“Bagi kolonial, Islam memunculkan kecurigaan sebagai sebuah kenyataan berbahaya, suatu kekuatan yang mampu dan mungkin akan muncul di mana saja dan kapan saja”
(Nancy. K. Florida, “Jawa-Islam di Masa Kolonial”, 2020)
Politik Haji: Imaji dan Praktik Kolonial
Kolonialisme membutuhkan pengetahuan memadai tentang Islam dan masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan di Hindia Belanda. Imaji kekhawatiran inilah yang menyadarkan kolonial bahwa untuk mengatur tanah jajahan, ternyata tidak hanya membutuhkan tentara dan armada yang kuat, pula pemahaman tentang masyarakatnya. Belanda mengawali penelitian dengan mengerahkan para misionaris, namun hal ini dinilai tidak efektif, mengingat situasi politik masa itu bisa menimbulkan ketegangan dengan pemimpin muslim. Arkian, Pada 1778 VOC menginisiasi berdirinya lembaga penelitian ilmiah pertama di Hindia: Bataviasche Genootschap van Kunsten en Westenschappen. Lembaga ini bergerak dalam bidang ilmu alam sosial dan humaniora. Tujuannya yakni mengadvokasi persoalan pertanian, perdagangan, dan kesejahteraan sosial di Hindia Belanda.
Pada 1851, Belanda kemudian memperluas spektrum kajian perihal penduduk, kebudayaan dan masyarakat Hindia Belanda dalam lembaga Royal Institute of Linguistics, Geography and Ethnology of the Netherlands Indies atau yang sering kita kenal (Koninklijk Instituut Voor Taal- Land En Volkenkunde Van Nederlanch Indie/KITLV) di Leiden. Lembaga ini memberikan hajat pemerintah kolonial, baik akademik maupun praktis dalam mengatur Hindia Belanda. Dalam studi-studi KITLV, Islam dipandang sebagai agama yang berbahaya bagi kepentingan Belanda, dan karenanya mereka takut terhadap Islam (Islamophobia). Oleh sebab itu, Belanda menginginkan agar kekuatan Islam yakni para ulama, distagnasikan dan dikuasai secara politis. Selain mengadopsi Islamophobia, VOC juga sangat takut pada ibadah haji (haji phobia). Untuk yang terakhir ini, Raffles pernah memorandum dalam karya The History of Java-nya, bahwa para gubernur harus hati-hati terhadap “pastor pribumi” (sebutan Raffles untuk para haji). Mereka, para haji dianggap sering memimpin pemberontakan terhadap orang Eropa.
Seorang pegawai Raffles mengatakan bahwa, seorang bupati yang telah meninggal, dua dari sejumlah anaknya sangat tidak layak menggantikannya hanya karena yang satu sudah berhaji dan satu sedang melakukan ibadah berhaji. (Steenbrink, 1984). Raffles bukanlah satu-satunya, dan tidak pula nan perdana yang memiliki kacamata seperti itu terhadap haji. Menurut Jajat Burhanudin dalam bukunya “Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017)”, walaupun sangat dilandasi kepentingan ekonomi, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) memiliki pandangan yang sama, tatkala pada 1664 melarang tiga orang Bugis yang baru pulang dari Makkah untuk mendarat di Hindia Belanda, dengan alasan bahwa “kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang percaya takhayul di daerah ini memiliki konsekuensi yang sangat serius”.
