Menu

Author Archives: Aji Ramadhan

Di Kelurahan Lumpur (Gresik), atau lebih tepat di Gang Empat (Jalan Sindujoyo XII), hidup sebuah komunitas yang konon lahir sejak akhir tahun 70-an, yaitu: Draculla Boys Club (DBC). Sesuai arti kata “Boys” dalam namanya, merujuk bahasa Inggris, anggota DBC hanyalah laki-laki yang tinggal di sekitar Kelurahan Lumpur, terutama Gang Empat. Meski begitu, DBC bukan komunitas berstruktur. Jadi, tidak ada ketua atau jabatan lain, kecuali hanya ada anggota yang terus beregenerasi dari kakek, ke anak, dan cucu.

Kenapa memakai kata “Draculla”? Kata “Draculla” yang mengingatkanku pada tokoh fiktif dalam novel “Dracula” karya Bram Stoker (penulis Irlandia). Menurut Cak Anshor—salah satu anggota DBC—penamaan “Draculla” muncul akibat para anggota DBC (dewasa atau muda) memiliki kebiasaan melekan (begadang) dan cangkruk di amben (semacam bangunan bale tapi mirip pos kamling). Sehingga, bagi para anggota DBC, kata “Draculla”—memakai huruf “L” dobel—berkonotasi jarang tidur pada waktu malam.

Posisi amben itu berada di atas—atau menutup—kali (sungai kecil) dan berada di perempatan Gang Empat (terhubung ke Gang Tiga dan Gang Lima). Amben itu berbahan kayu, tidak disemen, jadi lebih mudah perbaikannya (reparasi). Kira-kira amben itu memiliki luas 5 meter x 6 meter. Dan, amben itu menjadi tempat penting karena melekan dan cangkruk yang dilakukan para anggota DBC telah membentuk wadah silaturahmi. Apalagi, ketika melekan dan cangkruk, kadang para anggota DBC melakukan liwetan.

Selain melekan dan cangkruk, sejak tahun 2010, amben itu selalu menjadi tempat bagi agenda DBC setiap akhir tahun. Agenda untuk mengadakan Haul KH. Abdurrahman Wachid dan Sesepuh Masyarakat Kelurahan Lumpur (selanjutnya ditulis Haul Gus Dur). Cak Anshor bercerita bahwa para anggota DBC sangat mengagumi Gus Dur (pecinta Gus Dur). Sebab itu, tujuan Haul Gus Dur, selain mendoakan, juga mengenang keteladanan Gus Dur dan Sesepuh Masyarakat Kelurahan Lumpur.

Haul Gus Dur bermula dari perasaan duka bagi para anggota DBC ketika Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009. Sehingga, setelah mengadakan beberapa peringatan Gus Dur wafat (satu hingga tujuh hari; empat puluh hari; dan seratus hari), para anggota DBC sepakat mengadakan Haul Gus Dur setiap 30 Desember. Meski sempat terbatas untuk kalangan sendiri gara-gara pandemi Covid-19, Haul Gus Dur belum sekali absen. Pada tahun 2024, Haul Gus Dur sudah memasuki tahun ke-15.

Di Haul Ke-15 Gus Dur, selain kegiatan yasin dan tahlil, serta ishari (seni hadrah), juga DBC mengundang Dr. H. Muhammad Shodiq, M.Si (Wak Kaji Shodiq) untuk berceramah. Wak Kaji Shodiq adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan pendiri Pondok Pesantren Wak Kaji Shodiq. Dalam ceramah, Wak Kaji Shodiq berpesan kepada para tamu Haul Ke-15 Gus Dur agar belajar bagaimana sosok Gus Dur. Sebab, “Gus Dur itu bapak pluralisme. Kita harus belajar dari Gus Dur. Menghargai perbedaan.”

Keterangan: Wak Kaji Shodiq berceramah, suasana Haul Ke-15 Gus Dur dari jalan gang sisi timur, dan potret kelompok ishari.Sumber: Dok. DBC dan Aji (2024).  

Budaya Sambatan

Pada bakda isya di Gang Empat, sebagian anggota DBC menggelar tikar untuk para tamu Haul Ke-15 Gus Dur. Lain itu, anak-anak kecil duduk di amben. Dan, alas amben itu tertutup beberapa karpet dan bagian dindingnya terpasang latar belakang yang berisi: Wajah Gus Dur; Tulisan “Haul KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur) dan Sesepuh Masyarakat Kelurahan Lumpur”; Tulisan “Keluarga Besar DBC” dan “Gresik, 30 Desember 2024”; serta puisi pendek karya Mardi Luhung yang bertulis “/Jika kita mau, hidup itu/ bisa sederhana penuh berkah//”.

Amben itu serupa panggung prosenium di hadapan tikar yang tergelar panjang. Para tamu Haul Ke-15 Gus Dur dapat berlesehan di tikar—menghadap vertikal ke arah amben itu—dari tiga jalan gang (barat, timur, dan utara). Dan, para anggota DBC membagi dua kelompok pada tiga jalan gang: Kelompok pertama, jalan gang sisi barat untuk perempuan; Kelompok kedua, jalan gang sisi timur dan utara untuk laki-laki. Di depan amben itu—yang menghubungkan tiga jalan gang—menjadi tempat bagi kelompok ishari.

Keterangan: Suasana Haul Ke-15 Gus Dur dari pelbagai sudut.Sumber: Aji (2024).  

Aku memilih duduk di jalan gang sisi timur. Tapi, aku tidak duduk di tikar. Aku duduk di teras salah satu rumah warga—sekitar delapan meter dari tikar paling belakang yang digelar sebagian anggota DBC—bersama beberapa banser yang sedang berjaga. Dan, aku mulai memperhatikan satu per satu tamu Haul ke-15 Gus Dur yang berdatangan. Beberapa saat kemudian, Cak Anshor menghampiri aku. Lalu, aku menyalimi Cak Anshor, sekalian bertanya perihal semangat para anggota DBC yang mengadakan Haul Gus Dur setiap akhir tahun.

Sak petok’e gowo barang. Onok nyumbang mie yo diterimo ae. Sambatan,” ucap Cak Anshor dalam dialek Jawa pesisir yang aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia begini: “Sekenanya membawa barang. Kalau ada yang menyumbang mie bisa diterima saja. Sambatan.” Dari ucapan Cak Anshor, aku memahami istilah “sambatan” sebagai budaya tolong-menolong di Kelurahan Lumpur ketika mengadakan kegiatan.[1] Budaya tolong-menolong tanpa berharap balasan dari ‘pemberi’ dan ‘penerima’.

Contoh budaya sambatan yang unik bagiku di Haul Ke-15 Gus Dur, yaitu: Para anggota DBC menerima donasi berupa uang dari para warga lalu membelanjakan degan untuk berkatan (semacam bingkisan). Sehingga, sebelum pulang, para anggota DBC membagikan satu butir degan kepada setiap tamu Haul Ke-15 Gus Dur. Aku menilai bahwa apa yang diterima para anggota DBC dari para warga, lalu apa yang diberikan para anggota DBC kepada para tamu Haul Ke-15 Gus Dur, adalah kebaikan budaya sambatan yang penuh keikhlasan dan kebersamaan.

Keterangan: Mardi Luhung dan Cak Anshor dengan membawa berkatan degan utuh.Sumber: Aji (2024).  

Ternyata, buah sebagai berkatan, seolah tradisi di Haul Gus Dur yang diadakan para anggota DBC. Cak Anshor mengingat sebagian buah sebagai berkatan sebelum Haul Ke-15 Gus Dur, antara lain: Haul Ke-7 Gus Dur berkatan kelengkeng; Haul Ke-8 Gus Dur berkatan anggur; Haul Ke-9 Gus Dur berkatan durian; Haul Ke-10 Gus Dur berkatan nangka; Haul Ke-11 Gus Dur berkatan semangka; Haul Ke-12 Gus Dur berkatan pisang tanduk; Haul Ke-13 Gus Dur berkatan nanas; dan Haul Ke-14 Gus Dur berkatan durian.

Cak Anshor menjelaskan beberapa buah sebagai berkatan didatangkan para anggota DBC dari luar Gresik, seperti: Berkatan degan pada Haul Ke-15 didatangkan dari Lumajang; Berkatan durian pada Haul Ke-9 dan Berkatan nanas pada Haul Ke-13 didatangkan dari Gunung Kelud; atau Berkatan durian pada Haul Ke-14 didatangkan dari Blitar (waktu itu, durian di Gunung Kelud belum musim). Bagiku, berkatan yang unik itu menampakkan kreativitas para anggota DBC. Kreativitas yang mengedepankan kesederhanaan dan tawaduk.

Budaya sambatan tidak hanya konsumsi. Bisa berupa jasa. Juga, bisa berupa karya seni, seperti Mardi Luhung (penyair) yang menerima permintaan para anggota DBC. Permintaan untuk menyumbangkan puisi pendek yang dapat menghiasi latar belakang, serta menghiasi kaos kegiatan. Dan, di Haul Ke-15 Gus Dur, aku baru mengetahui bagaimana puisi pendek karya Mardi Luhung untuk latar belakang bertahun 2022 dan 2023 setelah anggota DBC memasangkannya di jalan gang sisi utara.

Barangkali, para anggota DBC memasang dua latar belakang yang lama di jalan gang sisi utara agar para tamu Haul Ke-15 Gus Dur tidak menengok kali. Dan, aku mencatat dua puisi pendek karya Mardi Luhung di dua latar belakang itu, begini: “/Kami memercayai bahwa niat baik/ akan melahirkan kebaikan, dan cinta/ akan melahirkan ketulusan: ‘Bersamalah’//” (2022); dan “/Kami percaya pada jalan itu,/ kami percaya pada rumah yang menanti./ Kami percaya pada senyum sesama yang/ ada di pintu rumah itu./ Perkenanlah.//” (2023).

Lalu, Cak Anshor mengirimkan sebuah foto kepadaku. “Iki banner haul pertama onok puisine ayah pean,” ucap Cak Anshor yang dialek Jawa pesisirnya itu bisa aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia: “Ini latar belakang Haul Ke-1 Gus Dur ada puisi ayahmu.” Lalu, aku mencatatnya, begini: “/Mari belajar pada laut, sebab/ laut tak pernah memilah./ Dan antara yang ada adalah seiringan./ Yang jatuh akan dibangunkan./ Yang belakang akan dinanti./ Ya, kita percaya, harapan tak pernah memilih./ Seperti ombak./ Seperti desir yang digenggam oleh laut.//”

Puisi pendek karya Mardi Luhung yang menghiasi latar belakang bertahun 2010, 2022, 2023, dan 2024. Empat puisi pendek karya Mardi Luhung yang baru aku baca di Haul Ke-15 Gus Dur menjadi contoh lain, bahwa budaya sambatan menumbuhkan sinergi yang berkesinambungan antara ‘pemberi’ dan ‘penerima’. Sinergi yang menumbuhkan kebaikan. Juga, sinergi yang mengikis kepamrihan. Keajegan dan keberhasilan Haul Gus Dur yang diadakan para anggota DBC setiap akhir tahun pun tidak lepas dari budaya sambatan.

Keterangan: Potret anggota DBC mengadakan Haul Ke-1 Gus Dur di amben.Sumber: Dok. DBC (2010).  

Dalam budaya sambatan, posisi individu atau kelompok yang punya kegiatan tidak harus bermula sebagai ‘penerima’. Bisa juga bermula sebagai ‘pemberi’. Hal itu bisa terjadi momentum setiap mengadakan Haul Gus Dur. Seperti apa yang diungkapkan Cak Anshor: “Akeh uwong nitipno nyembelih wedos akikah pas DBC ngadakno Haul Gus Dur.” Atau bahasa Indonesia untuk terjemahan dialek Jawa pesisir dari Cak Anshor, begini: “Banyak orang menitipkan penyembelian kambing akikah saat DBC mengadakan Haul Gus Dur.”

Keterangan: Suasana pemotongan daging kambing akikah yang dilakukan para anggota DBC.Sumber: Dok. DBC (2024).  

Orang yang menitipkankan penyembelian kambing akikah sangat terbantu karena para anggota DBC dapat merawatnya, seperti pemotongan daging hingga pembersihan jeroan. Juga, orang yang menitipkankan penyembelian kambing akikah tidak perlu repot mengundang siapa pun, sebab menurut Cak Anshor, tamu yang datang di setiap Haul Gus Dur bisa berjumlah kurang lebih 700 orang. Tapi, Cak Anshor mengaku para anggota DBC hanya sanggup menyembelih lima ekor kambing akikah.

Para anggota DBC menyerahkan hasil pemotongan daging dan pembersihan jeroan kepada ibu-ibu agar dimasak sebagai hidangan. Ibu-ibu itu juga memasak hidangan bandeng dan udang (donasi dari seorang warga). Di Haul Ke-15 Gus Dur, semua hidangan, beserta nasi, diletakkan di tampah. Para tamu Haul Ke-15 Gus Dur dapat menikmati semua hidangan secara bupungan (semua hidangan diletakkan di satu tampah lalu dimakan ramai-ramai oleh beberapa orang) setelah rangkaian kegiatan selesai.**


[1] Keterangan istilah sambatan di Kelurahan Lumpur bisa ditemukan pada Pengantar Penyusun: Kisah dari Sambatan Semacam Puisi yang ditulis oleh Mardi Luhung dalam buku puisi Sambatan Semacam Puisi (2023), yaitu: “Untuk kata (istilah) sambatan, ini saya pungut dari kosa kata kampung istri saya di pesisir utara Gresik (Kelurahan Lumpur). Artinya, semacam kerelaan bagi setiap nelayan untuk memberikan hasil tangkapan ikannya di hari itu pada seseorang yang sedang mempunyai gawe, perayaan, atau pembangunan tertentu di kampung. Semacam gotong royong yang tulus dan rela memberi. Gotong royong yang beritikad untuk saling meringankan beban yang ada.” (Hlm: ix-x).

