Mengintip Indonesia Lewat Oetimu

Membaca dan menyelami novel Orang-orang Oetimu (2019) karya Felix K. Nesi adalah mengintip Indonesia dengan sebuah teropong yang kecil dari sebuah sudut yang tak banyak orang tahu di mana dan apa namanya. Tiba-tiba saja dari lubang teropong itu kita melihat Indonesia yang permasalahan, keributan, perbincangan, isunya, lain sama sekali. Indonesia yang bukan disusun dari Jakarta, atau Jawa, atau bahkan Sumatera.

Tokoh utama novel ini adalah seorang polisi berpangkat sersan. Ini adalah keganjilan tersendiri karena jarang sekali polisi menjadi tokoh utama dalam sebuah cerita. Namanya Ipi. Akrab dipanggil Sersan Ipi. Dia menjadi pusat cerita dan melaluinya penceritaan mengalir, peristiwa-peristiwa lahir, dan tokoh-tokoh hadir dan saling terhubung.

Sersan Ipi adalah sebuah paradoks. Di tubuhnya mengalir dua darah yang secara historis saling bertentangan: darah pemberontak dan darah penguasa, darah penjajah dan darah yang dijajah, darah ‘asli’ dan ‘darah pendatang’. Sejarah hidupnya adalah sejarah kesetiaan, kekerasan, keperihan, darah, dendam. Sejarah hidupnya adalah sejarah perubahan politik dan pergantian kekuasaan yang penuh kekerasan.

Tentu bukan hanya Sersan Ipi, sebagaimana judul novel menunjukkan, ini kisah “Orang-orang Oetimu”. Ada Am Siki, Silvy, Atoni, Pastur Josef, Martin Katibi, dan lain-lain, tetapi semua terhubung dan terjalin dengan Sersan Ipi. Riwayat Oetimu tercermin dari riwayat hidup Sersan Ipi. Durasi cerita berlangsung sejak zaman Jepang hingga ujung Masa Pemerintahan Orde Baru, yang di Oetimu ditandai dengan tewasnya Sersan Ipi. Begini ringkasannya:

Tahun 1975, Julio Craveiro dos Santos, anggota tentara nasional Portugal ditugaskan ke Timor untuk ikut mengawal proses dekolonisasi. Ia pun berangkat ke Timor beserta istrinya Lena dan putri tunggalnya Laura yang baru berusia 16 tahun. Tetapi malang, tak lama setelah ia bertugas di Dili, pada tahun 1975 itu, Timor diserang dan direbut tentara Indonesia yang bersekutu dengan partai lokal UDT dan Apodeti. Santos dan istrinya kemudian ditangkap dengan tuduhan sebagai anggota Fretelin komunis hanya karena suatu malam menginap di rumahnya Gustavo, seorang simpatisan Fretelin. Keduanya lalu dibantai. Sedangkan Laura bersama gadis-gadis lain ditangkap dan diperkosa. Tetapi beruntung ia tidak dibunuh. Atas ‘budi baik’ seorang anggota tentara setempat yang pro-Indonesia ia dilepaskan jauh di luar kota. Dalam keadaan setengah gila, dekil, trauma, penuh borok luka, dan lapar, serta yang tak ia sadari, hamil, ia terus berjalan berhari-hari hingga tiba di Oetimu, sebuah desa kecil yang dalam sejarahnya ganti-berganti dikuasai Portugis, Belanda, Jepang, dan kini telah menjadi bagian dari Indonesia.

Ia kemudian diselamatkan oleh Am Siki, seorang sakti dan hebat, yang sangat dihormati warga setempat sebagai pahlawan lokal karena reputasi pada masa mudanya yang dengan keberanian luar biasa membunuh banyak prajurit Jepang dan membakar sebuah kamp kerja paksa. Ia kemudian diburu dan baru muncul di Oetimu ketika Jepang telah terusir. Am Siki bilang ia marah kepada para tentara Jepang saat itu karena mereka hendak merampas dan memperkosa kudanya, jadi tak ada kaitannya dengan keinginan mengusir Jepang sebagai penjajah atau membela ‘si bangsa’ yang dia kira nama serdadu Romusha. Tapi warga setempat tak peduli. Ia tetap ‘dipahlawankan’ dan selalu diundang setiap upacara 17 Agustus. Mereka memang butuh seseorang yang bisa dianggap sebagai pahlawan.