Menurut catatan Henri Chambert-Loir, di tahun 1482, orang Hindia Belanda (Nusantara) telah menunaikan ibadah haji yaitu laksamana Melaka Hang Tuah. Sekitar 1520 disusul Sunan Gunung Jati dan Syekh Yusuf Makassar pada 1650 (data lain, 1644). Pada abad ke-19, dengan mujurnya transportasi laut, menunaikan haji menjadi gejala massa. Dari 1853-1859, pemerintahan Hindia Belanda mendaftar 13.000 peziarah tetap, artinya rata-rata sekitar 2.000 setahun. Pada 1872, kunjungan jemaah haji orang Nusantara, hampir 10.000 peziarah setahun selama musim haji 1880; dan meningkat 11.788 pada 1895; 24.024 pada 1991, pada 1927 mencapai 52.412. Untuk enam tahun yaitu 1914, 1921, 1924, 1927, 1928, 1931, rombongan haji Nusantara 42-50 persen dari total orang naik haji. Jumlah jemaah haji terbanyak berasal dari Nusantara, baik pada masa itu maupun masa kini.
Pada 1825, Belanda berupaya membatasi haji dengan memutuskan bahwa setiap haji, dari Jawa dan Madura, harus membayar 110 gulden untuk paspor haji, yang diwajibkan bagi setiap muslim yang berniat pergi ke Makkah untuk mengambil langkah-langkah yang mempersulit umat muslim membuat paspor haji. Beberapa tahun kemudian, pada 1831, sebuah aturan baru dikeluarkan untuk merevisi Resolusi 1825, bahwa haji tanpa paspor diwajibkan membayar dua kali harga sebuah paspor, fl 220. Peraturan ini tetap berlaku hingga tahun 1859, ketika pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah peraturan (ordonansi) yang menentukan kebijakan haji pemerintah kolonial Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Dalam kaitan ini, di samping mewajibkan biaya tersebut, ordonansi 1859 mewajibkan orang-orang yang ingin berhaji agar memiliki surat keterangan dari bupati, menunjukkan bahwa dia memiliki cukup biaya, baik untuk perjalanan maupun untuk keluarga di rumah yang ditinggalkan. Lebih jauh, ketika kembali, para haji diwajibkan untuk menjalani ujian oleh Bupati, yang dengan dasar itu, mereka diizinkan untuk menggunakan gelar haji dan memakai jenis pakaian haji bergaya Arab (Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19).
Oleh karena itu, pada 1872 Belanda mendirikan sebuah konsulat di Jeddah, untuk menambah informasi yang telah mereka peroleh melalui surat keterangan para bupati, dan lamat-lamat meningkatkan kontrol mereka atas para haji di negeri jajahan. Rasa takut terhadap bahaya politik haji meningkat secara signifikan di antara para pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian melahirkan orientasi baru dalam kebijakan kolonial terhadap Islam. Sehingga, orientasi anyar ini ditautkan dengan karir intelektual seseorang, saat ia datang untuk mempelajari komunitas Jawi di Makkah: Christian Snouck Hurgronje.
Rasa takut terhadap bahaya politik haji meningkat secara signifikan di antara para pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian melahirkan orientasi baru dalam kebijakan kolonial terhadap Islam. Sehingga, orientasi anyar ini ditautkan dengan karir intelektual seseorang, saat ia datang untuk mempelajari komunitas Jawi di Makkah: Christian Snouck Hurgronje.
Snouck Hurgronje dan Politik Haji
Christian Snouck Hurgronje, demikian nama lengkapnya, dilahirkan dari pasangan Jacob Julianus dan Anna Maria De Visser. Snouck lahir pada Minggu, 8 Februari 1857, di kota Oosterhout, Provinsi Noord Brabant. Keluarga dari garis keturunan ayahnya seorang terpelajar dan dikenal sebagai teolog serta pendeta. Studi setingkat SMA ditempuh Snouck di lembaga Rijks Hogere Burger School (RHBS) di Breda. Lulus dari RHBS, ia mempersiapkan jenjang pendidikan di Universitas Leiden. Untuk persiapan ke Leiden, Snouck berkonsultasi dengan Abraham Kuenen, teolog dan peneliti Alkitab. Snouck menjadi salah satu dari 62 orang yang dinyatakan lulus untuk studi di Universitas Leiden. Di Leiden inilah jaring-jaring intelektual Snouck berkembang. Bersama dengan teman kuliahnya, Herman Bavinck, Snouck mereguk dunia akademisi. Pada pusat studi Leiden ini pula Snouck menemukan mentor yang makin mengasah kemampuannya mengkaji Islam dan kebudayaan Semit yakni Michael De Goeje. Kuliah yang disampaikan De Goeje menjadi inspirasi bagi Snouck memantapkan pilihan sebagai intelektual.
