Menu

Wajah Islam di Banyumas: Makam Syekh Makdum Wali, Tarekat, dan Dinamika Umat Islam

Syekh Makdum Wali dan Islamisasi Banyumas

Saya senang duduk berlama-lama di tepi makam keramat desa saya, di titik mana saya dapat memandang kekokohan sebuah nisan dan area makam yang luas dan sayup. Sembari saya campakan segala yang ada dan menyibak segala yang tak ada. Bagai membakar dedaunan dan reranting kering yang menyematkan mata. Makam keramat yang acapkali saya ziarahi adalah Makam Syekh Makdum Wali. Maklumlah, rumah saya dekat dengan makam keramat tersebut. Konon, desa saya ini (pasir kidul) dulu merupakan kawasan Pasir Batang (Kerajaan Islam awal  Banyumas). Dalam Babad Pasir, Kerajaan Pasir Batang diklaim sebagai pintu masuk dan pusat penyebaran alias episentrum agama Islam di Wilayah Banyumas. Dari situ mencuat sosok nama ulama Islamisasi Banyumas antara lain: Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi. Nukilan sosok Syekh Makdum Wali pernah saya tulis di marewai.id dengan judul:https://marewai.com/pelesiran-menziarahi-makam-syekh-makdum-wali-chubbi-syauqi/

Adapula nukilan dari esai dari Wahyu Ceha yang pernah ditulis di langgar.co dengan judul: https://langgar.co/peran-ulama-dan-sejarah-berdirinya-banyumas/. Disebutkan bahwa Syekh Makdum Wali berasal dari Kerajaan Demak yang diutus Sultan Demak (Raden Fattah) sekira abad 14 M untuk mengislamisasi Kerajaan Pasir Luhur. Islamisasi berjalan dengan damai, Raden Banyak Belanak alias Raja Pasir Luhur memeluk Islam serta bertungkus lumus menyebarkan Islam bersama Syekh Makdum Wali. Tersebab kegigihannya dalam menyebarkan Islam, Raden Banyak Belanak dianugrahi gelar oleh Raden Fatah: Pangeran Senopati Mangkubumi. Atas jasanya yang telah mengislamkan berbagai Adipati dan sebagai julukan atas dirinya sebagai Raja Pasir Luhur.

Sumber Dokumentasi: Penulis. (Mazar Syekh Makdum Wali)

Setelah itu, Pangeran Senopati Mangkubumi memindahkan kerajaannya ke Pasir Batang (yang orang tahu, sekitar komplek Makam Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi). Kompleks makam tersebut mendapatkan kunjungan teratur dan menjadi tujuan domestik para peziarah. Tentulah,makam Syekh Makdum Wali dan Senopati Mangkubumi yang menjadi daya tarik spiritual. Begitulah, bila kita menggeser obrolan, kompleks Makam Syekh Makdum Wali ke kajiannya C. Guillot dan H. Chambert-Loir bisa dikategorikan sebagai makam tokoh-tokoh historis (2007: 342). Artinya, ini jenis makam yang sudah tercatat dan tidak bermasalah lagi dengan kelebut asal-usul, silsilah dan semacamnya. Kompleks Makam Syekh Makdum Wali terletak di sebidang tanah di Karanglewas, Banyumas, tidak jauh dari Makam Syekh Makdum Wali, ada beberapa makam penerus Kerajaan Pasir Batang seperti makam Senopati Mangkubumi I&II, Pangeran Langkap, dan Pangeran Perlangon, Pangeran Tembilung.

Sumber Dokumentasi: Penulis (Makam bercungkup: Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II)

Sumber Dokumentasi: Penulis (Makam berpagar: Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II)

Sebagaimana lazimnya di Jawa, dunia ziarah tampak lebih hidup. Dalam amatan Claude Guillot dan H. Chambert-Loir, praktek ziarah di Jawa, selain berupa inisiatif pribadi-individual, juga telah menjadi tradisi kolektif, seperti: nyadran dan ritual bersih desa. Ziarah memainkan peranan penting pada dua tataran, yakni kunjungan makam di satu pihak, dan peran ziarah dalam kehidupan spiritual di pihak lain. Makam Syekh Makdum Wali relatif terpetakan sebagai genealogi makam tua di Banyumas. Ada fenomena unik,yang menjadi tanda tanya saya ketika berziarah dan terjadi di beberapa tempat ziarah: adalah letak makam asli dari Syekh Makdum Wali. Jamak diketahui bahwa makam utamanya yang berada di dalam cungkub besar dengan dinding-dinding kokoh bercat putih. Berpintu warna hijau-kuning khas warna kerajaan Islam. Sehijau dan sesegar doa di telapak tangan. Lokasi makam lazim dinaungi pohon besar, selalu bersih karena ada penjaganya.

