Author Archives: Bandung Mawardi
Semua gara-gara telat. Sekian hari, ia berlagak bersih-bersih dan memberesi ribuan buku di Bilik Literasi. Di luar sering hujan, ia lambat bekerja. Adegan memegang dan membersihkan buku sering meminta pemanjaan. Ia mengingat lagi buku-buku itu terkhatamkan, sekian tahun lalu. Buku demi buku, dipandangi sambil merangsang ingatan saat mula-mula sebagai pembaca. Hari-hari dingin berganti kehangatan dalam nostalgia membaca buku. Sekian buku mengesahkan keputusan menjadi pembaca meski hidup tetap berantakan.
Ia teringat lagi Pariyem. Buku sudah lama dalam tumpukan. Berdebu. Ia perlahan membersihkan dengan tatapan mata sendu. Buku terbaca saat masih menjadi murid SMA. Dulu, ia pernah berahi gara-gara khatam Pengakuan Pariyem (1981) gubahan Linus Suryadi AG. Buku sederhana dicetak dengan kertas buram, terbitan Sinar Harapan. Buku agak berpengaruh untuk menguatkan hasrat sinau Jawa. Buku dikhatamkan berulang, membujuk turut menjadi penggubah sastra.
Pada masa remaja, ia memilih menikmati radio ketimbang televisi. Ia mengalami malam bersama siaran klenengan, keroncong, dagelan, dan lain-lain. Situasi mengesankan saat melintasi hari-hari dengan rangsang imajinasi kejawaan. Di buku tulis, ia mulai membuat catatan-catatan dan menaruh sekian kutipan penting tentang Jawa. Adegan mencatat sambil telinga terberikan untuk radio. Ia mendengar kemerduan Nyi Condrolukito. Semula, nama “mengejutkan”, sebelum terasa wajar setelah rutin mendengar radio, rutin membeli kaset-kaset bekas macapat dan klenengan.
Ia mungkin mirip Pariyem. Kutipan tentang babu asal Gunung Kidul menikmati seni Jawa: Wayang kulit dan kethoprak/ Tontonan kegemaran saya/ Ditambah sandiwara RRI Nusantara II/ Ngayogyakarta Hadiningrat/ saban Minggu malamnya/ Sedangkan pada hari siang/ ketimbang ngrasani para tetangga/ dan bergunjing perkara bendoro-nya/ Ongkang-ongkang di amben dapur/ sinambi kalaning nganggur/ Mending muter radio amatir/ yang menyiarkan uyon-uyon Manasuka/ Dan gadhon sing “Perkutut Manggung”/ mengipas hawa panas yang prungsang/ Aduh, Condrolukito, cengkok-nya/ elok betul, lho. Ia menduga bila Linus Suryadi AG memang sengaja ingin mengenalkan seni(man) Jawa dalam Pengakuan Pariyem. Adegan Pariyem mendengar siaran radio mengudarakan suara Nyi Condrolukito turut mengingatkan nama-nama penting dari masa lalu.
Ia tak bisa menembang, mendengarkan saja. Di luar hal-hal kejawaan, ia malah terlena dengan lagu-lagu cengeng. Ia tak malu turut bersenandung lagu-lagu biduan mengajak berairmata dan sedih berkepanjangan. Hidup itu kecengengan. Ia memilih cengeng ketimbang ngamukan. Nyi Condrolukito tak memberi cengeng tapi ketenangan. Suara itu seperti tata cara berdoa. Ia perlahan ingin memastikan bakal menekuni Jawa saat kuliah demi mengerti beragam hal. Salah. Ia tak pernah kuliah mengurusi Jawa.
Suara itu seperti tata cara berdoa. Ia perlahan ingin memastikan bakal menekuni Jawa saat kuliah demi mengerti beragam hal. Salah. Ia tak pernah kuliah mengurusi Jawa.
Peristiwa membersihkan ribuan buku belum rampung. Sekian hari lalu, ia wahing-wahing. Tanda raga bakal lungkrah dan sakit. Dua hari, ia absen dari mengurusi buku masih berantakan. Ia beruntung menemukan buku berjudul Ensiklopedia Tokoh Kebudayaan terbitan Depdikbud, 1994. Ultraflu sudah masuk tubuh. Ia bakal tertidur meski menginginkan terjaga dini hari untuk menonton balbalan. Di halaman 188, ia terpana dan kecewa. Telat! Ia telat memberi persembahan berupa tulisan-tulisan kecil. Di situ, terbaca: “Nyi Condrolukito, yang nama kecilnya Turah, lahir pada 25 April 1920, di Sleman, Jogjakarta.” Ah, ia belum menulis seabad Nyi Condrolukito. Kini, 2020 mau berakhir. Ia ingin mengenang saat raga sedang bermasalah dan siaran balbalan sedang menegangkan.
Ia mengikuti pengisahan Nyi Condrolukito dalam buku berpenampilan wagu. Pada saat remaja, Turah sudah konangan bersuara merdu. Alkisah, Lurah Laras Sembogo mengajak Turah serius dalam olah suara. Di Kepatihan, remaja itu mendapat nama baru: Penilaras. “Peni” berarti bagus dan “laras” berarti pas. Hari demi hari, olah suara makin mengangumkan. Pada usia 18 tahun, Penilaras ikut Sultan Hamengkubuwono VIII. Di Keraton Jogjakarta, ia mendapat nama baru: Padasih. Ia menapaki ketenaran, dikagumi orang-orang. Pada suatu hari, Padasih dinikahi Condrolukito. Kewajaran bila ia mulai mendapat sebutan Nyi Condrolukito. Pemilik suara merdu itu pindah ke Jakarta. Nyi Condrolukito mengabdi di RRI Pusat Jakarta, 1955.
Kutipan dari buku: “Banyak orang kagum akan suara Nyi Condrolukito yang terdengar lewat radio. Sehubungan dengan itu ia sering diminta mengisi suara dalam berbagai pagelaran wayang kulit. Walaupun honor yang ia terima tidak seberapa tapi tidak kecil hati. Dengan menghibur rakyat, ia sudah sangat senang dan bahagia. Itulah salah satu keluhuran budi yang terlihat pada Nyi Condrolukito.” Sosok penting diceritakan dan dikenalkan saat orang-orang menggandrungi hiburan-hiburan baru di radio dan televisi.
Itulah salah satu keluhuran budi yang terlihat pada Nyi Condrolukito.” Sosok penting diceritakan dan dikenalkan saat orang-orang menggandrungi hiburan-hiburan baru di radio dan televisi.
Buku belum rampung dibaca, lelaki ingin menghormati Nyi Condrolukito itu tidur. Raga beristirahat, berharap sembuh. Ia ingin melanjutkan bersih-bersih dan merapikan ribuan buku, sebelum 2020 berakhir. Rencana muluk-muluk. Ia mengaku telat membaca lagi buku-buku dan majalah memuat berita-berita Nyi Condrolukito. Koleksi kaset masih berada dalam karung dan kardus. Ia belum ingin membongkar untuk memandangi lagi kaset-kaset lawas. Ia masih ingat foto Nyi Condrolukito di sampul kaset.
Telat dan kecewa tanpa menulis esai seabad Nyi Condrolukito. Ia masih agak beruntung. Kebiasaan ke Gladak (Solo) untuk berbelanja buku mendapat kejutan kecil. Ia membeli tujuh bundel majalah Kartini masa 1980-an. Murah. Di rumah, ia lekas membuka halaman-halaman. Senang. ia berjumpa tulisan di Kartini, 10-23 Maret 1986, mengisahkan Nyi Condrolukito. Kliping agak menghibur. Tulisan tentang Bung Karno dan Nyi Condrolukito.
