Laku Perjalanan “Niti Windu”

Nengok Pameran Tunggal Budi Kampret

Selesainya acara FTIN (Festival Tradisi Islam Nusantara) dalam rangka satu abad NU, saya menyempatkan singgah ke Bali dan Jogja, sebelum pulang ke Banjarmasin. Dari Banyuwangi, transit di terminal Mengwi menuju Sanur, saya langsung menuju ke Lembongan—satu dari tiga nusa (pulau) kecil di sebelah timur pulau Bali. Tujuan saya Rai Art Space, milik pelukis Komang Rai Kastawan yang baru saja dibuka beberapa hari sebelumnya. Dua hari saya nginap di tempat yang menarik arsitekturnya ini, sebelum menyeberang lagi ke Denpasar untuk menyaksikan pembukaan pameran tunggal Budiyono aka Budi Kampret di TAT Art Space (The Ambengan Tenten, Jl. Imam Bonjol Gg. Rahayu No.16A Denpasar) yang dikelola teman kami Bagus Prabowo.

Perjalanan ini bagi saya mencerahkan dari sisi spiritual maupun artistik. Diskusi tradisi Islam nusantara di Banyuwangi yang mengekspos banyak sisi kehidupan tradisional keagamaan Islam di beberapa daerah di Indonesia (10/1/2023), sembari sesekali menyimak “ceramah” makrifat Islam Jawa-nya Irfan Afifi; perbincangan dua hari di rumah Rai menjelang Kuningan tentang pasar seni lukis dunia dan tradisi Hindu Bali; dan nonton pameran Niti Windu.

Pameran Niti Windu yang memajang puluhan karya lukis Budi Kampret persis bicara tentang “perjalanan”—yang dalam khazanah sufi lazim disebut suluk. Seperti ditempel di kaca galeri, sebuah poster menjelaskan:

“Merunut dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, niti atau meniti berarti berjalan, menjalani, menapaki sebuah jalan sempit dan panjang. Sedangkan merunut lebih jauh filosofi Jawa Kuno, niti berarti abadi. Windu sendiri memiliki arti delapan, yang mana angka tersebut memiliki simbol serupa dengan lambang infinit/ketidakterbatasan. Layaknya kehidupan seorang manusia yang penuh dengan liku-liku perjalanan panjang, Niti Windu merupakan sebentuk rasa syukur Budi Kampret atas perjalanan panjang hidup yang tiada henti hingga berhasil membawanya pada satu titik kehidupan ini….”

Sebelum pameran dibuka saya sempat bicara banyak dengan Budi, bertanya pesan apa yang ingin disampaikannya kali ini (?); ditemaninya menikmati panel demi panel kanvasnya yang kali ini lebih berwarna, sekaligus menyimak penjelasannya atas setiap karya.

Seri Lukisan “Lampah Telu”

Bukan kali ini saja saya mendengarkan paparan Budi yang diselangselingi bahasa Jawa, yang sebagian tak saya pahami namun bisa saya mengerti konteks pembicaraannya. Tahun 2012 saya mengkurasi pameran tunggalnya di Galeri Biasa Yogyakarta. Berbulan-bulan kami berproses bersama, dari mengikutinya kungkum di beberapa sendang di Jogja, ngobrol hingga dini hari dan menikmati oseng-oseng jamur masakannya.

Budi lahir dari tradisi Jawa yang kompleks. Orang tuanya mengikut paham Kejawen dan ia sudah terbiasa ikut tirakat di lereng gunung Lawu—tempat ia lahir dan tumbuh sebelum ke Solo dan Jogja. Di Jogja ia ikut kelompok Taring Padi, mendirikan Sanggar Caping bersama kawan-kawan seangkatan, yang keduanya berhaluan “kerakyatan”. Ia kemudian menikah dengan adik teman kami yang kelahiran Jerman, lalu tinggal di sana, dan hampir setiap tahun pulang ke Indonesia untuk membuat atau mengikuti pameran.

Tampilannya yang urakan, gimbal, tidak serta merta meninggalkan kesan bersih dan “rapi”. Sewaktu ikut kungkum di Jogja dulu saya baru menyadari ini, ia rajin menjaga “kesucian”—bersih badan dan pakaian—mesti sekilas tampak kusut dan nggembel. Prinsip hidupnya pun menarik, persis seperti yang diharapkan NU dengan konsep wasathiyyah-nya: tumbuh alamiah dan tak suka bersikap absolut (tidak benci, benci banget, atau senang, senang banget). Di tengah-tengah. Moderat. Keras (berdisiplin) pada diri sendiri, luwes terhadap yang lain. (Paparan lebih panjang bisa dicek di catatan katalog pameran Nasionalisme dan Penyaksian Kampret, Galeri Biasa, 2012)

Masih seperti dulu, Budi tampil mengalir menjalani hidupnya, bicara ceplas-ceplos dengan dialek Jawa apa adanya, melukis sesuai kemampuan dan kesukaannya. Pameran kali ini menghimpun suara-perjalanan masa pandemi.

Tenan Bung, aku nggak iso apa-apa, di kamar saja bersama keluarga. Mau keluar khawatir, terutama buat anak-anak, ya untungnya aku dan istri biasa hidup sederhana, makan seadanya… ya, aku nggambar aja!” Meski tidak sama persis, kurang lebih begitulah ungkapan Kampret (jika ada ketidakkonsistenan antara menyebut Budi atau Kampret, itu lebih karena rasa kedekatan kami).

