Menu

Author Archives: Farid Mustofa

Udara sore sekitar makam Sunan Drajat terasa sejuk, meskipun suasananya tak jauh berbeda dengan pasar. Aku, seorang guru yang tak terlalu suka dengan hal-hal spiritual, mengamati sekeliling dengan skeptis. Kali ini, aku mengantar rombongan murid berziarah wali sembilan—ritual tahunan yang menurutku tak lebih dari acara jalan-jalan yang dibumbui takhayul dan mitos. Namun, sekolah memaksa, dan di sinilah aku, berdiri di tengah kerumunan orang yang datang dengan harapan kosong dan sia-sia.

“Kalian jangan terlalu percaya sama yang gaib-gaib. Ini cuma tradisi, tidak ilmiah,” pesanku kepada murid-murid menjelang turun dari bus.

Duduk malas di bangku kayu, menunggu mereka masuk ke makam, aku amati sekitar.

Makam Sunan Drajat berada di puncak bukit, dikelilingi pemandangan indah. Di bawah bukit hamparan sawah melandai jauh. Konon, dulu di bawah sana terdapat sungai purba yang membentang dari Surabaya, Demak, hingga Cirebon, yang digunakan wali sanga saling berkunjung. Tapi bagiku, cerita semacam itu tidak lebih dari legenda.

Nisan-nisan tua berserakan membawa kesan hampa dan purba. Warung-warung kecil berjajar di pinggir jalan, suara tawar-menawar  terdengar samar. Aku melirik jam tangan. Bosan. Suasana di sekitar, meski ramai menjadi tak menarik.

Di tengah kebosanan seorang bapak tua duduk di sampingku. Tangannya menjinjing mainan anak-anak. Ada gasing, kitiran, kuda-kudaan dan sebagainya. Penampilannya sederhana mengenakan baju surjan, celana longgar, dan iket kepala batik. Perawakannya kurus tapi sehat.

“Mainan, Mas? Buat yang  di rumah” suaranya parau.

Aku menatapnya heran. Tidak ada yang menjual mainan di sini.

“Mainan?” tanyaku sinis. “Di tempat begini kok jual mainan, Pak. Mestinya makanan.”

Bapak tua tidak mendengarku, ia sibuk merapikan mainannya. Tiba-tiba sambil lalu dia berkata.

“Hidup itu permainan, Mas. Kenapa tidak mainan?”

Kalimatnya klise tapi membuatku terdiam.

“Kisanak darimana?”.

“Jogja. Kalau sampeyan?” Ia bergumam tidak jelas. Aku juga tak tertarik tahu asalnya.

“Yang nyaman, santai, tidak usah ngeden, Mas..” katanya. Yang tidak nyaman apalagi ngeden itu ya siapa. Enak saja. Sok tahu.

“Wong urip iku..”

“Nama Bapak siapa?” tenyaku memotong.

***

“Drajat,” jawabnya.

Aku tertawa kecil, geli campur sinis.

“Hahaha, namanya seperti wali. Sunan Drajat?” candaku.

Bapak tua diam tersenyum kecil. Ia menatapku sebentar, lalu beralih ke nisan-nisan di sekeliling kami. Sorot matanya teduh, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. Ada keheningan dalam sikapnya yang membuatku merasa tak nyaman.

Menjelang magrib, suasana berubah. Langit jingga di ufuk barat meredup gelap, dan udara terasa lebih dingin. Warung-warung mulai sepi, satu per satu pedagang menutup kiosnya.

Aku memandang ke arah bukit. Di balik sana, tampak kilapan air  mengalir perlahan. Hamparan sawah penuh genangan tiba-tiba berubah menjadi laut. Aku tertegun. Berkali mataku mengerjap tapi  tidak juga hilang. Sekarang bahkan jelas: lampu jalan menerangi perahu-perahu yang tertambat dan orang-orang berjalan di tepian.

“Pak, apa itu? Kok ada kapal?” tanyaku menuding jauh dan bingung.

Bapak tua, yang kini berdiri menggendong mainannya, tersenyum lagi.

“Itu pelabuhan. Perahu ke Demak sudah datang, saya harus berangkat.”

Jantungku berdetak kencang.

“Ke… Demak?” tanyaku terbata-bata.

Tanpa menoleh, bapak itu berkata pelan. Suaranya berat dan dalam.

Memangun resik, resiking ati, becik ketitik, ala ketara.

Saya terpaku. Kata-katanya sederhana, namun menusuk hati.

Tanpa berkata lagi, bapak penjual mainan beranjak menuruni bukit menuju dermaga. Di sekelilingku orang-orang bermunculan,  berdiri penuh hormat melepas kepergiannya. Aku heran memandangi mereka, yang  seperti peziarah namun auranya berbeda.

“Siapa itu?” tanyaku pada sebelahku. Ia menatapku heran. “Kamu benar tidak tahu? Itu Kanjeng Sunan.”

 “Sunan… Drajat?”

Tiba-tiba orang-orang di sekelilingku lenyap. Rombongan muridku, para peziarah, semuanya hilang. Yang tersisa hanyalah nisan-nisan tua  dalam remang gelap.

Makrifat berasal dari kata ‘arafa’ (عرف) yang berarti mengetahui atau mengenal, makrifat menjadi pengetahuan tertinggi hasil penyaksian dan penyingkapan keberadaan Allah, yang bukan saja melibatkan pengetahuan teoritis dan intelektual, namun mencakup keseluruhan potensi akal dan rohani. Seorang yang mencapai maqam makrifat memiliki pemahaman mendalam tentang Tuhan, alam semesta, sekaligus dirinya sendiri. Makrifat adalah puncak perjalanan spiritual seorang Muslim berupa pemahaman mendalam tentang Tuhan beserta sifat-sifat-Nya.

Pencapaian makrifat membutuhkan latihan spiritual intens, seperti: zikir, tafakkur, dan muraqabah (pendekatan ke Tuhan). Hal itu bertujuan semata-mata untuk mengenal Allah melalui tahapan taubat, zuhud (asketis, pemurnian hati), sabar, tawakal, ridha (penerimaan), dan puncaknya ialah makrifat.