Pemuatan tulisan itu bukti Nyi Condrolukito adalah sosok penting dalam seni Jawa, terakui sejak masa kekuasaan Soekarno sampai Soeharto. Paragraf mengesankan: “Sebagai waranggana RRI terkenal, Nyi Condrolukito kerap kali manggung di Istana Kepresidenan di zaman Orde Lama. Maklum, Presiden Pertama RI ini sangat keranjingan pertunjukan wayang purwa. Tak heran, apabila ibu ‘sekodi’ anak ini punya segudang pengalaman dengan Bung Karno, yang berkait erat dengan seni karawitan dan seni pedalangan.” Di situ, ada foto Nyi Condrolukito sudah berusia tua. Ia tampak anggun dan mengingatkan orang-orang setia mendengarkan Jawa. Begitu.
Ia (telat) menulis puisi. Bermula di Solo, ia memilih prosa. Cerita demi cerita ditulis dikirimkan ke majalah-majalah. Ia mengincar halaman-halaman majalah terbitan Jakarta. Hari demi hari berganti, ia terus menulis cerita pendek dan novel. Pada tahun-tahun negara mengucurkan duit, ia terus menulis buku cerita anak. Pada masa berlari kencang di jalan sastra, ia tetap belum kepincut menggubah puisi. Ia mungkin bandel meski memiliki peran memilih dan memberi catatan dalam pemuatan puisi-puisi di majalah Hai.
Sejak keranjingan menulis, ia memang tak memilih puisi. Di Solo dan Jakarta, Arswendo Atmowiloto (26 November 1948-19 Juli 2019) itu pengarang tenar dan terlalu rajin tapi sulit mendapat penghormatan dalam puisi. Ia sering mengaku emoh menulis puisi meski sekian orang menemukan sedikit puisi di Basis atau majalah bakal terlacak. Ia pasti sanggup menggubah puisi tapi selalu “menunda” atau “membatalkan” berdalih teknis atau selera estetika. Puluhan tahun, Arswendo Atmowiloto bergelimang kata, menghasilkan buku-buku laris terbitan Gramedia.
Ia tak seperti pengarang sama-sama asal Solo: Sapardi Djoko Damono. Semula, ia menggubah puisi. Pada saat tua, lelaki kurus itu malah sregep menulis cerita pendek dan novel. Puisi terus digubah tanpa bosan. Buku-buku terbit setiap tahun berakibat pembaca sering lupa judul dan tahun terbit. Semua gara-gara ia bergairah menulis tanpa pantang. Bermula dari puisi, Sapardi Djoko Damono memiliki kesuburan berprosa.
Nama itu teringat untuk mengutip masalah puisi mengacu kata. Sapardi Djoko Damono (1969) menjelaskan: “Kata-kata adalah segalanja dalam puisi. Kata-kata tidak sekadar berperan sebagai alat jang menghubungkan pembatja dengan ide penjair, seperti peran kata-kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa umumnja, tetapi sekaligus sebagai pendukung imadji dan penghubung pembatja dengan dunia intuisi penjair.” Deretan kata dari pengamatan dan pembacaan. Ia pun sudah tenar dengan puisi-puisi, tercatat memiliki buku berjudul dukaMu abadi.
Pada masa, Sapardi Djoko Damono berpuisi dan membuat esai-esai mengenai puisi, Arswendo Atmowiloto belum penggubah puisi. Ia sibuk dengan kata-kata di jalan prosa. Ia belum menjadi tokoh mendapat perhatian di kesusastraan Indonesia. Di keseharian, ia menulis dan menulis untuk menjadi pengarang perlahan memiliki tempat dan tercatat pada masa 1970-an.
Ia sibuk dengan kata-kata di jalan prosa. Ia belum menjadi tokoh mendapat perhatian di kesusastraan Indonesia. Di keseharian, ia menulis dan menulis untuk menjadi pengarang perlahan memiliki tempat dan tercatat pada masa 1970-an.
Arswendo Atmowiloto (1981) bercerita: “Jadi, memang tak terlintas dalam benak saya mau menjadi pengarang. Situasi hidup keluarga juga tak memungkinkan pilihan yang luks itu. Saya, bersama lima saudara yang lain, hidup dari ibu, janda yang hidup dari pensiun. Sebelum pensiun pun sebetulnya tidak mencukupi, hanya kehidupan sekarang lebih berat. Mengarang membutuhkan kertas, prangko, amplop dan mesin tulis. Semua terlalu luks. Tak tergambar dalam benak saya.” Ia tak ingin menjadi pengarang tapi saat remaja mulai telanjur menjadi pengarang: mencapai tenar dan makmur.
Pada masa 1970-an, ia memilih menulis cerpen dan puisi-dinding, setelah mengetahui puisi gubahan Sapardi Djoko Damono dimuat di Horison dan pelbagai majalah tak sembarangan. Pada suatu hari, cerita-cerita di dinding itu dimuat di Horison dengan penamaan “cerpen mini”. Cerpen menemukan halaman bermutu tapi puisi tak mendapat pengisahan: menempel di dinding sampai hancur atau dimuat di majalah tak tercatat lagi.
Pembaca sastra perlahan mengakui keampuhan Arswendo Atmowiloto. Puluhan buku terbit mendapat penghargaan dan menghasilkan rezeki. Ia memberi daftar predikat diri: penulis cerpen dan novel, peresensi, penulis teks iklan, wartawan, penulis skenario, dan penulis lirik lagu. Ia tak memberi sebutan diri sebagai penggubah atau penulis puisi.
Di majalah Hai edisi 19-25 September 1989, Arswendo Atmowiloto menulis “cerpui”. Konon, sebutan untuk cerpen-puisi. Dua halaman untuk olah kata Arswendo Atmowiloto. Ingat, “cerpui”, bukan puisi. Di majalah remaja, ia menggubah “cerpui” berjudul “Maria Bertanya Apa Sih Makna Cinta”.
Puisi mencampur tragedi, lucu, dan tabah. Arswendo Atmowiloto mungkin mengetahui gubahan Linus Suryadi Pengakuan Pariyem dengan sebutan “prosa-lirik” tapi memilih bercerita dengan puisi. Kita tak bermaksud mencari kemiripan atau perbedaan. Kita membaca: Maria, hampir 16 tahun, siswi yang tekun/ di tengah malam selewat pukul 12 malam terbangun/ mendengar isak tangis ibunya, yang paginya menemui dukun/ Maria mengantar, antri lama dan tertegun/ pak dukun nampak berwibawa, tapi juga mengesankan pikun/ kalimatnya bagai berayun. Bait itu mengesankan menggubah puisi “gampang” meski tak segampang mengarang cerita pendek atau novel.
Maria memiliki bapak-ibu sedang ruwet. Bapak adalah direktur. Uang melimpah dimiliki dan segala kesenangan. Keluarga itu berantakan, setelah ibu kecewa mengetahui bapak serong. Pembaca mengetahui maksud Arswendo Atmowiloto bercerita keluarga mapan tapi gagal bahagia. Ibu memilih resep-resep dari dukun untuk menobatkan bapak. Maria menjadi saksi dengan kebingungan berlatar pendidikan dan tatanan hidup sudah maju-rasional. Dukun tetap dianggap sakti merampungi masalah keluarga.
