Menu

Menulis Ulang Historiografi Islam Indonesia

“... Tend to see all pasts through [the] creedal difference” (Manan Abdul Asif, 2016: 4)

“Because we are non-Western people from a civilization that has always been in conflict with the West. The world of Islam has always been a historical competitor, and it has never capitulated…. ” (Edward Said, 2002: 288)

Rasa Syukur dan Hantu Islam dalam Sejarah Modern Indonesia

Saya sangat berbahagia dengan ikhtiar intelektual Mas Nur Khalik Ridwan, terutama dengan telah diterbitkan karya berserinya, yakni Islam Jawa Abad XIII-XVI: Para Wali, Pribumisasi Islam dan Pergulatan Manusia Jawa. Saya juga terkesan dengan kerja penerbitannya oleh buku Langgar, Yogyakarta.

Di antara ijma intelektual muslim Indonesia, bahwa abad XIII-XVII adalah periode terpenting dalam perjalanan sejarah umat Islam di bumi Nusantara. Periode terpenting sekaligus paling abu-abu, bahkan bisa dikatakan paling gelap (periode yang ditelan kabut waktu “ in the midst of time”). Dibutuhkan keberanian dan tekad intelektual menulis tentang periode ini tanpa perlu memaksakan diri, tanpa pretensi, menjawab kajian para sejarawan formal-modern terkait periode ini. Kajian sejarah modern Indonesia, baik bule maupun sejarawan pribumi, memberikan porsi kecil tentang sejarah umat Islam pada tiga abad krusial tersebut. Tidak saja porsi kecil tentang Islam (seukuran nasi bungkus kucingan di angkringan), tapi cenderung menganggap tiga ratus tahun paling penting itu sebagai sesuatu yang selesai dengan kesimpulan : periode ini adalah periode lahirnya masyarakat Islam di gugus kepulauan Nusantara, di mana umat anyaran ini dianggap menumpangi kekacauan politik yang sedang terjadi di antara penguasa-penguasa Hindu, dan Islam sebagai kepercayaan baru tidak pernah menjadi sumber pembentukan sejarah maupun manusia di gugus kepulauan Nusantara.

Setiap kali membaca buku sejarah Indonesia modern tentang tiga abad krusial (abad XIII-XVI) saya selalu mendapatkan dua denyut kejanggalan karena kerangka kajiannya secara vulgar mempertahankan kerangka-historiografi-kolonial: Pertama, ada suatu konstruksi historis yang dibakukan secara asertif (dengan nada memaksa dan penuh gairah dominasi) tentang nihilnya eksistensi umat Islam dan peran mereka pada abad XIII-XVI di Nusantara. Laporan-laporan para pelancong dari Ibnu Batutah sampai Tom Pires dianggap sebagai gambaran tentang baru-tumbuhnya komunitas minor muslim di banyak bagian dari kepulauan di Nusantara. Mereka (komunitas muslim) tidak memiliki peran, apalagi pengaruh, politik dan ekonomi saat itu. Pertumbuhan mereka dianggap tidak signifikan secara jumlah dan kualitas pertumbuhan, tidak memberikan pengaruh historis apapun. Walaupun tidak secara eksplisit, mereka dianggap licin dalam memanfaatkan disrupsi politik yang terjadi di antara penguasa Hindu pada masa itu sehingga mereka bisa menegakkan kekuasaan berupa kesultanan Islam di sebagian kecil wilayah di Nusantara pada abad XV (terutama gambaran tentang kesultanan Islam di Jawa).

Setiap kali membaca buku sejarah Indonesia modern tentang tiga abad krusial (abad XIII-XVI) saya selalu mendapatkan dua denyut kejanggalan karena kerangka kajiannya secara vulgar mempertahankan kerangka-historiografi-kolonial: Pertama, ada suatu konstruksi historis yang dibakukan secara asertif (dengan nada memaksa dan penuh gairah dominasi) tentang nihilnya eksistensi umat Islam dan peran mereka pada abad XIII-XVI di Nusantara.

Selain lingkup para penguasa Islam digambarkan sangat kecil, mereka juga digambarkan kurang diterima oleh masyarakat pribumi, selain karena dianggap merebut kekuasaan lama para penguasa Hindu dengan cara “main kayu”, juga masyarakat pribumi di Nusantara (terutama jawa) dianggap memiliki kebudayaan yang telah mapan dan lebih hebat dari ajaran Islam. Ada resistensi sangat kuat terhadap pertumbuhan kekuasaan umat Islam dari kaum pribumi.