Beberapa tokoh besar Islam mengalami makrifat. Contohnya Rabi’ah Al-Adawiyah (713-801 M), yang sangat mencintai Allah menggunakan istilah hubb (cinta) dalam pengalaman makrifatnya. Abu Yazid al-Bustami (804–874 M) dengan ittihad (penyatuan), Mansur Al-Hallaj (858 – 922 M) yang masyhur dengan pernyataan “Ana al-Haq” (Akulah Kebenaran) menggunakan hulul (Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia yang telah fana, dan lenyap sifat kemanusiaannya). Imam Al-Ghazali (1058-1111 M), mencapai makrifat dengan istilah kasyaf dan menuliskannya dalam karya magnum opus “Ihya Ulumuddin”,  Ibnu Arabi (1165 -1240 M) dengan wahdat al-wujud, makrifat Jalaluddin Rumi (1207 -1273 M) sebagaimana tertulis dalam kitab Matsnawi, dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (1077- 1166 M) dalam kitab Manaqib.

Tokoh-tokoh tersebut menggambarkan kisah bagaimana para sufi mencapai maqam makrifat melalui perjuangan spiritual yang panjang dan berat. Meskipun menggunakan istilah yang berbeda, semua merujuk pada pencapaian pengetahuan mendalam tentang Tuhan (makrifat).

Mengalami Makrifat dalam Keseharian

Beberapa kejadian sehari-hari dapat menggambarkan konsep makrifat. Misal memandang alam, matahari terbit, lautan luas, gunung yang megah, dapat menumbuhkan rasa kagum, syukur, dan merasakan kebesaran Tuhan. Seseorang yang merenungi dirinya, asal-usulnya, keunikannya, potensinya, juga dapat melahirkan kecintaan pada Allah. Sebagian yang lain menyadari kehadiran Allah melalui pengalaman religius (Religious experience) dari peristiwa harian biasa. Begitu pula merenungi nasihat agama dan melakukan ibadah salat, zikir, atau membaca Al-Quran dengan penuh kekhusyukan, bisa mengantarkan pada kesadaran Allah hadir dalam hidupnya. Hal ini menggambarkan bahwa makrifat bisa terjadi dan dialami dalam kehidupan sehari-hari melalui refleksi, pengalaman spiritual, dan praktik keagamaan yang dilakukan dengan khusyuk.

Beberapa kejadian sehari-hari dapat menggambarkan konsep makrifat. Misal memandang alam, matahari terbit, lautan luas, gunung yang megah, dapat menumbuhkan rasa kagum, syukur, dan merasakan kebesaran Tuhan.

Para Sufi mencapai Makrifat

Apa yang dapat kukatakan tentang-Mu?

Bagiku, Engkau adalah Segalanya.

Apa yang dapat kulihat selain Diri-Mu?

Bagiku, Engkaulah yang Maha Ada.

Dalam puisi singkat ini Syaikh Abu Sa’id Abu al-Khayr mengungkapkan puncak pengalaman spiritualnya. Ia menyatakan bahwa tidak ada yang dapat ia katakan tentang Tuhan, karena Tuhan adalah segalanya. Ia juga tidak dapat melihat apa pun selain-Nya, karena baginya hanya Dia yang ada. Ungkapan padat mendalam ini menggambarkan pencapaian makrifat atau pengalaman spiritual yang intim dengan Tuhan, sehingga segala yang ada hanyalah manifestasi (tajalli) Tuhan.

Maulana Jalaluddin Rumi menggunakan berbagai simbol dan metafora untuk menggambarkan kesatuan diri manusia dengan Tuhan:

Dunia ini adalah cermin,

Di dalamnya terpancar Wajah Tuhan.

Jika kau memandang dengan mata hati yang bersih,

Maka kau akan melihat Keindahan-Nya.

Aku adalah angin, Engkau adalah daun.

Aku adalah hujan, Engkau adalah bunga.

Aku adalah laut, Engkau adalah ombak.

Aku adalah siang, Engkau adalah terang.

Aku mengenal diriku, maka aku mengenal Tuhanku.

Aku melihat Tuhan dalam setiap yang Ia ciptakan.

Tiada yang lain selain Dia, di mana pun aku menatap.

Dia adalah Satu-satunya, yang Maha Tunggal.

Di sini Rumi menyatakan bahwa barang siapa mengenal dirinya, maka seseorang itu dapat mengenal Tuhannya. Tuhan hadir di setiap ciptaan dan hanya Dialah satu-satunya yang layak disembah dan dicintai. Abu Yazid Al-Busthami menggambarkan pengalaman ittihad (penyatuan) dengan Tuhan-Nya:

“Aku bermimpi melihat Tuhan.
Aku pun bertanya: Tuhanku, jalan apa yang harus kutempuh untuk sampai kepada-Mu?
Tuhan menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah.”

Para sufi mencapai makrifat yang menjadi puncak pengalaman spiritual mereka, merasakan penyatuan dengan Tuhan, kemudian mendapat kebebasan dari segala keterikatan yang membelenggunya.

Makrifat Tidak Hanya untuk Sufi

Makrifat tidak hanya terdapat dalam tradisi sufi. Meskipun dalam khazanah sufisme pembahasan makrifat lebih dominan, namun konsep ini juga dibahas oleh para ulama dan cendekiawan Islam pada umumnya.

Dalam Ilmu Kalam misalnya, para teolog (mutakallimun) membahas konsep makrifatullah (pengenalan Allah) sebagai bagian dari pembahasan sifat dan zat Tuhan. Dalam hermeneutika Al-Qur’an, para mufasir menekankan pentingnya makrifat kepada Allah untuk bekal komprehensif memahami ayat. Selain itu, ulama fikih juga membahas makrifatullah sebagai fondasi pelaksanaan ibadah dan hukum-hukum syariat. Jadi, konsep makrifat bukan hanya terbatas pada tradisi sufisme, melainkan menjadi bagian integral dari pemikiran dan praktik keagamaan Islam secara menyeluruh.

Makrifat dan Pencerahan

Pencerahan merujuk pada kondisi seseorang yang mencapai pemahaman mendalam tentang suatu hal, yang bisa dicapai dengan berbagai cara. Dalam konteks ini makrifat berbeda dengan pencerahan (terutama yang mengacu pada perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa. Pencerahan (aufklärung, enlightenment) seperti pada gerakan intelektual Eropa pada abad ke-17, yang menekankan akal rasio untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Sementara, makrifat berfokuskan pada pengetahuan rohani, bersifat intuitif, melalui pembersihan jiwa, sehingga bukan saja melahirkan transformasi intelektual tetapi juga spiritual. Jadi meskipun sama-sama pemahaman mendalam, namun akar dan tujuannya berbeda. Pencerahan terfokus rasio dan intelektual, sementara makrifat transformasi spiritual.

Makrifat juga berbeda dengan hidayah, namun berkaitan. Hidayah petunjuk dan bimbingan  Allah, sementara makrifat  pemahaman mendalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya melalui perjuangan spiritual.

