Menu

Van der Kraan dan Menak (Bangsawan) Sasak

Melengkapi review saya atas buku Prof. Dr. Alfons Van der Kraan, Lombok: Penaklukan, Penjajahan, dan Keterbelakangan (1870-1940), berikut saya mengajukan beberapa tafsiran dari data-data yang ditawarkan Kraan.

Saya pernah berkorespondensi dengan Kraan, terutama soal bukunya ini.  Baginya, bukunya tentang Lombok tersebut merupakan produk dari gairah masa muda seorang sarjana. Maksudnya, bahwa di dalam penelitiannya tersebut banyak hal yang sudah usang secara asumtif maupun teoritik. Singkatnya, banyak hal yang harus direvisi oleh Kraan.

Kraan  mengirimkan satu artikel panjang lainnnya mengenai Lombok, terutama menyoroti sejarah pendidikan modern di kalangan penduduk Lombok sejak zaman penjajahan Belanda sampai menjelang kemerdekaan Indonesia. Hal ini menunjukkan tingkat keseriusan Kraan meneliti Lombok.

Saya pertama kali memperoleh informasi tentang penelitian Kraan mengenai Lombok dari salah satu tulisan dari kumpulan tulisan (almarhum) Kuntowijoyo yang diedit oleh AE Priyono, Paradigma Islam: Interprestasi untuk Aksi (terbitan Mizan). Menurut Kuntowijoyo, penelitian Kraan adalah salah satu contoh penelitian sejarah sosial yang bergizi: datanya padat, ketat, dan banyak. Tetapi bukan berarti tanpa celah.

Para menak Karangasem Bali di Lombok juga berhasil membangun infrastruktur ilmu pengetahuan mereka, seperti ribuan naskah kuno yang mereka koleksi dan perbanyak nantinya disita Belanda dan sebagian dipindah ke pulau Bali.

Sebagai bagian dari generasi muda Sasak, saya tidak ingin naif atau terjebak dalam “poskolonialitas kekanak-kanakan”: menolak semua yang ditulis oleh orang luar (outsider). Berhadapan dengan produksi pengetahuan tentang “kita” oleh “orang luar” adalah suatu keniscayaan zaman. Persoalannya, selama ini kita selalu mencukupkan diri dengan para produsen pengetahuan dari luar itu tanpa memberikan alternatif atau terlibat aktif dalam praksis pengetahuan itu sendiri, terlebih ketika terkait dengan diri sendiri. Artinya sepanjang kita memiliki sikap kritis dan tidak mencukupkan diri dengan penjelasan mereka tentang “kita”, maka interaksi dengan produksi intelektual “orang luar” tersebut akan menjadi suatu yang produktif secara intelektual.

Sejak 1970-an, generasi ketiga dari intelektual dunia yang terlibat dalam dekolonisasi bangsanya menegaskan penolakan mereka tentang ketunggalan sistem nalar dalam memproduksi pengetahuan. Acuan-acuan universalisme dalam pengetahuan telah runtuh dan dianggap hal yang tidak bermoral. Berbeda dengan kritik kaum posmodernis di Eropa yang menolak metanaratif dari nubuat pencerahan Eropa secara internal, kaum dekolonial ini secara nasab tumbuh dari rahim perlawanan politik cum intelektual bangsa-bangsa terjajah. Pada dekade itulah mereka berbicara soal politik pengetahuan (politic of knowledge) yang singkatnya kurang lebih demikian: tidak ada patokan nalar; perayaan atas keragaman nalar; agar bisa menyikapi produksi pengetahuan Barat maka harus menguasainya dengan seksama sampai ke konteksnya (dalam artian luas) sehingga jelas batas kewilayahannya; dan saatnya produk pengetahuan modern dibaca  di dalam koridor tradisi intelektual yang beragam di dunia.

Penelitian Kraan tentang Lombok merupakan salah satu penelitian paling serius tentang Lombok. Kraan memilih suatu fase paling krusial dari terbentuknya masyarakat Lombok modern. Persoalan yang harus digarisbawahi di sini, bahwa penelitian Kraan ini diterjemahkan di tengah sebuah masyarakat yang hampir saja tidak mewarisi catatan sejarah apapun tentang diri mereka. Saya sedikit nyinyir dengan beberapa komentar atas terbitnya terjemahan buku Kraan ini, terutama dari kalangan orang Sasak dan Bali (baik Bali di pulau Bali atau di Lombok), yang mengharapkan keberadaan suatu postur bulat dari historiografi Lombok. Saat ini, seperti terjadi di mana-mana, imaginasi soal sejarah masa lalu sedang menjamur sampai di luar koridor praksis pengetahuan itu sendiri. Biasanya, mereka akan masuk di salah satu kotak: mengglorifikasikan data sejarah yang menguntungkan status quo mereka; atau mereka terjebak dalam mistifikasi atas apa yang mereka bayangkan sendiri sebagai sejarah.