Tampak api dari lampu teplok menghasilkan kepulan asap yang seolah naik perlahan secara spiral. Tampak kepulan asap membentuk empat figur, yaitu: petani, tentara kolonial, penguasa Jawa, dan putri Jawa. Sayang, pancar cahaya api dari lampu teplok tidak memberikan penerangan yang cukup sehingga sekeliling masih tampak gelap. Penampakan semua itu merupakan gambaran kover buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita (2024) karya sepuluh peserta workshop program Mencari #7 (kelas menulis fiksi sejarah yang diampu oleh Yudhi Herwibowo dan digagas oleh Maysanie Foundation). Gambaran kover buku tersebut meletupkan kepenasaranku terhadap bagaimana sajian setiap api dari lampu teplok yang dimiliki sepuluh peserta.

Dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, aku mengutip penggalan pengantar pertama, Berbagi Sinau, Sinau Berbagi, dari Sanie B. Kuncoro (pendiri Maysanie Foundation), yaitu: “Materi dalam buku ini adalah cerita pendek bertema sejarah. Kiranya akan menjadi sebuah cara mengulik sejarah dengan beragam misterinya dan menghadirkannya sebagai cerita pendek yang menarik sekaligus menumbuhkan kenangan masa silam.”[1] Lalu, aku mengutip penggalan pengantar kedua, Memendam untuk Menulis Fiksi Sejarah, dari Yudhi Herwibowo, yaitu: “Sejarah yang kita tahu sangatlah luas. Tapi menjadi semakin mengerucut saat kita mulai menentukannya dalam tema yang akan digarap. Para peserta memang masih terpaku pada daerahnya, atau yang terkait dengan daerahnya…”[2]

Aku menghubungkan pembacaan kutipan penggalan pengantar Sanie B. Kuncoro dan Yudhi Herwibowo dengan gambaran kover buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita. Penghubungan tersebut menarik diriku untuk mengibaratkan api dari lampu teplok sebagai cerpen bertema sejarah. Dan aku membayangkan api dari lampu teplok berbahan bakar fakta dan fiksi. Aku memahami bahwa fakta dan fiksi harus tepat diramu oleh setiap peserta agar cerpen bertema sejarah dapat selalu menyala di hadapanku. Juga, aku memahami bahwa fakta dan fiksi dapat memengaruhi pancaran cahaya cerpen bertema sejarah. Dua hal yang aku pahami itu berdasarkan kesadaran pembaca yang menyikapi ketegangan antara fakta dan fiksi dengan menitikberatkan acuan.

Ketegangan antara fakta dan fiksi dalam cerpen bertema sejarah disebabkan kemungkinan aku yang berjarak terhadap peristiwa masa lalu. Apalagi terlalu kental fakta memungkinkan tidak ada kesempatan bagiku untuk urun mengimajinasikan fiksi. Atau, justru terlalu kental fiksi sehingga aku—selaku pembaca—merasa fakta yang disodorkan penciptanya terasa tidak berguna. Sebab itu, titik berat acuan dapat meluweskan diriku agar selalu sadar mana bagian fakta dan fiksi. Perihal titik berat acuan, aku mengingat tulisan Acuan (2) karya Sapardi Djoko Damono yang membahas empat larik puisi Krawang—Bekasi karya Chairil Anwar: “//Teruskan, teruskan jiwa kami/ Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir//”. Berikut aku mengutip salah satu paragraf dari tulisan Acuan (2), yaitu:

Dengan demikian, pada hakikatnya dalam karya sastra fakta harus menyesuaikan diri pada dunianya yang baru, yakni fiksi—agar bisa dimanfaatkan sebagai pegangan dalam penafsiran. Fakta harus sudah menjadi pengertian yang ditafsirkan kurang lebih sama oleh anggota masyarakat sehingga tidak merupakan “benda asing” dalam karya sastra. Jadi, acuan dalam Krawang—Bekasi itu sebenarnya tidak berbeda dari yang dipergunakan penyair yang sama dalam sajak-sajaknya yang lain; Eros, Ahasveros, Romeo dan Juliet, adalah mitos, yang fungsinya sama dengan Bung Karno dan Bung Sjahrir. Dalam sastra, nama-nama itu hanya bisa ditafsirkan sebagai mitos; hanya dengan begitu ia bisa diacu dan dipahami.[3]

Kutipan paragraf dari tulisan Acuan (2) di atas telah menginformasikan bahwa nama-nama tokoh (Bung Karno; Bung Hatta; dan Bung Sjahrir) dalam puisi Krawang—Bekasi adalah fakta yang diketahui pembaca. Fakta yang mengandung latar belakang bagi pembaca agar tidak buta menelusuri puisi Krawang—Bekasi. Lalu pembaca menyadari nama-nama tokoh telah berada dalam dunia puisi sehingga mengalami perubahan dari fakta ke fiksi. Meski begitu, aku sempat berpikir apakah ada pembaca yang menolak perubahan itu dan mengembalikan ke awal mula (dari fiksi kembali ke fakta). Atau ada pembaca yang mempertahankan fakta tanpa mengubah ke fiksi. Kalau ada pembaca begitu, aku membayangkan fakta dan fiksi seperti sepasang anjing yang sama-sama lehernya terjerat dan saling menggonggongi.

Meski begitu, aku sempat berpikir apakah ada pembaca yang menolak perubahan itu dan mengembalikan ke awal mula (dari fiksi kembali ke fakta). Atau ada pembaca yang mempertahankan fakta tanpa mengubah ke fiksi. Kalau ada pembaca begitu, aku membayangkan fakta dan fiksi seperti sepasang anjing yang sama-sama lehernya terjerat dan saling menggonggongi.

Apa yang dibahas Sapardi Djoko Damono mengenai acuan pembacaan puisi Krawang—Bekasi bisa aku terapkan pada pembacaan cerpen bertema sejarah. Aku menganggap penerapan bisa terjadi karena cerpen bertema sejarah mengandung fakta dan fiksi. Sekarang, aku memasuki buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita dengan mengambil tiga cerpen dari sepuluh cerpen karya peserta. Tiga cerpen itu hanya perwakilan untuk membahas sinau acuan cerpen bertema sejarah. Aku ingin mengetahui bagaimana tiga cerpen itu menampilkan fakta dan fiksi dengan menitikberatkan acuan. Tiga cerpen itu adalah cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi karya Angelina Enny; cerpen Seorang Penyair Bertandang karya Artie Ahmad; dan cerpen Lukisan Merah Daun Jati karya Puitri Hati Ningsih.

Cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi

Cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi menceritakan Diana Sari—seorang lady companion—yang berakhir mati dibunuh oleh prajurit ninja, anak buah bos perusahaan minyak, di ruang karaoke. Lalu, mayat Diana Sari dibuang prajurit ninja di bioskop yang keesokannya dibakar oleh kerusuhan pada era reformasi. Alasan Diana Sari dibunuh oleh prajurit ninja adalah dia dianggap wartawan investigasi yang menyamar sebagai lady companion untuk memata-matai kegiatan nepotisme yang dilakukan bos perusahaan minyak. Padahal wartawan investigasi yang menyamar sebagai lady companion adalah Dian Rani, kolega Diana Sari yang baru kerja beberapa minggu. Beruntung penyamaran Dian Rani tidak pernah terbongkar. Artinya, pembunuhan Diana Sari salah sasaran.

Sesuai judul cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi, tema sejarah yang diambil adalah era reformasi di Indonesia, atau tahun 1998. Beberapa isu pada era reformasi diceritakan, seperti isu nepotisme: “…Konon, susah sekali menembus kerja sama dengan perusahaan yang sudah dimonopoli oleh keluarga presiden….”[4] Atau, isu kebebasan pers: “Dian Rani bergidik ngeri. Dia mendengar selentingan kabar beberapa kawan wartawannya ditahan, ada pula yang tak pulang…”[5] Juga suasana pada era reformasi lewat diskripsi ini: “Layar televisi di ruang karaoke itu berganti menayangkan berita. Rupanya, si bos sudah bosan bernyanyi. Tertangkap oleh mata Diana yang lentik, beberapa kelompok masyarakat sudah ramai berdemonstrasi siang tadi. Reformasi bergaung di sana sini karena bapak presiden terpilih kembali.”[6]

Beberapa isu dan suasana pada era reformasi membuat cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi bukan sekadar pembunuhan salah sasaran yang diterima Diana Sari. Era reformasi sebagai fakta dalam cerpen tersebut menjadi bumbu yang berefek sensasi bagiku. Sensasi yang menebalkan rasa kasihan terhadap ketidakberuntungan Diana Sari, kesebalan terhadap kelakuan Dian Rani, kemarahan terhadap kejahatan bos perusahaan minyak, serta kengerian terhadap suasana di luar tokoh-tokoh (Diana Sari; Dian Rani; dan bos perusahaan minyak). Ketegangan antara fakta dan fiksi membikin aku bertanya: “Apakah tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut memang nyata pada era reformasi?” Entahlah. Tapi aku enggan mengetahui jawabannya agar tidak mengganggu imajinasi terhadap tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut.

Cerpen Seorang Penyair Bertandang

Sebaris puisi bahasa Prancis membuka cerpen Seorang Penyair Bertandang. Di bawahnya, ada sebaris puisi bahasa Indonesia, hasil alihbahasa dari sebaris puisi bahasa Prancis, begini: “Ke negeri rempah-rempah pedas dan basah.…”[7] Dan, sebaris puisi (bahasa Prancis dan hasil alihbahasa ke bahasa Indonesia) memiliki catatan, yaitu: “Sebaris puisi milik Arthur Rimbaud, tertulis di plakat rumah dinas walikota Salatiga ditanda tangani oleh duta besar Prancis tertanggal 6 Mei 1997: ‘Arthur Rimbaud datang dan tinggal di Salatiga selama dua pekan, tertanggal 2 sampai 15 Agustus 1876.’”[8] Lewat catatan sebaris puisi, aku mengetahui sosok yang tersurat judul cerpen adalah Arthur Rimbaud. Setelah membaca cerpen tersebut, aku menangkap cerita utama bukan perihal Arthur Rimbaud di Salatiga, melainkan tokoh-aku.

Tokoh-aku, seorang pribumi, dalam cerpen Seorang Penyair Bertandang menginformasikan bagaimana kehidupan sebagai serdadu KNIL di barak, seperti: “…Di sini, kami memanglah membutuhkan asupan tenaga. Hutan-hutan kecil di sebelah selatan harus segera dibuka, gundukan-gundukan tanah harus digali dan diratakan untuk membuka jalan baru….”[9]; “…Sebagai seorang serdadu kami ditempa untuk kuat dan tegar dalam segala macam keadaan, tapi itu tak kulihat di wajah seorang serdadu muda…”[10]; “…Seorang serdadu muda yang baru datang meninggal dunia karena sakit setibanya di barak….”[11] hingga “Tak jauh dari tempat Isaac, aku membuka pintu sebuah bilik. Asap langsung menyapa wajahku. Walter, Hong, dan beberapa teman lainnya telah terlebih dahulu mengisap candu….”[12]

Aku mencatat bahwa tokoh-aku mengaku tidak begitu akrab dengan orang Prancis. Tapi, mungkin gara-gara perilaku Arthur Rimbaud yang terlihat tak bersemangat telah membuat tokoh-aku tertarik. Setelah bertanya kepada Walter, tokoh-aku mengetahui masa lalu Arthur Rimbaud yang seorang penyair. Lain itu, tokoh-aku mendapatkan informasi kepenyairan Arthur Rimbaud setelah berbincang dengan Louis Durant, orang Prancis yang mahir berbahasa Belanda dan sedikit Melayu. Pelarian diri yang dilakukan Arthur Rimbaud pada 15 Agustus 1876 seolah menginspirasi tokoh-aku untuk berbuat serupa. Pada akhirnya, tokoh-aku melarikan diri demi menemui Charlotte, perempuan yang dicintainya. Sayang, tokoh-aku gagal melarikan diri setelah pelor dari tembakan pengejar menghantam kepala belakang.

Cerpen Lukisan Merah Daun Jati

Gusti Saloka—salah satu putra Sinuhun dari garwa ampil—suka melukis lanskap taman. Ada satu tempat yang ingin dilukis oleh Gusti Saloka, yaitu: Keadaan di dalam taman Balekambang. Gusti Saloka tahu bahwa dirinya tidak bisa masuk karena keadaan di dalam taman Balekambang yang sangat tertutup dan terbatas untuk keluarga Mangkunegaran. Kesempatan memasuki taman Balekambang muncul ketika Gusti Saloka ikut Gati—abdi dalem—untuk mengantarkan buntalan kain. Sebelum masuk atau masih di gerbang taman Balekambang, Gusti Saloka meminjam alat lukis kepada Surya—teman sesama pelukis—yang entah kenapa berada di situ. Dan, setelah memasuki dalam taman Balekambang, Gusti Saloka meminta izin kepada Kabul—penjaga taman—untuk melukis.

Putri bertopi beludru sedang duduk di atas perahu dengan tukang pendayung dan mbok pengasuh, serta kijang di pinggir danau, juga sakura Jawa dan bunga flamboyan yang diwarnai merah dari pupus daun jati merupakan hasil lukisan Gusti Saloka. Keesokannya, Gusti Saloka terkejut mengetahui putri bertopi beludru menghilang dari lukisan itu. Gati menenangkan Gusti Saloka agar lukisan itu ditambahkan lagi putri bertopi beludru. Lalu, Gusti Saloka menambahkan lagi putri bertopi beludru di lukisan itu. Gati meminta Gusti Saloka untuk menyimpan lukisan itu di rumahnya. Tapi, Gusti Saloka terperangah mengetahui lukisan itu berada di dalem Kepanjen. Gusti Panji—pengrajin batik tulis—menerangkan bahwa lukisan itu karya pelukis Yogya yang telah dipesan oleh kerajaan Belanda.