Di bawah asuhan dan perlindungan Am Siki, Laura berangsur sehat, sembuh, dan bersih. Karena kemunculannya yang mengagetkan dan karena kecantikannya setelah wajah dan tubuhnya bersih, dan boroknya sembuh, warga setempat meyakini ia perempuan yang dikirim leluhur. Ia kemudian melahirkan bayi laki-laki yang sehat dan gagah, yang kemudian diberi nama Siprianus Portakes Oetimu. Yang pertama adalah nama baptis, yang kedua menunjuk pada ibunya yang orang Portakes, istilah setempat untuk menyebut Portugis, sedangkan Oetimu karena ia lahir di Oetimu. Sayang sekali empat hari setelah melahirkan, sang ibu, Laura, meninggal dunia.

Si anak kemudian diasuh dan dididik oleh Am Siki. Sebagaimana Am Siki, ia tumbuh menjadi pemuda yang gagah, kuat dan pemberani. Karena kekuatan dan keberaniannya, ia diterima sebagai polisi. Dan setelah mengikuti pelatihan di Jawa, ia ditugaskan di Oetimu, kotanya sendiri. Ia terkenal dengan panggilan Sersan Ipi. Dengan demikian, ia memadukan dua otoritas: otoritas tradisional yang diwarisi dari kakek asuhnya Am Siki dan otoritas negara karena ia adalah polisi. Maka tak ada seorang pun yang berani kepadanya. Ketertiban dan keamanan di Oetimu menjadi tugas dan tanggung jawabnya.

Pada suatu hari datang dan bermukimlah ke Oetimu seorang perempuan cerdas dan pinter, serta cantik. Namanya Silvy. Lantaran bapaknya yang miskin pergi sebagai TKI ke Malaysia, ia kemudian ikut kerabatnya di Oetimu. Kecerdasan dan kecantikannya telah menjadi buah bibir di Oetimu. Semua lelaki berhasrat padanya, namun dari semua, Sersan Ipilah yang berhasil menyuntingnya. Mereka akan dinikahkan. Tapi sebenarnya Silvy waktu itu sudah hamil karena diperkosa oleh Linus, guru sejarah di SMA tempat Silvy bersekolah.

Malangnya, dua minggu sebelum perkawinan, Sersan Ipi tewas terbunuh di tangan komplotan Atino, seorang pimpinan pejuang pro-Indonesia, yang kemudian atas dukungan militer menjadi pimpinan preman di Jakarta dengan tugas khusus memburu para bromocorah dan aktivis. Atino sebenarnya ingin membunuh Martin Kabiti, orang Timor yang lain yang juga pro-Indonesia, yang dianggapnya bertanggung jawab membantai keluarganya.

Malam itu Sersan Ipi mengantarkan pulang Martin Kabiti ke rumahnya seusai menonton bareng pertandingan final Piala dunia 1998 antara Prancis dan Brazil. Rupanya di rumah Martin Kabiti sudah menunggu Atino dan anak buahnya. Terjadi pertarungan, Sersan Ipi tewas karena dikeroyok sejumlah orang.

Tewasnya Sersan Ipi menandai berakhirnya sementara otoritas negara di Oetimu sebagaimana jatuhnya Soeharto di Jakarta. Dan seperti pengasuhnya, Ipi juga dipahlawankan karena kemudian dikembangkan narasi bahwa ia tewas karena bertempur dengan para pemberontak komunis.

Novel ini mengemukakan dengan sangat menarik bagaimana di ujung tahun 1980an itu, kekuasaan Orde Baru telah demikian kuat menancap dan mencengkeram hingga ke kawasan yang jauh dan kecil seperti Oetimu. Kekuasaan itu dibangun melalui berbagai agen dan aparatusnya mulai politik, pendidikan, agama dan lainnya, dan melahirkan berbagai jenis kepatuhan dan kesetiaan, di antaranya yang melahirkan kesadaran nasionalisme.

