Menu

Kontestasi Politik Identitas Golongan Tionghoa Muslim

Janji Keadilan Bagi Tionghoa di Indonesia

Setelah kekuasaan Orde Baru tumbang, kondisi sosial-politik di Indonesia mengalami pergeseran yang signifikan. Tidak hadirnya kekuatan politik dominan membuat gelombang demokrasi melanda hampir di segala bidang kehidupan, tidak terkecuali di bidang kebudayaan. Kondisi ini memungkinkan berbagai praktek kebudayaan yang pada saat Orde Baru berkuasa dilarang tampil secara publik kemudian satu persatu mulai berani menampakkan dirinya kembali, salah satunya adalah kebudayaan etnis Tionghoa.

Meski diperolehnya kembali kebebasan tersebut harus ditebus dengan sebuah kerusuhan massa—atau yang dalam ingatan kolektif bangsa ini dikenal sebagai ‘Tragedi Mei 1998’—yang memakan banyak korban jiwa dari kalangan etnis Tionghoa, namun masa-masa sesudah itu tidak bisa dipungkiri telah membawa banyak perubahan bagi kehidupan mereka di Indonesia. Indonesia pasca-Orde Baru, atau juga biasa disebut dengan “Era Reformasi” telah membuka kesempatan yang lebih luas bagi orang Tionghoa Indonesia untuk dapat mengekspresikan Identitas kebudayaan mereka kembali tanpa perlu khawatir dengan larangan dari pemerintah. Praktis sejak tahun 1999, mereka pun akhirnya bisa merayakan kembali Hari Raya Imlek tanpa perlu takut-takut lagi (Turner, 2003; Turner dan Allen, 2007).

Pribumi dan Non Pribumi

Sebelumnya, tepat pada 16 September 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah “pribumi” dan “non pribumi” untuk menyebut orang pribumi dan orang Tionghoa. Momen bersejarah ini pun kian sempurna ketika pada 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang berisi pencabutan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina, yang kemudian diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan nama Tionghoa buat orang-orang Tionghoa Indonesia pada 2001. Keputusan presiden ini selanjutnya diterjemahkan lewat Keputusan Menteri Agama No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya) dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan (Setiono, 2002). Ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN pada tanggal 17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri juga mengumumkan bahwa mulai tahun 2003 Imlek akan ditetapkan menjadi hari libur Nasional.

Kembali Ke Kancah Politik

Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai. Berbagai kelompok peranakan Tionghoa pun beramai-ramai membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, LSM, dan sebagainya. Di antaranya adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK), dan sebagainya (Setiono, 2002; Turner dan Allen, 2007: 122-123).

Perlu juga dicatat bahwa sejak bergulirnya Era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai.

Namun sangat sedikit di antara partai-partai politik yang dikomandoi oleh orang Tionghoa tersebut menuai kesuksesan berarti. Hampir semua partai yang berdiri waktu itu, selain PBI yang hanya mendapatkan satu kursi di parlemen dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, tidak memenuhi ketentuan ambang batas (treshold) elektoral yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Thee Kian Wie, ekonom senior dari LIPI, berpendapat bahwa kecenderungan tersebut merupakan tanda-tanda positif bagi perbaikan kehidupan dan masa depan orang Tionghoa di Indonesia, namun satu hal yang membuatnya nampak kurang begitu nyaman dari fenomena tersebut adalah terkait dengan penonjolan yang berlebihan terhadap ciri-ciri ketionghoaan dalam partai-partai yang ada, karena seolah-olah mereka hanya mewakili kepentingan orang-orang Tionghoa saja, selain juga bisa memicu munculnya kembali penilaian berbau rasial dari kelompok pribumi (Turner, 2003: 349).

