Menu

Author Archives: Yusuf Effendi

Tulisan ini bukan tentang lembaga langgar.co. Bukan. Lembaga ini tak perlu ditulis, tak harus, dan tak usah.  Biarkan sepak terjangnya menjadi tulisan itu sendiri. Menjadi bukti eksistensinya. Program, kegiatan, apalagi sosok pemimpinnya, adalah diri yang harus didukung, diayomi, dan didampingi. Mari saling melengkapi satu sama lain. 

Tulisan ini tak lain hanya dongengku belaka. Tak lebih. Dongeng tentang keberadaan langgar di kampungku, di pedesaan Madiun, Jawa Timur. Dongeng tentang langgar zaman dulu, sekira antara tahun 1900-2000, yang sebagian kudengar dari bapakku. Keadaannya mungkin sekarang berbeda, seiring dengan cobaan dan godaan zaman yang semakin dahsyat. Pembaca mungkin nanti akan tahu perbedaannya setelah membaca dongeng ini.  

Langgar lebih dulu ada sebelum masjid. Langgar itu sebutan di Jawa untuk tempat ibadah umat Islam di pedesaan Jawa. Orang modern biasanya menyebut musala (atau lebih fasih, musholla). Sebutan ini sebenarnya jadi membingungkan dengan masjid jika ditilik dari arti asal katanya. Musholla artinya tempat salat. Masjid artinya tempat sujud. Padahal sujud itu bagian dari salat. Orang modern akhirnya membedakan musala dan masjid dengan fungsinya. Selain luas bangunannya, musala biasanya tak dipakai salat Jumat, masjid dipakai. Saya menduga, penggantian sebutan langgar jadi musala ini tak lain untuk menghilangkan peran langgar dalam sistem pengetahuan Jawa. Memang apa peran langgar bagi orang Jawa?   

Luas langgar lebih kecil daripada masjid. Langgar Pak Zaini misalnya, ukurannya hanya 4×4 meter. Langgar Mbah Nuhyi 4×5 meter. Langgar Mbah Romo lebih kecil lagi, hanya 3×3 meter. Langgar Pak Yadi, kiai dengan jenggot sepuluh helai itu, luasnya 4×5 meter. Langgar Mbah Karsono yang berbentuk panggung dari kayu luasnya lebih besar 7×7 meter. Di depan rumah Mbah Karsono ini, di seberang jalan, Mbah Zainal yang lulusan pesantren Oro-Oro Ombo Madiun yang dipimpin Kiai Mahfud, juga mendirikan langgar seluas 3×4 meter.  Namun, langgar dikenal bukan hanya sekedar luas bangunan. Bukan.  

Umumnya, langgar itu didirikan di dekat rumah pemiliknya, yang umumnya santri lulusan pesantren. Sepulang mesantren di pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah, mereka itu ingin mempraktekkan ilmu yang diperolehnya. Mereka kemudian mendirikan langgar dan oleh masyarakat biasa disebut kiai langgar atau kiai kampung. Mereka mengajar sesuai dengan ilmu yang dikuasai dan diijazahkan kiainya saja. Tak boleh yang lain. Tujuannya, menunjukkan kepada masyarakat bahwa Islam itu menyenangkan, boleh berbeda, saling menghormati, dan tak kaku.    

Desaku, desa Wangsen, terdiri dari 15 RW (rukun warga) dan 25 RT (rukun tetangga). Desa sebesar kurang lebih 10 hektar dengan penduduk sekitar 800 KK atau 1500 jiwa itu dikelilingi 30 bangunan langgar dan dipersatukan oleh satu masjid besar, Masjid Jami’ Misbahul Muttaqin (lentera orang-orang taqwa). Saat salat Jumat, warga atau jamaah, tumplek blek di masjid tersebut. Para orangtua, laki-laki dan perempuan, juga anak-anak, baik  yang jalan kaki  maupun yang berkendaraan, mereka berduyun-duyun datang ketika mendengar suara Muammar ZA atau Ustaz Mustafa dari kaset yang sama dan diulang-ulang. Khatib Jumat berkhutbah dengan membaca kitab Berbahasa Arab sekira 7 menit. Sang imam juga membaca surat-surat pendek. Para muazin (pelantun azan) umumnya adalah santri langgar, sementara khatib dan imamnya adalah kiailanggar. Dari titik ini, langgar adalah ruang untuk mendidik para muazin, khatib, dan imam masjid. 