Pada tanggal 21 September 1878 Snouck berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dengan disertasi yang mengetengahkan ritual ibadah haji di Mekkah, “Het Mekkaansche feest” (perayaan Mekkah) pada usia 23 tahun, tapi belum pernah ke Mekkah. Disertasi Snouck memesona Konsul Jenderal Belanda di Jeddah Johannes Adrianus Kruijt untuk membantunya. Kruijt menyampaikan bahwa pelaksanaan ibadah haji oleh jamaah haji Hindia Belanda dengan jemaah lainnya berdampak pada dinamika perkembangan politik di Hindia Belanda (Wim Van den Doel, 2023). J.A. Kruij meminta bantuan Snouck untuk meneliti jamaah haji asal jajahan Belanda. Sebelum berangkat ke Jeddah, Snouck telah membaca penelitian pendahulunya Brooshooft, tentang politik haji yang dimuat di harian De Locomotief. Brooshooft menumangkan ekskalasi bilangan jamaah haji asal Indonesia setiap tahunnya.
Pada 1884, Snouck berangkat ke Jeddah mengemban misi senyap-senyap dari negerinya, Belanda. Setiba di pelabuhan Jeddah, ia tidak langsung masuk ke tanah suci. Ia melancarkan observasi dan pengkodifikasi sebagai bahan informasi yang penting disampaikan kepada atasannya. Di Jeddah, Snouck membangun korespondensi dengan seorang dokter, Abu Sa’d Kamaran yang bertugas di dinas kebersihan Laut Merah. Kantor ini di bawah pengawasan badan internasional, Dewan Tinggi Kebersihan yang berkedudukan di Konstantinopel. Pejabat kedinasan ini bertugas mencatat dan mengawasi lalu lintas orang, termasuk memeriksa kesehatan dan melakukan karantina orang-orang yang bermasalah kesehatan. Melalui pengamatan yang jeli dan serius, Snouck menemukan celah kebobrokan berupa banyak petugas kedinasan yang kerja tak serius. Ditambah pula, keadaan yang tidak kondusif setiap musim haji yakni “persekongkolan” antara syarif Mekkah-Madinah dengan para ketua suku Badui di satu sisi, dan di sisi lain antara Syarif Mekkah sebagai wakil penguasa Turki Utsmani dengan orang-orang Barat.
Persekongkolan itu terkait dengan tarik-menarik kepentingan dalam setiap penyelenggaraan haji pada masa itu. Dalam situasi seperti itulah, Snouck membaca peluang untuk dapat masuk lebih dekat ke dalam wilayah tanah suci. Dengan mengubah nama menjadi Abdul Ghoffar, Snouck menyaru menjadi muallaf dan dapat masuk ke wilayah yang paling dianggap sakral oleh umat Islam. Bukan itu saja, bak pemimpin besar Snouck diantar dan dipersilakan masuk ke dalam Ka’bah oleh Syarif Mekkah. Semenjak itu, Snouck mulai leluasa menjalankan operasi rahasia di Mekkah. Narasi inilah yang luput dari sejarah, beruntung saya jumpai tulisan Sartono Kartodirdjo di harian Kompas Minggu (3/1/1982) “Surat dari Wassenaar”. Dalam tulisan tersebut Sartono Kartodirdjo menyitir berbagai kritik yang dilancarakan oleh para sarjana Leiden terhadap Snouck, di antaranya Van Koningsveld. Menurutnya, kerja-kerja Snouck lebih tepat dengan istilah “spionase” (mata-mata) bahkan mungkin sebagai “counter-insurgency” (upaya militer dan sipil meredam pemberontakan).
