“... Tend to see all pasts through [the] creedal difference” (Manan Abdul Asif, 2016: 4)
“Because we are non-Western people from a civilization that has always been in conflict with the West. The world of Islam has always been a historical competitor, and it has never capitulated…. ” (Edward Said, 2002: 288)
Rasa Syukur dan Hantu Islam dalam Sejarah Modern Indonesia
Saya sangat berbahagia dengan ikhtiar intelektual Mas Nur Khalik Ridwan, terutama dengan telah diterbitkan karya berserinya, yakni Islam Jawa Abad XIII-XVI: Para Wali, Pribumisasi Islam dan Pergulatan Manusia Jawa. Saya juga terkesan dengan kerja penerbitannya oleh buku Langgar, Yogyakarta.
Di antara ijma intelektual muslim Indonesia, bahwa abad XIII-XVII adalah periode terpenting dalam perjalanan sejarah umat Islam di bumi Nusantara. Periode terpenting sekaligus paling abu-abu, bahkan bisa dikatakan paling gelap (periode yang ditelan kabut waktu “ in the midst of time”). Dibutuhkan keberanian dan tekad intelektual menulis tentang periode ini tanpa perlu memaksakan diri, tanpa pretensi, menjawab kajian para sejarawan formal-modern terkait periode ini. Kajian sejarah modern Indonesia, baik bule maupun sejarawan pribumi, memberikan porsi kecil tentang sejarah umat Islam pada tiga abad krusial tersebut. Tidak saja porsi kecil tentang Islam (seukuran nasi bungkus kucingan di angkringan), tapi cenderung menganggap tiga ratus tahun paling penting itu sebagai sesuatu yang selesai dengan kesimpulan : periode ini adalah periode lahirnya masyarakat Islam di gugus kepulauan Nusantara, di mana umat anyaran ini dianggap menumpangi kekacauan politik yang sedang terjadi di antara penguasa-penguasa Hindu, dan Islam sebagai kepercayaan baru tidak pernah menjadi sumber pembentukan sejarah maupun manusia di gugus kepulauan Nusantara.
Setiap kali membaca buku sejarah Indonesia modern tentang tiga abad krusial (abad XIII-XVI) saya selalu mendapatkan dua denyut kejanggalan karena kerangka kajiannya secara vulgar mempertahankan kerangka-historiografi-kolonial: Pertama, ada suatu konstruksi historis yang dibakukan secara asertif (dengan nada memaksa dan penuh gairah dominasi) tentang nihilnya eksistensi umat Islam dan peran mereka pada abad XIII-XVI di Nusantara. Laporan-laporan para pelancong dari Ibnu Batutah sampai Tom Pires dianggap sebagai gambaran tentang baru-tumbuhnya komunitas minor muslim di banyak bagian dari kepulauan di Nusantara. Mereka (komunitas muslim) tidak memiliki peran, apalagi pengaruh, politik dan ekonomi saat itu. Pertumbuhan mereka dianggap tidak signifikan secara jumlah dan kualitas pertumbuhan, tidak memberikan pengaruh historis apapun. Walaupun tidak secara eksplisit, mereka dianggap licin dalam memanfaatkan disrupsi politik yang terjadi di antara penguasa Hindu pada masa itu sehingga mereka bisa menegakkan kekuasaan berupa kesultanan Islam di sebagian kecil wilayah di Nusantara pada abad XV (terutama gambaran tentang kesultanan Islam di Jawa).
Setiap kali membaca buku sejarah Indonesia modern tentang tiga abad krusial (abad XIII-XVI) saya selalu mendapatkan dua denyut kejanggalan karena kerangka kajiannya secara vulgar mempertahankan kerangka-historiografi-kolonial: Pertama, ada suatu konstruksi historis yang dibakukan secara asertif (dengan nada memaksa dan penuh gairah dominasi) tentang nihilnya eksistensi umat Islam dan peran mereka pada abad XIII-XVI di Nusantara.
Selain lingkup para penguasa Islam digambarkan sangat kecil, mereka juga digambarkan kurang diterima oleh masyarakat pribumi, selain karena dianggap merebut kekuasaan lama para penguasa Hindu dengan cara “main kayu”, juga masyarakat pribumi di Nusantara (terutama jawa) dianggap memiliki kebudayaan yang telah mapan dan lebih hebat dari ajaran Islam. Ada resistensi sangat kuat terhadap pertumbuhan kekuasaan umat Islam dari kaum pribumi.