Sementara itu, Kraan sendiri lebih tertarik dengan dinamika penting masyarakat Sasak dalam periode yang sangat krusial, yakni peralihan dari zaman Kolonial Bali Karangasem, masa kembalinya kolonial Belanda, sampai dengan zaman pra-kemerdekaan. Tiga periode yang dianggap produktif untuk melihat masyarakat Sasak hari ini.

Seperti diketahui, Belanda telah menginvensi Bali atau ke-Bali-an secara serius, terutama untuk menyusun Bali sebagai anti-tesa bagi Jawa yang merosot oleh kedatangan Islam. Bali juga disusun sebagai suatu produk kolonial yang paling dihasrati oleh kultur persangkaan kolonial. Kita tidak memperoleh postur bulat dari proses invensi Bali dan Ke-Bali-an ala kolonial tersebut. Tapi praktis baru pada tahun 1894 Belanda mengambil alih kekuasaan dari para penguasa Bali yang sebelumnya dibiarkan lebih leluasa mengelola kekuasaannya jika dibandingkan dengan kalangan yang sama di pulau Jawa. Para penguasa dari Bali Karangasem bahkan melebarkan kekuasaannya sampai ke Lombok. Dalam banyak penelitian disebutkan tentang kekayaan kerajaan Karangasem Bali ini ketika mengendalikan bagian Timur Bali dan Pulau Lombok. Sumber pendapatan mereka dari rebues lintas laut saja sangat besar. Para menak Karangasem Bali di Lombok juga berhasil membangun infrastruktur ilmu pengetahuan mereka, seperti ribuan naskah kuno yang mereka koleksi dan perbanyak nantinya disita Belanda dan sebagian dipindah ke pulau Bali.

Pada sisi lain, hubungan Bangsawan Bali atau orang Bali dengan orang Lombok sangat ambivalen sampai hari ini. Orang Bali menegakkan mentalitas superior mereka karena pernah menjajah Lombok. Mentalitas ambivalen tersebut tidak faktual tetapi merupakan tanda-tanda dari psiko-sosial masyarakat jajahan. Pola ini tidak begitu jelas, terutama soal bentuk kolonial domestik semacam kasus Karangasem Bali atas Lombok. Apakah hubungan antara para menak Karangasem di Lombok dengan masyarakat Sasak hanya hubungan penjajah dengan yang dijajah? Sebagai generasi Sasak yang hidup berhimpitan, bahkan jarak tembok rumah dengan orang Bali Lombok, saya mendapatkan adanya dinamika yang lebih kaya tentang hubungan kedua kelompok masyarakat yang sangat dominan dalam ruang sosial masyarakat Lombok.

Di titik inilah saya melihat kelihaian Kraan, dia mencoba keluar dari sebuah kumparan bola es sejarah orang Lombok dan Bali yang sangat krusial dengan cara mengambil periode lebih akhir dari dinamika masyarakat Lombok yang jelas lebih “ringan” bebannya.

Sejak pertengahan abad 19 Masehi, Belanda mulai khawatir dengan situasi kultur kolonial Eropa yang saling caplok satu dengan lainnya. Kerjasama perdagangan antara kaum bangsawan Karangasem di pulau Lombok dengan sejumlah konsorsium perdagangan Eropa-kolonial, seperti Inggris dan Skandinavia, sangat mengkhawatirkan pemerintah-penjajah Belanda. Mereka mengirim para pengawas perdagangan dan diplomat yang biasanya dari kalangan hadrami Indonesia. Menguatnya kontrol kolonial bersamaan dengan menguatnya persaingan internal puak penguasa Karangasem di pulau Lombok (Cakranegara, Pajang, Pagutan, dan lain-lain). Masing-masing sub-kerajaan memperebutkan monopoli atas tanah dan para penggarapnya (orang Sasak). Kondisi semacam itu membuat posisi orang Sasak semakin terjepit dan lemah sehingga menumbuhkan benih perlawanan di antara mereka terhadap kekuasaan penguasa Karangasem.

