempuh Snouck di lembaga Rijks Hogere Burger School (RHBS) di Breda. Lulus dari RHBS, ia mempersiapkan jenjang pendidikan di Universitas Leiden. Untuk persiapan ke Leiden, Snouck berkonsultasi dengan Abraham Kuenen, teolog dan peneliti Alkitab. Snouck menjadi salah satu dari 62 orang yang dinyatakan lulus untuk studi di Universitas Leiden. Di Leiden inilah jaring-jaring intelektual Snouck berkembang. Bersama dengan teman kuliahnya, Herman Bavinck, Snouck mereguk dunia akademisi. Pada pusat studi Leiden ini pula Snouck menemukan mentor yang makin mengasah kemampuannya mengkaji Islam dan kebudayaan Semit yakni Michael De Goeje. Kuliah yang disampaikan De Goeje menjadi inspirasi bagi Snouck memantapkan pilihan sebagai intelektual.

Pada tanggal 21 September 1878 Snouck berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dengan disertasi yang mengetengahkan ritual ibadah haji di Mekkah, “Het Mekkaansche feest” (perayaan Mekkah) pada usia 23 tahun, tapi belum pernah ke Mekkah. Disertasi Snouck memesona Konsul Jenderal Belanda di Jeddah Johannes Adrianus Kruijt untuk membantunya. Kruijt menyampaikan bahwa pelaksanaan ibadah haji oleh jamaah haji Hindia Belanda dengan jemaah lainnya berdampak pada dinamika perkembangan politik di Hindia Belanda (Wim Van den Doel, 2023). J.A. Kruij meminta bantuan Snouck untuk meneliti jamaah haji asal jajahan Belanda. Sebelum berangkat ke Jeddah, Snouck telah membaca penelitian pendahulunya Brooshooft, tentang politik haji yang dimuat di harian De Locomotief. Brooshooft menumangkan ekskalasi bilangan jamaah haji asal Indonesia setiap tahunnya.

Pada 1884, Snouck berangkat ke Jeddah mengemban misi senyap-senyap dari negerinya, Belanda. Setiba di pelabuhan Jeddah, ia tidak langsung masuk ke tanah suci. Ia melancarkan observasi dan pengkodifikasi sebagai bahan informasi yang penting disampaikan kepada atasannya. Di Jeddah, Snouck membangun korespondensi dengan seorang dokter, Abu Sa’d Kamaran yang bertugas di dinas kebersihan Laut Merah. Kantor ini di bawah pengawasan badan internasional, Dewan Tinggi Kebersihan yang berkedudukan di Konstantinopel. Pejabat kedinasan ini bertugas mencatat dan mengawasi lalu lintas orang, termasuk memeriksa kesehatan dan melakukan karantina orang-orang yang bermasalah kesehatan. Melalui pengamatan yang jeli dan serius, Snouck menemukan celah kebobrokan berupa banyak petugas kedinasan yang kerja tak serius. Ditambah pula, keadaan yang tidak kondusif setiap musim haji yakni “persekongkolan” antara syarif Mekkah-Madinah dengan para ketua suku Badui di satu sisi, dan di sisi lain antara Syarif Mekkah sebagai wakil penguasa Turki Utsmani dengan orang-orang Barat.

Persekongkolan itu terkait dengan tarik-menarik kepentingan dalam setiap penyelenggaraan haji pada masa itu. Dalam situasi seperti itulah, Snouck membaca peluang untuk dapat masuk lebih dekat ke dalam wilayah tanah suci. Dengan mengubah nama menjadi Abdul Ghoffar, Snouck menyaru menjadi muallaf dan dapat masuk ke wilayah yang paling dianggap sakral oleh umat Islam. Bukan itu saja, bak pemimpin besar Snouck diantar dan dipersilakan masuk ke dalam Ka’bah oleh Syarif Mekkah. Semenjak itu, Snouck mulai leluasa menjalankan operasi rahasia di Mekkah. Narasi inilah yang luput dari sejarah, beruntung saya jumpai tulisan Sartono Kartodirdjo di harian Kompas Minggu (3/1/1982) “Surat dari Wassenaar”. Dalam tulisan tersebut Sartono Kartodirdjo menyitir berbagai kritik yang dilancarakan oleh para sarjana Leiden terhadap Snouck, di antaranya Van Koningsveld. Menurutnya, kerja-kerja Snouck lebih tepat dengan istilah “spionase” (mata-mata) bahkan mungkin sebagai “counter-insurgency” (upaya militer dan sipil meredam pemberontakan).

