Syekh Makdum Wali dan Islamisasi Banyumas
Saya senang duduk berlama-lama di tepi makam keramat desa saya, di titik mana saya dapat memandang kekokohan sebuah nisan dan area makam yang luas dan sayup. Sembari saya campakan segala yang ada dan menyibak segala yang tak ada. Bagai membakar dedaunan dan reranting kering yang menyematkan mata. Makam keramat yang acapkali saya ziarahi adalah Makam Syekh Makdum Wali. Maklumlah, rumah saya dekat dengan makam keramat tersebut. Konon, desa saya ini (pasir kidul) dulu merupakan kawasan Pasir Batang (Kerajaan Islam awal Banyumas). Dalam Babad Pasir, Kerajaan Pasir Batang diklaim sebagai pintu masuk dan pusat penyebaran alias episentrum agama Islam di Wilayah Banyumas. Dari situ mencuat sosok nama ulama Islamisasi Banyumas antara lain: Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi. Nukilan sosok Syekh Makdum Wali pernah saya tulis di marewai.id dengan judul:https://marewai.com/pelesiran-menziarahi-makam-syekh-makdum-wali-chubbi-syauqi/
Adapula nukilan dari esai dari Wahyu Ceha yang pernah ditulis di langgar.co dengan judul: https://langgar.co/peran-ulama-dan-sejarah-berdirinya-banyumas/. Disebutkan bahwa Syekh Makdum Wali berasal dari Kerajaan Demak yang diutus Sultan Demak (Raden Fattah) sekira abad 14 M untuk mengislamisasi Kerajaan Pasir Luhur. Islamisasi berjalan dengan damai, Raden Banyak Belanak alias Raja Pasir Luhur memeluk Islam serta bertungkus lumus menyebarkan Islam bersama Syekh Makdum Wali. Tersebab kegigihannya dalam menyebarkan Islam, Raden Banyak Belanak dianugrahi gelar oleh Raden Fatah: Pangeran Senopati Mangkubumi. Atas jasanya yang telah mengislamkan berbagai Adipati dan sebagai julukan atas dirinya sebagai Raja Pasir Luhur.

Sumber Dokumentasi: Penulis. (Mazar Syekh Makdum Wali)
Setelah itu, Pangeran Senopati Mangkubumi memindahkan kerajaannya ke Pasir Batang (yang orang tahu, sekitar komplek Makam Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi). Kompleks makam tersebut mendapatkan kunjungan teratur dan menjadi tujuan domestik para peziarah. Tentulah,makam Syekh Makdum Wali dan Senopati Mangkubumi yang menjadi daya tarik spiritual. Begitulah, bila kita menggeser obrolan, kompleks Makam Syekh Makdum Wali ke kajiannya C. Guillot dan H. Chambert-Loir bisa dikategorikan sebagai makam tokoh-tokoh historis (2007: 342). Artinya, ini jenis makam yang sudah tercatat dan tidak bermasalah lagi dengan kelebut asal-usul, silsilah dan semacamnya. Kompleks Makam Syekh Makdum Wali terletak di sebidang tanah di Karanglewas, Banyumas, tidak jauh dari Makam Syekh Makdum Wali, ada beberapa makam penerus Kerajaan Pasir Batang seperti makam Senopati Mangkubumi I&II, Pangeran Langkap, dan Pangeran Perlangon, Pangeran Tembilung.

Sumber Dokumentasi: Penulis (Makam bercungkup: Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II)

Sumber Dokumentasi: Penulis (Makam berpagar: Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II)
Sebagaimana lazimnya di Jawa, dunia ziarah tampak lebih hidup. Dalam amatan Claude Guillot dan H. Chambert-Loir, praktek ziarah di Jawa, selain berupa inisiatif pribadi-individual, juga telah menjadi tradisi kolektif, seperti: nyadran dan ritual bersih desa. Ziarah memainkan peranan penting pada dua tataran, yakni kunjungan makam di satu pihak, dan peran ziarah dalam kehidupan spiritual di pihak lain. Makam Syekh Makdum Wali relatif terpetakan sebagai genealogi makam tua di Banyumas. Ada fenomena unik,yang menjadi tanda tanya saya ketika berziarah dan terjadi di beberapa tempat ziarah: adalah letak makam asli dari Syekh Makdum Wali. Jamak diketahui bahwa makam utamanya yang berada di dalam cungkub besar dengan dinding-dinding kokoh bercat putih. Berpintu warna hijau-kuning khas warna kerajaan Islam. Sehijau dan sesegar doa di telapak tangan. Lokasi makam lazim dinaungi pohon besar, selalu bersih karena ada penjaganya.