Selepas salat Jumat, para kiailanggar dan beberapa jamaah masjid akan bercengkerama di serambi masjid sembari udud, membersamai remaja masjid yang menghitung uang dari kotak amal, kemudian menuliskan jumlahnya di papan tulis serambi masjid. Para kiailanggar bercengkrama tentang langgar masing-masing, tentang anak-anak kampung yang nyantrik di langgar mereka, bertukar pengalaman tentang ilmu yang mereka peroleh dari pondok, dan tentang kiai-kiai pesantren mereka yang unik dan lucu, serta kadang tak masuk akal. 

Lha mbah kiaiku, Mbah Mangli, kui aneh. Nek diundang ceramah po slametan neng ndi ngono, blas ora gelem nek diwei duit po salam tempel. Wegah tenan pokok e. Nek wiridan ra umum suine. Kabeh pasa sunah dilakoni,” cerita Pak Zaini sembari tertawa kecil.

Nek Mbah Mahfud Oro Oro Ombo kui mben jumat esuk mesti mara neng terminal Madiun. Trus menehi rokok sakler-sakler (sebatang) kabeh tukang becak, preman, ro sopo wae sing terminal. Mben jumat kui,” kata Mbah Zainal diiringi asap rokok yang mengepul dari mulutnya.

Aku kui mbiyen pernah dijak mbah kiaiku neng sawahe. Njur aku kon nyabuti suket nganti suwe ra dikon mandeg, nganti boyokku kaku..ha..ha..ha… mbah yaiku ming udad-udud neng gubug kaya etok-etok ra weruh. Sakwise kira-kira sejam aku diceluk. ‘Nuhyi… kowe tak kon nyabuti suket ngerti maksude?’ ‘Mboten, Kiai,’ jareku. ‘Ngene, suket kuwi urip dewe, ora ditandur. Ana sing gampang dicabut lan ana sing angel. Lha, kuwi kaya urip iki. Masalah kui ana sing tukul dewe, ana sing angel dirampungke lan ana sing gampang. Kui mau kabeh kersane Gustialah. Manungso kaya awak e dewe iki mung dijalok manut, supoyo ngerti nek sing kuoso kui Gustialah, dudu manungsa… ngerti kowe?’ ‘Nggih, kiai.’ Bar kui aku diwei rokok e mbah kiai, tapi aku ra gelem soale aku ra udud,” cerita Mbah Nuhyi yang memang tak merokok sampai tuanya.

Saling cerita pengalaman unik dan lucu itu akan berakhir setelah salah satu dari para kiailanggar itu izin pulang, atau akan ke sawah atau angon kambing. Waktu selepas Jumat itu memang menjadi waktu silaturahmi para kiailanggar. Di antara mereka kadang saling bertukar pendapat tentang aktivitas di langgar masing-masing. Misalnya, bertanya tentang maksud isi kitab yang mereka gunakan untuk mengajar, saling meminjam kitab, saling meminta ijazah, atau wirid, jopa-japu (doa) antar mereka.

Para kiai langgar itu mendirikan langgar berdasarkan ijazah ilmu yang dianggap mereka kuasai dari kiai mereka di pesantren. Tanpa ijazah itu, mereka tak berani mendirikan langgar, apalagi mengajarkan kepada masyarakat. Karena setiap santri itu memiliki penguasaan ilmu yang berbeda, maka setiap kiai langgar itu mengajarkan ilmu yang berbeda di langgarlanggar mereka. Atas alasan itu pula mereka mendirikan langgar sendiri-sendiri, bukan karena egois. Antar para kiai langgar itu sudah memahami hal tersebut, sehingga antar mereka tak saling benci, iri, atau rebutan santri kampung. Antar mereka bahkan akan memberi saran kepada santri kampung untuk ngaji kepada kiai langgar tertentu jika ingin menguasai ilmu khusus. 

Pak Zaini misalnya, ia dikenal sebagai kiai wirid, karena dari pesantren ia diijazahi oleh kiainya untuk mengajarkan ilmu wirid. Pak Zaini hafal beragam wirid, baik Bahasa Arab maupun Bahasa Jawa. Ia kuat tirakat puasa sunah, salat malam, dan wirid berlama-lama. Puluhan wirid ia baca. Ada wirid harian, tiap jumat, tiap bulan suro, ramadhan, dan sebagainya. Langgar Pak Zaini hanya menerima santri kampung yang ingin mendalami wirid dan tirakat.   

Mbah Nuhyi dikenal sebagai kiai langgar dengan penguasaan ilmu quran. Di langgar Mbah Nuhyi hanya diajarkan cara membaca alquran, dari pengenalan huruf hijaiyah sesuai makharijul huruf (keluarnya suara huruf dari mulut), arti dan makna tiap huruf dalam sistem pengetahuan Jawa, tujuh model bacaan alquran (qiraah sab’ah), belajar membaca alquran dengan dilagukan baik gaya Mesir, Turki, maupun langgam Jawa. Aku pernah nyantrik di Mbah Nuhyi tapi gagal, karena nafasku pendek. Hehehe….