Akhir trayek dari penggambaran minor historiografi-kolonial demikian: Di saat umat Islam yang baru tumbuh dan berkembang dan secara politik tidak stabil, maka umat Islam tidak memiliki pengaruh apapun di tengah masyarakat masyarakat pribumi, datanglah kolonialisme Eropa dengan tujuan ekonomi semata tanpa membawa misi agama (suatu sejarah kolonial yang paling janggal dalam sejarah kolonialisme di dunia).  Perlawanan Umat Islam seperti perlawanan Sultan Demak Pati Unus, Fatahillah, dan Sultan Hasanuddin dianggap bukan bentuk resistensi pribumi terhadap kolonialisme, mereka berperang melawan kolonial Eropa (Portugis maupun Belanda) karena hanya mempertahankan kekuasaannya (kepentingan ekonomi juga) sehingga antara pertumbuhan politik umat Islam di Nusantara saat itu tidak lebih tua dari kedatangan kaum kolonial Eropa. Umat Islam Nusantara yang baru tumbuh itu memiliki tujuan-tujuan yang sama dengan kolonialisme Eropa: berebut sumber daya ekonomi dan politik Nusantara. Artinya : Penjajah Eropa dan umat Islam Indonesia saat itu adalah kaum yang sama: pendatang dan penjajah.

Kedua, konstruksi sejarah kolonial sedemikian rupa tentang pertumbuhan dan perkembangan umat Islam pada abad XII-XVI, dilanjutkan dengan konstruksi kolonial tentang minornya peran umat Islam dalam bidang kebudayaan, dalam hal membentuk cara pandang hidup orang Nusantara. Dengan pertumbuhan yang tidak pernah disebut cepat (rapid) dan besar, kekuasaan politik mereka tidak diterima pribumi Nusantara, dan penuh dengan pragmatisme, maka Islam dan umat Islam Nusantara tidak memiliki sumbangan apapun bagi kebudayaan Nusantara. Islam dan umat Islam (di)tetap(kan) sebagai bagian yang asing dalam batang-tubuh kebudayaan Nusantara, termasuk kebudayaan Jawa.

Saya ingin mengatakan bahwa historiografi modern Indonesia seperti halnya historiografi kolonial di wilayah lain, negara lain, dijangkiti oleh ada rasa takut kepada umat Islam, terutama di periode krusial abad XIII-XVI Masehi. Islam dianggap sebagai hantu yang mengganggu yang harus diantisipasi keberadaan-materialnya dalam sejarah. Banyak sejarawan modern, baik bule maupun pribumi, menyoal “ketakutan akut terhadap Islam” di kalangan orientalis, Indonesianis, dan para sejarawan modern Indonesia tetapi hanya dinamika dan kejutan proyek-sejarah saja, dan bukan suatu ikhtiar intelektual yang penuh tekad dalam menegakkan suatu fakta kosmopolitanisme Nusantara, suatu gejala sejarah (bukan kosmopolitanisme teoritik, kolonial dan liberal) yang beragam di nusantara di mana umat Islam adalah bagian penting dari fakta sejarah tersebut.

Saya ingin mengatakan bahwa historiografi modern Indonesia seperti halnya historiografi kolonial di wilayah lain, negara lain, dijangkiti oleh ada rasa takut kepada umat Islam, terutama di periode krusial abad XIII-XVI Masehi. Islam dianggap sebagai hantu yang mengganggu yang harus diantisipasi keberadaan-materialnya dalam sejarah.

Sejarah Islam: Antara Indonesia, Hindustan dan Arab

Saya mendapatkan penyegaran pandangan tentang hilangnya “unsur Islam” dalam historiografi kolonial, ketika membaca beberapa karya dari Shahid Amin, sejarawan Muslim-India (pengajar di Universitas Delhi), salah seorang sejarawan yang tergabung dalam kelompok Subaltern Studies. Dalam berapa karyanya, seperti Conquest and Community: The Afterlife of Warrior Saint Ghazi Miyan ( terbitan University of Chicago Press, 2016). Dari Amin kemudian saya membaca buku bagus dari sejarawan dari Universitas Columbia, Amerika Serikat, yang keturunan Pakistan bernama Manan Abdul Asif, terutama karya terbarunya The Loss of Hindustan: The Invention of India ( terbitan University of Chicago Press, 2020). Poin singkat dari dua sejarawan anak benua ini bahwa baru pada akhir abad 19 Masehi penyebutan Hindustan digantikan dengan India. Hindustan dalam sumber-sumber sejarah pribumi dan para sejarawan Barat adalah sebutan untuk seluruh wilayah yang sekarang menjadi India, Pakistan, Bangladesh dan Srilanka dengan segala keragaman keyakinan dan etnisnya. Dan nama Hindustan juga mengandaikan adanya penerimaan terbuka seluruh komponen etnis dan keyakinan di seluruh Hindustan terhadap kehadiran Islam selama abad-abad yang panjang sebelum kolonialisme Eropa tiba di Hindustan.  Islam diterima sebagai kekuasaan, agama dan sebagai pembentuk kebudayaan Hindustan oleh seluruh komponens Hindustan.