Makrifat juga berbeda dengan hidayah, namun berkaitan. Hidayah petunjuk dan bimbingan  Allah, sementara makrifat  pemahaman mendalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya melalui perjuangan spiritual. Hidayah bisa menjadi pintu seseorang mencapai makrifat, dan sebaliknya makrifat juga dapat memperdalam hidayah. Jadi, hidayah adalah bimbingan Allah dan  makrifat adalah pencapaian pengetahuan spiritual tentang-Nya.

Mungkinkah Makrifat di Luar Agama?

Di luar agama ditemukan konsep yang mirip makrifat tetapi dengan istilah berbeda. Misalnya dalam filsafat. Aliran filsafat, seperti platonisme, idealisme, dan fenomenologi, membahas pencapaian pemahaman esensial terhadap realitas, kebenaran, atau hakikat. Dalam sains, para ilmuwan mencapai pemahaman mendalam tentang alam. Mereka mengalami  semacam “makrifat” sains. Dalam psikologi, terutama psikologi transpersonal, terdapat konsep pencapaian kesadaran diri yang searti makrifat. Pun dalam bidang seni, seniman menyingkap dan mengungkap keindahan di balik realitas. Mereka menggapai semacam “makrifat” seni.

Di sini makrifat mengalami perluasan arti dari mengenal Allah menjadi pemahaman mendalam (deep understanding), wawasan intuitif (intuitive insight), pencerahan (enlightenment), penyingkapan kebenaran (unveiling of truth), dan pengenalan esensial (essential knowing). Istilah yang terakhir mengacu pada pemahaman hakikat suatu hal melampaui pengetahuan konvensional. Meskipun istilah-istilah ini berbeda dengan “makrifat”, namun pada dasarnya merujuk ide serupa, yaitu pencapaian pemahaman mendalam melampaui pengetahuan biasa.

Makrifat Seni

Seni telah lama dianggap sebagai media menggapai dan mengungkapkan pengalaman spiritual. Dalam konteks ini, seni tidak hanya menjadi produk mimesis alam, namun juga mengandung pesan keberadaan Tuhan. Sebagaimana dilakukan para seniman besar, Tuhan menjadi sumber inspirasi dan kekuatan terbesar dalam proses pengkaryaan. Seni menjadi sarana menghadirkan ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian batin, sehingga manusia mencapai pemahaman tentang Tuhan melalui pengalaman artistik. Spiritualitas seni kemudian melahirkan getaran religius yang menjadi sumber kebaikan, kesalehan dan kebijaksanaan.

Melalui seni, manusia memperoleh pandangan holistik tentang keajaiban dunia. Seniman memadukan kontemplasi ketuhanan dengan keterampilan artistik mereka, membantu mereka memahami prinsip-prinsip esensial dari keberadaan Allah SWT. Dalam kunjungan ke museum seni, galeri, atau seni pertunjukan seni, orang bukan saja  menyelami langit estetika, tetapi  juga lebih dalam lagi mengalami keindahan spiritualitas.

Makrifat seni merupakan pencerahan spiritual seniman yang terilhami agama, alam, dan peristiwa. Sumber agama melahirkan karya tokoh agama, kisah suci, dan simbol spiritual. Keindahan alam menginspirasi lukisan alam lahir batin yang menakjubkan. Sementara peristiwa atau pengalaman marah, sedih, dan gembira mengilhami tema cinta, kehilangan, harapan, dan rasa sakit dalam celupan pencerahan spiritual. Para seniman menyampaikan pengalaman spiritual mereka dalam karya seni, menginspirasi orang berefleksi dan berpikir tentang hakikat kehidupan, serta hubungan antara manusia, Tuhan dan alam semesta.

Makrifat dalam seni merupakan ekspresi spiritual yang indah. Karya seni makrifat memiliki potensi transformatif yang dapat membangkitkan spiritualitas, inspirasi, kedamaian dan ketenangan penikmatnya. Seniman yang mendedikasikan karyanya untuk mengungkapkan pengalaman batin berperan mempromosikan nilai-nilai universal seperti cinta, kasih sayang, perdamaian, serta penghormatan.

Bukit Makrifat adalah metafora perjalanan spiritual menggapai pencerahan batin. Setiap langkah diwarnai rintangan yang menimbulkan keraguan dan ketakutan. Sebuah perjalanan yang penuh rintangan sekaligus keajaiban dan keindahan. Semakin tinggi mendaki semakin tipis kabut menyelimuti. Pada puncak pendakian, terhampar panorama luar biasa: luasnya samudra pengetahuan, kilauan bintang kebijaksanaan, dan kehangatan cinta Ilahi:

Pada kedalaman tafakurnya, tiba-tiba segala sesuatu terlihat sebagai Allah.

Apa pun Allah. Segalanya Allah, Allah segalanya.

Kebebasan dan ketenangan meliputinya.

Tak lagi terikat ruang waktu, keinginan dan kecemasan.

Ia fana, lebur, menyatu dengan-Nya.


Editor: Mohammad hagie

Ilustrator by Emad Rizk

Mistisisme Islam atau sufisme memiliki akar sejarah yang panjang dan dapat ditelusuri hingga ke masa Nabi Muhammad SAW. Beberapa tokoh di periode awal ialah para sahabat seperti Abu Bakar, Ali, dan Uwais al-Qarni yang dikenal kesalehan, kezuhudan, serta kecintaannya kepada Allah SWT. Istilah sufi berasal dari kata Arab, yaitu “ṣūf” artinya “bulu domba”, sebuah konotasi yang kemudian menjadi ciri pakaian sederhana dan digunakan oleh kaum sufi. Sufisme pertama kali muncul pada abad ke-9 Masehi, namun praktik sufistik telah ada sejak masa awal Islam.  Dalam perkembangannya, sufisme menekankan pentingnya pengalaman langsung dengan Tuhan melalui praktik-praktik spiritual yang intens, seperti meditasi, zikir, dan kehadiran Allah dalam kehidupan, menggabungkan ajaran-ajaran Islam dengan filsafat, psikologi, hingga spiritualitas dari beragam tradisi yang berinteraksi dengan politik, kebudayaan dan kesenian.

