Author Archives: Chubbi Syauqi
Dari kejauhan, desa Tambaknegara, Banyumas tampak layaknya desa di Jawa lainnya, dikelilingi oleh rimbun pepohonan dan hamparan persawahan. Perbukitan berundak hijau mengapit desa bagai zamrud khatulistiwa. Jika orang melihat lebih dekat, niscaya mereka terpesona. Begitulah saya ketika tiba di Desa Tambaknegara, lebih tepatnya Grumbul Kalitanjung, pada tengah hari, tatkala jalanan beraspal dan kuik elang mengepak selurus surya. Desa Tambaknegara berada di Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. Di sini, tinggal seorang “Jawa Islam”, Muharto namanya. Ia berumur, kurang lebih, 75 tahun. Saya berkenalan dengan Mbah Muharto setelah terlebih dulu membaca artikel dari langgar.co berjudul “Menziarahi Muharto, Sosok ‘Jawa Islam’ dari Kasepuhan Kalitanjung”. Darinya, saya tergoda untuk sowan ke rumahnya.
Tak sulit mencari tempat tinggalnya, karena Mbah Muharto sangat dikenal oleh masyarakat. Bagian depan rumah Mbah Muharto disesaki oleh jemur olahan singkong. Begitu saya mengucap salam, terdengar suara lelaki dengan nada berat berujar salam. Berbarengan dengan itu, pemilik suara muncul di ambang pintu dengan iket kepala berkilau diselimuti sinar matahari. Keriput di wajahnya tersepuh cahaya: ia tampak sumringah.
“Apa betul ini rumahnya Mbah Muharto”. Saya bertanya setengah bingung.
Saya bersalaman dan memperkenalkan diri lebih lanjut.
Mbah Muharto tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia semacam mengerti maksud kedatangan saya, sebab ia terbilang sering didatangi orang dengan tujuan sama: ngangsu kawruh (menimba ilmu/pengetahuan). Ia mempersilahkan saya duduk di risban menghadap meja tua. Ia pun duduk di depan saya sembari meracik rokok.
“Saya sedang sakit dari kemarin. Mau tidur, tapi batal. Ini sudah agak mendingan. Pertanda ada tamu, eh, ternyata sampean.” Ia berujar dengan riang seolah dirinya dalam keadaan sehat.
Mbah Muharto merupakan sosok kasepuhan “Jawa Islam” (Kejawen) yang berada di Grumbul Kalitanjung, Desa Tambaknegara. Kepada saya, Mbah Muharto bercerita perihal “Jawa Islam”.
Menurutnya, kejawen yang ia anut merupakan corak keberislaman yang disebarkan oleh Raden Watiswara (Sunan Panggung).
Sunan Panggung merupakan anak Sunan Kalijaga, sekaligus saudara kembar Dewi Wretiswari (Ibu dari Jaka Tingkir). Berbagai kajian menyatakan bahwa Ia merupakan penyuluh agama Islam cum penyuluh ajaran tasawuf bersifat heterodoks. Ia tak jauh berbeda dari gurunya, Syekh Siti Jenar, yang mengajarkan tasawuf dengan unsur-unsur sinkretik antara Islam dengan spiritual Jawa, utamanya tentang Manunggaling Kawula Gusti yang pantheistic: yakni perilaku tasawuf yang hanya mementingkan aspek batin atau kebatinan saja, mengutamakan hakekat dan mengabaikan syariat, ajarannya lebih mengutamakan karomah dan kesaktian dengan melupakan tata cara sembah yang benar, sebagaimana ditetapkan oleh syariat.
Sunan Panggung (Malang Sumirang)
Ajaran tasawuf dari Sunan Panggung tentunya vis a vis dengan para wali di kerajaan Demak. Ia kemudian mendapat pertentangan dari kerajaan Demak yang menyebarkan tasawuf ortodoks, yakni tasawuf yang dekat dengan syariat Islam, berupa karya sastra suluk bercorak pemikiran tasawuf di pusat Islam. Kata ortodoks berasal dari bahasa Inggris “orthodox” yang artinya “sesuai dengan aturan yang baku; dipraktekan lebih ketat” (Abdul Munir M, 1999). Sunan Panggung bernasib seperti gurunya. Ia mendapat hukuman dari kerajaan Demak sebagaimana dikisahkan dalam Babad Jaka Tingkir. Dikisahkan, Sunan Panggung, tatkala usia 17 tahun, telah memperoleh “Ilmu Sejati” dari Sunan Giri Prapen. Sampai-sampai ia mendapat ‘wahyu’ dan sama-sama sekehendak dengan Yang Maha Mengetahui. Dalam babad, tertulis: Sinung wahyu dinulur sakapti/ denira Hyang Manon.
Sungguh pun begitu, dalam baris kemudian, eulogi Sunan Panggung diinterupsi dengan gambaran yang berbeda. Ia dicandrakan sebagai sosok heresi berjuluk “Malang Sumirang”, yang berarti hanya mengikuti kemauan sendiri (ngungu karepe dhewe). Perilakunya berseberangan dengan syariat, seperti: tak mau sembahyang di masjid. Ia congkak dan provokatif. Ia juga memelihara dua ekor anjing bernama Iman dan Tokid. Hal ini mengingatkan saya akan sosok Kiai Mutamakin, Kajen yang juga memelihara anjing, binatang yang dianggap najis oleh kebanyakan muslim di Jawa. Perilaku Malang Sumirang tentu saja mengusik para petinggi agama di Demak. Sunan Kudus lantas memberi nasihat agar ia berada di jalan syariat. Tak berhasil, akhirnya dewan para wali bersepakat, Malang Sumirang harus menerima hukuman mati.
Syahdan, tiba saatnya di suatu hari yang cerah, Malang Sumirang diarak ke alun-alun Demak. Ia hendak dihukum bakar. Tak disangka, saat cerita sampai pada hukum bakar, hati saya bergumam. Nama lain seketika bangkit, menyeruak di ruang kepala: Ibrahim di Babylonia dan Mansur Al-Hallaj. Dalam Babad Jaka Tingkir, Malang Sumirang digambarkan sosok yang tak gentar dihukum bakar:
…
Malang Sumirang wus prapti
Millya lenggah anggene wali sosoran
Sonane alit binekta,
Ngadhep ing ngayunireki,
Malang Sumirang ayem neggih
…
Malang Sumirang tiba
Lalu duduk di tempat wali rendahan
Ia membawa juga anjing kecilnya
Yang menghadap di depannya,
Rona wajahnya cerah,
Benar-benar tenang
Sunan Kudus, sang eksekutor Syekh Siti Jenar dan Ki Pengging, kembali diutus Raja untuk membakar Malang Sumirang. Disaksikan oleh Sunan Drajat, beserta para ulama dan wali, adipati dan punggawa lain duduk berkeliling untuk menyaksikan eksekusi itu. Tak ayal, Sunan Kudus pun menyalakan api, setelah mengatakan bahwa tindakannya bersanding hukum syariat. Ia berujar: ‘ijma’ dan qiyas’ telah pasti, tak boleh bergeming walau se-rambut. Mendengar ini Malang Sumirang menjawab: “Sebelum aku dibakar, berilah aku kertas serta tinta”. Rupanya ia ingin menulis wasiat. Permintaan pun dipenuhi. Dan api unggun berkobar sebagaiamana digambarkan:
Melanda minyak dan reranting
Menjilat-jilat mengerikan
Api membumbung ke angkasa
Menggeram suaranya
Yang menyaksikan pun merinding
Tapi Si Malang Sumirang bergegas
Pamit sambil memberi salam.
Ia segera naikKe atas unggun di utara beringin kurung.
.
Tak ketinggalan anjingnya
Yang ikut di belakangnya
Setiba di atas unggun
Ia terjun ke dalam api
Dan sesampainya di tengah nyala
Ki Seh duduk bersila
Si anjing menghadap di depan
Tak terjemah oleh api
Lalu Ki Seh memerintahkan anjingnya.
.
Supaya kembali mengambil
Kertas, pena, dan tinta
Yang ditinggalkan di tempat duduknya
Yang akan ia gunakan untuk menulis.
Si anjing pun degan cekatan kembali
Tiba di tempat semula
Lalu mengambil kertas
Serta pena, tinta, yang ketinggalanDan masuk kembali ke julangan api.
…
Malang Sumirang pun segera
Mulai menulis
Ditengah-tengah kobaran api.
Sungguh pun begitu, Malang Sumirang tak termakan api. Ia seperti Ibrahim dilemparkan ke dapur api, tetapi diselamatkan oleh malaikat Jibril dan api pun berubah jadi taman mawar. Di tengah kobaran api, ia muncul dan menghasilkan karya tulis (suluk). Diiringi anjingnya yang membawa karya tulisnya, ia kembali duduk dalam majlis. Si anjing juga duduk, menjunjung tulisan tuannya bersama tinta dan pena. Karya tulis Sunan Panggung itu kelak bernama “Suluk Malang Sumirang”. Suluk itu kemudian dibacakan oleh seorang ‘juru pamaca’ yang disuruh Raja untuk mengumandangkannya ke publik hari itu juga. Sedangkan Malang Sumirang lantas meninggalkan alun-alun, pergi meninggalkan kraton, para wali, dan puak yang membakarnya. Ia beruzlah ke hutan lebat kalampiasan, tempat yang wingit, sepi, asing dari manusia.
Suluk Malang Sumirang
“Kisah Malang Sumirang memuat banyak pasemon” ujar Mbah Muharto sembari mengepulkan asap kretek. Sejenak saya terpikir akan makna pasemon, lebih tepatnya sinonim berupa “metafor”. Kata ‘semu’ berarti ‘perlambang’, atau alegori. Maka salah benar bila metafor diterima sebagai konsep. Kisah Malang Sumirang yang dihukum bakar oleh Sunan Kudus (atas perintah Raja Demak) merupakan preseden benturan dalam kehidupan agama yang pada akhirnya membentuk dikotomi klasik: di satu sisi, penegak syari’at sebagai penyangga kekuatan iman, di sebrangnya, mereka yang lebih cenderung ke tasawuf sebagai praktis ketulusan iman. Adapun Sunan Kudus, ia merupakan orang yang berpikir legalistis, menegaskan hidup keagamaan sebagai arsitektur sosial, dengan aturan yang pasti, dengan kepemimpinan yang jelas, dan dengan semangat untuk mengukuhkan konsolidasi secara kontinyu.
Bagi Sunan Kudus, sosok Sunan Panggung tak ubahnya sebagai pendosa yang “melembek-kan” Islam. Sunan Kudus adalah seorang yang hendak menegakkan agama sebagai komunitas yang kukuh, seorang yang mendukung tata sosial dan politik yang mengayomi Kerajaan Demak. Mau tak mau, penolakan dari Sunan Panggung untuk mengukuhkan komunitas itu, dipersepsikan Sunan Kudus sebagai sikap yang anarki dan membangkang. Ia layak dilumat dalam api. Dalam hal ini, api dan altar Malang Sumirang dalam menulis suluk adalah pasemon (metafor). Api dapat bermakna sebagai energi destruktif, namun bisa juga bersifat menggerakan. Pasemon (metafor) api menurut Mbah Muharto: Api itu An-nar (panas) atau An-Nuur (cahaya). Saya mengamini perkataan Mbah Muharto. Api merupakan metafor yang kuat, dengan arah yang beragam.