Kebetulan di sekitarnya memang ada dua makam, dengan batu nisan digantungi kain putih, diberi pagar tanpa atap. Di antara nisan dan pagar tanpa atap nama Syekh Makdum Wali meruang dan bergema. Merambat bersama alunan merdu doa peziarah. Kabarnya. kedua makam tersebut adalah Makam Syekh Makdum Wali dan Senopati Mangkubumi. Uniknya, ada asumsi galib peziarah makam: yang beratap cungkup hanyalah makam berisi “jubah dan aksesoris Syekh Makdum Wali”, sedangkan dua makam yang di sisinya disebut “makam jasadnya”. Sampai sejauh ini saya tak dapat melacak kebenarannya dan mazhur di kalangan peziarah. Oleh karenanya, peziarah kadang berada di dua makam yang berbeda: makam bercungkup dan makam berpagar. Dari fenomena tersebut saya tak menganggap seperti “makam kosong” di Mesir atau makam semu (cenotaph) di Eropa, seperti disitir dalam bukunya Chambert-Loir (Ziarah dan Wali di Dunia Islam). Sebab setidaknya, dari suasana sekitar kita dapat merasakan aura mistis yang memungkinkan seseorang untuk khidmat berzikir atau berdoa.
Kisah-Kisah Ritus Ziarah
Demikianlah ada berbagai fenomena lain yang menempatkan Makam Syekh Makdum Wali dalam pusaran kekuatan tradisi tutur dan lisan, lebih bersifat tersirat daripada tersurat. Namun di atas semua itu, kelisanan yang melingkupi sejarah sebuah makam keramat semacam Syekh Makdum Wali bukan alasan untuk menganggapnya ahistoris. Sebab, masyarakat yang merawat dan menziarahinya tidak berangkat dari semacam “ruang kosong”. Minimal ada petunjuk turun-temurun yang menandai sebuah makam itu milik seseorang yang istimewa pada masanya. Makam Syekh Makdum Wali bisa disebut mazar (pekuburan para wali) adalah yang masif diziarahi di Wilayah Banyumas. Peziarah domestik (Banyumas) punya hasrat untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada sosok yang telah memperkenalkan Islam ke Banyumas. Terlebih setelah kunjungan Gus Dur ke makam tersebut, melegitimasi: “Makam Syekh Makdum Wali sama keramatnya dengan Makam Sembilan Wali”, masyarakat pun tak terbendung berbondong-bondong berziarah, baik perorangan maupun rombongan seperti dalam Bulan Sadran,itu cukup kuat sebagai legitimasi kolektif. Ayah saya pernah bercerita, dahulu setiap Bulan Sadran masyarakat setempat berduyun -duyun menziarahi makam seraya membawa rantang makanan dan lauk pauk.
Kabarnya, selama perjalanan dari rumah, mereka diharuskan berwudhu dan tapa bisu (tidak berbicara). Setelah berdoa, rombongan peziarah makan besar di sana. Hal ini mengingatkan saya pada tradisi orang Jerman “kaffeeklatsch” (tradisi membawa makanan ke pemakaman (lihat di https://tirto.id/memburu-resep-makanan-di-atas-kuburan-gCyK). Tapi, Tradisi sadranan semacam ini entah mengapa tidak saya jumpai hingga hari ini di sana. Kelak, mungkin sudah tergradasi oleh rentang masa yang panjang. Menziarahi mazar (makam wali) semacam Mazar Syekh Makdum Wali menjadi budaya populer yang kian merebak di Indonesia. Terlebih di Jawa dunia ziarah begitu gayeng.Ini juga diikuti oleh perkembangan pandangan tipologi masyarakat Jawa dalam memandang ziarah, dengan segala peluang dan paradoksnya: ortodoks, reformis dan santri (lihat Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 2007:333).