Dalam cerpen Lukisan Merah Daun Jati, Gusti Saloka tidak pernah mengetahui lukisannya telah dilaporkan Gati kepada pengageng. Gusti Saloka tidak pernah mengetahui pesuruh dari Raden Mas Lahab—pedagang barang kuno dan kolektor lukisan yang bekerja sama dengan pengageng—mencuri lukisannya dan mengganti dengan lukisan duplikat tanpa putri bertopi beludru. Penduplikat lukisan itu dilakukan Surya. Juga, selain mencuri dan menduplikat, Surya bersama Jahal telah menjalankan tugas dari Raden Mas Lahab untuk plagiasi lukisan-lukisan karya Gusti Saloka. Semua lukisan (curian dan plagiasi) dijual oleh Raden Mas Lahab di pasar gelap. Jadi, aku memahami bahwa Gusti Saloka terlalu lugu untuk menyadari bakat lukisnya selama ini telah dimanfaatkan orang-orang terdekatnya.

Fakta Sejarah dan Cerita untuk Cerpen

Aku membaca esai Sejarah, Cerita, dan Fiksi karya Aprinus Salam yang dimuat di rubrik Halte, Jawa Pos (Sabtu, 16 Maret 2024). Aku merangkum salah satu bagian esai itu, kurang lebih begini: “Sejarah—peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu—mengandung cerita dari sudut pandang atau kepentingan tertentu. Karena itu, cerita (narasi subjektif) tidak bisa menghindari kemungkinan fiksi (imajinasi subjektif). Tapi, fiksi memungkinkan ada cerita yang dinarasikan secara imajinatif-subjektif. Juga, cerita dalam fiksi tetap berhenti sebagai cerita meski terkait fakta sejarah. Bagi penulis sejarah, fiksi pada cerita harus diminimalkan lewat teori dan metodologi agar peristiwa masa lalu bisa ‘dibakukan’.” Lalu, contoh yang diberikan Aprinus Salam dalam esai itu memudahkan aku untuk memahami di mana letak sejarah, cerita, dan fiksi, yaitu:

Sebagai misal, “Arya Penangsang adalah seorang sakti.” Arya Penangsang adalah sejarahnya. Sakti adalah ceritanya, secara sejarah masih bisa dilacak walaupun tidak perlu sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi, jika “Arya Penangsang adalah seorang sakti yang tidak ada tandingannya.” Pernyataan “yang tak ada tandingannya” adalah fiksi karena tidak bisa diacu kecuali dalam pernyataan ceritanya itu sendiri.[13]

Apa hubungan antara rangkuman salah satu bagian dan contoh yang diberikan Aprinus Salam pada esai Sejarah, Cerita, dan Fiksi dengan tiga cerpen (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi; cerpen Seorang Penyair Bertandang; dan cerpen Lukisan Merah Daun Jati) dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita? Hubungan itu adalah ekspektasiku—sebelum membaca tiga cerpen tersebut—akan menghadapi fiksi yang kemungkinan ada pada cerita. Fiksi yang belum diminimalkan pada peristiwa yang hendak “dibakukan” demi kepentingan sejarah. Ternyata, ekspektasiku salah. Setelah membaca tiga cerpen tersebut, aku menemukan cerita dalam fiksi yang dinarasikan secara imajinatif-subjektif dengan pengambilan fakta sejarah. Jadi, tema sejarah dalam tiga cerpen tersebut tetaplah berhenti sebagai cerita tanpa menyinggungnya sebagai sejarah.

Pengambilan fakta sejarah pada tiga cerpen tersebut seolah hanya berkepentingan membentuk latar. Sehingga, aku mengganggap tiga cerpen tersebut dapat berlatar yang sama-rasa-beda-bentuk apabila pengambilan fakta sejarah berganti, misal: era reformasi berganti revolusi Prancis; Arthur Rimbaud berganti Herman Willem Daendels; dan keadaan di dalam taman Balekambang berganti keadaan di dalam kebun binatang Sriwedari. Andai tanpa pengambilan fakta sejarah, latar tidak memengaruhi cerita pada tiga cerpen tersebut. Alasannya, aku masih dapat berimajinasi tanpa pengambilan fakta sejarah, bahwa pembunuhan Diana Sari tetap terjadi karena ketakutan bos perusahaan minyak; tokoh-aku yang hanya butuh alasan kuat untuk melarikan diri; dan penipuan terhadap Gusti Saloka tetap terjadi karena keluguannya.

Tapi, aku tidak menganggap pengambilan fakta sejarah pada tiga cerpen tersebut adalah sesuatu yang buruk. Meski hanya berkepentingan membentuk latar, pengambilan fakta sejarah justru bikin aku dapat menikmati dramatisasi pada tiga cerpen tersebut. Dramatisasi yang mengacu pembunuhan Diana Sari dengan mengetahui situasi era reformasi; keberanian tokoh-aku melarikan diri akibat mengenal Arthur Rimbaud dan situasi Hindia Belanda pada tahun 1876; dan keluguan Gusti Saloka dengan situasi Mangkunegaran sekitar tahun 1921-an. Dramatisasi semakin kental ketika tiga cerpen tersebut menyelipkan cerita, seperti: beberapa isu di era reformasi; kegiatan serdadu KNIL di Salatiga; dan taman Balekambang sebagai hadiah tanda cinta dari Gusti Mangkunegara VII kepada dua putrinya, yaitu: Partini dan Partinah.

Aku menikmati dramatisasi pada tiga cerpen tersebut bukan hanya gara-gara pengambilan fakta sejarah. Tapi, aku turut mengacu pengambilan fakta sejarah dengan keterkaitan latar belakang tokoh pada tiga cerpen tersebut. Memang, secara kebetulan, tiga cerpen tersebut sama-sama menarasikan latar belakang tokoh. Sehingga, aku mengetahui pengalaman buruk yang dialami Diana Sari sewaktu SMP yang pernah dilecehkan pacar dan guru olah raga; tokoh-aku yang patah hati setelah tidak direstui oleh orang tua kekasihnya karena perbedaan status sosial; dan alasan Gusti Saloka dapat lebih akrab dengan Gati daripada saudara-saudara sesama anak Sinuhun dari garwa ampil. Di bawah ini, aku mengutip narasi perihal latar belakang tokoh (Diana Sari; tokoh-aku; dan Gusti Saloka), yaitu:

“Pelan-pelan, dong, Sayang,” kata si bos minyak. Tangannya masih meremas bokong Diana yang sedang duduk di pangkuannya. Diana Sari tidak suka  bokongnya diremas, mengingatkannya pada pacarnya yang kurang ajar di SMP dulu. Guru olah raganya, Pak Agus diam-diam juga ikut meremas bokong Diana yang tubuhnya sudah melebihi keranuman teman-teman seusianya. Diana remaja diam saja, apalagi nilai volinya selalu bagus dan jadi kebanggaan tersendiri di antara mata pelajaran lain di rapornya. (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi)[14]

…Aku sendiri tak begitu akrab dengan orang Prancis, selama ini aku lebih sering dekat dengan orang Belanda, Inggris atau seringnya dekat dengan kaum Indo-Eropa seperti Lottie Dekker. Perempuan nan manis itu, begitu baik perangainya, namun harus kutinggalkan lantaran hubungan kami tak bisa diteruskan. Orang Tua Lottie tak pernah menghendaki putri mereka bersuami seorang pribumi, meski ibunya dulu seorang gundik namun konon derajatnya telah diangkat selepas James Dekker menikahi gundiknya secara sah. Kutinggalkan Lottie seorang diri dan tenggelam di barak tentara, bagiku kisah dengan Lottie telah berakhir sore itu. (cerpen Seorang Penyair Bertandang)[15]

…Sal adalah salah satu putra dari banyaknya putra Sinuhun dari garwa ampil. Meski putra dalem Sinuhun tapi ia bisa akrab dengan semua abdi dalem termasuk Gati. Mungkin justru karena tidak bisa dekat dengan saudara-saudara lain ibu tersebut sehingga Sal lebih suka menyendiri di setiap acara, seperti pisowanan ageng atau jumenengan yang ramai saat semua keluarga keraton hadir. Gusti Sal ada tapi menepi. Lebih memilih menjadi pengamat dan mengambil yang menggoda hati untuk dipenjara pada kanvasnya. (cerpen Lukisan Merah Daun Jati)[16]

Barangkali bermain cerita dalam fiksi dengan pengambilan fakta sejarah dan penyelipan cerita pada tiga cerpen tersebut adalah materi yang diperoleh peserta workshop program Mencari #7. Materi yang diperoleh itu telah menyajikan tiga cerpen tersebut perihal dunia alternatif untuk melihat sejarah lewat simulasi meng-ada-kan tokoh. Dan, materi yang diperoleh itu turut menjadi pembelajaran bagiku—selaku pembaca—untuk menengok hal yang tidak dicatat oleh sejarah. Hal yang berasal dari manusia kalah (cerpen Diana Sari, Dia dan Reformasi), manusia biasa (cerpen Seorang Penyair Bertandang), dan manusia pinggiran (cerpen Lukisan Merah Daun Jati). Begitulah, aku membaca tiga cerpen tersebut yang termaktub dalam buku Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita.**

Daftar Pustaka

Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, Dkk (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation.

Aprinus Salam (Rubrik Halte, Jawa Pos, 16 Maret 2024), Sejarah, Cerita, dan Fiksi, Hal: 4.

Sapardi Joko Damono (Rubrik Apresiasi, Majalah Sastra Horison Nomor 10 Tahun XXI September 1986), Acuan (2). Hal: 349.


  • [1] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 7.
  • [2] Ibid. Hal: 9.
  • [3] Sapardi Joko Damono (Rubrik Apresiasi, Majalah Sastra Horison Nomor 10 Tahun XXI September 1986), Acuan (2), Hal: 349.
  • [4] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 12.
  • [5] Ibid. Hal: 16.
  • [6] Ibid. Hal: 13.
  • [7] Ibid. Hal: 29.
  • [8] Ibid. Hal: 46-47.
  • [9] Ibid. Hal: 29.
  • [10] Ibid. Hal: 31.
  • [11] Ibid. Hal: 32.
  • [12] Ibid. Hal: 38.
  • [13] Aprinus Salam (Rubrik Halte, Jawa Pos, 16 Maret 2024), Sejarah, Cerita, dan Fiksi, Hal: 4.
  • [14] Angelina Enny, Faridhatun Nafiah, DKK (2024), Kisah-kisah yang Terpendam dalam Pelita, Surakarta: Maysanie Foundation. Hal: 14.
  • [15] Ibid. Hal: 32.
  • [16] Ibid. Hal: 86-87.

ia lepaskan lendir penuh tuba. Lendir yang

merekatkan air dan malam, air dan karang-karang

kerakal. Sebuah sirkulasi mengalir dari kisah air dan

sihir. Ubur-ubur merah mengurai darah,

memperlihatkan jantung dan usus yang berdetak. Usus

dan jantung yang merekam gemuruh air dan

takdir. Berlarihlah ubur-ubur ke permukaan. Matahari

(Puisi Ubur-ubur Merah)

Penggalan puisi Ubur-ubur Merah di atas adalah karya Hidayat Raharja—penyair asal Madura kelahiran tahun 1966—yang dimuat buletin Pawon edisi #50 tahun X/2017. Ketika membaca penggalan puisi Ubur-ubur Merah, aku menangkap keberadaan ubur-ubur yang penuh misteri dan dingin, seperti /…Lendir yang merekatkan air dan malam, air dan karang-karang/ kerakal…./ atau /…Usus dan jantung yang merekam gemuruh air dan/ takdir…/. Apalagi, dua kata kerja (merekatkan dan merekam) ditimbulkan ubur-ubur (lendir, usus, dan jantung) yang bereaksi antara air dengan malam, atau karang-karang kerakal, atau takdir.

Ubur-ubur yang dipuisikan Hidayat Raharja bukan sekadar tempelan belaka. Sebab, selain imajinasi, ada identifikasi dalam puisi Ubur-ubur Merah, misal mengetahui ubur-ubur mengeluarkan lendir. Identifikasi menandakan Hidayat Raharja begitu akrab mengenal ubur-ubur sebagai bahannya menulis puisi. Keakraban mengenal ubur-ubur dapat aku mafhumi dengan menengok latar belakang Hidayat Raharja sebagai guru biologi. Artinya, pengetahuan biologi menambah daya kreativitas bagi kepenyairannya.

Penyair dan guru biologi: dua bidang yang berbeda itu telah dikolaborasikan Hidayat Raharja. Tidak heran, setelah membaca utuh puisi Ubur-ubur Merah, aku menemukan penyebutan plankton, sarcodina, lili laut, bintang ular, dan bintang laut. Puisi Ubur-ubur Merah membuka penggambaran pernak-pernik biota laut di sekeliling kehidupan ubur-ubur. Kolaborasi yang dilakukan Hidayat Raharja seolah eksperimen terhadap dunia-yang-menjadi yang bebas memasukkan aneka makhluk tanpa menyebut aku-lirik.

Begitulah, aku menggaris Hidayat Raharja yang memanfaatkan dua bidangnya untuk menulis puisi Ubur-ubur Merah. Penggarisanku tersebut muncul demi mengaitkan hasil pembacaanku pada beberapa esai perihal pengalaman dan pengamatan Hidayat Raharja, selaku guru Biologi dan kepala sekolah SMA Negeri 4 Sampang, seperti permasalahan sekolah, metode pengajaran guru, hingga kegiatan peserta didik. Beberapa esai itu termaktub dalam naskah Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja yang aku layout (tata) menjadi buku.