Kekuasaan itu, telah menjadi ‘hegemoni’, karena ia telah menyentuh aspek mentalitas yang terdalam sehingga orang yang dikuasai tak lagi menyadari kalau ia telah dikuasai. Tak aneh jika karena itu orang-orang ini kemudian menjadi agen perpanjangan kekuasaan tersebut. Tentu saja tak ada sebiji pun kata ‘hegemoni’ dalam novel ini. Tapi kita tahu ia ada dan beroperasi di ranah kesadaran orang-orang seperti abdi negara Sersan Ipi atau Pastur Yosef.

Tentu saja tak ada sebiji pun kata ‘hegemoni’ dalam novel ini. Tapi kita tahu ia ada dan beroperasi di ranah kesadaran orang-orang seperti abdi negara Sersan Ipi atau Pastur Yosef.

Orang-orang Oetimu, saya kira, adalah sebuah narasi betapa muskilnya nasionalisme itu. Lebih-lebih ketika ia ditetapkan di sebuah kawasan yang kecil, jauh dan terpencil dari pusat kekuasaan. Nasionalisme jadi sebuah agenda politik dari atas yang diperkenalkan, diajarkan dan dipaksakan. Dari sana lahir berbagai bentuk kekerasan kepada siapapun yang menolaknya. Mereka tidak akan mendapatkan bantuan, dituduh komunis, bahkan menjadi absah untuk dibantai. Pada saat yang sama, kawasan Oetimu, yang berbatasan dengan Timor Leste, jadi terus membara karena Indonesia menduduki Timor Leste, menghadapi para pejuang kemerdekaan Timor Leste, dan melawan kampanye internasional yang tidak mengakui pencaplokan itu. Tapi orang-orang Oetimu sebagai bagian dari Indonesia harus mendukung proyek nasional itu sekaligus melindungi dari ancaman komunis dari Timor Leste.

Tokoh-tokoh seperti Am Siki, Martin Katibi, Atino, Silvy, Romo Yosef, Linus dan tak terkecuali Sersan Ipi adalah korban-korban sekaligus pelaku dari bagaimana nasionalisme itu harus ditegakkan. Masing-masing dengan tugas dan peran, memperkenalkan nasionalisme ke berbagai lapisan masyarakat.

Tetapi sekaligus dengan itu, narasi novel ini mempertanyakan, mengejek, menertawakan nasionalisme yang dipaksakan dari atas dan pusat tersebut dengan menunjukkan paradoks, anakronisme dan keganjilan di dalamnya.

Pemahlawanan Am Siki, penerimaan Linus sebagai guru yang sebenarnya berperangai buruk plus goblok tapi sangat nasionalistis, dan tewasnya secara mengenaskan wildan dan anaknya Rico disamber truk tentara, memperlihatkan dengan baik bagaimana paradoks, anakronistis dan bermasalahnya nasionalisme itu.

Bukan hanya institusi Negara yang diejek dan ditertawakan, tapi juga institusi keagamaan, dalam hal ini gereja yang di satu pihak menjadi aparatus ideologis yang penting dan di pihak lain merupakan institusi yang patriarkis dan misoginistis terhadap perempuan. Beberapa romo terbukti melakukan kekerasan terhadap perempuan, tapi yang mengherankan, gereja tak menghukum pelaku kekerasan tersebut. Sebaliknya malah cenderung mempertahankan dan melindungi mereka.

Dalam hal gambaran-gambarannya yang tajam dan pahit terhadap peran gereja inilah, saya betul-betul angkat topi. Saya tak bisa membayangkan penulis dengan latar belakang santri mampu menulis yang isinya menelanjangi kemunafikan tokoh-tokoh agama dan tradisinya sedemikian terbuka. Di luar pikiran saya juga, ada penulis muslim yang mengaku paling sekuler dan paling saintis pun yang berani mengkritik praktik-praktik beragama yang manipulatif.