Api adalah terang, dan terang itu bisa menyingkirkan nuansa. Batas antara hitam dan putih jadi terlampau tegas. Panas bisa menjadi sekutu dari hitam, dan terang bisa menjadi sekutu dari putih, yang memberi kekuatan untuk menguasai sepenuhnya ruang yang ada. Dengan kata lain, api adalah pasemon (metafor) dengan dinamikanya sendiri, mulai dari Ibrahim, Mansur Al-Hallaj hingga Sunan Panggung. Sungguh, sejarah berkali-kali mencatat pembinasaan atas keyakinan, (atau karya: sastra; suluk) hanyalah sia-sia belaka, kata Goenawan Mohamad. Pemusnahan justru menjadi pemicu munculnya daya yang lain, daya baru, dari dalamnya. Tak jarang sang korban; tokoh; ajaran; karya sastra jadi bercahaya. Ia menarik perhatian dan memberi “pencerahan”.
Anjing peliharaan Malang Sumirang juga berlaku sebagai pasemon (metafor). Sunan Panggung atau Malang Sumirang, dikisahkan menyuruh anjingnya ikut menyiapkan dan membawa Suluk Malang Sumirang. Tampak di sini bahwa Sunan Panggung agaknya memposisikan karya suluknya bukan sebagai karya yang adiluhung. Karyanya bergerak di bawah, di lapisan yang dihinakan, bukan majelis orang-orang di atas. Walaupun begitu, preseden tersebut memunculkan sebuah metamorfosis. Sang anjing cenderung menjunjung karya suluk itu sebagai lambang kebesaran. Kejadian ini terjadi pasca Malang Sumirang, tuannya, keluar dari api dengan sambutan bagaikan Rin Tin-Tin.
Sang anjing pun duduk sembari membawa laiknya tanda kebesaran: Tulisan, tinta, dan pena. Di momen itu, Suluk Malangsumirang sebagai karya sastra yang bersifat ‘subversif’ berada di ambang perubahan ‘sastra agung’, di mana mereka yang rendah di bawah hanya ikut ngampil-ampil. Tapi untunglah, kisah tak berhenti di sini. Pembacaan suluk itu dihentikan, dan kemudian Malang Sumirang menjelang ke dalam hutan Kalampiasan yang wingit. Hutan Kalampiasan menjadi pasemon terakhir. Dalam hutan itulah, ia sendirian, yang singular, yang tak dihimpit oleh desakan merayakan komunitasnya.
Penceritaan Mbah Muharto semakin seru. Ia menyodorkan kepada saya perihal Kitab Menyuri. Kata menyuri merupakan akronim dari me: menuju dan nyuri: sunyo ruri (kematian). Kitab tersebut memuat berbagai kumpulan suluk, diantaranya: Suluk Syekh Abdus Salam, Suluk Linglung, Suluk Kentrung, Suluk Rancang, dan Suluk Malang Sumirang. Kitab ini menjadi semacam pedoman bagi para penganut “Jawa Islam” desa Tambaknegara. Kitab Menyuri bertuliskan aksara Jawa, dan saya tak dapat membacanya. Kitab itu dipegang teguh oleh para “Jawa Islam” dan sesekali dibaca sebagai rapalan untuk hadiah orang yang sudah meninggal.
Dalam pada itu, terbesit pertanyaan besar menggantung: siapakah gerangan penyebar “Jawa Islam” di Desa Tambaknegara? Di tahun berapakah penyebaran itu berlangsung? Mbah Muharto lantas menjelaskan bahwa sosok penyebar “Jawa Islam” Desa Tambaknegara yakni “Mbah Agung”. Perihal nama Mbah Agung, lengkapnya adalah sebuah nama yang tak boleh dijelaskan pastinya. Hal ini menjadi pamali jika ada orang yang membeberkan identitas dari sosok Mbah Agung. Ia menjadi tokoh sakral dalam penganut “Islam Jawa” Desa Tambaknegara. Pengisahan Mbah Muharto, jika ada yang membeberkan identitas dari Mbah Agung, orang tersebut bisa mengalami hal irasional, semacam didatangi ruh dari Mbah Agung. Ihwal kedatangan Mbah Agung, belum diketahui secara pasti, karena tak ada sumber catatan sejarah. Namun, menurut Mbah Muharto, sosok Mbah Agung datang sekira paruh abad-15. Uniknya, sosok Mbah Agung tak sendiri. Ada 3 makam sosok Mbah Agung di desa ini yang karib disebut: Mbah Agung Wetan, Tengah, Kilen (ngulon).
Mungkin, salah satu cara mengetahui ihwal sosok “Mbah Agung” dapat menggunakan cara pendekatan tipe-tipe makam atau pendekatan antropologi. Sehingga dari tipe makam Mbah Agung dapat diidentifikasikan mulai dari tipe batu nisan, prasastinya, dan sebagainya. Sampai di situ cerita saya dengan Mbah Muharto hari itu, dan kami berjanji akan melanjutkan kesempatan lain hari. Saya meminta jika Mbah Muharto sudah sehat, ajaklah saya pergi ke makam “Mbah Agung”. Semoga.
Saya teringat beberapa hari lalu, teman saya, Arif Rosadi, datang ke rumah saya dan berbagi kisah perihal pengalaman jum’atan-nya yang unik di Masjid Saka Tunggal. Penuturan Arif membuat saya tergoda, kepadanya saya berjanji untuk jum’atan di masjid Saka Tunggal. Tepat di hari Jumat yang saya rindukan, saya memantapkan diri untuk melaksanakan shalat Jumat di masjid Saka Tunggal. Perlu diketahui, Masjid Saka Tunggal merupakan salah satu masjid tua yang ada di Banyumas (baca: Masjid Saka Tunggal: Membaca Tradisi Islam di Banyumas, Chubbi Syauqi). Masjid Saka Tunggal berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas. Pukul 10.00 siang, saya sampai di Masjid Saka Tunggal. Spesifik kunjungan saya adalah shalat Jumat sekaligus mengamati ritual-ritualnya.
Barangkali kunjungan saya ke masjid Saka Tunggal benar-benar direstui oleh Sang Suwung. Entah kebetulan atau tidak, setibanya di sana, para jamaah shalat Jumat tengah duduk di emperan masjid. Tanpa basa basi, saya lekas menyapa sekaligus salim (bersalaman). Di tengah-tengah salim, mata saya terbelalak pada beberapa sosok jamaah shalat Jumat yang bagi saya unik, mereka mengenakan atribut berupa iket kepala dan jubah putih. Selang beberapa waktu, salah satu dari mereka kemudian membuka pintu masjid dan bergegas masuk. Dengan setengah tergopoh-gopoh saya langsung mengambil air wudhu di padasan.
Rasa sejuk menyapu pori-pori kaki tatkala saya melangkah masuk melewati pintu masjid. Sejenak saya terpekur, lalu membatin, apakah ini yang dinamakan “sakralitas ruang”? Dalam sekejap, saya teringat pada satu kutipan dalam buku Annemarie Schimmel “Jiwa Suci dan Sakralitas dalam Islam” (2016), bahwa sebuah masjid seperti sebuah bahtera keselamatan atau, bahkan yang lebih khayali, masjid diibaratkan bak seekor unta putih yang akan membawa pendirinya melintas jembatan sirat menuju surga pada hari pembalasan.
Sebuah masjid seperti sebuah bahtera keselamatan atau, yang lebih khayali, masjid diibaratkan bak seekor unta putih yang akan membawa pendirinya melintas jembatan sirat menuju surga pada hari pembalasan.
Annemarie Schimmer, Jiwa Suci dan Sakralitas dalam Islam, 2016
Tak hanya di situ, di dalam masjid saya dikejutkan dengan fenomena unik yang jarang saya jumpai. Pertama, saya menyaksikan para jamaah Jumat melakukan shalat sunah 2 rakaat yang amat banyak. Dalam penghitungan saya, masing-masing mengerjakan sekira 10 kali (20 rakaat). Ritus itu berjalan dengan sistematis dan masif oleh para jamaah. Seusai melaksanakan shalat sunah tersebut, para jamaah kemudian memekikkan selawatan dengan langgam Jawa diselingi dengan deru tabuh bedug pusaka. Syair selawat yang nyaring itu nyaris tak bisa saya kenali sebagai bahasa Arab karena jauh dari kefasihan dan cengkok pelafalannya yang mendayu mirip gending Jawa. Meski demikian, lantunan selawat itu tetap mencipta dzauq (cita rasa) bagi sang pelantun maupun pendengar.
Konon, bedug dan kentongan di masjid Saka Tunggal merupakan peninggalan asli dari Mbah Tholih, pendiri masjid Saka Tunggal. Saat waktu dzuhur tiba, bedug ditabuh bertalu-talu diselingi pukulan nyaring kentongan. Muazin lalu berdiri dan mengumandangkan azan pertama. Azan pertama di masjid Saka Tunggal dikumandangkan oleh empat muazin secara bersamaan dalam posisi berjejer. Keempat muazin itu mengenakan atribut yang sama: iket dan jubah putih. Pekikan azan tersebut bagi saya terasa lebih “puitis”, mungkin karena azan dikumandangkan dengan langgam Jawa dan tanpa microphone.

Perihal itu, azan empat, atau dalam bahasa Jawa disebut azan papat, memiliki cerita turun temurun. Menurut Suyitno, salah seorang jamaah Jumat masjid Saka Tunggal, hal itu merupakan simbolisasi dari empat mazhab dalam Islam. Di balik cerita turun temurun itu, tak banyak terungkap bahwa praktik azan papat ini jika ditinjau dalam perspektif fiqih tetaplah sah. Azan tidak sah apabila dikumandangkan oleh dua orang atau lebih secara bergiliran dengan cara menyambungkan lafal secara bergantian. Praktik unik azan Jumat semacam ini tak hanya dijumpai di masjid Saka Tunggal, seperti halnya azan tujuh hari Jumat di masjid Sang Cipta Rasa, Cirebon.
Begitu azan pertama selesai, jamaah berdiri, memadat ke arah depan, dan melakukan shalat taubat dua rakaat, dilanjuti shalat qobliyah dua rakaat berjamaah. Saya turut mengerjakannya sebagaimana jamaah lain. Saya pun ikut larut dalam kenikmatan dan pemaknaan shalat sebagaimana puisi Iman Budi Santosa berjudul “Dalam Saf”: Masuklah dengan cinta, serupa biji/ Mengisi buah, air merapatkan celah/ Tak ada tinggi rendah/ segaris di depan Allah/ tinggal imam, suara hati kalian/ melekat satu tak terbelah.
