Saya teringat beberapa hari lalu, teman saya, Arif Rosadi, datang ke rumah saya dan berbagi kisah perihal pengalaman jum’atan-nya yang unik di Masjid Saka Tunggal. Penuturan Arif membuat saya tergoda, kepadanya saya berjanji untuk jum’atan di masjid Saka Tunggal. Tepat di hari Jumat yang saya rindukan, saya memantapkan diri untuk melaksanakan shalat Jumat di masjid Saka Tunggal. Perlu diketahui, Masjid Saka Tunggal merupakan salah satu masjid tua yang ada di Banyumas (baca: Masjid Saka Tunggal: Membaca Tradisi Islam di Banyumas, Chubbi Syauqi). Masjid Saka Tunggal berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas. Pukul 10.00 siang, saya sampai di Masjid Saka Tunggal. Spesifik kunjungan saya adalah shalat Jumat sekaligus mengamati ritual-ritualnya.
Barangkali kunjungan saya ke masjid Saka Tunggal benar-benar direstui oleh Sang Suwung. Entah kebetulan atau tidak, setibanya di sana, para jamaah shalat Jumat tengah duduk di emperan masjid. Tanpa basa basi, saya lekas menyapa sekaligus salim (bersalaman). Di tengah-tengah salim, mata saya terbelalak pada beberapa sosok jamaah shalat Jumat yang bagi saya unik, mereka mengenakan atribut berupa iket kepala dan jubah putih. Selang beberapa waktu, salah satu dari mereka kemudian membuka pintu masjid dan bergegas masuk. Dengan setengah tergopoh-gopoh saya langsung mengambil air wudhu di padasan.
Rasa sejuk menyapu pori-pori kaki tatkala saya melangkah masuk melewati pintu masjid. Sejenak saya terpekur, lalu membatin, apakah ini yang dinamakan “sakralitas ruang”? Dalam sekejap, saya teringat pada satu kutipan dalam buku Annemarie Schimmel “Jiwa Suci dan Sakralitas dalam Islam” (2016), bahwa sebuah masjid seperti sebuah bahtera keselamatan atau, bahkan yang lebih khayali, masjid diibaratkan bak seekor unta putih yang akan membawa pendirinya melintas jembatan sirat menuju surga pada hari pembalasan.
Sebuah masjid seperti sebuah bahtera keselamatan atau, yang lebih khayali, masjid diibaratkan bak seekor unta putih yang akan membawa pendirinya melintas jembatan sirat menuju surga pada hari pembalasan.
Annemarie Schimmer, Jiwa Suci dan Sakralitas dalam Islam, 2016
Tak hanya di situ, di dalam masjid saya dikejutkan dengan fenomena unik yang jarang saya jumpai. Pertama, saya menyaksikan para jamaah Jumat melakukan shalat sunah 2 rakaat yang amat banyak. Dalam penghitungan saya, masing-masing mengerjakan sekira 10 kali (20 rakaat). Ritus itu berjalan dengan sistematis dan masif oleh para jamaah. Seusai melaksanakan shalat sunah tersebut, para jamaah kemudian memekikkan selawatan dengan langgam Jawa diselingi dengan deru tabuh bedug pusaka. Syair selawat yang nyaring itu nyaris tak bisa saya kenali sebagai bahasa Arab karena jauh dari kefasihan dan cengkok pelafalannya yang mendayu mirip gending Jawa. Meski demikian, lantunan selawat itu tetap mencipta dzauq (cita rasa) bagi sang pelantun maupun pendengar.
Konon, bedug dan kentongan di masjid Saka Tunggal merupakan peninggalan asli dari Mbah Tholih, pendiri masjid Saka Tunggal. Saat waktu dzuhur tiba, bedug ditabuh bertalu-talu diselingi pukulan nyaring kentongan. Muazin lalu berdiri dan mengumandangkan azan pertama. Azan pertama di masjid Saka Tunggal dikumandangkan oleh empat muazin secara bersamaan dalam posisi berjejer. Keempat muazin itu mengenakan atribut yang sama: iket dan jubah putih. Pekikan azan tersebut bagi saya terasa lebih “puitis”, mungkin karena azan dikumandangkan dengan langgam Jawa dan tanpa microphone.