Tetapi tak ada yang lebih paradoks dan anakronistis dari hegemoni kekuasaan Orde Baru dari yang tercermin dan tertubuh pada sosok Sersan Ipi itu sendiri. Ia lahir dari hasil perkosaan. Ibunya meninggal setelah melahirkannya. Kakek neneknya mati dibantai oleh tentara (pro)Indonesia pendudukan di Timor. Namun ketika dewasa, ia justru menjadi abdi negara yang telah menewaskan ibu dan kakek-neneknya itu. Dan ia sendiri kemudian tewas ketika hendak membela temannya yang akan dibunuh oleh rekannya sendiri karena masalah dendam.

Riwayat Sersan Ipi seperti metafora kekuasaan Orde Baru, yang berasal dari kekerasan, tumbuh dengan kekerasan, dan berakhir juga dengan kekerasan.

Mengapa dan bagaimana Sersan Ipi bisa lupa riwayat kelam dirinya? Mengapa orang-orang tua seperti kakek asuhnya Am Siki tidak mengingatkannya, padahal mereka mempunyai tradisi pelisanan sejarah melalui syair-syair yang dilantunkan turun-temurun? Jika seorang Sersan Ipi yang sejarah hidupnya demikian sarat dengan kekerasan, begitu mudah takluk dan menjadi abdi Negara yang demikian setia, maka bagaimana dengan sosok-sosok lain? “Orang-orang Oetimu” pada dasarnya adalah orang-orang yang malang, yang terpuruk karena kemiskinan, yang terlempar karena kekerasanbaik oleh militer, politisi mau pun oknum agama, namun hebatnya hampir sepenuhnya mereka patuh dan setia pada Negara, serta yakin bahwa Negara telah memberikan dan membuat kehidupan mereka lebih baik.

“Orang-orang Oetimu” pada dasarnya adalah orang-orang yang malang, yang terpuruk karena kemiskinan, yang terlempar karena kekerasanbaik oleh militer, politisi mau pun oknum agama, namun hebatnya hampir sepenuhnya mereka patuh dan setia pada Negara, serta yakin bahwa Negara telah memberikan dan membuat kehidupan mereka lebih baik.

Mengapa bisa demikian? Salah satunya adalah kemampuan Negara untuk menciptakan narasi-narasi, misal tentang bahaya komunisme yang ateis, tidak percaya Tuhan, homoseksual, pembunuh, perampok, dan sebagainya. Atau narasi tentang nasionalisme. Bahkan sebagian orang Oetimu percaya bahwa kehidupan mereka secara umum sebenarnya jauh lebih baik dari pada orang-orang di Jawa.

Kegiatan indoktrinasi dan penataran, serta rekayasa penyebaran informasi, dengan demikian, betul-betul menjadi kegiatan ‘melupakan’. Sementara pada saat yang bersamaan hampir tak ada aksi kontra-narasi, kecuali ketika Maria mengumbar sempah serapah pada Bapak Sugiyono yang memberikan sambutan mewakili pemerintah/militer dalam upacara pemakaman suami dan anaknya, Wildan dan Rico, yang dalam narasi muncul lebih merupakan insiden spontan daripada sebuah perlawanan.

Jika saya mengatakan di atas novel ini telah mempertanyakan, mengejek, menertawakan nasionalisme, menggoyang-goyang otoritas negara, mendakwa militerisme, menyingkap kemunafikan agama, hal itu bukanlah lahir dan dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam novel ini, karena para tokoh dalam novel ini adalah mereka yang sepenuhnya setia dan patuh pada Negara. Tak ada satu pun dari tokoh-tokoh ini yang melakukan perlawanan terhadap Negara. Gambaran yang saya sebut muncul dari deskripsi penulis yang demikian canggih menampilkan paradoks, anakronisme dan keganjilan di dalam riwayat tokoh-tokohnya, latar dan kaitan berbagai peristiwa, dan dampak sosialnya.

Gambaran yang saya sebut muncul dari deskripsi penulis yang demikian canggih menampilkan paradoks, anakronisme dan keganjilan di dalam riwayat tokoh-tokohnya, latar dan kaitan berbagai peristiwa, dan dampak sosialnya.

