Hingga bulan Januari 2023 mendatang, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) safari menggelar halaqoh peradaban keliling pesantren di seluruh Nusantara. Halaqoh ini bertujuan untuk menyebarluaskan ide besar Ketua PBNU, Yahya Cholil Staquf, mengenai konsep peradaban yang harus diemban NU, untuk menghadapi perubahan tata politik dunia baru yang kini sedang terjadi.
Gus Yahya (panggilan akrab Yahya Cholil Staquf) dalam bukunya PBNU, Perjuangan Besar Nahdatul Ulama menganggap,
Corak Islam di Timur Tengah jelas tidak mempunyai jalan keluar. Kekacauan dan suasana permusuhan di sana sudah berlangsung sangat lama dan tidak pernah berhenti sampai sekarang. Jika Islam Timur Tengah punya jalan keluar, semua kekacauan itu pasti tidak akan berlangsung berlarut-larut. Bagaimana mungkin di tengah tragedi kemanusiaan yang luar biasa seperti itu Islam tak punya jawaban (hal. 46)
Karena Islam di Timur Tengah tidak menawarkan jalan keluar, maka sudah waktunya bagi Islam Nusantara untuk mengambil peran aktif, sebab kita semua berada di perahu yang sama (hal. 49).
Gus Yahya meyakini bahwa pandangannya ini sesuai dengan apa yang diisyaratkan oleh K.H. Achmad Shiddiq dalam Muktamar di Situbondo tahun 1984. Saat itu, K.H. Achmad Shiddiq menyatakan di atas mimbar;
kita harus menegakkan tidak hanya Ukhuwah Islamiyah, tetapi juga Ukhuwah Wathoniyah dan Ukhuwah Basyariyah (hal. 11).
Mengapa NU harus mengambil peran ini?
Karena Nusantara setelah sejak abad ke-16 mengembangkan corak sosial-budaya yang berbeda dari Usmani dan Syafawi sebagai arus utama, memiliki alternatif yang dapat ditawarkan dalam pergulatan mencari model peradaban baru itu. Maka para ulamanya mendirikan NU. Suatu konstruksi pionir sebagai basis kelembagaan untuk ikut serta dalam perjuangan tersebut. Jelaslah bahwa agenda absolut NU adalah membangun peradaban. Apakah ini arogan? Tidak. NU tidak mengangankan penaklukan dan dominasi. NU berkehendak untuk menyumbang (ibid, hal. 97).
Bebrayan Ageng
Untuk mendukung seruan K.H. Achmad Shiddiq dan ide besar Ketua PBNU di atas, tulisan ini ingin menguatkannya dengan titah KGPAA Mangkunegara IV (memerintah dari tahun 1853 hingga 1881) dalam karyanya Serat Wredatama (catatan keutamaan). Menurut saya ini penting untuk menautkan kesalinghubungan dan saling melengkapi antara ajaran Jawa/Jawi dengan Islam, yang sejatinya itu menjadi jati diri orang Nusantara, seperti yang dititahkan oleh PB X dalam Serat Rerepen berikut ini:
…….. Karsaning Kang Maha Agung
Gunggunging Islam-Jawa
Marmane langgengna tunggal loro hiku
Ja-hana ingkang tinggal Jawa
Lan jo-hana hadoh agami
Artinya:
………. atas kehendak yang Maha Agung
Agungkanlah Islam-Jawa
Karenanya lestarikanlah dwitunggal itu
Jangan ada yang semata Jawa
Dan jangan sampai ada yang menjauhi agama
Perlu dipahami, bahwa kata Jawa/Jawi dalam kesusastraan Nusantara tak hanya merujuk pada suku Jawa yang tinggal di Pulau Jawa, melainkan kepulauan Nusantara. Makmur Harun, dkk (2016) dalam artikelnya Jawi dan Kajian Manuskrip menyatakan,
kata Java merujuk ke seluruh Asia Tenggara. Penduduknya juga diberi nama dengan menggunakan kata tersebut atau dalam bentuk adjektifnya menjadi Jawi. Oleh sebab itu, kata Jawah atau Jawi merujuk kepada semua bangsa dan kaum yang menjadi peribumi di Asia Tenggara bukan hanya kepada orang Jawa, yaitu penduduk yang berasal dari Pulau Jawa. Sebaliknya, Jawah atau Jawi merujuk kepada seluruh rumpun bangsa Melayu, tidak kira sama ada orang Melayu, Campa, Pattani, Aceh, Jawa, Minangkabau, Mandailing, Sunda, Bugis, Banjar, Lombok, Filipina mahupun bangsa lain.
Oleh sebab itu, kata Jawah atau Jawi merujuk kepada semua bangsa dan kaum yang menjadi peribumi di Asia Tenggara bukan hanya kepada orang Jawa, yaitu penduduk yang berasal dari Pulau Jawa. Sebaliknya, Jawah atau Jawi merujuk kepada seluruh rumpun bangsa Melayu, tidak kira sama ada orang Melayu, Campa, Pattani, Aceh, Jawa, Minangkabau, Mandailing, Sunda, Bugis, Banjar, Lombok, Filipina mahupun bangsa lain.
Dengan demikian, maka istilah Islam Nusantara sejatinya juga merujuk pada makna Nusantara di atas. Dan Islam Nusantara dengan makna inilah yang ingin digaungkan oleh Gus Yahya dalam kepemimpinannya di PBNU agar dapat mengilhami peradaban dunia kelak.