Kebetulan di sekitarnya memang ada dua makam, dengan batu nisan digantungi kain putih, diberi pagar tanpa atap. Di antara nisan dan pagar tanpa atap nama Syekh Makdum Wali meruang dan bergema. Merambat bersama alunan merdu doa peziarah. Kabarnya. kedua makam tersebut adalah Makam Syekh Makdum Wali dan Senopati Mangkubumi. Uniknya, ada asumsi galib peziarah makam: yang beratap cungkup hanyalah makam berisi “jubah dan aksesoris Syekh Makdum Wali”, sedangkan dua makam yang di sisinya disebut “makam jasadnya”. Sampai sejauh ini saya tak dapat melacak kebenarannya dan mazhur di kalangan peziarah. Oleh karenanya, peziarah kadang berada di dua makam yang berbeda: makam bercungkup dan makam berpagar. Dari fenomena tersebut saya tak menganggap seperti “makam kosong” di Mesir atau makam semu (cenotaph) di Eropa, seperti disitir dalam bukunya Chambert-Loir (Ziarah dan Wali di Dunia Islam). Sebab setidaknya, dari suasana sekitar kita dapat merasakan aura mistis yang memungkinkan seseorang untuk khidmat berzikir atau berdoa.

Kisah-Kisah Ritus Ziarah

Demikianlah ada berbagai fenomena lain yang menempatkan Makam Syekh Makdum Wali dalam pusaran kekuatan tradisi tutur dan lisan, lebih bersifat tersirat daripada tersurat. Namun di atas semua itu, kelisanan yang melingkupi sejarah sebuah makam keramat semacam Syekh Makdum Wali bukan alasan untuk menganggapnya ahistoris. Sebab, masyarakat yang merawat dan menziarahinya tidak berangkat dari semacam “ruang kosong”. Minimal ada petunjuk turun-temurun yang menandai sebuah makam itu milik seseorang yang istimewa pada masanya.   Makam Syekh Makdum Wali bisa disebut mazar (pekuburan para wali) adalah yang masif diziarahi di Wilayah Banyumas. Peziarah domestik (Banyumas) punya hasrat untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada sosok yang telah memperkenalkan Islam ke Banyumas. Terlebih setelah kunjungan Gus Dur ke makam tersebut, melegitimasi: “Makam Syekh Makdum Wali sama keramatnya dengan Makam Sembilan Wali”, masyarakat pun tak terbendung berbondong-bondong berziarah, baik perorangan maupun rombongan seperti dalam Bulan Sadran,itu cukup kuat sebagai legitimasi kolektif. Ayah saya pernah bercerita, dahulu setiap Bulan Sadran masyarakat setempat berduyun -duyun menziarahi makam seraya membawa rantang makanan dan lauk pauk.

Kabarnya, selama perjalanan dari rumah, mereka diharuskan berwudhu dan tapa bisu (tidak berbicara). Setelah berdoa, rombongan peziarah makan besar di sana. Hal ini mengingatkan saya pada tradisi orang Jerman “kaffeeklatsch” (tradisi membawa makanan ke pemakaman (lihat di https://tirto.id/memburu-resep-makanan-di-atas-kuburan-gCyK). Tapi, Tradisi sadranan semacam ini entah mengapa tidak saya jumpai hingga hari ini di sana. Kelak, mungkin sudah tergradasi oleh rentang masa yang panjang. Menziarahi mazar (makam wali) semacam Mazar Syekh Makdum Wali menjadi budaya populer yang kian merebak di Indonesia. Terlebih di Jawa dunia ziarah begitu gayeng.Ini juga diikuti oleh perkembangan pandangan tipologi masyarakat Jawa dalam memandang ziarah, dengan segala peluang dan paradoksnya: ortodoks, reformis dan santri (lihat Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 2007:333). 