Kembali ke beberapa ­uneg-uneg soal buku Kraan:

Pertama, Kraan membangun tesisnya berdasarkan pada tiga kelompok, kelas-kelas sosial di Lombok: Triwangsa (menak Bali), perwangsa (menak sasak/pembesar sasak), petani bebas dan panjak (buruh tani yang tidak memiliki tanah). Soal kelas petani bebas dan buruh tani bisa dikomparasikan dengan pendapat (alm) Ong Hok Ham mengenai kelompok tani yang memiliki tiyang cekap (tanah cukup) dalam konteks Jawa (Rembang, Pati, Blora, dan sebagainya). Kelompok tani bebas inilah dalam konteks kolonial Jawa menjadi “tulang punggung” pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda yang pernah ada. Masih menurut Ong, pada pemberontakan Pangeran Dipanegara (Perang Jawa), para batur (kelas paling miskin yang tidak memiliki rumah dan pekerjaan) menjadi tulang punggung pendukung pemberontakan Dipanegara. Dari dua pendapat ini, menurut tafsiran saya, Ong ingin mengatakan bahwa “tulang punggung” pemberontakan dan perlawanan selalu adalah kelas sosial yang paling rendah karena merekalah yang menerima keburukan hidup akibat “ulah” kelas-kelas yang lebih tinggi, maka jarang sekali ada pemberontakan yang ‘ikhlas’ dari kelas ekonomi mapan dalam lintasan sejarah.

Walaupun saya tidak sepenuhnya bersepakat soal posisi para batur dan tiyang cekap sebagai tulang punggung Perang Jawa. Penempatan kaum pariah dalam suatu peristiwa sejarah di negeri ini seringkali menjadi suspen (kejutan yang setaraf dengan isapan jempol) oleh para peneliti asing. Dalam Perang Jawa misalnya, Peter Carey menyebut keberadaan para begundal, tukang garong, dan batur. Tetapi adakah penjelasannya yang lebih bertenaga soal mereka secara lebih detail? Di sini saya selalu kecewa, analisis kelas sosial mereka yang masih “liberal” sebenarnya bagian dari suspen narasi mereka untuk selalu mengabaikan fakta-fakta utama yang mereka hindari, yakni isu  Islam. Dalam kasus Perang Jawa, para peneliti luar sangat bias dalam melihat posisi sentral jaringan tarekat dan pesantren yang menyokong perlawanan Dipanegara.

Kedua, persaingan di antara kelas-kelas sosial tersebut dalam mengakumulasi kekuasaan dalam artian yang luas. Misalnya, Kraan menggambarkan bagaimana “triwangsa” menguasai masyarakat Sasak dengan mengikat para “perwangsa”, dan memberikan kepada mereka hak-hak atas tanah. Jadi, kelompok “kolaborator” di kalangan Sasak yang berperan serta dalam melanggengkan kekuasaan bangsa Bali di Lombok terdiri dari para perwangsa. Hal ini sudah pasti terjadi dalam hubungan “penjajah” dan “terjajah” di manapun. Di Jawa maupun di kawasan lain. Dalam konteks Jawa, bagaimana VOC (sebelum digantikan oleh pemerintah Hindia Belanda) menyuburkan dan menguatkan feodalisme untuk melanggengkan penjajahan mereka. Bahkan VOC-Belanda menambahi beberapa jabatan monarkhis untuk memperkuat pengaruh mereka atas orang Jawa, seperti penunjukan bupati-bupati di sejumlah daerah penting tanpa mensyaratkan “darah biru” untuk jabatan tersebut. Kelompok inilah yang kadang disebut priyayi. Pejabat-pejabat kolonial dari pribumi ini selalu bersikap mendua dalam isu-isu kemerdekaan pada awal abad 19 karena mereka takut kehilangan jabatan kolonial tetapi juga membaca potensi pergerakan nasional pada saat itu.

Dalam sejarah kolonial Indonesia, para kolaborator kolonial ini nantinya menjadi priyayi dan kaum borjuasi nasional yang sangat jarang disinggung dalam catatan sejarah Indonesia. Setahu saya, Indonesia adalah satu-satunya negara paskakolonial yang tidak memiliki catatan tentang kaum borjuasi nasionalnya.