Amin dan Asif mempertanyakan kultur India Modern yang dikuasai oleh nalar-kolonial: Sejak kapan Hindustan sebagai dinamika dan fakta kosmopolitan dalam sejarah hilang, dan bagaimana proses rapid dari penghapusan peran kebudayaan umat Islam Hindustan dalam ingatan India Modern? Kedua sejarawan ini menyadari adanya proses cepat (rapid) dari translasi (bukankah setiap penerjemahan artinya pengaburan dan penghapusan) Hindustan menjadi India oleh penjajah Inggris sebagai petaka awal sejarah anak-benua sehingga harus dipartisi berdasarkan agama, menjadi India dan Pakistan.

Kedua sejarawan India-Pakistan menyadarkan kita bahwa penciptaan India dengan pengarusutamaan Hinduisme secara semena-mena oleh kolonial Inggris adalah bukti riil kerangka historiografi- kolonial Eropa pada umumnya, terutama dalam reka-sejarah (invention): Sejarah diberi tjap agama-agama sebagai upaya untuk meniadakan peran Islam. Dalam historiografi kolonial, unsur agama menjadi penting bukan karena kebaikan intrinsik dari agama tersebut, tapi pengarusutamaan agama dalam sejarah-kolonial sebagai upaya pemecahbelahan dan pemastian kontrol sejarah, terutama untuk meminggirkan semua satuan dari kekuatan perlawanan yang mereka hadapi.

Bisa saja para pelancong masa lalu seperti Ibnu Battuta menulis tentang dinamika masyarakat yang disinggahinya tanpa ada pretensi di benaknya untuk datang mengevaluasi atau menekankan informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan dakwah Islam di wilayah yang disinggahinya. Hanya saja dalam pandangan para sejarawan kolonial dan modern, informasi tentang agama ditekankan dan dibesar-besarkan untuk menginvensi hal lain demi tujuan mempertahankan kolonialisme.

Penyegaran yang sama pernah saya dapatkan ketika membaca beberapa tulisan Hanna Mikhail, seorang guru besar asal Lebanon di Universitas New York yang menulis disertasi tentang sistem politik dalam kitab Ahkamul Sulthaniyah nya Imam al-Mawardi. Sebagai orang Lebanon yang tumbuh di tengah keluarga kristen Timur, Hanna merasa aneh dengan invensi historis terhadap Arab yang berkarakter parokial, perang suku, perang aliran, dan terbelakang karena disebabkan oleh Islam dalam arsip kolonial Inggris dan Prancis. Hanna mengingatkan bahwa masa depan Arab modern yang saat ini terdiri dari berbagai negara sangat ditentukan oleh kemampuan orang Arab melakukan pilihan-pilihan mandiri dan keluar dari semua jebakan kolonialitas, terutama sikap Barat yang terlalu membenci Islam. Hanna memastikan bahwa masa depan bangsa Arab, terutama bagi komunitas Kristen dan Yahudi di Arab, sangat ditentukan oleh rekognisi (pengakuan-penerimaan) mereka terhadap kenyataan sejarah masa lalu yang menunjukkan peran besar Islam-Arab dalam membentuk sejarah dan kebudayaan Arab.

Dari Amin, Asif dan Hanna saya sering berefleksi, bahwa masa depan Indonesia modern sangat ditentukan oleh kemampuan seluruh komponen Indonesia modern dalam melihat fakta peran Islam dan Umat Islam dalam membentuk sejarah bersama Indonesia di masa lalu dan di masa modern. Di samping itu, bagaimana umat Islam Indonesia memahami sejarah mereka secara mandiri, tidak melihat keislaman mereka di Nusantara sebagai copy paste dari Islam di berbagai tempat lain, dan kesiapan umat Islam Indonesia menerima hubungan kontrapuntal mereka dengan berbagai unsur modern Indonesia.