Konon, laku ziarah di masa lampau acapkali disematkan pada Islam Abangan meminjam istilah Clifford Geertz (Islam Sinkretik). Penuturan sinis Clifford Geertz: Mereka melakukan laku ritual dengan cara berdoa kepada wali setempat entah sebagai tokoh yang memiliki kekuatan gaib atau sebagai perantara antara manusia dan Allah. Kelompok ini juga mempersembahkan sesaji dan hadiah pembacaan ayat suci disertai dengan permohonan meminta keberkahan atau dalam ungkapan bahasa jawanya ngalap berkah. Ragam ibadah ini dipandang sebagai transaksi kepada “Wali” Allah atau bentuk perjanjian untuk “membayar” dalam bentuk tertentu jika bantuannya terkabul. Meminjam perkataan Chambert-Loir & Guillot : Makam-makam wali menghibur hati karena kehadiran kekeramatan, atau bisa juga, menjadi pengganti dari tempat tersuci (bagi dunia Islam), bagi orang-orang yang tak mampu berangkat ke sana (Mekkah).

Dalam amatan George Quinn, laku ziarah kini lebih diramaikan kaum santri (lihat buku: George Quinn. 2021. Wali Berandal Tanah Jawa). Bagi Quinn, faktor pemicunya: frustasi akibat penantian panjang untuk bergiliran naik haji; bisnis wisata spiritual; hingga kejenuhan dalam kehidupan. Memang,saya kerap menyimpan pertanyaan yang hingga hari ini menggantung: Apa hubungan peziarah ke makam keramat dengan kemudahan yang diperoleh? Tentu saja ini agak berbau dongeng. Konon, masing-masing mazar memiliki karakteristik atau kode-kode yang dapat dirasakan oleh peziarah. Seperti saudara saya yang kerap berziarah ke Mazar Sunan Gunung Jati, selepas ziarah ia mengaku mudah dalam mencari rizki.

Tempat-tempat ziarah kini semakin banyak mengurangi praktek gaya abangan. Semakin banyak papan tulisan yang menonjolkan ragam ibadah baku dan peringatan di tempat ziarah yang dahulu sarat akan daya magis mulai disesuaikan dengan ragam Islam ortodoks sebagaimana dalam cerpennya Gus tf Sakai dalam cerpennya,”Meminta kepada Tempat yang Terkabul, Berkaul kepada Tempat yang Keramat”. Cerpen ini pertama kali dimuat di Jurnal Cerpen I/2002 dan kemudian terhimpun dalam buku Laba-Laba (2003). Digambarkan Gus tf Sakai berikut: Bukan hanya dalailil-khairat dilantunkan, melainkan banyak sekali suara. Di sebelah sana, orang juga melantunkan lagu-lagu agama; dan di sebelah sini, orang mengalunkan zikir. Di sebelah lain, orang membaca sifat dua puluh dalam nyanyi; dan di sebelahnya…entahlah. Terdengar kacau. Belum lagi yang komat-kamit sendiri. Dan bau kemenyan yang menyengat (2003: 55).

Tarekat Sebagai Simpul Islamisasi Banyumas

Tradisi ziarah gayeng di Banyumas. Wajar, Banyumas merupakan salah satu basis NU di Jawa Tengah. Tokoh besar K.H. Saefudin Zuhri yang bergiat NU di Sokaraja, Banyumas, hingga jadi Menteri Agama, seolah jadi garansi soal itu. Biasanya, para penganut NU di Banyumas berada di daerah pedesaan, bahkan di beberapa pelosok desa masih saya jumpai penganut Jawa-Islam, sedangkan masyarakat perkotaan (Purwokerto) penganut Islam modern. Amalan-amalan Islam modern cocok dengan aktivitas keseharian orang Purwokerto yang banyak jadi pegawai dan pedagang. Mereka perlu amalan yang cepat, praktis,dan barokah. Namun, orang-orang desa lebih menyukai amalan yang mentradisi: lama, ribet, tapi tak kalah barokah. Saya bayangkan Muhammadiyah dan NU di Banyumas seperti makanan khasnya:mendoan dan keripik tempe. Mendoan digoreng secara cepat, cukup setengah matang, tapi keripik mesti digoreng sampai renyah. Dan jelas mereka punya penggemarnya masing-masing.

