Author Archives: Redaksi Langgar
Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.
Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022
Spesifikasi Buku
Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm
Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan
Sinopsis:
Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.
Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.
Tradisi ngaji di Bulan Ramadhan mungkin menjadi hal yang biasa diadakan di sebuah pondok pesantren. Tradisi ini biasanya dikenal dengan “ngaji ngalong”. Banyak santri mencari pondok, untuk mengikuti kajian singkat kitab tertentu, selama bulan ramadhan. Tapi akan beda ceritanya jika tradisi ngaji Bulan Ramdhan atau ngaji pasanan ini diadakan di Pondok Pesantren Budaya kaliopak Piyungan Bantul.
Ngaji posonan biasanya hanya dikemas layaknya yang lumrah ada di pesantren-pesantren di pelosok Jawa, mulai dari kajian kitab dan ritual peribadatan khas bulan Ramdhan. Tetapi berbeda halnya dengan Ngaji Pasanan yang diadakan oleh Pondok Pesantren Budaya Kaliopak. Pondok yang sudah lama dikenal eksesntrik ini, akan mengadakan progam ngaji posonan dengan kemasan yang berbeda, dengan sentuhan yang millenial tapi tetap berakar.
Hal ini bisa dilihat dari materi kajian yang akan membahas berbagai aspek keilmuan terkait sejarah nusantara, kebudayaan, kesenian, kesehatan, tatanegara dan banyak lagi ilmu-ilmu lainnya yang jarang ditemukan dalam sebuah kajian pesantren. Selain kajian yang rencananya akan diadakan pada malam hari, pada sore harinya ngaji pasanan juga akan diisi dengan workshop kreatif, meliputi workshop literasi, penciptaan karya seni mulai dari seni music, seni rupa, film, dan yang tidak kalah menarik adalah apresiasi seni yang nanti akan ada beberapa penampilan khusus untuk Ngaji Pasanan.
Selain berbagai tema kajian dan agenda workshop dan apresiasi seni, sebagai sebuah pesantren, Pondok Kaliopak juga akan tetap berpegang teguh pada tradisi pesantren pada umumnya. Seperti kajian kitab kuning yang tetap akan diadakan di waktu subuh yang diampu langsung oleh Kiai M Jadul Maula. Selain kajian kitab kuning tradisi lainnya seperti sholat terawih, mujahadah, dan membaca sholawat, menjadi agenda penguat selama progam yang akan diadakan selama 17 hari ini.
Hal itupun tidak mengurangi rasa kekaluargaan yang ingin dibangun di Ngaji Pasanan. Yaitu, semangat saling asah dan asuh, saling menjaga satu sama lain diantara peserta menjadi hal yang diutamakan selama progam berlangsung.
Dalam kesempatan Ngaji Posonan tahun ini, tema besar yang akan melambari proses selama 17 hari diberi judul Islam Berkebudayaan: Aktualisasi Diri dan Produksi Budaya Hari ini. Frasa Aktualisasi diri sendiri dalam hal ini menjadi metrum penting dalam membahas gagasan Islam berkebudayaan. Bagaimana gagasan Islam Berkebudayaan ini bisa menjadi pemantik setiap diri, untuk melihat dirinya sebagai ciptaan Tuhan, yang mempunyai kecakapan untuk melihat masa lalu, sekaligus menjangkau masa depan. Selain itu kami juga berharap gagasan Islam berkebudayaan ini mampu memberi peta bagi “diri” untuk menemukan potensi ke-diri-annya agar produk kebudayaan baru yang lebih relevan bisa diciptakan. Dengan niat seperti itulah Ngaji Posonan #4 tahun ini kami usahakan. Yakni usaha untuk selalu mengaktualiasasi diri dalam kerangka Islam berkebudayaan.