Berdasarkan amatan intelijen Snouck, jamaah haji Nusantara dapat diklasifikasikan menjadi 4 macam golongan muslim: kaya; biasa; berilmu; awam. Muslim kaya adalah para priyayi, para raja, kepala daerah di luar Jawa, para pangreh praja dan pensiunan pegawai di Jawa yang berhasil mengumpulkan tabungannya, serta para saudagar kaya dari pelosok negeri. Muslim biasa adalah para petani dan pegawai biasa yang jarang menabung, namun memiliki mimpi yang kuat untuk menunaikan haji. Tidak jarang mereka memaksakan diri untuk menjual sawah, rumah, barang berharga, dan hewan ternak mereka untuk biaya menunaikan haji. Muslim berilmu adalah mereka yang menurut Snouck disebut santri-santri Nusantara di Mekkah, berhaji sambil menimba ilmu kepada para ulama Hijaz, maupun ulama asal Indonesia. Sedangkan muslim awam adalah mereka yang menunaikan haji dalam rangka menggugurkan rukun Islam ke-5.
Pada tahun 1885, tercatat Snouck pernah menghadiri halaqah yang diadakan di kediaman Syekh Nawawi al-Bantani. Hal itu ia telurkan dalam catatannya berjudul, “Mecca in the Latter Part of 19th Century”. Diceritakan oleh Snouck bahwa halaqah itu dihadiri lebih dari 200 orang, secara rutin baik di waktu pagi, siang, maupun malam. Syekh Nawawi yang ditemui setelah beberapa hari merampungkan karyanya, Tafsir Munir atau dikenal pula dengan Marah Labid, dicandrakan Snouck sebagai sosok ulama yang sangat asketis. Kepribadian dan penampilannya merepresentasikan sosok orang-orang Nusantara pada umumnya yang sedang menunaikan haji. Dalam halaqah itu, Syekh Nawawi sendiri yang memimpin forum itu dengan bahasa pengantar terkadang menggunakan bahasa Arab, Melayu, dan Jawa. Di tengah keintimannya mengemban misi, Snouck terpaksa hengkang dari Hijaz lantaran dituding terlibat skandal pembunuhan orientalis Perancis, Charles Hubber. Pada 1 September 1885, ia kembali ke Leiden dan mengajar di Institut Pendidikan Pegawai Pemerintahan di Hindia Belanda, sebelum ia memutuskan ke Hindia Belanda yang memikatnya lewat kabar di media massa.
Snouck Pergi Ke Hindia Belanda
Pada Tahun 1889, Snouck mendapat mandat dari pemerintah Belanda untuk meneliti Aceh. Kemudian tepat pada 23 Mei 1892 ia menyampaikan laporan berjudul “Verslag omtrent de religieus politieke toestanden Aceh” (Laporan tentang situasi politik agama di Aceh) kepada Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk. Laporan tersebut ada empat buah jilid: dua jilid pertama (uraian tentang alam dan bangsa dan tokoh-tokoh yang penting), dinotulen menjadi buku “De Atjehers” yang terdiri dari dua jilid, yang terbit pada tahun 1893-1894 pada penerbitan pemerintah kolonial Belanda. “De Atjehers” ini merupakan telaah antropologi budaya lengkap yang meliputi segalanya, yang belum ada duanya dilakukan mengenai bagian Hindia Belanda mana pun. Namun, karya “De Atjehers” hanya berisi tentang Islam pada saat Islam lahir, tidak ada dalam kemunduran dan beberapa fakta-fakta keterbelakangan yang berkembang di kalangan umat Islam.