Konon, laku ziarah di masa lampau acapkali disematkan pada Islam Abangan meminjam istilah Clifford Geertz (Islam Sinkretik). Penuturan sinis Clifford Geertz: Mereka melakukan laku ritual dengan cara berdoa kepada wali setempat entah sebagai tokoh yang memiliki kekuatan gaib atau sebagai perantara antara manusia dan Allah. Kelompok ini juga mempersembahkan sesaji dan hadiah pembacaan ayat suci disertai dengan permohonan meminta keberkahan atau dalam ungkapan bahasa jawanya ngalap berkah. Ragam ibadah ini dipandang sebagai transaksi kepada “Wali” Allah atau bentuk perjanjian untuk “membayar” dalam bentuk tertentu jika bantuannya terkabul. Meminjam perkataan Chambert-Loir & Guillot : Makam-makam wali menghibur hati karena kehadiran kekeramatan, atau bisa juga, menjadi pengganti dari tempat tersuci (bagi dunia Islam), bagi orang-orang yang tak mampu berangkat ke sana (Mekkah).
Dalam amatan George Quinn, laku ziarah kini lebih diramaikan kaum santri (lihat buku: George Quinn. 2021. Wali Berandal Tanah Jawa). Bagi Quinn, faktor pemicunya: frustasi akibat penantian panjang untuk bergiliran naik haji; bisnis wisata spiritual; hingga kejenuhan dalam kehidupan. Memang,saya kerap menyimpan pertanyaan yang hingga hari ini menggantung: Apa hubungan peziarah ke makam keramat dengan kemudahan yang diperoleh? Tentu saja ini agak berbau dongeng. Konon, masing-masing mazar memiliki karakteristik atau kode-kode yang dapat dirasakan oleh peziarah. Seperti saudara saya yang kerap berziarah ke Mazar Sunan Gunung Jati, selepas ziarah ia mengaku mudah dalam mencari rizki.
Tempat-tempat ziarah kini semakin banyak mengurangi praktek gaya abangan. Semakin banyak papan tulisan yang menonjolkan ragam ibadah baku dan peringatan di tempat ziarah yang dahulu sarat akan daya magis mulai disesuaikan dengan ragam Islam ortodoks sebagaimana dalam cerpennya Gus tf Sakai dalam cerpennya,”Meminta kepada Tempat yang Terkabul, Berkaul kepada Tempat yang Keramat”. Cerpen ini pertama kali dimuat di Jurnal Cerpen I/2002 dan kemudian terhimpun dalam buku Laba-Laba (2003). Digambarkan Gus tf Sakai berikut: Bukan hanya dalailil-khairat dilantunkan, melainkan banyak sekali suara. Di sebelah sana, orang juga melantunkan lagu-lagu agama; dan di sebelah sini, orang mengalunkan zikir. Di sebelah lain, orang membaca sifat dua puluh dalam nyanyi; dan di sebelahnya…entahlah. Terdengar kacau. Belum lagi yang komat-kamit sendiri. Dan bau kemenyan yang menyengat (2003: 55).
Tarekat Sebagai Simpul Islamisasi Banyumas
Tradisi ziarah gayeng di Banyumas. Wajar, Banyumas merupakan salah satu basis NU di Jawa Tengah. Tokoh besar K.H. Saefudin Zuhri yang bergiat NU di Sokaraja, Banyumas, hingga jadi Menteri Agama, seolah jadi garansi soal itu. Biasanya, para penganut NU di Banyumas berada di daerah pedesaan, bahkan di beberapa pelosok desa masih saya jumpai penganut Jawa-Islam, sedangkan masyarakat perkotaan (Purwokerto) penganut Islam modern. Amalan-amalan Islam modern cocok dengan aktivitas keseharian orang Purwokerto yang banyak jadi pegawai dan pedagang. Mereka perlu amalan yang cepat, praktis,dan barokah. Namun, orang-orang desa lebih menyukai amalan yang mentradisi: lama, ribet, tapi tak kalah barokah. Saya bayangkan Muhammadiyah dan NU di Banyumas seperti makanan khasnya:mendoan dan keripik tempe. Mendoan digoreng secara cepat, cukup setengah matang, tapi keripik mesti digoreng sampai renyah. Dan jelas mereka punya penggemarnya masing-masing.