Frasa Aktualisasi diri sendiri dalam hal ini menjadi metrum penting dalam membahas gagasan Islam berkebudayaan. Bagaimana gagasan Islam Berkebudayaan ini bisa menjadi pemantik setiap diri, untuk melihat dirinya sebagai ciptaan Tuhan, yang mempunyai kecakapan untuk melihat masa lalu, sekaligus menjangkau masa depan
***
Sebagai program rutinan Pondok Pesantren Budaya Kaliopak yang ditujukan sebagai penghormatan pada bulan Ramadhan dengan antara lain menjadikannya wadah belajar dan bergulat bersama secara intelektual dan spiritual. Menyambungkan rasa bersama melalui kegiatan yang didesain secara terbuka dengan semangat kolaborasi yang setara antara peserta dan panitia.
Tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, Ngaji Posonan #4 tahun 2022 akan banyak diisi dengan berbagai kegiatan. Di antaranya kajian keilmuan, ngaji ilmu-ilmu dasar kepsantrenan, workshop/pelatihan, apresiasi dan pertunjukan. Semuanya akan dirangkai dalam rentetan acara 17 hari yang akan dimulai pada tanggal 6 -22 April. Dalam kurun waktu tersebut, peserta akan dipertemukan dengan ekosistem pesantren dan kesenian yang sulit ditemukan di ruang lainnya.
Selain itu Pondok Pesantren Budaya Kaliopak yang bertempat di pinggiran Kaliopak sebagai sungai tertua di Yogyakarta dengan view ruang yang nyaman dan sejuk ditambah lagi daerah Piyungan sebagai domisili pondok yang penuh muatan historis. Peserta akan diajak menyusuri jejak sejarah keislaman yang tidak jauh dengan lokasi Pondok Kaliopak. Hal itu sebagai upaya untuk mendekatkan lagi peserta dengan pengalaman keagamaan yang hidup di tengah masyarakat.
Cinta gadis Amerika ini pada naskah-naskah Jawa Kuna, mampu membuatnya bekerja 18 jam sehari selama 2 tahun.
Hari itu Nancy sebenarnya masih mendapat cuti sakit dari dokter. “Kata dokter, paru-paru saya kotor kerena terkena debu buku,” ujarnya tersenyum tanpa terbesit sedikit pun. Tapi, seminggu tidak melihat pekerjaan, cukup membuat Nancy gelisah. Tanpa peduli nasihat dokter. Nancy pun mencoba “masuk kerja” hari itu. “Lagipula, saya sudah berjanji dengan seseorang yang akan menggarap naskah-naskah kuna tersebut, “begitu alasannya.
Tanggung jawab semacam itulah yang jarang ditemui. Selain itu, jasa-jasanya dalam melestarikan naskah-naskah kuna Jawa, memang patut dihargai. Sehingga tak heran jika kalangan Kraton Surakarta menganugrahinya bintang Sri Kedadyo kelas II bulan Mei lalu.
Buku-buku tua dan berdebu dalam ruangan perpustakaan pengap mengakibatkan paru-paru nancy kotor.
Kerja seperti Nancy memang memerlukan tanggung jawab dan kecintaan besar. Selama dua tahun belakangan ini, Nancy menggumuli naskah-naskah Jawa kuna, menelitinya halaman demi halaman, membaca, mencatat, menyusunnya menurut klasifikasinya atau kronologinya, membuat katalognya, dan merekam naskah-naskah tersebut ke dalam film mikro. Setidaknya jumlah 4000 judul buku atau sekitar 700.000 halaman naskah yang ditelitinya.
Tak jarang ia harus memebenahi sedikit-sedikit naskah kuna tersebut di sana-sini, agar bisa dibaca. Padahal, tulisan-tulisan tersebut berhuruf Jawa, huruf yang kini semakin jarang diminati oleh anak-anak muda kita karena dianggap ruwet dan tidak komersial, Nancy sendiri belum lama belajar huruf tersebut tanpa bimbingan orang lain. “Saya belajar sendiri dari buku Sekolah Dasar; honocoroco, “ begitu diakuinya. Tentu saja dimulai dengan mengeja-eja kalimat-kalimat yang dibacanya, sambal digabungkan dengan pengetahuan bahasa Jawa yang lebih dahulu telah dikuasinya.
“Saya belajar sendiri dari buku Sekolah Dasar; honocoroco, “ begitu diakuinya. Tentu saja dimulai dengan mengeja-eja kalimat-kalimat yang dibacanya, sambal digabungkan dengan pengetahuan bahasa Jawa yang lebih dahulu telah dikuasinya.