Ibu memilih resep-resep dari dukun untuk menobatkan bapak. Maria menjadi saksi dengan kebingungan berlatar pendidikan dan tatanan hidup sudah maju-rasional. Dukun tetap dianggap sakti merampungi masalah keluarga.
Si remaja bernama Maria perlahan belajar menjadi perempuan. Ia pun (agak) menggugat tapi belum memiliki bahasa dan sikap jelas. Ragu itu terbaca: Maria, sudah lewat 16 tahun, masih bertanya-tanya/ apa sebenarnya yang dimaui ibunya/ kenapa tidak tembak langsung pada bapaknya/ Maria juga ragu/ apa sebenarnya yang dimaui bapaknya/ kok ya tega berbuat itu. Pembaca gampang mengetahui masalah klise menimpa keluarga Maria. Pembaca sudah memiliki bekal cerita di film, novel pop, atau berita-berita di koran. Gosip-gosip beredar sering mirip masalah ditanggungkan Maria.
Maria semakin menghadapi masalah bertema asmara. Ia berkencan dengan Joni tapi ibu tak setuju. Jalinan asmara dengan Dodi pun tak mendapat restu berdalih masih famili. Hari demi hari, Maria patah hati. Ia melihat bapak-ibu sering rumit. Ia malah terlalu rumit.
Kelucuan tragis kita baca dalam babak perpisahan Maria dengan kekasih. Arswendo Atmowiloto terbukti paham bahasa bisa terbaca kaum remaja. Kita simak omongan perpisahan: “Karena aku melarat/ dan kamu dilahirkan dalam keluarga 24 karat/ tapi aku mau menggugat/ siapa sebenarnya yang menciptakan kiamat.” Larik-larik khas miliki Arswendo Atmowiloto, pengarang sering tertawa dan mengumbar sindiran-sindiran puitis.
Pada suatu hari, Mari menikah dengan lelaki sukses. Dua anak dilahirkan mengesahkan penciptaan keluarga. Ia berlagak bahagia sambil melihat bapak-ibu sudah akur. Mereka bertambah tua, tak perlu lagi bertengkar. Posisi berganti: semuanya lebur dalam kasih yang manja/ pada cucu-cucunya/ yang menyita seluruh waktunya. Pada para pembaca Hai, Arswendo Atmowiloto mengisahkan keluarga. Ia pasti memberi sindiran atas lakon keluarga-keluarga di Indonesia masa 1980-an. Keluarga bahagia itu omong kosong.
Maria memilih tabah, emoh meniru tindakan ibu di masa lalu saat ingin menghukum bapak. Kita membaca tatanan keluarga dan acuan-acuan nilai memang sulit mewujudkan keluarga bahagia. Orde Baru sering bermimpi mencipta keluarga bahagia. Orang-orang membuktikan keluarga bahagia cuma ada di buku pelajaran SD.
Bait ketabahan: Perjalanan hidup yang menyenangkan/ Maria ketemu dalam arisan/ istri Joni, istri Dodi, istri teman, istri bawahan/ karena suaminya yang sekarang pimpinan/ berbagai perusahaan/ yang jumlahnya puluhan atau ratusan/ kalau yang kecil juga diperhitungkan/ Maria tak kaget lagi ketika mendengar kabar/ suaminya memainkan peran kembar/ ia tak pergi ke dukun atau psikolog akbar/ ia tak tenggelam dalam gusar/ ia malah tertawa lebar/ ketika suaminya mengakui dosa besar. Ia mendapatkan dua lelaki brengsek: bapak dan suami. Maria memilih sikap membuat suami kelabakan dan semakin merasa bersalah.
Selama puluhan tahun, para penggemar mungkin tak mengetahui atau mengingat tulisan dijuduli “Maria Bertanya Apa Sih Makna Cinta”. Judul Wagu dan cuma tersaji dalam dua halaman. Orang-orang memilih mengingat Canting, Senopati Pamungkas, Dua Ibu, dan lain-lain. Di mata mereka, Arswendo Atmowiloto itu prosais, bukan penghuni di jagat puisi.
Arswendo Atmowiloto menulis ketabahan dan siasat perempuan memiliki masa lalu dan kesadaran menghadapi kejadian sama. Sikap berbeda ditampikan ketimbang meniru ibu. Kehadiran tulisan di majalah Hai itu mengajak para pembaca memiliki tatapan dan sikap kritis atas keluarga-keluarga di masa Orde Baru. Maria menjadi tokoh paling tabah bisa dimengerti para pembaca meski itu terasa berlebihan: “Suamiku, bapak anak-anakku,” jawab Maria tabah/ kamu jangan salah tingkah/ dulu aku bertanya/ dulu aku mencari makna/ cinta, perkawinan, kesetiaan/ dari idiom orang lain/ ternyata itu salah/ kita sendiri yang memberi arti/ ukurannya bukan dari luar// itu yang membuat aku kelihatan sabar/ untuk apa aku mencacimu/ atau membunuhmu/ atau memaafkanmu/ kalau kamu sendiri tak tahu/ hanya kamu, suamiku/ yang bisa menghargai harkat cintamu.
Dua halaman dinamakan “cerpen-puisi” memungkinkan kita memiliki anggapan bahwa Arswendo Atmowiloto menggubah puisi meski sedikit. Ia telanjur moncer dengan cerita pendek dan novel tapi kita tetap memberi tempat dalam perpuisian meski bukan ingatan milik penggemar. Begitu.
Illustrations by: Iza-dudzik
Nama itu puitis. Kita sedang mengurusi nama untuk undang-undang. Pilihan diksi agak berselera puitis: cipta kerja. Konon, penamaan sempat menjadi polemik. Dulu, orang-orang mengetahui penamaan “cipta lapangan kerja”. Pada suatu hari, tersia dua kata: cipta dan kerja. Kita sembrono saja menjadikan dua kata itu masalah kebahasaan, tak terlalu berpusing dengan masalah pasal-pasal. Semula, kita sudah mengenali sekian pengertian: “mengheningkan cipta”, “ciptaan”, “hak cipta”, dan lain-lain. Kini, “cipta” itu masalah. “Kerja” pun semakin bermasalah. Penamaan undang-undang terasa puitis tapi malah menjadi ironis.
Di Jawa, orang bekerja menganut ajaran-ajaran suci dalam agama dan mendapat penguatan dari wejangan para leluhur. Petuah-petuah tentang manusia, kerja, dunia, bahagia, kemakmuran, berbagi, dan nasib telah sekian abad dipelajari dan diamalkan. Pada abad XXI, undang-undang memaksa orang memiliki pengertian dan tata cara berbeda. Dulu, orang-orang di Jawa masih mungkin menemukan ajaran bijak dalam angger–angger. Masa itu berlalu. Hidup di Indonesia mulai bergelimang undang-undang. Pada undang-undang, orang sulit menemukan ajaran atau kebijakan seperti pernah disampaikan para leluhur.
Dulu, orang-orang di Jawa masih mungkin menemukan ajaran bijak dalam angger–angger. Masa itu berlalu. Hidup di Indonesia mulai bergelimang undang-undang. Pada undang-undang, orang sulit menemukan ajaran atau kebijakan seperti pernah disampaikan para leluhur.