Mbah Zainal dikenal dengan kiai fikih (aturan Islam). Di langgar Mbah Zainal hanya diajarkan tentang fiqih saja, tidak yang lain. Para santri kampung yang ingin tahu tentang najis, cara wudlu, apa yang membatalkan salat, aturan haidh bagi perempuan, cara memilih jodoh bagi laki-laki akan nyantrik di langgar Mbah Zainal. Setiap sore selepas asar, biasanya banyak santri kampung berangkat ke langgar dengan membawa kitab Taqrib, kitab fikih dasar yang biasa diajarkan di pesantren. 

Mbah Karsono beda lagi, ia dikenal sebagai kiai jaduk. Di langgarnya selain untuk salat lima waktu, juga diajarkan ilmu jaduk atau ilmu kebal. Langgar Mbah Karsono tidak banyak santrinya, melainkan hanya tertentu saja. Ini memang disengaja oleh Mbah Karsono, karena tak semua orang boleh memiliki ilmu jaduk. Mbah Karsono hanya memilih sedikit dari banyak orang kampung yang ingin menjadi santrinya. Ia sudah diwanti-wanti oleh kiai pesantren yang memberinya ijazah, bahwa ilmu yang dikuasainya tak boleh sembarangan diberikan pada orang lain. Cerita bapakku, dulu beberapa orang kampung diminta untuk menelan gotri sepeda oleh Mbah Karsono setelah berpuasa dan berendam di sendang desa. Orang-orang itu kemudian dikirim Mbah Karsono untuk ikut perang melawan Belanda. Mereka masih hidup sampai tua.

Mbah Arifin juga berbeda. Ia dikenal sebagai kiai gurah. Langgar Mbah Arifin tidak ada santri yang belajar. Sekali waktu saja langgar Mbah Arifin didatangi santri kampung atau dari luar kampung untuk minta digurah. Mereka minta riyak atau gumpalan lendir di tenggorokannya dikeluarkan, agar suara mereka jernih saat menyenandungkan ayat alquran. Mbah Arifin biasanya akan menumbuk bawang merah dan bawah putih di campur air, kemudian setelah didoakan akan menuangkannya ke lubang hidung para santri kampung itu. Setelah bersih-bersin dan kepala pusing, biasanya dari mulut para santri itu akan keluar banyak lendir kental. Beberapa hari kemudian, mereka akan merasakan khasiatnya. Suara mereka bersih, nafas mereka panjang dan semua huruf hijaiyah seperti mudah diucapkan sesuai makharijul huruf-nya. Aku pernah digurah Mbah Arifin, tapi aku kapok karena kepalaku pusing berhari-hari. Ha… ha… ha….      

Dapatlah dipahami, bagi orang Jawa, langgar itu episentrum penyemaian ilmu-ilmu Islam yang beragam dan menyenangkan. Langgar itu ruang pendidikan nilai-nilai kebaikan Islam. Dengan mendirikan langgar, para kiai langgar bisa mengatur dan mengelola langgar sesuai dengan ilmu yang mereka kuasai. Hal-hal itu tentu saja tak mungkin dilakukan di masjid, karena masjid harus mewakili banyak orang. Masjid biasanya juga memiliki struktur pengurus yang programnya tak bisa sebebas langgar. 

Aahh… aku merindukan langgarlanggar seperti dulu itu.

Wallahu a’lam bi al-shawab. 

Hingga bulan Januari 2023 mendatang, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) safari menggelar halaqoh peradaban keliling pesantren di seluruh Nusantara. Halaqoh ini bertujuan untuk menyebarluaskan ide besar Ketua PBNU, Yahya Cholil Staquf, mengenai konsep peradaban yang harus diemban NU, untuk menghadapi perubahan tata politik dunia baru yang kini sedang terjadi. 

Gus Yahya (panggilan akrab Yahya Cholil Staquf) dalam bukunya PBNU, Perjuangan Besar Nahdatul Ulama menganggap,

Corak Islam di Timur Tengah jelas tidak mempunyai jalan keluar. Kekacauan dan suasana permusuhan di sana sudah berlangsung sangat lama dan tidak pernah berhenti sampai sekarang. Jika Islam Timur Tengah punya jalan keluar, semua kekacauan itu pasti tidak akan berlangsung berlarut-larut. Bagaimana mungkin di tengah tragedi kemanusiaan yang luar biasa seperti itu Islam tak punya jawaban (hal. 46) 

Karena Islam di Timur Tengah tidak menawarkan jalan keluar, maka sudah waktunya bagi Islam Nusantara untuk mengambil peran aktif, sebab kita semua berada di perahu yang sama (hal. 49). 