Dengan segala kerepotannya itu, Nancy masih bersemangat untuk berkerja dalam tempo tinggi dan waktu panjang. “Setiap harinya saya harus mengerjakan seribu sampai seribu lima ratus halaman serat-serat tersebut.” Dan jam kerjanya dimulai sejak pukul tiga dini hari, “Dengan istirahat dua kali untuk makan.”
Oleh karena itu, tempat kerjanya bukan saja di Perpustakaan Kraton Surakarta, Perpustakaan Mangkunegaran, atau Perpustakaan Radya Pustaka saja, tapi juga di tempat tinggalnya. Sore hari, ketika karyawan musium telah pulang, Nancy melanjutkan kerjanya di rumah, di tempat kerjanya yang khas duduk di lantai, beralasan tikar dengan meja kecil dan proyektor di hadapannya. “Saya senang lesehan begini,” katanya sambil memperlihatkan tempat kerjanya. Kelihatannya memang lebih santai.
Tapi tak semua tempat kerjanya bisa membuatnya santai. Di Perpustakaan Mangkunegara misalnya, ia harus membenahi buku-buku tua dan berdebu yang terletak di dalam ruangan perpustakaan yang pengap. Tak heran jika paru-paru Nancy kotor karena itu.
Dalam keadaan masih buruk inilah, ia menyelamatkan untuk datang juga ke tempat yang pengap itu untuk mengawasi dan memberikan pengarahan dalam pelestarian naskah-naskah kuno di tempat itu. Meskipun Ketika sampai di sana ia agak kecewa, tak seorang pun kerabat kerjanya di tempat itu yang terlihat. Hanya beberapa petugas perpustakaan yang menegurnya, “lho, ngendikane mbak Nancy gerah?” (lho, ngendikane mbak Nancy sakit?) Dengan senyum-senyum Nancy hanya menjawab pendek, “Inggih, pak.” Ia membuka-buka beberapa naskah sebentar, kemudian segara kembali ke perpustakaan Kraton Surakarta, melanjutkan pekerjaanya. Memberi pengarahan dan kadang-kdang mengerjakan sendiri proyek pelestarian naskah kuno tersebut. “Proyek pembuatan film mikro dari naskah-naskah ini memang sudah selesai. Sekarang kami mulai menggarap pengawetan dan perbaikan naskah ini.”
Cara kerjanya memperlihatkan tanggung jawabnya yang besar. Dengan teliti ia menanyakan apa saja yang telah dikerjakan kerabat kerjanya selama ia sakit, proses demi proses. Diperiksanya hasil pekerjaan kerabat kerjanya dan tak segan-segan ia menegur jika ada sesuatu yang kurang benar, atau bahkan yang menggunakan untuk pengawetan mutunya kurang baik. “Lain kali beritahu dulu pada saya kalau kertas yang dibutuhkan tidak ada, “ ujarnya tegas, meskipun masih bahasa Jawa yang halus.
Selasa Kliwon dan malam Jumat, Nancy membakar kemenyan dan menyediakan sesajinyan bunga.
Di luar urusan pekerjaanya, ketegasan dan kediisiplinan Nancy menjadi lentur. Bahkan dengan luwesnya ia bisa bertindak sebagai gadis Jawa dalam kehidupan sehari-harinya kini.
Ketika masuk halaman Kraton, ia mengajak femina membuka alas kaki. “karena sudah terbiasa setiap hari, ke mana-mana saya jadi pakai alas kaki begini”, ujarnya sambil melirik ke sandalnya. Di halaman Kraton, ia langsung lewat jalur terluar dari jajaran pohon-pohon sawo kecik yang ada di halaman itu. “Jalur-jalur ini untuk lewat para abdi dalem sesuai dengan pangkatnya. Untuk pangkat yang tinggi atau Putra Dalem (maksudnya para pangeran), diperbolehkan lewat di jalur yang paling dalam. Kita lewat sini saja” ajaknya. Padahal Nancy bisa saja memintas di jalur paling dalam, tapa ada yang menegur. Namun dengan kesadarannya sendiri, Nancy menyesuaikan diri pada peraturan yang ada di situ tanpa ada rasa terpakasa. Seperti Ketika sampai di teras bawah perpustakaan Kraton, ia lalu menghadap ke pintu tengah Keraton dan langsung menyembah, baru menyapa kerabat kerjanya. Juga Ketika naik di tangga perpustakaan, ia melakukan sembah seperti itu tanpa canggung.