Gagasan Pembauran

Senada dengan Thee, Ong Hok Ham, sejarawan peranakan yang sejak dulu mendukung gagasan pembauran, juga menunjukkan ketidakyakinannya bahwa partai-partai berbasis etnis yang didirikan oleh sejumlah tokoh Tionghoa akan mampu menjadi sarana perjuangan bagi perbaikan nasib masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dugaan Ham terbukti benar. Jangankan merealisasikan tujuan tersebut, bersaing mendapatkan suara dalam pemilu 1999 saja, bahkan sekedar menjadi kontestan, partai-partai tersebut terlihat kurang kompetitif. Strategi yang kemudian dipilih oleh tokoh-tokoh Tionghoa justru mengembangkan mekanisme lobi, strategi politik yang oleh Ham dipandang sebagai langkah meniru lobi-kobi berbasis etnis yang lazim terjadi dalam perpolitikan Amerika. Sistem lobi ini dimaksudkan untuk menjaga idependensi sikap di tengah iklim politik yang kurang menentu. Sebab, jika sikap politik itu telah digariskan secara tegas, hal ini justru akan merugikan masyarakat Tionghoa sendiri karena sikap politik mereka akan lebih mudah ditebak, dan yang lebih penting adalah kenyataan bahwa jarang sekali partai yang didirikan oleh kelompok minoritas akan mampu berkembang menjadi lebih besar di kemudian hari. Tentang sikapnya ini Ham berpendapat:

~~~

“…. partai politik dari golongan minoritas cenderung mengisolasi golongan minoritas dari dunia perpolitikan bangsa. Sementara itu, partai politik dari minoritas etnis atau ras tidak pernah memiliki kursi banyak dalam parlemen, karena jumlah mereka terlalu sedikit. Masalahnya adalah apakah bisa dilahirkan politik minoritas yang independen, yang berjuang bagi kepentingan minoritas, seperti menghapus diskriminasi, dan bagi seluruh bangsa” (Kompas, 13 Agustus 1999).

~~~

Thee dan Ham selanjutnya lebih menyarankan supaya orang-orang Tionghoa untuk bergabung ke dalam partai-partai politik yang sudah ada, yang secara politis lebih terbuka terhadap, dan lebih mampu mengakomodasi kepentingan berbagai golongan di Indonesia, misalnya PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan lain-lain. Hasilnya ternyata memang lebih bagus. Pada pemilu 1999, ada beberapa orang etnis Tionghoa yang berhasil menjadi anggota DPR, MPR dan DPRD. Di DPR ada nama Kwik Kian Gie (kemudian diganti karena diangkat menjadi menteri) dan Tjiandra Wijaya Wong dari PDI-P, Alvin Lie Ling Piao dari PAN, Enggartiasto Lukita dari Golkar. Sementara di MPR ada nama Hartarti Murdaya (Chow Lie Ing) dari Walubi yang mewakili Utusan Golongan dan Daniel Budi Setiawan yang menjadi wakil Utusan Daerah Jawa Tengah dari PDI-P. Seharusnya ada lagi seorang etnis Tionghoa yang menjadi anggota DPR yaitu Frans Tshai yang mewakili PDI-P Bogor, namun pada saat-saat terakhir ia disingkirkan dan tempatnya diberikan kepada orang lain (INTI, 2003).[1]

Beberapa etnis Tionghoa bahkan pernah menduduki beberapa jabatan strategis di pemerintahan lokal, di antaranya Basuki Tjahaja Purnama, menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005-2010, dan setahun kemudian, Christiandy Sanjaya terpilih sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Jumlah keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam politik praktis mengalami peningkatan cukup signifikan pada Pemilu 2009. Terdapat sekitar 100 calon legislatif di tingkat DPR yang berasal dari etnis Tinghoa. Belum lagi caleg untuk tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dalam daftar tersebut, misalnya, selain nama Alvin Lie (PAN Jateng), Rudianto Tjen (PDI-P, Bangka), Charles Honoris (PAN Jatim), Henky Kurniadi (PDI-P Jatim), Agoes (Hanura), L Walanda (Sulawesi Utara), Tan Fu Yong (DKI Jakarta), dan Samuel Nitisaputra (Kalimantan Timur), Frans Tjai dan Eddy Sadeli (P. Demokrat), AB Susanto (PKB), Tommy Satnjoto, Hertanto Surya, Sri Mutiara Sutardji (PKPI), Anton Gautama (PDI-P), Siegvrieda, Joseph Mangondow (Pelopor), Hendry Tjandra (PIB), Kimmy Himawan (PAN), dan sebagainya (Suara Karya, 31 Maret 2009).[2]