Gus Yahya meyakini bahwa pandangannya ini sesuai dengan apa yang diisyaratkan oleh K.H. Achmad Shiddiq dalam Muktamar di Situbondo tahun 1984. Saat itu, K.H. Achmad Shiddiq menyatakan di atas mimbar; 

kita harus menegakkan tidak hanya Ukhuwah Islamiyah, tetapi juga Ukhuwah Wathoniyah dan Ukhuwah Basyariyah (hal. 11). 

Mengapa NU harus mengambil peran ini?

Karena Nusantara setelah sejak abad ke-16 mengembangkan corak sosial-budaya yang berbeda dari Usmani dan Syafawi sebagai arus utama, memiliki alternatif yang dapat ditawarkan dalam pergulatan mencari model peradaban baru itu. Maka para ulamanya mendirikan NU. Suatu konstruksi pionir sebagai basis kelembagaan untuk ikut serta dalam perjuangan tersebut. Jelaslah bahwa agenda absolut NU adalah membangun peradaban. Apakah ini arogan? Tidak. NU tidak mengangankan penaklukan dan dominasi. NU berkehendak untuk menyumbang (ibid, hal. 97).  

Bebrayan Ageng

Untuk mendukung seruan K.H. Achmad Shiddiq dan ide besar Ketua PBNU di atas, tulisan ini ingin menguatkannya dengan titah KGPAA Mangkunegara IV (memerintah dari tahun 1853 hingga 1881) dalam karyanya Serat Wredatama (catatan keutamaan). Menurut saya ini penting untuk menautkan kesalinghubungan dan saling melengkapi antara ajaran Jawa/Jawi dengan Islam, yang sejatinya itu menjadi jati diri orang Nusantara, seperti yang dititahkan oleh PB X dalam Serat Rerepen berikut ini: 

…….. Karsaning Kang Maha Agung

Gunggunging Islam-Jawa

Marmane langgengna tunggal loro hiku

Ja-hana ingkang tinggal Jawa

Lan jo-hana hadoh agami

Artinya:

………. atas kehendak yang Maha Agung

Agungkanlah Islam-Jawa

Karenanya lestarikanlah dwitunggal itu

Jangan ada yang semata Jawa

Dan jangan sampai ada yang menjauhi agama

Perlu dipahami, bahwa kata Jawa/Jawi dalam kesusastraan Nusantara tak hanya merujuk pada suku Jawa yang tinggal di Pulau Jawa, melainkan kepulauan Nusantara. Makmur Harun, dkk (2016) dalam artikelnya Jawi dan Kajian Manuskrip menyatakan

kata Java merujuk ke seluruh Asia Tenggara. Penduduknya juga diberi nama dengan menggunakan kata tersebut atau dalam bentuk adjektifnya menjadi Jawi. Oleh sebab itu, kata Jawah atau Jawi merujuk kepada semua bangsa dan kaum yang menjadi peribumi di Asia Tenggara bukan hanya kepada orang Jawa, yaitu penduduk yang berasal dari Pulau Jawa. Sebaliknya, Jawah atau Jawi merujuk kepada seluruh rumpun bangsa Melayu, tidak kira sama ada orang Melayu, Campa, Pattani, Aceh, Jawa, Minangkabau, Mandailing, Sunda, Bugis, Banjar, Lombok, Filipina mahupun bangsa lain. 

Oleh sebab itu, kata Jawah atau Jawi merujuk kepada semua bangsa dan kaum yang menjadi peribumi di Asia Tenggara bukan hanya kepada orang Jawa, yaitu penduduk yang berasal dari Pulau Jawa. Sebaliknya, Jawah atau Jawi merujuk kepada seluruh rumpun bangsa Melayu, tidak kira sama ada orang Melayu, Campa, Pattani, Aceh, Jawa, Minangkabau, Mandailing, Sunda, Bugis, Banjar, Lombok, Filipina mahupun bangsa lain. 

Dengan demikian, maka istilah Islam Nusantara sejatinya juga merujuk pada makna Nusantara di atas. Dan Islam Nusantara dengan makna inilah yang ingin digaungkan oleh Gus Yahya dalam kepemimpinannya di PBNU agar dapat mengilhami peradaban dunia kelak. 