Perihal itu, azan empat, atau dalam bahasa Jawa disebut azan papat, memiliki cerita turun temurun. Menurut Suyitno, salah seorang jamaah Jumat masjid Saka Tunggal, hal itu merupakan simbolisasi dari empat mazhab dalam Islam. Di balik cerita turun temurun itu, tak banyak terungkap bahwa praktik azan papat ini jika ditinjau dalam perspektif fiqih tetaplah sah. Azan tidak sah apabila dikumandangkan oleh dua orang atau lebih secara bergiliran dengan cara menyambungkan lafal secara bergantian. Praktik unik azan Jumat semacam ini tak hanya dijumpai di masjid Saka Tunggal, seperti halnya azan tujuh hari Jumat di masjid Sang Cipta Rasa, Cirebon.
Begitu azan pertama selesai, jamaah berdiri, memadat ke arah depan, dan melakukan shalat taubat dua rakaat, dilanjuti shalat qobliyah dua rakaat berjamaah. Saya turut mengerjakannya sebagaimana jamaah lain. Saya pun ikut larut dalam kenikmatan dan pemaknaan shalat sebagaimana puisi Iman Budi Santosa berjudul “Dalam Saf”: Masuklah dengan cinta, serupa biji/ Mengisi buah, air merapatkan celah/ Tak ada tinggi rendah/ segaris di depan Allah/ tinggal imam, suara hati kalian/ melekat satu tak terbelah.
Masuklah dengan cinta, serupa biji/ Mengisi buah, air merapatkan celah/ Tak ada tinggi rendah/ Segaris di depan Allah/ Tinggal imam, suara hati kalian/ Melekat satu tak terbelah.
Iman Budi Santosa, Dalam saf
Seusai shalat, para jamaah saling salim dan kembali memekikkan selawat dengan serentak. Khatib berdiri, bersiap menaiki mimbar. Khatib Jumat masjid Saka Tunggal mengenakan atribut berupa iket dan jubah putih pula. Sesaat khatib menapaki tangga mimbar, kemudian mengambil tongkat yang tersender di dinding mimbar bergaya surya mandala. Prosesi khatib naik mimbar diiringi lantunan selawatan dan doa yang dipimpin oleh muazin. Setelah tiba di puncak mimbar setinggi kira-kira satu setengah meter itu, khatib mengucapkan salam, kemudian muazin menutup mimbar dengan tirai dan mengumandangkan azan yang kedua. Khutbah di Masjid Saka Tunggal ini monolingual, yakni hanya disampaikan dalam bahasa Arab.
Perihal khutbah berbahasa Arab di masjid Saka Tunggal, saya bertanya pada Bapak Suyitno, jamaah Jumat masjid Saka Tunggal. “Khutbah Jumat bahasa Arab itu sudah ada sejak Mbah Tholih (penyebar agama Islam di sini) dan teks naskah khutbahnya juga peninggalan dari Mbah Tholih. Tidak pernah diganti, selalu itu” tutur Bapak Suyitno.
Praktik khutbah Jumat berkhotbah Arab memiliki kesamaan sebagaimana masjid-masjid perkampungan pesisir Banten. Saya rasa, praktik khutbah Jumat bahasa Arab di masjid Saka Tunggal ini terwakili oleh karya Syekh Nawawi Bantenberjudul “Suluk al-Jadah Syarh Lam’ah al-Mafadah fi Bayan al-jumuah wa al-Mu’adah. Dalam Suluk al-Jadah” yang memuat pernyataan Syekh Nawawi Banten bahwa “Seharusnya rukun-rukun khotbah disampaikan dengan bahasa Arab sekalipun pendengarnya non-Arab yang tidak mengerti….?” Lebih pekat lagi dijelaskan dalam Kitab Al-Mawazinul Khamsah fil Bahts ‘an Ikhtilafil ‘Ulama fi Mas’alah Tarjamah Khutbatil Jum’ah yang menghimpun polemik fatwa-fatwa ulama Nusantara dan Timur Tengah terkait masalah boleh atau tidaknya khutbah Jumat diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa ‘ajam (non-Arab).