Salah satu terminologi penting dalam khazanah sufisme adalah uzlah. Uzlah artinya “menarik diri dari dunia” atau “menjauhi kehidupan duniawi”, demi mengarahkan hidup pada pencarian spiritual dan pendekatan kepada Tuhan.[1] Uzlah tidak berarti menolak dunia, tetapi secara batin menjaga jarak, para sufi dalam praktiknya tetap berinteraksi dengan dunia dengan cara sederhana dan terkontrol. Uzlah bukan hanya bentuk pengasingan diri, tetapi sebagai cara efektif untuk membersihkan hati dan pikiran dari pengaruh dunia lahir serta memfokuskan diri pada laku spiritual dalam memperkuat hubungan dengan Tuhan.[2] Melalui praktik uzlah, para sufi mengatasi godaan duniawi dengan meditasi, dzikir, dan puasa[3], serta pemisahan diri dari dunia untuk menemukan ketenangan batin dan pemahaman utuh menyeluruh atas keberadaan diri.

Seni Sufi

Seni dalam tradisi sufisme dipandang menjadi sarana kuat untuk mengalami dan mengungkapkan dimensi spiritual, mengakses sisi batin, merasakan kedalaman perasaan, serta mengintegrasikan kehadiran Tuhan[4]. Di samping itu, seni menjadi alat menyampaikan pesan-pesan spiritual secara simbolis dan metaforis, mengkomunikasikan pemahaman mendalam tentang realitas spiritual, serta membantu memahami makna tersembunyi di balik dunia materi. Seni juga menjadi sarana pengungkap perasaan dan pemahaman, sebagai medium menghubungkan diri dengan dimensi batin yang lebih tinggi, serta menjadi jalan pendekatan diri dengan Tuhan.

Seni juga menjadi sarana pengungkap perasaan dan pemahaman, sebagai medium menghubungkan diri dengan dimensi batin yang lebih tinggi, serta menjadi jalan pendekatan diri dengan Tuhan.

Melalui penghayatan seni, para sufi mengalami transformasi diri. Mereka menempatkan seni sebagai jendela menuju realitas yang melampaui batasan materi dan rasionalitas, hingga membuka kemungkinan baru dalam menggambarkan keindahan, kebenaran, dan cinta. Proses kreatif ini sejatinya merupakan ibadah pelepasan ego dan peleburan diri dengan energi kreatif, sehingga karya seni yang dihasilkan mencerminkan kedalaman spiritual. Metode seni sufistik dapat pula mengajarkan perihal ruhani dengan cerita, metafor, membangkitkan kesadaran, kesucian jiwa, dan pemahaman ketuhanan. Seni sufi adalah jembatan antara materi dan spiritual, memungkinkan ekspresi diri, kedamaian, dan hadirnya Tuhan, serta mengajak melihat dunia dengan mata batin, menelusuri keindahannya hingga merasakan kehadiran secara langsung. Seni sufistik bisa mengambil berbagai bentuk, seperti sastra, musik, tarian, dan seni rupa. Seni rupa menjadi ekspresi artistik dan spiritual yang mencerminkan nilai, pengalaman, dan pencarian mistik, menjembatani dunia lahiriah dan batin, sehingga menggambarkan perjalanan spiritual menuju persatuan dengan kebenaran tertinggi.

Lukisan Uzlah

Karya-karya Kaji Habib bertema uzlah, menggambarkan pencarian dan perjalanan batin, jejak perjalanan kerinduan mendalam, penemuan yang menggugah, dan kejutan misteri. Dalam perjalanan spiritual yang dihadirkan melalui visual lukis, Kaji Habib menangkap esensi keheningan, kekuatan introspeksi, dan refleksi, serta menggambarkan setiap momen dengan sangat detail. Kaji Habib menciptakan komposisi warna yang anggun, memperlihatkan keindahan sekaligus menghadirkan suasana kedalaman. Ia bekerja dengan hati-hati pada setiap detailnya untuk menghasilkan harmoni visual yang seimbang dan utuh.

Karya-karya Kaji Habib tidak hanya memukau secara visual, namun juga membangkitkan emosi dan meningkatkan kreativitas. Narasi yang ia ciptakan merangsang refleksi dan memperluas pemahaman tentang pencarian dan perjalanan spiritual dalam hidup. Sebuah lukisan sosok berkerudung dikelilingi mozaik warna hijau dan coklat tua, misalnya, kaya akan makna dan simbolis. Kerudung atau hijab melambangkan pemisahan antara dunia material dan realitas spiritual, merepresentasikan pencarian spiritual dan hubungan antara individu dengan Tuhan. Elemen abstrak dan kepingan mozaik mencerminkan konsep realitas yang terpecah-pecah dan bersifat relatif, dan dalam filosofi sufi, dunia fenomenal itu dianggap sebagai cerminan dari realitas yang lebih dalam dan tersembunyi. Hal tersebut merepresentasikan keragaman individu yang mencari kesatuan dengan Tuhan melalui berbagai jalan berbeda.

Paduan warna hijau dan coklat tua yang dipilih mengandung makna filosofis-sufistik. Warna hijau kerap dihubungkan dengan kehidupan, pertumbuhan, dan keselarasan alam, dipadukan dengan coklat tua yang melambangkan kedalaman, ketenangan, dan kedamaian dalam perjalanan spiritual. Gabungan kedua warna tersebut menghasilkan aura yang menenangkan dan membangkitkan kekaguman terhadap keindahan alam dan kehadiran Ilahi. Secara keseluruhan, lukisan Kaji Habib merupakan representasi visual dari perjalanan spiritual dan pencarian jiwa dalam konteks sufistik yang filosofis.

Karya-karya haji dengan tema Uzlah (menepi dari keramaian), menggambarkan perjalanan spiritual dan pencarian jiwa, mengajak merenungkan hubungan manusia dengan dimensi spiritual, menemukan kebenaran, keselarasan alam, dan kedekatan dengan Tuhan. Karya-karya lukis Kaji Habib menjadi representasi visual yang memikat, membangkitkan rasa ingin tahu, serta  memperluas pemahaman diri dan makna hidup.

Referensi

Asad, M. (1993). The Road to Mecca. University of California Press.

Cole, W. O. (2000). Sufism: A Beginner’s Guide. Oneworld Publications.

Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. University of North Carolina Press.

Editor: Mohammad Hagie


[1] Asad, M. (1993). The Road to Mecca. University of California Press. Hal.45.

[2] Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. University of North Carolina Press. Hal.95.

[3] Chittick, W. C. (2000). Sufism: A Beginner’s Guide. Oneworld Publications.Hal.76.

[4] Cole, W. O. (2000). Sufism: A Beginner’s Guide. Oneworld Publications.