Masuklah dengan cinta, serupa biji/ Mengisi buah, air merapatkan celah/ Tak ada tinggi rendah/ Segaris di depan Allah/ Tinggal imam, suara hati kalian/ Melekat satu tak terbelah.
Iman Budi Santosa, Dalam saf
Seusai shalat, para jamaah saling salim dan kembali memekikkan selawat dengan serentak. Khatib berdiri, bersiap menaiki mimbar. Khatib Jumat masjid Saka Tunggal mengenakan atribut berupa iket dan jubah putih pula. Sesaat khatib menapaki tangga mimbar, kemudian mengambil tongkat yang tersender di dinding mimbar bergaya surya mandala. Prosesi khatib naik mimbar diiringi lantunan selawatan dan doa yang dipimpin oleh muazin. Setelah tiba di puncak mimbar setinggi kira-kira satu setengah meter itu, khatib mengucapkan salam, kemudian muazin menutup mimbar dengan tirai dan mengumandangkan azan yang kedua. Khutbah di Masjid Saka Tunggal ini monolingual, yakni hanya disampaikan dalam bahasa Arab.
Perihal khutbah berbahasa Arab di masjid Saka Tunggal, saya bertanya pada Bapak Suyitno, jamaah Jumat masjid Saka Tunggal. “Khutbah Jumat bahasa Arab itu sudah ada sejak Mbah Tholih (penyebar agama Islam di sini) dan teks naskah khutbahnya juga peninggalan dari Mbah Tholih. Tidak pernah diganti, selalu itu” tutur Bapak Suyitno.
Praktik khutbah Jumat berkhotbah Arab memiliki kesamaan sebagaimana masjid-masjid perkampungan pesisir Banten. Saya rasa, praktik khutbah Jumat bahasa Arab di masjid Saka Tunggal ini terwakili oleh karya Syekh Nawawi Bantenberjudul “Suluk al-Jadah Syarh Lam’ah al-Mafadah fi Bayan al-jumuah wa al-Mu’adah. Dalam Suluk al-Jadah” yang memuat pernyataan Syekh Nawawi Banten bahwa “Seharusnya rukun-rukun khotbah disampaikan dengan bahasa Arab sekalipun pendengarnya non-Arab yang tidak mengerti….?” Lebih pekat lagi dijelaskan dalam Kitab Al-Mawazinul Khamsah fil Bahts ‘an Ikhtilafil ‘Ulama fi Mas’alah Tarjamah Khutbatil Jum’ah yang menghimpun polemik fatwa-fatwa ulama Nusantara dan Timur Tengah terkait masalah boleh atau tidaknya khutbah Jumat diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa ‘ajam (non-Arab).
Kitab ini ditulis dalam dua bahasa, yaitu Arab dan Melayu beraksara Arab (Jawi/Pegon) yang diupayakan oleh Raden Natadilaga, seorang ulama-menak (bangsawan) Sunda dari Dawuan, Cikampek (kini Karawang, Jawa Barat), pemimpin organisasi Syafa’atul Ikhwan (President Sjafaatoel Ichwan) berhaluan tradisionalis, sekaligus pemimpin redaksi sebuah majalah berbahasa Melayu aksara Arab bernama “Al-Thabib” yang terbit secara berkala. Dalam kesimpulannya, Raden Natadilaga tampak mengajak kedua belah pihak yang berpolemik terkait hukum boleh tidaknya menerjemahkan khotbah ke dalam bahas ‘ajam untuk sama-sama saling menghormati pendapat satu sama lain, karena antar keduanya memiliki sandaran dalil yang sama-sama kuat. Raden Natadilaga menyerukan lebih penting menjaga persaudaraan dan persatuan umat Islam di Nusantara daripada mereka tenggelam dalam konflik dan polemik yang berkepanjangan dalam masalah-masalah yang sebenarnya bersifat furu’iyyah dan bukan ushuliyyah.
Bagi saya sendiri, khotbah Jumat menggunakan bahasa Arab memiliki kelemahan tertentu, yakni jamaah tidak paham apa yang sepenuhnya disampaikan oleh khatib. Meski begitu, jamaah pasti mengerti, bahwa khotbah khotib menyeru kepada kebajikan. Lagi pula khotbah dalam bahasa Arab yang menggema memenuhi ruangan Masjid Saka Tunggal terasa amat magis, bagai mantra kebaikan yang mengkondisikan hati jamaah untuk merenungi dan memperbaiki diri. Entah mengapa, saya lebih merasa syahdu dengan khutbah Jumat bahasa Arab. Biasanya, ketika khotib khutbah Jumat disampaikan dengan bahasa terjemah, saya tertidur pulas. Sejak itu, saya paham betul hikmah dari penggunaan bahasa Arab dalam khutbah Jumat di masjid Saka Tunggal.
Usai Khotbah, muazin mengumandangkan iqamat. Setelah iqamat, seorang pria pria paruh baya beratribut iket dan jubah putih berjalan menuju ke tempat pengimaman. Saya pun shalat dibelakangnya dengan tenang dan khusyuk. Seusai shalat Jumat, saya kembali mendapati tradisi peribadatan yang unik, yakni dikerjakannya shalat dzuhur berjamaah pasca melakukan shalat Jumat di Masjid Saka Tunggal. Perihal itu, sekiranya terwakili lagi dalam Suluk al-Jaddah-nya, Syekh Nawawi Banten yang menyatakan: “Salah seorang dari seluruh jemaah harus ada yang bisa bahasa Arab. Jika tidak ada maka berdosa semuanya, sehingga tidak sah khutbah jum’at sebelum ada yang belajar. Lalu hendaknya mereka shalat Dhuhur selama masih tahap belajar (bahasa Arab)”. Setelah rangkaian shalat selesai, para jamaah shalat Jumat lantas duduk bersila mekikkan dzikir tarekat Syattariyah.
Praktik peribadatan Jumatan jamaah Masjid Saka Tunggal tentunya tidak sekedar berdimensi rutinitas dan spiritualitas, akan tetapi juga ada motif eksotisme Jumat. Hari Jumat bagi masyarakat sekitar masjid Saka Tunggal tidak sekedar menjadi pertanda pergantian waktu sehari dalam seminggu, tetapi juga menjadi identitas dan simbol keagamaan yang bernilai spiritual dan magis. Kalau nama-nama hari dalam seminggu menggunakan istilah bilangan Arab, seperti ahad (satu), isnain (dua), dan seterusnya, hari keenam tidaklah disebut sittah atau sadis (keenam), melainkan jumu’at(Jumat). Jumuat dalam bahasa Arab memiliki arti “perkumpulan atau pertemuan” yang berakar kata al- jam’ (kumpulan) sebab umat Islam dalam seminggu berkumpul pada hari itu di tempat peribadatan yang besar (masjid).
Peristilahan hari Jumat dikenal oleh bangsa Arab semenjak kedatangan Islam. Sebelum Islam, orang Arab menyebut hari keenam dalam seminggu dengan hari Urubah. Orang yang pertama kali menamai Jumat adalah Ka’b bin Luai. Dari praktik ibadah shalat Jumat di Masjid Saka Tunggal, saya menyesap hikmah berupa perspektif keilmuan, intelektualisme, serta kontekstualisasi ajaran Islam yang melekat pada masyarakat sekitar. Tampaknya pula, masyarakat sekitar masjid Saka Tunggal memiliki motif-motif tertentu dalam beragama yang tak dimiliki masyarakat manapun. Wallahu a’lam.
Bangunan Masjid Saka Tunggal
Masjid sebagai tempat ibadah dalam sejarah memiliki peranan yang penting dalam tumbuh kembangnya umat Islam. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Rudolf Otto dalam bukunya Das Gefuhl des Uberueltlichen (1932), ia menggambarkan bahwa masjid sebagai ekspresi sempurna kehampaan yang menanti untuk dipenuhi dengan berkah Ilahiyah, yakni pengalaman manusia, miskin (faqir) sebagaimana ia adanya, dalam kehadiran (dihadapan) Dzat Maha Kaya, al-ghaniy. Sebagai umat muslim, terkadang kita terkesan abai terhadap tempat suci berjamaah (masjid). Masjid bukan hanya bangunan yang berbentuk persegi atau persegi panjang, dengan dikelilingi tembok, namun ia memuat kisah sebagai bangunan. Keberadaan masjid selalu berkelit kelindan dengan konteks historis, budaya, dan makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam hal ini, Masjid Saka lekat kaitannya dengan sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Banyumas. Masjid Saka Tunggal terletak di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas. Berdasarkan catatan pemerhati sejarah dan kebudayaan Banyumas disebutkan bahwa, diperkirakan masjid ini berdiri pada tahun 1572 M. Sepintas memang terkesan tidak ada perbedaan dengan masjid yang lainnya, tetapi jika ditelisik lebih seksama, masjid ini memiliki bagian yang terkesan particular tetapi sebenarnya utuh. Misalnya, terdapat pilar utama di tengah masjid (saka tunggal), bedug, kentong, mimbar, dan tongkat.
Selama ratusan tahun berdiri, bentuk bangunan Masjid Saka Tunggal tak banyak berubah. Perubahan signifikan terjadi bertepatan renovasi besar-besaran pada tahun 1996, diantaranya: material atap dan selubung bangunan. Atap masjid dahulu memakai sirap kayu dan ijuk, kini diganti dengan seng. Selain itu, dinding masjid dahulu memakai kayu dan gedhek bambu, kini diganti dinding bata. Bentuk pilar saka tunggal (baca: tiang satu) memuat karakteristik Saka Guru sekaligus simbolisasi dari ajaran tauhid (monotheisme). Pada pilar Soko Guru terdapat ornamen bentuk sayap burung yang mencandrakan “papat kiblat lima pancer” atau empat mata angin dan satu pusat. Empat sayap burung tersebut memuat nilai filosfis berupa hawa nafsu pada manusia; lawwamah, muthmainah, sopiah, dan amarah. Keempat sayap burung dan Tiang Soko Guru seolah memberikan insterupsi bahwa ketika hendak sembahyang, hati kita hendaklah tenang (baca: bi qolbin salim). Ibrahim datang kepada Tuhannya dengan hati yang damai.
Sebagaimana Firman Allah Swt (Q.S. Ash- Shafat/37:83-84, H.B. Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia) : Wa inna min syii’atihii la ibraahim; idz jaa a rabbahuu bi qolbin salim.(Dan Ibrahim termasuk golongan; Lihatlah ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati bersih dari hawa nafsu dan Ikhlas).