Berdasarkan amatan intelijen Snouck, jamaah haji Nusantara dapat diklasifikasikan menjadi 4 macam golongan muslim: kaya; biasa; berilmu; awam. Muslim kaya adalah para priyayi, para raja, kepala daerah di luar Jawa, para pangreh praja dan pensiunan pegawai di Jawa yang berhasil mengumpulkan tabungannya, serta para saudagar kaya dari pelosok negeri.  Muslim biasa adalah para petani dan pegawai biasa yang jarang menabung, namun memiliki mimpi yang kuat untuk menunaikan haji. Tidak jarang mereka memaksakan diri untuk menjual sawah, rumah, barang berharga, dan hewan ternak mereka untuk biaya menunaikan haji. Muslim berilmu adalah mereka yang menurut Snouck disebut santri-santri Nusantara di Mekkah, berhaji sambil menimba ilmu kepada para ulama Hijaz, maupun ulama asal Indonesia. Sedangkan muslim awam adalah mereka yang menunaikan haji dalam rangka menggugurkan rukun Islam ke-5.

Pada tahun 1885, tercatat Snouck pernah menghadiri halaqah yang diadakan di kediaman Syekh Nawawi al-Bantani. Hal itu ia telurkan dalam catatannya berjudul, “Mecca in the Latter Part of 19th Century”. Diceritakan oleh Snouck bahwa halaqah itu dihadiri lebih dari 200 orang, secara rutin baik di waktu pagi, siang, maupun malam. Syekh Nawawi yang ditemui setelah beberapa hari merampungkan karyanya, Tafsir Munir atau dikenal pula dengan Marah Labid, dicandrakan Snouck sebagai sosok ulama yang sangat asketis. Kepribadian dan penampilannya merepresentasikan sosok orang-orang Nusantara pada umumnya yang sedang menunaikan haji. Dalam halaqah itu, Syekh Nawawi sendiri yang memimpin forum itu dengan bahasa pengantar terkadang menggunakan bahasa Arab, Melayu, dan Jawa. Di tengah keintimannya mengemban misi, Snouck terpaksa hengkang dari Hijaz lantaran dituding terlibat skandal pembunuhan orientalis Perancis, Charles Hubber. Pada 1 September 1885, ia kembali ke Leiden dan mengajar di Institut Pendidikan Pegawai Pemerintahan di Hindia Belanda, sebelum ia memutuskan ke Hindia Belanda yang memikatnya lewat kabar di media massa.

Snouck Pergi Ke Hindia Belanda

Pada Tahun 1889, Snouck mendapat mandat dari pemerintah Belanda untuk meneliti Aceh. Kemudian tepat pada 23 Mei 1892 ia menyampaikan laporan berjudul “Verslag omtrent de religieus politieke toestanden Aceh” (Laporan tentang situasi politik agama di Aceh) kepada Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk. Laporan tersebut ada empat buah jilid: dua jilid pertama (uraian tentang alam dan bangsa dan tokoh-tokoh yang penting), dinotulen menjadi buku “De Atjehers” yang terdiri dari dua jilid, yang terbit pada tahun 1893-1894 pada penerbitan pemerintah kolonial Belanda. “De Atjehers” ini merupakan telaah antropologi budaya lengkap yang meliputi segalanya, yang belum ada duanya dilakukan mengenai bagian Hindia Belanda mana pun. Namun, karya “De Atjehers” hanya berisi tentang Islam pada saat Islam lahir, tidak ada dalam kemunduran dan beberapa fakta-fakta keterbelakangan yang berkembang di kalangan umat Islam.   