Di Hindia Belanda, Snouck tak hanya pergi ke Aceh. Pada Maret 1889, Ia ke Batavia (Jakarta) mengemban tugas meneliti Islam di Jawa. Di Jawa, Snouck melakukan perjalanan keliling Jawa dari Batavia-Weltevreden ke Buitenzorg (Bogor) lalu Sukabumi, Garut menuju Galuh (Ciamis), Cirebon, Tegal, Pekalongan, Purbalingga, Kebumen, Purworejo, Banyumas, dan Wonosobo. Terkait strategi soal menjinakkan Hindia Belanda, Snouck menyarankan penerapan politik asosiasi bagi elite Indonesia, menghidupkan kembali pengaruh kelompok tradisional dan hukum adat setempat bersanding dengan hukum Islam dan pemisahan kaum ulama, meniadakan ruang politik dalam domain kehidupan beragama (Islam). Menyangkut strategi politik Snouck, dalam tulisan ini saya memfokuskan pada keturunan Arab.
Adalah Hamid Algadri, seorang Warga Negara Indonesia berdarah Arab menuliskan perihal politik kolonial terhadap keturunan Arab dengan judul “C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab”. Buku tersebut menjadi pemantik saya untuk menulis artikel ini. Dalam kumpulan tulisan itu, Hamid Algadri mencoba mencatat sejarah politik Islam Belanda dengan sejarah keturunan Arab yang acapkali “tenggelam” dalam narasi sejarah Indonesia. Keturunan Arab boleh dikatakan mendapat perhatian khusus oleh Snouck selaku Islamolog. Menyitir Kevin W Fogg dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia: “Mencari Arab, Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck tentang Hindia Belanda (2017)” menyatakan bahwa Snouck menggunakan kacamata Arab untuk studi Islam di Hindia Belanda. Hidup di tanah jajahan dalam waktu lama tak sanggup menghilangan kecenderungan kiblat menilai Islam melulu dari Arab.
Cara itu mengakibatkan konklusi: Islam di tanah jajahan itu “rendahan” atau “ternoda” jika ditilik dari terapan ajaran-ajaran Islam di Arab. Snouck sengaja abai atau “menghilangkan” harmoni Islam dan lokalitas di Hindia Belanda. Di mata Penasehat Urusan Pribumi, Islam harus berstandar Arab. Jika dahulu politik Belanda berusaha memisahkan antara kaum priyayi dan kaum kiai, maka di paruh akhir abad 18 Belanda mempolarisasi terhadap keturunan Arab. Di mata kolonial, keturunan Arab menjadi sebuah ancaman hingga dinyatakan dalam kolonial verslag: “Orang Cina mengganggu perkembangan ekonomi yang sehat di Pulau Jawa, tetapi orang Arab mengganggu keamanan, menimbulkan kerusuhan”. Oleh karenanya aktivitas mereka mesti dibatasi dengan seksama.
Snouck sengaja abai atau “menghilangkan” harmoni Islam dan lokalitas di Hindia Belanda. Di mata Penasehat Urusan Pribumi, Islam harus berstandar Arab. Jika dahulu politik Belanda berusaha memisahkan antara kaum priyayi dan kaum kiai, maka di paruh akhir abad 18 Belanda mempolarisasi terhadap keturunan Arab.
Snouck dan Othman Ibn Yahya
Snouck memulai politik terhadap keturunan Arab dengan bersahabat: Othman Ibn Yahya (Sayid Utsman). Seorang ulama bergelar “Sayid” yang memiliki genealogical chart (silsilah keluarga) yang terhubung dalam mata rantai keturunan Nabi Muhammad. Ia dihormati khalayak ramai sekaligus memiliki kedudukan sosial tinggi. Snouck menerapkan politik ini, setelah ia membaca tulisannya Lois Rinn, seorang Perancis, yang berjudul “Marabouts et Khovan”. Dalam buku tersebut mengisahkan bagaimana Perancis menaklukan Aljazair dengan cara berteman dengan suatu tarikat untuk menghadapi tarekat lain yang memusuhi Perancis. Semacam taktik devide et empire (pecah belah). Othman Ibn Yahya merupakan ulama penentang tarekat, utamanya Naqsabandiyah, yang acap kali menentang pemerintah kolonial.