Hidayat Raharja menulis bahwa SMA Negeri 4 Sampang bersama sekolah yang ada di sekitarnya saling bersaing mendapatkan peserta didik. Juga, persoalan lain dari SMA Negeri 4 Sampang, yaitu: keterbatasan fasilitas. Persaingan dan persoalan lain tersebut harus diminimalisir SMA Negeri 4 Sampang dengan kolaborasi. Hidayat Raharja—dalam esai Hari Ini Belajar Sejarah: Alternatif Panggung Pembelajaran yang Merdeka—menulis: “…Di sinilah kerja kolaboratif berlangsung dan menjadikan belajar sebagai sebuah aktivitas menarik, ruang kelas lebih fleksibel serta pembelajaran lebih kondusif mengikuti kemauan siswa.

Lalu, apa kaitan antara Hidayat Raharja yang menulis puisi Ubur-ubur Merah dengan SMA Negeri 4 Sampang yang mencanangkan kolaborasi? Aku menganggap benang merah dari kaitan tersebut adalah kesadaran pemanfaatan sesuatu yang dekat. Berbeda dengan Hidayat Raharja yang sadar memanfaatkan dua bidangnya, para guru di SMA Negeri 4 Sampang harus mengetahui ketertarikan peserta didik. Sebab itu, Hidayat Raharja menganalisis apa kebutuhan peserta didik di SMA Negeri 4 Sampang.

Salah satu analisis Hidayat Raharja adalah mengetahui beberapa peserta didik begitu asing dengan buku ketika SMA Negeri 4 Sampang menerapkan program Jumat Literasi. Hidayat Raharja tidak menyalahkan beberapa peserta didik yang begitu asing dengan buku. Justru, Hidayat Raharja—dalam esai Jumat Literasi—menulis: “…Inilah anak-anak istimewa yang saya miliki, memendam potensi dan belum mampu kami ungkapkan…” Artinya, guru harus hadir sebagai kunci untuk membuka pintu wawasan peserta didik.

Upaya membuka pintu wawasan peserta didik telah dilakukan para guru SMA Negeri 4 Sampang. Lewat esai Pohon Tanah Tandus, Hidayat Raharja berkisah pembelajaran yang menghubungkan materi pengajaran dengan dunia nyata, seperti Bu Melli yang berangkat dari pengalaman peserta didik untuk memasuki permasalahan ekonomi secara luas, atau Bu Tika melakukan pendekatan personal karena peserta didik yang heterogen. Serta, lewat esai Ruang Kelas yang Luas dan Terbuka, Hidayat Raharja berkisah pembelajaran tidak hanya dalam kelas, seperti Bu Purnamawati memberikan tugas resume kepada peserta didik terhadap kompetensi dasar fisika melalui aplikasi Tiktok, Bu Fauziyah Wahyuni—ketika suatu tatap muka terbatas di kelas—membawa tanaman Pterydophyta (paku-pakuan) demi menerangkan strutur tubuh tanaman secara kongkret kepada peserta didik, Bu Musdalifah—pengajar pelajaran pendidikan kewirausahaan—mengajak peserta didik untuk mengelola kebun mini, atau Bu Debby Eka Wulandari mengajak murid ke situs sejarah lokal sebagai sumber pengetahuan.

Dalam pengamatanku, pengajaran para guru tersebut—di paragraf atas—ternyata sama-sama memiliki satu tujuan, yaitu: Berharap peserta didik tidak lagi berjarak menerima pengajaran guru. Karena pengajaran bisa berada di luar kelas dan tidak lagi kaku, guru memanfaatkan sesuatu yang dekat bagi peserta didik. Dan, muncul kreativitas antar guru untuk kolaborasi pelajaran—juga kolaborasi dengan instansi atau praktisi dari luar sekolah—demi mengingatkan peserta didik, bahwa ilmu pengetahuan begitu lekat dengan kehidupan. Yang terpenting dalam pengajaran, peserta didik bukanlah obyek, melainkan subyek yang mampu mengembangkan diri sesuai kemampuan dan potensi.

Kolaborasi

Kolaborasi, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002), adalah (perbuatan) kerja sama (dengan musuh dan sebagainya). Entah kenapa pengertian tersebut mengandung “musuh” yang mencitrakan pertentangan. Meski begitu, aku menganggap maksud “musuh” sebagai beberapa bidang berlainan yang memiliki kesamaan tujuan. Sehingga, kerja sama antar beberapa bidang berlainan dapat membentuk lawan-duet, bukan lawan-adu. Dan, lawan-duet tidak menunjukkan kekontrasan, justru menghasilkan keharmonisan.

Dalam naskah Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja, kolaborasi seolah strategi pendidikan. Jadi, kolaborasi memungkinkan perbedaan pelajaran yang diajarkan setiap guru tidak lagi berdiri sendiri. Juga, kolaborasi menciptakan kreativitas bagi setiap guru untuk meletupkan potensi peserta didik, dan mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan bersinambungan dengan kehidupan. Sekarang, aku mengutip salah satu paragraf yang ditulis oleh Hidayat Raharja dalam esai Pembelajaran Kolaboratif, yaitu:

Pada kesempatan yang lain saya pernah menghubungkan antara pelajaran biologi, bahasa, dan pendidikan kewirausahaan. Sebuah irisan di antara ketiganya berangkat dari teknologi pangan, kewirausahaan dan pelajaran Bahasa Indonesia. Berangkat dari Kompetensi Dasar teknologi pengolahan pangan (Bioteknologi) saya mengambil topik mengenai fermentasi. Kami mengajak siswa untuk membuat fermentasi pisang kepok. Hasil fermentasi pisang itu harus mereka olah menjadi kue untuk mata pelajaran kewirausahaan. Dan, dari proses hingga hasil fermentasi pisang, juga pengolahannya, harus dijadikan laporan kegiatan mereka untuk dinilai dan didiskusikan saat pelajaran bahasa Indonesia.

Kutipan di atas bercerita pengalaman Hidayat Raharja perihal kolaborasi tiga pelajaran (biologi, bahasa, dan pendidikan kewirausahaan) di SMA Negeri 1 Sumenep (sebelum menjadi guru dan kepala sekolah di SMA Negeri 4 Sampang). Aku mengetahui kolaborasi tiga pelajaran terhubung ke beberapa proses kegiatan belajar, mulai dari fermentasi pisang kepok dan mengolahnya sebagai kue, lalu berakhir pada laporan yang didiskusikan peserta didik. Aku menangkap beberapa proses kegiatan belajar itu dapat memberikan gambaran kepada peserta didik perihal ilmu pengetahuan di kehidupan.

Lewat pisang kepok, aku menemukan kesinambungan antara ilmu pengetehuan dengan kehidupan. Tapi, aku menengok kolaborasi tiga pelajaran dilakukan peserta didik dari kelas IPA. Aku membayangkan peserta didik dari kelas IPS bisa terlibat dengan mengganti pelajaran biologi dengan ekonomi. Mirip Bu Melli yang mengajar pelajaran ekonomi, peserta didik dapat mensimulasi berapa harga produksi, harga jual, serta keuntungan apabila menjual olahan pisang kepok di kantin atau warung terdekat. Aku menimbang cara kolaborasi dapat saling menyatukan antar pelajaran sesuai konteks ilmu pengetahuan yang disampaikan guru.

Dari pengalaman di SMA Negeri 1 Sumenep, Hidayat Raharja turut menceritakan kolaborasi di SMA Negeri 4 Sampang. Lewat esai Mengembangkan Bakat Siswa SMA Negeri 4 Sampang Bersama DoubleK Batik, aku membaca kolaborasi tidak hanya pelajaran belaka. Ekstrakurikuler (kegiatan tambahan di luar jam pelajaran) dapat berkolaborasi dengan instansi atau praktisi di luar sekolah demi mengajarkan sesuatu apa yang tidak diperoleh di kelas, seperti Bu Dewi Wahyuni dan Bapak Abd. Wahid Hamidullah berkolaborasi dengan DoubleK Batik, home industry dari Sampang.

Keterangan: Siswa SMA Negeri 4 Sampang berlatih membatik di DoubleK BatikFoto: Hidayat Raharja  

Hidayat Raharja menulis tujuan kolaborasi DoubleK Batik adalah peserta didik SMA Negeri 4 Sampang mampu mengendalikan diri dan mengembangkan kreativitas. Peserta didik SMA Negeri 4 Sampang belajar membuat pola, memalam, dan mewarnai. Lain itu, peserta didik dapat belajar memahami makna tanggung jawab, seperti disiplin waktu. Bu Sri Krisna dan Pak Kikana Rahman (pemilik DoubleK Batik) turut membuka peluang bagi peserta didik SMA Negeri 4 Sampang yang antusias dapat langsung belajar di DoubleK Batik.

Aku juga membaca catatan Hidayat Raharja perihal SMA Negeri 4 Sampang menerima kolaborasi dari instansi atau praktisi dari luar sekolah, seperti Tanglok Art Forum yang mempresentasikan hasil riset Pangeran Trunojoyo berupa lecture performance, pertunjukan tari, dan pameran seni rupa. Aku mengetahui peserta didik SMA Negeri 4 Sampang (dan kehadiran peserta didik dari sekolah yang lain) dapat belajar mengenai sosok Pangeran Trunojoyo yang direpresentasikan hasil riset para seniman partisipan.

Dalam esai Hari Ini Belajar Sejarah: Alternatif Panggung Pembelajaran yang Merdeka, Hidayat Raharja menulis salah satu manfaat peserta didik terhadap kehadiran Tanglok Art Forum: “…Ruang belajar yang memungkinkan untuk menghubungkan antar hal antara seni, estetika, sejarah, dan distribusi pengetahuan yang simpang siur di antara mereka…” Apa yang ditulis oleh Hidayat Raharja tersebut mengubah pengertian ruang, yaitu: bidang-bidang (alas, dinding, dan langit-langit) yang saling bersambung membentuk volume.

Keterangan: Kegiatan diskusi Hari Ini Belajar Sejarah.Foto: Muhammad Azmil Ramadhan  

Pengertian ruang yang berubah telah memvisualisasikan ruang belajar bagi peserta didik bukan lagi menunjuk kelas yang berisi kursi, meja, atau papan tulis. Tapi, peserta didik masuk ke ruang belajar lain, yaitu: panggung pertunjukan dan ruang pameran. Aku membayangkan peserta didik dapat menyerap ilmu pengetahuan dari karya seni yang meletupkan impresi dan interpretasi. Dan, peserta didik menerima pantulan pengalaman intelektual lewat presentasi hasil riset dari Tanglok Art Forum.

Pembacaanku pada naskah Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja menambah pemahamanku perihal ruang yang diinginkan penghuni. Mengetahui keistimewaan peserta didik SMA Negeri 4 Sampang, Hidayat Raharja mengabarkan bagaimana para guru ikut berperan merancang ruang belajar sesuai kebutuhan dan aktivitas. Ruang belajar itu diharapkan tidak mati. Justru, mendidihkan keingintahuan peserta didik. Kolaborasi adalah cara SMA Negeri 4 Sampang untuk menghidupkan ruang belajar.**


Catatan: Tulisan ini merupakan pembacaan pembuka untuk buku Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja yang segera terbit.

Daftar Pustaka

Hasan Alwi—Pimpinan Redaksi (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Buletin Pawon edisi #50 tahun X/2017

Sebuah pesan disampaikan Mira MM Astra—penyair asal Bali—kepadaku, kurang lebih begini: “Kamu harus belajar musik”. Bagiku, pesan itu terlalu pendek. Tapi, aku tidak bisa meminta penjelasan dari pesan itu setelah Mira MM Astra mengungkapkan bahwa dirinya hanyalah penyampai pesan dari pembuat pesan. Aku terkejut mengetahui pembuat pesan adalah Umbu Landu Paranggi—penyair asal Bali. Entah kenapa, gara-gara mengetahui nama Umbu Landu Paranggi, aku menganggap pesan itu sebagai masukan untuk proses kepenyairan.

Aku lupa tahun berapa Mira MM Astra menyampaikan pesan dari Umbu Landu Paranggi. Yang jelas, aku masih berstatus mahasiswa, barangkali antara tahun 2016 s.d. 2017. Dan, aku menyetujui pesan itu, meski tidak memahami belajar musik. Apalagi, aku tidak memiliki kemampuan bermusik, yaitu: menyanyikan lirik lagu dan memainkan alat musik. Perihal mendengarkan lagu, aku hanya menerima apa saja. Toh, aku tidak betul-betul menggandrungi lagu yang dibawakan penyanyi atau grup band tertentu.

Sial, memang, pesan dari Umbu Landu Paranggi terlalu “gelap” untuk aku amalkan. Sehingga, aku memahami musik sebatas terombang-ambing suasana akibat lagu yang disetel orang lain, misal mendengar lagu dangdut di kabin bis antar provinsi. Atau, aku terhanyut oleh lagu tema pada sebuah tontonan. Padahal, dalam terombang-ambing serta terhanyut, aku bisa saja menghapalkan lagu yang terdengar, atau menelisik unsur lagu yang menempel di telinga, tapi aku enggan menganggap hal tersebut sebagai belajar musik.

Pada 6 April 2021, Umbu Landu Paranggi meninggal di RSUD Bali Mandara. Dunia sastra Indonesia berduka. Para sastrawan berbelasungkawa di media sosial. Juga, beberapa sastrawan mengenang pribadi Umbu Landu Paranggi lewat kisah. Meski tidak pernah bertemu, aku turut mengenang Umbu Landu Paranggi sebagai pengamat yang mengharapkan potensi penyair. Contoh harapan potensi penyair adalah pesan dari Umbu Landu Paranggi yang disampaikan Mira MM Astra kepadaku.