Teman saya Moch Dwi Hartanto pernah meneliti dalam bentuk skripsi perihal wajah Islam di Purwokerto-Banyumas yakni : “Islam di Purwokerto Awal abad ke-20 (2018)”. Konon, pasca Islamisasi Kerajaan Pasir Luhur, Islamisasi berlanjut melalui corak Tarekat. Dalam amatan P.J. Verth, Purwokerto dulunya termasuk dalam rijtsland (wilayah persawahan/agraris), maka banyak ordo tarekat yang bercokol di Purwokerto hingga Banyumas: Syadziliyyah, Tijaniyah, Syattariyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, dan Akmaliyah. Gerakan tarekat ini mendasarkan pada sufisme bahkan mesianik, hingga menyulut perlawan terhadap kaum penjajah. Bahkan,dalam disertasinya Drewes disebut bahwa Tiga Guru Tarekat Akmaliyah:Kyai Hasan Maulani (Lengkong, Cirebon ), Kyai Nurhakim (Pasir Wetan, Purwokerto), dan Malangyuda (Rajawana, Purbalingga) . Ketiganya merupakan guru-murid, dengan Kyai Hasan Maulani sebagai pendiri dan guru utamanya.

Menariknya, Kyai Hasan Maulani sendiri mendapat bimbingan pertama kali untuk masuk tarekat dari Syekh Abdussomad, seorang guru Naqsabandi-Qodiriyah di desa Jombor, Cilongok, sekitar 25 km barat Purwokerto (lihat Lutfi Makhasin, “Islamisasi Dan Masyarakat Pasar: Sufisme dan Sejarah Sosial Kota Sokaraja”). Dalam bukunya M.C. Ricklef “Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions, C. 1830-1930”, Tarekat Akmaliyah yang dipimpin oleh Syekh Nur Hakim di Pasir Wetan, Purwokerto, Banyumas, terbukti mengajarkan “messianic hope” dan menjadi pionir pemberontakan kepada Belanda. Perihal Syekh Nurhakim,saya pernah menulis di langgar.co, dengan judul: https://langgar.co/sufisme-mbah-nurhakim-penyebar-tarekat-syattariyah-di-banyumas/. Kabarnya, Tarekat Akmaliyah mula-mula disebut Tarekat Syattariyah, di Banyumas, Syattariyah menciptakan varian baru yang menggabungkan beberapa ajaran tarekat lain, seperti Rifaiyah dan Naqsabandi-Qodiriyah, kemudian terciptalah nama Akmaliyah pada Tarekat Syattariyah ini.

Kemudian, Akmaliyah mengalami surut dari Jemaah, datanglah, Tarekat Naqsabandiyah. Setidaknya di Karesidenan Banyumas terdapat 9 guru: 3 di Purbalingga, 5 di Banyumas, dan 1 di Purwokerto, yang berdiri sendiri menyebarkan tarekat Naqsabandiyah, demikian pernah ditulis Martin van Bruinessen ( judul: Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 169-171). Mula-mula tarekat ini muncul di Sokaraja, dengan Mursyid terkemuka bernama Kyai Muhammad Ilyas sekira 1880-an. Sejak lama, Sokaraja dikenal sebagai basis ulama tarekat dan jaringan pesantren di Banyumas. Karena itu, tak berlebihan jika Sokaraja digelari :”Kota Santri” di Wilayah Kabupaten Banyumas. Selain itu, kota ini pernah menjadi pusat Pemerintahan Bupati, dan yang terlintas di pikiran banyak orang : kota industri hingga kota kuliner. Semua itu telah menjadi catatan sejarah di dalam auto-biografi seorang ulama pejuang, sebagaimana termaktub dalam bukunya Kiai Saifuddin Zuhri : Berangkat dari Pesantren (1987) dan Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1974). Adapula Tarekat Syadziliyyah yang turut mewarnai corak keberIslaman di Sokaraja. Konon, tarekat inilah yang terbesar di Sokaraja,bahkan kota tersebut menjadi benteng Tarekat Syadziliyah di Banyumas. Adalah Kyai Muhammad Asfiya (cucu Syekh Imam Rozi) mursyid awal sekaligus penyebar Syadziliyyah di Sokaraja.