Teman saya Moch Dwi Hartanto pernah meneliti dalam bentuk skripsi perihal wajah Islam di Purwokerto-Banyumas yakni : “Islam di Purwokerto Awal abad ke-20 (2018)”. Konon, pasca Islamisasi Kerajaan Pasir Luhur, Islamisasi berlanjut melalui corak Tarekat. Dalam amatan P.J. Verth, Purwokerto dulunya termasuk dalam rijtsland (wilayah persawahan/agraris), maka banyak ordo tarekat yang bercokol di Purwokerto hingga Banyumas: Syadziliyyah, Tijaniyah, Syattariyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, dan Akmaliyah. Gerakan tarekat ini mendasarkan pada sufisme bahkan mesianik, hingga menyulut perlawan terhadap kaum penjajah. Bahkan,dalam disertasinya Drewes disebut bahwa Tiga Guru Tarekat Akmaliyah:Kyai Hasan Maulani (Lengkong, Cirebon ), Kyai Nurhakim (Pasir Wetan, Purwokerto), dan Malangyuda (Rajawana, Purbalingga) . Ketiganya merupakan guru-murid, dengan Kyai Hasan Maulani sebagai pendiri dan guru utamanya.
Menariknya, Kyai Hasan Maulani sendiri mendapat bimbingan pertama kali untuk masuk tarekat dari Syekh Abdussomad, seorang guru Naqsabandi-Qodiriyah di desa Jombor, Cilongok, sekitar 25 km barat Purwokerto (lihat Lutfi Makhasin, “Islamisasi Dan Masyarakat Pasar: Sufisme dan Sejarah Sosial Kota Sokaraja”). Dalam bukunya M.C. Ricklef “Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions, C. 1830-1930”, Tarekat Akmaliyah yang dipimpin oleh Syekh Nur Hakim di Pasir Wetan, Purwokerto, Banyumas, terbukti mengajarkan “messianic hope” dan menjadi pionir pemberontakan kepada Belanda. Perihal Syekh Nurhakim,saya pernah menulis di langgar.co, dengan judul: https://langgar.co/sufisme-mbah-nurhakim-penyebar-tarekat-syattariyah-di-banyumas/. Kabarnya, Tarekat Akmaliyah mula-mula disebut Tarekat Syattariyah, di Banyumas, Syattariyah menciptakan varian baru yang menggabungkan beberapa ajaran tarekat lain, seperti Rifaiyah dan Naqsabandi-Qodiriyah, kemudian terciptalah nama Akmaliyah pada Tarekat Syattariyah ini.
Kemudian, Akmaliyah mengalami surut dari Jemaah, datanglah, Tarekat Naqsabandiyah. Setidaknya di Karesidenan Banyumas terdapat 9 guru: 3 di Purbalingga, 5 di Banyumas, dan 1 di Purwokerto, yang berdiri sendiri menyebarkan tarekat Naqsabandiyah, demikian pernah ditulis Martin van Bruinessen ( judul: Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 169-171). Mula-mula tarekat ini muncul di Sokaraja, dengan Mursyid terkemuka bernama Kyai Muhammad Ilyas sekira 1880-an. Sejak lama, Sokaraja dikenal sebagai basis ulama tarekat dan jaringan pesantren di Banyumas. Karena itu, tak berlebihan jika Sokaraja digelari :”Kota Santri” di Wilayah Kabupaten Banyumas. Selain itu, kota ini pernah menjadi pusat Pemerintahan Bupati, dan yang terlintas di pikiran banyak orang : kota industri hingga kota kuliner. Semua itu telah menjadi catatan sejarah di dalam auto-biografi seorang ulama pejuang, sebagaimana termaktub dalam bukunya Kiai Saifuddin Zuhri : Berangkat dari Pesantren (1987) dan Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1974). Adapula Tarekat Syadziliyyah yang turut mewarnai corak keberIslaman di Sokaraja. Konon, tarekat inilah yang terbesar di Sokaraja,bahkan kota tersebut menjadi benteng Tarekat Syadziliyah di Banyumas. Adalah Kyai Muhammad Asfiya (cucu Syekh Imam Rozi) mursyid awal sekaligus penyebar Syadziliyyah di Sokaraja.