Ornamen sayap burung, erat kaitannya dalam dunia tasawuf. Burung adalah amsal pencapaian khazanah tasawuf Islam. Ibnu Arabi dalam kitab Turjamul Asywaq membahas burung thawus atau cendrawasih sebagai perlambang dari keruhanian manusia: satu-satunya aspek manusia yang mampu menembus lapisan langit kegaiban, atau perlambang ibadah sebagai mikraj manusia. Dalam terjemah Nusantara, burung-burung pada masjid merujuk pada capaian ruhani para pendirinya. Pada pilar soko guru, terdapat ukiran mim dal yang merupakan akronim dari nama Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Selain itu, pada mimbar terdapat ukiran surya mandala khas Kerajaan Singasari dan Majapahit, yang melambangkan Al-Qur’an dan Hadits. Dan ada pula sebuah bedug dan kentong pusaka yang sangat jarang ditabuh. Keseluruhan tata bangunan Masjid Saka Tunggal berupaya mengeksplisitkan pengalaman keberagaman pendiri dan masyarakatnya, atau seperti kata Umberto Eco, menuntaskan tantangan estetis, historis dan spiritual masyarakatnya tanpa memerlukan penghakiman kalangan manapun.



Dalam kepercayaan masyarakat cikakak sendiri, tidak bisa dilepaskan dari sosok historis dalam sejarah Islam tradisional di Banyumas, yakni Kyai Tholih/Mbah Tholih yang dimakamkan tidak jauh dari letak Masjid Saka Tunggal. Sosok Kyai Tholih/Mbah Tholih merupakan ulama yang menyebarkan Islam di Desa Cikakak sekaligus pendiri Masjid Saka Tunggal. Mendiang Muhammad Syamsuri, juru kunci Makam Mbah Tholih, menyebutkan sebagaimana termuat dalam Babad Alas Mertani Cikakak, bahwa Mbah Tholih sebenarnya adalah Syech Maulana Ngabdul Kahfi Zamzani, yakni putra Prabu Siliwangi Padjajaran. Hasil wawancara saya dengan Suyitno, sesepuh Aboge, menyebutkkan bahwa sebelum Islam masuk di Desa Cikakak, masyarakat setempat beragama Hindu-Buddha.
Eksistensi Islam Aboge di Cikakak
Membicarakan seputar Islam di Desa Cikakak (Masjid Saka Tunggal), tentunya kita akan disuguhkan dengan para penganut Islam-Jawa Aboge. Aboge pada dasarnya merupakan sebuah sistem penanggalan Jawa yang kali pertama diperkenalkan oleh Ngabdulloh Syarif Sayyid Kuning atau Raden Rasyid Sayyid Kuning. Aboge sendiri pada dasarnya adalah singkatan atas tahun Alip yang jatuh pada hari Rabu Wage. Tahun-tahun lainnya adalah “Akatpono” atau tahun Ehe yang jatuh pada hari Ahad Pon. “Jangahpono” atau tahun Jim Awal yang jatuh pada hari Jumat Pon. “Jasapaing” atau tahun Je yang jatuh pada hari Selasa Pahing. “Daltugi” atau tahun Dal yang jatuh pada hari Sabtu Legi. “Bemisgia” atau tahun Be yang jatuh pada hari Kamis Legi. “Wunenwon” atau tahun Wawu yang jatuh pada hari Senin Kliwon. Dan “Jangahgia” atau tahun Jim Akir yang jatuh pada hari Jum’at Wage. Perhitungan kalender Jawa ini ditetapkan oleh Sultan Agung Mataram, sejak tanggal 8 Juli 1633 M/ 1043 H atau 1555 saka, dengan mempertemukan sistem kalender Saka dan Hijriyah.
Menurut Suyitno, Islam Aboge adalah Islam yang sebagaimana pada umumnya (Ahlussunah Wal Jamaah), hanya saja untuk kalendernya memakai kalender Jawa. Tersebab itu pula, terdapat perbedaan beberapa perayaan hari besar Islam antara Islam-Jawa Aboge dengan Islam Arab yang oriented. Lebih Jauh lagi, sistem penanggalan Aboge diciptakan untuk menyiasati perbedaan Islam dengan Hindu Jawa dengan cara membuat beberapa hari perayaan diantara keduanya terjadi secara bersamaan (Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2, 2005). Pemaduan dua sistem penanggalan ini, dalam istilah M.C Riclefs, adalah bagian dari apa yang disebutnya sebagai “sintesis mistik” yang terjadi pada masa Sultan Agung dan Pakubuwono II di Surakarta (Mystic Sintesis In Java, 2006).
Selain penganut Islam-Jawa Aboge, masyarakat setempat Desa Cikakak (Masjid Saka Tunggal) juga penganut tarekat Syattariyah. Berdasarkan pengisahan Suyitno, menyebutkan penyebaran tarekat Syattariyah sekitar abad-18 oleh dua sosok ulama yakni Mbah Nur Hakim dan Mbah Karyadi. Perlu diketahui, Mbah Nur Hakim merupakan salah satu dari sekian ulama penyebar tarekat syattariyah di Banyumas, dan tergabung dalam jaringan laskar perang Diponegoro (Sufisme Mbah Nur Hakim: Penyebar Tarekat Syattariyah di Banyumas, Chubbi Syauqi, https://langgar.co/sufisme-mbah-nurhakim-penyebar-tarekat-syattariyah-di-banyumas/). Adapun Mbah Karyadi, adalah murid dari Mbah Nur Hakim. Ia, membantu penyebaran tarekat syattariyah di Desa Cikakak, sampai akhir hayat.
Pergumulan Islam-Jawa Aboge dan Tarekat Syattariyah
Secara umum terdapat dua pemahaman keislaman yang unik yang selama ini berkembang di Desa Cikakak; Islam Jawa Aboge dan Islam-Jawa Aboge dan Syattariyah. Islam Jawa Aboge merupakan Islam yang dianut oleh sebagian kecil masyarakat Desa Cikakak yang murni di bawa oleh Mbah Tholih. Sedangkan Islam Jawa Aboge- Syattariyah adalah masyarakat yang sudah menganut Islam Aboge dan bertarikat syattariyah. Pada kesempatan tersebut saya juga menanyakan perihal keterkaitan Islam Jawa Aboge dengan tarekat syattariyah. Menurut Suyitno, aboge dan tarekat syattariyah adalah dua hal yang membentuk corak keberislaman masyarakat Desa Cikakak. Aboge hanyalah hitungan hisab tradisional dalam menentukan perayaan hari besar Islam dan bukan bagian dari tarekat syattariyah. Meski begitu, jika melihat tarekat syattariyah di berbagai belahan Nusantara. Tiap-tiap tarekat syattariyah memang memiliki kalender hisab yang unik seperti contoh tarekat syattariyah di Sumatra Barat yang memakai kalender hisab Taqwim dan hisab Munjid. Sedangkan tarekat syattariyah bagi masyarakat Desa Cikakak bagaikan tata kelola spiritual sekaligus intelektual yang biasanya ternaungi dalam pakem-pakem tasawuf.
Meminjam perkataan Buya Hamka dalam bukunya “Perkembangan Tasauf Dari Abad Ke Abad” dijelaskan bahwa tasawuf merupakan bentuk kerohanian dengan tata cara atau filsafat keagamaan yang mengacu pada wilayah kejiwaan, dan bagi Buya Hamka, tasawuf juga harus diakui sebagai pusaka keagamaan yang berpengaruh besar pada perasaan serta pemikiran umat Islam. Ajaran-ajaran tasawuf (tarekat) bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, dan semua ketauladanan dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Kehidupan sufistik bisa saya temukan secara nyata pada siklus keseharian masyarakat Desa Cikakak yang banyak menampakan nilai-nilai tasawuf. Dan diantara wujudnya yakni, mereka sanggup hidup bersama dengan banyak kera liar, meskipun kera tersebut sering membuat ulah kepada mereka. Para kera liar tersebut konon ceritanya adalah hewan endemik Desa Cikakak dan menjadi peliharaan Mbah Tholih.
Hewan peliharaan berupa keranya Mbah Tholih mengingatkan saya dengan cerita dari sosok Mbah Mutamakin Kajen yang pernah memelihara anjing. Oleh masyarakat muslim Kajen dan sekitarnya, kisah ini dimaknai secara “metaforis” sebagai perlawanan “rohani” terhadap hawa nafsu. Demikianlah tafsiran yang populer. Pada cerita kera peliharaan Mbah Tholih, saya mencoba menafsirkan dalam frame tasawuf, kisah Mbah Tholih memelihara kera bagi saya melambangkan semacam perlawanan sifat “buruk manusia”. Dalam perspektif A-Qur’an, orang yang melampaui batas diibaratakan sebagai kera, yakni “Jadilah kamu kera yang hina“. Kuunuu Qiradatan Khoosi’in. Menurut Mujahid, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, “fisik mereka tidak ditukar menjadi kera, tetapi hati jiwa, dan sifat merekalah yang dijadikan seperti kera, sehingga mereka tidak dapat menerima pengajaran dan tidak dapat menerima ancaman. Lebih lanjut lagi, menurut Al-Ghazali, anjing dan binatang buas lain dipandang hina bukan karena fisiknya. Anjing dan binatang buas lainnya dipinjam sebagai simbol keburukan kerena sifat kebuasan dan unsur “najisnya” (sifat dendam, tamak, serakah) yang mencemari batin manusia.
Pada pengamatan lainnya, fenomena hidup sufistik juga terlihat pada rutinan majlis dzikir dari tarekat syattariyah yang diadakan di Masjid Saka Tunggal. Saya sendiri menyaksikan sekaligus mengikuti dzikir tarekat syattariyah seusai solat jumat di Masjid Saka Tunggal. Sebelum solat jumat juga ada ritual selawatan (sholawatan) yang mungkin bagian dari amalan tarekat syattariyah. Sholawat merupakan pujian atas kemuliaan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Shalawat juga sebentuk doa sekaligus dzikir kepada Allah. Antara doa dan dzikir memiliki keterkaitan keterikatan yang sangat erat, karena dalam berdoa diharuskan mengiringinya dengan sholawat atas Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Maka dengan menyaksikan fenomena yang ada di Desa Cikakak, bisa kita pahami bahwa ada banyak ekspresi bertasawuf sebagaimana menurut Abdul Wadud Kasyful Humam dalam buku “Satu Tuhan Seribu Jalan”, dijelaskan bahwa hakikat tasawuf adalah kesadaran atas adanya komunikasi serta dialog langsung antar roh manusia dengan Tuhan, dan adanya kera yang hidup berdampingan, rutinan dzikir sebelum dan pasca solat jumat, dan majlis dzikir tarekat merupakan perwujudan dari dialog ketuhanan mereka. Dalam buku “Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen”, Prof. Suwardi Endraswara mendeskripsikan bahwa ritus-ritus di Jawa jelas mengekspresikan pekerti agama yang penuh dengan muatan spiritualitas, dan di Desa Cikakak, ritus tersebut tersusun dalam tradisi-tradisi yang pekat dengan makna spiritual tasawuf.