Sokaraja: Kota Tarekat, Pesantren dan Santri

Dibising gegas Kota Sokaraja yang riuh dengan selebrasi kehidupan, siapa sangka kota ini dapat didefinisikan sebagai: kota sufi; kota industri (masyarakat pasar); kota dagang kaum muslim, demikian narasi yang ditulis Thesisnya Luthfi Makhasin (dengan judul: Sokaraja has many santri: Sufism, market culture, and the Muslim business community in Banyumas, Central Java). Menariknya, dari berbagai ordo tarekat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya berbagai pesantren di Sokaraja. Meski begitu, waktu dahulu Sokaraja adalah kawasan yang dihuni kelompok “Jawa Islam”. Dengan karakter yang luntur dan ramah dalam menyikapi kebudayaan, sufisme justru merasuk dengan sangat mudah ke lapis-lapis terdalam pemahaman masyarakat sekitar. Ia, sufisme tidak berpretensi untuk mengganti bentuk formal praktik-praktik adat yang sejatinya “baju” daripada “isi”, namun lebih menyuntikkan pandangan dunia Islam ke jantung kesadaran masyarakat, serta mengubah arah “napas” kebudayaan tersebut,tanpa harus mengganti praktik sosial yang masih berjalan (lihat bukunya Mas Irfan Afifi: Saya, Jawa, dan Islam; 2019).

Di samping menjamurnya tarekat dan pesantren, Sokaraja tumbuh semerbak dengan banyak industri serta jadi kota dagang yang sibuk. Pabrik gula, pasar,jalan kereta api, jembatan,jalan raya, adalah “pemberian” Belanda untuk menjadikan Sokaraja sebagai kota industri sekaligus modern. Peranan perdagangan dan industri merangsang mobilitas sosial masyarakat yang semula pertanian perlahan beranjak ke sektor pertekstilan dan batik. Sejak kolapsnya industri gula pada akhir 1920-an, batik telah menjelma penggerak utama ekonomi lokal Sokaraja. Dalam amatan Lutfi Makhasin:

“Dinamika gerakan tarekat di Sokaraja berkaitan erat dengan perkembangan pengusaha batik pribumi. Jaringan bisnis para pengusaha batik ini biasanya paralel dengan jaringan keagamaan dan sosial gerakan tarekat. Di Sokaraja bahkan ada kecenderungan menarik karena para guru tarekat biasanya adalah juga para pengusaha batik yang sukses. Kyai Rifai misalnya, adalah contoh pengusaha batik kaya yang juga seorang guru tarekat dengan jaringan yang sangat luas. Dia adalah guru tarekat Naqsabandi-Kholidiy ah yang didirikan oleh kakeknya, Kyai Muhammad Ilyas. Dia menggantikan ayahnya (Kyai Affandi) sebagai guru tarekat sejak 1928 sampai meninggalnya pada tahun 1968. Pada masa hidupnya, Kyai Rifai konon adalah salah seorang paling kaya di Sokaraja. Jaringan tarekat dan bisnis Kyai Rifai menyebar dari Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Purbalingga, Banjarnegara, Pekalongan, Pemalang, Temanggung, dan Magelang” (lihat Luthfi Makhasin Sokaraja has many santri: Sufism, market culture, and the Muslim business community in Banyumas, Central Java).

Di samping perdagangan dan industri,peranan pendidikan turut mempengaruhi mobilitas sosial kaum santri yang tidak dapat dikesampingkan. Sebagaimana dapat kita cermati pada bukunya Kiai Saifuddin Zuhri : Guruku Orang- Orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren. Bahkan di kota ini menjadi kebangkitan gerakan kaum santri: SI dan Nahdatul Ulama, yang tak jauh ramai dan besar dibanding kota Purwokerto.

Wajah Islam di Purwokerto-Banyumas

Kembali ke Purwokerto, meski menjadi ibu kota Kabupaten Banyumas sekaligus kota penyanggah (hinterland), Purwokerto turut ambil peran dalam dinamika sejarah Islamisasi di Banyumas. Tepatnya, sekira di paruh abad 19, berdirlah sejumlah organisasi Islam di Purwokerto: NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah. Sekira Tahun 1920an SI telah ada di Purwokerto, demikian pernah ditulis oleh Hasanmihardja (Judul: Sedjarah Muhammadijah di Purwokerto, 1971). Di tahun 1922, berdirilah Persyarikatan Muhammadiyah di Kota Purwokerto, berkat kunjungan K.H. Achmad Dahlan yang kala itu memberikan pengajian akbar di Masjid Agung Baitussalam. Dalam imajiner saya, berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah di Purwokerto semacam “Matahari Terbit di Atas Gunung Slamet”, Kota Purwokerto persis di bawah Gunung Slamet, lalu di atas Gunung Slamet terbit Matahari yang amat cerah yang merupakan simbol dari Muhammadiyah.