Perihal pertentangan dengan ulama tarekat terekam dalam perdebatan sengit antara dirinya dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Bermula dari Syekh Abdul Shamad Palembang yang mendirikan masjid baru pasca dibakarnya masjid Kesultanan. Masjid itu menjadi kegiatan intelektual dan digunakan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Pada saat itu juga Belanda juga tengah membangun masjid untuk Kesultanan Palembang. Belanda tentu saja khawatir dengan aktivitas tersebut. Oleh karenanya, Belanda pada 1893 meminta Othman Ibn Yahya (Mufti Betawi) itu mengeluarkan fatwa bahwa shalat jumat di “masjidnya” Syekh Abdul Shamad tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan, karena sejatinya di satu kota hanya boleh dilaksanakan shalat jumat di satu masjid saja. Syekh Abdul Shamad lantas berkorespondensi kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Korespondensi tersebut berbalas sebuah kitab berjudul “Shulhul Jama’atain bi Jawaz Ta’addudil Jum’atain” yang ditulis langsung oleh Syekh Ahmad Khotib. Kitab ini menjadi semacam hukum otoritatif fiqih di Nusantara, sekaligus meruntuhkan “reputasi dan wibawa” Mufti Betawi. Tak tinggal diam, Othman Ibn Yahya kemudian menulis kitab susulan berisi tanggapan atas tanggapan dengan judul: Tabyinul Khati’atain Fi Shulhil Jama’atain. Melalui kitab ini, Othman Ibn Yahya mengudara kekeliruan pandangan dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabu dalam karyanya, Shulhul Jama’atain. Snouck memberi jabatan kepada Othman Ibn Yahya sebagai mufti urusan-urusan pribumi. Dalam beberapa tahun masa jabatannya sebagai mufti kolonial, reputasi keulamaan Sayid Usman tetap dipertaruhkan dan terbukti sukses dalam banyak hal meredam berbagai aktivisme politik umat muslim yang merongrong pemerintah Hindia Belanda.
Dalam beberapa tahun masa jabatannya sebagai mufti kolonial, reputasi keulamaan Sayid Usman tetap dipertaruhkan dan terbukti sukses dalam banyak hal meredam berbagai aktivisme politik umat muslim yang merongrong pemerintah Hindia Belanda.
Keberadaan Sayid Utsman dalam lingkaran politik kolonial, semata-mata agar dirinya dapat memberi pengaruh baik, terutama dalam soal kebijakan-kebijakan keagamaan Islam di Indonesia. Paling tidak, Sayid Utsman menjadi peletak dasar utama dalam pembentukan lembaga pengadilan agama di Indonesia yang melepaskan diri dari pengadilan tata negara yang lebih umum. Pengaruh Sayid Utsman dalam pembentukan lembaga peradilan agama ini, diwujudkan dalam suatu karyanya berjudul, “Kitab al-Qawanin al-Syar’iyyah li ahl al-Majalis al-Hukmiyyah wa al-Ifta’iyyah” (Buku aturan hukum Islam bagi staf dewan pengadilan dan penasehat) yang selanjutnya menjadi buku standar bagi para hakim pada Peradilan Agama di Indonesia. Dalam penelitian Dr. P.S. van Koningsveld yang dimuat Harian Kompas (tanggal 16 Januari dan 6 Februari 1983), Snouck juga menggaet pribumi lainnya untuk berkoresponden, di antaranya adalah Abu bakar Djajadiningrat dan Haji Mustafa.