Angger–angger mirip undang-undang atau hukum mutakhir tapi berbeda dalam pembahasaan dan resepsi publik. Dulu, orang-orang Jawa memiliki peraturan-peraturan tercantum dalam Serat Angger-Anggeran Jawi (1844). Kita masih bisa membaca dalam edisi bahasa Jawa dan Indonesia, setelah buku susunan T Roorda itu diterbitkan lagi oleh Kepel, 2002. Di situ, ada masalah bagi hasil sawah. Kita mengutip: “Jika ada pejabat bebekel desa, sawah miliknya dibagihasilkan kepada lurahnya, maka bebekel tadi harus patuh pada aturan sawah yang dibagi dua (diparo) itu. Kalau terjadi perkara sampai kepada pemerintah, maka bekel yang tidak patuh tadi dikenakan denda dengan dihitung sawah satu jung empat reyal, kalau tidak membayar denda, orang itu dipecat.”
Sejak abad XIX, beragam pekerjaan lama dan baru menjadikan tatanan hidup di Jawa memerlukan aturan. Serat Angger-Anggeran Jawi memuat ratusan masalah, terbaca secara apik dan santun dalam bahasa Jawa. Sekian kalimat terasa puitis. Tradisi orang membahasakan hukum memang pernah condong terbaca sebagai teks sastra. Di khazanah sastra Melayu, undang-undang pada masa lalu gara-gara bobot bahasa dan kandungan makna pun memungkinkan masuk dalam pengertian sastra. Kini, kita belum sibuk dalam masalah kesastraan tapi sejenak mengartikan kerja bagi orang Jawa setelah mendapatkan sekian peraturan atau undang-undang, dari masa ke masa.
Bekerja menjadikan manusia bermartabat. Kerja itu kewajiban, kebahagiaan, kepantasan, kehormatan, kebahagian, kemanusiaan, dan lain-lain. Orang Jawa bekerja mencari nafkah, mengikutkan misi-misi: dari religius sampai penghiburan. Pekerjaan memerlukan ilmu, doa, kemahiran, kesabaran, kesopanan, dan lain-lain. Hasil dari bekerja memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Rezeki pun bisa digunakan untuk beragam hal dalam urusan sekolah, hiburan, pelesiran, dan lain-lain. Pemaknaan kerja di Jawa perlahan bergantung tata politik-ekonomi-sosial mengacu kebijakan pemerintah, undang-undang, dan situasi pasar global. Anutan-anutan dalam bekerja mulai berubah.
Pada masa lalu, bekerja mengisahkan manusia dan mata pencaharian dalam pelbagai predikat. Orang bekerja sebagai petani, pedagang, pegawai, guru, dan lain-lain. Kita ingin mengingat dalam masalah religius melalui mantra (doa) biasa di-rapal-kan orang-orang Jawa. Sapardi Djoko Damono menulis ulang mantra-mantra di Jawa dalam buku berjudul Mantra Orang Jawa (2005). Kita mengutip “Doa Agar Mata Pencaharian Lancar, 1” untuk mengetahui maksud dan pengharapan dalam bekerja: Bismillahir-rakhman-nirakhim/ nyala datullah/ keluar menyala/ Allah bergerak dalam tarikan nafas/ Allah bergerak dalam hati/ ya rasa, ya Rasul, ya rasa Pangeran/ Gusti Allah Mahakuasa/ yang sebenar-benar berkuasa/ hamba mohon diingatkan/ mohon keselamatan/ mohon pengampunan/ mohon agar lancar mencari sandang-pangan/ siang dan malam/ selama hamba hidup/ dalam segala hal berikan kemudahan/ kemudahan inti kemudahan/ atas kehendak Allah. Orang bekerja menginginkan keselamatan, pengampunan, kelancaran, dan kemudahan. Mantra itu terbaca aneh bila disandingkan dengan pasal-pasal dalam undang-undang memiliki nama puitis. Undang-undang sedang dilawan oleh kaum buruh dan orang-orang bekerja tapi rawan menanggungkan nasib buruk.
Bismillahir-rakhman-nirakhim/ nyala datullah/ keluar menyala/ Allah bergerak dalam tarikan nafas/ Allah bergerak dalam hati/ ya rasa, ya Rasul, ya rasa Pangeran/ Gusti Allah Mahakuasa/ yang sebenar-benar berkuasa/ hamba mohon diingatkan/ mohon keselamatan/ mohon pengampunan/ mohon agar lancar mencari sandang-pangan/ siang dan malam/ selama hamba hidup/ dalam segala hal berikan kemudahan/ kemudahan inti kemudahan/ atas kehendak Allah.
Pada abad XX dan XXI, kerja telah didefinisikan penguasa, kaum pemodal, institusi pendidikan, dan lain-lain. Pekerjaan-pekerjaan tanpa bergantung tradisi leluhur. Ef Schumacher dalam buku Kerja Bermartabat (2008) menjelaskan: “Mengingat begitu pentingnya kerja dalam kehidupan manusia, orang boleh berharap bahwa setiap buku pelajaran di bidang ekonomi, sosiologi, politik, dan topik-topik terkait akan menyajikan suatu teori kerja sebagai salah satu batu fondasi yang sangat diperlukan untuk semua penjelasan terperinci selanjutnya.” Pekerjaan sudah dirumitkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan, nalar politik, dan tatanan ekonomi global. Sejak orang di sekolah, ide-imajinasi pekerjaan sudah (terlalu) bermasalah. Pada saat orang lulus dan memiliki ijazah, pekerjaan terlalu rumit dipahami dan dialami. Pembuatan undang-undang bisa pula menambahi rumit atau keapesan dalam hidup.
Kita berlanjut mengutip “Doa Agar Mata Pencaharian Lancar, 2”. Dulu, orang merapalkan dengan kesungguhan. Kita membaca dalam terjemahan bahasa Indonesia: Bapa Adam/ Ibu Hawa/ hamba mohon sandang/ mohon pangan/ siang hari/ malam hari/ gampang gampang gampang/ semua atas kehendak Allah/ ya hu Allah/ ya hu Allah. Bekerja atas restu Tuhan. Bekerja bukan melulu perhitungan dimiliki kaum majikan atau pemodal menggunakan rumus-rumus modern.
Bekerja dengan ketulusan dan tanggung jawab berubah menjadi pemenuhan aturan-aturan “baru” bergantung dari selera penguasa dan kaum pemodal. Kebingungan mengartikan diri, kerja, dan dunia terus membesar berbarengan segala kisruh dalam hidup. Kita tentu tak mengajukan mantra-mantra untuk turut mengartikan dampak Undang-Undang Cipta Kerja masih diributkan di Indonesia. Kita ingin mengenang saja dalam pengertian dan latar Jawa masa lalu agar insaf bahwa pekerjaan dipaksa berubah makna pada abad XXI. Begitu.
Sejarawan rutin bersama buku-buku terbuka dan lembaran kertas memuat catatan-catatan. Pemandangan biasa saat sejarawan memasuki masa-masa melalui bacaan, menuliskan hal-hal ingin direnungi dan dituliskan. Kesibukan rutin mungkin dalam hening atau “keterasingan”. Ia mengembara jauh, menghadirkan masa lalu. Buku-buku beragam bahasa adalah dunia tergelar. Ia membaca dan menata. Sejarawan bertugas sebagai “penata” agar publik mau membaca dan menikmati sejarah, dekat atau jauh.