Di Hindia Belanda, Snouck tak hanya pergi ke Aceh. Pada Maret 1889, Ia ke Batavia (Jakarta) mengemban tugas meneliti Islam di Jawa. Di Jawa, Snouck melakukan perjalanan keliling Jawa dari Batavia-Weltevreden ke Buitenzorg (Bogor) lalu Sukabumi, Garut menuju Galuh (Ciamis), Cirebon, Tegal, Pekalongan, Purbalingga, Kebumen, Purworejo, Banyumas, dan Wonosobo. Terkait strategi soal menjinakkan Hindia Belanda, Snouck menyarankan penerapan politik asosiasi bagi elite Indonesia, menghidupkan kembali pengaruh kelompok tradisional dan hukum adat setempat bersanding dengan hukum Islam dan pemisahan kaum ulama, meniadakan ruang politik dalam domain kehidupan beragama (Islam). Menyangkut strategi politik Snouck, dalam tulisan ini saya memfokuskan pada keturunan Arab.

Adalah Hamid Algadri, seorang Warga Negara Indonesia berdarah Arab menuliskan perihal politik kolonial terhadap keturunan Arab dengan judul “C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab”. Buku tersebut menjadi pemantik saya untuk menulis artikel ini. Dalam kumpulan tulisan itu, Hamid Algadri mencoba mencatat sejarah politik Islam Belanda dengan sejarah keturunan Arab yang acapkali “tenggelam” dalam narasi sejarah Indonesia. Keturunan Arab boleh dikatakan mendapat perhatian khusus oleh Snouck selaku Islamolog. Menyitir Kevin W Fogg dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia: “Mencari Arab, Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck tentang Hindia Belanda (2017)” menyatakan bahwa Snouck menggunakan kacamata Arab untuk studi Islam di Hindia Belanda. Hidup di tanah jajahan dalam waktu lama tak sanggup menghilangan kecenderungan kiblat menilai Islam melulu dari Arab.

Cara itu mengakibatkan konklusi: Islam di tanah jajahan itu “rendahan” atau “ternoda” jika ditilik dari terapan ajaran-ajaran Islam di Arab. Snouck sengaja abai atau “menghilangkan” harmoni Islam dan lokalitas di Hindia Belanda. Di mata Penasehat Urusan Pribumi, Islam harus berstandar Arab. Jika dahulu politik Belanda berusaha memisahkan antara kaum priyayi dan kaum kiai, maka di paruh akhir abad 18 Belanda mempolarisasi terhadap keturunan Arab. Di mata kolonial, keturunan Arab menjadi sebuah ancaman hingga dinyatakan dalam kolonial verslag: “Orang Cina mengganggu perkembangan ekonomi yang sehat di Pulau Jawa, tetapi orang Arab mengganggu keamanan, menimbulkan kerusuhan”. Oleh karenanya aktivitas mereka mesti dibatasi dengan seksama.

Snouck sengaja abai atau “menghilangkan” harmoni Islam dan lokalitas di Hindia Belanda. Di mata Penasehat Urusan Pribumi, Islam harus berstandar Arab. Jika dahulu politik Belanda berusaha memisahkan antara kaum priyayi dan kaum kiai, maka di paruh akhir abad 18 Belanda mempolarisasi terhadap keturunan Arab.

Snouck dan Othman Ibn Yahya

Snouck memulai politik terhadap keturunan Arab dengan bersahabat: Othman Ibn Yahya (Sayid Utsman).  Seorang ulama bergelar “Sayid” yang memiliki genealogical chart (silsilah keluarga) yang terhubung dalam mata rantai keturunan Nabi Muhammad. Ia dihormati khalayak ramai sekaligus memiliki kedudukan sosial tinggi. Snouck menerapkan politik ini, setelah ia membaca tulisannya Lois Rinn, seorang Perancis, yang berjudul “Marabouts et Khovan”. Dalam buku tersebut mengisahkan bagaimana Perancis menaklukan Aljazair dengan cara berteman dengan suatu tarikat untuk menghadapi tarekat lain yang memusuhi Perancis. Semacam taktik devide et empire (pecah belah). Othman Ibn Yahya merupakan ulama penentang tarekat, utamanya Naqsabandiyah, yang acap kali menentang pemerintah kolonial.