Sokaraja: Kota Tarekat, Pesantren dan Santri
Dibising gegas Kota Sokaraja yang riuh dengan selebrasi kehidupan, siapa sangka kota ini dapat didefinisikan sebagai: kota sufi; kota industri (masyarakat pasar); kota dagang kaum muslim, demikian narasi yang ditulis Thesisnya Luthfi Makhasin (dengan judul: Sokaraja has many santri: Sufism, market culture, and the Muslim business community in Banyumas, Central Java). Menariknya, dari berbagai ordo tarekat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya berbagai pesantren di Sokaraja. Meski begitu, waktu dahulu Sokaraja adalah kawasan yang dihuni kelompok “Jawa Islam”. Dengan karakter yang luntur dan ramah dalam menyikapi kebudayaan, sufisme justru merasuk dengan sangat mudah ke lapis-lapis terdalam pemahaman masyarakat sekitar. Ia, sufisme tidak berpretensi untuk mengganti bentuk formal praktik-praktik adat yang sejatinya “baju” daripada “isi”, namun lebih menyuntikkan pandangan dunia Islam ke jantung kesadaran masyarakat, serta mengubah arah “napas” kebudayaan tersebut,tanpa harus mengganti praktik sosial yang masih berjalan (lihat bukunya Mas Irfan Afifi: Saya, Jawa, dan Islam; 2019).
Di samping menjamurnya tarekat dan pesantren, Sokaraja tumbuh semerbak dengan banyak industri serta jadi kota dagang yang sibuk. Pabrik gula, pasar,jalan kereta api, jembatan,jalan raya, adalah “pemberian” Belanda untuk menjadikan Sokaraja sebagai kota industri sekaligus modern. Peranan perdagangan dan industri merangsang mobilitas sosial masyarakat yang semula pertanian perlahan beranjak ke sektor pertekstilan dan batik. Sejak kolapsnya industri gula pada akhir 1920-an, batik telah menjelma penggerak utama ekonomi lokal Sokaraja. Dalam amatan Lutfi Makhasin:
“Dinamika gerakan tarekat di Sokaraja berkaitan erat dengan perkembangan pengusaha batik pribumi. Jaringan bisnis para pengusaha batik ini biasanya paralel dengan jaringan keagamaan dan sosial gerakan tarekat. Di Sokaraja bahkan ada kecenderungan menarik karena para guru tarekat biasanya adalah juga para pengusaha batik yang sukses. Kyai Rifai misalnya, adalah contoh pengusaha batik kaya yang juga seorang guru tarekat dengan jaringan yang sangat luas. Dia adalah guru tarekat Naqsabandi-Kholidiy ah yang didirikan oleh kakeknya, Kyai Muhammad Ilyas. Dia menggantikan ayahnya (Kyai Affandi) sebagai guru tarekat sejak 1928 sampai meninggalnya pada tahun 1968. Pada masa hidupnya, Kyai Rifai konon adalah salah seorang paling kaya di Sokaraja. Jaringan tarekat dan bisnis Kyai Rifai menyebar dari Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Purbalingga, Banjarnegara, Pekalongan, Pemalang, Temanggung, dan Magelang” (lihat Luthfi Makhasin Sokaraja has many santri: Sufism, market culture, and the Muslim business community in Banyumas, Central Java).
Di samping perdagangan dan industri,peranan pendidikan turut mempengaruhi mobilitas sosial kaum santri yang tidak dapat dikesampingkan. Sebagaimana dapat kita cermati pada bukunya Kiai Saifuddin Zuhri : Guruku Orang- Orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren. Bahkan di kota ini menjadi kebangkitan gerakan kaum santri: SI dan Nahdatul Ulama, yang tak jauh ramai dan besar dibanding kota Purwokerto.
Wajah Islam di Purwokerto-Banyumas
Kembali ke Purwokerto, meski menjadi ibu kota Kabupaten Banyumas sekaligus kota penyanggah (hinterland), Purwokerto turut ambil peran dalam dinamika sejarah Islamisasi di Banyumas. Tepatnya, sekira di paruh abad 19, berdirlah sejumlah organisasi Islam di Purwokerto: NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah. Sekira Tahun 1920an SI telah ada di Purwokerto, demikian pernah ditulis oleh Hasanmihardja (Judul: Sedjarah Muhammadijah di Purwokerto, 1971). Di tahun 1922, berdirilah Persyarikatan Muhammadiyah di Kota Purwokerto, berkat kunjungan K.H. Achmad Dahlan yang kala itu memberikan pengajian akbar di Masjid Agung Baitussalam. Dalam imajiner saya, berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah di Purwokerto semacam “Matahari Terbit di Atas Gunung Slamet”, Kota Purwokerto persis di bawah Gunung Slamet, lalu di atas Gunung Slamet terbit Matahari yang amat cerah yang merupakan simbol dari Muhammadiyah.