Kemudian ketika saya mengamati perilaku serta sikap dari masyarakat yang ada di Desa Cikakak, terbaca secara jelas bahwa mereka, meminjam istilah Slamet Gundono, adalah manusia-manusia yang hatinya bolong, mlompong, dan kosong. Yakni orang yang manah (hati) selalu terikat dengan Gustialah (Allah). Bi Qolbin Salim. Kosong di sini bukan bermakna tak berisi. Pun demikian, sebaliknya, kosong (suwung) itu isi, dan agar berisi harus kosong (suwung). Sehingga kehidupannya tampak penuh kesabaran, kesederhanaan, dan ketasawufan. Maka dengan demikian dapat dimengerti bahwa masyarakat Desa Cikakak dalam dimensi kehidupannya mempunyai relasi yang kuat dengan alam tasawuf.
Berdasarkan uraian komponen-komponen spiritual maupun tradisi yang ada pada masyarakat Desa Cikakak maka, dapat ditafsirkan bahwa perwujudan dari sufisme Jawa ada di Desa Cikakak, dan dalam konteks lokalnya disebut sebagai Kejawen. Kemunculan kejawen sendiri bermula dari tasawuf dalam Islam. Terutama berkaitan dengan hakikat Makrifatullah yang merupakan konsep hubungan antara manusia dengan Tuhannya melalui wasilah ritual sekaligus syariat Islam. Pada masyarakat Desa Cikakak, hal itu terlihat pada tradisi atau ritual yang penuh dengan simbol-simbol kebaikan, keislaman, maupun ketasawufan. Sehingga sampai pada poin ini, dapat kita maknai bahwa Desa Cikakak adalah salah satu pengejawantahan ekosistem sufisme Jawa di Banyumas yang masih tersisa.
Kisah Mbah Nur Hakim
Ada banyak kisah wali-wali Allah di wilayah Banyumas yang perlu digali lebih dalam. Salah satu Wali Allah yang turut andil dalam Islamisasi Banyumas yakni Mbah Nur Hakim. Ia banyak dikenal oleh masyarakat sebagai orang sholih yang penuh karomah, Mbah Nur Hakim mempunyai sejarah panjang dengan berbagai versi dan masyhur menjadi cerita oral di masyarakat. Dari segi nama, ada yang menyebutnya Syekh Nur Hakim karena ia seorang mursyid tarekat syattariyah. Serta ada juga yang menyebutnya Mbah Nur Hakim karena ia pernah menjadi bagian dari Laskar Pangeran Diponegoro. Hasil wawancara saya dengan Zenal Abidin, juru kunci makam mbah nur hakim yang sumbernya telah turun temurun dari juru kunci sebelumnya. Mbah Nur Hakim memiliki nama asli Raden Mas Surya Muhammad (Zaenal, 2021). Ada dua versi kisah kedatangan Mbah Nur Hakim ke Banyumas (Desa Pasir Wetan). Versi pertama, dari kisah penuturan juru kunci makam bahwa Mbah Nur Hakim berasal dari Keraton Kasunan Surakarta. Konon, ia merupakan anak bangsawan Kasunan Surakarta. Hal ini diperjelas dari percakapan antara ia dengan Demang Nurahman (mertuanya). Pada suatu ketika, Demang Nurahman bertanya kepada Mbah Nur Hakim.
Nang, apa kowe gelem ngganti aku dadi demang? Tanya Demang Nurahman.
Mboten, menawi kulo kerso, kulo saged dadi sinuwun teng Kasunan Surakarta. Ujar Mbah Nur Hakim.
Sontak jawaban itu membuat mertuanya tertegun, ternyata selama ini menantunya adalah trah Kasunan Surakarta. Ia juga berafiliasi dengan Laskar Pangeran Diponegoro, semenjak kekalahan perang Jawa, akhirnya ia berkelana hingga singgah ke Banyumas. Sementara versi kedua, melalui ringkasan Karl A. Stenberk dalam bukunya berjudul “Beberapa Aspek Tentang Islam Indonesia Abad Ke-19”. Mbah Nur Hakim lahir sekira tahun 1820 di desa Pancasan, Purwokerto . Masa mudanya dilalui dengan banyak berkeliling pesantren untuk menimba Ilmu Agama. Ia pernah berguru pada Kiai Hasan Maulani di Lengkong, Cirebon dan berbaiat tarekat syattariyah. Kiai Hasan Maulani adalah mursyid tarekat syattariyah yang membuat geram Belanda, di tahun 1842 ia diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Di sana ia bertemu dengan pasukan Kiai Mojo yang sama-sama diasingkan. Berpijak dari Cirebon, ia menyebarkan tarekat Syattariyah hingga sampai di Banyumas (karel, 1984). Hingga saat ini, kisah asal-usul Mbah Nur Hakim masih menjadi polemik.
Kiai Hasan Maulani adalah mursyid tarekat syattariyah yang membuat geram Belanda, di tahun 1842 ia diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Di sana ia bertemu dengan pasukan Kiai Mojo yang sama-sama diasingkan. Berpijak dari Cirebon, ia menyebarkan tarekat Syattariyah hingga sampai di Banyumas (karel, 1984). Hingga saat ini, kisah asal-usul Mbah Nur Hakim masih menjadi polemik.
Hal-hal aneh (ikonik) melekat pada sosok Mbah Nur Hakim yang dikenal sakti mandraguna. Dituturkan langsung dari juru kunci, kesaktian itu seperti : membuat areal sawah dalam waktu semalam, lantas esoknya bisa langsung dipanen. Membagikan wirid, hizb, dan rajah, agar kebal terhadap serangan peluru. Sampai munculnya epik pertentangan logika dengan santrinya. Pada suatu ketika setelah sholat jamaah bersama santrinya, tiba-tiba seluruh pakaian Mbah Nur Hakim basah kuyup, kepada santrinya Mbah Nur Hakim berujar,” Aku tes nulingi kapal kerem neng laut”. Mendengar hal itu sang santri pun tertegun heran, karena jarak laut dengan mereka begitu jauh.
Sekilas Tentang Tarekat Syattariyah
Tarekat Syattariyah pertama kali dicetuskan oleh Abdullah Syathar pada abad ke-14 di India. Secara bahasa tarekat berasal dari Bahasa Arab al-thariq (jalan). Sedangkan secara terminologi tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi yang berpangkal dari syariat sebagai jalan utama dan thariq sebagai anak jalannya (Rusli, 2013). Syattariyah yang bermuasal dari syathari yang kemudian ditambah dengan ya nisbah kepada ulama pendiri paham tarekat. Kemudian tarekat ini menyebar luas ke Tanah Suci (Mekah Madinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi dan Syekh Ibrahim al-Kurani paruh abad ke-16. Tarekat Syattariyah menyebar ke Indonesia melalui Syekh Abdur Rauf As-Sinkil di Aceh. Menurut Martin Van Bruinesen, Tarekat Syattariyah masuk ke Jawa melalui murid dari Syekh Abdur Rauf Sinkil bernama Abdul Muhyi. Menurut riwayat yang dapat dipercaya, Abdul Muhyi belajar tarekat syattariyah kala ia singgah di Aceh dalam perjalanan ibadah haji (Affandi, 1990).
Corak Neo Sufisme Mbah Nur Hakim
Istilah neo-sufisme pertama kali dilontarkan oleh Fazlur Rahman terhadap ulama yang mampu menggabungkan antara syariat dengan tasawuf (sufisme). Menurut, Ahmad Al-Qusyairi, seseorang tidak dapat menempati maqam/ahwal yang sejati sebelum ia melakukan syariat secara benar. Masih menurut Ahmad Al-Qusyairi, Kanjeng Nabi SAW adalah sosok sufi sejati. Ia tidak pernah mengasingkan dirinya dari manusia, dan mampu bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan kebaikan. Dari definisi sufisme tersebut, Mbah Nur Hakim membentuk karakter dirinya eling dan waskita. Ia tak jauh meniru lelaku Pangeran Diponegoro. Lebih jauh Sultan Agung, dari bagaimana penghayatan seorang salik tarekat syattariyah dalam melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Lebih jauh, Mbah Nur Hakim punya andil besar soal identitas keislaman masyarakat Banyumas. Sebagaimana pendapat Irfan Afifi, sufisme lahir bukan dari pinggiran, ia lahir dengan membangun kekuasaan (Irfan Afifi, 2020). Mbah Nur Hakim menyebarkan Islam dengan mendirikan padepokan serta mengajarkan tarekat syattariyah. Ia memiliki hubungan yang sentimental dengan orang pinggiran, para petani, hingga para priyayi.
Sebagaimana pendapat Irfan Afifi, sufisme lahir bukan dari pinggiran, ia lahir dengan membangun kekuasaan (Irfan Afifi, 2020). Mbah Nur Hakim menyebarkan Islam dengan mendirikan padepokan serta mengajarkan tarekat syattariyah. Ia memiliki hubungan yang sentimental dengan orang pinggiran, para petani, hingga para priyayi.
Salah satu contoh betapa Mbah Nur Hakim memilki hubungan yang sentimentil dengan wong cilik adalah kisah babad alas (pasir wetan) yang diubah menjadi sawah dan menjadi penghasilan wong cilik. Melalui ringkasan, Tanto Sukardi, seorang sejarawan lokal dalam “Gerakan Tarekat Akmaliyah Di Banyumas Jawa Tengah Abad XIX”, menghubungkan gerakan tarekat syattariyah yang diajarkan Mbah Nur Hakim dengan meluasnya ketidakpuasan rakyat terhadap sosial poltik ekonomi tanam paksa (Tanto, 2008). Sedangkan hubungan yang sentimental dengan priyayi (penguasa) yakni Tumenggung Jayadireja (bekas penguasa Sokaraja dan Bupati Purwokerto tahun 1853-1860). Sampai muncul klimaks pengasingan Tumenggung Jayadirja karena Belanda mencurigai ia berafilisi dengan gerakan tarekat Mbah Nur Hakim.
Sekilas Tentang Tarekat Akmaliyah
Dalam lingkup masyarakat Banyumas, Mbah Nur Hakim juga dikenal sebagai pengamal, bahkan penyebar tarekat akmaliyah. Ihwal nama akmaliyah, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ahmad Masrukin berjudul “ Tarekat Akmaliyah: Studi Kasus di Pondok Pesantren Miftahu Falahil Mubtadiin Malang (2013), bahwa akmaliyah diambil dari tujuan dan keunggulannya. Pada umumnya, tarekat diambil dari nama pencetusnya, seperti Tarekat Naqsabandiyah yang dicetuskan oleh Baha’udin an-Naqsabandi, Tarekat Qadiriyah oleh Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Tarekat Syadziliyah oleh Syekh Abu Hasan Al-Sazili. Penamaan Akmaliyah sebagai tarekat, dalam artikelnya Ahmad Masduki menerangkan bahwa diambil dari martabat iman yang keempat. Yakni ilmu yaqin, ainul yaqin, haqul yaqin, dan akmalul yaqin.