Dua tahun kemudian—sejak Umbu Landu Paranggi meninggal—aku mendapatkan buku puisi Melodia (2023) yang diterbitkan Pustaka Ekspresi bekerja sama dengan Jatijagat Kehidupan Puisi. Buku puisi Melodia adalah kumpulan puisi karya Umbu Landu Paranggi yang disusun oleh Wayan Jengki Sunarta. Ketika aku membaca judulnya, aku merasa buku puisi Melodia berhubungan dengan pesan dari Umbu Landu Paranggi. Hubungan yang menarik diriku secara tidak langsung ke penjelasan belajar musik.

Belajar Melodia

Wayan Jengki Sunarta—dalam Pengantar Penyusun—menerangkan bahwa pemilihan judul Melodia merujuk dari salah satu judul manuskrip kumpulan puisi karya Umbu Landu Paranggi; serta merujuk puisi Melodia yang menggambarkan sosok dan kehidupan Umbu Landu Paranggi.[1] Apa yang diterangkan Wayan Jengki Sunarta bikin aku lega. Sebab, aku menganggap belum mengamalkan pesan dari Umbu Landu Paranggi. Jadi, buku puisi Melodia dapat menjadi pintu masukku menuju musik yang dimaksud oleh Umbu Landu Paranggi.

Sekarang, aku menilik baris tiga dan empat di bait pertama dalam puisi Melodia, yaitu: “/baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara/ dunia luar sana/”[2] Penilikan dua baris itu menyadarkan aku agar lebih mengenal suara sendiri ketika menjumpai aneka suara dari luar.

Tafsirku: korek suara sendiri yang mendengungkan realitas. Pengorekan suara sendiri dapat menandakan kesadaran penyair untuk mengendapkan “sesuatu” sebelum mengeluarkanya sebagai dunia-yang-menjadi pada hasil penciptaan puisi.

Perihal pengendapan imaji, aku mengingat pengantar Rantau, ‘Sparring Partner’, Silaturahmi  yang ditulis oleh Raudal Tanjung Banua dalam buku puisi Gugusan Mata Ibu (2005). Pada pengantar itu, aku membaca salah satu pengalaman Raudal Tanjung Banua di Sanggar Minum Kopi, yaitu: Umbu Landu Paranggi yang kejam memuat satu puisi dari segepok puisi milik rekan penyair. Raudal Tanjung Banua menulis alasan keputusan Umbu Landu Paranggi: “…tingginya pengulangan dan keseragaman, atau kurangnya pengendapan….”[3]

Apa yang dinilai kejam oleh Raudal Tanjung Banua terhadap keputusan Umbu Landu Paranggi yang memuat satu puisi dari segepok puisi milik rekan penyair telah memberikan pelajaran penting bagiku. Pelajaran penting itu adalah keteledoran penyair yang terjebak menjadi mesin ala konfeksi. Sehingga, jika terjadi pengulangan dan keseragaman, tidak ada perbedaan antara puisi pertama dengan puisi kedua—juga puisi yang lain—di hadapan pembaca. Serta, pembaca tidak mendapat “gereget” pada puisi yang kurang pengendapan.

Pengalaman Raudal Tanjung Banua mengenai keputusan Umbu Landu Paranggi dalam pengantar Rantau, ‘Sparring Partner’, Silaturahmi turut memberikan pemahaman bagiku ketika membaca baris lima, enam, dan tujuh di bait ketiga dalam puisi Melodia, yaitu: “/begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh/ coretan/ selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam manja bujukan//”[4] Aku menangkap pembacaan tiga baris itu adalah penggambaran penyair yang memperlakukan puisi-puisinya selayak makhluk hidup.

Aku membayangkan bagaimana keintiman penyair yang memperlakukan puisi-puisinya selayak makhluk hidup. Keintiman lewat penentuan diksi yang tepat, penggubahan realitas ke imaji, hingga penyajian penuh kalkulasi. Seolah, penyair tidak akan melepas puisi-puisinya, hanya selalu bermesraan belaka, juga saling bertukar cakap dan kemauan. Apabila mampu berbekal dan kuat berpetualang, penyair bersuka cita mengantarkan puisi-puisinya ke lidah pembaca, membiarkan puisi-puisinya berganti tinggal dari penyair ke pembaca.

Lewat puisi Melodia, aku menakwil pesan dari Umbu Landu Paranggi sebagai simbol. Bukan musik yang menunjuk komposisi nada, menggaris alasan kemerduan, menyebut sumber bunyi, hingga mengukur gelombang bunyi. Tapi, keberadaan musik yang harus disadari penyair agar tahu kapan waktu menggetarkan pita suara, membunyikan bahasa, serta mengampukan tempo. Dan, keberadaan musik yang bikin penyair dapat menggubah setiap puisi dengan perbedaan corak yang beragam warna.

Etos Kerja Penyair

Bagiku, buku puisi Melodia bukan sekadar dokumentasi puisi-puisi karya Umbu Landu Paranggi. Justru, sangat penting, jika aku menengok Umbu Landu Paranggi yang misterius, seperti kesanku membaca keterangan Putu Fajar Arcana ketika mewawancarainya: “Umbu relatif tidak tercatat sebagai penyair dalam sejarah sastra Indonesia. Karya-karyanya tidak banyak dikenal karena memang ia jarang memublikasikannya. Tetapi, anehnya, semua seniman, setidaknya generasi 1960-an sampai 2000-an, mengaku pernah bersentuhan dengannya…”[5]

Lain itu, Umbu Landu Paranggi mengungkapkan kenapa pilihan kepenyairannya tidak seperti penyair yang disebut oleh Putu Fajar Arcana: “Semua punya peran masing-masing. Kalau semua seperti Chairil atau Sutardji, mungkin dunia kepenyairan dan kebahasaan kita tumbuh lamban. Berbahasa Indonesia bukan sesuatu yang mudah bagi sekalangan orang Jawa dan Bali dan orang-orang yang bukan Melayu. Karena itulah, Sumpah Pemuda itu puisi mantra. Ia ibarat amarah suci sebuah angkatan… 17 tahun kemudian terbukti terjadi proklamasi.”[6]

Pilihan kepenyairan Umbu Landu Paranggi lebih sesuai disebut “kehidupan puisi”, sebuah idiom merujuk pengakuan Emha Ainun Nadjib dalan esai Presiden Malioboro untuk Umbu yang ditayangkan Kompas (16/12/2012).[7]

Dalam buku puisi Melodia, aku mencermati “kehidupan puisi” yang ditampakkan Umbu Landu Paranggi adalah etos kerja penyair ketika menciptakan puisi. Barangkali, Umbu Landu Paranggi berpendirian bahwa puisi-puisinya memiliki jalan berbeda sehingga tidak ada karya yang final meski telah dipublikasikan di media tertentu.

Jalan berbeda puisi-puisi karya Umbu Landu Paranggi bisa aku tengok pada empat puisi yang memiliki versi dalam buku puisi Melodia, antara lain: Percakapan Selat (tiga versi); Sajak Kemarau (tiga versi); Kuda Merah (dua versi); dan Kuda Putih (dua versi). Wayan Jengki Sunarta—pada Pengantar Penyusun—menerangkan bahwa empat puisi yang memiliki versi dalam buku puisi Melodia mengalami swasunting.[8] Sekarang, aku meraba etos kerja penyair yang dilakukan Umbu Landu Parangi lewat analisis tiga versi puisi Percakapan Selat, yaitu:

Keterangan: Tiga versi puisi Percakapan Selat karya Umbu Landu Paranggi dalam buku puisi Melodia.

Sumber: Umbu Landu Paranggi (2023), Melodia, Bali: Pustaka Ekspresi. (Percakapan Selat Versi 1, Hal: 43); (Percakapan Selat Versi 2, Hal: 45) dan (Percakapan Selat Versi 3, Hal: 60).

Setelah memerhatikan tiga versi puisi Percakapan Selat di atas, aku memberikan beberapa warna pada badan puisi. Berikut penjelasanku perihal arti beberapa warna: biru berari ada kesamaan diksi, frasa, dan baris pada versi 1, versi 2, dan versi 3; hitam berarti tidak ada kesamaan diksi, frasa, dan baris pada versi 1, versi 2, dan versi 3; merah berarti ada kesamaan diksi pada versi 1 dan versi 2; hijau berarti ada kesamaan diksi dan frasa pada versi 2 dan versi 3; serta oranye berarti ada kesamaan diksi versi 1 dan versi 3.

Kalau memperhatikan versi 1, pink bukanlah fokus analisis, sebab hanya menandakan kecurigaan perihal kata “burung” yang seharusnya tidak terpotong dengan baris “/namun membujuk jua langkah, pantai, mega lalu burung-/”. Meski begitu, pink seharusnya bewarna hitam karena tidak ada kata “burung” atau “burung-burung” dalam versi 2 dan versi 3. Aku sangat menyayangkan andai alasan penempatan kata “burung” adalah tipografi puisi Percakapan Selat versi 1 tidak dapat menyesuaikan lebar buku puisi Melodia.

Aku memperhatikan bentuk tipografi: Pada versi 1, bait pertama dan kedua sama-sama berisi empat baris dan sama-sama berpola rima /a-a-b-b/, sedangkan bait ketiga berisi tujuh baris yang berpola rima /a-a-b-b-a-c-a/; lalu pada versi 2 dan versi 3, tiga bait sama-sama berisi empat baris dan sama-sama berpola rima /a-a-b-b/. Juga, aku memperhatikan penggunakan huruf kapital, yaitu: Pada versi 1 dan versi 3, huruf kapital menjadi kata pertama pada baris pertama setiap bait; sedangkan, pada versi 2, huruf kapital ada pada baris pertama dan baris ketiga setiap bait.

Ada keanehan ketika aku memperhatikan perbedaan tarikh, yaitu: versi 1 dan versi 2 sama-sama bertarikh 1966 (tanpa menyebut tempat penciptaan); sedangkan versi 3 bertarikh 1968 (tempat penciptaan di Yogya). Aku tidak tahu kenapa ada perbedaan tarikh yang terpaut dua tahun. Apakah Umbu Landu Paranggi memaknai swasunting versi 3 sebagai kelahiran baru? Sangat sulit menjawab pertanyaan itu setelah aku mengetahui pemuatan muktahir justru versi 2 di Pusara, No. 43/3 (Maret 1974), bukan versi 3 di Sinar Harapan (9 Oktober 1972).

Setelah memperhatikan secara saksama, aku mulai menganalisis setiap versi puisi Percakapan Selat di atas. Lewat biru, aku mengamati setiap kata, frasa, dan baris tetap dipertahankan Umbu Landu Paranggi pada versi 1, versi 2, dan versi 3. Tapi, lewat hitam pula, aku menyadari ada kata, frasa, dan baris yang hanya dimunculkan Umbu Landu Paranggi pada versi 1, versi 2, dan versi 3. Sehinga, hitam pada versi 3 seolah akhir swasunting puisi Percakapan Selat lewat kabaruan kata, frasa, dan baris yang tidak ada pada versi 1 dan versi 2.

Aku tertarik mengamati merah, hijau, dan oranye. Sebab, lewat merah, kata “sampai” dan “menderu” dari versi 1 sempat dipertahankan Umbu Landu Paranggi pada versi 2, sebelum dihilangkannya pada versi 3. Atau, lewat hijau, banyak kata dan frasa dimunculkan Umbu Landu Paranggi pada versi 2, dan dipertahankannya pada versi 3 meski mengalami modifikasi susunan baris. Sedangkan, lewat oranye, Umbu Landu Paranggi kembali menyisipkan kata “resah” pada versi 3, padahal kata “resah” ada pada versi 1 dan dihilangkannya pada versi 2.

Apakah Umbu Landu Paranggi yang menyisipkan kata “resah” pada versi 3 adalah kebetulan? Pertanyaan itu muncul akibat pemungutan kata “resah” dari versi 1, padahal telah dihilangkan pada versi 2. Jawabanku: Barangkali tidak kebetulan. Atau, barangkali Umbu Landu Paranggi menyimpan puisi-puisi sebelum swasunting demi pertimbangan ke depan. Sebab, aku membaca puisi Percakapan Selat karya Umbu Landu Paranggi yang tayang di Bali Post (2/11/2014).[9] Di bawah ini, perhatikan puisi Percakapan Selat yang tayang di Bali Post, yaitu:

Keterangan: Puisi Percakapan Selat karya Umbu Landu Paranggi versi Bali Post dan penampakan buku puisi Melodia serta kliping puisi-puisi Umbu Landu Paranggi yang tayang di Bali Post.

Sumber: Bali Post (2 November 2014), rubrik Apresiasi, halaman 19.

Oh ya, dalam tulisan ini, aku menyebut Percakapan Selat yang tayang di Bali Post sebagai versi Bali Post, bukan versi 4. Sebab, versi Bali Post tidak masuk dalam buku puisi Melodia. Aku ingin menghindari kerancuan. Lalu, berbeda dengan versi 1, versi 2 dan versi 3, justru versi Bali Post memiliki tipografi tidak berbait atau kuatrin; huruf kapital pada awal kata di setiap baris, dan tidak memiliki tarikh. Dan, aku mencermati, ternyata isi puisi pada versi Bali Post hampir sama dengan versi 1, bukan versi 2 atau versi 3.

Perbedaan isi puisi antara versi Bali Post dengan versi 1 adalah penggunaan kata “selalu” pada baris kedua versi Bali Post; dan penggunaan kata “lalu” pada baris kedua versi 1. Sehingga, dalam versi Bali Post, aku membaca: “/Sepi yang selalu dingin gumam terbantun di buritan/”; sedangkan, dalam versi 1 (termasuk versi 2 dan versi 3), aku membaca: “/sepi yang lalu dingin gumam terbantun di buritan/”. Lebih lanjut, tidak ada baris “/saat pulau-pulau lengkap berbisik, saat haru mutlak biru//” pada versi Bali Post, padahal baris itu ada pada versi 1.