“Aku percaya tenan, lho!” ujarnya menegaskan hal-hal seperti itu.
Tak heran jika pintu kamar tidurnya juga tergantung seuntai melati yang sudah kering. “Oh, itu kembang bekas pakai penari bedaya beberapa waktu yang lalu, “ katanya menerangkan. Ditambahkannya, jika Anggara Kasih (Selasa Kliwon) dan malam Jumat, ia selalu menyempatkan membakar kemenyan dan menyediakan sesajian bunga.
Gadis berusia tiga puluhan ini memang sudah lekat dengan kehidupan di sekitarnya, dari mulai makan sampai mandi. Nancy sudah terbiasa makan makanan Jawa, seperti nasi dengan lauk tampe atau tahu seperti yang tersedia di lemari makanannya hari itu. Ia juga biasa disapa dengan Mbak Nancy oleh kerabat kerjanya, tukang soto ayam langganannya di Nonongan.
Lucunya, karena selama ini ia terbiasa berbicara dalam bahasa Jawa dengan hampir setiap orang disekitarnya, maka ketika dosennya dari Amerika datang ke Solo, ia pernah keseleo menjawab pertanyaaan dosennya dalam bahasa Jawa. Di samping bahasa Inggris, Nancy tampaknya memang lebih fasih bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia. Ia tampaknya begitu menikmati hidup dalam kebudayaan Jawa dengan sepenuh hati.
Bahkan setelah membaca tentang watak-watak yang ditentukan oleh hari kelahiran pada kepercayaan Jawa, ia seperti diingatkan pada persoalannya pribadinya. “ternyata selama ini pacar-pacar saya wetonnya wage, pantes mereka tak pernah cocok dengan saya yang lahir weton pahing…”
Falsafah Jawa dengan Arti berbagi sisi menggerakan Nancy untuk mengikuti pusarannya lebih dalam dan lebih jauh
Nancy, putri bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari keluarga Edwin L. Florida ini memang sejak kecil mempunyai kebiasaan “lain” dari saudara-saudaranya. Ia lebih banyak tenggelam dalam bacaan daripada bermain, dan sejak kecil ia merasa mempunyai kpribadian yang agak berbeda dengan orang-orang di lingkungannya.
Ia mula-mula tertarik pada kesenian Jawa ketika melihat pergelaran karawitan Jawa di Connecticut College tahun tujuh puluhan.”Sesudah itu hidup saya hanya ada di antara karawitan Jawa,” kata Nancy yang sempat meraih gelar BA dalam bidang filsafat dengan predikat summa cum luude. Dan memang, sejak itu setiap ada kesempatan Nancy selalu tampil untuk memainkan gamelan, atau mengajar teman-temannya. Kesempatan untuk lebih mendalami karawitan didapatnya di Solo, Ketika ia memperoleh bea siswa dari Center For Word Music Berkley pada tahun 1975-1977.
Sepulangnya dari Solo, Nancy lalu memutuskan untuk masuk ke Universitas Cornell jurusan Sejarah Asia Tenggara. Lewat progam Asia Tenggara (South Asia Progam) dari Universitas Cornell, Amerika serikat dan bantuan dari National Egowment for the Humanities inilah Nancy dikirim kembali ke Solo untuk mengerjakan Surakarta Manuscript Project. Proyek untuk membuat mikro film Jawa kuna yang ada di Solo, atas bantuan Ford Foundation.
“yah, kalau orang-orang dapat menyumbangkan tenaganya sebagi dokter atau insinyur, saya juga ingin menyumbangkan tenaga saya dalam bidang ini,” katanya. Disamping itu, ia sendiri kini sedang mempersiapkan disertasinya mengenai pandangan masa lalu dalam sastra sejarah Jawa yang ditulis pada pertengahan abad ke-19, untuk meraih doktornya.