Akhir trayek dari penggambaran minor historiografi-kolonial demikian: Di saat umat Islam yang baru tumbuh dan berkembang dan secara politik tidak stabil, maka umat Islam tidak memiliki pengaruh apapun di tengah masyarakat masyarakat pribumi, datanglah kolonialisme Eropa dengan tujuan ekonomi semata tanpa membawa misi agama (suatu sejarah kolonial yang paling janggal dalam sejarah kolonialisme di dunia). Perlawanan Umat Islam seperti perlawanan Sultan Demak Pati Unus, Fatahillah, dan Sultan Hasanuddin dianggap bukan bentuk resistensi pribumi terhadap kolonialisme, mereka berperang melawan kolonial Eropa (Portugis maupun Belanda) karena hanya mempertahankan kekuasaannya (kepentingan ekonomi juga) sehingga antara pertumbuhan politik umat Islam di Nusantara saat itu tidak lebih tua dari kedatangan kaum kolonial Eropa. Umat Islam Nusantara yang baru tumbuh itu memiliki tujuan-tujuan yang sama dengan kolonialisme Eropa: berebut sumber daya ekonomi dan politik Nusantara. Artinya : Penjajah Eropa dan umat Islam Indonesia saat itu adalah kaum yang sama: pendatang dan penjajah.
Kedua, konstruksi sejarah kolonial sedemikian rupa tentang pertumbuhan dan perkembangan umat Islam pada abad XII-XVI, dilanjutkan dengan konstruksi kolonial tentang minornya peran umat Islam dalam bidang kebudayaan, dalam hal membentuk cara pandang hidup orang Nusantara. Dengan pertumbuhan yang tidak pernah disebut cepat (rapid) dan besar, kekuasaan politik mereka tidak diterima pribumi Nusantara, dan penuh dengan pragmatisme, maka Islam dan umat Islam Nusantara tidak memiliki sumbangan apapun bagi kebudayaan Nusantara. Islam dan umat Islam (di)tetap(kan) sebagai bagian yang asing dalam batang-tubuh kebudayaan Nusantara, termasuk kebudayaan Jawa.
Saya ingin mengatakan bahwa historiografi modern Indonesia seperti halnya historiografi kolonial di wilayah lain, negara lain, dijangkiti oleh ada rasa takut kepada umat Islam, terutama di periode krusial abad XIII-XVI Masehi. Islam dianggap sebagai hantu yang mengganggu yang harus diantisipasi keberadaan-materialnya dalam sejarah. Banyak sejarawan modern, baik bule maupun pribumi, menyoal “ketakutan akut terhadap Islam” di kalangan orientalis, Indonesianis, dan para sejarawan modern Indonesia tetapi hanya dinamika dan kejutan proyek-sejarah saja, dan bukan suatu ikhtiar intelektual yang penuh tekad dalam menegakkan suatu fakta kosmopolitanisme Nusantara, suatu gejala sejarah (bukan kosmopolitanisme teoritik, kolonial dan liberal) yang beragam di nusantara di mana umat Islam adalah bagian penting dari fakta sejarah tersebut.
Saya ingin mengatakan bahwa historiografi modern Indonesia seperti halnya historiografi kolonial di wilayah lain, negara lain, dijangkiti oleh ada rasa takut kepada umat Islam, terutama di periode krusial abad XIII-XVI Masehi. Islam dianggap sebagai hantu yang mengganggu yang harus diantisipasi keberadaan-materialnya dalam sejarah.
Sejarah Islam: Antara Indonesia, Hindustan dan Arab
Saya mendapatkan penyegaran pandangan tentang hilangnya “unsur Islam” dalam historiografi kolonial, ketika membaca beberapa karya dari Shahid Amin, sejarawan Muslim-India (pengajar di Universitas Delhi), salah seorang sejarawan yang tergabung dalam kelompok Subaltern Studies. Dalam berapa karyanya, seperti Conquest and Community: The Afterlife of Warrior Saint Ghazi Miyan ( terbitan University of Chicago Press, 2016). Dari Amin kemudian saya membaca buku bagus dari sejarawan dari Universitas Columbia, Amerika Serikat, yang keturunan Pakistan bernama Manan Abdul Asif, terutama karya terbarunya The Loss of Hindustan: The Invention of India ( terbitan University of Chicago Press, 2020). Poin singkat dari dua sejarawan anak benua ini bahwa baru pada akhir abad 19 Masehi penyebutan Hindustan digantikan dengan India. Hindustan dalam sumber-sumber sejarah pribumi dan para sejarawan Barat adalah sebutan untuk seluruh wilayah yang sekarang menjadi India, Pakistan, Bangladesh dan Srilanka dengan segala keragaman keyakinan dan etnisnya. Dan nama Hindustan juga mengandaikan adanya penerimaan terbuka seluruh komponen etnis dan keyakinan di seluruh Hindustan terhadap kehadiran Islam selama abad-abad yang panjang sebelum kolonialisme Eropa tiba di Hindustan. Islam diterima sebagai kekuasaan, agama dan sebagai pembentuk kebudayaan Hindustan oleh seluruh komponens Hindustan.