Snouck dan Pan Islamisme
Kepada keturunan Arab, Snouck menerapkan strategi politik passen-stelsel dan wijken-stelsel, yakni kebijakan kolonial yang berusaha membatasi kegiatan para keturunan Arab. Sebuah upaya Snouck untuk menghentikan imigrasi Arab Hadramaut (Orang Hadhrami) yang tak terbendung. Ancaman nyata kolonial terhadap keturunan Arab adalah Pan Islamisme. Menyitir dalam buku Ensiklopedia Islam terbitan Departemen Agama bahwa Pan Islamisme memiliki tiga pengertian: Pertama, penentang secara umum terhadap kolonialisme Barat dengan berbasis Islam dan umat Islam di setiap daerah koloni; Kedua, alat yang digunakan Sultan Turki Utsmani Abdul Hamid II (1876-1909) untuk mempertahankan dan mengembangkan pengaruh kekuasaan Turki Utsmani atas dunia Islam; Ketiga, usaha membangkitkan kembali sistem kekhalifahan pasca keruntuhan Khilafah Utsmaniyyah tahun 1924.
Kesultanan Turki juga membuat Konsulat Jendral di Batavia sebagai wakil kekuasaan yang akan menolong dan mewujudkan keinginan mereka, sekalipun hal itu tidak dikehendaki oleh para penguasa negeri ini. Akan tetapi, gerakan Pan Islamisme mereda seturut kalahnya Turki di perang dunia I. Dengan demikian politik Snouck untuk membendung imigrasi keturunan Arab Hadramaut tercapai oleh keadaan perang dunia I.
Diaspora Keturunan Arab
Para keturunan Arab atau orang-orang Hadhrami adalah kelompok minoritas di negeri ini, tetapi mereka memiliki peran yang sangat besar (dominant minorities) dalam berbagai bidang. Istilah Hadhrami atau Hadharim dinisbatkan kepada tanah leluhur mereka di Hadhramaut, Yaman. Menilik analisis para pengamat dan sejarawan, orang hadhrami hadir sejak sebelum bangsa ini merdeka. Tidak sedikit pengamat politik menilai, bahwa peran keturunan Arab dalam membentuk nilai-nilai kebangsaan jauh lebih besar daripada kelompok etnis lainnya. Salah satu epos kisah tentang orang Hadhrami yang berkesan hingga Belanda memperingati jasanya ialah Sayid Abdullah Mohammad Boestam. Ia hidup sekira paruh awal abad ke-17. Ia memiliki ayah bernama Sayid Husen, dan acapkali karib dengan sebutan Wangsa Naya, dan Ibunya, adalah seorang cucu wanita Raja Mataram II (Hamid Algadri, 1984).
Sayid Boestam sebagaimana dijelaskan dalam Herinneringen van Kiai Bustam alias Kertoboso adalah orang yang berjasa dalam meredam konflik antara Mangkubumi dengan Belanda, sekaligus ia yang mencetuskan gagasan adanya kerajaan Surakarta dan Yogyakarta (Kijai Bustam, De Kern, Collectie No 355). Kajian ilmiah mengenai Hadhrami sebagai sebuah kelompok sosial sangat minim di Indonesia. Kita acapkali menjadikan karya-karya klasik Belanda sebagai karya yang otoritatif semacam karya Huub de Jonge, Raffles, L.W.C. Van den Berg, Nico J Kaptein, Snouck, hingga Natalie Kesheh. Sementara karya klasik Belanda tersebut syarat dengan kesan negatif dan intrik orientalisme. Memang sangat diperlukan sebuah pembacaan kritis baru atas narasi sejarah kita terutama berkait para keturunan Arab, karena merupakan realitas minoritas yang terberi yang bagaimanapun punya sumbangsih dalam membentuk semacam diaspora keragaman ke-Indonesiaan (dan tentu saja juga harus diikuti pembacaan sejenis atas etnis-etnis lain yang akan membantu pembacaan realitas keragaman yang mengukuhkan).
Wallahu a’lam.
Editor: Mohammad Hagie