Meski hanya berupa kota administrasi kecil, tak menjadi penghalang Purwokerto menjadi salah satu rintisan kelompok Islam Transnasional semacam Ahmadiyah. Kabarnya, di tahun 1926 Purwokerto menjadi pusat penyebaran Ahmadiyah di Banyumas. Ahmadiyah mula-mula di dakwahkan oleh kader pemuda Muhammadiyah Purwokerto diantaranya: R. Ng. Djojosoegito, Muhammad Husni, Sudewo. Persyarikatan Muhammadiyah mula-mula menyetujui tentang misi pembaharuan ke-Islaman yang dibawa oleh Kwadja Kamaludin dan Wali Ahmad Baig. Bahkan, Wali Ahmad Baig menetap di Purwokerto tepatnya di Kauman Lama, Purwokerto. Namun, tak berselang lama Muhammadiyah memutuskan “berjarak” dengan Ahmadiyah sebab nampak perbedaan diantaranya (lihat di Iskandar Zulkarnaen, 2006, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara).

Kauman Lama- Purwokerto bisa dibilang sebagai episentrum Islamisasi di Kota Purwokerto. Pola ini kurang lebih sama seperti terjadi di berbagai kota di Jawa, seperti Kauman Jogjakarta yang menjadi tempat berdirinya Muhammadiyah. Dalam hal ini, tempat menjadi sesuatu yang “mengikat” dan bernilai kontekstual, bukan temporal. Bukan kebetulan suatu tempat menjadi pusat dari suatu kegiatan karena memiliki prasyarat-prasyarat tertentu. Tolok ukurnya bisa kultur hingga aura mistik spiritual. Bahkan, Kauman Lama-Purwokerto juga menjadi tempat basis NU di Kota Purwokerto, di situlah tinggal Kiai Bunyamin, tokoh Nahdlatul Ulama yang cukup terkenal sekaligus guru dari Saifuddin Zuhri. Bahkan, Kiai Bunyamin, merupakan sosok guru spiritual Panglima Besar Jendral Soedirman (lihat Akhmad Saefudin, Riwayat Ringkas 17 Ulama Banyumas (Yogyakarta: Titian Wacana, 2012), hlm. 41).

Demikianlah khazanah singkat keIslaman Purwokerto-Banyumas yang ramai, damai,dan semarak. Wajah KeIslamannya nampak dengan berbagai macam pondok pesantren, masjid warna-warni, Sekolah Islam dengan berbagai varian, zawiyah dzikir, majlis ilmu serta aktivitas ziarah makam yang masif. Saya tak hendak bilang sebuah makam menjadi citra keIslaman sebuah kota atau wilayah. Tapi,percayalah makam itu menjadi narasi kuat jejak Islamisasi suatu wilayah. Begitu.

BACAAN

Saefudin. Akhmad 2012. Riwayat Ringkas 17 Ulama Banyumas. Yogyakarta: Titian Wacana.

Henri Chambert-Loir dkk. 2007. Ziarah Dan Wali Di Dunia Islam. Jakarta-Paris: Serambi. 

Geertz. Clifford 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.

Quinn. George 2021. Wali Berandal Tanah Jawa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Zuhri. Saifuddin 2013. Berangkat Dari Pesantren. Yogyakarta: LKIS

Zuhri. Saifuddin 2007. Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. Yogyakarta: LKIS

Dwi Hartanto. Muhammad 2018. Islam Di Purwokerto Awal Abad Ke- 20 M. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Makhasin. Luthfi 2006. Islamisasi Dan Masyarakat Pasar: Sufisme dan Sejarah Sosial. Lafadl Initiatives.

Hasanmihardja. 1971. Sedjarah Muhammadijah di Purwokerto.

M.C. Ricklefs. 2007. Polarising Javanese Society, Islamic And Other Visions (C. 1830-1930). Leiden: KITLV Press.

Afifi. Irfan 2019. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.

Zulkarnaen. Iskandar 2006. Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Yogyakarta: LkiS

Bruinessen. Martin van 1994. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan.

0
1913
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.