Versi Bali Post menunjukkan hasil swasunting versi 1. Seolah, versi 1 adalah batang; versi 2 dan versi Bali Post adalah cabang dari batang versi 1; dan versi 3 adalah ranting dari cabang versi 2. Tapi, Umbu Landu Paranggi tidak mengerjakan swasunting puisi secara kontinu. Maksud kontinu adalah puisi yang selalu diperbarui dengan menghilangkan bekas revisi. Sebab, versi 2 masih menjadi pilihan Umbu Landu Paranggi untuk memublikasikan ke media tertentu, padahal versi 3 sudah pernah tayang.

Aku membayangkan Umbu Landu Paranggi tetap selalu menyimpan puisi-yang-pertama sebagai embrio yang dapat ditumbuhkan ke versi terbaru, dari versi terbaru yang dapat ditumbuhkan ke versi terbaru lagi.

Tapi, versi terbaru atau versi terbaru lagi tetap kuat mempertahankan isi puisi-yang-pertama, meski mengalami perubahan struktur. Beragam versi puisi Percakapan Selat seolah merefleksikan jawaban Umbu Landu Paranggi ketika diwawancara oleh Putu Fajar Arcana: “…Seni itu sangkan paraning dumadi. Mempertanyakan kembali kedirian kita….”[10]

Kenapa harus mempertanyakan kedirian kita? Bukankah akan menghasilkan kesia-siaan, mirip ilustrasi perihal keraguan seorang “penulis hebat” yang tidak pernah lagi menerbitkan karyanya. Ilustrasi itu ada pada esai Menulis Sungguh-Sungguh dan Menulis Pura-Pura dalam buku Solilokui (1984) karya Budi Darma, yaitu: “…Karena itulah dia menyibukkan diri dengan menulis kembali naskah-naskahnya. Dia dapat mengubah-ubah satu naskahnya sampai beberapa kali, kalau perlu sampai puluhan kali. Akhirnya dia tidak pernah menyelesaikan apa-apa.”[11]

Aku tidak boleh gegabah membandingkan jawaban Umbu Landu Paranggi ketika diwawancara oleh Putu Fajar Arcana dengan ilustrasi “penulis hebat” (mengacu tulisan Budi Darma). Sebab, latar belakang dari ilustrasi “penulis hebat” itu adalah bertindak dengan napsu, tapi ragu-ragu atas tindakannya. Sebaliknya, Umbu Landu Paranggi sering menggumamkan kata “tanam” dan “taman”, yang sama-sama memiliki kesan: “Dua patah kata filosofis yang mengandung kedalaman renungan. Dua patah kata yang menggetarkan jiwa.”[12]

Daftar Pustaka

Budi Darma (1984), Solilokui, Jakarta: Gramedia.

Raudal Tanjung Banua (2005), Gugusan Mata Ibu, Yogyakarta: Bentang.

Umbu Landu Paranggi (2023), Melodia, Bali: Pustaka Ekspresi.

Emha Ainun Nadjib (Kompas, 16 Desember 2012), Presiden Malioboro untuk Umbu, hal: 20.

Putu Fajar Arcana (Kompas, 18 November 2012), Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-Kata, hal: 23.

Umbu Landu Paranggi (2 November 2014), Percakapan Selat; Sajak Kecil; Solitude; Kata, Kata, Kata; Sabana; dan Ibunda Tercinta, Hal 19.


[1] Agar lebih memahami keterangan Wayan Jengki Sunarta, aku menulis ulang satu paragraf utuh pada Pengantar Penyusun dalam buku puisi Melodia karya Umbu Landu Paranggi: “Saya memilih judul Melodia untuk kumpulan puisi ini dengan merujuk pada judul salah satu manuskrip kumpulan puisi ULP. Selain itu, puisinya yang berjudul Melodia juga sangat legendaris dan sering dibacakan atau dijadikan mesikalisasi puisi oleh para pencinta sastra. Puisi itu juga mampu menggambarkan sosok ULP dan kehidupannya sebagai penyair. (Hal: ix).

[2] Umbu Landu Paranggi (2023), Melodia, Bali: Pustaka Ekspresi. (Hal: 56).

[3] Raudal Tanjung Banua (2005), Gugusan Mata Ibu, Yogyakarta: Bentang. (Hal: viii).

[4] Umbu Landu Paranggi (2023), Melodia, Bali: Pustaka Ekspresi. (Hal: 56).

[5] Putu Fajar Arcana (Kompas, 18 November 2012), Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-Kata, Hal: 23.

[6] Ibid. Hal: 23.

[7] Dalam esai Presiden Malioboro untuk Umbu (Kompas, 16 Desember 2012), Emha Ainun Nadjib menulis: “…Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala sesuatu yang semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh keputusannya itu dengan idiom “kehidupan puisi”. Saya mengenalinya sebagai “zuhud”: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran, dan menyimpan uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah.” (hal: 20).

[8] Wayan Jengki Sunarta pada Pengantar Penyusun dalam buku puisi Melodia karya Umbu Landu Paranggi menulis: “Pada saat proses pengumpulan puisi, saya menemukan beberapa puisi ULP mengalami swasunting, dari revisi ringan hingga berat. Puisi-puisi tersebut dimuat di media yang berbeda. Dalam buku ini, saya tampilkan beberapa puisi yang mengalami swasunting dengan menambahkan kata “versi” pada judul puisinya….” (hal: vii-viii).

[9] Bali Post (2 November 2014), rubrik Apresiasi, halaman 19, menayangkan enam puisi karya Umbu Landu Paranggi, yaitu: Percakapan Selat; Sajak Kecil; Solitude; Kata, Kata, Kata; Sabana; dan Ibunda Tercinta.

[10] Putu Fajar Arcana (Kompas, 18 November 2012), Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-Kata, Hal: 23.

[11] Budi Darma (1984), Solilokui, Jakarta: Gramedia. (Hal: 86).

[12] Umbu Landu Paranggi (2023), Melodia, Bali: Pustaka Ekspresi. (Hal: 138).

1. Penciptaan

Kenapa seseorang ingin menjadi penyair? Pertanyaan ini sering muncul dalam pikiranku. Tidak mudah aku jawab. Toh, aku tidak tahu alasan pasti perihal apa daya penyair yang segera menciptakan puisi. Aku hanya merasa penyair begitu bergairah ketika imajinasinya berkembang, lalu penyair mengkongkretkan imajinasinya ke bentuk tulisan (baca: puisi). Terakhir, penyair ingin menunjukkan puisi yang selesai diciptakannya kepada pembaca.

Kalau aku menengok beberapa proses kreatif penyair, puisi terlahir lewat penentuan diksi, pengaturan tipografi, penyelarasan bunyi, hingga pengocokan emosi. Aku menelisik proses kreatif penyair adalah pengkristalan hasil tangkapan pancaindera dan pengalaman. Sebab itu, penyair bersusah payah mendekati bahasa dari buku, lisan, peristiwa, hingga mitos. Atau, penyair berupaya merespon bahasa yang hidup di lingkungannya.

Pertanyaan pada awal tulisan ini pernah muncul lagi dalam pikiranku ketika Mardi Luhung mempertanyakan arti puisi pada pembuka buku puisinya, yaitu: Gerbang Bandar (2023). Aku membaca pembuka tersebut, lalu sempat berpikir: Penciptaan puisi bisa menimbulkan keraguan bagi seorang penyair demi keberlangsungan kepenyairannya. Seolah, penciptaan puisi bagi seorang penyair bukanlah kerja yang saklek, melainkan pencarian yang capek.

Selain itu, dalam pembuka buku puisi Gerbang Bandar, aku menangkap Mardi Luhung yang keheranan mengetahui puisi-puisinya dianggap tak masuk akal, semau gue, dan fantastis. Barangkali, anggapan tersebut sangat dihindari Mardi Luhung agar tidak terjebak pada “stempel”. Dan, Mardi Luhung menulis: “…Yang jelas, ketika kalimat pertama terpilih, maka karya sastra yang akan aku tulis, adalah cermin yang menegak di hadapanku…”[1]

Keterangan: Buku puisi Gerbang Bandar yang diterbitkan Basabasi (Juli, 2023).   Dokumentasi: Aji (2023)

Kemudian, aku membaca catatan pendamping yang ditulis oleh A Muttaqin dalam buku puisi Gerbang Bandar. A Muttaqin mengungkapkan bahwa pembacaan puisi mirip menghitung angka “rajah” susunan Imam Ghazali yang selalu berjumlah lima belas.[2] Jadi, pelbagai pembacaan puisi yang dimulai dari arah mana saja, masing-masing pembaca akan berakhir mendapatkan ujung yang sama pada puisi yang dibacanya.

Apa yang diungkapkan A Muttaqin tiba-tiba mengingatkanku pada kisah Orang-Orang Buta dan Gajah dalam buku Kisah-Kisah Sufi (1984) yang dikumpulkan Idries Shah. Kisah itu membahas orang-orang buta yang menilai wujud gajah[3]. Sebab itu, wujud gajah mengalami penilaian yang berbeda dari sudut pandang setiap orang-orang buta. Dan, kisah itu mengandung hikmah perihal perberbedaan pendapat yang sebenarnya beresensi sama.

Aku merasa pembuka dari Mardi Luhung dengan catatan pendamping dari A Muttaqin (yang aku kutip di atas) sama-sama meluncurkan garis ke segumpal pemahaman, bahwa sejauh mana aneka makna yang dilayangkan pembaca tetap tidak dapat melepaskan puisi dari ikatan penciptanya (baca: penyair). Sehingga, jangan-jangan, anggapan tak masuk akal, semau gue, dan fantastis, merupakan tindakan jalan pintas dari pembacaan puisi yang tak utuh.

Dan, lewat ungkapan lain pada catatan pendamping dari A Muttaqin, aku mendapatkan perenungan, bahwa penyair menulis puisi tidak untuk saling mengalahkan satu sama lain.[4] Aku membayangkan penyair bersikeras menjaga ketenangan serta kerendahan hati demi berhasil menciptakan puisi. Aku jadi mengingat pertanyaan pada awal tulisan ini: “Kenapa seseorang ingin menjadi penyair?” Jawaban sementaraku: Usaha seseorang untuk mengalahkan dirinya sendiri.

2. Penataan

Mardi Luhung (Ayahku) memberikan sebuah naskah puisi berjudul Manuskrip Sumur Resapan kepadaku. “Tolong segera kamu layout (baca: tata) naskahku ke bentuk buku,” ucap Mardi Luhung. “Ukuran berapa bukunya, Yah. Apa aku sesuaikan ukuran buku puisi Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya (salah satu karya Mardi Luhung), Yah?” balasku. Mardi Luhung hanya meng-iya-kan, dan memintaku untuk cepat menyelesaikan naskahnya ke bentuk buku.

Kenapa Mardi Luhung meminta cepat? Sebab, Mardi Luhung ingin mempersembahkan buku puisi sebagai kado pernikahan bagi anak perempuannya, atau adikku. “Aku tidak punya apa-apa selain naskah puisi. Aku berharap buku puisi dapat menandakan kebahagiaan yang diberikan penyair untuk keluarganya,” ucap Mardi Luhung. Meski terdengar heroik, aku turut setuju bahwa harta penyair hanyalah puisi.

Lalu, ada keasyikan ketika bertugas menata naskah ke bentuk buku. Keasyikan itu adalah aku turut membaca puisi-puisi Mardi Luhung dalam naskah Manuskrip Sumur Resapan. Aku menyadari puisi-puisi yang aku tata merupakan bagian dari kesibukan Mardi Luhung selaku Ketua RT. Sehingga, aku menangkap bahwa Mardi Luhung—lewat pancaindera dan pengalaman, juga mendekati dan merespon bahasa, yang ditulisnya selaku Ketua RT—mengaduk puisi-puisinya dengan menuangkan sejarah lokal, spiritual, dan kondisi sosial tempat tinggal kami.

Penuangan sejarah lokal yang kental bisa aku ketahui, misal pembacaan penggalan puisi yang berjudul Polaman berikut ini: “Dan bagaimana bisa aku lupa pada sebatang pohon sono. Yang di sebelahnya, sang guru utusan menggali sumur. Sumur jadi telaga. Telaga jadi tempat mencuci diri. Mencuci hati. Dan mencuci sajadah. Yang tergelar demikian panjang sampai pada tempat bendera berkibar.” Aku mengetahui judul puisi dan meraba penggalan puisi itu, bahwa Mard Luhung memasuki kisah sumber mata air sebagai cikal bakal Desa Suci (Kabupaten Gresik).

Kemudian, penuangan spiritual dalam puisi-puisi Mardi Luhung bisa aku mulai pada penggalan penutup puisi Kepada Umur: “…Seperti keterlambatan duka, ketika merasa, bahwa apa-apa yang berguguran pasti akan kembali bertumbuhan. Berkembangan. Dan telah, telah, aku lewati malam-malam yang lebih malam daripada malam itu sendiri.”; lalu pembuka puisi Sajak Umur 60 Tahun: “Bianto telah pergi. Usman telah pergi. Juga Agus, Rustam, dan beberapa teman lain juga telah pergi. Kini, mungkin tinggal Tomo. Tomo seperti aku bergigi ompong…”

Jika aku menelisik tarikh (puisi Kepada Umur bertarikh 2019 dan puisi Sajak Umur 60 Tahun bertarikh 2022), seolah sekuen yang mengarahkan Mardi Luhung ke kesadaran makna kehidupan. Aku mengira hasil kesadaran itu bisa dihubungkan pada penggalan puisi Kulit Bawang berikut ini: “Salah satu dari 40 hikmah yang kau baca itu berbunyi:

‘Segala apa yang telah diusahakan telah dibayar di depan. Karenanya tak tersisa. Dan tak ada yang bisa menolong penitian itu.’”