Secara garis besar, jika dicermati secara mendalam, konsep peradaban Islam Nusantara dan seruan K.H. Achmad Shiddiq tentang pentingnya NU menegakkan ukhuwah basyariah ini senafas dengan titah KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Wredhatama, pupuh II sinom 1 berikut ini:

nulada laku utama,

tumraping wong tanah jawi,

wong agung ing ngeksiganda,

Panembahan Senopati,

kepati amarsudi,

sudane hawa lan nepsu,

pinesu tapa brata,

tanapi ing siyang ratri,

hamemangun karyenak tyasing

sesami.

Artinya:

Meneladani laku utama, 

bagi orang tanah Jawa, 

sosok agung di Ngeksigondo, 

Panembahan Senopati, 

yang telah meninggalkan hawa nafsu

dengan bertapa, 

siang malam,

untuk membangun hidup bersama dengan hati yang

saling memuliakan sesama.

Kalimat hamemangun karyenak tyasing sasami yang artinyamembangun hidup bersama dengan hati yang saling memuliakan sesama, ini dalam kebudayaan Jawa disebut dengan beberayan ageng; pernikahan besar, persekutuan besar, warga dunia. Artinya, karakter peradaban Nusantara yang utama adalah memuliakan sesama warga dunia. 

Dengan karakter tersebut, orang Nusantara tidak boleh memiliki musuh. Semua orang di dunia adalah saudara. Hal ini selaras dengan filosofi hidup orang Jawa kiblat papat lima pancer, sedulur papat lima pancer. Artinya, di manapun kita berada, maka semua manusia dari empat penjuru mata angin adalah saudara. Orang Nusantara harus tetap pada pusatnya (pancer), yakni sebagai kalifatullah.  

Indonesia Mulia

Karakter peradaban memuliakan manusia ini ternyata sedari mula sebelum republik ini berdiri, telah dijadikan pijakan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Bahkan dijadikan lirik lagu kebangsaan Indonesia versi tiga stanza. Untuk pertama kali, lirik dan notasi lagu ini dimuat di surat kabar Sin Po edisi 10 November 1928. Pada mulanya, lagu ini berjudul Indonesia, bukan Indonesia Raja atau Indonesia Raya. Menurut Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), 5.000 eksemplar teks lirik dan notasi itu dicetak. Surat kabar Sin Po adalah tempat W.R. Supratman, penulis lagu ini bekerja sebagai jurnalis.

Mari kita cermati lirik lagu Indonesia yang asli (3 stanza) di bawah ini:

Indonesia, tanah airkoe,

Tanah toempah darahkoe,

Disanalah akoe berdiri,

Mendjaga Pandoe Iboekoe.

Indonesia kebangsaankoe,

Kebangsaan tanah airkoe,

Marilah kita berseroe:

“Indonesia Bersatoe”.

Hidoeplah tanahkoe,

Hidoeplah neg’rikoe,

Bangsakoe, djiwakoe, semoea,

Bangoenlah rajatnja,

Bangoenlah badannja,

Oentoek Indonesia Raja.

II

Indonesia, tanah jang moelia,

Tanah kita jang kaja,

Disanalah akoe hidoep,

Oentoek s’lama-lamanja.

Indonesia, tanah poesaka,

Poesaka kita semoea,

Marilah kita mendoa:

“Indonesia Bahagia”.

Soeboerlah tanahnja,

Soeboerlah djiwanja,

Bangsanja, rajatnja, semoeanja,

Sedarlah hatinja,

Sedarlah boedinja,

Oentoek Indonesia Raja.

III

Indonesia, tanah jang soetji,

Bagi kita disini,

Disanalah kita berdiri,

Mendjaga Iboe sedjati.

Indonesia, tanah berseri,

Tanah jang terkoetjintai,

Marilah kita berdjandji:

“Indonesia Bersatoe”

S’lamatlah rajatnja,

S’lamatlah poet’ranja,

Poelaoenja, laoetnja, semoea,

Madjoelah neg’rinja,

Madjoelah Pandoenja,

Oentoek Indonesia Raja.

Refrain

Indones’, Indones’,

Moelia, Moelia,

Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta.

Indones’, Indones’,

Moelia, Moelia,

Hidoeplah Indonesia Raja.

Namun, sayang seribu sayang, ketika Menteri Kehakiman dipegang GE Maengkom dan Perdana Menteri dijabat Ir. Djuanda, pada tanggal 26 Juni 1958, keluarlah Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya danLembaran Negara No. 72 tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Liriknya pun diubah seperti yang dinyanyikan sekarang.


I

Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.

Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.

Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.

II

Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s’lama-lamanya.

Indonesia, tanah pusaka,
P’saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.

Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.