Orang-orang Oetimu ditulis dengan kesadaran sejarah yang tajam. Sejarah menjadi bangsa dan narasi tentang bangsa yang dibangun sepanjang Orde Baru. Sebagian peristiwa atau tokoh dalam novel bisa dirujuk secara historis. Tokoh Atino misal mengingatkan pada seorang Timor yang turut membantu pendudukan dan kemudian pindah ke Jakarta memimpin sebuah kelompok preman dengan disokong oleh militer.

Felik adalah seorang pencerita yang piawai. Ia merancang dan menjahit cerita dengan lihai, alurnya mengalir dengan nyaris utuh dan kuat. Tidak berbelit-belit dan tidak bergenit-genit. Konflik dan ketegangan terjaga dengan baik. Ketika Silvy diceritakan hamil, saya –dan mungkin juga pembaca lain—menduga yang menghampirinya adalah Romo Yosef. Ternyata bukan. Tokoh-tokohnya lahir, tumbuh dan berkembang dan terhubung dengan tokoh utama Sersan Ipi sebagai pusat cerita. Adegan percintaan dilukiskan dengan dewasa. Kemunafikan diumbar tanpa tedeng aling-aling. Humor yang dipaparkannya hidup dan segar. Sebagai contoh, saat membujang Sersan Ipi digambarkan merasa: “…punya jari yang lengkap dan tidak butuh perempuan untuk merasa bahagia.” Namun ketika bercinta dengan Silvy dalam pertemuan pertama mereka, ia dilukiskan berpikir “untuk memotong saja kedua tangannya itu, sebab ia telah menemukan liang yang berjuta kali lebih nikmat dari tangannya.” Bahkan semacam pesan moral yang disampaikan novel ini, melalui Am Siki, diungkapkan dengan humor yang segar: “Tidak boleh dibunuh, sekalipun itu orang jahat. Tidak boleh diperkosa, sekalipun itu kuda.”

Satu lagi yang menarik, bahasa Indonesia gaya orang-orang Indonesia bagian Timur lengkap dengan perumpamaan, istilah, dan pisuhannya juga terasa dalam buku ini. Gaya bahasa Indonesia yang berbeda dengan yang berkembang di Jakarta atau Jawa umumnya. Aspek bahasa ini hendaklah jadi perhatian karena ia memiliki makna yang mendalam, sebagai contoh pergeseran istilah dari ‘usi’ menjadi ‘romo’. Atau penggunaan istilah ‘menghampiri’ yang bisa bermakna meniduri atau memperkosa.

Saya menyebut alur dan penokohan ‘nyaris’ utuh. Ya nyaris, artinya memang masih ada celah yang bisa jadi kekurangan kecil novel ini. Sebagai contoh gambaran Am Siki yang lugu secara politik, rasanya berlawanan dengan riwayat hidupnya yang pernah menjadi pedagang yang sudah berkeliling ke berbagai daerah dan telah bertemu banyak orang, terutama orang-orang Portugis. Am Siki dari riwayatnya jelas bukan orang yang tidak pernah ke mana-mana dan benar-benar tidak tahu apa-apa. Demikian juga dengan tewasnya Wildan, suami Maria, dan anaknya, Rico, tertabrak truk iringan tentara adalah unsur melodramatis yang terasa bukan untuk untuk menunjukkan kejamnya militerisme tapi lebih demi menghadirkan sosok Romo Yosef yang terobsesi pada Maria. Celakanya kemudian Maria pun mati membunuh diri, meski rasanya ia seperti dibunuh oleh si penulis cerita.

Apapun juga, novel Orang-orang Oetimu, telah memberikan kesan mendalam, setidaknya bagi saya, untuk melihat Indonesia dari sebuah daerah kecil di bagian timur Indonesia. Melihat Indonesia bukan dari Jakarta, bukan dari Jawa, seperti membalik sekian persen derajat sudut pandang.

Wajah Indonesia jadi beda sekali. Bopengnya jadi lebih tampak.