Hal menarik dari Kraan, profanisasi terhadap beberapa istilah seperti triwangsa atau perwangsa. Maknanya disempitkan sebagai suatu kosa-kata feodal semata. Merosotnya kosa-kata kekuasaan lokal disebabkan oleh semakin mapannya bentuk kontrol kolonial terhadap para elit masyarakat jajahan, dan telah menumbuhkan suatu sistem kontrol efektif dengan menempatkan mereka sebagai jongos kolonial. Kuatnya sistem kontrol kolonial biasanya didukung oleh mapannya kontrol pengetahuan kolonial atas masyarakat dan tanah jajahannya.

Ketiga, soal bentuk, formasi, dan motif-motif “congah” (pemberontakan) di kalangan masyarakat Lombok. Congah atau pemberontakan yang ditampilkan oleh Kraan dalam bukunya ingin membantah klaim sejumlah elite Sasak mengenai wilayah kekuasaan mereka. Sampai hari ini sebagian besar para menak Sasak mengklaim bahwa moyang mereka memiliki wilayah kerajaan seperti luasnya kerajaan ala Jawa yang dengan sendirinya mengandaikan adanya stabilitas sosial, politik, ekonomi, dan Budaya pada masa sebelum Bali datang ke Lombok. Jika klaim ini benar, lantas kenapa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sporadik dan tidak menggambarkan bahwa mereka memiliki struktur (tidak saja fisik) pada masa sebelumnya sehingga soliditas kaum pemberontak sangat lemah. Hal ini, jika dibandingkan dengan pemberontakan-pemberontakan dalam konteks Jawa benar-benar tidak sama bentuk, formasi, dan motifnya. Kembali pada pemberontakan Dipanegara misalnya, terlihat sekali bahwa pemberontakan ini berjalan lama, sekitar lima tahun karena dukungan yang kuat dari kelompok sosial bawah sampai atas dengan mengandalkan struktur sosial Jawa yang sangat kuat pada saat itu.

Di Lombok ada proses glorifikasi historis yang sangat fanatik akan posisi ke-menak-an, seakan mereka bersih dan tidak pernah memiliki catatan hitam dalam sejarah.

Keempat, sebagai lanjutan dari yang ketiga, Kraan ingin menunjukkan bahwa formasi ke-menak-an yang dikenal sekarang di Lombok lebih banyak dibentuk pada masa penjajahan efektif Belanda. Terutama kelompok “perwangsa” yang menduduki posisi sebagai kepala distrik. Kepala-kepala distrik pada masa Belanda inilah yang paling banyak membentuk formasi ke-menak-an pada masa sekarang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Delapan kedistrikan dengan sembilan kepala distrik utama, ditambah dengan empat kedistrikan di wilayah Lombok Barat dapat ditelusuri jejak-jejaknya pada keluarga-keluarga bangsawan yang menempati posisi elit politik saat ini. Karena posisi status quo mereka berlanjut sampai pada masa paling nyaman, masa Orde Baru.

Ada satu fakta miris yang diungkap oleh Kraan saat Belanda datang ke Lombok (sekitar 1894), bagaimana para perwangsa datang ke kepala pasukan Belanda setiap hari, saat itu di Cakranegara, untuk mencari muka agar mendapatkan posisi penting pada masa penjajahan Belanda. Para perwangsa datang untuk minta “jatah” kepada Belanda. Hal yang sama juga dilakukan oleh para triwangsa. Sempitnya motif politik para perwangsa berefek buruk dengan dikembalikannya seluruh tanah orang Bali yang sempat diambil oleh para petani (petani bebas dan panjak) yang dulunya menggarap tanah-tanah druwe dalem milik perwangsa. Hal itu terjadi pada tahun keempat penjajahan belanda di Lombok pada masa residen Liefrinck.

Memang hal yang aneh di kalangan menak Sasak saat ini ketika tidak mau mengungkap posisi mereka sebagai kolaborator penjajahan pada masa Bali maupun Belanda. Kalau kita dibandingkan dengan para bangsawan Jawa, narasi kerjasama Belanda dengan para bangsawan menjadi kajian dan diskursus umum. Di Lombok ada proses glorifikasi historis yang sangat fanatik akan posisi ke-menak-an, seakan mereka bersih dan tidak pernah memiliki catatan hitam dalam sejarah.