III

Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N’jaga ibu sejati.

Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.

S’lamatlah rakyatnya,
S’lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg’rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain

Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.

Penutup 

Dalam khazanah kebudayaan Jawa, ada tiga motif batik dengan dasar polosan dan motif yang rumit, yaitu sida mulia, sida mukti, dan sida luhur. Ketiganya sama desainnya, hanya dibedakan oleh dasar batiknya saja. Batik sida mulia dasarnya warna coklat, sida mukti putih, dan sida luhur hitam. 

Batik sida mulia biasa dipakai pengantin pria maupun wanita sebagai simbol harapan agar keluarga mendapatkan kemuliaan. Sida mukti simbol pengharapan terkabul keinginannya. Sedangkan sida luhur biasa digunakan dalam upacara lurub layon, yaitu sebagai alas berbaring jenazah dan upacara sadranan untuk menghormati leluhur (arwah).

Batik sida mulia dan sida mukti juga merupakan simbolisasi dari konsep kamulyan dan kamukten. Batik sida mulia simbol kesejahteraan batin, sedangkan sida mukti simbol kesejahteraan lahir.  Kamulyan adalah bobot spiritualitas dan ketenangan ruhani. Sementara kamukten lebih pada kesejahteraan ekonomi, mas picis rajabrana. Kesejahteraan harta benda dan kesenangan jasmani. 

Kamulyan dan kamukten harus diupayakan. Manusia hidup membutuhkan keduanya, tetapi harus tetap dilandasi kepolosan. Artinya, untuk memperoleh kamulyan, manusia harus polos,  jangan ada kepentingan lain selain ikhlas mengikuti kersane Gusti Allah. Pun demikian dengan upaya memperoleh kamukten. Keduanya harus seimbang, tak berlebihan, karena berlebihan dalam keduanya juga tak baik. 

Memperoleh kamulyan dan kemukten adalah tugas memuliakan. Memuliakan kamulyan dan kamukten artinya mengupayakan keduanya dengan sikap mulia, yakni sikap polos dan ikhlas.

Dan bahwa termasuk di antara habitus yang diwariskan oleh tradisi pesantren itu adalah kemampuan bashirah ruhaniyah (ketajaman mata batin) dari para ulama shalihin sebagai buah barokah dan istiqomah dalam ilmu, ri’ayah, dan keikhlasan (ibid, hal. 127).  

Wallahualam bissawab.

Di bulan puasa yang tenang, marilah kita berdendang tembang dolanan bocah karya dalang Ki Slamet Gundono yang riang. Bagi yang pernah mendengarkan bagaimana tembang ini dilantunkan, tentu imajinasi anda akan melayang. Namun bagi yang belum, semoga bisa meresapi maknanya yang terdalam.

Sebelum dimulai, bayangkan anda seperti diiringi petikan gitar mandolin Slamet Gundono. Baik, kita mulai, yaa…

Atine bolong

Atine kosong

Atine mlompong

(hatinya bolong

Hatinya kosong

Hatinya melompong)

Neng langit  ana lintang

Lintang….lintang luku

Ana bocah…

Ana bocah…

Bocah cilik gambar jagad

(di langit ada bintang

Bintang..bintang luku

Ada anak

Ada anak

Anak kecil melukis dunia)

Reff.

Cantel neng lintang

Sampir neng mbulan

Pepe neng srengenge

(gantungkan di bintang

Sampirkan di bulan

Jemur di matahari)

Ana bocah…..

Ana bocah…

Bocah cilik…

Bocah cilik gambar jagad

(ada anak

Ada anak

Anak kecil melukis dunia).

Tembang sederhana ini terinspirasi dari masa kecil Slamet Gundono yang sering bermain-main di sawah kampungnya. Bersama teman-temannya, Gundono kecil berlarian menyusuri pematang sawah. Setelah lelah, mereka akan menyebur ke Kali Gung yang saat itu masih dipenuhi air yang bening, hingga ikan-ikan masih tertangkap mata telanjang dan mudah ditangkap dengan tangan. Sembari mandi di kali, mereka mencari ikan dengan kedua telapak tangannya. Atau dengan menyusuri padas tempat ikan bersembunyi, mengamati lubangnya, kemudian saat ikan atau udang keluar, jari mungil mereka segera menarik buntut ikan atau udang tersebut.

Setelah memperoleh ikan atau udang, mereka akan membakarnya dengan klaras (daun pisang kering) di pinggir kali, kemudian memakannya beramai-ramai. Ketika mereka saling menatap, mereka tergelak bersama-sama karena saling melihat mulut mereka hitam penuh jelaga. Satu orang kemudian ada yang usil. Tangan mereka mengambil jelaga, kemudian diusapkan ke wajah temannya. Mereka kembali terbahak, kemudian berlariang dan..byuuurr….terjun ke kali lagi. Sungguh indah masa-masa itu.