Terkait pemahaman dari masing-masing tingkatan iman, menyitir pendapat Syekh Maulana Ishak (kemenakan cum santri Syaikhona Kholil Bangkalan) yang dianalogikan dengan tamsil ka’bah sebagai berikut: Pertama, Ilmu Yaqin; yakni imanya seseorang yang diberi kabar oleh seorang berhaji. Melalui kabar tersebut, ia sudah yakin dan merasa cukup keyakinannya terhadap ka’bah. Kedua, Ainul Yaqin; imannya seperti orang pertama, namun karena belum puas dengan berita itu. Ia kemudian memutuskan untuk pergi melihat ka’bah secara langsung. Ketiga, Haqqul Yaqin: yakni kelanjutan dari orang yang kedua karena belum puas dengan melihat. Ia kemudian bertekad untuk mendekat hingga menyentuh ka’bah. Keempat, Haqqul Yaqin; imannya seseorang melebihi orang yang telah dicontohkan, ia bahkn ingin masuk kedalam ka’bah. Sehingga orang ini kemanapun dia menghadap, ia menghadap ka’bah (fa ainama tuwallu illa ka’bah). Ini ibarat kemanapun seseorang menghadap, sukmanya hanya menyaksikan Allah semata ( fa ainama tuwallu fatsamma wajhullah).
Menurut Gus Romli, Tarekat Akmaliyah bukanlah tarekat yang berdiri sendiri, pasalnya ajarannya berupa martabat sab’ah ; (ahadiyah, wahdah, wahidiyat, arwah, missal, ajsam, insan kamil) dan wahdatul wujud. Konsep Ajaraannya ada dalam Tarekat Syattariyah yang berindukan fahamnya Syekh Fadlullah Burhanpuri (penganut paham wahdatul wujud). Ditinjau dari runtutan sanadnya Tarekat Akmaliyah bukanlah tarekat yang berdiri sendiri dan bukan tarekat pelanjut. Dengan demikian, kemungkinan terbesar Tarekat Akmaliyah merupakan sejenis tarekat yang menggabungkan atau mengambil inti-inti pokok ajaran tarekat-tarekat yang sudah ada, terutama lima tarekat besar, yakni Tarekat Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syattariyah, Sadziliyah, dan Samaniyah.
Semangat Jihadis Mbah Nur Hakim
Dugaan saya, Mbah Nur Hakim adalah sosok yang kurang suka dengan ”kalangan pemerintah”. Etos yang melandasi perjuanganya adalah membangun masyarakat yang otonom yang tidak menjadi “obyek kekuasaan” dari kalangan pemerintah dan kalangan Belanda, meskipun ia sendiri adalah menantu Demang. Mungkin layak diperhitungkan pula bahwa dalam diri Mbah Nur Hakim mengalir darah Laskar Diponegoro. Dalam disertasi Drewes tahun 1925 di Leiden, bahwa tarekat syattariyah di Jawa disebarkan oleh tiga guru tarekat yakni: Kiai Hasan Maulani (Lengkong, Cirebon), Kiai Malangyuda (Rajawana, Purbalingga) dan Kiai Nur Hakim (Pasir Wetan, Banyumas). Tarekat Syattariyah, kita tahu amat popular di abad 18, kalangan keluarga raja-raja Islam nusantara turut menggemari dan mendalami ajaran ini. Di sini kita patut bertanya: Mengapa pengikut tarekat syattariyah di Banyumas berjumlah kecil? Dalam artikel yang ditulis Ahmad Mutaqin dkk, berjudul “Sejarah Islamisasi Banyumas” menjelaskan bahwa surutnya pengikut tarekat syattariyah di Banyumas ditengarai pasca munculnya tarekat Naqsabandi yang disebarkan oleh Kyai Muhammad Ilyas sekira tahun 1880-an.
Saya sendiri pun setuju dengan penjelasan tersebut. Tetapi kemungkinan lain tetap ada. Sebagaimana yang saya dengar dari masyarakat mengenai tarekat syattariyah bahwa mereka agak “berjarak” dan lebih merasa nyaman mengikuti tarekat yang lain, sejenis naqsabandiyah, syadziliah, dan qodiriyah. Padahal, bila ditinjau dari kemu’tabarannya, tarekat syattariyyah termasuk kategori mu’tabaroh. Sangat disayangkan bahwa semerbak aroma tarekat syattariyah ini, belakangan meredup di tengah masyarakat muslim, kecuali mereka yang berminat pada ajaran Ibn Arabi (wahdatul wujud-martabat tujuh). Entah benar atau tidak, sikap “berjarak” ini tercermin dalam “aktivitas ziarah” ke makam Mbah Nur Hakim. Memang benar, di Banyumas banyak destinasi ziarah seperti makam Syekh Maqdum Wali, Makam Syekh Dalem Santri, Makam Syekh Jaka Arfi dan sebagainya. Namun, banyak peziarah lupa menziarahi makam Mbah Nur Hakim. Memang tidak masalah, karena pada hakikatnya orang-orang sholeh dan para Wali Allah telah ikut di doakan melalui doa dan tawashul. Hanya saja supaya tidak ada keterputusan sejarah bila berziarah ke Banyumas. Bahkan, menurut penuturan Zaenal Abidin (juru kunci makam Mbah Nur Hakim), makam Mbah Nur Hakim kerap di ziarahi Bung Karno (Ir Soekarno).
Kembali kepada Mbah Nur Hakim. Di karenakan sumber sejarah yang masih menjadi polemik, tidak ditemukannya karya (kitab) dari Mbah Nur Hakim, serta adanya pertentangan tarekat syattariyah ditengah masyarakat muslim kiwari. Sosok Mbah Nur Hakim tak begitu familiar di kalangan muslim Banyumas. Melalui wasilah tulisan ini saya mencoba mengenyam yang terpendam, seusai menengok Makam Mbah Nur Hakim. Semoga dapat mereposisi sosok Mbah Nur Hakim pada ingatan masyarakat luas, khususnya masyarakat Banyumas.
Linnabi wa li Mbah Nur Hakim, al-fatikhah……
Wallahu a’lam.
Bacaan
Affandi, Bisri. 1990. Tarekat Syattariyah di Indonesia. Jakarta: PLPA.
Ahmad, M. 2013. Tarekat Akmaliyah: Studi Kasus di Pondok Pesantren Miftahu Falahil Mubtadiin. Malang. IAIT Kediri.
Irfan, Afifi. 2018. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta. Tanda Baca.
Karel A.Steenbrink. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.
Rusli Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: Rajawali Press.
Tanto, Sukardi. 2008. Gerakan Tarekat Akmaliyah Di Banyumas Jawa Tengah Abad XIX. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Zaenal, Abidin. (2021, September 12). Ziarah. (Chubbi Syauqi, Pewawancara).
“Sebagai amanat dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, sistem pendidikan harus mengarah bukan hanya pada kecerdasan intelektual semata, melainkan kecerdasan emosional dan spiritual.”
Dalam pada itu, kekayaan metode atau pendekatan pembelajaran menjadi keniscayaan. Salah satunya melalui pendekatan kesastraan. Masyarakat luas lebih memahami sastra sebagai tulisan fiksi yang berimplikasi bahwa kata-kata dalam teks tidak dimaknai menunjukan realitas tertentu apapun dalam dunia empirik namun, hanya menyajikan sesuatu yang belum ada. Faktanya, sastra tidak sesederhana itu. Ahmadun Yosi Herfanda menegaskan bahwa sastra memiliki potensi besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter.
Setidaknya, gema Manusia Indonesia karya Mochtar Lubis, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk anggitan Buya Hamka, roman Atheis tulisan Achdiat K. Mihardja, dan Bumi Manusia milik Pramoedya Ananta Toer masih terasa hingga sekarang, baik gema politik, budaya, agama hingga pendidikan. Dan tentunya, menjadi simbol perubahan di masyarakat. Sastra memiliki nilai keabadian. Maknanya dapat dipersepsi dan diposisikan sejurus alur dan perkembangan zaman. Sampai-sampai Horatius mengemukakan istilah dulce et utile dalam karya tulisnya berjudul Arts Poetica. Artinya, sastra mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur dan memberikan manfaat bagi si pembaca. Sastra menghibur dengan menyajikan estetika, memberikan esensi terhadap kehidupan (kematian, kenestapaan, maupun kebahagiaan). Bagi banyak orang, misalnya karya sastra juga menjadi sarana untuk menyampaikan pesan berupa kebenaran atau keburukan. Tidak sampai di situ, sastra yang dipadukan melalui dunia pendidikan, akan menstimulus aspek kognitif, afektif, psikomotorik dan character building.
Pada wilayah tersebut, kekayaan (tradisi) Nusantara menjadi nilai dan pandangan hidup untuk membangun generasi terdidik. Kearifan dunia pesantren (sastra pesantren) menjadi contoh. Sebagai sub-kultur, kata Gus Dur, pesantren memiliki karakteristik yang khas. Bahkan, Gus Dur mencatat, di era 50-an, sastra pesantren cukup menggeliat, diawali dengan karya Djamil Suherman. Tentunya, perkembangan sastra di pesantren melaju pesat sampai saat ini. Sebagai pendekatan pembelajaran, karya sastra yang berangkat dari nilai pesantren menjadi “alternatif” untuk membangun generasi terdidik dan berkarakter.
Hal inilah yang dilakukan oleh Kyai Achmad Sa’dulloh Majdi (Mbah Sa’dulloh) melalui syair sun ngawiti. Mbah Sa’dulloh lahir pada tanggal 10 Oktober 1929 di Desa Pasir Kidul, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Kyai Sa’dulloh adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Majdi sedangkan ibunya bernama Natem. Masa mudanya dilalui dengan banyak mendalami ilmu agama. Sehingga, Sa’dulloh muda tumbuh dengan kepandaian dan kecerdasan. Pada usia 15 tahun, beliau berkelana mencari ilmu ke berbagai pesantren. Hal ini dilakukan karena rasa hausnya akan ilmu pengetahuan. Beberapa pesantren yang beliau singgahi antara lain: Pesantren As-Suniyah (Sokaraja), Pesantren Leler (Banyumas), Pesantren Tebuireng (Jombang), nyantri kepada Syekh Idris, Kyai Baidhowi dan Hadrstussyekh Hasyim Asy’ari. Pesantren Darul Hikam (Bendo Pare, Kediri). Di sini beliau khidmat kepada Syekh Khozin dan Kyai Hayatul Maki. Pesantren Sarang, Rembang, ngaji dengan Kyai Zubaer Dahlan, dan Pesantren Termas (Pacitan), nyantri kepada Kyai Dimyati. Uniknya, saat di Sarang, beliau satu majlis dengan Almarhum Kyai Maemun Zubair.