Kebebasan Masyarakat Tionghoa Indonesia

Iklim kebebasan di Era Reformasi juga disambut dengan terbitnya banyak publikasi seputar masyarakat Tionghoa di Indonesia, dari kajian yang sifatnya serius hingga yang lebih populer.[3] Kondisi ini juga dimanfaatkan sebagian kalangan untuk menerbitkan media berkala yang menyuarakan aspirasi masyarakat Tionghoa di Indonesia.[4] Sampai akhir April 2008, setidaknya masih terbit sembilan media yang mengambil segmentasi warga keturunan Tionghoa: lima media cetak berbahasa Mandarin (Indonesia Shang Bao, Gui Ji Ri Bao, Suara Indonesia, Harian Indonesia (Reji Ri Bao), dan Kun Dian Ri Bao), tiga media cetak berbahasa Indonesia (Era Baru, Majalah Sinergi, dan majalah Suara Baru), dan sebuah media berbahasa Inggris (The Universal Daily News) (Prasetyo, 2010: 172-173).

Bagaimana dengan orang-orang Tionghoa Muslim Indonesia dalam merespon perubahan situasi politik tersebut?

Dipicu oleh kekecewaan terhadap Golkar yang dianggap kurang mampu mengawal proses pembauran selama berkuasa, Junus Jahja dan sejumlah tokoh Tionghoa, di antaranya HM. Jusuf Hamka, Budi Susanto, Dr. Dih Liang, mendirikan Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) dengan pertimbangan dibutuhkannya sebuah wadah partai politik yang sanggup menampung aspirasi masyarakat terhadap masalah pembauran bangsa dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Parpindo yang memilih Pancasila sebagai basis ideologinya ini bersifat terbuka bagi seluruh warga negara tanpa memandang suku, keturunan, dan agamanya (Kompas, 6 Juni 1998). Menurut Junus, agenda pembauran selama Orde Baru berkuasa berjalan tanpa arah, digerakkan oleh pihak yang tidak ‘becus’ dan tidak peduli terhadap pembauran itu sendiri. Meski agenda asimilasi sudah dicetuskan sejak tahun 1960-an, bahkan telah menjadi slogan resmi rezim Orde Baru, namun terbukti hasilnya tidak maksimal dan tepat sasaran karena rezim yang berkuasa memang belum menganggap masyarakat Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia itu sendiri. Sebab, agenda pembauran yang sejati, dalam artian memperkuat infrastruktur bagi terciptanya pembauran yang bersifat alamiah, belum menjadi isu mayor bagi hadapan pemerintah Orde Baru. Junus menuturkan:

~~~

“Kita ini bukan economic animals, dan juga bukan mewakili kelompok yang bersemangat cukongisme. … di antara orang-orang keturunan Cina ini ada pemain bulu tangkis, dokter-dokter yang bekerja sebagai pegawai negeri, dan lainnya. Selama ini mereka dipukul rata saja dan pergerakan pembauran di Indonesia tidak lagi ditangani oleh mereka yang mempunyai perhatian terhadap masalah ini, tapi sudah kemasukan orang-orang yang menginginkan pembahasannya meluas tidak hanya pada masalah Cina saja.”[5]

~~~

Sayang, rendahnya dukungan baik dari kalangan Tionghoa sendiri maupun masyarakat Indonesia secara umum membuat Parpindo kurang mampu bersaing dengan partai-partai lainnnya, bahkan dinyatakan tidak lolos dalam Pemilu 1999. Namun, kondisi tersebut lantas tidak membuat Junus patah semangat untuk tetap menempatkan urgensi asimilasi bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia sebagai pokok perhatiannya. Salah satunya disampaikan melalui seruan terhadap orang-orang Tionghoa Muslim untuk menyikapi perubahan politik pasca tumbangnya Orde Baru sebagai peluang untuk menunjukkan peran mereka secara lebih luas. Dengan kata lain, kebebasan itu harus bisa dimanfaatkan oleh orang-orang Tionghoa Muslim untuk berpartisipasi lebih aktif di berbagai bidang kehidupan. Namun, tetap perlu diwaspadai bahwa potensi konflik antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi belum sepenuhnya hilang meski orde kekuasaan telah berganti.

Akar Konflik dan Potensi Memediasinya

Menurut Jahja, selama pemerintah Orde Baru berkuasa, sebenarnya praktek diskriminasi tidak hanya ditujukan kepada etnis Tionghoa semata, tetapi penduduk pribumi pun turut merasakannya. Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru. Kondisi ini, kalau tidak disikapi secara serius oleh pemerintahan baru di Era Reformasi tentu potensial menjadi ancaman bagi terciptanya kerjasama dan sikap saling menghormati antara kedua kelompok tersebut. Kondisi ini, lanjut Jahja, sebenarnya peluang bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk memerankan fungsinya sebagai mediator bagi kedua kelompok. Posisi orang-orang Tionghoa Muslim yang relatif dapat diterima oleh penduduk pribumi membuat mereka lebih leluasa menjalin kerjasama dengan penduduk pribumi, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan menjembatani kedua kelompok dalam kegiatan-kegiatan publik (Ali, 2007: 14-15).

Orang Tionghoa memang dilarang mengekspresikan kebudayaannya dan dibatasi keterlibatannya dalam bidang politik, namun mereka dimanjakan pemerintah dalam sektor ekonomi. Sebaliknya, meskipun penduduk pribumi lebih leluasa berkecimpung dalam kehidupan politik, namun aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi relatif dibatasi oleh pemerintah Orde Baru.

Sependapat dengan Junus Jahja, Budi Setyagraha, tokoh Tionghoa Muslim dari Yogyakarta, melihat bahwa terbuka lebarnya pintu kebebasan di Era Reformasi tersebut semestinya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang Tionghoa untuk terlibat dalam berbagai bidang kehidupan di negeri. Mereka sebaiknya tidak hanya berkonsentrasi di bidang bisnis saja, tetapi harus lebih berani memasuki jenis profesi lainnya, mungkin menjadi guru, dosen, peneliti, tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, artis, wartawan, sastrawan, begitu juga menjadi politikus. Orang-orang Tionghoa harus berusaha keluar dari isolasi yang selama ini mengungkungnya. Politik bukan lagi sesuatu yang menakutkan dan perlu dijauhi, sebaliknya perlu dipelajari dan dipahami. Etnis Tionghoa harus turut berpolitik praktis melalui partai politik-partai politik  yang sesuai dengan pilihannya atau bersama-sama komponen bangsa lainnya mendirikan partai politik untuk dijadikan alat perjuangan guna mencapai apa yang selama ini mereka harapkan. Bagi orang-orang Tionghoa Muslim sendiri, lanjut Budi, kondisi ini juga merupakan peluang bagi mereka untuk lebih aktif dalam mengusung agenda-agenda asimilasi. Posisi mereka yang lebih dapat diterima oleh penduduk pribumi harus mereka manfaatkan secara maksimal sebagai jalan untuk memasuki bidang-bidang pekerjaan yang selama ini identik dengan penduduk pribumi, seperti guru, dosen, karyawan, peneliti, artis, pengacara, notaris, insinyur, dan sebagainya (Bernas, 19 Maret 2006).

Tionghoa Muslim

Bersambut dengan seruan dua tokoh di atas, pertemuan penulis dengan dua orang Tionghoa Muslim asal Semarang dan Kudus, sebut saja Hasan dan Hendra, sedikit banyak telah membuktikan bahwa bagi orang Tionghoa Muslim sendiri pun selanjutnya merasa lebih bisa diterima dan dipersepsi secara positif oleh orang-orang pribumi ketika mereka berkecimpung di bidang profesi yang umumnya juga ditekuni oleh orang-orang pribumi. Sebenarnya, dengan menyandang identitas sebagai Muslim pun mereka merasa sudah lebih bisa diterima, apalagi ketika mereka menekuni pekerjaan-pekerjaan yang sering dikaitkan dengan orang-orang pribumi. Kondisi ini menggambarkan bahwa prasangka dan diskriminasi yang sering mereka terima sebenarnya bukan semata dipicu oleh persoalan perbedaan ras dan agama, tetapi juga erat kaitannya dengan perbedaan profesi yang berujung pada perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi antara mereka dengan penduduk pribumi.

Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois.