Suasana seperti ini dalam bayangan Slamet Gundono dewasa dibaca sebagai suasana ketika anak-anak sedang melukis dunia, nggambar jagad. Kelak saat dewasa, lukisan mereka akan muncul lagi dan menginspirasi mereka dalam melakoni urip. Urip kui pancen mung dolanan. Laibun walahwun. Hal itulah yang dialami dan dirasakan Slamet Gundono selama hidupnya. Masa kecilnya memberikan banyak inspirasi dalam membuat karya lakon dan sekar. Masa kecil dan suasan kampung ternyata membuatnya jejeg menyangga tubuhnya yang besar dan beban hidupnya yang berat.

Kelak saat dewasa, lukisan mereka akan muncul lagi dan menginspirasi mereka dalam melakoni urip. Urip kui pancen mung dolanan.

Tembang di atas ini ditulis ketika Slamet Gundono sudah dewasa. Oleh karenanya, sekar ini merupakan imajinasi balik Slamet Gundono. Saat dewasa, ia telah mengalami lika liku hidup penuh warna; susah, senang, penat, bosan, muak, bahagia, atau sedih. Pait legi wis dilek. Baik terhadap sesuatu di luar dirinya maupun terhadap dirinya sendiri. Imajinasi ini secara psikologis menjadi mekanisme pertahanan dirinya (ego deffens mechanism) agar tak larut dengan masalah hidup, meskipun tak dimungkiri masalahnya membuat kesehatannya menurun dan penyakit kaki gajahnya semakin parah.

Mekanisme pertahanan diri umum diajarkan dalam kajian psikologi. Teori yang dicetuskan oleh Sigmund Freud, filosof perang dunia ke II dari Jerman ini menunjuk pada proses tak sadar yang melindungi seseorang dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Namun menurut Freud pula, pada dasarnya cara ini tak mengubah kenyataan, melainkan hanya mengubah persepsi seseorang terhadap masalah tersebut.  Jadi, cara ini hanya bentuk penipuan diri.

Menurut Freud, ada sepuluh cara seseorang mempertahankan egonya, yaitu represi (menekan kecemasan), supresi (menahan kecemasan), reaksi formasi (mengubah mimik wajah), fiksasi (meminta tolong orang lain), regresi (kembali ke masa lalu yang indah), denial (menyangkal), proyeksi (menyalahkan hal lain), sublimasi (mengalihkan ke hal positif), rasionalisasi (membuat masuk akal perilakunya), displasment (mengelak), menarik diri, fantasi (melamun), dan intelektualisasi (menganalisa).

Teori ini tentu saja tak semuanya tepat, karena mekanisme pertahanan ini hanyalah istilah Freud saja. Bagi orang Jawa, regresi, fantasi, atau sublimasi misalnya, justru dibutuhkan untuk membangun kejujuran dan ketulusan diri (bolong, mlompong, kosong), bukan menipu diri. Yaa, seperti yang dilakukan Slamet Gundono ini. Ia tak mungkin menghasilkan karya-karya besar, seperti tembang ini, kalau ia tak berfantasi, kembali, dan mengendapkan pengalaman masa kecilnya dan pikiran dan hatinya. Dengan ego deffens mechanism, Slamet Gundono sekar nggambar jagad.

Dalam tembang ini, Slamet Gundono menggunakan kata kosong, mlompong, dan bolong untuk melukiskan hati yang ikhlas, jujur, dan apa adanya. Hati seperti ini hanya dimiliki oleh anak-anak, karena mereka masih suci, fitri, dan belum teracuni oleh beragam pengetahuan. Ikhlas, jujur, dan apa adanya oleh orang Jawa diterjemahkan dalam sikap semeleh atau narima ing pandhum. Sikap semeleh atau narima ing pandhum dianggap sebagai puncak kecerdasan manusia Jawa setelah seseorang mendayagunakan seluruh kemampuannya di hadapan pemilik kehidupan. Lahaula wala quata illa billahil ngaliyil adzim.       

Dalam psikologi terdapat juga teori yang disebut dengan tabula rasa. Menurut teori ini, setiap bayi lahir itu ibarat batu tulis yang bersih. Perilaku selanjutnya akan dipengaruhi pengalamannya. Teori ini merupakan epistimologi yang dicetuskan oleh filosof Inggris abad 17, John Locke, bahwa manusia yang lahir tak memiliki mental bawaan dari leluhurnya.