Secara garis besar, jika dicermati secara mendalam, konsep peradaban Islam Nusantara dan seruan K.H. Achmad Shiddiq tentang pentingnya NU menegakkan ukhuwah basyariah ini senafas dengan titah KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Wredhatama, pupuh II sinom 1 berikut ini:
nulada laku utama,
tumraping wong tanah jawi,
wong agung ing ngeksiganda,
Panembahan Senopati,
kepati amarsudi,
sudane hawa lan nepsu,
pinesu tapa brata,
tanapi ing siyang ratri,
hamemangun karyenak tyasing
sesami.
Artinya:
Meneladani laku utama,
bagi orang tanah Jawa,
sosok agung di Ngeksigondo,
Panembahan Senopati,
yang telah meninggalkan hawa nafsu
dengan bertapa,
siang malam,
untuk membangun hidup bersama dengan hati yang
saling memuliakan sesama.
Kalimat hamemangun karyenak tyasing sasami yang artinyamembangun hidup bersama dengan hati yang saling memuliakan sesama, ini dalam kebudayaan Jawa disebut dengan beberayan ageng; pernikahan besar, persekutuan besar, warga dunia. Artinya, karakter peradaban Nusantara yang utama adalah memuliakan sesama warga dunia.
Dengan karakter tersebut, orang Nusantara tidak boleh memiliki musuh. Semua orang di dunia adalah saudara. Hal ini selaras dengan filosofi hidup orang Jawa kiblat papat lima pancer, sedulur papat lima pancer. Artinya, di manapun kita berada, maka semua manusia dari empat penjuru mata angin adalah saudara. Orang Nusantara harus tetap pada pusatnya (pancer), yakni sebagai kalifatullah.
Indonesia Mulia
Karakter peradaban memuliakan manusia ini ternyata sedari mula sebelum republik ini berdiri, telah dijadikan pijakan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Bahkan dijadikan lirik lagu kebangsaan Indonesia versi tiga stanza. Untuk pertama kali, lirik dan notasi lagu ini dimuat di surat kabar Sin Po edisi 10 November 1928. Pada mulanya, lagu ini berjudul Indonesia, bukan Indonesia Raja atau Indonesia Raya. Menurut Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), 5.000 eksemplar teks lirik dan notasi itu dicetak. Surat kabar Sin Po adalah tempat W.R. Supratman, penulis lagu ini bekerja sebagai jurnalis.
Mari kita cermati lirik lagu Indonesia yang asli (3 stanza) di bawah ini:
Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.
Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
“Indonesia Bersatoe”.
Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg’rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.
II
Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s’lama-lamanja.
Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoea,
Marilah kita mendoa:
“Indonesia Bahagia”.
Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoeanja,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.
III
Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
“Indonesia Bersatoe”
S’lamatlah rajatnja,
S’lamatlah poet’ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg’rinja,
Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.
Refrain
Indones’, Indones’,
Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta.
Indones’, Indones’,
Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.
Namun, sayang seribu sayang, ketika Menteri Kehakiman dipegang GE Maengkom dan Perdana Menteri dijabat Ir. Djuanda, pada tanggal 26 Juni 1958, keluarlah Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya danLembaran Negara No. 72 tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Liriknya pun diubah seperti yang dinyanyikan sekarang.
I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
II
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s’lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P’saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
III
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N’jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.
S’lamatlah rakyatnya,
S’lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg’rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Penutup
Dalam khazanah kebudayaan Jawa, ada tiga motif batik dengan dasar polosan dan motif yang rumit, yaitu sida mulia, sida mukti, dan sida luhur. Ketiganya sama desainnya, hanya dibedakan oleh dasar batiknya saja. Batik sida mulia dasarnya warna coklat, sida mukti putih, dan sida luhur hitam.
Batik sida mulia biasa dipakai pengantin pria maupun wanita sebagai simbol harapan agar keluarga mendapatkan kemuliaan. Sida mukti simbol pengharapan terkabul keinginannya. Sedangkan sida luhur biasa digunakan dalam upacara lurub layon, yaitu sebagai alas berbaring jenazah dan upacara sadranan untuk menghormati leluhur (arwah).
Batik sida mulia dan sida mukti juga merupakan simbolisasi dari konsep kamulyan dan kamukten. Batik sida mulia simbol kesejahteraan batin, sedangkan sida mukti simbol kesejahteraan lahir. Kamulyan adalah bobot spiritualitas dan ketenangan ruhani. Sementara kamukten lebih pada kesejahteraan ekonomi, mas picis rajabrana. Kesejahteraan harta benda dan kesenangan jasmani.
Kamulyan dan kamukten harus diupayakan. Manusia hidup membutuhkan keduanya, tetapi harus tetap dilandasi kepolosan. Artinya, untuk memperoleh kamulyan, manusia harus polos, jangan ada kepentingan lain selain ikhlas mengikuti kersane Gusti Allah. Pun demikian dengan upaya memperoleh kamukten. Keduanya harus seimbang, tak berlebihan, karena berlebihan dalam keduanya juga tak baik.
Memperoleh kamulyan dan kemukten adalah tugas memuliakan. Memuliakan kamulyan dan kamukten artinya mengupayakan keduanya dengan sikap mulia, yakni sikap polos dan ikhlas.
Dan bahwa termasuk di antara habitus yang diwariskan oleh tradisi pesantren itu adalah kemampuan bashirah ruhaniyah (ketajaman mata batin) dari para ulama shalihin sebagai buah barokah dan istiqomah dalam ilmu, ri’ayah, dan keikhlasan (ibid, hal. 127).
Wallahualam bissawab.
Leave a Reply