Author Archives: Hasan Basri
“... Tend to see all pasts through [the] creedal difference” (Manan Abdul Asif, 2016: 4)
“Because we are non-Western people from a civilization that has always been in conflict with the West. The world of Islam has always been a historical competitor, and it has never capitulated…. ” (Edward Said, 2002: 288)
Rasa Syukur dan Hantu Islam dalam Sejarah Modern Indonesia
Saya sangat berbahagia dengan ikhtiar intelektual Mas Nur Khalik Ridwan, terutama dengan telah diterbitkan karya berserinya, yakni Islam Jawa Abad XIII-XVI: Para Wali, Pribumisasi Islam dan Pergulatan Manusia Jawa. Saya juga terkesan dengan kerja penerbitannya oleh buku Langgar, Yogyakarta.
Di antara ijma intelektual muslim Indonesia, bahwa abad XIII-XVII adalah periode terpenting dalam perjalanan sejarah umat Islam di bumi Nusantara. Periode terpenting sekaligus paling abu-abu, bahkan bisa dikatakan paling gelap (periode yang ditelan kabut waktu “ in the midst of time”). Dibutuhkan keberanian dan tekad intelektual menulis tentang periode ini tanpa perlu memaksakan diri, tanpa pretensi, menjawab kajian para sejarawan formal-modern terkait periode ini. Kajian sejarah modern Indonesia, baik bule maupun sejarawan pribumi, memberikan porsi kecil tentang sejarah umat Islam pada tiga abad krusial tersebut. Tidak saja porsi kecil tentang Islam (seukuran nasi bungkus kucingan di angkringan), tapi cenderung menganggap tiga ratus tahun paling penting itu sebagai sesuatu yang selesai dengan kesimpulan : periode ini adalah periode lahirnya masyarakat Islam di gugus kepulauan Nusantara, di mana umat anyaran ini dianggap menumpangi kekacauan politik yang sedang terjadi di antara penguasa-penguasa Hindu, dan Islam sebagai kepercayaan baru tidak pernah menjadi sumber pembentukan sejarah maupun manusia di gugus kepulauan Nusantara.
Setiap kali membaca buku sejarah Indonesia modern tentang tiga abad krusial (abad XIII-XVI) saya selalu mendapatkan dua denyut kejanggalan karena kerangka kajiannya secara vulgar mempertahankan kerangka-historiografi-kolonial: Pertama, ada suatu konstruksi historis yang dibakukan secara asertif (dengan nada memaksa dan penuh gairah dominasi) tentang nihilnya eksistensi umat Islam dan peran mereka pada abad XIII-XVI di Nusantara. Laporan-laporan para pelancong dari Ibnu Batutah sampai Tom Pires dianggap sebagai gambaran tentang baru-tumbuhnya komunitas minor muslim di banyak bagian dari kepulauan di Nusantara. Mereka (komunitas muslim) tidak memiliki peran, apalagi pengaruh, politik dan ekonomi saat itu. Pertumbuhan mereka dianggap tidak signifikan secara jumlah dan kualitas pertumbuhan, tidak memberikan pengaruh historis apapun. Walaupun tidak secara eksplisit, mereka dianggap licin dalam memanfaatkan disrupsi politik yang terjadi di antara penguasa Hindu pada masa itu sehingga mereka bisa menegakkan kekuasaan berupa kesultanan Islam di sebagian kecil wilayah di Nusantara pada abad XV (terutama gambaran tentang kesultanan Islam di Jawa).
Setiap kali membaca buku sejarah Indonesia modern tentang tiga abad krusial (abad XIII-XVI) saya selalu mendapatkan dua denyut kejanggalan karena kerangka kajiannya secara vulgar mempertahankan kerangka-historiografi-kolonial: Pertama, ada suatu konstruksi historis yang dibakukan secara asertif (dengan nada memaksa dan penuh gairah dominasi) tentang nihilnya eksistensi umat Islam dan peran mereka pada abad XIII-XVI di Nusantara.
Selain lingkup para penguasa Islam digambarkan sangat kecil, mereka juga digambarkan kurang diterima oleh masyarakat pribumi, selain karena dianggap merebut kekuasaan lama para penguasa Hindu dengan cara “main kayu”, juga masyarakat pribumi di Nusantara (terutama jawa) dianggap memiliki kebudayaan yang telah mapan dan lebih hebat dari ajaran Islam. Ada resistensi sangat kuat terhadap pertumbuhan kekuasaan umat Islam dari kaum pribumi.
Akhir trayek dari penggambaran minor historiografi-kolonial demikian: Di saat umat Islam yang baru tumbuh dan berkembang dan secara politik tidak stabil, maka umat Islam tidak memiliki pengaruh apapun di tengah masyarakat masyarakat pribumi, datanglah kolonialisme Eropa dengan tujuan ekonomi semata tanpa membawa misi agama (suatu sejarah kolonial yang paling janggal dalam sejarah kolonialisme di dunia). Perlawanan Umat Islam seperti perlawanan Sultan Demak Pati Unus, Fatahillah, dan Sultan Hasanuddin dianggap bukan bentuk resistensi pribumi terhadap kolonialisme, mereka berperang melawan kolonial Eropa (Portugis maupun Belanda) karena hanya mempertahankan kekuasaannya (kepentingan ekonomi juga) sehingga antara pertumbuhan politik umat Islam di Nusantara saat itu tidak lebih tua dari kedatangan kaum kolonial Eropa. Umat Islam Nusantara yang baru tumbuh itu memiliki tujuan-tujuan yang sama dengan kolonialisme Eropa: berebut sumber daya ekonomi dan politik Nusantara. Artinya : Penjajah Eropa dan umat Islam Indonesia saat itu adalah kaum yang sama: pendatang dan penjajah.
Kedua, konstruksi sejarah kolonial sedemikian rupa tentang pertumbuhan dan perkembangan umat Islam pada abad XII-XVI, dilanjutkan dengan konstruksi kolonial tentang minornya peran umat Islam dalam bidang kebudayaan, dalam hal membentuk cara pandang hidup orang Nusantara. Dengan pertumbuhan yang tidak pernah disebut cepat (rapid) dan besar, kekuasaan politik mereka tidak diterima pribumi Nusantara, dan penuh dengan pragmatisme, maka Islam dan umat Islam Nusantara tidak memiliki sumbangan apapun bagi kebudayaan Nusantara. Islam dan umat Islam (di)tetap(kan) sebagai bagian yang asing dalam batang-tubuh kebudayaan Nusantara, termasuk kebudayaan Jawa.
Saya ingin mengatakan bahwa historiografi modern Indonesia seperti halnya historiografi kolonial di wilayah lain, negara lain, dijangkiti oleh ada rasa takut kepada umat Islam, terutama di periode krusial abad XIII-XVI Masehi. Islam dianggap sebagai hantu yang mengganggu yang harus diantisipasi keberadaan-materialnya dalam sejarah. Banyak sejarawan modern, baik bule maupun pribumi, menyoal “ketakutan akut terhadap Islam” di kalangan orientalis, Indonesianis, dan para sejarawan modern Indonesia tetapi hanya dinamika dan kejutan proyek-sejarah saja, dan bukan suatu ikhtiar intelektual yang penuh tekad dalam menegakkan suatu fakta kosmopolitanisme Nusantara, suatu gejala sejarah (bukan kosmopolitanisme teoritik, kolonial dan liberal) yang beragam di nusantara di mana umat Islam adalah bagian penting dari fakta sejarah tersebut.
Saya ingin mengatakan bahwa historiografi modern Indonesia seperti halnya historiografi kolonial di wilayah lain, negara lain, dijangkiti oleh ada rasa takut kepada umat Islam, terutama di periode krusial abad XIII-XVI Masehi. Islam dianggap sebagai hantu yang mengganggu yang harus diantisipasi keberadaan-materialnya dalam sejarah.
Sejarah Islam: Antara Indonesia, Hindustan dan Arab
Saya mendapatkan penyegaran pandangan tentang hilangnya “unsur Islam” dalam historiografi kolonial, ketika membaca beberapa karya dari Shahid Amin, sejarawan Muslim-India (pengajar di Universitas Delhi), salah seorang sejarawan yang tergabung dalam kelompok Subaltern Studies. Dalam berapa karyanya, seperti Conquest and Community: The Afterlife of Warrior Saint Ghazi Miyan ( terbitan University of Chicago Press, 2016). Dari Amin kemudian saya membaca buku bagus dari sejarawan dari Universitas Columbia, Amerika Serikat, yang keturunan Pakistan bernama Manan Abdul Asif, terutama karya terbarunya The Loss of Hindustan: The Invention of India ( terbitan University of Chicago Press, 2020). Poin singkat dari dua sejarawan anak benua ini bahwa baru pada akhir abad 19 Masehi penyebutan Hindustan digantikan dengan India. Hindustan dalam sumber-sumber sejarah pribumi dan para sejarawan Barat adalah sebutan untuk seluruh wilayah yang sekarang menjadi India, Pakistan, Bangladesh dan Srilanka dengan segala keragaman keyakinan dan etnisnya. Dan nama Hindustan juga mengandaikan adanya penerimaan terbuka seluruh komponen etnis dan keyakinan di seluruh Hindustan terhadap kehadiran Islam selama abad-abad yang panjang sebelum kolonialisme Eropa tiba di Hindustan. Islam diterima sebagai kekuasaan, agama dan sebagai pembentuk kebudayaan Hindustan oleh seluruh komponens Hindustan.
Amin dan Asif mempertanyakan kultur India Modern yang dikuasai oleh nalar-kolonial: Sejak kapan Hindustan sebagai dinamika dan fakta kosmopolitan dalam sejarah hilang, dan bagaimana proses rapid dari penghapusan peran kebudayaan umat Islam Hindustan dalam ingatan India Modern? Kedua sejarawan ini menyadari adanya proses cepat (rapid) dari translasi (bukankah setiap penerjemahan artinya pengaburan dan penghapusan) Hindustan menjadi India oleh penjajah Inggris sebagai petaka awal sejarah anak-benua sehingga harus dipartisi berdasarkan agama, menjadi India dan Pakistan.
Kedua sejarawan India-Pakistan menyadarkan kita bahwa penciptaan India dengan pengarusutamaan Hinduisme secara semena-mena oleh kolonial Inggris adalah bukti riil kerangka historiografi- kolonial Eropa pada umumnya, terutama dalam reka-sejarah (invention): Sejarah diberi tjap agama-agama sebagai upaya untuk meniadakan peran Islam. Dalam historiografi kolonial, unsur agama menjadi penting bukan karena kebaikan intrinsik dari agama tersebut, tapi pengarusutamaan agama dalam sejarah-kolonial sebagai upaya pemecahbelahan dan pemastian kontrol sejarah, terutama untuk meminggirkan semua satuan dari kekuatan perlawanan yang mereka hadapi.
Bisa saja para pelancong masa lalu seperti Ibnu Battuta menulis tentang dinamika masyarakat yang disinggahinya tanpa ada pretensi di benaknya untuk datang mengevaluasi atau menekankan informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan dakwah Islam di wilayah yang disinggahinya. Hanya saja dalam pandangan para sejarawan kolonial dan modern, informasi tentang agama ditekankan dan dibesar-besarkan untuk menginvensi hal lain demi tujuan mempertahankan kolonialisme.
Penyegaran yang sama pernah saya dapatkan ketika membaca beberapa tulisan Hanna Mikhail, seorang guru besar asal Lebanon di Universitas New York yang menulis disertasi tentang sistem politik dalam kitab Ahkamul Sulthaniyah nya Imam al-Mawardi. Sebagai orang Lebanon yang tumbuh di tengah keluarga kristen Timur, Hanna merasa aneh dengan invensi historis terhadap Arab yang berkarakter parokial, perang suku, perang aliran, dan terbelakang karena disebabkan oleh Islam dalam arsip kolonial Inggris dan Prancis. Hanna mengingatkan bahwa masa depan Arab modern yang saat ini terdiri dari berbagai negara sangat ditentukan oleh kemampuan orang Arab melakukan pilihan-pilihan mandiri dan keluar dari semua jebakan kolonialitas, terutama sikap Barat yang terlalu membenci Islam. Hanna memastikan bahwa masa depan bangsa Arab, terutama bagi komunitas Kristen dan Yahudi di Arab, sangat ditentukan oleh rekognisi (pengakuan-penerimaan) mereka terhadap kenyataan sejarah masa lalu yang menunjukkan peran besar Islam-Arab dalam membentuk sejarah dan kebudayaan Arab.
Dari Amin, Asif dan Hanna saya sering berefleksi, bahwa masa depan Indonesia modern sangat ditentukan oleh kemampuan seluruh komponen Indonesia modern dalam melihat fakta peran Islam dan Umat Islam dalam membentuk sejarah bersama Indonesia di masa lalu dan di masa modern. Di samping itu, bagaimana umat Islam Indonesia memahami sejarah mereka secara mandiri, tidak melihat keislaman mereka di Nusantara sebagai copy paste dari Islam di berbagai tempat lain, dan kesiapan umat Islam Indonesia menerima hubungan kontrapuntal mereka dengan berbagai unsur modern Indonesia.
Dari Amin, Asif dan Hanna saya sering berefleksi, bahwa masa depan Indonesia modern sangat ditentukan oleh kemampuan seluruh komponen Indonesia modern dalam melihat fakta peran Islam dan Umat Islam dalam membentuk sejarah bersama Indonesia di masa lalu dan di masa modern.
Pribumisasi Islam di Jawa: Sunnisme ala Wali Jawa
Buku Islam di Jawa Abad XIII-XVI (selanjutnya disebut IDJ) memberikan gambaran luas bahwa sumber-sumber penulisan sejarah Jawa pada tiga periode tersebut masih memberikan ruang terbuka bagi penafsiran baru. Ada kesimpangsiuran tentang sumber, nama dari tokoh-tokoh utama, periode, dan konteks historisnya pada tiga abad penting ini.
Buku Islam di Jawa Abad XIII-XVI (selanjutnya disebut IDJ) memberikan gambaran luas bahwa sumber-sumber penulisan sejarah Jawa pada tiga periode tersebut masih memberikan ruang terbuka bagi penafsiran baru.
Dalam buku IDJ ini berbagai sumber terkait kesimpangsiuran tokoh-tokoh utama seperti siapa itu Dyah Kertawijaya yang dikenal sebagai ayah Raden Fattah dan Arya Dhamar (Penguasa Palembang). Siapa Pangeran Pandansalas, penguasa Majapahit pasca Dyah Kertawijaya. Siapakah Raden Kasan (raden Hasan yang konon mewarisi kegantengan Sayyidina Hasan sang cucu Nabi SAW) alias Raden Fatah (Pete Rodim). Siapakah Arya Damar yang memiliki jaringan keluarga dari Madura, Jawa, Bali sampai Palembang?
Setelah menjajar penjelasan sumber-sumber (yang menurut sangat kaya mulai Negarakertagama, Pararaton, Babad Tanah Jawa, Serat Walisana, sumber Cina, dan sumber modern—Yamin, Slamet Mulyana, dll), kemudian di bagian akhir diambil kesimpulan untuk menemukan nama tokoh historis beserta konteks sinkroniknya yang dianggap lebih kuat di antara sumber-sumber yang dijajar tersebut. Dengan pendekatan semacam ini, akan tampak bagi pembaca bahwa tidak ada satu kajian sejarah oleh para sejarawan terkait periode ini yang bisa dianggap final, apalagi mengatasi kajian lainnya, periode ini justru periode terbuka dan membutuhkan (mengharuskan) penafsiran-kembali atas data data sejarah pada periode ini.
Salah satu contoh kehatian-hatian IDJ dalam menentukan perbedaan penyebutan nama tokoh, perbedaan periode hidupnya, dan hubungannya dengan berbagai tokoh lain yang memiliki peran bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa adalah ketika menentukan fakta faktual historis sosok Raden Fatah. Siapakah ayah Raden Fatah, Dyah Kertawijaya ( Brawijaya Lima menurut mendiang KH Agus Sunyoto) atau Kertabhumi? IDJ membenarkan sejumlah sumber yang menyebut Dyah Kertawijaya sebagai ayah Raden Fatah. Sedangkan dalam menentukan masa hidup dan masa berkuasa Raden Fatah di Demak Bintoro, IDJ menjadikan sengkalan Masjid Demak sebagai patokan penentuan masa hidup dan masa berkuasa Raden Patah sebagai sultan Demak Bintoro di antara sumber-sumber lain.
IDJ menekankan penjelasan tentang nama tokoh dan masa hidupnya yang memiliki peran terhadap pertumbuhan dan perkembangan-awal komunitas muslim di Jawa pada tiga periode yang menjadi fokus IDJ. Penelusuran data dengan mengandalkan data antar-ragam teks/sumber, telah membantu pembaca untuk mengenali nama dari tokoh historis yang memiliki peran pada pertumbuhan dan perkembangan komunitas Muslim di seluruh bagian tanah Jawa.
Penelusuran data dengan mengandalkan data antar-ragam teks/sumber, telah membantu pembaca untuk mengenali nama dari tokoh historis yang memiliki peran pada pertumbuhan dan perkembangan komunitas Muslim di seluruh bagian tanah Jawa.
Bagian-utama dari IDJ terdapat pada halaman 250 dan setelahnya, yakni periode yang dianggap sebagai pribumisasi Islam di Jawa. Pribumisasi adalah reclaiming fakta Islam pra-kolonial, dan fakta historis Jawa sebelum diterjemahkan oleh kaum kolonial. Pribumisasi Islam adalah suatu jalan lain untuk keluar dari jebakan diskursus kolonial yang dikembangkan oleh para Indonesianis, terutama jebakan tentang sinkretisme pada masalah agama dan kebudayaan. Pribumisasi Islam mengingatkan pada jarak tempuh dari kenyataan atau fakta Jawa sebagai cangkang bagi penafsiran kaum muslimin Jawa atas aspek sakral Islam, di mana pribumisasi Islam menghidupkan agensi muslim Jawa yang telah dimatikan oleh sinkretisme. Antara agensi muslim dan penafsiran atas aspek sakral Islam dalam wadah Jawa telah melahirkan suatu bentuk keberislaman yang kenyal, luwes tapi susah ditaklukkan. Pribumisasi Islam lebih menunjukkan fakta sejarah bagaimana umat Islam adalah manusia seperti manusia lainnya yang melakukan pilihan-pilihan sejarah secara mandiri. Di mana umat Islam menyadari hidupnya bergantung pada kemampuan mereka sebagai manusia mengarungi kekuatan dari fakta sosial di Jawa dan kemampuan mereka menerjemahkan ajaran agama yang mereka seteguhi. Pribumisasi Islam adalah upaya mengumpulkan kekuatan material dari sejarah umat Islam untuk menunjukkan keberadaan sekaligus bagaimana kekuatan material sejarah itu membentuk mereka dalam lintasan sejarah.
Pribumisasi Islam adalah suatu jalan lain untuk keluar dari jebakan diskursus kolonial yang dikembangkan oleh para Indonesianis, terutama jebakan tentang sinkretisme pada masalah agama dan kebudayaan.
Setelah halaman 300, IDJ memberikan argumen memadai tentang bagaimana Islam ditumbuhkan dan dikembangkan di Jawa, terutama memberikan jawaban tentang besarnya jumlah orang Islam pada masa setelah abad-XVI. Tokoh-tokoh utama dari pribumisasi Islam yang disebutkan secara runut, dan periode kehidupan mereka, mengembangkan Islam melalui berbagai instrumen pendidikan, dedepokan dan lembaga pengajaran lain. Suplemen pada bagian ini berupa kutipan karya para tokoh pribumisasi Islam yang disertai keterangan penulis sangat membantu melihat pencapaian dari pribumisasi Islam.
Dari IDJ saya kira perlu menegaskan bahwa ajaran Sunni yang ditumbuh-kembangkan para tokoh pribumisasi Islam adalah Sunni versi para wali-Jawa. Sunni ala wali Jawa menjadi tenaga bagi pembentukan materialitas-sejarah umat Islam Jawa sehingga melahirkan karya sastra yang rapid, dasar-bentuk-model kekuasaan, arsitektur, musik, seni rupa dan sebagainya. Unsur tasawuf sangat penting dalam penulisan sejarah umat Islam di Jawa karena para sejarawan modern Indonesia tidak memiliki otoritas apapun atas ilmu-ilmu Islam, apalagi tasawuf. Banyak sekali simbol dan konstruksi material sejarah umat Islam Jawa adalah kerja kewalian, kerja budaya dengan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari kecerdasan umum.
Sunni ala wali Jawa menjadi tenaga bagi pembentukan materialitas-sejarah umat Islam Jawa sehingga melahirkan karya sastra yang rapid, dasar-bentuk-model kekuasaan, arsitektur, musik, seni rupa dan sebagainya.
Pendekatan kultural berbasis ajaran Sunni versi Wali Jawa dalam mengembangkan Islam di Jawa tidak harus dipahami tanpa tegangan dan tantangan. Kultural tidak harus dipahami sebagaimana digunakan anak muda NU milenial dalam pengertian tanpa persaingan, tanpa persitegangan, dan berbagai tantangan dari kelompok lain.
Wallahu a’lam bil shawab.
*Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam acara Bedah Buku “Islam Jawa Abad XIII-XVI: Para Wali, Pribumisasi Islam dan Pergulatan Manusia Jawa” yang diselenggarakan oleh PMII IIQ An Nur, PMII Bantul, bekerjasama dengan Buku Langgar, pada Sabtu 11 Desember 2021, di Auditorium Kampus IIQ An Nur, Bantul, Yogyakarta. Judul asalnya adalah “Buku ‘Islam di Jawa Abad ke XIII-XVI’: Pribumisasi Islam dan Dekolonisasi Sejarah Umat Islam”, yang diubah sesuai kepentingan website langgar.co.
Menurut sebuah riwayat yang layak dipercaya, di Jawa ada suatu tarekat yang mirip dengan tradisi kaum Malamatiyah. Mereka akan merasa gagal bersuluk jika ketaatan mereka diketahui orang lain. Bukan saja fokus membasmi potensi riyak, para malamat lebih fokus pada peperangan melawan ego sendiri. Mereka mengenal kombinasi: menyalahkan diri sendiri (malamatun nafs), memperkuat dawamul-iftiqor (keadaan merasa hina secara permanen), dan katmul-ibadah (menyembunyikan ibadah). Para pionir aliran ini, seperti Syeikh Samnun al-Qassar menyebut jalan spritual mereka sebagai ‘jalan kesalahan’. Tidak memberi ruang sedikitpun bagi diri sendiri untuk merasa benar atau baik. Jadi lebih fokus ke dalam, semacam disipliner batiniah yang sangat ekstrem.
Istilah malamatun-nafs adalah kosa kunci yang diperkenalkan oleh kalangan Malamatiyah awal seperti diceritakan dalam kitab Risalah Malamatiyah karya Syeikh Hakim at-Tirmidzi. Sedangkan katmul-ibadah diperkenalkan oleh Syaikh Syihabuddin Suhrawardi, seorang penulis kitab babon tasawuf, Awariful Ma’aarif, sebagai konter-wacana kecendrungan ekstrim kalangan Malamatiyah dalam mengumbar dosa agar terlihat tidak taat. Hal ini untuk membedakan mana praktik Malamatiyah yang benar dan mana yang mengada-ada.
Maksudnya, pada masa sebelumnya sebagian kaum Malamatiyah menzahirkan kesalahan di tengah makhluk agar dicap tidak taat. Tradisi menyembunyikan ketaatan, tetapi menzahirkan kesalahan dijalankan secara ekstrem oleh banyak kelompok sampai batas yang mengkhawatirkan. Artinya ada potensi penyelewengan, potensi kepura-puraan, penipuan, dan pemalsuan yang terjadi. Singkatnya, lahir suatu gaya spiritualitas yang membenarkan perbuatan salah dan dosa.
Fitness 3.0: Why move-to-earn is the next evolution of fitness clenbuterol for sale uk 2022 Free Fitness Apps To Download For At-Home Workouts On Your Time
Seperti disebutkan oleh Syeikh Fariduddin Attar dalam salah satu fragmen Mantiqut Thayr-nya, menceritakan keterperosokan seseorang yang mendaku malamat (orang yang mencerca diri) ke dalam kubangan lupa dan dosa sampai pindah dari satu agama ke agama lain, dan hidupnya berakhir di ketiak perempuan non-muslim.
Zahir mereka yang tidak taat seringkali digunjing, di-bully, dan difitnah oleh kalangan yang terbuai dengan aksesori agama. Menurut sebagian riwayat, kaum Malamat akan meningkat level spritualitasnya ketika orang lain meremehakan, memandang sebelah mata, dan tidak memanusiakannya.
Malamatiyah bukan sufisme (tasawuf), dan bukan pula tarekat seperti pernah disampaikan oleh beberapa ahli tasawuf, tetapi lebih sebuah kecenderungan bersuluk yang berkembang sejak abad-9 Masehi. Bahkan kadang, kesan saya, Malamatiyah lebih cenderung menjadi ragam pilihan sufistik-personal.
Kembali ke tarekat Akmaliyah yang dekat dengan para malamat itu, para penganutnya praktis tidak terlihat melakukan ibadah formal yang syar’i. Mereka tidak menampakkan semua kewajiban tarekat mereka, seperti zikir dan amalan tambahan lainnya. Menurut seorang peneliti, pengamal tarekat ini hanya bisa dikenali dari praktik hidup hariannya, terutama ekstremnya mereka melayani kaum lemah dalam segala kondisi mereka, fis sarraa wad dhoorro’. Mereka bersedekah dalam segala keadaan, baik ketika longgar maupun sesak secara ekonomi. Tindakan sosial yang menggembirakan, meringankan beban, dan membuat nyaman hidup orang lain menjadi ciri utama para pengamal tarekat ini.
Tarekat Akmaliyah adalah salah satu tarekat muktabar (walau tanpa lisensi kemuktabaran dari lembaga formal) lokal. Banyak kiai-kiai NU mengamalkan tarekat Akmaliyah, tetapi organisasi JATMAN (Jami’iyah Tarekat Muktabarah Nahdliyah) tidak memasukkan Akmaliyah sebagai salah satu tarekat muktabar. Status muktabar artinya sebuah tarekat sudah dikenal luas kebenaran ajaran dan kesinambungan silsilahnya, sudah terverifikasi oleh para ulama dan umat.
Akmaliyah adalah salah satu lokal yang pernah ada dan bertahan sampai hari ini. Dikatakan lokal karena silsilah atau matarantai sanadnya sangat pendek, yakni dari Syeikh Siti Jenar langsung melompat ke Sayyidina Abu Bakar Shiddiq kemudian kepada Rasulullah SAW. Ini versi sanad yang saya percaya secara subjektif. Ada beberapa silsilah Akmaliyah lainnya, tapi karena beberapa alasan subjektif, saya abaikan. Harus diakui belakangan, banyak sekali versi Akmaliyah yang memiliki potensi menjadi pseudo-sufisme. Setiap tarekat dalam perjalanannya memiliki dinamika yang tidak linear, apalagi seperti Akmaliyah yang dalam jangka panjang tercerai-berai secara ajaran dan praktik karena kegiatan politis mereka melawan penjajahan.
Para mursyid Akmaliyah awal, terutama Syeikh Siti Jenar, Sunan Kali Jaga, dan belakangan Sultan Agung Hanyokrokusuma membimbing para murid Akmaliyah sampai tahap mendapatkan kematangan spiritual. Bahasa vulgarnya, mereka dibimbing sampai mendapatkan kewalian.
Setelah abad-16 Masehi, para pengamal tarekat Akmaliyah ini tersebar di dua jalur, yakni di kraton-kraton kesultanan Islam Jawa atau di kalangan internal kraton, dari para sultan, pangeran, sampai kepada pegawai terendah kesultanan. Matarantai sanad mereka dari Syeikh Siti Jenar ke Sunan Kalijaga ke Mas Karebet ke Panembahan Senopati ke Sultan Agung ke puteranya Pangeran Amangkurat Agung dan seterusnya. Sebagian pendapat mengatakan dari Sultan Agung ke puteranya Pangeran Toposono (makamnya di Semarang dan ada juga di pesareyan para sultan di Kotagede).
Sedangkan sanad yang dari jalur Syeikh Siti Jenar ke Ki Ageng Kebo Kenongo yang kemudian dilanjutkan Sultan Pajang, Mas Karebet, dan kemudian kepada puteranya, Pangeran Benowo. Seperti kita ketahui, dari Pangeran Benowo inilah lahir para ulama yang nantinya mendirikan pesantren-pesantren di Jawa.
Jadi, hubungan pesantren dan para sultan Jawa bukan saja hubungan kekerabatan, tetapi juga hubungan spritualitas. Sekarang, praktis sangat sedikit orang yang mengetahui kompleskitas hubungan dua golongan lama dalam pranata sosial masyarakat Jawa.
Masih menurut hasil penelitian seorang karib, salah satu mursyid tarekat Akmaliyah yang bisa dijadikan pegangan di zaman modern adalah Syaikhona Kholil Bangkalan. Bahkan menurut Kiai Agus Sunyoto, Mbah Hasyim Asy’ari adalah seorang mursyid Akmaliyah. Dari kedua masayikh NU ini dilanjutkan oleh beberapa mursyid Akmaliyah di sejumlah pesantren di Jawa Timur.
Satu dekade lalu, Mbah Ghafur, Blitar, Jawa Timur, juga membaiat para murid beliau dalam tarekat Akmaliyah dengan bungkus tarekat lain. Ajaran tarekatnya adalah Akmaliyah tetapi namanya memakai tarekat Syatariah atau Syadziliah. Hal ini sudah biasa dilakukan oleh para mursyid Akmaliyah.
Saya sengaja menyebutkan sekelumit cerita tarekat Akmaliyah di pesantren sampai hari ini agar Akmaliyah sebagai suatu tarekat yang diwariskan oleh para wali Jawa bisa terpelihara dan para murid Akmaliyah bisa merujuk kepada guru-guru Akmaliyah di pesantren agar tidak tergelincir pada spekulasi dan kemungkinan atau potensi pesudo-sufisme di zaman milenial.
Apa yang menarik dari kalangan Malamatiyah dan Akmaliyah, bahwa jalan spritualitas itu membutuhkan suatu tingkat disipliner yang sangat ketat dan tinggi. Tidak ada jalan nyaman bagi para pencari kebenaran. Semua diperoleh melalui serangkaian kewajiban ekstra ketat dalam menjalankan ibadah, menuntut pengetahuan, dan menjaga kemurnian batin.
Wal-Allahu-a’lam bishawab.
Berbicara soal peran intelektual merupakan suatu hal biasa dan cenderung membosankan. Seabreg buku yang membicarakan peran dan tanggung jawab kaum terpelajar sangat mudah didapatkan di negeri ini. Di sini, saya tidak akan menyediakan daftar buku-buku tersebut. Salah satu kritik terhadap beberapa buku tentang intelektual Indonesia: pembicaraan tentang peran dan tanggung jawab intelektual tidak seimbang dan sebanding dengan ukuran-ukuran formal dari gugusan intelektualitas yang ada. Misalnya, seberapa besar capaian akademik (karena ukuran formal) para intelektual Indonesia dalam percakapan gagasan di berbagai bidang keilmuan?
Sebelum melanjutkan, coba kita lihat beberapa gejala: Kesalahan TZ yang tidak tepat men-tasrif-kan sebuah kata dalam bahasa Arab; Ketidakjelasan postur intelektual RG yang berdakwah-keliling soal “kewarasan nalar”; Fenomena mengendornya ukuran-ukuran ketat bagi intelektual yang disebabkan oleh kultur media cetak dan daring; Babak-belurnya nuasa pemikiran dalam proyek akademik di perguran tinggi ; dan kebanggaan kaum terpelajar Indonesia menjadi bagian dari kekuasaan, baik terkait modal maupun negara.
Hancurnya sendi-sendi skolastisme dan humanisme tradisi pengetahuan Indonesia dapat terlacak dari beberapa fenomena misalnya ketika seseorang begitu mudah disebut sebagai intelektual, seperti longgarnya penyematan nama ustadz, kiai, gus, romo, atau sebagainya kepada para artis populer.
Sebenarnya masih banyak fenomena lain yang bisa disebutkan. Persoalannya, gejala-gejala yang sedang berkecambah dalam keseharian masyarakat Indonesia itu dianggap sebagai persoalan biasa. Tidak ada yang pernah mengaitkannya dengan bangunan paling dasar dari semua itu: yakni runyamnya dasar-dasar pendidikan modern di Indonesia. Dalam bahasa teknis, hancurnya sendi-sendi skolastisme dan humanisme tradisi pengetahuan Indonesia. Seseorang begitu mudah disebut sebagai intelektual, seperti longgarnya penyematan nama ustadz, kiai, gus, romo, atau sebagainya kepada para artis populer.
Seperti dimaklumi, skolatisme dan humanisme dalam pemahaman sederhannya: dua hal yang terhubung tapi berbeda. Skolatisme yang maskudkan di sini merupakan serangkaian dari tahapan pengembangan pikiran manusia yang terlembagakan secara formal. Dalam bentuk sederhananya jenjang pendidikan dari Sekolah Dasar sampai tingkat doktoral dengan segala lisensinya (ijazahnya).
Sedangkan humanisme dalam pengertian pada level lebih tingginya, yakni terjadi saat para humanis adalah mereka yang telah jejeg secara pengetahuan, mandiri, dan lebih otonom dalam segala aspek. Karena telah melampui formalitas intelektualitas, mereka sudah lepas dari segala urusan dengan hal-hal duniawiah. Pikiran-pikiran mereka, baik tulisan atau lisan, sudah berbentuk seni dan melampui seni itu sendiri.
Dalam studi poskolonial: para humanis yang telah mensenyawakan antara gagasan dan tindakan disebut sebagai kaum amatir, yakni orang-orang yang tidak saja bijak, tetapi tenggelam atau mengalami kemabukan intelektual karena kecintaannya pada pengetahuan itu sendiri. Karena mereka sudah setingkat begawan, maka tidak penting lagi aliran atau godaan duniawiah dalam diri mereka.
Apa memang ada yang lebih tinggi dari amatirisme (bukan amatiran)?
Apa memang ada yang lebih tinggi dari amatirisme (bukan amatiran)? Menurut riwayat, ada. Hanya ada perbedaan istilah saja. Sebutannya bagi mereka yang mencapai suatu level yang lebih tinggi dari amatirisme adalah “late style”, yang pengertian sederhana dan murahannya begini: mereka sampai pada kulminasi pemikiran sampai tidak mampu menyeberangi atau menerabas capaian itu sendiri karena sudah tidak ada tahapan selanjutnya, sehingga kerja-kerja intelektual mereka yang digambarkan telah melampui batasan estetika dan etika itu melahirkan karya yang tidak biasa (full of odds), dimana karya tersebut tidak terbayangkan oleh sang intelektual itu sendiri.
Sulit memahami level “late style” ini selain dengan mengencangkan seluruh nuansa pemikiran dan kekuatan imajinasi. Dalam telaah akademik tasawuf, Henry Corbin, sang filsuf-mistikus perennial asal Perancis itu, pernah mencari padanan dari kata “al-khayal-al-qudsiyah” (imajinasi suci)—saya tidak pasti soal istilah ini—yang menjadi basis dari karya-karya para mistikus dalam sejarah Islam. Dan saya yakin juga yang menjadi basis dari karya mistikus dalam tradisi lain. Corbin menyepadankan kata “al-khayal al-qudsiyah” sebagai mundus imaginalis: suatu tahapan dari kekuatan imaginatif manusia yang supra-estetik. Artinya, imaginasi dalam bidang estetika itu berada beberapa di bawah level di bawah mundus imaginalis.
Para pencapai “late style” dan para penerima anugerah “mundus imaginalis” menegaskan bahwa mereka inilah yang mampu mengemban amanat “say truth to the power” atau “mengatakan kebenaran walaupun pahit”.
Pembahasan tentang para humanis, para pencapai “late style” dan para penerima anugerah “mundus imaginalis” menegaskan demikian: Mereka inilah yang mampu mengemban amanat “say truth to the power” atau “mengatakan kebenaran walaupun pahit”. Kalau amanat tersebut diemban oleh selain mereka maka dijamin akan menjadi banyolan dan dagangan demi kepentingan pribadi, dan para impostor (saya menerjemahkanya dengan “para pesolek”) intelektual berkecambah seperti jamur di awal musim penghujan. Dan siapapun potensial menjadi para impostor seperti beberapa nama yang telah saya sebutkan di atas.
Fred Jameson pernah mengkritik beberapa hal yang saya sederhanakan di atas. Pembicaraan tentang tahapan-tahapan intelektual tersebut masih dibayangi oleh sampar modernisme tentang manusia-super, tentang tokoh perorangan yang memiliki kemampuan istimewa sehingga memiliki otoritas untuk mengatakan dan menerka (visi) persoalan dan nestapa umat manusia. Jameson mencemooh bahwa gagasan di atas sebagai peneguhan akan intelektual publik yang sudah sangat tidak relevan dengan dinamika dunia di masa kapitalis akhir ini.
Kritik Jameson itu penting diperhatikan, tetapi di sini, oplosan dari berbagai unsur terkait intelektual hanya mengingatkan bahwa amanat “mengatakan kebenaran kepada kekusaan” itu memiliki prasyarat intelektual sangat ketat, bahkan pada level formalitasnya. Keketatan itu menjadi perisai bagi masyarakat agar menjaga kewarasan publik sehingga tidak mudah dikelabui para impostor intelektual.
Terakhir, kesombongan tidak memiliki tempat dalam dunia intelektual yang ketat karena potensi rasio manusia—seperti dikatakan almarhum Mohammed Arkoun—tidak memiliki batas. Tuhan Yang Maha Kuasa bermesraan dengan kekasih-Nya, manusia, yang memiliki potensi rasio tidak terbatas, katanya. Kecongkakan tidak relevan di hadapan samudera pengetahuan.
Wallahu a’lam bil shawab.
Melengkapi review saya atas buku Prof. Dr. Alfons Van der Kraan, Lombok: Penaklukan, Penjajahan, dan Keterbelakangan (1870-1940), berikut saya mengajukan beberapa tafsiran dari data-data yang ditawarkan Kraan.
Saya pernah berkorespondensi dengan Kraan, terutama soal bukunya ini. Baginya, bukunya tentang Lombok tersebut merupakan produk dari gairah masa muda seorang sarjana. Maksudnya, bahwa di dalam penelitiannya tersebut banyak hal yang sudah usang secara asumtif maupun teoritik. Singkatnya, banyak hal yang harus direvisi oleh Kraan.
Kraan mengirimkan satu artikel panjang lainnnya mengenai Lombok, terutama menyoroti sejarah pendidikan modern di kalangan penduduk Lombok sejak zaman penjajahan Belanda sampai menjelang kemerdekaan Indonesia. Hal ini menunjukkan tingkat keseriusan Kraan meneliti Lombok.
Saya pertama kali memperoleh informasi tentang penelitian Kraan mengenai Lombok dari salah satu tulisan dari kumpulan tulisan (almarhum) Kuntowijoyo yang diedit oleh AE Priyono, Paradigma Islam: Interprestasi untuk Aksi (terbitan Mizan). Menurut Kuntowijoyo, penelitian Kraan adalah salah satu contoh penelitian sejarah sosial yang bergizi: datanya padat, ketat, dan banyak. Tetapi bukan berarti tanpa celah.
Para menak Karangasem Bali di Lombok juga berhasil membangun infrastruktur ilmu pengetahuan mereka, seperti ribuan naskah kuno yang mereka koleksi dan perbanyak nantinya disita Belanda dan sebagian dipindah ke pulau Bali.
Sebagai bagian dari generasi muda Sasak, saya tidak ingin naif atau terjebak dalam “poskolonialitas kekanak-kanakan”: menolak semua yang ditulis oleh orang luar (outsider). Berhadapan dengan produksi pengetahuan tentang “kita” oleh “orang luar” adalah suatu keniscayaan zaman. Persoalannya, selama ini kita selalu mencukupkan diri dengan para produsen pengetahuan dari luar itu tanpa memberikan alternatif atau terlibat aktif dalam praksis pengetahuan itu sendiri, terlebih ketika terkait dengan diri sendiri. Artinya sepanjang kita memiliki sikap kritis dan tidak mencukupkan diri dengan penjelasan mereka tentang “kita”, maka interaksi dengan produksi intelektual “orang luar” tersebut akan menjadi suatu yang produktif secara intelektual.
Sejak 1970-an, generasi ketiga dari intelektual dunia yang terlibat dalam dekolonisasi bangsanya menegaskan penolakan mereka tentang ketunggalan sistem nalar dalam memproduksi pengetahuan. Acuan-acuan universalisme dalam pengetahuan telah runtuh dan dianggap hal yang tidak bermoral. Berbeda dengan kritik kaum posmodernis di Eropa yang menolak metanaratif dari nubuat pencerahan Eropa secara internal, kaum dekolonial ini secara nasab tumbuh dari rahim perlawanan politik cum intelektual bangsa-bangsa terjajah. Pada dekade itulah mereka berbicara soal politik pengetahuan (politic of knowledge) yang singkatnya kurang lebih demikian: tidak ada patokan nalar; perayaan atas keragaman nalar; agar bisa menyikapi produksi pengetahuan Barat maka harus menguasainya dengan seksama sampai ke konteksnya (dalam artian luas) sehingga jelas batas kewilayahannya; dan saatnya produk pengetahuan modern dibaca di dalam koridor tradisi intelektual yang beragam di dunia.
Penelitian Kraan tentang Lombok merupakan salah satu penelitian paling serius tentang Lombok. Kraan memilih suatu fase paling krusial dari terbentuknya masyarakat Lombok modern. Persoalan yang harus digarisbawahi di sini, bahwa penelitian Kraan ini diterjemahkan di tengah sebuah masyarakat yang hampir saja tidak mewarisi catatan sejarah apapun tentang diri mereka. Saya sedikit nyinyir dengan beberapa komentar atas terbitnya terjemahan buku Kraan ini, terutama dari kalangan orang Sasak dan Bali (baik Bali di pulau Bali atau di Lombok), yang mengharapkan keberadaan suatu postur bulat dari historiografi Lombok. Saat ini, seperti terjadi di mana-mana, imaginasi soal sejarah masa lalu sedang menjamur sampai di luar koridor praksis pengetahuan itu sendiri. Biasanya, mereka akan masuk di salah satu kotak: mengglorifikasikan data sejarah yang menguntungkan status quo mereka; atau mereka terjebak dalam mistifikasi atas apa yang mereka bayangkan sendiri sebagai sejarah.
Sementara itu, Kraan sendiri lebih tertarik dengan dinamika penting masyarakat Sasak dalam periode yang sangat krusial, yakni peralihan dari zaman Kolonial Bali Karangasem, masa kembalinya kolonial Belanda, sampai dengan zaman pra-kemerdekaan. Tiga periode yang dianggap produktif untuk melihat masyarakat Sasak hari ini.
Seperti diketahui, Belanda telah menginvensi Bali atau ke-Bali-an secara serius, terutama untuk menyusun Bali sebagai anti-tesa bagi Jawa yang merosot oleh kedatangan Islam. Bali juga disusun sebagai suatu produk kolonial yang paling dihasrati oleh kultur persangkaan kolonial. Kita tidak memperoleh postur bulat dari proses invensi Bali dan Ke-Bali-an ala kolonial tersebut. Tapi praktis baru pada tahun 1894 Belanda mengambil alih kekuasaan dari para penguasa Bali yang sebelumnya dibiarkan lebih leluasa mengelola kekuasaannya jika dibandingkan dengan kalangan yang sama di pulau Jawa. Para penguasa dari Bali Karangasem bahkan melebarkan kekuasaannya sampai ke Lombok. Dalam banyak penelitian disebutkan tentang kekayaan kerajaan Karangasem Bali ini ketika mengendalikan bagian Timur Bali dan Pulau Lombok. Sumber pendapatan mereka dari rebues lintas laut saja sangat besar. Para menak Karangasem Bali di Lombok juga berhasil membangun infrastruktur ilmu pengetahuan mereka, seperti ribuan naskah kuno yang mereka koleksi dan perbanyak nantinya disita Belanda dan sebagian dipindah ke pulau Bali.