Relasi Subjek-Objek

Sepasang suami-istri terhanyut oleh Le Radeau de la Méduse (Rakit Medusa) karya pelukis litografi, Théodore Géricault, di dinding Museum Louvre. Di kanvas berukuran 490×716 cm2 itu Géricault sukses menggambarkan perjuangan hidup mati 15 orang di atas serpihan kapal perang mereka yang tenggelam tanggal 5 Juli tahun 1816. Terapung selama 13 hari mereka berjuang melawan kelaparan, dehidrasi, bahkan kanibalisme.

Géricault menghabiskan banyak waktu untuk riset, mewawancarai korban hidup, dan membuat berbagai sketsa detail, sebelum akhirnya melukiskannya menjadi karya realisme yang kontroversial, yang terus memancarkan pamornya selama lebih 2 abad.

Bersama La Gioconda Monalisa (Senyum Monalisa) karya Leonardo da Vinci, lukisan Géricault menjadi magnet dan sihir Museum Louvre hampir sepanjang masa. Hanya jika daya tarik Monalisa terletak pada sisi misteri, Le Radeau de la Méduse lebih pada kontroversialnya.

Sebelum bertemu karya realis seperti lukisan Le Radeau de la Méduse juga patung-patung di Loggia dei Lanzi, Florence, saya berpikir hanya lukisan abstraklah yang mampu mengantarkan imajinasi dan refleksi. Karya abstrak tidak membatasi pengamat dengan gambar nyata, detail, dan pesan jelas sehingga tersedia ruang apresiasi estetis, imajinasi, dan pengalaman spiritual karena lukisan terbuka untuk ditafsirkan. Tetapi suami-istri yang dihanyutkan oleh Le Radeau de la Méduse di atas cukup menghentak kesadaran. Kesadaran yang sama saat menjumpai pemandangan serupa seperti di Museum der Bildenden Kunste, Leipzig, pada salah satu koleksinya — Still Life with Hunting Equipment karya Christoffel Pierson– yang menurut saya bercorak realisme namun sangat kuat menarik perhatian pengunjung.

Kekuatan lukisan dalam mengantarkan dan memperkaya pengalaman estetis pengamatnya, dengan demikian bukan ditentukan oleh jenis aliran –impresionisme, ekspresionisme, naturalisme, realisme, surealisme, painterly, abstrak, dan lain-lain — tetapi lebih pada alam batin, kejiwaan, struktur kepribadian, dan mungkin juga intelegensia pengamat. Dengan kata lain, keindahan lukisan terletak pada subjek pengamat. Bukan pada objek lukisannya.

Postulat yang mengatakan bahwa “Seseorang tidak dapat melihat lukisan jika ia berada dalam bingkainya” perlu dicermati dan dikoreksi. Postulat ini mengajarkan kita mustahil dapat melihat lukisan selagi kita menempel di bingkainya. Kita mesti melepaskan diri, menjauh, dan mengambil jarak, baru kita dapat melihat wajah utuh lukisan. Secara metaforis berarti untuk menangkap sinyal keindahan dan mengembarai sebuah lukisan, seseorang harus keluar dari bingkai ego, teori, tradisi, dan pengekang lainnya kemudian menyerahkan ke dalam dimensi batin lukisan. Hal ini mengasumsikan keniscayaan orientasi subjek ke objek, pengamat ke karya, baru makna atau keindahan diperoleh.

Secara metaforis berarti untuk menangkap sinyal keindahan dan mengembarai sebuah lukisan, seseorang harus keluar dari bingkai ego, teori, tradisi, dan pengekang lainnya kemudian menyerahkan ke dalam dimensi batin lukisan. Hal ini mengasumsikan keniscayaan orientasi subjek ke objek, pengamat ke karya, baru makna atau keindahan diperoleh.

Namun ternyata dengan orientasi yang dibalik pun — objek ke subjek, karya ke pengamat– sisi batin karya seni bisa didapatkan, bahkan lebih kaya makna karena objeknya mewartakan diri secara langsung, autentik, dan leluasa. Dalam konteks inilah Le Radeau de la Méduse menyihir dan menarik pengamatnya ke dalam imajinasi, pengembaraan batin, bahkan kemungkinan pengalaman Ilahiyah.

Begitu pula lukisan-lukisan abstrak yang tidak serta-merta tertangkap maksudnya saat kita melihatnya memiliki peluang sama dalam mengantarkan pengamat pada sisi batin lukisan. Prosesnya bisa lewat apa saja mulai dari judul, komposisi warna, teknis, ‘ketidakjelasan’ maksud, dan data-data abstraktif dari lukisan yang hadir ke dalam batin. Secara umum karya-karya Kaji Habeb berada dalam klasifikasi abstrak-simbolik sebagaimana saya maksud ini.

Muter Kitiran: Emanasi

Tema utama lukisan Kaji Habeb adalah cinta yang menggerakkan yang bersumber dari kerinduan dan keindahan transendental, yang dalam terminologi Sufisme Falsafi disebut emanasi.

Emanasi, artinya pemancaran atau pelimpahan, terjadi secara dinamis dan simultan mengikuti pola gerak berputar dari Tuhan yang melimpah menjadi semesta – kembali ke Tuhan – memancar melimpah lagi seterusnya berkat Eros, energi cinta Tuhan. Pola memutar ke dalam ada di lukisan Habeb, seperti pada “Manunggaling Ning”, “Tafakur Biru”, dan “Sufi Merah”. Dalam “Manunggaling Ning” Habeb mengartikulasikan ”gerak- ke-dalam” sebangun dengan filosofi Jawa Muter Kitiran, yaitu simbolisasi usaha manusia menggerakkan penala angin. Bukan memutar dan diputar angin melainkan angin dan gerak menyatu menciptakan harmoni menuju Ning : titik ordinat kasunyatan (kesejatian) yang menjadi tujuan akhir dari seluruh proses kejadian.

Tema pameran Sufi Merah, berkorelasi selain dengan tradisi sufisme juga secara khusus dengan kitab Kirbit Al-Ahmar (Belerang Merah) karya Ibnu Arabi (1165 – 1240 M), tokoh tasawuf falsafi Andalusia. Belerang Merah merujuk pada kelangkaan, karena belerang biasanya berwarna kuning. Kelangkaan mana dalam konteks sufi berarti ketenangan jiwa dan kedekatan dengan-Nya, yang tidak mudah diperoleh kecuali dengan riyadah dan laku lahir batin.

Tema pameran Sufi Merah, berkorelasi selain dengan tradisi sufisme juga secara khusus dengan kitab Kirbit Al-Ahmar (Belerang Merah) karya Ibnu Arabi (1165 – 1240 M), tokoh tasawuf falsafi Andalusia. Belerang Merah merujuk pada kelangkaan, karena belerang biasanya berwarna kuning. Kelangkaan mana dalam konteks sufi berarti ketenangan jiwa dan kedekatan dengan-Nya, yang tidak mudah diperoleh kecuali dengan riyadah dan laku lahir batin.