Sebagai mahasiswa Amerika yang masuk dalam kebudayaan Jawa, Nancy melihat adanya kebiasaan tradisional yang unik pada perempuan Jawa. “Dari pelajaran yang saya terima di bangku kuliah dulu, saya telah membaca bahwa sejak dulu di Jawa sudah ada Wanita-wanita yang cukup menonjol peranannya dalam masyarakat. Misalnya Ratu Pembayun, Putra Dalem VII (Putra Paku Buwono VII), atau Nyai Adisara, seorang pujangga Wanita dari Surakarta. Dan sekarang, coba lihat di pasar, banyak wanita yang berdagang di pasar. Siapa yang memegang uang kalau bukan Wanita! Kedudukan Wanita di Jawa secara tradisional lebih maju daripada kedudukan Wanita secara tradisional di Barat. Kalau pun di kalangan tertentu ada tradisi yang merendahkan kedudukan Wanita, itu mungkin tradisi Barat yang ditiru oleh kalangan tertentu sehingga menjadi kebiasaan di sini.”
Dan sekarang, coba lihat di pasar, banyak wanita yang berdagang di pasar. Siapa yang memegang uang kalau bukan Wanita! Kedudukan Wanita di Jawa secara tradisional kebih maju daripada kedudukan Wanita secara tradisional di Barat.
Dasar falsafah yang dimilikinya, ditambah dengan pelajaran mengenai sejarah Asia Tenggara, terhadap pengelanaannya terhadap kebudayaan Jawa menjadi lebih kental ketimbang orang-orang di sekitarnya. “Falsafah Jawa itu tidak bisa diterjemahkan dalam suatu bungkusan yang jelas, kerena hal itu berkembang dan dapat diartikan dalam berbagai sisi,” tuturnya. “Mungkin dari suatu falsafah dapat saya artikan sesuatu hal, sedang bagi orang lain dapat diartikan lain. Satu sama lainnya memang berbeda, tapi tidak ada yang salah,” Lanjut Nancy.
Keunikan-keunikan tersebut rupanya menarik Nancy untuk mendalaminya dan ikut dalam pusarannya lebih jauh. Dan kini, dalam keunikan-keunikan tersebut ia seperti menemukan sesuatu yang cocok darinya. Dengan mengumam ia mengaku, bahwa dalam hal-hal tertentu, “Aku angel srawung karo bangsaku dewe” ( Saya sulit bergaul dengan bangsaku sendiri).
Hai, sudah menjadi orang Jawakah Nancy?
“Saya rasa tidak. Saya seperti hidup dalam dua dunia. Saya beruntung mendapat kesempatan untuk mengalami hal ini, dan saya ingin menikmatinya, “katanya. Namun diakuinya jika segala “tugasnya” di Jawa ini sudah usai, ia begitu sulit menentukan masa depannya. “yang, saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan kebudayaan Jawa, sehingga kalau ada yang bertanya mengenai masa depan, saya sendiri tak tahu jawabannya. Tak berani membayangkannya, “ucapnya pelan sambal menerawang.
Cinta memang tak selamanya ditandai dengan harus selalu berdampingan dengan apa yang dicintai. Begitu pula mungkin Nancy terhadap kebudayaan Jawa dan ribuan naskah kuno Jawa yang pernah dibelainya.
Sebelumnya kami ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pembaca setia, penulis, dan semua pihak tanpa terkecuali yang telah berkontribusi. Berkat daya dan upaya teman-teman semua, Langgar.co hari ini telah menjadi media alternatif dalam mengurai khazanah pengetahuan berkebudayaan manusia Indonesia.
Kami selalu berusaha menyajikan konten tulisan dengan sudut pandang yang berbeda, reflektif, akademis, mendalam, dan tentu dekat dengan pembaca. Berusaha menjadi ruang untuk saling bertukar pengalaman menghayati proses laku menjadi manusia Indonesia yang erat dengan gagasan tradisi dan spiritualitas yang berakar pada nilai-nilai keagamaan dan ke-Indonesiaan.
Dari hal itulah, pada penghujung tahun 2021 ini, kami ingin memulai hal baru di media kami, untuk memilih 10 tulisan terbaik pilihan Redaksi Langgar.co. Tulisan-tulisan ini dipilih berdasarkan kedalaman gagasan, gaya pengungkapan tulisan yang reflektif, dekat, dan mendapat banyak apresiasi dari pembaca. Tulisan terpilih, kemudian akan kami bukukan sebagai bagian dari dokumentasi pengetahuan yang nanti dapat kita nikmati bersama melalui e-book dan sajian khusus kami.
Dan, kiranya inilah 10 tulisan pilihan Redaksi Langgar.co tahun 2021.
- Mengintip Indonesia Lewat Oetimu // Hairus Salim // 2021/01/11
Tulisan ini di tulis oleh Hairus Salim, seorang esais terkemuka di Indonesia tinggal di Yogyakarta. Hairus Salim mengulas sebuah novel yang berjudul Orang-Orang Oetimu (2019) karya Felix K. Nasi. Dalam tulisannya Hairus menceritakan panjang lebar novel ini, dengan detail, renyah, dan mendalam. Hampir tidak ada satu pun hal penting yang terlewat dari pengamatan Hairus Salim, yang dengan pelan tapi jelas ia sisir melalui tulisan yang mengalir.
Dalam uraian tulisannya, Hairus seolah menjadi juru bicara penulis Novel yang dengan jeli melihat bahwa novel Orang-orang Oetimu telah memberi gambaran daerah kecil bagian Timur Indonesia dengan segala persoalannya. Dengan analisis yang tajam, dari pengamatan yang ia lakukan, novel ini seperti hidup kembali dengan segudang pengetahuan dan pertanyaan setiap orang yang membaca uraian tulisannya. Tidak hanya itu, setiap pembaca rasanya juga ingin terlibat menjadi bagian dari cerita dan setidaknya membeli bukunya. Provokasi tulisan ini bisa membuat imajinasi pembaca melayang-layang.
Mengintip Indonesia Lewat Oetimu
2. Diperdaya Kopi: Mencecap Cita Rasa, Mengurai Kuasa // Okta Firmansah // 2021/01/16
Tulisan yang di tulis layaknya Jurnal, karena penuh dengan catatan kaki ini. Ditulis oleh mahasiswa pasca sarjana Sanata Dharma Yogyakarta bernama Okta Firmansah. Tulisan ini menjadi menarik, karena konten isunya jarang disentuh oleh banyak orang. Okta yang dengan lincah, membuat segudang pertanyaan untuk pembaca perihal kopi yang kita sesap hampir setiap hari.
Okta melakukan pembacaan secara kritis, lalu berusaha membongkar narasi umum terkait Industri kopi yang serat dengan kepentingan kolonial. Dengan pendekatan pascakolonial, ia menyatakan bahwa maraknya industri kopi hari ini tidak lepas dari hegemoni kepentingan para pemilik modal yang ada di belakangnya. Soal lain yang tidak kalah penting, bagaimana budaya kopi di Indonesia menjadi termarginalisasi di negeri sendiri, akibat politik wacana yang terus dilangengkan.
Diperdaya Kopi: Mencecap Cita Rasa, Mengurai Kuasa
3. Psikoanalisa ke Kawruh Jiwa: Sebuah Catatan // Kukuh Aji // 2021/01/29
Tulisan ini ditulis oleh Kukuh Aji. Seorang peIajar Kawruh Jiwa. Ia menceritakan proses persentuhannya dengan keilmuan psikologi, yang mana dalam masa pengembaraannya dengan gagasan psikologi Barat terutama ketika berkenalan dengan pemikiran Freud ia merasa jatuh cinta. Namun hal itu tidak bertahan lama, saat freud menerangkan psikoanalisa ternyata malam ia menemukan dengan lebih jelas pada pemikirannya kawruh jiwa Ki Ageng Suryometaram.
Setelah pertemuannya dengan pemikiran Ki Ageng, Kukuh Aji berusaha melakukan komparasi antara pemikirannya Ki Ageng dengan Freud. Walaupun tulisan ini mungkin hanya catatan, tapi bagaimanapun tulisan ini mampu menggambarkan ternyata pemikir kita tidak kalah dengan pemikir dari Barat yang sering kita puja.