Pada sisi lain, hubungan Bangsawan Bali atau orang Bali dengan orang Lombok sangat ambivalen sampai hari ini. Orang Bali menegakkan mentalitas superior mereka karena pernah menjajah Lombok. Mentalitas ambivalen tersebut tidak faktual tetapi merupakan tanda-tanda dari psiko-sosial masyarakat jajahan. Pola ini tidak begitu jelas, terutama soal bentuk kolonial domestik semacam kasus Karangasem Bali atas Lombok. Apakah hubungan antara para menak Karangasem di Lombok dengan masyarakat Sasak hanya hubungan penjajah dengan yang dijajah? Sebagai generasi Sasak yang hidup berhimpitan, bahkan jarak tembok rumah dengan orang Bali Lombok, saya mendapatkan adanya dinamika yang lebih kaya tentang hubungan kedua kelompok masyarakat yang sangat dominan dalam ruang sosial masyarakat Lombok.
Di titik inilah saya melihat kelihaian Kraan, dia mencoba keluar dari sebuah kumparan bola es sejarah orang Lombok dan Bali yang sangat krusial dengan cara mengambil periode lebih akhir dari dinamika masyarakat Lombok yang jelas lebih “ringan” bebannya.
Sejak pertengahan abad 19 Masehi, Belanda mulai khawatir dengan situasi kultur kolonial Eropa yang saling caplok satu dengan lainnya. Kerjasama perdagangan antara kaum bangsawan Karangasem di pulau Lombok dengan sejumlah konsorsium perdagangan Eropa-kolonial, seperti Inggris dan Skandinavia, sangat mengkhawatirkan pemerintah-penjajah Belanda. Mereka mengirim para pengawas perdagangan dan diplomat yang biasanya dari kalangan hadrami Indonesia. Menguatnya kontrol kolonial bersamaan dengan menguatnya persaingan internal puak penguasa Karangasem di pulau Lombok (Cakranegara, Pajang, Pagutan, dan lain-lain). Masing-masing sub-kerajaan memperebutkan monopoli atas tanah dan para penggarapnya (orang Sasak). Kondisi semacam itu membuat posisi orang Sasak semakin terjepit dan lemah sehingga menumbuhkan benih perlawanan di antara mereka terhadap kekuasaan penguasa Karangasem.
Kembali ke beberapa uneg-uneg soal buku Kraan:
Pertama, Kraan membangun tesisnya berdasarkan pada tiga kelompok, kelas-kelas sosial di Lombok: Triwangsa (menak Bali), perwangsa (menak sasak/pembesar sasak), petani bebas dan panjak (buruh tani yang tidak memiliki tanah). Soal kelas petani bebas dan buruh tani bisa dikomparasikan dengan pendapat (alm) Ong Hok Ham mengenai kelompok tani yang memiliki tiyang cekap (tanah cukup) dalam konteks Jawa (Rembang, Pati, Blora, dan sebagainya). Kelompok tani bebas inilah dalam konteks kolonial Jawa menjadi “tulang punggung” pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda yang pernah ada. Masih menurut Ong, pada pemberontakan Pangeran Dipanegara (Perang Jawa), para batur (kelas paling miskin yang tidak memiliki rumah dan pekerjaan) menjadi tulang punggung pendukung pemberontakan Dipanegara. Dari dua pendapat ini, menurut tafsiran saya, Ong ingin mengatakan bahwa “tulang punggung” pemberontakan dan perlawanan selalu adalah kelas sosial yang paling rendah karena merekalah yang menerima keburukan hidup akibat “ulah” kelas-kelas yang lebih tinggi, maka jarang sekali ada pemberontakan yang ‘ikhlas’ dari kelas ekonomi mapan dalam lintasan sejarah.
Walaupun saya tidak sepenuhnya bersepakat soal posisi para batur dan tiyang cekap sebagai tulang punggung Perang Jawa. Penempatan kaum pariah dalam suatu peristiwa sejarah di negeri ini seringkali menjadi suspen (kejutan yang setaraf dengan isapan jempol) oleh para peneliti asing. Dalam Perang Jawa misalnya, Peter Carey menyebut keberadaan para begundal, tukang garong, dan batur. Tetapi adakah penjelasannya yang lebih bertenaga soal mereka secara lebih detail? Di sini saya selalu kecewa, analisis kelas sosial mereka yang masih “liberal” sebenarnya bagian dari suspen narasi mereka untuk selalu mengabaikan fakta-fakta utama yang mereka hindari, yakni isu Islam. Dalam kasus Perang Jawa, para peneliti luar sangat bias dalam melihat posisi sentral jaringan tarekat dan pesantren yang menyokong perlawanan Dipanegara.
Kedua, persaingan di antara kelas-kelas sosial tersebut dalam mengakumulasi kekuasaan dalam artian yang luas. Misalnya, Kraan menggambarkan bagaimana “triwangsa” menguasai masyarakat Sasak dengan mengikat para “perwangsa”, dan memberikan kepada mereka hak-hak atas tanah. Jadi, kelompok “kolaborator” di kalangan Sasak yang berperan serta dalam melanggengkan kekuasaan bangsa Bali di Lombok terdiri dari para perwangsa. Hal ini sudah pasti terjadi dalam hubungan “penjajah” dan “terjajah” di manapun. Di Jawa maupun di kawasan lain. Dalam konteks Jawa, bagaimana VOC (sebelum digantikan oleh pemerintah Hindia Belanda) menyuburkan dan menguatkan feodalisme untuk melanggengkan penjajahan mereka. Bahkan VOC-Belanda menambahi beberapa jabatan monarkhis untuk memperkuat pengaruh mereka atas orang Jawa, seperti penunjukan bupati-bupati di sejumlah daerah penting tanpa mensyaratkan “darah biru” untuk jabatan tersebut. Kelompok inilah yang kadang disebut priyayi. Pejabat-pejabat kolonial dari pribumi ini selalu bersikap mendua dalam isu-isu kemerdekaan pada awal abad 19 karena mereka takut kehilangan jabatan kolonial tetapi juga membaca potensi pergerakan nasional pada saat itu.
Dalam sejarah kolonial Indonesia, para kolaborator kolonial ini nantinya menjadi priyayi dan kaum borjuasi nasional yang sangat jarang disinggung dalam catatan sejarah Indonesia. Setahu saya, Indonesia adalah satu-satunya negara paskakolonial yang tidak memiliki catatan tentang kaum borjuasi nasionalnya.
Hal menarik dari Kraan, profanisasi terhadap beberapa istilah seperti triwangsa atau perwangsa. Maknanya disempitkan sebagai suatu kosa-kata feodal semata. Merosotnya kosa-kata kekuasaan lokal disebabkan oleh semakin mapannya bentuk kontrol kolonial terhadap para elit masyarakat jajahan, dan telah menumbuhkan suatu sistem kontrol efektif dengan menempatkan mereka sebagai jongos kolonial. Kuatnya sistem kontrol kolonial biasanya didukung oleh mapannya kontrol pengetahuan kolonial atas masyarakat dan tanah jajahannya.