Meski hanya berupa kota administrasi kecil, tak menjadi penghalang Purwokerto menjadi salah satu rintisan kelompok Islam Transnasional semacam Ahmadiyah. Kabarnya, di tahun 1926 Purwokerto menjadi pusat penyebaran Ahmadiyah di Banyumas. Ahmadiyah mula-mula di dakwahkan oleh kader pemuda Muhammadiyah Purwokerto diantaranya: R. Ng. Djojosoegito, Muhammad Husni, Sudewo. Persyarikatan Muhammadiyah mula-mula menyetujui tentang misi pembaharuan ke-Islaman yang dibawa oleh Kwadja Kamaludin dan Wali Ahmad Baig. Bahkan, Wali Ahmad Baig menetap di Purwokerto tepatnya di Kauman Lama, Purwokerto. Namun, tak berselang lama Muhammadiyah memutuskan “berjarak” dengan Ahmadiyah sebab nampak perbedaan diantaranya (lihat di Iskandar Zulkarnaen, 2006, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara).
Kauman Lama- Purwokerto bisa dibilang sebagai episentrum Islamisasi di Kota Purwokerto. Pola ini kurang lebih sama seperti terjadi di berbagai kota di Jawa, seperti Kauman Jogjakarta yang menjadi tempat berdirinya Muhammadiyah. Dalam hal ini, tempat menjadi sesuatu yang “mengikat” dan bernilai kontekstual, bukan temporal. Bukan kebetulan suatu tempat menjadi pusat dari suatu kegiatan karena memiliki prasyarat-prasyarat tertentu. Tolok ukurnya bisa kultur hingga aura mistik spiritual. Bahkan, Kauman Lama-Purwokerto juga menjadi tempat basis NU di Kota Purwokerto, di situlah tinggal Kiai Bunyamin, tokoh Nahdlatul Ulama yang cukup terkenal sekaligus guru dari Saifuddin Zuhri. Bahkan, Kiai Bunyamin, merupakan sosok guru spiritual Panglima Besar Jendral Soedirman (lihat Akhmad Saefudin, Riwayat Ringkas 17 Ulama Banyumas (Yogyakarta: Titian Wacana, 2012), hlm. 41).
Demikianlah khazanah singkat keIslaman Purwokerto-Banyumas yang ramai, damai,dan semarak. Wajah KeIslamannya nampak dengan berbagai macam pondok pesantren, masjid warna-warni, Sekolah Islam dengan berbagai varian, zawiyah dzikir, majlis ilmu serta aktivitas ziarah makam yang masif. Saya tak hendak bilang sebuah makam menjadi citra keIslaman sebuah kota atau wilayah. Tapi,percayalah makam itu menjadi narasi kuat jejak Islamisasi suatu wilayah. Begitu.
BACAAN
Saefudin. Akhmad 2012. Riwayat Ringkas 17 Ulama Banyumas. Yogyakarta: Titian Wacana.
Henri Chambert-Loir dkk. 2007. Ziarah Dan Wali Di Dunia Islam. Jakarta-Paris: Serambi.
Geertz. Clifford 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.
Quinn. George 2021. Wali Berandal Tanah Jawa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Zuhri. Saifuddin 2013. Berangkat Dari Pesantren. Yogyakarta: LKIS
Zuhri. Saifuddin 2007. Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. Yogyakarta: LKIS
Dwi Hartanto. Muhammad 2018. Islam Di Purwokerto Awal Abad Ke- 20 M. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Makhasin. Luthfi 2006. Islamisasi Dan Masyarakat Pasar: Sufisme dan Sejarah Sosial. Lafadl Initiatives.
Hasanmihardja. 1971. Sedjarah Muhammadijah di Purwokerto.
M.C. Ricklefs. 2007. Polarising Javanese Society, Islamic And Other Visions (C. 1830-1930). Leiden: KITLV Press.
Afifi. Irfan 2019. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.
Zulkarnaen. Iskandar 2006. Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Yogyakarta: LkiS
Bruinessen. Martin van 1994. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan.