Syair Sun Ngawiti Sebuah Penjelasan
Pada tahun 1958 Kyai Sa’dulloh mendirikan madrasah di Desa Pasir Kidul yang diberi nama Madrasah Al-Ittihad. Madrasah ini merupakan sebuah sekolah non-formal yang berisikan materi-materi agama. Kyai Sa’dulloh meramu (manajemen) madrasah secara modern, namun, kurikulum tetap berparadigma tradisional, yaitu materi khas pesantren. Di dalam madrasah, beliau membuat sebuah konsep mencari ilmu dalam bentuk syair. Syair ini diberi nama sun ngawiti. Sun ngawiti merupakan masterpiece dari Mbah Sa’dulloh. Setiap baris dari syair sun ngawiti mengandung makna simbolik. Pengarang begitu apik dan sangkil dalam menyusun kata pada setiap barisnya.
Syair sun ngawiti digunakan sebagai hapalan wajib, saat santri menuntut ilmu di Madrasah Al-Ittihad. Madrasah Al-Ittihad terletak di desa Pasir Kidul, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Syair sun ngawiti menjadi semacam spirit bagi para santri untuk menuntut ilmu di Madrasah Al-Ittihad. Secara bentuk, syair sun ngawiti disusun menggunakan bahasa Jawa dan terdiri dari 15 bait. Di dalam syair ini, pengarang membangun konsep mencari ilmu dan tahapan-tahapan dalam menuntut ilmu. Syair sun ngawiti merupakan perpaduan antara pendidikan dan sastra. Dalam bait pertama berbunyi;
“Sun ngawiti klawan muji dzat kang asih, rohmat salam katuro nabi kekasih. Opo dene wargo dalem lan sohabat, sarto kabeh wong kang tresno lan kang tongat.” Artinya, “aku memulai dengan memuji Dzat Maha Asih, Rahmat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi yang terkasih.”
Kata sun merupakan kependekan dari ingsun yang bermakna saya. Dalam bait pertamanya, tak lupa Mbah Sa’dulloh mengawali pembuatan syair sun ngawiti dengan menyebut dan memuji asma Allah. Ungkapan dalam bait pertama, memiliki makna dengan ungkapan basmallah dan hamdallah. Barangkali pengarang mengisyaratkan kepada pembaca syair, agar setiap menuntut ilmu hendaknya diawali dengan menyebut asma Allah, dan memuji asma Allah. Tidak lupa pula agar selalu bershalawat kepada Muhammad Sang Kekasih.
Ungkapan di atas menunjukan betapa sayang dan cintanya beliau terhadap baginda Nabi. Sehingga, dalam bait tersebut, memuat dimensi keilahian (ketuhanan) dan dimensi profetik (kenabian). “Opo dene wargo dalem lan sohabat, sarto kabeh wong kang tresno lan kang tongat”. Artinya, “Begitu juga keluarganya, para sahabat nabi, serta semua orang yang cinta kepadanya dan taat.” Bukan hanya Nabi saja, akan tetapi, keluarga, para sahabat dan orang yang cinta terhadapnya didoakan mendapat rahmat dari Allah. Bait syair ini ditujukan kepada orang-orang yang menuntut ilmu agar senantiasa mengawali segala aktifitasnya dengan menyebut asma Allah dan bershalawat kepada Nabi. Dalam syair sun ngawiti juga terdapat seruan untuk mencari ilmu yakni, “Ayo konco podo mlebu ing madrasah, nggolet ilmu aja wedi susah payah.” Artinya, “mari teman masuk madrasah, mencari ilmu jangan takut susah payah.” Bait ini sesuai dengan hadits Nabi yakni ”mencari ilmu wajib bagi setiap orang Islam.” (HR. Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, Abu Ya’la, Al-Qudha’i dan Abu Nu’aim Al-Ashbahani). Mencari ilmu sama halnya dengan berjihad di jalan Allah. Di dalam mencari ilmu, terdapat banyak rintangan yang harus dilalui bagi thalib agar mencapai ma’rifat.
Dalam mencari ilmu, seorang thalib akan dihadapkan dengan berbagai kesusahan. Orang yang menuntut ilmu akan mengorbankan banyak waktunya seperti untuk bermain, bersantai, berlibur dan berbagai waktu yang sifatnya menyenangkan. Namun, hal itulah yang harus dibayarkan apabila thalib menginginkan suatu hasil maksud dari ilmu. Sesuai dengan maqolah Imam Syafi’i, “Apabila engkau tidak mampu menahan beratnya mencari ilmu, maka engkau akan menanggung kepedihan akibat kebodohanmu.” Maqolah tersebut sepadan dalam bait syair sun ngawiti yang berbunyi nggolek ilmu ojo wedi susah payah. Menuntut ilmu tidak mengenal batas waktu, sebagaimana perkataan ulama salaf “menuntut ilmu itu dari ayunan sampai ke liang kubur.”
Batas berakhirnya seseorang mencari ilmu yakni kematian. Refleksi inilah yang kemudian melatarbelakangi Mbah Sa’dulloh menciptakan bait dalam syair sun ngawiti yang berbunyi Mumpung kito durung kasep ing wektune, yen wis kasep ora guna pigetune. Artinya, “Selagi kita masih belum terlambat, jika terlambat akan menyesal tiada tara.” Ada pepatah yang mengatakan bahwa belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, sedangkan belajar di waktu senja bagaikan mengukir di atas air. Menuntut ilmu itu mudah, hendaknya dilakukan ketika masih kecil mumpung durung kasep dan juga mumpung jembar dalanane. Karena waktu kecil merupakan waktu yang luang, belum ada kesibukan yang mengganggu dalam menuntut ilmu, sehingga untuk berpikir itu jembar.
Refleksi inilah yang kemudian melatarbelakangi Mbah Sa’dulloh menciptakan bait dalam syair sun ngawiti yang berbunyi Mumpung kito durung kasep ing wektune, yen wis kasep ora guna pigetune. Artinya, “Selagi kita masih belum terlambat, jika terlambat akan menyesal tiada tara.”
Dalam bait selanjutnya, “Nggolet ilmu iku dawuhe njeng rosul, mulo wajib kito reti serto qobul.” Artinya, “mencari ilmu itu merupakan perintah dari Nabi, maka wajib bagi kita sekalian untuk paham”. Bait ini merupakan pengejawantahan atas hadits Nabi tentang kewajiban mencari ilmu bagi setiap muslim. Rupanya Mbah Sa’dulloh secara implisit memberikan stimulus terhadap murid atau bahkan pembaca syair untuk bersemangat mencari ilmu, karena pada hakikatnya perintah mencari ilmu berasal dari Nabi. Ilmu yang dipelajari harus tahu akan substansinya (reti serto qobul).
Syarat agar mampu menempati maqom yang mulia dalam mencari ilmu, menurut Kyai Sa’dulloh seperti dalam syairnya yakni “Ojo nganti kito mampang ing panutan, rino wengi isuk sore manut setan.” Artinya, “Jangan sampai kita menuruti hawa nafsu, siang malam pagi sore ikut setan.” Nafsu dalam diri manusia selalu ada dan mengarah kepada keburukan. Karena, pada dasarnya, nafsu itu bersumber dari jasmani dan pikiran. Apabila nafsu itu dituruti pasti tak akan ada habisnya. Badan dan pikiran manusia itu picik, hanya memberikan tawaran yang semu berupa kesenangan sesaat. Badan dan pikiran manusia selalu membohongi diri sendiri dengan mengajak manusia untuk bersenang-senang padahal itu hanya kesenangan sesaat saja yang tidak langgeng.
Agar tidak terbawa oleh bujuk rayu setan, hendaknya manusia menuruti suara batinnya. Karena suara batin manusia selalu jujur dan akan membawa kepada kesenangan yang hakiki. Bujuk rayu setan akan selalu mengarah kepada kerusakan. Mbah Sa’dulloh mencandrakan perilaku setan dalam larik bait sun ngawiti berupa “Ngertiyo yen setan iku ngrusakake, ngalor ngidul ngetan ngulon nasarake.” Setan akan selalu menggoda manusia selama di dunia. Karena hal inilah yang menjadi tugas setan saat di dunia dengan mencari sebanyak-banyaknya teman dari golongan manusia. Agar terhindar dari segala bujuk rayu setan, maka manusia harus memposisikan setan sebagai musuh yang utama. Setan juga menggoda manusia yang sedang mencari ilmu (wong sinau). Karena, pada dasarnya setan tidak sudi melihat manusia sukses di dunia, keinginan setan hanyalah menjerumuskan manusia. Mbah Sa’dulloh dalam larik bait sun ngawiti mewanti-wanti kepada orang yang belajar yakni “Wong sinahu wajib sregep lan tumemen, ojo maju mundur noleh ngiwo nengen.” Artinya, “orang yang sedang belajar harus rajin dan bersungguh-sungguh, jangan maju mundur lihat kanan kiri.”
Dalam segala usaha apapun, kesungguhan menjadi kunci utama kesuksesan. Dengan mengutip pada pepetah Arab man jadda wa jada (barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka akan mendapatkannya). Menghadapi zaman yang disruptif (tercerabut) seperti ini memang banyak godaan dalam mencari ilmu. Dibutuhkan sebuah kesungguhan ekstra agar tetap konsisten (ojo maju mundur noleh ngiwo nengen) dalam belajar. Jadi, Mbah Sa’dulloh menulis sendiri larik bait sun ngawiti ini sesuai dengan perasaannya sendiri. Atas dua larik bait ini, saya menyimpulkan bahwa ini ungkapan optimismenya yang telah merasakan buah dari proses belajar (ngaji). Dalam berkelana mencari ilmu, halangan dan rintangan pasti ada. Mbah Sa’dulloh menghadapinya dengan kesabaran dan tawakal. Sebagaimana dalam larik bait sun ngawiti yang berbunyi “Sabar tawakal ngadepi kasengsaran, pasrah kabeh pakewuhe ing pangeran. Kuwat nandang werna-wernae rintangan, opo dene kurange sandang lan pangan.” Artinya, “Sabar tawakal dalam menghadapi kenestapaan, pasrahkan semuanya kepada Allah. Kuat menghadapi berbagai rintangan walaupun kekurangan pakaian dan makanan.”
Sebagaimana dalam larik bait sun ngawiti yang berbunyi “Sabar tawakal ngadepi kasengsaran, pasrah kabeh pakewuhe ing pangeran. Kuwat nandang werna-wernae rintangan, opo dene kurange sandang lan pangan.” Artinya, “Sabar tawakal dalam menghadapi kenestapaan, pasrahkan semuanya kepada Allah. Kuat menghadapi berbagai rintangan walaupun kekurangan pakaian dan makanan.”