Kesejahteraan ekonomi yang cukup mencolok tidak bisa dipungkiri telah membuat orang-orang pribumi cemburu terhadap mereka, hingga kemudian muncul stereotip negatif seperti economic animals (binatang ekonomi) yang rakus dan egois. Itulah sebabnya ketika ada orang-orang Tionghoa yang menekuni jenis profesi selain di bidang bisnis, orang-orang pribumi cenderung melihat mereka sebagai pengecualian, apalagi jika mereka sekaligus seorang Muslim. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua belah pihak sejauh ini memang sarat akan prasangka dan kecurigaan, seperti yang diungkapkan oleh Hasan dan Hendra berikut:

~~~

“Sangat sulit menghilangkan stigma buruk terhadap orang-orang Cina, apalagi untuk mereka yang kaya-kaya. Mereka umumnya juga hidup secara eksklusif, dan kurang bergaul dengan penduduk pribumi. Bahkan, cenderung menganggap rendah orang pribumi. Coba Anda lihat saja, di sepanjang jalan-jalan utama di Semarang Anda bisa melihat banyak sekali orang-orang Cina yang mempekerjakan orang-orang Jawa. Mereka juga memperlakukan orang-orang pribumi layaknya seorang pembantu. Ini mungkin penyebab mengapa masyarakat pribumi juga sering membenci orang-orang Cina. … tapi ini tidak semua mas, karena nampaknya ada pengecualian bagi orang Tionghoa yang masuk Islam. Sejak menjadi Muslim pada tahun 1997 sambutan masyarakat pribumi sangat welcome, mereka seakan-akan tidak percaya kalau ada orang Cina yang masuk Islam. Namun satu hal juga yang mungkin membuat mereka semakin menerima saya adalah karena saya ini kan bukan Cina kaya? Saya hanya seorang karyawan swasta, sama juga dengan mereka, jadi mereka tidak iri atau cemburu kepada saya. Menurut saya pekerjaan itu penting banget mas, karena ini sumber kecemburuan yang sebenarnya paling jelas.”[6] 

“Bagi mereka yang belum tahu kalau saya adalah seorang Muslim, mungkin mereka akan menganggap saya itu sama saja dengan orang-orang Cina lainnya, yang dianggap lebih suka hidup eksklusif menggerombol dengan sesama golongannya. Tapi, kebetulan saya ini bukan pebisnis mas, karena dorongan hati saya lebih condong pada mengajar. Sejak kecil saya merasa kurang trampil dalam manajemen, saya lebih suka dengan sesuatu yang bersentuhan dengan pendidikan. Itulah mengapa saya sekarang memilih menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di semarang. Bagi teman-teman atau mahasiswa saya yang tahu keislaman saya, mereka sangat bersimpati dan mendukung saya. Saya dianggap orang Cina yang melawan arus atau orang Cina yang mbalelo, tapi konotasinya tentu yang positif.”[7]

~~~

Senada dengan kecenderungan di atas, Maulana dalam penelitiannya juga membuktikan hal serupa di kalangan masyarakat Tionghoa Muslim Yogyakarta. Dia menyebutkan ada kecenderungan di kalangan mereka untuk berprofesi di bidang yang tidak terkait langsung dengan aktivitas bisnis, sesuatu yang mungkin selama masa pemerintahan Orde Baru bukanlah pilihan yang populer bagi mereka. Beberapa nama bisa disebut, di antaranya adalah Ahmad Sutanto dan Margaretta, dosen di Fakultas Ekonomi dan Fakultas-MIPA Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Grace Lestariana, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Hendrik, dosen di Fakultas Teknik Universitas Islam Indonesia (Maulana, 2010: 109). Sebenarnya di kalangan orang-orang Tionghoa Muslim sendiri juga terdapat kecenderungan kuat untuk mencoba berkarir di instansi pemerintah sebagai pegawai negeri sipil (PNS), namun karena kesempatan untuk melakukannya masih terbatas maka mereka kemudian memilih untuk berkarir di institusi-institusi swasta. Fenomena ini merupakan bukti nyata bahwa telah terjadi perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, kecenderungan yang disadari atau tidak, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi. Dengan kata lain, tidak semua orang Tionghoa Indonesia merupakan aconomic animals yang patut dicurigai dan dibenci, demikian pengakuan seorang warga pribumi ketika dimintai pendapatnya mengenai kecenderungan tersebut.