Ketiga, soal bentuk, formasi, dan motif-motif “congah” (pemberontakan) di kalangan masyarakat Lombok. Congah atau pemberontakan yang ditampilkan oleh Kraan dalam bukunya ingin membantah klaim sejumlah elite Sasak mengenai wilayah kekuasaan mereka. Sampai hari ini sebagian besar para menak Sasak mengklaim bahwa moyang mereka memiliki wilayah kerajaan seperti luasnya kerajaan ala Jawa yang dengan sendirinya mengandaikan adanya stabilitas sosial, politik, ekonomi, dan Budaya pada masa sebelum Bali datang ke Lombok. Jika klaim ini benar, lantas kenapa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sporadik dan tidak menggambarkan bahwa mereka memiliki struktur (tidak saja fisik) pada masa sebelumnya sehingga soliditas kaum pemberontak sangat lemah. Hal ini, jika dibandingkan dengan pemberontakan-pemberontakan dalam konteks Jawa benar-benar tidak sama bentuk, formasi, dan motifnya. Kembali pada pemberontakan Dipanegara misalnya, terlihat sekali bahwa pemberontakan ini berjalan lama, sekitar lima tahun karena dukungan yang kuat dari kelompok sosial bawah sampai atas dengan mengandalkan struktur sosial Jawa yang sangat kuat pada saat itu.
Di Lombok ada proses glorifikasi historis yang sangat fanatik akan posisi ke-menak-an, seakan mereka bersih dan tidak pernah memiliki catatan hitam dalam sejarah.
Keempat, sebagai lanjutan dari yang ketiga, Kraan ingin menunjukkan bahwa formasi ke-menak-an yang dikenal sekarang di Lombok lebih banyak dibentuk pada masa penjajahan efektif Belanda. Terutama kelompok “perwangsa” yang menduduki posisi sebagai kepala distrik. Kepala-kepala distrik pada masa Belanda inilah yang paling banyak membentuk formasi ke-menak-an pada masa sekarang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Delapan kedistrikan dengan sembilan kepala distrik utama, ditambah dengan empat kedistrikan di wilayah Lombok Barat dapat ditelusuri jejak-jejaknya pada keluarga-keluarga bangsawan yang menempati posisi elit politik saat ini. Karena posisi status quo mereka berlanjut sampai pada masa paling nyaman, masa Orde Baru.
Ada satu fakta miris yang diungkap oleh Kraan saat Belanda datang ke Lombok (sekitar 1894), bagaimana para perwangsa datang ke kepala pasukan Belanda setiap hari, saat itu di Cakranegara, untuk mencari muka agar mendapatkan posisi penting pada masa penjajahan Belanda. Para perwangsa datang untuk minta “jatah” kepada Belanda. Hal yang sama juga dilakukan oleh para triwangsa. Sempitnya motif politik para perwangsa berefek buruk dengan dikembalikannya seluruh tanah orang Bali yang sempat diambil oleh para petani (petani bebas dan panjak) yang dulunya menggarap tanah-tanah druwe dalem milik perwangsa. Hal itu terjadi pada tahun keempat penjajahan belanda di Lombok pada masa residen Liefrinck.
Memang hal yang aneh di kalangan menak Sasak saat ini ketika tidak mau mengungkap posisi mereka sebagai kolaborator penjajahan pada masa Bali maupun Belanda. Kalau kita dibandingkan dengan para bangsawan Jawa, narasi kerjasama Belanda dengan para bangsawan menjadi kajian dan diskursus umum. Di Lombok ada proses glorifikasi historis yang sangat fanatik akan posisi ke-menak-an, seakan mereka bersih dan tidak pernah memiliki catatan hitam dalam sejarah.
Kelima, Kraan menghabiskan hampir sebagian besar energinya untuk memberikan gambaran mengenai penderitaan para petani: baik petani bebas maupun panjak (slave). Dalam bagian ini, kajian Kraan soal struktur kolonialisme sudah terhitung maju. Kalau kita merujuk kajian yang dilakukan Walter D. Mignolo soal struktur penjajahan orang putih terhadap para pribumi dan para budak impor dalam membentuk dan mematangkan kapitalisme putih, maka kajian Kraan yang fokus pada nasib buruk petani Sasak sangat membantu dalam melihat struktur kolonial Bali dan Belanda, terutama soal penjajahan Bali atas Lombok. Selama ini dikatakan bahwa penjajahan Bali sama dengan model penguasaan raja Jawa atas kerajaan tetangganya. Kraan menunjukkan bahwa keberadaan kerajaan Bali di Lombok berada pada masa krusial, yakni era perdagangan yang sangat maju. Kraan meyakini bahwa raja-raja Bali yang ada di Lombok termasuk raja-raja yang kaya raya di kawasan Timur Indonesia pada saat itu. Kekayaan mereka diakumulasi dari pajak yang sangat mencekik (dalam konteks Jawa hal ini dianggap biasa saja), peron luat, dan perdagangan sangat maju. Pencapaian dalam bidang perdagangan yang maju itulah yang menjadi salah satu motif penting Belanda mau mengintervensi penjajahan Bali di Lombok.
Keenam, soal struktur sosial masyarakat Sasak sebelum kedatangan Bali Karangasem ke Lombok. Apakah benar atau faktual ada kerajaan-kerajaan pra-Bali di Lombok, seperti Langko, Bayan, Selaparang, Pejanggik, Kahuripan, Kerekok, Memelak dan sebagainya? Kraan tidak mau berdebat soal ini. Dia membangun andaian demikian: terdapat beberapa desa otonom di Lombok Pra-Bali. Setiap desa otonom memiliki para pemuka yang membawahi petani bebas dan buruh tani. Desa otonom ini tidak terlalu luas. Artinya, tidak seluas “kerajaan” dalam bayangan orang Sasak saat ini tentang masa lalu mereka. Sebuah desa otonom bisa seluas kelurahan dalam konteks sekarang atau mungkin lebih kecil lagi.
Poin ini mengingatkan pada asumsi alternatif mengenai lema kedatuan dan kerajaan. Para datu bisa saja bukanlah para raja seperti dalam imaginasi modern atau kaum feodal kesiangan. Para datu adalah mereka yang dihormati karena kualitas personal dan kemampuan mereka memberikan kebaikan bersama bagi orang di sekitarnya. Para datu diteladani karena wibawa dan otoritas ruhani mereka, bukan karena semata perangkat kekuasaan politik mereka.
Sepintas persoalan desa otonom yang diajukan Kraan menarik, padahal pendapat seperti itu mengikuti saja pendapat para sejarawan Barat mengenai kerajaan-kerajaan di Indonesia. Misalnya, tesis Sutherland mengenai basis kerajaan-kerajaan besar di Nusantara yang berbasis pada desa otonom. Persoalannya, apakah desa otonom dalam konteks Sasak pra-Bali sudah sebesar wilayah desa otonom dalam konteks Jawa yang kemudian dijelmakan menjadi kerajaan-kerajaan besar? Kalau mengikuti narasi (alm) Pak Pram dalam naskah Mangir, maka sangat jelas bahwa desa otonom dalam konteks Sasak Pra-Bali sebesar perdikan “Mangir”. Dalam naskah Mangir, saya menghargai poin soal bagaimana Pak Pram meratapi hancurnya otonomi desa dalam sejarah Jawa. Dari gambaran semacam ini, jelas sekali bahwa salah satu kelemahan para Indonesianis adalah ortodoksi, yakni kesenangan mereka merawat ide-ide pendahulu mereka tanpa pernah mau membangun teori baru berdasarkan fakta-fakta yang mereka kaji. Kraan dalam konteks bukunya ini banyak sekali mendaur ulang kajian-kajian para Orientalis dalam bidang sejarah ketika berhapan dengan fakta-fakta sejarah di Jawa.
Masih banyak sekali yang dapat kita tafsirkan dari kajian Kraan yang sangat studious ini, misalnya data-data perpajakan yang sangat kaya. Banyak sekali, dan alangkah baiknya memang buku Kraan ini dibaca langsung ke teks Inggrisnya. Wallahu’alam.