Sartono Kartodirdjo selama puluhan tahun bersama buku-buku itu lumrah. Ibadah membaca itu khas dengan kacamata tebal. Ia memang mengalami “derita”, kemampuan penglihatan semakin berkurang. “Derita” tak diratapi atau menghentikan gairah “melihat” masa lalu, menjadikan “menu-menu sejarah” bagi pembaca. Mata itu tak melulu untuk buku. Ia pun memandangi boneka-boneka. Selama puluhan tahun, ia tak jemu-jemu memandangi boneka meski orang-orang selalu menginginkan predikat terpenting adalah sejarawan. Orang-orang jarang mengetahui sejarawan itu kolektor. Sartono Kartodirdjo dalam usia tua masih memiliki ketakjuban “kebocahan” untuk mengumpulkan, menata, dan melihat boneka-boneka, tahun demi tahun. Sejarawan memiliki bab sebagai kolektor boneka.
Kita menemukan dua halaman di Matra edisi Oktober 1999. Dua halaman mungkin terlewatkan bagi pembaca setelah terpesona foto Sophia Latjuba di kulit muka majalah dan halaman-halaman memuat rubrik-rubrik “memanjakan” kaum lelaki. Di bagian belakang, dua halaman itu berjudul “Boneka-Boneka Sang Profesor”. Kita ingin menjadikan dua halaman mungkin tak lagi terbaca kalangan sejarawan untuk membuat peringatan seabad Sartono Kartodirdjo (15 Februari 1921-15 Februari 2021). “Sejarawan sepuh ini mulai mengoleksi boneka sejak 37 tahun silam,” tulis di Matra. Ia serius memiliki penghiburan dan kenikmatan dengan mengoleksi boneka-boneka berasal dari pelbagai negara.
Pembaca mungkin kaget. Tahun demi tahun, kita membaca artikel-artikel dan buku-buku garapan Sartono Kartodirdjo tak pernah mendapatkan tanda-tanda (keseriusan) berkaitan boneka untuk tema penting. Di Indonesia, Sartono Kartodirdjo sudah mengajak orang-orang memikirkan petani di Banten, Ratu Adil, priyayi, Perhimpunan Indonesia, dan lain-lain. Ia tak pernah pamer sebagai sejarawan bertema boneka, menulis esai-esai mengungkapkan boneka berkaitan sejarah kekuasaan, seni, agama, gaya hidup, industri, atau pendidikan. Boneka sengaja berada di luar kesibukan menulis artikel dan buku sejarah.
Keterangan termuat dalam dua halaman: “Koleksi boneka Sartono Kartodirdjo mencapai 115 buah dalam pelbagai ukuran, bentuk, dan bahan.” Ia sengaja memilih mengoleksi boneka-boneka kecil atau mini. Pada saat berada di negeri-negeri jauh, ia membeli boneka-boneka. Ia pun menitip ke teman-teman bila sedang berada di luar negeri atau pulau-pulau di Indonesia. Tahun-tahun berlalu, Sartono Kartodirdjo menikmati masa tua sebagai pensiunan. Ia mampu bercerita boneka, bukan melalui artikel-artikel memukau. Ratusan boneka berasal dari lebih 20 negara. Ingatan masih kuat untuk masalah boneka, selain tema-tema besar sudah dikerjakan selama puluhan tahun. Boneka-boneka berasal dari Turki, Jepang, Filipina, Hong Kong, Swedia, Jerman, Spanyol, Arab, Belanda, dan lain-lain. Ia mengaku itu hobi, tak terlalu memaksa harus bisa mendapatkan dengan anggaran dan misi khusus. Sartono Kartodirdjo pun tak “memaksa” menulis sejarah boneka di Indonesia atau dunia. Di rumah, boneka-boneka ditata rapi dalam lemari-lemari. Pemandangan menakjubkan bagi lelaki tua telah menunaikan kerja besar dalam penulisan sejarah.
Sartono Kartodirdjo pun tak “memaksa” menulis sejarah boneka di Indonesia atau dunia. Di rumah, boneka-boneka ditata rapi dalam lemari-lemari. Pemandangan menakjubkan bagi lelaki tua telah menunaikan kerja besar dalam penulisan sejarah.
Kita mengutip penjelasan Sartono Kartodirdjo: “Boneka merupakan hasil dari kebudayaan tertentu suatu bangsa. Katakanlah sebagai salah satu contoh hasil budaya. Hampir setiap negeri punya boneka. Seperti hasil budaya lainnya, boneka juga mengalami perkembangan. Melalui boneka, terkadang kita bisa melihat ciri kebudayaan tertentu, meski hanya selintas. Perhatikan saja pakaian dan ciri bonekanya.” Penjelasan itu dituturkan, bukan terbaca di tulisan dimuat di jurnal ilmiah atau makalah untuk seminar internasional. Kita justru tergoda mencari “pembenaran” ketekunan sejarawan mengoleksi boneka tapi tak menulis tentang sejarah dan boneka.
Dua halaman di Matra tak mencukupi bagi kita ingin mengerti boneka, sejarah, dan tokoh. Kita sembrono saja menggunakan kegemaran Sartono Kartodirdjo mengoleksi boneka untuk bergerak membuka lembaran-lembaran sejarah dan seni. Kita wajib mengutip buku berjudul Engineers of Happy Land (2006) garapan Rudolf Mrazek. Kita menemukan paragraf-paragraf tentang boneka dan sejarah kolonialisme. Kita mulai menduga koleksi boneka milik Sartono Kartodirdjo mungkin berkaitan cara “melihat” sejarah dan kepekaan seni.
Paragraf membuka sejarah: “Pada 1893, koleksi sekitar 150 boneka dengan penuh hormat dipersembahkan kepada Ratu Belanda oleh ‘putri-putri Hindia Belanda’. Boneka – di rumah-rumah boneka, di kamar anak-anak, di salon-salon – menjadi mode masa itu. Koleksi boneka Hindia Belanda, sebagaimana disarankan oleh katalognya, mencakup seluruh Kepulauan Hindia Belanda, dan lebih lagi.” Boneka menjadi benda bercerita pada abad XIX. Boneka dalam imajinasi kolonialisme, menghadirkan seni, kerajinan, gagasan, dan adat dalam tatapan mata terpukau. Koleksi boneka itu membawakan cerita-cerita etnis dan lapisan sosial di tanah jajahan.
Boneka itu referensi. Rudolf Mrazek fasih mengisahkan dan mengajukan argumentasi bahwa boneka tak cuma benda mainan. Sumber-sumber bacaan dan foto diperoleh mengingatkan kebermaknaan boneka tak bisa dianggap sepele. Dulu, kita berpikiran segala benda telah dibawa dari Nusantara menuju Belanda: naskah, senjata, busana, kerajinan, dan segala hal mengisahkan-menjelaskan Nusantara. Boneka turut bercerita. Rudolf Mrazek mengungkapkan: “Boneka-boneka dan pakaiannya sebagaimana dibuat dan diperankan itu menyampaikan kebenaran sebagaimana itu dianggap sebagai kebenaran, di Timur maupun di Barat.” Boneka tak lagi mainan bagi bocah-bocah. Boneka di tatapan politik. Boneka-boneka terbuat dari tanah liat dan kayu dengan beragam pakaian memungkinkan pengimajinasian manusia-manusia dan sekian peristiwa di Nusantara.
Boneka tak lagi mainan bagi bocah-bocah. Boneka di tatapan politik. Boneka-boneka terbuat dari tanah liat dan kayu dengan beragam pakaian memungkinkan pengimajinasian manusia-manusia dan sekian peristiwa di Nusantara.