Terakhir, penuangan kondisi sosial tempat tinggal kami, bisa aku tengok pada puisi-puisi dalam subbab Program yang Berkelanjutan, yang memasukkan imaji kegiatan RT, sepert: kerja bakti, jaga kampung, kebersihan, penghijauan, penerangan, hingga PKK. Semua imaji itu mengikat manfaat yang ditulis Mardi Luhung pada penggalan penutup puisi Si Penulis Puisi Mengurus Soal-Soal Kampung: “Berbaik-baiklah pada genting rumah, sebab melindungi diri dari hujan dan panas. Berbaik-baiklah pada got, sebab melancarkan bekas cucian kampung ke sungai lepas.”

Beberapa hari kemudian, Mardi Luhung bertanya: “Bagaimana menurutmu judul Manuskrip Sumur Resapan?” Aku menjawab kurang suka pemberian judul Manuskrip Sumur Resapan. Alasanku, terasa aneh andai pembaca mengetahui buku puisi yang dipegangnya masih terselip kata “manuskrip” pada bagian judul. Apalagi, sepengetahuanku, kata “manuskrip” merujuk tulisan atau ketikan yang bukan hasil cetakan.

Aku menyadari alasanku begitu lemah. Sebab, judul Manuskrip Sumur Resapan diambil oleh Mardi Luhung dari gabungan dua judul puisi yang termaktub dalam naskahnya, yaitu: puisi Manuskrip dan puisi Sumur Resapan. Kalau aku menengok puisi-puisi dalam naskah, judul Manuskrip Sumur Resapan bisa menjadi pintu terbuka bagi pembaca. Sehingga, di hadapan pembaca, puisi-puisi dalam naskah tidak berdiri sendiri.

“Bagaimana kalau judul Manuskrip Sumur Resapan berganti Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan?” tanya Mardi Luhung suatu hari. Mendengar pertanyaan Mardi Luhung tersebut, aku langsung kaget. “Bagus itu. Terasa arkais, tapi bisa masuk di masa sekarang, Yah,” ucapku. Lalu, atas permintaan Mardi Luhung, aku mengganti judul lama ke judul baru. Meski begitu, judul baru itu tidak benar-benar final.

Memang tidak benar-benar final. Apalagi, aku baru menyadari judul Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan terlalu panjang dan tidak cocok sebagai kado pernikahan. Setelah Mardi Luhung berdiskusi dengan A Muttaqin, judul Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan mengalami pengeditan. Pada akhirnya, penataan puisi-puisi Mardi Luhung berakhir dengan judul final: Gerbang Bandar.

Setelah penataan puisi-puisi Mardi Luhung, aku mulai menata beberapa lukisan Gupuh Priyanto (calon besan Mardi Luhung, sekaligus pelukis asal Gondanglegi, Kabupaten Malang) dan catatan pendamping dari A Muttaqin. Buku Puisi Gerbang Bandar benar-benar terlahir setelah salah satu lukisan Gupuh Priyanto selesai menjadi kover. Dalam rasa kebahagiaan menyelesaikan tugas, aku membaca halaman persembahan buku puisi Gerbang Bandar yang ditulis oleh Mardi Luhung: “Buat Jalan yang telah dipilih oleh Bening Siti Aisyah & Saleksa Srengenge semoga diberkahi Tuhan”.

Keterangan: Enam lukisan yang menghiasi buku puisi Gerbang Bandar. Semua lukisan ini bermedia akrilik di atas kanvas dengan ukuran 30 x 30 cm.   Karya Lukisan: Gupuh Priyanto

Aku menelisik kata “Jalan“ yang dimiringkan dengan huruf “J” kapital. Artinya, kata “Jalan” yang ditulis oleh Mardi Luhung memiliki pengertian khusus. Sebab itu, aku mengangap buku puisi Gerbang Bandar sangat cocok sebagai kado pernikahan, minimal mengingatkan setiap kemana akan berlayar, bahtera rumah tangga tetap berakar, seperti penggalan pembuka puisi Tiga Puisi Nomor 58 berikut ini: “/1// Hidupmu adalah hidupmu. Seperti kuda belang atau kucing babon, itu pilihanmu. Yang pasti, bau lada, kunyit, dan jahe merah terus mengiringimu…”

3. Pertemuan

Di Manyar (Desa Suci, Kabupaten Gresik), Jumat, 7 Juli 2023, kira-kira pukul 07.30 WIB, orang-orang yang menghadiri ijab kabul telah sama-sama berucap sah, pertanda penghulu meresmikan Saleksa Srengenge dan Bening Siti Aisyah sebagai suami dan istri, sehingga keluarga Mardi Luhung berbesan dengan keluarga Gupuh Priyanto. Lalu, dari ijab kabul, acara pernikahan berlanjut ke walimah dan resepsi. Aku melihat para undangan disambut pengantin. Dan, aku merasa seharian rumah pengantin pihak perempuan memancarkan kebahagiaan meski hujan sempat lewat.

Dua hari kemudian (Minggu, 9 Juli 2023), acara pernikahan berpindah dari Manyar ke Gondanglegi (Kabupaten Malang). Kira-kira 11.30 WIB, keluarga Mardi Luhung bersilaturahmi ke Kopi Latar—rumah pihak laki-laki (keluarga Gupuh Priyanto). Lalu, setelah asar, keluarga Gupuh Priyanto dan keluarga Mardi Luhung didatangi teman-teman seniman yang tergabung dalam Komunitas Arepsego dan Dewan Kesenian Kabupaten Malang (DKKM). Kedatangan teman-teman seniman menjadi acara tersendiri dengan membuka diskusi.

Sebuah backdrop berukuran 3 x 2.5 meter terbentang. Dalam backdrop itu, aku membaca tajuk diskusi: Bincang Buku Gerbang Bandar Kumpulan Puisi. Di depan backdrop itu, Gupuh Priyanto dan Mardi Luhung duduk bersanding di sofa. Sebelum memulai diskusi, teman-teman seniman memperoleh suvenir berupa buku Gerbang Bandar. Mereka (teman-teman seniman) duduk secara acak di bangku sembari menikmati segelas kopi.

Marsam Hidayat, atau Cak Marsam, seniman macapat asal Kabupaten Malang, membuka diskusi dengan mengidungkan sebuah macapat (bentuk puisi Jawa tradisional). Setelah itu, Mardi Luhung bercerita perihal Cak Marsam yang mengingatkannya dengan almarhum Wak Nurul Huda (seniman tradisi macapat asal Gresik), bahwa seniman tradisi sebenarnya berpikiran modern. Lalu, Mardi Luhung menukil baris macapat yang dikidungkan Cak Marsam, “uwong ngesot ngideki jagat”. Terasa “ngeri” bagi Mardi Luhung yang mendengar “uwong ngesot ngideki jagat” dan menafsir sebagai kebaikan dan keburukan jadi satu.

Keterangan: Suasana diskusi buku puisi Gerbang Bandar dengan Cak Marsam—memegang mikrofon—sedang mengidungkan macapat.   Dokumentasi: Aji (2023)

Lewat Cak Marsam yang mengingatkannya dengan almarhum Wak Nurul Huda, Mardi Luhung membahas tidak ada kebetulan dalam kesenian, kecuali kebertemuan yang saling bertautan. Lalu, Mardi Luhung menghubungkan peristiwa pertama kali bertemu dengan Gupuh Priyanto di Kopi Latar. Akibat pertemuan itu, Mardi Luhung dapat menciptakan puisi—termaktub dalam buku puisi Gerbang Bandar—yang berjudul Gondanglegi.

Kemudian, Gupuh Priyanto mengisahkan bagaimana beberapa lukisannya menghiasi halaman di buku puisi Gerbang Bandar. Gupuh Priyanto mengaku baru mengetahui lukisan-yang-telah-jadi bisa sebagai ilustrasi. Padahal, Gupuh Priyanto membayangkan—ketika Mardi Luhung meminta lukisannya untuk buku puisi Gerbang Bandar—dirinya harus menciptakan lukisan baru. Lain itu, Gupuh Priyanto meminta kepada teman-teman seniman, setelah diskusi, dapat urun coretan di kanvas yang telah disiapkannya.

Pada seksi terakhir diskusi, Cak Marsam mengidungkan lagi beberapa macapat. “Kami ingin mengenalkan sebanyak-banyaknya tentang macapat Malangan,” ucap Cak Marsam yang sudah berpindah duduk di sebelah Mardi Luhung. Salah satu macapat yang dikidungkan Cak Marsam mengenai ajakan berdoa kepada Tuhan.

Dan, aku mendengar: “//ayo bareng ayo dungo/ nyuwun seng nang kuasa/ ayo ayo bareng dungo/ menenteramkan nusantara//”.

Sebelum teman-teman seniman undur diri dari diskusi di Kopi Latar, sebingkai kanvas—kira-kira berukuran 60 x 60 centimeter dan telah tersapu warna oranye dan kuning—dihadirkan Gupuh Priyanto. Lalu, sesuai nama yang dipanggil oleh Gupuh Priyanto, satu per satu dari teman-teman seniman membumbuhi warna pada bagian kanvas. Hanya Mardi Luhung yang menuliskan sebuah tulisan buat Cak Marsam. Tulisan yang merespon baris “uwong ngesot ngideki jagat”, yaitu: “//orang lumpuh mengitari jagat/ cinta tak pernah sekarat//”.

Beberapa hari kemudian, Mardi Luhung mengirimkan sebuah foto lukisan kepadaku. Lukisan itu adalah hasil final urun coretan setelah diskusi buku puisi Gerbang Bandar. Aku menelisik lukisan itu telah diselesaikan Gupuh Priyanto menjadi lukisan abstrak yang dinamis. Kedinamisan itu dapat aku rasakan dari beberapa goresan warna (merah, hitam, dan biru) yang membentuk garis diagonal. Dan, Gupuh Priyanto memberikan judul lukisan itu: Ikan-Ikan di dalam Angan.

Keterangan: Bagian A, Lukisan urun coretan yang belum diselesaikan Gupuh Priyanto; Bagian B, Lukisan urun coretan yang telah diselesaikan Gupuh Priyanto.   Dokumentasi: Aji—bagian A; dan Gupuh Priyanto—bagian B (2023)

Lukisan Ikan-Ikan di dalam Angan membetot diriku untuk memahami lagi apa maksud kebertemuan yang diucapkan Mardi Luhung. Aku mengira lukisan Ikan-Ikan di dalam Angan menjadi narasi lain, perihal pertemuan yang menggetarkan silang kreativitas, antara laut dan gunung, penyair dan pelukis, tradisi dan modern, hingga suami dan istri. Semua silang kreativitas itu adalah gerak dari pertemuan yang tak terduga. Pertemuan yang digariskan Tuhan. Sehingga, aku mengingat kembali kidungan Cak Marsam mengenai ajakan berdoa kepada Tuhan, yang bahasa Indonesia utuhnya begini: “//ayo bersama ayo berdoa/ Minta Yang Maha Kuasa/ ayo ayo bersama berdoa/ menenteramkan nusantara//”.**

Daftar Pustaka

Mardi Luhung (2023), Gerbang Bandar, Yogyakarta: Basabasi.

Idries Shah (1984), Kisah-Kisah Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus


[1] Mardi Luhung (2023), Gerbang Bandar, Basabasi: Yogyakarta. (Hal: 10-11).

[2] Dalam buku puisi Gerbang Bandar karya Mardi Luhung, A Muttaqin menulis catatan pendamping Bonsai, Kura-kura, dan “Rajah” Imam Ghazali, yaitu: “Dalam beberapa hal, tatkala membaca puisi kita kerap dihadapkan pada perkara seperti menghadapi angka-angka susunan Imam Ghazali. Kita dapat membaca dan mendekati puisi itu dari mana saja, dengan teori yang kita ambil dari kanan dan kiri, menghubungkan dengan pengalaman ini dan itu yang kita pungut dari atas atau bawah, dari samping atau tengah, tapi kita tetap akan dihibungkan denga—dalam puisi Mardi Luhung “Kulit Bawang” disebut—semacam tali, yakni semacam susunan, bunyi, atau imaji yang kita gambar di kepala dan di sana kita akan mendapati sesuatu, semacam pola , urutan, atau susunan yang kita sebut makna, mendapatkan angka 15 yang menjadi milik kita masing-masing.” (Hal: 99-100).

[3] Dalam buku Kisah-Kisah Sufi, kisah Orang-Orang Buta dan Gajah terkenal dalam versi Rumi dan hakim Sanai, dan Idries Shah memberikan catatan: “Kedua kisah itu merupakan penyampaian cara pemikiran yang sama, yang menurut tradisi, telah dipergunakan oleh guru-guru Sufi selama berabad-abad.” (Hal: 70).

[4] Dalam buku puisi Gerbang Bandar karya Mardi Luhung, A Muttaqin menulis catatan pendamping Bonsai, Kura-kura, dan “Rajah” Imam Ghazali, yaitu“…Dalam dunia kepenulisan, lantaran ukurannya bukan menjadi yang terdepan, tapi nila-nilai yang sangat longgar untuk diperdebatkan, yang utama bukan mengalahkan penulis lain, tetapi bagaimana seorang penulis mencapai kesadaran bahwa karya yang sekarang harus lebih baik dari karya sebelumnya…” (Hal: 93)

Pagi, 14 Februari 2023, tepat Hari Kasih Sayang, Mardi Luhung – penyair sekaligus ayahku – diundang oleh Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik untuk berbagi pengajaran cipta puisi kepada para peserta didik yang masih kelas tiga, empat, dan lima. Lalu, waktu beranjak duhur, lewat aplikasi WhatsApp, Mardi Luhung mengirim beberapa foto perihal dirinya bersama para peserta didik kepadaku. Mardi Luhung juga mengirim pesan: “Ini kegiatan literasi. Di lapangan desa. Grogi aku.” Aku hanya membalas pesan: “Fotonya bagus, Yah.”