Berbekal jiwa sabar, pola berpikir mandiri dan sikap mental tawakal, wong sinau memasrahkan dirinya hanya kepada Allah. Wong sinau wajib meyakini pernyataan Allah. Misalnya, “Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.” (Q.S al-Baqoroh ayat 153), “Barang siapa bertawakal kepada Allah, Ia berjanji akan membimbingnya dengan perhitungan-Nya.” (Q.S al-Hud ayat 56). Ke manapun wong sinau berada, akan dijaga keselamatannya. Tawakal bermakna kita mewakilkan, memasrahkan semua urusan kita kepada Allah, urusan kita pasti akan diselesaikan oleh-Nya. Senada dengan bunyi bait dalam syair sun ngawiti, “pasrah kabeh pakewuhe ing pangeran, Kuwat nandang werna-wernae rintangan, opo dene kurange sandang lan pangan.” Allah juga memberi pernyataan terhadap orang yang bertaqwa, misalnya, “Barang siapa bertaqwa kepada Allah maka, ia akan melindunginya dan memberi jalan keluar atas masalah yang menimpanya.” Dan bahkan, “menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tak disangka-sangka” (Q.S at-Talaq ayat 3). Jadi, kurange sandang lan pangan adalah bentuk ujian dari Allah kepada orang bertakwa supaya sabar dan tawakal.
Ngelmu Sebagai Jalan Ketuhanan
Bagi wong sinau, mencari ilmu harus menjadi skala prioritas dalam hidupnya. Sebab ilmu akan memberi cahaya (kemuliaan) terhadap pemilikinya sebagaimana ungkapan al-ilmu nuurun (ilmu adalah cahaya). Cahaya ilmu inilah yang menuntun manusia menuju jalan lurus (shirat al-mustaqim) yang bermuara kepada kebahagian. Meminjam istilah dalam syair sun ngawiti,”ilmu iku tondho-tondhone kabejan, saka Allah uga juga tengere karidloan.” Artinya, “ilmu itu menjadi tanda-tanda kebahagian dari Allah dan tanda keridhoan Allah.” Misalnya, seperti kisah Nabi Sulaiman yang diberi pilihan oleh Allah untuk memilih harta atau ilmu. Pilihan Nabi Sulaiman memutuskan ilmu dibanding harta. Dengan ilmu yang dianugrahi oleh Allah, Nabi Sulaiman mampu berbicara dengan hewan, mampu membangun istana yang megah dan menjadi raja. Dalam bait selanjutnya, Kyai Sa’dulloh mendefiniskan ilmu dalam syair sun ngawiti ,” sebab ilmu mau wathone gondelan, tanpa ilmu kito sasar ing dedalan.” Artinya, “karena pada dasarnya ilmu adalah petunjuk, tanpa ilmu kita akan tersesat.”
Secara kebahasaan, ilmu berasal dari akar kata ‘ilm yang diartikan sebagai tanda, penunjuk, atau petunjuk agar sesuatu atau seseorang dikenal. Demikian juga ma’lam, artinya tanda jalan atau sesuatu agar seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang. Selain itu, ‘alam juga dapat diartikan sebagai penunjuk jalan. Kata ilmu dengan berbagai bentuk terulang 854 kali dalam al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Dalam pandangan al-Qur’an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan (Q.S al-Baqarah [2]: 31-32).
Ilmu yang melekat dalam diri seseorang, akan menjadi petunjuk/tanda tatkala diamalkan. Buah dari pengamalan ilmu menjadikan si pemiliknya selamat dari kesesatan di dunia. Kemudian Kyai Sa’dulloh menyerukan agar lebih giat lagi dalam menuntut ilmu, dalam syair sun ngawiti berbunyi “mulo ayo kito kabeh bebalapan, ngudi ilmu ojo nganti kekasepan.” Artinya, “mari kita berlomba-lomba mencari ilmu jangan sampai terlambat.” Hal ini merupakan bentuk stimulus semangat kepada wong sinau agar mencari ilmu dengan sungguh-sungguh. Beliau menyerukan fastabiqul khoirot dengan kalimat ayo kito bebalapan ngudi ilmu (berlomba-lomba mencari ilmu). Mencari ilmu merupakan hal yang wajib bagi kaum muslimin sebagaiman sabda Nabi, “apabila seseorang mampu menuntut ilmu, maka besar pahala yang didapatnya” (HR.Muslim: 7028).
Selagi masih berada di dunia, manusia wajib menyiapkan amal kebajikan sebagai bekal di kehidupan akhirat. Kehidupan dunia teramat singkat. Orang Jawa mengistilahkannya sebagaimana wong mampir ngombe (orang yang berhenti untuk minum). Dunia merupakan ladang akhirat, maka pergunakanlah sebaik-baiknya agar nanti pulang ke akhirat membawa bekal yang banyak. Mbah Sa’dulloh mengkiaskan kehidupan manusia di dunia sebagai orang yang ngumbara (berkelana). Dalam syairnya Kyai Sa’dulloh berucap “Elingo yen kito kabeh mung ngumbara, liyo wektu mesti sowan ing bendoro.” Artinya, “ingatlah bahwa kita hidup di dunia sebagai pengembara, suatu saat pasti akan pulang ke hadapan Allah.” Oleh karenanya, kita hanyalah tamu yang mampir ngombe dalam mengembara mencari rumah untuk pulang. Kita ngombe untuk menyesap pengetahuan hidup sebagai bekal untuk perjalanan dan pengembaraan itu sendiri. Dalam bait ini, saya terbawa ke dalam term ilmu yang menurut istilah orang Jawa ilmu sangkan paraning dumadi.
Oleh karenanya, kita hanyalah tamu yang mampir ngombe dalam mengembara mencari rumah untuk pulang. Kita ngombe untuk menyesap pengetahuan hidup sebagai bekal untuk perjalanan dan pengembaraan itu sendiri. Dalam bait ini, saya terbawa ke dalam term ilmu yang menurut istilah orang Jawa ilmu sangkan paraning dumadi.
Kata sangkan paraning dumadi, berasal dari bahasa Jawa sangkan berarti dari, paraning berarti arah tujuan, dan dumadi yang berarti kejadian. Sangkan paraning dumadi memberikan pengetahuan tentang dari mana asal kejadian ini dan akan kemana akhirnya. Ilmu sangkan paraning dumadi erat dengan ajaran tasawuf mengenal diri sebagai upaya manusia untuk mengenal dan mendekat atau bahkan menyatu dengan tuhan (wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti). Dalam ajaran tasawuf, orang harus mengenal lebih dulu tentang dirinya sendiri. Katanya “Bagaimana bisa dia mengenal Tuhan, sedangkan terhadap dirinya sendiri dia belum kenal?”. Karena itu katanya pula: “Kenalilalah dirimu dulu, nanti kamu akan kenal kepada Tuhan.
Kehidupan dewasa ini telah membawa manusia menjadi materialistis. Manusia modern sudah lupa akan jati diri yang sebenarnya (sangkan paran), dan secara tidak sadar telah menjadi budak modernitas yang membelenggu jiwanya. Dari sinilah kompleksitas toxic yang mencemari kemanusiaan dimulai. Secara kolektif manusia modern mengalami gejala keterasingan jiwa (alienasi) atau keterbelahan jiwa (split personality). Manusia modern rindu akan nilai-nilai universal, yaitu nilai-nilai ketuhanan yang dibawanya sejak ia diciptakan. Dalam konteks yang demikian, pengaruh berupa modernitas dan teknologi industri tidak bisa tidak telah memicu hilangnya kefitrahan manusia. Tidak adanya pengetahuan tentang Allah mengakibatkan ketidaktahuan tentang dirinya sendiri dan kemaslahatan serta apa yang membersihkan dan mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya di dunia dan di akhirat kelak.
Mbah Sa’dulloh dalam bait terakhir sun ngawiti memberikan sebuah rumusan dalam menghadapi situasi zaman yang tidak menentu seperti ini. Sebagaimana dalam syairnya, “temen-temen kudu eling ojo lali, mbok menawa siro bisa dadi wali.” Artinya, “teman-teman harus ingat dan jangan lupa, siapa tahu anda bisa jadi wali.” Situasi zaman seperti ini, jika meminjam istilah dari pujangga Ronggowarsito dinamakan zaman edan. Melalui serat kalathida yang terdiri dari 12 bait, Ronggowarsito mengemukakan situasi zaman edan. Zaman edan menurutnya, zaman atau masa yang serba tidak jelas, rusak, penuh dengan kekhawatiran dan ragu-ragu untuk bertindak. Dalam serat kalathida, dijelaskan tentang hal-hal yang dapat kita perbuat dalam menghadapi zaman edan. Menurutnya, dalam menghadapi zaman edan, seseorang harus memiliki sikap eling lan waspada (sadar dan waspada). Kita dituntut untuk dapat selalu eling lan waspada. Eling berarti kita senantiasa sadar untuk berbakti kepada Tuhan. Salah satu caranya adalah selalu berzikir kepada tuhan dimana pun kita berada, baik itu sedang duduk, sedang dalam perjalanan, sedang berdiri, sedang tiduran, maupun sedang bekerja.
Waspada berarti mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Kita senantiasa diberi weweka kehati-hatian dapat membedakan mana emas dan tanah liat, mana berlian dan mana batu pasir. Eling lan waspada merupakan output dari seorang yang bertaqwa. Ciri dari orang yang bertaqwa adalah adalah eling dalam menjalankan apa yang diperintahkan dan mewaspadai akan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Siklus dari sikap eling lan waspada akan berwujud terhadap kemulian individu di hadapan Allah, yang oleh Mbah Sa’dulloh diterjemahkan mbok menowo siro bisa dadi wali (siapa tahu bisa menjadi wali). Abu Na’im al-Ashfahaniy dalam Hilyat al-Awliya’ memaknai wali sebagai orang-orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah, mereka terjaga dari fitnah zaman dan hidup fakir, dalam artian tidak hidup dalam tirani syahwat. Mereka adalah orang-orang yang paling dicintai oleh Allah. Mereka orang yang paling dimuliakan Allah setelah nabi dan rasul.
Ruap-ruap makna syair sun ngawiti karya Mbah Sa’dulloh memiliki kontekstualisasi dalam perkembangan pendidikan hari ini, khusunya pendidikan Islam. Pertama, hakikat ilmu untuk membuka tabir atau rahasia ketuhanan yang sublim. Sehingga, manusia bisa memposisikan diri sebagai hamba paripurna. Kedua, kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw menjadi ekspresi religius yang sakral. Kanjeng Nabi menjadi simbol akhlak dan perikemanusiaan agung. Ketiga, pentingnya guru dan proses yang panjang dalam memperoleh ilmu (etos dan logos). Keempat, revitalisasi moral dan etika di era modern, berdasarkan tradisi. Dengan demikian, syair sun ngawiti menjadi media refleksi dan sublimasi dalam menerapkan proses belajar yang bijaksana dan estetik. Secara kualitatif, pesantren menjadi kawah candradimuka untuk menerapkan dan mengimplementasikan model pendidikan demikian, meskipun, tidak menutup kemungkinan, sekolah formal membangun konsep pembelajaran berbasis tradisi atau budaya.