Amin dan Asif mempertanyakan kultur India Modern yang dikuasai oleh nalar-kolonial: Sejak kapan Hindustan sebagai dinamika dan fakta kosmopolitan dalam sejarah hilang, dan bagaimana proses rapid dari penghapusan peran kebudayaan umat Islam Hindustan dalam ingatan India Modern? Kedua sejarawan ini menyadari adanya proses cepat (rapid) dari translasi (bukankah setiap penerjemahan artinya pengaburan dan penghapusan) Hindustan menjadi India oleh penjajah Inggris sebagai petaka awal sejarah anak-benua sehingga harus dipartisi berdasarkan agama, menjadi India dan Pakistan.
Kedua sejarawan India-Pakistan menyadarkan kita bahwa penciptaan India dengan pengarusutamaan Hinduisme secara semena-mena oleh kolonial Inggris adalah bukti riil kerangka historiografi- kolonial Eropa pada umumnya, terutama dalam reka-sejarah (invention): Sejarah diberi tjap agama-agama sebagai upaya untuk meniadakan peran Islam. Dalam historiografi kolonial, unsur agama menjadi penting bukan karena kebaikan intrinsik dari agama tersebut, tapi pengarusutamaan agama dalam sejarah-kolonial sebagai upaya pemecahbelahan dan pemastian kontrol sejarah, terutama untuk meminggirkan semua satuan dari kekuatan perlawanan yang mereka hadapi.
Bisa saja para pelancong masa lalu seperti Ibnu Battuta menulis tentang dinamika masyarakat yang disinggahinya tanpa ada pretensi di benaknya untuk datang mengevaluasi atau menekankan informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan dakwah Islam di wilayah yang disinggahinya. Hanya saja dalam pandangan para sejarawan kolonial dan modern, informasi tentang agama ditekankan dan dibesar-besarkan untuk menginvensi hal lain demi tujuan mempertahankan kolonialisme.
Penyegaran yang sama pernah saya dapatkan ketika membaca beberapa tulisan Hanna Mikhail, seorang guru besar asal Lebanon di Universitas New York yang menulis disertasi tentang sistem politik dalam kitab Ahkamul Sulthaniyah nya Imam al-Mawardi. Sebagai orang Lebanon yang tumbuh di tengah keluarga kristen Timur, Hanna merasa aneh dengan invensi historis terhadap Arab yang berkarakter parokial, perang suku, perang aliran, dan terbelakang karena disebabkan oleh Islam dalam arsip kolonial Inggris dan Prancis. Hanna mengingatkan bahwa masa depan Arab modern yang saat ini terdiri dari berbagai negara sangat ditentukan oleh kemampuan orang Arab melakukan pilihan-pilihan mandiri dan keluar dari semua jebakan kolonialitas, terutama sikap Barat yang terlalu membenci Islam. Hanna memastikan bahwa masa depan bangsa Arab, terutama bagi komunitas Kristen dan Yahudi di Arab, sangat ditentukan oleh rekognisi (pengakuan-penerimaan) mereka terhadap kenyataan sejarah masa lalu yang menunjukkan peran besar Islam-Arab dalam membentuk sejarah dan kebudayaan Arab.
Dari Amin, Asif dan Hanna saya sering berefleksi, bahwa masa depan Indonesia modern sangat ditentukan oleh kemampuan seluruh komponen Indonesia modern dalam melihat fakta peran Islam dan Umat Islam dalam membentuk sejarah bersama Indonesia di masa lalu dan di masa modern. Di samping itu, bagaimana umat Islam Indonesia memahami sejarah mereka secara mandiri, tidak melihat keislaman mereka di Nusantara sebagai copy paste dari Islam di berbagai tempat lain, dan kesiapan umat Islam Indonesia menerima hubungan kontrapuntal mereka dengan berbagai unsur modern Indonesia.