Sore, di rumah sepulang dari pengajaran cipta puisi, aku mendengarkan cerita Mardi Luhung, betapa antusias para peserta didik menulis puisi. “Aku memberi tema peliharaan,” ucap Mardi Luhung yang bersamaan menyerahkan sebuah foto kertas coklat berisi puisi, “ini puisi yang Ayah sukai.” Aku membaca judul puisi dalam foto kertas coklat adalah Bingo. Dan, puisi Bingo ditulis oleh Habibi, salah satu peserta didik kelas tiga. Lewat pembacaan judul, kata Bingo mengingatkanku pada nama permainan, serta kata-seru yang menunjukkan perasaan beruntung.

Tapi, dari cerita Mardi Luhung, aku baru mengetahui, bahwa Bingo adalah nama anjing yang menjadi peliharaan Habibi. Bukan anjing sebagai hewan nyata, melainkan khayal. Jadi, Habibi menciptakan dan memelihara Bingo di ruang imajinasi. Lewat pembacaan utuh puisi Bingo, aku memahami bagaimana Habibi memberikan wujud pada anjing peliharaannya, yaitu: //warnanya biru/ matanya hitam/ makanannya tulang ikan/ kakinya tinggi/ bulunya biru/ guk-guk/ kalau malam sering guk-guk/ tiba-tiba saya kebangun/ dengar suara guk-guk//.

Aku kagum pada wujud Bingo yang digambarkan Habibi. Wujud Bingo yang tidak mirip anatomi anjing pada umumnya, sebab memiliki bulu bewarna biru dan berkaki tinggi. Apalagi, makanan Bingo adalah tulang ikan, bukan tulang sapi atau kambing. Lain itu, suara guk-guk seolah pertanda Bingo suka membangunkan Habibi untuk bermain, seolah tidak ada lagi sekat antara nyata dan khayal. Aku membayangkan, di ruang imajinasi, Habibi penuh riang menaiki Bingo yang melompat-lompat.

Keterangan: Pengajaran cipta puisi dalam pertemuan pertama di lapangan desa Foto: Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik, 2023  

Tidak hanya seputar puisi Bingo, Mardi Luhung juga bercerita, bahwa pengajaran cipta puisi yang terlaksana pada tanggal 14 Februari 2023 sebagai pertemuan pertama. Artinya, ada pertemuan-pertemuan berikutnya yang akan dilalui. Dan pada pertemua kedua atau berikutnya nanti, tidak lagi berada di lapangan desa, melainkan tempat Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Selesai bercerita, Mardi Luhung memintaku agar menemaninya pada pertemuan kedua yang terlaksana pada 11 Maret 2023. Aku meng-iya-kan permintaan Mardi Luhung.

Pariwasata Mangrove Desa Karangkiring

Kira-kira pukul 09.30 WIB, 11 Maret 2023, aku dan Mardi Luhung tiba di UPT SD Negeri 20 Gresik. Aku baru mengetahui bahwa UPT SD Negeri 20 Gresik berada di tengah perkampungan pesisir, Desa Karangkiring, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Setelah memarkir sepeda motor, aku mengikuti Mardi Luhung dari belakang. Lalu, ketika Mardi Luhung masuk di ruang guru, aku langsung menengok para peserta didik yang mengenakan seragam pramuka. Aku melihat para peserta didik sedang duduk berjejer sembari memegang meja lipat dan polybag kecil berisi tanaman krokot.

Tidak sampai 10 menit, aku dan Mardi Luhung meninggalkan UPT SD Negeri 20 Gresik untuk menuju Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Di muka gerbang, sebelum Mardi Luhung menarik hendel sepeda motor, datang Muhammad Gus Maulana Yasin (aku memanggilnya Gus Yasin), salah satu anggota Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik. Lalu, Gus Yasin ikut bersama kami ke Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Dalam perjalanan, kami melewati tiga atau empat gang, lalu satu jalan dengan sekeliling semak-semak. Barangkali, jarak antara UPT SD Negeri 20 Gresik dengan Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring sekitar kurang lebih 900 meter.

Keterangan: Suasana Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring dilihat dari bale. Foto: Aji, 2023  

Aku memerhatikan tidak ada papan nama Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring, kecuali area parkir, mangrove, dan geladak (jembatan tanpa pegangan tangan untuk memarkir perahu). Berkat lebatnya mangrove, hawa Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring terasa sejuk. Dan, tidak terasa sunyi, sebab lagu dangdut dari sistem suara elektronik dinyalakan dari kejauhan. Jadi, lagu dangdut itu mengiringi setiap langkah kami (aku, Mardi Luhung, dan Gus Yasin) berada di Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Aku memerhatikan lagi, bahwa geladak yang berlebar 150 centimeter itu cukup dilewati dua orang yang berdampingan. Meski begitu, seseorang tidak boleh berlarian di atas geladak demi keamanan dirinya.

Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring memiliki dua sisi, kiri dan kanan, kalau aku mengacu posisi mulai masuk dari atas geladak. Dua sisi itu terdapat tempat, yaitu: pada sisi kiri, berdiri warung dan bale (tempat istirahat para nelayan); sedangkan pada sisi kanan, berdiri beberapa gazebo seluas 3 meter x 3 meter. Wisatawan dapat membeli makanan dan minuman serta bercengkerama dengan nelayan atau penduduk setempat pada sisi kiri. Lalu, wisawatan dapat menikmati suasana pantai Desa Karangkiring yang ditumbuhi mangrove atau tempat tongkrong bersama keluarga di gazebo pada sisi kanan. Serta, pada sisi kanan, wisawatan dapat berswafoto atau memancing ikan di salah satu sudut.

Untuk pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua, Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik mengajak para peserta didik pada sisi kanan Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Ketika para peserta didik tiba, aku melihat mereka berbaris rapi dan masuk satu per satu ke dua gazebo. Enam peserta yang tidak kebagian tempat di gazebo harus duduk bersama Tim Literasi di atas geladak. Setelah duduk, salah satu Tim Literasi meminta para peserta didik untuk menggunakan meja lipatnya. Beberapa peserta didik malah sibuk sendiri dengan tanaman krokot yang mereka bawa dari UPT SD Negeri 20 Gresik. Tapi, suara para peserta didik tidak begitu bising, sebab kalah dengan kemerduan lagu dangdut dari sistem suara elektronik.

Literasi 20

Spanduk berukuran 250 centimeter x 200 centimeter dipasang oleh Tim Literasi pada salah satu gazebo. Dalam spanduk itu bertulis “Literasi 20” sebagai nama kegiatan. Barangkali angka “20” mengacu pada nama sekolah. Sedangkan, kata “literasi” menjadi nama kegiatannya untuk tujuan perkembangan bakat para peserta didik. Perihal tujuan literasi itu, aku merasa telah tercanangkan di pelbagai sekolah di Gresik. Apalagi, dalam pengertianku, literasi adalah kegiatan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, penggunaan kata “literasi” berhubungan dengan semua pengajaran di sekolah.

Sebelum pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua dimulai, aku mendengarkan pengarahan Gus Yasin kepada para peserta didik. Pengarahan mengenai tanaman krokot yang baru diterima oleh para peserta didik di UPT SD Negeri 20 Gresik. Gus Yasin menjelaskan bahwa para peserta didik harus merawat tanaman krokot. Kalau tanaman krokot mati? Para peserta didik segera melaporkan pada Gus Yasin atau Tim Literasi yang lain. Atau, tiap peserta didik yang tanaman krokotnya mati dapat meminta potongan cabang tanaman krokot milik temannya. Sebab, tanaman krokot mudah tumbuh hanya dengan potongan cabang yang menancap dalam tanah.

Aku menganggap tanaman krokot yang diberikan para peserta didik untuk merawatnya adalah bagian dari literasi. Barangkali, Tim Literasi ingin mengajarkan kepada para peserta didik mengenai tanggung jawab dan kepedulian terhadap tanaman. Dan, perihal perawatan tanaman krokot, para peserta didik juga memeroleh kosakata baru setelah mendengarkan pengarahan Gus Yasin. “Pak, apa itu penyiangan?” tanya salah satu peserta didik. Gus Yasin langsung menjelaskan bahwa penyiangan adalah tindakan mencabut rumput yang tumbuh di sekitar tanaman krokot.

Bagiku, tanya-jawab antara Tim Literasi dengan para peserta didik begitu penting sebagai bagian dari literasi. Tidak hanya Tim Literasi saja, juga tanya jawab antara Mardi Luhung dengan para peserta didik, seperti pertanyaan salah satu peserta didik setelah Mardi Luhung memberikan tema tanaman: “Apakah selain menulis puisi, juga tanamannya digambar, Pak?” Mardi Luhung tidak menjawab langsung pertanyaan itu, tapi bertanya kepada para peserta yang lain: “Apakah pakai digambar?” Serentak para peserta yang lain menjawab: “Tidak, Pak!” Nah, jawaban serentak para peserta yang lain menjadi jawaban atas pertanyaan salah satu peserta didik.

Keterangan: Mardi Luhung memberikan tema tanaman kepada para peserta didik. Foto: Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik, 2023
 

Aku menangkap bahwa kegiatan “Literasi 20” telah menempatkan orang dewasa (Gus Yasin dan Mardi Luhung) sebatas pendamping bagi anak-anak (para peserta didik). Sebatas pendamping yang meletupkan keingintahuan dan kemauan untuk berkreasi. Sehingga, orang dewasa memberikan pemahaman yang lebih mudah dicerna oleh anak-anak. Ya, ketika sebagian peserta didik masih ragu menuliskan jenis tanaman apa sebagai puisi, Tim Literasi dan Mardi Luhung harus sigap memberikan contoh jenis tanaman yang diketahui mereka, bisa mawar, kamboja, anggrek, tin, cemara, hingga mangrove.

Puisi Bertema Tanaman

Ada sekitar enam puluh peserta didik yang mengikuti pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua di Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Di tengah pengajaran cipta puisi, ada pembacaan puisi yang dimulai dari pertanyaan dari Mardi Luhung: “Siapa yang mau baca puisi? Boleh kok baca puisi walau belum selesai menulis.” Sebagian besar dari para peserta didik masih terlihat malu membacakan puisi karya sendiri. Tapi, beberapa anak justru mengacungkan jari dan memberanikan diri, seperti peserta didik kelas tiga yang bernama Dita.

Judul puisi yang Dita tulis adalah Bunga Sedap Malam. Berikut kutipan utuh puisi Bunga Sedap Malam, yaitu: //setiap hari aku menyiram bunga/ sedap malamku. setiap malam aku/ menghirup bunga sedap malamku/ dan kukasih nama satu malam indah./ dan aku selalu memetik bunga. yang/ layu aku merasa sedih karena/ bungaku sendiri. jadi aku beli 2 bunga/ sedap malam dua bunga itu kukasih/ nama malam dan indah agar ada/ sama sedikit. bunga yang sangat/ harum sekali warnanya putih./ hari yang lalu. mama papaku/ tidak punya uang dan aku punya/ ide. ideku adalah menjual 3 bungaku/ itu pengalaman tersedihku tapi tidak papa//

Keterangan: Peserta didik kelas tiga yang bernama Dita membacakan puisinya berjudul Bunga Sedap Malam. Foto: Aji, 2023  

Aku sangat tertarik mendengarkan puisi Bunga Sedap Malam, sebab Dita memberikan nama, antara lain: Satu Malam Indah, Malam, dan Indah. Lain itu, Dita memberikan dua kesedihan dalam puisinya terhadap tanaman dan orang tua. Dua kesedihan yang digambarkan Dita, yaitu: …aku merasa sedih karena/ bungaku sendiri. jadi aku beli 2 bunga/ sedap malam… dan /hari yang lalu. mama papaku/ tidak punya uang dan aku punya/ ide. ideku adalah menjual 3 bungaku/ itu pengalaman tersedihku tapi tidak papa//.

Pembacaan dua kesedihan yang aku kutip dari puisi Bunga Sedap Malam di atas memerlihatkan empati aku-lirik terhadap tanaman dan orang tua. Aku-lirik juga tidak larut dalam dua kesedihan karena memiliki solusi, misal membeli dua tanaman agar tanamannya tidak sendirian, serta terpaksa menjual tiga tanaman ketika orang tuanya membutuhkan uang. Frasa tidak papa pada penutup puisi Bunga Sedap Malam menandakan aku-lirik begitu teguh atas tindakannya. Aku merasa tersentuh bagaimana cara Dita menghadirkan dua kesedihan dalam puisinya.

Selesai pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua ini, para peserta didik telah pulang, Nita Agustian, anggota Tim Literasi yang lain, memerlihatkan kepadaku setumpuk kertas coklat berisi puisi. Puisi yang ditulis oleh para peserta didik. Dalam pembacaan ringkasku, ternyata beberapa dari para peserta didik telah menulis jenis tanaman yang sama, seperti mawar. Penulisan puisi yang mengambil jenis tanaman yang sama menandakan beberapa dari para peserta didik memiliki pengalaman serupa, misal mawar bewarna merah, memiliki duri yang unik, hingga bau yang wangi.

Keterangan: Karya-karya peserta didik yang didokumentasikan Foto: Aji, 2023  

Sebagai penutup tulisan ini, aku mengutip utuh puisi dari peserta didik kelas tiga yang bernama Rahel, berjudul Pohon Jambu, yaitu: //di rumahku ada pohon jambu yang besar/ jambu itu berbuah dengan sangat besar/ aku menyukai rasa jambunya karena manis dan enak/ setiap hari aku mengambil jambunya karena enak/ aku sungguh suka dengan jambu itu/ tetapi kalau malam jambu itu dimakan kelelawar/ kelelawar sungguh suka dengan jambu karena manis// Dari apa yang disampaikan Rahel dalam puisi Pohon Jambu, aku menangkap kesinambungan antara makhluk hidup (manusia, tumbuhan, dan hewan). Kesinambungan itu menjadi poin penting dari pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua ini. Dan, para peserta didik bisa mengembangkannya pada pertemuan-pertemuan berikutnya.