Perubahan-perubahan orientasi pada diri orang-orang Tionghoa dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, ternyata telah membantu mengikis prasangka-prasangka negatif terhadap mereka dari masyarakat pribumi.

~~~

“Awalnya agak aneh sih melihat orang Cina kok jadi guru atau jadi dosen. Kebanyakan dari mereka kan pedagang yang menganggap uang sebagai tujuan utama mereka. Menurut saya, ini gejala yang patut dicermati dan disambut baik, karena semakin banyak orang-orang Cina yang berani mengambil langkah ini, maka saya yakin penilaian orang-orang Jawa lambat laun akan berubah.”[8]

~~~

Kenangan Orde Baru

Sayangnya, mengingat kesempatan yang tersedia masih sangat terbatas untuk berkarir di Institusi-institusi pemerintah, maka kita belum bisa menjumpai lebih banyak lagi orang-orang Tionghoa yang menempuh jalan tersebut. Namun, terlepas dari masih minimnya kesempatan tersebut, Indonesia pasca-Orde Baru tetaplah akan dikenang oleh masyarakat Tionghoa Indonesia sebagai salah satu babak terpenting dalam sejarah keberadaan mereka di negeri ini. Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka, selain sebagai sarana perjuangan bagi kepentingan-kepentingan mereka, hal ini juga dapat dipandang sebagai bukti keseriusan mereka untuk terlibat lebih jauh dalam upaya-upaya perbaikan negeri ini.

Demokratisasi di bidang politik telah melahirkan kembali kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan pentingnya ketersediaan saluran-saluran partisipasi bagi mereka.

Di kalangan Tionghoa Muslim sendiri, iklim kebebasan di Indonesia pasca-Orde Baru ini kemudian segera direspon dengan cara semakin menguatkan konsolidasi dan merumuskan orientasi gerakan ke depan secara lebih sistematis. Ambil contoh, pada 23 Maret 2005 DPD PITI Jateng menyelenggarakan Musyawarah Wilayah yang mengusung agenda utama yaitu merumuskan strategi-strategi gerakan yang diharapkan lebih mampu mewujudkan terciptanya suasana saling menghormati dan kerjasama antara masyarakat Tionghoa Muslim dengan penduduk pribumi. Kegiatan ini diikuti oleh hampir seluruh anggota DPD PITI Jawa Tengah, di antaranya dari Semarang, Pekalongan, Rembang, Kudus, Purbalingga, Tegal, Surakarta, Salatiga, Jepara, Purwokerto, Blora, dan lain-lain. Beberapa tokoh penting Tionghoa Muslim Jawa Tengah juga hadir dalam acara tersebut, seperti H. Fuad Sahil, Jaisar Amit, Maksum Pinarto, Gautama Setiadi, Harry Afandi, dan Iskandar. Salah satu butir rekomendasi dari acara tersebut adalah disepakatinya pembangunan Islamic Center yang rencananya akan dibangun di Semarang dan diharapkan mampu menjadi pusat kegiatan dan pembelajaran pengetahuan keislaman bagi orang-orang Tionghoa Muslim di Jawa Tengah (Suara Merdeka, 22 Maret 2005).[9]

Ruang Demokrasi Tionghoa Muslim

Di tahun yang sama, DPP PITI juga menyelenggarakan Musyawarah Nasional III yang diselenggarakan di Surabaya. Munas yang kemudian menetapkan HM. Trisno Adi Tantiono sebagai Ketua Umum DPP PITI ini dapat dianggap sebagai momen paling bersejarah bagi masyarakat Tionghoa Muslim Indonesia pasca-Orde Baru, sebab melalui forum ini kemudian lahir kesepakatan tentang penggunaan kembali kata Tionghoa dalam nama PITI. Di tahun-tahun itu juga tanda-tanda semakin menggeliatnya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim Indonesia mulai terasa, setidaknya jika dilihat dari dibangunnya masjid dan pusat keislaman di beberapa daerah, di antaranya Masjid Cheng Ho di Surabaya, Purbalingga, Bandung, dan Palembang, Masjid Ja’mi An Naba’ KH. Tan Shin Bie di Purwokerto, Masjid Cheng Ho Jawa Tengah di Semarang, serta Islamic Center di Kudus (Tanudjaja, 2005).[10] Makin maraknya aktivitas komunitas Tionghoa Muslim di Indonesia pasa-Orde Baru ini kemudian mematahkan tesis yang menganggap bahwa keislaman mereka semata hanya untuk mencari perlindungan penguasa. Jika tesis ini benar, semestinya sebagian besar orang Tionghoa yang telah memeluk Islam ketika Orde Baru masih berkuasa akan kembali lagi kepada keyakinan terdahulu mereka seiring dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru yang pernah mengebiri kebebasan mereka hampir di segala bidang kehidupan telah tumbang.