Dari Amin, Asif dan Hanna saya sering berefleksi, bahwa masa depan Indonesia modern sangat ditentukan oleh kemampuan seluruh komponen Indonesia modern dalam melihat fakta peran Islam dan Umat Islam dalam membentuk sejarah bersama Indonesia di masa lalu dan di masa modern.
Pribumisasi Islam di Jawa: Sunnisme ala Wali Jawa
Buku Islam di Jawa Abad XIII-XVI (selanjutnya disebut IDJ) memberikan gambaran luas bahwa sumber-sumber penulisan sejarah Jawa pada tiga periode tersebut masih memberikan ruang terbuka bagi penafsiran baru. Ada kesimpangsiuran tentang sumber, nama dari tokoh-tokoh utama, periode, dan konteks historisnya pada tiga abad penting ini.
Buku Islam di Jawa Abad XIII-XVI (selanjutnya disebut IDJ) memberikan gambaran luas bahwa sumber-sumber penulisan sejarah Jawa pada tiga periode tersebut masih memberikan ruang terbuka bagi penafsiran baru.
Dalam buku IDJ ini berbagai sumber terkait kesimpangsiuran tokoh-tokoh utama seperti siapa itu Dyah Kertawijaya yang dikenal sebagai ayah Raden Fattah dan Arya Dhamar (Penguasa Palembang). Siapa Pangeran Pandansalas, penguasa Majapahit pasca Dyah Kertawijaya. Siapakah Raden Kasan (raden Hasan yang konon mewarisi kegantengan Sayyidina Hasan sang cucu Nabi SAW) alias Raden Fatah (Pete Rodim). Siapakah Arya Damar yang memiliki jaringan keluarga dari Madura, Jawa, Bali sampai Palembang?
Setelah menjajar penjelasan sumber-sumber (yang menurut sangat kaya mulai Negarakertagama, Pararaton, Babad Tanah Jawa, Serat Walisana, sumber Cina, dan sumber modern—Yamin, Slamet Mulyana, dll), kemudian di bagian akhir diambil kesimpulan untuk menemukan nama tokoh historis beserta konteks sinkroniknya yang dianggap lebih kuat di antara sumber-sumber yang dijajar tersebut. Dengan pendekatan semacam ini, akan tampak bagi pembaca bahwa tidak ada satu kajian sejarah oleh para sejarawan terkait periode ini yang bisa dianggap final, apalagi mengatasi kajian lainnya, periode ini justru periode terbuka dan membutuhkan (mengharuskan) penafsiran-kembali atas data data sejarah pada periode ini.
Salah satu contoh kehatian-hatian IDJ dalam menentukan perbedaan penyebutan nama tokoh, perbedaan periode hidupnya, dan hubungannya dengan berbagai tokoh lain yang memiliki peran bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa adalah ketika menentukan fakta faktual historis sosok Raden Fatah. Siapakah ayah Raden Fatah, Dyah Kertawijaya ( Brawijaya Lima menurut mendiang KH Agus Sunyoto) atau Kertabhumi? IDJ membenarkan sejumlah sumber yang menyebut Dyah Kertawijaya sebagai ayah Raden Fatah. Sedangkan dalam menentukan masa hidup dan masa berkuasa Raden Fatah di Demak Bintoro, IDJ menjadikan sengkalan Masjid Demak sebagai patokan penentuan masa hidup dan masa berkuasa Raden Patah sebagai sultan Demak Bintoro di antara sumber-sumber lain.
IDJ menekankan penjelasan tentang nama tokoh dan masa hidupnya yang memiliki peran terhadap pertumbuhan dan perkembangan-awal komunitas muslim di Jawa pada tiga periode yang menjadi fokus IDJ. Penelusuran data dengan mengandalkan data antar-ragam teks/sumber, telah membantu pembaca untuk mengenali nama dari tokoh historis yang memiliki peran pada pertumbuhan dan perkembangan komunitas Muslim di seluruh bagian tanah Jawa.
Penelusuran data dengan mengandalkan data antar-ragam teks/sumber, telah membantu pembaca untuk mengenali nama dari tokoh historis yang memiliki peran pada pertumbuhan dan perkembangan komunitas Muslim di seluruh bagian tanah Jawa.