Kitab ini ditulis dalam dua bahasa, yaitu Arab dan Melayu beraksara Arab (Jawi/Pegon) yang diupayakan oleh Raden Natadilaga, seorang ulama-menak (bangsawan) Sunda dari Dawuan, Cikampek (kini Karawang, Jawa Barat), pemimpin organisasi Syafa’atul Ikhwan (President Sjafaatoel Ichwan) berhaluan tradisionalis, sekaligus pemimpin redaksi sebuah majalah berbahasa Melayu aksara Arab bernama “Al-Thabib” yang terbit secara berkala. Dalam kesimpulannya, Raden Natadilaga tampak mengajak kedua belah pihak yang berpolemik terkait hukum boleh tidaknya menerjemahkan khotbah ke dalam bahas ‘ajam untuk sama-sama saling menghormati pendapat satu sama lain, karena antar keduanya memiliki sandaran dalil yang sama-sama kuat. Raden Natadilaga menyerukan lebih penting menjaga persaudaraan dan persatuan umat Islam di Nusantara daripada mereka tenggelam dalam konflik dan polemik yang berkepanjangan dalam masalah-masalah yang sebenarnya bersifat furu’iyyah dan bukan ushuliyyah.
Bagi saya sendiri, khotbah Jumat menggunakan bahasa Arab memiliki kelemahan tertentu, yakni jamaah tidak paham apa yang sepenuhnya disampaikan oleh khatib. Meski begitu, jamaah pasti mengerti, bahwa khotbah khotib menyeru kepada kebajikan. Lagi pula khotbah dalam bahasa Arab yang menggema memenuhi ruangan Masjid Saka Tunggal terasa amat magis, bagai mantra kebaikan yang mengkondisikan hati jamaah untuk merenungi dan memperbaiki diri. Entah mengapa, saya lebih merasa syahdu dengan khutbah Jumat bahasa Arab. Biasanya, ketika khotib khutbah Jumat disampaikan dengan bahasa terjemah, saya tertidur pulas. Sejak itu, saya paham betul hikmah dari penggunaan bahasa Arab dalam khutbah Jumat di masjid Saka Tunggal.
Usai Khotbah, muazin mengumandangkan iqamat. Setelah iqamat, seorang pria pria paruh baya beratribut iket dan jubah putih berjalan menuju ke tempat pengimaman. Saya pun shalat dibelakangnya dengan tenang dan khusyuk. Seusai shalat Jumat, saya kembali mendapati tradisi peribadatan yang unik, yakni dikerjakannya shalat dzuhur berjamaah pasca melakukan shalat Jumat di Masjid Saka Tunggal. Perihal itu, sekiranya terwakili lagi dalam Suluk al-Jaddah-nya, Syekh Nawawi Banten yang menyatakan: “Salah seorang dari seluruh jemaah harus ada yang bisa bahasa Arab. Jika tidak ada maka berdosa semuanya, sehingga tidak sah khutbah jum’at sebelum ada yang belajar. Lalu hendaknya mereka shalat Dhuhur selama masih tahap belajar (bahasa Arab)”. Setelah rangkaian shalat selesai, para jamaah shalat Jumat lantas duduk bersila mekikkan dzikir tarekat Syattariyah.
Praktik peribadatan Jumatan jamaah Masjid Saka Tunggal tentunya tidak sekedar berdimensi rutinitas dan spiritualitas, akan tetapi juga ada motif eksotisme Jumat. Hari Jumat bagi masyarakat sekitar masjid Saka Tunggal tidak sekedar menjadi pertanda pergantian waktu sehari dalam seminggu, tetapi juga menjadi identitas dan simbol keagamaan yang bernilai spiritual dan magis. Kalau nama-nama hari dalam seminggu menggunakan istilah bilangan Arab, seperti ahad (satu), isnain (dua), dan seterusnya, hari keenam tidaklah disebut sittah atau sadis (keenam), melainkan jumu’at(Jumat). Jumuat dalam bahasa Arab memiliki arti “perkumpulan atau pertemuan” yang berakar kata al- jam’ (kumpulan) sebab umat Islam dalam seminggu berkumpul pada hari itu di tempat peribadatan yang besar (masjid).
Peristilahan hari Jumat dikenal oleh bangsa Arab semenjak kedatangan Islam. Sebelum Islam, orang Arab menyebut hari keenam dalam seminggu dengan hari Urubah. Orang yang pertama kali menamai Jumat adalah Ka’b bin Luai. Dari praktik ibadah shalat Jumat di Masjid Saka Tunggal, saya menyesap hikmah berupa perspektif keilmuan, intelektualisme, serta kontekstualisasi ajaran Islam yang melekat pada masyarakat sekitar. Tampaknya pula, masyarakat sekitar masjid Saka Tunggal memiliki motif-motif tertentu dalam beragama yang tak dimiliki masyarakat manapun. Wallahu a’lam.
Leave a Reply