Di Indonesia, bonek condong berkaitan seni dan industri mainan bocah, jarang menjadi urusan besar dan resmi dalam seminar sejarah atau publikasi artikel-artikel dalam jurnal sejarah. Sartono Kartodirdjo pasti mengerti peran boneka dalam sejarah Indonesia. Ia pernah meneliti teks-teks sastra Jawa dan peradaban priyayi. Boneka mungkin bukan masalah terpenting tapi terduga diketahui meski tanpa pembahasan. Boneka-boneka bercap tradisi dan ritual memang masih jarang ditekuni untuk penulisan sejarah. Di penulisan buku-buku mengenai seni, antropologi, hiburan, adat, dan lain-lain sudah dikerjakan para pakar asal Indonesia dan negara-negara asing.
Dua halaman di Matra mengingatkan tentang wayang golek, boneka di Sunda. Sartono Kartodirdjo suka mengoleksi boneka-boneka kecil dari pelbagai negara, tak melupa bahwa di Indonesia ada golek. Kita berlanjut bertemu buku garapan sarjana asing, Sarah Anais Andrieu. Kita mengaku saja masih sulit membahas boneka-boneka di Nusantara. Para sarjana asing berdatangan menceritakan pada kita. Sarah Anais Andrieu dalam buku berjudul Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda (2017) terlalu serius mengisahkan dan menjelaskan. Kita menjadi pembaca merasa malu. Jean-Loup Amselle memuji “buku itu berada di pusat antropologi dunia kontemporer.” Kita mungkin bertambah malu.
Sarah Anais Andrieu menjelaskan acuan mengurusi wayang golek bermula dari penciptaan wayang golek Sunda sendiri yang menjadi pokok perhatian kami berasal dari perintah Bupati Wiranatakusumah III, 1845. Sekian dalang dilibatkan untuk membuat wayang dari kayu, gamelan, dan repertoar. Wayang golek itu sintesa dari ikatan masa lalu dominasi Jawa, penguatan identitas Islam, pengukuhan bahasa Sunda, dan lain-lain. Tahun demi tahun berlalu, wayang golek pun berkembang. Pada masa 1920-an, wayang golek disebarkan di desa-desa memasuki tata ritual-tradisional. Deretan peristiwa membuat wayang golek memiliki pemaknaan beragam sampai ke masalah-masalah politis dan penciptaan identitas. Pasang-surut dan gejolak paling terasa sejak awal abad XX sampai “pemanfaatan” oleh rezim Orde Baru.
Tahun demi tahun berlalu, wayang golek pun berkembang. Pada masa 1920-an, wayang golek disebarkan di desa-desa memasuki tata ritual-tradisional. Deretan peristiwa membuat wayang golek memiliki pemaknaan beragam sampai ke masalah-masalah politis dan penciptaan identitas.
Pada suatu masa, boneka asal Sunda itu bernasib lain gara-gara F Widayanto. Ia membuat golekan. Kita tinggalkan buku garapan Sarah Anais Andriau berasal dari disertasi di Ecole des Hautes en Sciences Sociales, Paris, 2010. Kita berpindah mengikuti garapan golekan oleh F Widayanto, diceritakan dan ditafsirkan oleh Sindhunata dalam buku-katalog pameran di Bentara Budaya Jakarta, 24-31 Oktober 1997. Seni menghindari perintah dan kutukan rezim Orde Baru telah menjadikan golek sebagai “politik-kebudayaan” untuk tebar pesan-pesan pembangunan nasional dan kemauan macam-macam berkiblat kekuasaan.
F Widayanto pun seperti bergerak jauh dari sejarah golek dengan memperhitungkan adegan, busana, sosok, dan penjudulan. Kita tak mengetahui Sartono Kartodirdjo pernah membaca berita mengenai golekan atau sengaja tak ada ketertarikan turut mengoleksi golekan, babak perkembangan mengejutkan dari wayang golek atau boneka kayu. F Widayanto memilih membuat golekan dengan bahan lempung batuan. Ia mengartikan golekan: “Kata lain dari boneka yang biasanya terbuat dari kayu, berbaju, berkain sarung dengan wajah menggunakan watak yang diberikan kepadanya.” Garapan golekan bereferensi golekan Cirebon.
Golekan berbeda dari koleksi boneka dikirimkan dari tanah jajahan sebagai persembahan untuk Ratu Belanda, ratusan tahun lalu. Sejarah itu mungkin tak lagi teringat. Golekan justru memikat dengan kesadaran busana. Sindhunata mengomentasi: “Widayanto mendandani golekan-nya bagaikan mendandani seorang peragawati.” Sosok-sosok perempuan dalam penampilan seksi dan tebar godaan-fantasi. Tafsir penting dari Sindhunata: “… golekan Widayanto bukan sekadar simulasi dari peragawati tapi ilusi dan fantasi tentang peragawati itu. Maka jika diamati benar, golekan-golekan Widayanto sebenarnya adalah narasi karikatural yang kritis terhadap pelbagai aspek kehidupan model yang biasanya kita terima tanpa kekritisan sedikit pun jua.”
Kita pun berhenti, setelah mengetahui Sartono Kartodirdjo mengoleksi boneka dan bergerak sembrono sampai bertemu sejarah dan seni. Kita kembali mengingat sejarawan sebagai kolektor boneka tanpa pamrih-pamrih atau kesibukan menulis sejarah boneka. Ia memiliki kesenangan tak wajib berkaitan rutinitas mengurusi sejarah selama puluhan tahun. Kita justru digoda mencari jalan-jalan lain mengerti boneka. Begitu.
Sejak ratusan tahun lalu, serat-serat digubah dan dibaca(kan) untuk menjadi penuntun, pedoman, atau pengajaran. Pada abad XXI, sekian gubahan sastra para puangga Jawa terpengaruh peradaban India, Islam, Tiongkok, dan Barat terus terbaca, terpahamkan di latar waktu berbeda dan pengamatan atas keberulangan peristiwa. Pemetikan hikmah atau menguak makna di kitab-kitab sastra lama terus mengalami “pertambahan” setelah ada adonan biografi, sejarah, dan perangkat tafsir terbaru.
Warisan-warisan penting masih terbaca: Panitisastra, Serat Centhini, Wulangreh, Wedhatama, Cemporet, dan lain-lain. Semua gubahan sastra itu mengandung niti atau wulang. Kita terjemahkan sebagai ajaran. Sri Widati (2003) menjelaskan: “Pada dasarnya, ajaran pokok dalam buku-buku niti itu mengarahkan perempuan mendasari perilaku mereka kepada konsep alus dan rasa. Hal ini adalah tindak lanjut dari pandangan patriakhi yang mengedepankan laki-laki pada sektor publik dinilai penuh kekerasan, sedangkan perempuan ditempatkan di sektor domestik, tempat berkebalikan yang penuh dengan kelembutan, kesabaran, dan kasih.” Kita menduga terselenggara pengajaran tata nilai ke perempuan dengan batasan-batasan mengacu ke adat, agama, atau suasana kemodernan.
Pada abad XXI, ajaran-ajaran termaktub dalam khazanah sastra Jawa masa lalu masih “tersisa” atau dianggap menurunkan pengaruh atas kemunculan pengertian-pengertian untuk perempuan bertumbuh di sosial-kultural Jawa. Pembahasaan ajaran mungkin berubah. Keinsafan atas makna mungkin bersalin ke hal-hal mudah dimengerti dalam sekian peristiwa mutakhir. Kaum perempuan tetap diinginkan dalam kedirian alus dan rasa. Patokan semakin dikuatkan dengan warisan seruan-seruan di masa Orde Baru saat Soeharto sengaja menggerakkan kekuasaan berselera kejawaan.