Psikoanalisa ke Kawruh Jiwa: Sebuah Catatan
4. Kiai Sholeh Darat: Gerakan Pencerahan Bangsa Jawa // Taufiq Hakim // 2021/02/11
Tulisan panjang yang penuh data-data penting ini ditulis oleh Taufiq Hakim. Seorang pengkaji naskah lulusan kampus UGM Yogyakarta. Melalui tulisan ini, ia berusaha melacak peran Kiai Sholeh Darat dalam upaya melakukan perlawanan kultural dengan penjajah melalui karya kitab-kitabnya yang ditulis dengan aksara pegon.
Dalam tulisan ini, Taufiq berhasil memberi gambaran secara utuh peran Kiai Soleh Darat di tengah situasi sosial politik Jawa setelah kekalahan perang Diponegoro (1835). Begitu juga ia secara kritis membabar simpul-simpul perlawanan yang di organisir oleh Kiai Soleh Darat dalam melakukan perlawanan dengan pihak kolonial.
Kiai Sholeh Darat: Gerakan Pencerahan Bangsa Jawa
5. Perlukah Feminisme ala Nusantara // Umi Maisaroh // 2021/02/28
Tulisan ini di tulis oleh Umi Maisaroh seorang mahasiswa pasca sarjana di Freie Universitas Berlin. Tulisan ini berusaha menguliti gagasan feminisme ala Barat yang menurutnya tidak harus serta merta bisa diterapkan di Nusantara. Tidak hanya itu, ia juga berusaha melakukan perbandingan gagasan feminisme yang lahir di Barat dengan feminisme yang selama ini dipahami muncul setelah kasus RA Kartini. Dalam tulisannya, Umi berusaha melihat konteks RA Kartini sebagai obyek atau korban di masa penjajah. Sehingga persentuhan Kartini dengan tradisi literasi Barat membuat ia merasa perlu melakukan penolakan terhadap tradisi yang sudah menubuh di dalam keluarganya.
Bagaimanapun, tulisan ini telah memberi perspektif alternatif untuk melihat gagasan feminisme yang berkembang luas di Indonesia. Umi melalui tulisannya, yang di tulis dengan gaya santai, reflektif, tapi juga padat dengan data-data, berhasil menunjukkan kelemahan gagasan feminisme Barat secara teoritik. Lalu ia mempertanyakan pada pembaca, atau mungkin pada dirinya sendiri terkait perlukah gagasan feminisme ala Nusantara ada?
Perlukah Feminisme ala Nusantara?
6. Mengenang Prie GS dan Seni Menggebuk Hidup // Isma Swastiningrum // 2021/02/04
Tulisan ini di tulis oleh Isma Swastiningrum. Seorang pejalan yang penuh dengan nada kegelisahan yang dalam. Ia menulis obituari perihal kepergian seorang budayawan dari Semarang Prie GS. Dalam tulisannya, ia menceritakan sosok Prie GS yang ia sudah anggap seperti bapak sendiri. Dengan tangkas ia mengurai cerita-cerita reflektif tapi serat makna saat ia secara langsung bersentuhan dengan sosok yang sudah berpulang ini.
Ada nada haru, tapi Isma berusaha menyembunyikannya dengan cantik melalui tulisannya yang berlarat-larat ini. Sehingga secara tidak sadar membuat pembaca larut dalam satu episode cerita ke cerita lainnya. Dalam takaran tertentu, Isma berhasil membuat sosok Prie Gs seperti hidup kembali, yang siap kapan pun kita peras ajaran-ajarannya melalui tulisan ini.
Mengenang Prie GS dan Seni Menggebuk Hidup
7. Mencari Gorontalo // Susanto Polamolo // 2021/07/16
Tulisan ini di tulis oleh Susanto Palamolo seorang lulusan sarjana tingkat dua tinggal di Wangon Banyumas. Ia menceritakan pergulatan dirinya mencari identitas Gorontalo dalam tubuhnya yang lama terpendam sebagai seorang perantauan di Jawa. Dalam ceritanya ia melacak identitasnya hampir 10 tahun. Dengan pengalaman pengetahuannya, ia menyisir mulai dari ingatan melalui cerita orang tuanya, genealogi marga, cerita rakyat, hingga data-data penelitian yang terserak terkait Gorontalo.