Dari Amin, Asif dan Hanna saya sering berefleksi, bahwa masa depan Indonesia modern sangat ditentukan oleh kemampuan seluruh komponen Indonesia modern dalam melihat fakta peran Islam dan Umat Islam dalam membentuk sejarah bersama Indonesia di masa lalu dan di masa modern.

Pribumisasi Islam di Jawa: Sunnisme ala Wali Jawa

Buku Islam di Jawa Abad XIII-XVI (selanjutnya disebut IDJ) memberikan gambaran luas bahwa sumber-sumber penulisan sejarah Jawa pada tiga periode tersebut masih memberikan ruang terbuka bagi penafsiran baru. Ada kesimpangsiuran tentang sumber, nama dari tokoh-tokoh utama, periode, dan konteks historisnya pada tiga abad penting ini.

Buku Islam di Jawa Abad XIII-XVI (selanjutnya disebut IDJ) memberikan gambaran luas bahwa sumber-sumber penulisan sejarah Jawa pada tiga periode tersebut masih memberikan ruang terbuka bagi penafsiran baru.

Dalam buku IDJ ini berbagai sumber terkait kesimpangsiuran tokoh-tokoh utama seperti siapa itu Dyah Kertawijaya yang dikenal sebagai ayah Raden Fattah dan Arya Dhamar (Penguasa Palembang). Siapa Pangeran Pandansalas, penguasa Majapahit pasca Dyah Kertawijaya. Siapakah Raden Kasan (raden Hasan yang konon mewarisi kegantengan Sayyidina Hasan sang cucu Nabi SAW) alias Raden Fatah (Pete Rodim). Siapakah Arya Damar yang memiliki jaringan keluarga dari Madura, Jawa, Bali sampai Palembang?

Setelah menjajar penjelasan sumber-sumber (yang menurut sangat kaya mulai Negarakertagama, Pararaton, Babad Tanah Jawa, Serat Walisana, sumber Cina, dan sumber modern—Yamin, Slamet Mulyana, dll), kemudian di bagian akhir diambil kesimpulan untuk menemukan nama tokoh historis beserta konteks sinkroniknya yang dianggap lebih kuat di antara sumber-sumber yang dijajar tersebut. Dengan pendekatan semacam ini, akan tampak bagi pembaca bahwa tidak ada satu kajian sejarah oleh para sejarawan terkait periode ini yang bisa dianggap final, apalagi mengatasi kajian lainnya, periode ini justru periode terbuka dan membutuhkan (mengharuskan) penafsiran-kembali atas data data sejarah pada periode ini.

Salah satu contoh kehatian-hatian IDJ dalam menentukan perbedaan penyebutan nama tokoh, perbedaan periode hidupnya, dan hubungannya dengan berbagai tokoh lain yang memiliki peran bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa adalah ketika menentukan fakta faktual historis sosok Raden Fatah. Siapakah ayah Raden Fatah, Dyah Kertawijaya ( Brawijaya Lima menurut mendiang KH Agus Sunyoto) atau Kertabhumi? IDJ membenarkan sejumlah sumber yang menyebut Dyah Kertawijaya sebagai ayah Raden Fatah. Sedangkan dalam menentukan masa hidup dan masa berkuasa Raden Fatah di Demak Bintoro, IDJ menjadikan sengkalan Masjid Demak sebagai patokan penentuan masa hidup dan masa berkuasa Raden Patah sebagai sultan Demak Bintoro di antara sumber-sumber lain.

IDJ menekankan penjelasan tentang nama tokoh dan masa hidupnya yang memiliki peran terhadap pertumbuhan dan perkembangan-awal komunitas muslim di Jawa pada tiga periode yang menjadi fokus IDJ. Penelusuran data dengan mengandalkan data antar-ragam teks/sumber, telah membantu pembaca untuk mengenali nama dari tokoh historis yang memiliki peran pada pertumbuhan dan perkembangan komunitas Muslim di seluruh bagian tanah Jawa.

Penelusuran data dengan mengandalkan data antar-ragam teks/sumber, telah membantu pembaca untuk mengenali nama dari tokoh historis yang memiliki peran pada pertumbuhan dan perkembangan komunitas Muslim di seluruh bagian tanah Jawa.