Meski iklim demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru telah memberi kesempatan bagi orang-orang Tionghoa Muslim untuk menunjukkan identitas dan pandangan-padangan mereka secara lebih terbuka, namun hal ini bukan berarti tidak ada lagi masalah serius yang bakal mereka hadapi di waktu-waktu selanjutnya. Menurut pengamatan Ali (2007: 14-15), posisi mereka tetap berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, keputusan untuk memeluk Islam memang semakin mendekatkan mereka dengan pemerintah dan masyarakat pribumi, namun di sisi lain mereka juga menghadapai situasi baru yang cukup dilematis, yakni hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa terancam memburuk.

Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi.

Jika mereka terlalu dekat dengan pemerintah dan penduduk pribumi, maka hal ini dikhawatirkan akan mengganggu hubungan mereka dengan orang-orang Tionghoa non-Muslim, sementara jika mereka terlalu dekat dengan orang-orang Tionghoa, maka mereka kemudian akan rentan terhadap prasangka-prasangka negatif dari penduduk pribumi, misalnya jalan memeluk Islam hanya sekedar untuk mencari posisi aman. Dengan demikian, menjadi Muslim tidak kemudian selalu bermakna sebagai telah purnanya proses asimilasi orang-orang Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi, karena dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar terkait dengan orientasi pembentukan identitas mereka seiring semakin terbukanya kebebasan untuk menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya. Dengan kata lain, menjadi Muslim sekarang ini tidak selalu sebangun dengan menjadi pribumi, karena gelombang ‘resinifikasi’ kebudayaan yang tidak bisa dibendung lagi itu juga turut melanda kalangan Tionghoa Muslim Indonesia. Petikan kesaksiaan salah seorang dari mereka berikut ini mungkin bisa memberi gambaran tentang bagaimana mereka menanggapi gelombang perubahan tersebut.

~~~

“Sekarang kondisinya telah jauh berubah, tidak seperti zaman Orde Baru yang penuh dengan hambatan-hambatan. Orang-orang Cina itu tidak bisa dipaksa lagi untuk menghapus ciri-ciri yang mereka miliki, apalagi jika hal itu berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan selama berabad-abad lamanya. Meski saya ini sudah menjadi Muslim sejak lama dan dalam banyak hal mengikuti cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan orang Jawa, namun ketika ada kesempatan untuk merayakan hari-hari besar Tionghoa, atau apapun lah yang berhubungan dengannya, dalam hati pun saya merasa sangat antusias dan gembira. Ibaratnya, kita pernah kehilangan barang berharga yang kita miliki, nah ternyata sekarang barang itu telah kembali lagi.”[11]

~~~

Bersambung… (untuk mendownload versi panjangnya).


Catatan:

 

[1] Keterangan lebih detil bisa dilihat secara online di http://id.inti.or.id/specialnews/25/tahun/2003/bulan/02/tanggal/01/id/292/print/. Dikunjungi pada 10 Januari 2011.

[2] Sumber onlinenya bisa dilihat di http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=223505. Dikunjungi pada 15 April 2011.

[3] Penjelasan lebih lanjut, lihat, Agus Setiadi, ”Geliat Sang Naga dalam Pustaka: Buku-Buku Tentang Kebudayaan Tionghoa di Era Reformasi”, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 139-165.

[4] Lihat, Stanley Adi Prasetyo, ”Adakah Media untuk Kalangan Tionghoa?, dalam I. Wibowo dan Thung Ju Lan (eds.), Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hal. 116-183.

[5] “Tidak Berjalannya Asimilasi Mendorong Pembentukan Parpindo”, Kompas, 9 Juni 1998. Tersedia sumber onlinenya bisa di http://indo982.tripod.com/n0698/n0698_20.html. Dikunjungi pada 15 Mei 2009.

[6] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.

[7] Wawancara dengan Hendra di salah satu rumah makan di bilangan simpang lima Semarang pada 4 November 2008.

[8] Wawancara dengan salah seorang warga Yogyakarta.

[9] “Muswil PITI akan Diselenggarakan 23 Maret 2005.” Tersedia secara online di http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/22/nas19.htm. Dikunjungi pada 14 Maret 2009.

[10] Lihat juga http://www.muslimtionghoa.com/index.php?action=generic_content.main&id_gc=46. Dikunjungi pada 8 Agustus 2008.

[11] Wawancara dengan Hasan di Masjid Agung Baiturrahman Semarang pada 21 Oktober 2008.

0
172
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.