Ibnu Arabi seluruh narasinya adalah upaya menghadirkan cinta dan keindahan. Aspek kebenaran dan kebaikan tidak terpisahkan dari keindahan. Sesuatu disebut kebaikan dan kebenaran jika pada saat yang sama ia indah, serta memiliki daya pesona yang melahirkan rasa cinta dan kerinduan untuk mengalaminya. Keindahan merupakan aspek Ilahiyah, yang karenanya kebahagiaan hakiki hanya bisa dikembangkan jika tabiat manusia yang cinta dan rindu pada keindahan dapat tercapai.

Siti Jenar, Syekh Tanah Merah, dan Sufi Merah

Ibn Arabi termasuk pengembang paham Wahdatul Wujud. Semesta seisinya, baik benda atau hal-hal, yang tampak maupun tidak, dan keberagaman sesungguhnya tunggal, esa. Mereka beragam hanya pada permukaan, fisik lahiriah, tetapi pada hakikatnya tunggal. Berasal dan kembali dari Zat Allah yang tunggal. Semua wujud yang ada ini adalah penampakan Yang Tunggal, Allah. Tidak terpisahkan wujud Allah dan segala yang ada. “Maha Suci Zat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri” merupakan ungkapan Ibnu Arabi yang terkenal.

Semua wujud yang ada ini adalah penampakan Yang Tunggal, Allah. Tidak terpisahkan wujud Allah dan segala yang ada. “Maha Suci Zat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri” merupakan ungkapan Ibnu Arabi yang terkenal.

Meskipun Wahdatul Wujud sering dikaitkan dengan Ibnu Arabi tetapi sebetulnya sudah diajarkan oleh beberapa sufi sebelumnya. Al-Ghazali, misalnya, dalam sebuah karyanya mengatakan, “Sesuatu yang maujud hanyalah Allah, sebagaimana cahaya yang sebenar-benarnya adalah Allah” dan ”Tidak ada wujud kecuali Allah dan wajah-Nya, dengan itu pula, maka segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya yang azali dan abadi”. Ma’ruf Al-Karkhi yang hidup empat abad sebelum Ibnu Arabi menyatakan syahadat dengan kata-kata “Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah”. Ibnu Taimiyah, guru Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, yang menentang pemikiran Ibnu Arabi secara tidak sengaja berperan mempopulerkan istilah Wahdatul Wujud.

Namun demikian yang dianggap sebagai tokoh Wahdatul Wujud adalah Ibnu Arabi, ditambah 2 sufi lain yaitu Al-Hallaj (dari Persia pada abad 9) dan Siti Jenar (Lemah Abang atau Tanah Merah). Yang disebut terakhir nama aslinya Raden Abdul Jalil, lahir di Iran tahun 1404 M, kemudian menetap di Jepara, Jawa Tengah. Siti Jenar mengembangkan ajaran Wahdatul Wujud yang telah disesuaikan dengan konsep Jawa menjadi Manunggaling Kawula Gusti. Paham ini dianggap bertentangan dengan ajaran Wali Songo yang menekankan aspek formal hukum fikih sementara Siti Jenar lebih pada aspek rohani agama.

Di balik warna, bentuk, komposisi, dan teknik melukis, Habeb melemparkan dirinya ke dalam karya-karyanya. Tanah Merah, Belerang Merah, dan Sufi Merah terepresentasi dengan jelas, detail, sekaligus abstrak dalam semua lukisan Habeb: keragaman, warna-warni, gerak-dalam yang memusat, serta bentuk-bentuk spasmodis adalah gambar hidup sehari-hari dan segala proses di dalamnya sejatinya adalah wujud tunggal-Nya.

Sebagai sintesis pemikiran, pencarian, dan laku spiritual yang dikanvaskan, menangkap lukisan Habeb tentunya bukan hanya dengan melihat atau mengamati, melainkan intens mengalami. Postulatnya pun kini berubah “untuk menangkap makna dan merasakan getar estetik lukisan kita tidak akan mengambil jarak dari bingkai. Sebaliknya justru menyatu: melarutkan diri”.

Referensi

Siregar, Annisa Fitriani (2019), Konsep Wahdatul Wujud Menurut Syamsuddin Assumatrani. Mukarromah, Oom (2017), Ittihad, Hulul, dan Wahdat Al-Wujud.

NB:

Tulisan untuk Pameran Tunggal Lukisan “Sufi Merah”, Kaji Habeb, Mei 2021.

Judul asli “Sufi Merah”, diubah sesuai dengan kepentingan website ini.

Senin, 17 Februari 2014 Guru kami Prof. Dr. Damarjati Supajar dipanggil Allah SWT. Setelah upacara penghormatan terakhir di Balairung UGM jenazah almarhum diberangkatkan ke Magelang untuk dimakamkan di Losari, Grabag, kampung halamannya. Seluruh civitas akademika UGM berkabung, juga warga Yogyakarta salah satu aset bangsa, guru, bapak, sahabat, dan inspirator telah pergi.

Pertama kali bertemu Pak Damar (Prof.Dr. Damardjati Supadjar) di penataran P4 Mahasiswa Baru September 1986, saya mengira – terutama karena penampilannya yang tegap dan rapi— beliau seorang Indo. ’Mirip James Bond’, bisik saya. Teman sebelah mengiyakan. Sebelahnya lagi menggambar agen rahasia Inggris bertuliskan Damarjati 007.

Bertahun kemudian keseluruhan diri Pak Damar ternyata lebih mendekati sosok guru bahkan Kyai, yang karenanya saya cium tangan beliau setiap bersalaman. Selain sikap dan karakternya, nama Damardjati Supadjar (suluh hakiki yang terang benderang) juga jauh dari kesan Barat.

September 1987. Usai acara Maulid Nabi di Masjid Syuhada, tempat saya tinggal selama kuliah, di aula bawah yang pintunya menghadap ke Lembah Code, beliau mendekati saya.

“Dik, bisa mengajari anak-anak main gitar?“

Langsung saya iyakan. Beberapa hari kemudian saya sudah di rumah Jalan Kaliurang, dan siap privat musik setiap Rabu sore. Sungguh saya gembira karena terbuka kesempatan menimba ilmu langsung dari beliau. Ketika beliau bertanya biaya, saya jawab ’bertemu Bapak dari Magrib hingga Isya’.

Begitulah mula saya mengenalnya. Bukan dari seminar tetapi dari gitar.

***

Tidak banyak yang tahu kalau Pak Damar seorang ningrat. Keputusan ayahnya menepi ke pedalaman Magelang, jauh dari sentrum kekuasaan Keraton, menghilangkan jejak darah birunya. Satu yang tidak bisa dipungkiri adalah laku dan cara hidup prihatin yang menjadi tradisi kesepuhan Jawa dan para ningrat, kentara pada pribadi dan menyebar di keluarganya. Begitu sederhana, santun, dan rendah hati.

“Keningratan tidak berkait dengan sikap feodal“, kata beliau suatu senja di beranda rumah.

“Ningrat bukan merujuk kebangsawanan. Tetapi ning, kasunyatan, hakiki, realitas. Dan rat, jagad, semesta“.

Saya mengangguk seperti paham, tapi baru dong setelah di atas motor menuju pulang. O, ningrat itu kesejatian, dan mengasumsikan semacam laku untuk meraihnya. Maknanya lebih merujuk kualitas ketimbang sejenis strata sosial.

Saya mengangguk seperti paham, tapi baru dong setelah di atas motor menuju pulang. O, ningrat itu kesejatian, dan mengasumsikan semacam laku untuk meraihnya. Maknanya lebih merujuk kualitas ketimbang sejenis strata sosial.

Salah satu ningrat yang sering disebut adalah RM. Panji Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini. “Lulusan Leiden, menguasai 17 bahasa asing, wartawan perang pertama untuk The New York Herald”.  Entah karena Sosrokartono atau sebab lain, Pak Damar pun melanjutkan studi ke Leiden, Belanda.

“Bolehkah saya bersurat, Pak?” tanya saya berharap.

“Tentu saja. Surat dari tanah air buluh perindu yang ditunggu”.

Dua puluh lima tahun lalu facebook, email dan segala kemudahan komunikasi seperti sekarang belum ada. Bisa dibayangkan betapa berartinya surat. Namun hingga beliau kembali ke tanah air, tidak juga satu pun surat saya tulis. Saya menyesal dan malu. Keajekan saya mengupdate kabar dari Bu Damar mungkin menjadi sebab merasa tidak perlu menulis surat. Tapi bagaimanapun saya salah.

(Bu Damar kepundhut minggu lalu, 17 November 2021. Innalillahi wa inna ilaihi roojiun.  Alluhummagfirlaha warhamha wa’fuanha.)

Sepulang dari Belanda Pak Damar mulai sibuk. Saya masih bisa menemui tapi tidak seleluasa dulu. Cerita beliau tentang Belanda —ditambah para guru, seperti Prof. Koentowibisono, Prof. Soejadi, Prof. Djuretno, dan Rama Anton Baker yang akrab dengan negeri kincir ini—membuat saya terkesan. Belum lagi kematangan dan kemenepan ilmu yang saya selalu berusaha meneladaninya.

***

Pak Damar dikenal sebagai pembicara dengan cara penyampaian khas, mendalam, dan kaya humor. Dengan rentang tema agama, filsafat, kebatinan, budaya, hankamnas, perkawinan, hingga problem ABG; Diundang di kampus, kantor, masjid, warga, mahasiswa KKN di desa bahkan di gunung-gunung; Tampil di televisi, koran, dan radio, Pak Damar dikenal luas lintas kalangan. Posternya merajalela dimana-mana.

Suatu ketika saya melihat salah satunya di warung makan BonBin Fakultas Sastra. Ada tambahan kata-kata, dengan warna merah besar-besar: ’di-tang-gung SE-RUU!’, dengan huruf E dicoret ganti A, menjadi SARU.

Perempuan menjadi per-empuk-an, metengi (Jawa) yang artinya meyebabkan gelap menjadi menghamili, trilogikata nginthili, tangan sungkeman ditarik setengah lingkaran ke selangkangan berubah bentuk jadi saru, dan sebagainya, menjadi ikon Pak Damar. Tak heran bila sebagian orang menyebut ceramah Pak Damar saru. Uniknya, mereka yang tidak biasa, tidak setuju dan protes gaya dan isi ceramah, akan menderita sendiri.

“Bapak melecehkan perempuan“, seru seorang pembicara wanita, penggembira gender pada seminar ’Kuliah Menjelang Perkawinan’ Jamaah Salahudin UGM Mei 1997 di gedung UC UGM. Mbak yang baru pertama mendengar Pak Damar ini meletup-letup menegaskan protesnya. Suasana jadi tegang, terlebih bagi saya moderator. Tetapi bukan Pak Damar kalau tidak menjawab begini:

“Wanita itu telapak kakinya saja surga. Apalagi tumitnya. Apalagi betisnya. Apalagi…” , tidak dilanjutkan, hanya tangannya diangkat tinggi sambil melirik ke atas. Tawa pun pecah. Mbak aktivis terkulai.

“Wanita itu telapak kakinya saja surga. Apalagi tumitnya. Apalagi betisnya. Apalagi…” , tidak dilanjutkan, hanya tangannya diangkat tinggi sambil melirik ke atas. Tawa pun pecah. Mbak aktivis terkulai.

Sebenarnya Pak Damar hanya saru di mimbar, tetapi tidak ketika berbincang, apalagi berdua. Kebanyakan orang di depan umum bicara bersih dan elegan tetapi ketika di lingkungan kecil –terlebih berdua– berbalik jadi aslinya.

Maka kurang tepat mengatakan ceramah Pak Damar hanya saru dan seru. Mestinya ditambahkan satu lagi: siri. Jadi — meminjam trilogikata beliau– Seru-Saru-Siri. Siri maksudnya ada makna tersembunyi yang harus dicari dan ditemukan. Caranya dengan mengikuti keliaran pikirannya. Jangan terlena di kelucuan dan sarunya, karena itu hanya busur yang direntangkan yang anak panahnya harus kita lesatkan sendiri.

Ambil contoh pernyataan beliau.

“Lenturnya tulang punggung ahli tahajud memompa sperma dan memuncratkannya, dst…”, terus diikuti ilustrasi erotis tangan beliau yang mengundang tawa.

Kita boleh berhenti di situ atau melanjutkan keliaran sampai, misalnya, bertemu teori Kundalini Yoga dan Asanas yang terkait dengan performa sujud. Sujud yang betul menjadikan lima titik tubuh membagi beban secara merata, mempengaruhi vitalitas dan ketahanan. Inilah rahasia meditasi berjam-jam. Itu artinya juga sex tahan-lama, semprotan dan kualitas sperma. Bisa juga keliaran kita bawa ke arah bukan sex, ke kualitas sujud misalnya, atau belantara spiritual lain. Apa pun itu melatih kita melepas anak panah pikiran, intuisi, dan imajinasi.

Tidak perlu mematok dengan logika atau aturan ilmiah yang lumrah, karena pikiran Pak Damar melampauinya. Lompatan metalogis. Rasional-logis-positivistik tidak lagi relevan. Akal sekedar pengantar selebihnya intuisi. Seperti kata Einstein hanya derivasi teorilah yang rasional (karena sifatnya aplikatif-operasional), sedangkan grand-theory menyeruak secara intuitif.

Simpul pencerahan berupa teori atau apa pun sering kali tampak lucu dan sedikit ganjil. Archimedes loncat dari bak mandi berteriak eureka! adalah contoh. Begitu pun Pak Damar. Penjelasannya sering tidak terduga, melompat dari simpul ke simpul, dan akhirnya menyisakan pendengarnya dua pilihan: tertawa girang atau kelelahan karena ‘tertib ilmiah’ yang dipaksakan.

Begitu pun Pak Damar. Penjelasannya sering tidak terduga, melompat dari simpul ke simpul, dan akhirnya menyisakan pendengarnya dua pilihan: tertawa girang atau kelelahan karena ‘tertib ilmiah’ yang dipaksakan.

Simaklah temuannya tentang udheng dan blangkon.

Udheng dikenakan orang yang sudah mudheng. Mengerti ukuran kepala, paham kapasitas dirinya, tahu diri, ilmu hidup”.

Beliau lalu mendemonstrasikan cara memakai udheng. Selembar kain dijepit jari kaki, ujungnya dibentang ke pucuk telinga, ujung satunya dilebarkan ke kiri dan seterusnya sampai membungkus kepala dengan pas. Sangat metaforis.

“Sedangkan blangkon, dipakai mereka yang belum paham hidupnya, dirinya, ukuran kepalanya. Asal pakai saja, kadang kebesaran kadang kekecilan”.

Runtut. Tapi kemudian,

“Maka Udheng dari kata mudheng, dan blangkon dari blank-on“.

Belum reda riuh tawa, Pak Damar sudah menimpali “Kok jadi Inggris !“

Sekali lagi, kita bebas memilih berhenti pada guyonannya atau melanjutkan pengembaraan.

Pikiran pak damar adalah unity. Semacam paket sinopsis yang bukan mengandalkan urutan logis tapi lebih pada tebaran simpul-simpul. Urutan tidak penting, karena kebenarannya tidak tersusun dari itu. Bebas meloncat ke sana kemari, dari temuan satu ke temuan lain, bahkan ke renungan setengah jadi yang beliau sendiri sedang berproses. Saya menganalogkan dengan Nüße verschiedene Arten, sebungkus snack Jerman yang isinya beragam kacang-kacangan, yang kekhasan cita rasanya diperolah tidak dengan cara ambil urut dari almond, kapri, mete, selingan kismis, baru kacang tanah. Tetapi ambil acak, kunyah, biarkan lidah mengirim rasa, nikmati kejutannya, baru menyimpulkan.

“Melihat capung, berhenti pada capung”, katanya dalam sebuah ceramah. “Itulah cara kita melihat. Beda dengan orang Barat. Melihat capung jadilah pesawat capung. Melihat katak tercipta tank amphibi.”

“Kalau kita beda. Melihat bebek jadi Honda bebek. Kijang, jadi Toyota Kijang. Kodok, jadi VW Kodok.“ Tawa berderai lagi.

Jika Pak Damar tidak menyebut teori atau pikiran filsuf Barat, Timur, atau Jawa dengan detail dan panjang lebar, sebenarnya bukan karena tidak menguasai. Kesan saya beliau hanya tidak ingin terjebak menghafal pikiran tokoh, mengait-rumitkan, memakai untuk analisis, atau sekedar mendeskripsikan, yang belum tentu berguna untuk kondisi kita. Pak Damar lebih memilih menjumput sedikit untuk bekal, selanjutnya mengembara, mencari dan menemukan sendiri.

Ambillah contoh Serat Wirid Hidayatjati, salah satu masterpeace Ronggiwarsito yang dikenal cukup pelik ajaran mistiknya. Bukan hanya mengerti isinya, Pak Damar menyebut secara akurat tahap emanasi yang menjadi keseluruhan isi serat mulai “wisikan ananing Dat, Wedharan wahananing Dat, hingga Sasahidan.” Bukan itu saja, bahkan per redaksi “sejatinya ora ana apa-apa, awit duk maksih awung-uwung durung ana sawiji-wiji”, dan seterusnya. Namun hampir tidak pernah Pak Damar mendemonstrasikan penguasaan serat itu. Beliau memilih membuat simpul, menjalinnya dengan simpul lain, misal dari fanafillah Al Halaj, ma’rifat Imam Ghazali, dan memadukan dengan puisi Rumi dalam Masnawi, melahirkan orkestra pikiran yang unik dan kaya warna.

Tidak jarang kemudian gaya pikir Pak Damar dikesankan sebagai othak athik gathuk, berpikir coba-coba, santai, asal-asalan, dan bejan-bejan. Tidak serius apalagi ilmiah. Orang jarang menyadari bahwa setiap spekulasi filsofis, dinamika ilmu, inovasi teknologi, spiritnya adalah othak athik gathuk itu. Evolusi tabung elektron menjadi transistor, lalu IC, chip, microchip, menyebabkan radio sebesar baskom mengecil sebiji kuaci, bermula dari othak athik gathuk. Munculnya mainstream pemikiran dan ideologi adalah juga buah karya othak athik gathuk. Dalam konteks inilah saya menyebut gaya pikir Pak Damar orisinal dan khas.

Cara pembawaan beliau yang sederhana dan karismatik, ditambah gaya tuturnya yang memukau, menjadi magnet bagi banyak orang, utamanya kaum muda. Sebagian bahkan memohon dibaiat jadi murid. Beliau menolak halus dengan mengatakan:

“seorang murid menjadi murid bukanlah karena diangkat guru. Tapi lebih pada kesanggupan menempa diri untuk belajar pada siapa pun bahkan apa pun. Murid demikian bukan saja akan menjadi pembelajar abadi yang tak kenal lelah, tapi juga terjaga dari mengkultus, karena guru semesta terlalu beragam untuk dikultus”.

Alhamdulillahirobil alamin

SELAMAT HARI GURU