Kita menengok masa lalu, berikhtiar menandai ajaran-ajaran pernah dianut pada abad XIX dan XX. Pembacaan memilih Serat Wulang edisi Departemen P dan K, 1981. Serat itu digubah oleh Raden Mas Riya Jayadiningratt I. Alih aksara dikerjakan Moelyono Sastronaryatmo dan alih bahasa oleh Suhartinah Sudijono. Kita mengarah ke kutipan-kutipan bermaksud pengajaran untuk wanita. Pembaca mungkin lekas merasakan ada sejenis perintah dan larangan demi membentuk wanita khas Jawa. Kita simak: “Sebagai wanita, anakku, tenaga dan tingkah lakumu hendaklah mencerminkan tenaga seorang wanita yang halus, tidak kasar seperti tenaga laki-laki, sebab bila demikian, itu tidak sedap dipandang mata.” Perbedaan sudah kentara: wanita itu halus dan lelaki itu kasar. Pensifatan dikehendaki tidak dipertukarkan.
Pada saat wanita berpredikat sebagai istri, seruan-seruan semakin bertambah dan rumit. Pembentukan diri ada di tahapan kehormatan bergantung kemampuan meladeni dan mengabdi suami. Kita membaca dengan jangkauan masa lalu saat kehidupan keluarga masih berkutat ke nalar-imajinasi feodal. Pembaca masa sekarang bisa memberi ralat atau sangkalan berdalih situasi zaman berubah: “Seorang wanita perlu belajar mengatur, menghias, serta memelihara rumah tangga, dan berdandan menghias diri, sehingga sedap dipandang. Seorang wanita perlu pandai memasak masakan yang enak, serta indah warnanya. Wanita dapat membuat/meramu obat dan jamu, segala macam boreh, param, bobok pilis, dan segala macam ramuan.” Di rumah, sekian peristiwa atau pekerjaan selalu dituntut penerapan ajaran bagi perempuan ingin terakui di hadapan suami. Istri terasa menanggung seribu tuntutan.
Seorang wanita perlu pandai memasak masakan yang enak, serta indah warnanya. Wanita dapat membuat/meramu obat dan jamu, segala macam boreh, param, bobok pilis, dan segala macam ramuan.” Di rumah, sekian peristiwa atau pekerjaan selalu dituntut penerapan ajaran bagi perempuan ingin terakui di hadapan suami. Istri terasa menanggung seribu tuntutan.
Pada abad XXI, sekian hal itu bisa tergantikan dengan kemauan istri atau kebijakan bersama. Memasak tidak lagi terlalu merepotkan saat ada perabot-perabot mutakhir. Istri menginginkan praktis bisa menggunakan bumbu instan tanpa perlu capek dan mengalami waktu lama. Pada keputusan berbeda, memasak tak lagi “jaminan” atas kewajiban istri. Kini, kebiasaan membeli masakan matang di warung-warung sudah lazim. Pilihan memesan masakan dengan pengantaran melalui jasa transportasi pun berlaku hampir tanpa gugatan berargumentasi boros, malas, atau “tidak sopan”.
Tuntutan wanita itu dipertimbangan alus dan rasa terbaca lagi: “Tingkah laku hendaknya selalu cekatan, tangkas, namun jangan berlaku kasar dan tergesa-gesa. Roman muka yang manis harus selalu kau tunjukkan kepada suamimu, dan janganlah sampai berubah. Demikian pula engkau harus selalu hemat dan teliti. Semestinya engkau lebih baik mengusahakan pujian daripada menyimpan dendam.” Biografi wanita sebagai istri memiliki kaidah-kaidah memiliki ganjaran-ganjaran berupa cela, jarang mendapat pujian tulus. Masa lalu wanita dalam gubahan sastra bergelimang ajaran memang mudah “dikoreksi” oleh realita-realita mutakhir. Koreksi atau ralat bisa dilakukan oleh kaum wanita atau mengalami perombakan bila ada keberpihakan dari suami turut membuat tatanan baru dalam berkeluarga.
Masa lalu wanita dalam gubahan sastra bergelimang ajaran memang mudah “dikoreksi” oleh realita-realita mutakhir. Koreksi atau ralat bisa dilakukan oleh kaum wanita atau mengalami perombakan bila ada keberpihakan dari suami turut membuat tatanan baru dalam berkeluarga.
Kita memilih kutipan terakhir dalam pengimajinasian nasib wanita masa lalu: “Berbuatlah sopan dan jangan melakukan perbuatan yang bersifat liar, jorok, tidak tahan berdiam diri, selalu hendak pergi. Bila demikian yang engkau lakukan itu, berarti engkau tidak mempunyai sopan santun. Kuatkan hatimu sebagai seorang wanita, tingkah laku bersopan santun hendaklah selalu diperlihatkan dalam hidupmu sehari-hari.” Pada masa Soeharto berkuasa, berlaku rezim sopan santun didiktekan ke kaum wanita melalui pelbagai organisasi. Pemerintah turut campur membentuk kesopanan melalui pengaruh politis dan acuan ke adat atau agama. Sopan santun sering terpahamkan melulu harus diterapkan kaum wanita ketimbang kaum lelaki. Ajaran-ajaran alus dan rasa perlahan terbaca dengan protes dan ralat. Pada abad XXI, gubahan sastra itu terbaca di situasi “bertabrakan” atau “berkebalikan”.
Kepribadian wanita mutakhir itu adonan dari warisan leluhur, politik, bisnis, dan berpatokan agama. Sekian hal bisa saling “menggugurkan” atau “menggenapi” tanpa ada pemutlakan ajaran-ajaran lama. Ingatan atas sastra lama bila dihadapkan dengan gubahan sastra baru dihasilkan kaum perempuan bakal terjadi “bentrok”. Dulu, niti atau wulang ke perempuan bersumber dari sastra sering digubah kaum lelaki ketimbang perempuan. Penaruhan ajaran-ajaran kentara menginginkan pihak lelaki menuntut, memerintah, dan memberi ganjaran. Begitu.
Pada masa 1970-an, para tokoh dan saksi sejarah menilai ada “krisis” dalam pengajaran sejarah di sekolah. Pengetahuan murid-murid dianggap belum sampai ke mengerti sejarah melalui mata pelajaran dan soal-soal ujian. Mereka membutuhkan buku-buku mengisahkan sejarah seperti “cerita” tapi memuat penjelasan lengkap. Guru mungkin belum memiliki cara memikat untuk menuntun murid-murid ke masa lalu dan memberi makna sejarah di masa Orde Baru. Pengajaran sejarah sedang menanggung masalah. Indonesia tegak dengan sejarah tapi murid-murid belum “terlena” di sejarah.