Kelima, Kraan menghabiskan hampir sebagian besar energinya untuk memberikan gambaran mengenai penderitaan para petani: baik petani bebas maupun panjak (slave). Dalam bagian ini, kajian Kraan soal struktur kolonialisme sudah terhitung maju. Kalau kita merujuk kajian yang dilakukan Walter D. Mignolo soal struktur penjajahan orang putih terhadap para pribumi dan para budak impor dalam membentuk dan mematangkan kapitalisme putih, maka kajian Kraan yang fokus pada nasib buruk petani Sasak sangat membantu dalam melihat struktur kolonial Bali dan Belanda, terutama soal penjajahan Bali atas Lombok. Selama ini dikatakan bahwa penjajahan Bali sama dengan model penguasaan raja Jawa atas kerajaan tetangganya. Kraan menunjukkan bahwa keberadaan kerajaan Bali di Lombok berada pada masa krusial, yakni era perdagangan yang sangat maju. Kraan meyakini bahwa raja-raja Bali yang ada di Lombok termasuk raja-raja yang kaya raya di kawasan Timur Indonesia pada saat itu. Kekayaan mereka diakumulasi dari pajak yang sangat mencekik (dalam konteks Jawa hal ini dianggap biasa saja), peron luat, dan perdagangan sangat maju. Pencapaian dalam bidang perdagangan yang maju itulah yang menjadi salah satu motif penting Belanda mau mengintervensi penjajahan Bali di Lombok.

Keenam, soal struktur sosial masyarakat Sasak sebelum kedatangan Bali Karangasem ke Lombok. Apakah benar atau faktual ada kerajaan-kerajaan pra-Bali di Lombok, seperti Langko, Bayan, Selaparang, Pejanggik, Kahuripan, Kerekok, Memelak dan sebagainya? Kraan tidak mau berdebat soal ini. Dia membangun andaian demikian: terdapat beberapa desa otonom di Lombok Pra-Bali. Setiap desa otonom memiliki para pemuka yang membawahi petani bebas dan buruh tani. Desa otonom ini tidak terlalu luas. Artinya, tidak seluas “kerajaan” dalam bayangan orang Sasak saat ini tentang masa lalu mereka. Sebuah desa otonom bisa seluas kelurahan dalam konteks sekarang atau mungkin lebih kecil lagi.

Poin ini mengingatkan pada asumsi alternatif mengenai lema kedatuan dan kerajaan. Para datu bisa saja bukanlah para raja seperti dalam imaginasi modern atau kaum feodal kesiangan. Para datu adalah mereka yang dihormati karena kualitas personal dan kemampuan mereka memberikan kebaikan bersama bagi orang di sekitarnya. Para datu diteladani karena wibawa dan otoritas ruhani mereka, bukan karena semata perangkat kekuasaan politik mereka.

Sepintas persoalan desa otonom yang diajukan Kraan menarik, padahal pendapat seperti itu mengikuti saja pendapat para sejarawan Barat mengenai kerajaan-kerajaan di Indonesia. Misalnya, tesis Sutherland mengenai basis kerajaan-kerajaan besar di Nusantara yang berbasis pada desa otonom. Persoalannya, apakah desa otonom dalam konteks Sasak pra-Bali sudah sebesar wilayah desa otonom dalam konteks Jawa yang kemudian dijelmakan menjadi kerajaan-kerajaan besar? Kalau mengikuti narasi (alm) Pak Pram dalam naskah Mangir, maka sangat jelas bahwa desa otonom dalam konteks Sasak Pra-Bali sebesar perdikan “Mangir”. Dalam naskah Mangir, saya menghargai poin soal bagaimana Pak Pram meratapi hancurnya otonomi desa dalam sejarah Jawa. Dari gambaran semacam ini, jelas sekali bahwa salah satu kelemahan para Indonesianis adalah ortodoksi, yakni kesenangan mereka merawat ide-ide pendahulu mereka tanpa pernah mau membangun teori baru berdasarkan fakta-fakta yang mereka kaji. Kraan dalam konteks bukunya ini banyak sekali mendaur ulang kajian-kajian para Orientalis dalam bidang sejarah ketika berhapan dengan fakta-fakta sejarah di Jawa.

Masih banyak sekali yang dapat kita tafsirkan dari kajian Kraan yang sangat studious ini, misalnya data-data perpajakan yang sangat kaya. Banyak sekali, dan alangkah baiknya memang buku Kraan ini dibaca langsung ke teks Inggrisnya. Wallahu’alam.

0
1514
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.