Perihal pertentangan dengan ulama tarekat terekam dalam perdebatan sengit antara dirinya dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Bermula dari Syekh Abdul Shamad Palembang yang mendirikan masjid baru pasca dibakarnya masjid Kesultanan. Masjid itu menjadi kegiatan intelektual dan digunakan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Pada saat itu juga Belanda juga tengah membangun masjid untuk Kesultanan Palembang. Belanda tentu saja khawatir dengan aktivitas tersebut. Oleh karenanya, Belanda pada 1893 meminta Othman Ibn Yahya (Mufti Betawi) itu mengeluarkan fatwa bahwa shalat jumat di “masjidnya” Syekh Abdul Shamad tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan, karena sejatinya di satu  kota hanya boleh dilaksanakan shalat jumat di satu masjid saja. Syekh Abdul Shamad lantas berkorespondensi kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.

Korespondensi tersebut berbalas sebuah kitab berjudul “Shulhul Jama’atain bi Jawaz Ta’addudil Jum’atain” yang ditulis langsung oleh Syekh Ahmad Khotib. Kitab ini menjadi semacam hukum otoritatif fiqih di Nusantara, sekaligus meruntuhkan “reputasi dan wibawa” Mufti Betawi. Tak tinggal diam, Othman Ibn Yahya kemudian menulis kitab susulan berisi tanggapan atas tanggapan dengan judul: Tabyinul Khati’atain Fi Shulhil Jama’atain. Melalui kitab ini, Othman Ibn Yahya mengudara kekeliruan pandangan dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabu dalam karyanya, Shulhul Jama’atain. Snouck memberi jabatan kepada Othman Ibn Yahya sebagai mufti urusan-urusan pribumi. Dalam beberapa tahun masa jabatannya sebagai mufti kolonial, reputasi keulamaan Sayid Usman tetap dipertaruhkan dan terbukti sukses dalam banyak hal meredam berbagai aktivisme politik umat muslim yang merongrong pemerintah Hindia Belanda.

Dalam beberapa tahun masa jabatannya sebagai mufti kolonial, reputasi keulamaan Sayid Usman tetap dipertaruhkan dan terbukti sukses dalam banyak hal meredam berbagai aktivisme politik umat muslim yang merongrong pemerintah Hindia Belanda.

Keberadaan Sayid Utsman dalam lingkaran politik kolonial, semata-mata agar dirinya dapat memberi pengaruh baik, terutama dalam soal kebijakan-kebijakan keagamaan Islam di Indonesia. Paling tidak, Sayid Utsman menjadi peletak dasar utama dalam pembentukan lembaga pengadilan agama di Indonesia yang melepaskan diri dari pengadilan tata negara yang lebih umum. Pengaruh Sayid Utsman dalam pembentukan lembaga peradilan agama ini, diwujudkan dalam suatu karyanya berjudul, “Kitab al-Qawanin al-Syar’iyyah li ahl al-Majalis al-Hukmiyyah wa al-Ifta’iyyah” (Buku aturan hukum Islam bagi staf dewan pengadilan dan penasehat) yang selanjutnya menjadi buku standar bagi para hakim pada Peradilan Agama di Indonesia.  Dalam penelitian Dr. P.S. van Koningsveld yang dimuat Harian Kompas (tanggal 16 Januari dan 6 Februari 1983), Snouck juga menggaet pribumi lainnya untuk berkoresponden, di antaranya adalah Abu bakar Djajadiningrat dan Haji Mustafa. 