Hingga akhirnya, dengan gaya tulisan Susanto yang personal dan ringan kita diajak masuk dalam kompleksitas upayanya mencari identitas dirinya. Sehingga tulisan ini berhasil memberi prespektif lain pada pembaca, untuk memahami bagaimana diri ini kita definisikan.
Mencari Gorontalo
8. Islam Nusantara: Kritik Diri // Irfan Afifi //2021/07/26
Tulisan ini ditulis oleh Irfan Afifi Budayawan muda yang tekun bergulat dengan khasanah pengetahuan Nusantara. Berdasarkan pengakuannya, tulisan ini dipantik oleh pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Ulil Abshar Abdalla mengenai kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu.
Kita tahu, Irfan Afifi menguraikan segudang jawaban dengan gaya khasnya berangkat dari pengalaman personal dengan subyek “saya” yang begitu kuat. Gaya penulisannya yang mengalir, tetapi juga kuat dalam analisis. Pemahaman kita sebelumnya terkait Islam Nusantara seperti dibongkar habis-habisan. Kita disodorkan fakta-fakta baru, dengan kata kunci yang mungkin jarang tersentuh sebagai metrum untuk melihat lebih jauh bahwa gagasan Islam Nusantara sebenarnya luas dan tersimpan dalam akar pengetahuan kita. Jadi, ia menyatakan bahwa gagasan Islam Nusantara bukan milik golongan tertentu, tapi milik setiap orang Indonesia yang mau menggali kembali pengetahuan yang lama di kubur dengan dominasi pengetahuan kolonial.
Islam Nusantara: Kritik Diri
9. Nusantara Berkaca: Priyayi, Mandarin, dan Samurai // Taufiq Ahmad // 2021/10/26
Tulisan ini ditulis oleh Taufiq Ahmad seorang penulis lepas yang tinggal di pinggiran Yogyakarta. Tulisan dengan nada provokatif ini, memberi gambaran kita untuk melihat lebih jauh pergolakan panjang sejarah nasional yang ternyata menyisakan kegetiran melalui polarisasi yang dibentuk oleh kolonial. Hingga Taufiq melihat bahwa hasil dari polarisasi yang dilakukan oleh kolonial yang kemudian dilembagakan, mengakibatkan keterputusan secara epistemik dari gagasan keilmuan Nusantara pada para diri priyayi.
Tidak berhenti di sana, Taufiq melakukan perbandingan lalu melacak lebih jauh dari sejarah dari bangsa lain. Golongan Mandarin dari Tiongkok dan Samurai dari Jepang menjadi objek analisis historis yang dilakukan secara kritis dan mendalam. Hingga melalui tulisan ini, kita bisa mendapat gambaran lebih utuh kenapa ketertinggalan kita sebagai bangsa terjadi hingga hari ini.
Nusantara Berkaca: Priyayi, Mandarin dan Samurai
10. Mengasah sambil Mengasuh // Akhmad Faozi // 2021/12/18
Tulisan ini ditulis oleh Akhmad Faozi seorang ayah dari satu anak yang mendarmakan dirinya melalui tulisan yang ia buat. Ia menuliskan perjalanannya menjadi penulis sekaligus menjadi seorang ayah. Bagi Faozi penulis adalah penyaksi resmi dari kehidupan. Sehingga dalam tulisannya ini, ia berusaha merekam perjalanannya melalui tulisan dalam pergulatannya dalam dunia kepenulisan.
Dengan sangat jujur, Faozi ingin menunjukkan bahwa proses menulis bukan hanya soal merangkai bahasa. Tetapi lebih jauh dari hal itu adalah ruang aktualisasi diri yang telah menjadi laku hidup yang ia pilih. Sembari mengasuh seorang anak, menulis menjadi bagian tumbuh kembangnya keluarga kecil yang ia bina bersama istrinya.
Mengasah Sambil Mengasuh