Bagian-utama dari IDJ terdapat pada halaman 250 dan setelahnya, yakni periode yang dianggap sebagai pribumisasi Islam di Jawa. Pribumisasi adalah reclaiming fakta Islam pra-kolonial, dan fakta historis Jawa sebelum diterjemahkan oleh kaum kolonial. Pribumisasi Islam adalah suatu jalan lain untuk keluar dari jebakan diskursus kolonial yang dikembangkan oleh para Indonesianis, terutama jebakan tentang sinkretisme pada masalah agama dan kebudayaan. Pribumisasi Islam mengingatkan pada jarak tempuh dari kenyataan atau fakta Jawa sebagai cangkang bagi penafsiran kaum muslimin Jawa atas aspek sakral Islam, di mana pribumisasi Islam menghidupkan agensi muslim Jawa yang telah dimatikan oleh sinkretisme. Antara agensi muslim dan penafsiran atas aspek sakral Islam dalam wadah Jawa telah melahirkan suatu bentuk keberislaman yang kenyal, luwes tapi susah ditaklukkan. Pribumisasi Islam lebih menunjukkan fakta sejarah bagaimana umat Islam adalah manusia seperti manusia lainnya yang melakukan pilihan-pilihan sejarah secara mandiri. Di mana umat Islam menyadari hidupnya bergantung pada kemampuan mereka sebagai manusia mengarungi kekuatan dari fakta sosial di Jawa dan kemampuan mereka menerjemahkan ajaran agama yang mereka seteguhi. Pribumisasi Islam adalah upaya mengumpulkan kekuatan material dari sejarah umat Islam untuk menunjukkan keberadaan sekaligus bagaimana kekuatan material sejarah itu membentuk mereka dalam lintasan sejarah.
Pribumisasi Islam adalah suatu jalan lain untuk keluar dari jebakan diskursus kolonial yang dikembangkan oleh para Indonesianis, terutama jebakan tentang sinkretisme pada masalah agama dan kebudayaan.
Setelah halaman 300, IDJ memberikan argumen memadai tentang bagaimana Islam ditumbuhkan dan dikembangkan di Jawa, terutama memberikan jawaban tentang besarnya jumlah orang Islam pada masa setelah abad-XVI. Tokoh-tokoh utama dari pribumisasi Islam yang disebutkan secara runut, dan periode kehidupan mereka, mengembangkan Islam melalui berbagai instrumen pendidikan, dedepokan dan lembaga pengajaran lain. Suplemen pada bagian ini berupa kutipan karya para tokoh pribumisasi Islam yang disertai keterangan penulis sangat membantu melihat pencapaian dari pribumisasi Islam.
Dari IDJ saya kira perlu menegaskan bahwa ajaran Sunni yang ditumbuh-kembangkan para tokoh pribumisasi Islam adalah Sunni versi para wali-Jawa. Sunni ala wali Jawa menjadi tenaga bagi pembentukan materialitas-sejarah umat Islam Jawa sehingga melahirkan karya sastra yang rapid, dasar-bentuk-model kekuasaan, arsitektur, musik, seni rupa dan sebagainya. Unsur tasawuf sangat penting dalam penulisan sejarah umat Islam di Jawa karena para sejarawan modern Indonesia tidak memiliki otoritas apapun atas ilmu-ilmu Islam, apalagi tasawuf. Banyak sekali simbol dan konstruksi material sejarah umat Islam Jawa adalah kerja kewalian, kerja budaya dengan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari kecerdasan umum.
Sunni ala wali Jawa menjadi tenaga bagi pembentukan materialitas-sejarah umat Islam Jawa sehingga melahirkan karya sastra yang rapid, dasar-bentuk-model kekuasaan, arsitektur, musik, seni rupa dan sebagainya.
Pendekatan kultural berbasis ajaran Sunni versi Wali Jawa dalam mengembangkan Islam di Jawa tidak harus dipahami tanpa tegangan dan tantangan. Kultural tidak harus dipahami sebagaimana digunakan anak muda NU milenial dalam pengertian tanpa persaingan, tanpa persitegangan, dan berbagai tantangan dari kelompok lain.
Wallahu a’lam bil shawab.
*Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam acara Bedah Buku “Islam Jawa Abad XIII-XVI: Para Wali, Pribumisasi Islam dan Pergulatan Manusia Jawa” yang diselenggarakan oleh PMII IIQ An Nur, PMII Bantul, bekerjasama dengan Buku Langgar, pada Sabtu 11 Desember 2021, di Auditorium Kampus IIQ An Nur, Bantul, Yogyakarta. Judul asalnya adalah “Buku ‘Islam di Jawa Abad ke XIII-XVI’: Pribumisasi Islam dan Dekolonisasi Sejarah Umat Islam”, yang diubah sesuai kepentingan website langgar.co.