Snouck dan Pan Islamisme

Kepada keturunan Arab, Snouck menerapkan strategi politik passen-stelsel dan wijken-stelsel, yakni kebijakan kolonial yang berusaha membatasi kegiatan para keturunan Arab. Sebuah upaya Snouck untuk menghentikan imigrasi Arab Hadramaut (Orang Hadhrami) yang tak terbendung. Ancaman nyata kolonial terhadap keturunan Arab adalah Pan Islamisme. Menyitir dalam buku Ensiklopedia Islam terbitan Departemen Agama bahwa Pan Islamisme memiliki tiga pengertian: Pertama, penentang secara umum terhadap kolonialisme Barat dengan berbasis Islam dan umat Islam di setiap daerah koloni; Kedua, alat yang digunakan Sultan Turki Utsmani Abdul Hamid II (1876-1909) untuk mempertahankan dan mengembangkan pengaruh kekuasaan Turki Utsmani atas dunia Islam; Ketiga, usaha membangkitkan kembali sistem kekhalifahan pasca keruntuhan Khilafah Utsmaniyyah tahun 1924.

Kesultanan Turki juga membuat Konsulat Jendral di Batavia sebagai wakil kekuasaan yang akan menolong dan mewujudkan keinginan mereka, sekalipun hal itu tidak dikehendaki oleh para penguasa negeri ini. Akan tetapi, gerakan Pan Islamisme mereda seturut kalahnya Turki di perang dunia I. Dengan demikian politik Snouck untuk membendung imigrasi keturunan Arab Hadramaut tercapai oleh keadaan perang dunia I. 

Diaspora Keturunan Arab

Para keturunan Arab atau orang-orang Hadhrami adalah kelompok minoritas di negeri ini, tetapi mereka memiliki peran yang sangat besar (dominant minorities) dalam berbagai bidang. Istilah Hadhrami atau Hadharim dinisbatkan kepada tanah leluhur mereka di Hadhramaut, Yaman. Menilik analisis para pengamat dan sejarawan, orang hadhrami hadir sejak sebelum bangsa ini merdeka. Tidak sedikit pengamat politik menilai, bahwa peran keturunan Arab dalam membentuk nilai-nilai kebangsaan jauh lebih besar daripada kelompok etnis lainnya. Salah satu epos kisah tentang orang Hadhrami yang berkesan hingga Belanda memperingati jasanya ialah Sayid Abdullah Mohammad Boestam. Ia hidup sekira paruh awal abad ke-17. Ia memiliki ayah bernama Sayid Husen, dan acapkali karib dengan sebutan Wangsa Naya, dan Ibunya, adalah seorang cucu wanita Raja Mataram II (Hamid Algadri, 1984).

Sayid Boestam sebagaimana dijelaskan dalam Herinneringen van Kiai Bustam alias Kertoboso adalah orang yang berjasa dalam meredam konflik antara Mangkubumi dengan Belanda, sekaligus ia yang mencetuskan gagasan adanya kerajaan Surakarta dan Yogyakarta (Kijai Bustam, De Kern, Collectie No 355). Kajian ilmiah mengenai Hadhrami sebagai sebuah kelompok sosial sangat minim di Indonesia. Kita acapkali menjadikan karya-karya klasik Belanda sebagai karya yang otoritatif semacam karya Huub de Jonge, Raffles, L.W.C. Van den Berg, Nico J Kaptein, Snouck, hingga Natalie Kesheh. Sementara karya klasik Belanda tersebut syarat dengan kesan negatif dan intrik orientalisme. Memang sangat diperlukan sebuah pembacaan kritis baru atas narasi sejarah kita terutama berkait para keturunan Arab, karena merupakan realitas minoritas yang terberi yang bagaimanapun punya sumbangsih dalam membentuk semacam diaspora keragaman ke-Indonesiaan (dan tentu saja juga harus diikuti pembacaan sejenis atas etnis-etnis lain yang akan membantu pembacaan realitas keragaman yang mengukuhkan).

Wallahu a’lam.

Editor: Mohammad Hagie

0
726
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.