Dalam kehidupan nyata, teori ini juga tak sepenuhnya tepat. Di Jawa, pengaruh genetik dari orangtua justru dianggap berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Bahkan, orang Jawa sangat perhatian dengan apa yang disebut rah ayu, darah yang ayu, artinya keturunan yang baik. Adapun roh ayu (ruh baik) dan reh ayu (kemulyaan) menjadi hak Gustialah.

Terhadap rah ayu (kemudian menjadi salam rahayu), para leluhur Jawa mengajarkan, hendaknya manusia Jawa mempersiapkan dengan serius jika ingin memiliki keturunan yang baik. Apalagi jika itu menyangkut kepemimpinan, maka dikenal peribahasa trahing kusumo rembesing madu. Bahwa pemimpin harus berasal dari bibit yang baik agar dapat melahirkan ajaran dan kepemimpinan (tauladan) yang baik.

Trah (dari Bahasa Arab itroh yang artinya keluarga atau keturunan) sangat penting dalam kepemimpinan Jawa. Dalam sebuah diskusi, Ki Herman Sinung Janutama menyatakan, setidaknya ada lima laku yang harus dilakukan dan dipersiapkan oleh calon pemimpin dalam ajaran Jawa, yaitu lelana (mencari ilmu), tedak sungging atau susur leluhur (jelas leluhurnya), manages (menegaskan atau memantapkan diri), jumeneng (disahkan), dan lengser (tahu diri kapan harus turun tahta).Tahap-tahap ini bukan untuk gagah-gagahan atau eksklusif, melainkan agar terjamin kualitas bobot, bibit, bebet-nya. Meskipun demikian, tersebab oleh kondisi zamannya, terkadang ada juga trah ratu yang seharusnya menjadi ratu tetapi memilih menjadi pujangga atau rakyat biasa.

Untuk menyiapkan rah ayu nanti derivasinya akan menurunkan beragam aturan dan upacara daur hidup yang ketat dan sangat berat. Dari mulai memilih calon istri, mendidik anak, hingga pendidikannya. Dalam konteks ini, dengan tujuan agar kosmologi Islam Jawa ini semakin merasuk dalam uripe wong Jawa, maka Kanjeng Sultang Agung Anyakrakusumo (1593-1645 M) pada tahun 1633 M (1555 saka), memerintahkan seluruh Kesultanan Mataram yang meliputi seluruh Pulau Jawa, Madura (kecuali Banten Batavia, dan Blambangan) untuk menggunakan sistem penanggalan (kalender) lunar (yang berdasar perputaran bulan). Tujuannya tentu saja agar kehidupan sehari-hari orang Jawa tersambung dengan ajaran Islam dan Jawa. Tentu saja hal ini terkait dengan cara hidup orang Jawa sesuai kosmologinya.

Melaui tembang ini, dalam pemahaman Slamet Gundono, semua itu hanya akan disandang oleh mereka yang hatinya bolong, mlompong, dan kosong. Yakni, orang yang manah (hati) selalu terikat dengan lemah (tanah) dan Gustialah (Tuhan). Ati, bumi, Gusti. Kosong bukan berarti tak berisi. Pun demikian, Sebaliknya, kosong itu isi, dan agar berisi harus kosong. Atine bolong, kosong, mlompong.

Melaui tembang ini, dalam pemahaman Slamet Gundono, semua itu hanya akan disandang oleh mereka yang hatinya bolong, mlompong, dan kosong. Yakni, orang yang manah (hati) selalu terikat dengan lemah (tanah) dan Gustialah (Tuhan). Ati, bumi, Gusti.

Dalam kalender Sultan Agungan (Islam Jawa), wulan pasa (puasa/ramadan) itu diartikan madya, apa adanya, semeleh. Sedangkan wulan besar (haji) diartikan kosong, suwung. Jika disambungkan dengan urutan dalam rukun Islam, maka ini dapat ditafsirkan, agar kelak manusia Jawa setelah madya di wulan pasa, ditambah membersihkan diri dengan zakat, dapat benar-benar kosong/suwung di wulan besar. Dengan begitu, kita akan tetap menjadi bocah cilik yang atine tetep bolong, sehingga mampu nggambar jagad

Atine bolong

Atine kosong

Atine mlompong

Ana bocah…..

Ana bocah…

Bocah cilik…

Bocah cilik gambar jagad

Selamat menikmati ibadah puasa 1443 H.

Wallahua’lam bissawab.


*Baca Lengkap Tulisan Yusuf Effendi terkait Ki Selamet Gundono dalam Buku Bocah Cilik Gambar Jagad