Bagian-utama dari IDJ terdapat pada halaman 250 dan setelahnya, yakni periode yang dianggap sebagai pribumisasi Islam di Jawa. Pribumisasi adalah reclaiming fakta Islam pra-kolonial, dan fakta historis Jawa sebelum diterjemahkan oleh kaum kolonial. Pribumisasi Islam adalah suatu jalan lain untuk keluar dari jebakan diskursus kolonial yang dikembangkan oleh para Indonesianis, terutama jebakan tentang sinkretisme pada masalah agama dan kebudayaan. Pribumisasi Islam mengingatkan pada jarak tempuh dari kenyataan atau fakta Jawa sebagai cangkang bagi penafsiran kaum muslimin Jawa atas aspek sakral Islam, di mana pribumisasi Islam menghidupkan agensi muslim Jawa yang telah dimatikan oleh sinkretisme. Antara agensi muslim dan penafsiran atas aspek sakral Islam dalam wadah Jawa telah melahirkan suatu bentuk keberislaman yang kenyal, luwes tapi susah ditaklukkan. Pribumisasi Islam lebih menunjukkan fakta sejarah bagaimana umat Islam adalah manusia seperti manusia lainnya yang melakukan pilihan-pilihan sejarah secara mandiri. Di mana umat Islam menyadari hidupnya bergantung pada kemampuan mereka sebagai manusia mengarungi kekuatan dari fakta sosial di Jawa dan kemampuan mereka menerjemahkan ajaran agama yang mereka seteguhi. Pribumisasi Islam adalah upaya mengumpulkan kekuatan material dari sejarah umat Islam untuk menunjukkan keberadaan sekaligus bagaimana kekuatan material sejarah itu membentuk mereka dalam lintasan sejarah.

Pribumisasi Islam adalah suatu jalan lain untuk keluar dari jebakan diskursus kolonial yang dikembangkan oleh para Indonesianis, terutama jebakan tentang sinkretisme pada masalah agama dan kebudayaan.

Setelah halaman 300, IDJ memberikan argumen memadai tentang bagaimana Islam ditumbuhkan dan dikembangkan di Jawa, terutama memberikan jawaban tentang besarnya jumlah orang Islam pada masa setelah abad-XVI. Tokoh-tokoh utama dari pribumisasi Islam yang disebutkan secara runut, dan periode kehidupan mereka, mengembangkan Islam melalui berbagai instrumen pendidikan, dedepokan dan lembaga pengajaran lain. Suplemen pada bagian ini berupa kutipan karya para tokoh pribumisasi Islam yang disertai keterangan penulis sangat membantu melihat pencapaian dari pribumisasi Islam.

Dari IDJ saya kira perlu menegaskan bahwa ajaran Sunni yang ditumbuh-kembangkan para tokoh pribumisasi Islam adalah Sunni versi para wali-Jawa. Sunni ala wali Jawa menjadi tenaga bagi pembentukan materialitas-sejarah umat Islam Jawa sehingga melahirkan karya sastra yang rapid, dasar-bentuk-model kekuasaan, arsitektur, musik, seni rupa dan sebagainya. Unsur tasawuf sangat penting dalam penulisan sejarah umat Islam di Jawa karena para sejarawan modern Indonesia tidak memiliki otoritas apapun atas ilmu-ilmu Islam, apalagi tasawuf. Banyak sekali simbol dan konstruksi material sejarah umat Islam Jawa adalah kerja kewalian, kerja budaya dengan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari kecerdasan umum.

Sunni ala wali Jawa menjadi tenaga bagi pembentukan materialitas-sejarah umat Islam Jawa sehingga melahirkan karya sastra yang rapid, dasar-bentuk-model kekuasaan, arsitektur, musik, seni rupa dan sebagainya.

Pendekatan kultural berbasis ajaran Sunni versi Wali Jawa dalam mengembangkan Islam di Jawa tidak harus dipahami tanpa tegangan dan tantangan. Kultural tidak harus dipahami sebagaimana digunakan anak muda NU milenial dalam pengertian tanpa persaingan, tanpa persitegangan, dan berbagai tantangan dari kelompok lain.

Wallahu a’lam bil shawab.


*Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam acara Bedah Buku “Islam Jawa Abad XIII-XVI: Para Wali, Pribumisasi Islam dan Pergulatan Manusia Jawa” yang diselenggarakan oleh PMII IIQ An Nur, PMII Bantul, bekerjasama dengan Buku Langgar, pada Sabtu 11 Desember 2021, di Auditorium Kampus IIQ An Nur, Bantul, Yogyakarta. Judul asalnya adalah “Buku ‘Islam di Jawa Abad ke XIII-XVI’: Pribumisasi Islam dan Dekolonisasi Sejarah Umat Islam”, yang diubah sesuai kepentingan website langgar.co.

0
287
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.