Usaha besar dilakukan dengan penulisan dan penerbitan seri buku sejarah: 60 judul. Buku-buku membedakan diri dari selera pelajaran. Buku terpenting berjudul Sejarah Proklamasi susunan Soeroto, terbitan Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1975. “Ceritera dalam buku ini kami ambil dari sumber yang paling dapat dipercaya, dari Bung Hatta,” pengakuan Soeroto. Buku untuk bocah ditulis bersumber buku dan percakapan dengan pelaku sejarah: Bung Hatta. Pengakuan ingin memastikan cerita di buku mengacu ke bukti-bukti sejarah, bukan bergelimang imajinasi. Penguat sumber pengisahan adalah buku-buku susunan Adam Malik, Omar Bahsan, Sidik Kertapati. Percakapan-percakapan dengan para pelaku dan saksi sejarah pun dilakukan bersama Latief, Chairul Saleh, Sajuti Melik, Sudiro, Sukarni, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Murid di SD dan SMP mungkin tak terlalu memikirkan cara penulisan buku mengaku berdasarkan buku dan percakapan. Di hadapan bocah, buku harus memiliki kisah memikat dan bertebaran makna ketimbang buku pelajaran. Misi penulisan buku: “Semoga tidak ada kesimpangsiuran lagi mengenai sejarah Proklamasi 17 Agustus 1945 itu.” Sejak Soeharto berkuasa, sejarah memang agak berantakan akibat kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru ingin melampaui atau berada di seberan rezim dengan penguasa Soekarno. Peran Soekarno agak “dikurangi” dengan pemunculan penulisan sejarah “menghendaki” memberi peran besar Soeharto di episode-episode berbeda, di luar proklamasi. Buku itu ingin “sahih” dibandingkan buku-buku lain.
Kita membaca dengan situasi abad XXI. Dulu, buku itu mungkin sudah “dititipi” pesan oleh nalar-imajinasi Orde Baru. Sejarah tak utuh. Sejarah masih mungkin berada di belokan atau persipangan. Bocah mungkin jemu dengan pengulangan babak-babak sejarah di perisitiwa proklamasi. Mereka bisa agak mundur ke masa sebelum detik-detik proklamasi, masa sengsara oleh pelbagai tindakan pemerintah pendudukan Jepang. Derita demi derita ditanggungkan berkaitan pangan dan sandang. Kita simak pengisahan Soeroto: “Selain itu terdapat juga kaum gelandangan. Adanya kaum gelandangan di negeri kita dimulai dari zaman Jepang itu. Pada zaman penjajahan Belanda tidak ada kaum gelandangan. Kaum gelandangan banyak berkeliaran di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Di kota-kota besar itu tiap hari terdapat orang-orang gelandangan yang mati kelaparan di pinggir jalan atau di bawah jembatan.”
Sejarah tak utuh. Sejarah masih mungkin berada di belokan atau persipangan. Bocah mungkin jemu dengan pengulangan babak-babak sejarah di perisitiwa proklamasi.
Bocah mungkin kaget dan penasaran. Sepintas saja tapi menimbulkan ragu. Penulis terlalu berani membuat perbandingan sejarah bertokoh gelandangan. Kita menduga bocah mengulangi isi buku untuk berbagi cerita bahwa zaman pendudukan Jepang mengakibatkan kemunculan kaum gelandangan. Cerita itu mungkin berterima. Bermasalah dan “drama berlebihan” saat Soeroto menulis: “Pada zaman penjajahan Belanda tidak ada kaum gelandangan.” Bocah boleh ragu atau menganggap penulis sedang membual sejarah. Gelandangan di pengertian penulis mungkin khusus. Gelandangan itu sudah mulai “mengganggu” kepastian pengisahan sejarah oleh Soeroto menggunakan sumber-sumber penting.
Di bagian peristiwa proklamasi (17 Agustus 1945) terasa masih sama dengan buku-buku pelajaran. Soeroto menulis: “Demikian terjadilah dengan Rakhmat Allah Yang Mahakuasa. Pada jam 10 pagi Bung Karno dengan didampingi Bung Hatta mengucapkan pidato singkat, sekedar sebagai kata pengantar, kemudian membacakan proklamasi kemerdekaan kita. Setelah itu dinaikkanlah bendera nasional kita Sang Merah Putih dan kemudian bersama-sama dinyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Rakyat yang mula-mula terharu waktu mendengarkan pembacaan proklamasi, kemudian bersorak-sorak gembira.” Kalimat-kalimat wajar dan gampang dimengerti bocah. “Bersorak gembira” itu mengesankan ada drama besar.
Empat tahun berlalu dari penerbitan buku berjudul Sejarah Proklamasi, para penulis masih terus ingin sajikan buku sejarah ke pembaca. Murid-murid di SD dan SMP diinginkan jadi pembaca sejarah proklamasi secara “benar” dan “berdasarkan bukti-bukti”. Keraguan sejarah harus sirna. Pada 1975, terbit buku berjudul Proklamasi Kemerdekaan Bangsaku susunan Darto Singo. Buku diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbitan milik pemerintah. Penjelasan awal: “Perlu diketengahkan di sini bahwa Dewan Harian Nasional Angkatan 45 telah berkenan membentuk satu tim yang diperbantukan kepada penulis dalam menyusun buku ini, dengan menggunakan hampir semua buku tentang proklamasi Indonesia, baik yang ditulis tokoh-tokoh yang terlibat langsung, maupun berupa tinjauan sejarah tentang peristiwa yang maha penting itu.” Di situ, kita tak menemukan daftar buku dan penulis. Darto Singo tak mau kalah dari Soeroto tapi lupa memberi daftar demi “kebenaran” sejarah.
Perlu diketengahkan di sini bahwa Dewan Harian Nasional Angkatan 45 telah berkenan membentuk satu tim yang diperbantukan kepada penulis dalam menyusun buku ini, dengan menggunakan hampir semua buku tentang proklamasi Indonesia, baik yang ditulis tokoh-tokoh yang terlibat langsung, maupun berupa tinjauan sejarah tentang peristiwa yang maha penting itu.
Kutipan derita Indonesia: “Tak mengherankan bila hidup para petani amat sengsara. Mereka terpaksa makan pokok batang pisang atau pokok batang pepaya sebagai ganti beras yang diangkuti oleh Jepang ke negerinya. Di bawah penjajahan Jepang inilah rakyat Indonesia terpaksa makan bekicot atau keong racun yang menjijikkan itu; pakaian mereka pun dibuat dari bahan karung atau goni…” Pembaca berusia bocah menerima peengisahan itu ketimbang “gelandangan” dicantumkan di buku garapan Soeroto. Derita dialami tanpa ada pendapat berlebihan seperti Soeroto. Pengisahan Darto Singo memang mengandung “drama” tapi bocah bakal mencari “pembenaran” ke cerita lisan terwariskan dari para pejuang atau kakek-nenek.
Peran Soekarno dalam buku Darto Singo manusiawi dan menimbulkan pujian atas kemauan memuliakan Indonesia. Ada pemunculan deskripsi raga dan perasaan. Kita simak kalimat-kalimat mengharukan sebelum pembacaan proklamasi: “Pucat sekali! Kata Bung Hatta dalam hati, sambil mengamati wajah Bung Karno dengan seksama dari balik kacamatanya. Wajah Bung Karno memang pucat. Ia sedang demam, tapi tidak ada alasan untuk menunda pengumuman yang telah mereka rencanakan itu.” Menit-menit sebelum peristiwa bersejarah di pukul 10 pagi (17 Agustus 1945), demam Soekarno itu pantas dimengerti bocah dalam pemenuhan janji suci untuk Indonesia. Pada masa 1970-an, kita memiliki dua buku disodorkan ke bocah. Buku-buku bermaksud menebus “jemu” atau penjelasan kaku di buku-buku pelajaran agar murid-murid berhasil mengerjakan soal-soal ujian sejarah. Kini, kita menanti buku-buku baru mengisahkan (sejarah) proklamasi. Begitu.