Yang “keluar” kemudian makhluk-makhluk asing dengan latar cerita Nabi Nuh atau Nabi Sulaiman versi Jawa, melalui sketsa hitam putih di atas bidang-bidang berwarna lembut. Bidang-bidang—yang menjadi latar lukisan—itu sendiri adakalanya kubistik kotak-kotak, sebagai representasi simbolik atas ruang-ruang yang membatasi; dan adakalanya ‘amorfis’, terkesan bergerak, menyala-nyala seperti lidah api.

Pada dasarnya Budi suka sekali nggambar—membuat ‘drawing’ yang bermakna tarikan garis. Figur-figurnya sedari dulu lebih berupa sketsa, outline garis-garis menjulur panjang. Sebagai catatan, tesisnya di Pascasarjana ISI Yogyakarta juga berupa laporan penciptaan karya drawing dengan teknik rubbing di lembaran kanvas yang ditempelkan di relief-relief candi. Selebihnya warna hanya sebatas motif dasar baik berupa blok bidang (shape) pada latar atau garis warna yang membentuk figur tanpa gradasi volume bentuknya. Jejalan figur-figurnya yang absurd identik dengan kekaburan virus corona yang menyeramkan itu. Bertanduk, bergerigi, ada yang seperti ikan, kuda laut, tengkorak manusia, kambing, celeng, tikus, burung; ada yang bersayap, ada yang berkaki dan melata; ada mata-mata yang disebar; ada tulisan yang dicoret-coret, dlsb.

Sedemikian banyak bidang kanvas kecil disusun secara berseri. Sebagian persegi, kotak (ukuran 30×30 cm) dan persegi panjang vertikal, sebagian lagi dalam bentuk kanvas bulat—yang berisi sketsa tinta bak, spidol dan pensil. Rata-rata, yang berwarna, dibuat dengan media akrilik di kanvas, dan ada juga yang dibuat di lembar kain terbentang.

Secara umum, saya rangkum, kompleksitas penggambaran Budi itu bukan karena ia berpikir di luar jangkauan yang tak dimengertinya—seperti kompleksitas teori ilmiah atau politik Indonesia saat ini. Kompleksitas itu seperti benang kusut, karena ia terus berjalan tanpa henti. Garis “hidup”nya mengalir secara linear, panjang, berkelok, meliuk-liuk, karena ia suka dan, yang lebih penting, ia menyadari sesadar-sadarnya pilihannya. “Aku ini tahu diriku bodoh, makanya aku kuliah banyak, Bung.” Ya, Budi pernah kuliah di UMS Solo, ISI Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, dan Pascasarjana ISI Yogyakarta. Ambisinya tidak besar, sebatas menjemput apa yang didapatinya dalam perjalanan. Suka bule, ia nikah dengan bule. Pengin jalan-jalan keluar negeri, ia ke Jerman. Dan yang demikian tampak panjang dan berwarna, layaknya kehidupan seorang salik (pejalan rohani).

Suluk adalah laku spiritual kaum sufi yang telah berkomitmen dalam hidupnya. Ia menjalani syariat karena kesadaran penghambaan terhadap Dzat yang Mahaagung. Menjalani tarekat, karena ingin menempa diri lebih sungguh-sungguh (dalam istilah sufisme disebut mujahadah, atau riyadhah yang berarti latihan berdisiplin). Menggapai hakikat karena menghikmati setiap pengalaman—seperti diungkapkan para sufi “man lam yadzuq lam yadri” (yang tak merasai/mengalami takkan pernah tahu rasanya). Mengerti diri, membuahkan kehadiran dalam makrifat ketotalan.

Saya percaya begitu totalnya Kampret menjalani apa yang diyakininya, atau setidaknya yang dirasakannya dalam hati. Karya-karyanya bukan dibuat-buat, untuk menjadi kubis, naif, dst., tapi karena adanya pengetahuan yang diselaraskan dengan pengalaman atas dasar suka (baca juga: ikhlas) menjalani hidup. Dalam pembukaan pamerannya ia menggelar performance-art dengan mendalang yang dijudulinya “Lawat Tresne”.

Boneka wayangnya kertas koran dan kardus yang dibentuk seperti figur dalam lukisannya. Ia tidak benar-benar mendalang, kecuali memainkan beberapa wayangnya secara lembut dari balik layar kecil; tidak bercerita secara verbal, kecuali di antaranya menyanyikan gending Jawa karya Ki Dalang Poer asal Ngawi:

rembulan, ing ndalan 
purnomo pungkasan 
katelu wengine, kapitu candrane
kekasih sawangen atiku
kinipat adoh lan sliramu 
kangenku sinimpen ing kalbu 
opo bakal lalis 
rembulan ing ndalan kinukut lan pedut 
lakune katresnan kumlebat
… lir surup

Palenam, 26 Januari 2016

Hajriansyah
Hajriansyah, lahir dan menetap di Banjarmasin. Ia menulis puisi, cerpen dan esai, dan sudah terbit dalam sejumlah buku. Selain itu ia juga melukis, sesekali jadi kurator, dan berpameran di sejumlah tempat. Sekarang, sambil merampungkan disertasinya tentang dunia sufi, ia mengelola Kampung Buku (Kambuk) di kota kelahirannya, dan menjadi Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin.