Realitas Budaya dan Sastra Kita / Bagian I

Pada tahun 1996, dalam sebuah diskusi bulanan Komunitas Studi Sastra Yogyakarta (KSSY) yang dihadiri para calon sastrawan, termasuk penulis, muncul pertanyaan mendasar, mengapa pembaca sastra selalu sedikit, dan bagaimana masa depan sastra kita jika demikian? Sedangkan fiksi lain, berupa novel/roman picisan yang dinilai sebagai karya dangkal begitu disukai. Apalagi cerita stensilan ala Eni Errow. 

Beberapa jawaban secara spekulatif disuarakan, bahwa semua itu terjadi karena telah wafatnya HB Jassin sebagai “Paus Sastra” Indonesia atau sebagai kritikus. Dengan wafatnya Jassin, tak ada lagi orang yang mengawal perjalanan sastra Indonesia. Jawaban itu tentu saja, meskipun ada benarnya, namun tidak terlalu dianggap serius oleh sebagian besar  yang hadir. Mereka bahkan menganggap Jassin lebih sebagai pengarsip karya sastra, bukan sebagai kritikus. 

Meskipun Jassin juga pernah menjadi seorang redaktur, tapi toh tetap saja peran itu berbeda dengan seorang kritikus sesungguhnya.  Beberapa yang lain menganggap itu serius, sebab dari Jassinlah bentuk dan arah estetika sastra kita dianggap terjaga. Melalui wacana yang dibangun H.B Jassin, bentuk artisitik dan estetika sastra menjadi terarah, dan sedikitnya memengaruhi minat membaca sastra.

Asumsi terakhir ini juga kesulitan mendapatkan ruang pembenaran dari yang hadir waktu itu. Akibatnya, pertanyaan naif itu terus saja hanya berputar-putar tanpa menemukan jawaban yang tuntas. Pada akhirnya, semua pertanyaan itu ditutup dengan rasa pasrah dan sedikit mengumpati keadaan. Di masa kini pun, ketika generasi Phi atau milenial yang disebut sebagai generasi pengubah Indonesia oleh Dr. Muhammad Faizal dalam bukunya Generasi Phi, perrtanyaan yang sama juga masih terus berkumandang. Bahkan dianggap lebih buruk keadaannya.

Tahun 90-an, di masa itu, sesungguhnya jauh lebih baik keadaannya dari masa-masa sebelumnya. Mengingat tingkat buta huruf tahun 1970-1980-an masih lumayan tinggi, di mana masalah mendasar dari harapan  literasi, di antaranya adalah asumsi bahwa kurangnya kemampuan membaca akibat buta huruf. Tetapi, bila melihat data, pada tahun-tahun itu, secara statistik angka buta huruf sendiri sudah jauh menurun. Setidaknya data tahun 1995 tertulis 13%, dan menjadi 4% di tahun 2014. 

Melihat angka tersebut artinya sesungguhnya tidak ada masalah pada persoalan teknis kemampuan membaca. Terutama pada generasi Phi. Akan tetapi memang, secara teknis kemampuan membaca pada dasarnya sudah tak ada masalah, tetapi ternyata kita masih bermasalah dengan minat baca. Sebuah studi yang dilakukan oleh  Central Connecticut State University , misalnya, tentang Most Littered Nation In the World tahun Maret 2016 atau tentang minat baca, Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara. Posisi Indonesia ini hanya setingkat lebih baik dari Republik Botswana di Afrika. Sementara Thailand berada pada posisi ke-59, atau setingkat di atas Indonesia. 

Pada tahun 2018,  kabar baiknya, menurut  survei World Culture Index Score 2018, minat membaca masyarakat Indonesia meningkat signifikan. Indonesia menempati urutan ke-17 dari 30 negara. Namun, laporan terakhir ini hanya melibatkan 30 negara. Artinya masih kurang representatif dibanding laporan pertama. Sedangkan pada tahun yang sama, PISA (Programme for International Student Assessment) dari negara-negara OECD melaporkan minat baca literasi anak muda Indonesia mendapatkan nilai 371 dari standar yang ditetapkan, yaitu 500. Bahkan, menurut PISA, kualitas anak awal semester di perguruan tinggi Indonesia, disebut hanya sebanding dengan kualitas anak SMP di negara-negara maju. Artinya Indonesia masih jauh dibanding negara-negara maju lainnya, bahkan termasuk buruk di ASEAN. 

Bahkan, menurut PISA, kualitas anak awal semester di perguruan tinggi Indonesia, disebut hanya sebanding dengan kualitas anak SMP di negara-negara maju. Artinya Indonesia masih jauh dibanding negara-negara maju lainnya, bahkan termasuk buruk di ASEAN. 

Masyarakat muda Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai functionaly Illiterate atau ketakmampuan memahami isi bacaan, walaupun mampu membaca. Akibatnya banyak anak muda tak mampu menjadi diri sendiri, bersikap dogmatis dan klise, tak memiliki kemampuan anlisis dan sintesis. UNESCO, misalnya mendifinisikan melek aksara sebagai  “kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan pelbagai situasi.” 

Lanskap Historis Sastra Kita

Fakta-fakta di atas tampaknya menjadi masalah mendasar  dari idea  (bentuk) secara metafisik persoalan budaya kita, termasuk eksitensi sastra Indonesia. Sastra yang secara filosofis menawarkan hiburan dan pelbagai informasi yang mampu membentuk formasi makna  dan pola pikir pembacanya hingga membentuk peradaban; menjadi tak berfungsi ketika sastra tak dibaca. Persoalan mendasar itu terus mengganggu sejak negara Indonesia ada dalam peta negara-negara di dunia hingga masa depannya. Membaca pada dasarnya adalah bagian mendasar dari tradisi membaca dan menulis sastra, meskipun juga ditopang oleh tradisi lisan sebagai stimulus. 

Secara historis-sosiologis tradisi membaca masyarakat Indonesia hanya ada pada tingkat elit karena pelbagai faktor situasi serta akses/kesempatan. Seperti akses pendidikan yang kurang pada masa pra-Indonesia dan awal-awal kemerdekaan, akses perpustakaan yang kurang mencukupi, serta akses lainnya. Kehampaan pada tradisi membaca jelas mempengaruhi bagaimana sastra tumbuh dan berkembang serta polanya. Menariknya, bahwa sebagian tokoh sastra di waktu itu tak memiliki pendidikan tinggi seperti Hamka, Chairil Anwar, dan Ajip Rosidi. Para tokoh itu diketahui rata-rata hanya mendapatkan sekolah tingkat pertama. 

Namun, mereka berlimpah akses membaca buku yang membuat mereka melihat pengetahuan dunia, terutama perkembangan sastra dunia. Hasilnya, mereka mampu melahirkan karya-karya tulis yang sebagian menjadi inspirasi bagi banyak orang. Melalui tradisi membaca, Chairil Anwar, misalnya, mampu menjadi pionir bagi bentuk estetika puisi modern Indonesia. Chairil adalah penyair yang pada masanya mencoba terus mengoreksi bentuk puisi lama seperti karya angkatan Pujangga Baru. Puisi-puisi liris Chairil tidak saja mencerminkan estetika baru, semangat muda, eksitensialis, memiliki validitas intelektualitas modern, retorika, tetapi juga romantis-religius, seperti halnya beberapa puisi menjelang kematiannya di usia 26 tahun. Satu di antaranya adalah puisi berikut:

Yang Terampas dan Yang Putus

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.

1949

Pada masanya, Chairil Anwar adalah seorang sastrawan yang dikenal total dalam kehidupannya sebagai penyair. Totalitasnya diimbangi dengan kerja kerasnya dalam mengakses bacaan dunia yang membentuk dirinya. Demikian pula ketika kita menyebut Hamka dan Ajip Rosidi. Mereka memiliki totalitas terhadap sastra Indonesia. Hal ini persis seperti disampaikan penyair T.S  Eliot  ketika berbicara tentang eksistensi seorang sastrawan. “Apa yang terjadi adalah penyerahan diri terus-menerus. Karena pada dasarnya, apa yang lebih berharga dari kemajuan seorang seniman adalah pengorbanan diri yang berkelanjutan, kepunahan kepribadian yang berkelanjutan.”

Hal ini persis seperti disampaikan penyair T.S  Eliot  ketika berbicara tentang eksistensi seorang sastrawan. “Apa yang terjadi adalah penyerahan diri terus-menerus. Karena pada dasarnya, apa yang lebih berharga dari kemajuan seorang seniman adalah pengorbanan diri yang berkelanjutan, kepunahan kepribadian yang berkelanjutan.”

Chairil Anwar atau sebagaian sastrawan di masa itu mencerminkan sikap totalitas itu, membaca buku, dan membaca lingkungannya melalui pergaulan yang intens. Ia menghasilkan karya-karya yang mewarnai perjalanan peradaban bangsa Indonesia. Hanya saja, dalam konteks eksistensi sastra Indonesia dalam peta sastra dunia masih tertinggal satu setengah abad. Sastra Indonesia berdiri di tengah suasana evolusi sastra dunia. Ketika sastra Indonesia tengah mengenal bentuk artistik dan estetika baru (setelah era Pujangga Baru)—pada saat yang sama, keadaan sastra dunia, terutama di Eropa dan Amerika—tengah masuk dalam peralihan antara seni dan sastra yang sebelumnya berbasis pada realisme dan romantisisme abad ke-18 dan 19, menuju perlawanan estetika sastra modern yang dimulai dari awal abad 20. 

Para seniman dan sastrawan dunia tengah mengalami semacam keresahan akan bentuk estetika baru dan cara berekspresi, terutama disebabkan oleh motif-motif kritik sastra modern terhadap nilai-nilai masyarakat borjuis  abad 19, serta gelapnya rasa trauma akibat Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Franz Kafka, misalnya, menulis cerpen dan novel berdasarkan refleksi atau kecemasannya terhadap eksistensi kemanusiaan yang dihadapinya sebagai seorang Yahudi di Praha. Karya-karyanya seperti novela Metamorfosis (1915) dan The Trial (1925) yang terbit secara anumerta, melahirkan apa yang disebut orang sebagai Kafkaesque dan kemudian dirujuk oleh banyak sastrawan dunia. Istilah Kafkaesque sendiri diartikan untuk menandakan kebuntuan yang dihadapi manusia. 

Kafkesque secara utuh bermakna situasi kompleks yang tidak masuk akal (absurd) dan menyeramkan menyergap seseorang. Namun, makna Kafkaesque tidak sekadar berhenti di sana. Frederick Karl, penulis biografi Franz Kafka, dalam wawancarnya di The New York Times (1991) menjelaskan bahwa Kafkaesque, ringkasnya setelah pengertian di atas adalah menyertakan semacam perjuangan melawan pola kontrol yang menelikung kemanusiaan. Karya-karya Kafka ini bahkan kemudian banyak digandrungi oleh masyarakat sastra Indonesia akhir-akhir ini, dengan pemahamanan atau nir pemahaman konteksnya. 

Selain Kafka, novelis James Joyce asal Irlandia menulis novel ekspreimental yang dianggap menandai puncak novel modern berjudul Ullyses (1922) dan Finnegans Wake  (1939). Judul terakhir ini sering disebut-sebut sebagai salah satu karya yang menginspirasi bentuk-bentuk sastra posmodernisme di masa depan. Sedangkan di Amerika Utara, lahir karya-karya baru yang mendobrak novel konvesional seperti The Sound of Fury (1936) karya William Faulkener yang disebut bagian dari aliran narasi kesadaran (stream of conciounss). Faulkner membangun novelnya melalui narasi panjang dan antilinear seolah waktu yang mendebarkan seperti angin yang berputar-putar dalam pengertian Henri Borgson dalam bukunya Time and Freewill, demikian pula halnya Ullyses. Kedua karya tersebut lepas sepenuhnya dari bentuk narasi yang linier seperti novel-novel tradisional. Narasinya tak memiliki urutan waktu dan tak memiliki narator tunggal. Demikian pula dengan karya-karya eksprimental milik Jorge Luis Borges (Argentina) dan Virginia Woolf  (Inggris) menjadi perhatian publik sastra dunia karena dinilai sebagai bentuk avant garde yang dianggap meruntuhkan estetika realisme abad 19

Semua itu tengah berlangsung ketika Republik Indonesia belum berdiri. Bahkan setelah republik ada, sastra dan seni rupa Indonesia masih berjalan limbung menuju bentuk artistik dan estetikanya. Kita sedang menggumuli roman zaman Victoria, sastra romantisisme dan realisme abad 19 melalui penerbitan roman-roman Balai Pustaka. Bahkan sastra modern Indonesia tengah merangkak ketika justru wacana keletihan sastra menjadi keriuhan di tahun 1950-an hingga 1960-an, di mana wacana sastra posmodern menjadi pilihan jalan dan bentuk estetika. 

Di Amerika, John Barth misalnya, menulis esai berjudul “The Literature of Exhaustion” (1967) tentang keletihan sastra mencari bentuk estetika dan kemungkinan baru. Sebuah keluhan yang persis sama yang disampaikan Blaise Pascal di abad ke-15 atau lima abad sebelum John Bart menulis kelelahan itu, bahwa semuanya yang ada di dunia ini telah ditulis, bahwa semuanya telah dikatakan, semuanya telah dilakukan. Tak ada lagi yang bisa ditemukan. Meskipun, Barth mengoreksi esainya dengan menulis “Literature of Raplacenisment” (1984). Barth merasa bahwa esainya disalahpahami banyak orang, karena yang dia maksud sesungguhnya adalah kekagumannya dengan bentuk estetika penulis Jorge Luis Borges. Skeptisme itu kemudian dilanjutkan oleh beberapa sarjana yang melihat ada semacam kematian dari sastra, seperti Alvin Karner yang menulis “The Death of Literature”. 

Pada masa-masa itu (1960-an), sastra Indonesia tengah bergelut, Tarik-menarik wacana antara fungsi sastra sebagai seni untuk rakyat atau seni untuk seni. Seni dan sastra menjadi perdebatan ideologis-politis antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) di tahun awal 1960-an. Seni untuk Rakyat mengacu pada gagasan Maxim Gorky (tepatnya pada modifikasi ala Lenin) yang disebut realisme-sosialis dan diadaptasi oleh sastrawan LEKRA sebagai alat perjuangan politik. Sementara Manikebu lebih merujuk pada konsep Humanisme Universal yang lebih bersifat ‘Seni untuk Seni’ dengan semangat individualnya seperti masa Bynzantium. Persis semangat dari keberadaan modernisme. Pemenangnya menjadi bentuk dominan atau kanon yang kemudian diikuti oleh banyak penulis.

Saat pertarungan dua kubu itu berlangsung, dunia seni rupa Indonesia juga tengah mengalami perjalanan efourianya, yaitu; pencarian jati diri yang sudah berlangsung sejak tahun 1939. Sejumlah seniman yang diinisiasi S. Soedjojono membuat perkumpulan bernama PERSAGI  (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Soedjojono pada waktu itu merasa bahwa para seniman Indonesia belum mampu menunjukan diri mereka sebagai seniman yang memiliki visi, identitas atau kepribadian Indonesia. Lukisan mooi indie yang marak pada waktu itu dianggap hanya kerajinan yang bernilai pasaran. Mooi indie tentu saja berakar pada bentuk romantisisme abad ke-18-19 di Eropa.  S. Soedjojono kemudian menyebut kredonya sebagai “jiwa ketok”. Bahwa seni seharusnya mampu menunjukkan esensi dari kedalaman makna yang hadir dari jiwa. Dus, seniman harus memiliki kepekaan sosial dan kepekaan transendental. Soedjojono membawa semangat modernisme setelah menyaksikan pameran lukisan modern Eropa di masa itu. 

S. Soedjojono kemudian menyebut kredonya sebagai “jiwa ketok”. Bahwa seni seharusnya mampu menunjukkan esensi dari kedalaman makna yang hadir dari jiwa. Dus, seniman harus memiliki kepekaan sosial dan kepekaan transendental. Soedjojono membawa semangat modernisme setelah menyaksikan pameran lukisan modern Eropa di masa itu.

Dalam dunia teater, W.S. Rendra, sepulang dari Amerika Serikat memproduksi teater yang berbeda sama sekali dari format tradisional atau realisme, berjudul “Bib Bob”—yang kemudian dikenal sebagai ‘mini kata’. Namun, sebagai penyair Rendra berusaha menemukan mode puisi yang mengambil model ‘dolanan bocah’ Jawa, meskipun Subagio Sastrowardoyo menyebut puisi-puisi Rendra tersebut terpengaruh Lorca dan di sisi lain, menganggapnya sebagai puisi pamflet. Menjawab kritik itu, Rendra menjawab melalui puisi “Sajak Sebatang Lisong”. Dua bait di bawah ini adalah jawaban Rendra:

“..Aku bertanya//tetapi pertanyaanku//membentur jidat penyair-penyair salon//yang bersajak tentang anggur dan rembulan// sementara ketidakadilan berada di sampingnya//dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan//termangu-mangu di kaki dewi kesenian…”

Bait di atas secara terang mengritik para sastrawan dan seniman yang pada masa itu lebih terbuai dengan cakupan seni liris romantis. Bait terakhir menjawab langsung dengan mengafirmasi dan bertanya secara retoris:

“…inilah sajakku//pamplet masa darurat// Apakah artinya kesenian//bila terpisah dari derita lingkungan//Apakah artinya berpikir//bila terpisah dari masalah kehidupan// Kepadamu, aku bertanya…”

“…inilah sajakku//pamplet masa darurat// Apakah artinya kesenian//bila terpisah dari derita lingkungan//Apakah artinya berpikir//bila terpisah dari masalah kehidupan// Kepadamu, aku bertanya…”

Modernisme, seperti kita pahami adalah pendekatan radikal yang ingin merevitalisasi cara peradaban modern memandang kehidupan, seni, politik, dan sains. Secara umum adalah bentuk perlawanan terhadap kejumudan Eropa pada nilai-nilai yang dianggap artifisial, penuh citra-citra yang artifisial di abad 19. Profesor Gerald Graft dari Universitas Northwestern (1975), misalnya, mengatakan bahwa dasar motif utama dari seni-sastra modernisme adalah kritik terhadap tatanan sosial borjuis abad 19 dan pandangan dunianya. Dasar utama dari modernisme adalah nihilisme, penolakan terhadap peran agama atau kode-kode moral tertentu yang dianggap satu-satunya cara untuk membangun peradaban manusia. Kejumudan atau dormansi masyarakat Eropa abad 19 dalam pandangan modernisme ini menghasilkan perubahan radikal dalam segala bidang, termasuk estetika seni dan sastra. 

Jean Paul Sartre pun ketika mendapat serangan terhadap  sastranya, menulis buku kecil berjudul What’s Literature? Ia menegaskan bahwa tujuan atau sifat sastra adalah menjadi saksi bagi tragedi kemanusiaan, atau menjadi saksi atas proses dehumanisasi. Dan semua itu ditujukaan bagi kaum sastra borjuis lama. Dalam pengantarnya untuk buku Writing Degree Zero karya Roland Barhes, Susan Sontag mengatakan bahwa Sartre berbeda dengan penyair Valery, misalnya dalam menetapkan sifat sastra prosa dengan puisi, bahwa sastra prosa berbeda dari semua seni lain, berdasarkan sarana bahasa. Kata-kata, tidak seperti gambar, menandakan; mereka menyampaikan makna. Oleh karena itu, sastra prosa pada dasarnya terikat, seperti halnya seni lain, termasuk puisi, dalam soal fungsi komunikasi. Penulis (berpotensi) pemberi kesadaran, pembebas. Media, bahasa, memberi kewajiban etis: untuk membantu proyek kemanusiaan, yaitu membawa kebebasan bagi semua orang—dan kriteria etis ini harus menjadi dasar dari penilaian sastra yang sehat.

Pada titik itu, tentu saja kita belum bisa merumuskan seperti apa sesusungguhnya mode atau bentuk sastra kita. Karena sesungguhnya setiap gerakan memiliki dasar pijakannya. Apakah keresahan S. Soedjojono , WS. Rendra juga menjadi bagian kegelisahan sastrawan kita? Sebagai negara baru, dengan tradisi baru setelah pergolakan politik dan budaya 1965 yang dimenangkan oleh kaum Manikebu atau kelompok humanisme universal—sastra kita terutama masuk pada karya-karya modernisme. Pada era itu lahir karya-karya fiksi sastra modern dengan gagasan-gagasan filsafat yang banyak disebut orang sebagai sastra gelap seperti novel karya Iwan Simatupang yang bergaris pada karya-karya Franz Kafka, Albert Camus dan Jean-Paul Sartre. Tetapi juga lahir karya-karya realisme konvensional seperti novel-novel Umar Kayam dan Kuntowijoyo. Meskipun demikian, arus utama sastra Indonesia masih bisa disebut gaya realisme abad ke-19 karena lebih mudah dicerna masyarakat umum.

Sutardji Calzoum Bachri pada tahun 1970-an, misalnya, kemudian membangun kredo berpuisinya yang ia sebut “membebaskan kata dari makna”. Puisi Sutardji mulai menyubversi fungsi bahasa yang membawa beban makna. Kematian bahasa dalam kredo Sutardji ini mengingatkan akan “Kematian Tuhan” oleh Nietzche. Kematian yang dimaksudkan sebagai simbol tak ada kebenaran yang absolut di dunia. Bahwa fungsi bahasa didekontruksi seperti pemahaman kaum pos-strukturalis yang menghilangkan semua sekat-sekat atau perbedaan. Puisi-puisi Afrizal Malna juga mendekati pemikiran demikian, seperti halnya T.S. Elliot, Charles Bukoski, Wallace Stevens di Amerika. Tetapi apakah puisi Sutardji dan Afrizal Malna bagian yang disebut sebagai sastra baru, sebagai bentuk estetika? Sepertinya tidak, bila kita membaca manifesto dadaisme di tahun 1916, saat  Hugo Ball membacakan puisinya berjudul Karawane. Mungkin baru untuk konteks Indonesia. 

Pada tahun-tahun itu, wacana posmodernisme tengah menjadi isu utama kaum ilmuwan sosial-humoniora dunia, tetapi belum populer di Indonesia. Setidaknya bila kita melihat lukisan abstrak-ekspresionisme Jackson Pollock masih disebut sebagai batas akhir karya modern. Lukisan yang tidak menampilkan figur, perspektif, dan narasi. Ketika penikmat membaca puisi Sutardji atau melihat lukisan Pollock, mereka seolah hanya mampu merumuskannya sebagai ‘sesuatu’ yang buntu dan sekadar spectacle,’ tontonan’..Dalam hal ini, Sutardji Chalzoum Bachri pada akhirnya menyatakan “pertobatannya” dan mengembalikan kata pada tempatnya, bahasa sebagai sesuatu yang membawa makna. Kemudian di tahun 1980-an Remy Sylado mencoba menawarkan apa yang ia sebut sebagai ‘puisi mbeling’. Namun puisi ini adalah bentuk yang lazim digunakan dalam sastra modern seperti dadais dan surealisme, bahkan sejak zaman Miguel Carventes melahirkan Don Quixote di abad 15. Bahkan lebih jauh di abad 14 di Perancis, Francois Rabelas yang menulis Gargantua dan Pantagruel. Dua karya itu bersifat parodi, satire, humor yang menyindir, dan picaroesque untuk Don Quixote. Upaya Remy Sylado sayangnya hanya menjadi jejak sejarah yang segera dilupakan.

Pada tahun 1984, dalam sebuah simposium budaya di Solo, Arif Budiman (Soe Hok Djien) sebagai salah satu penananda tangan Manikebu, tiba-tiba menyatakan bahwa humanisme universal pada praktisnya tidak terlalu tepat untuk kebutuhan Indonesia yang masih membutuhkan suara-suara kritis. Keadaan setiap tempat, bangsa atau negara tidak bersifat universal karena selalu memiliki persoalannya sendiri. Kesenjangan sosial masih demikian luas yang seharusnya bisa menjadi bahan bagi sastra Indonesia. Arif kemudian mencetuskan istilah ‘sastra kiri yang kere’ dalam pengertian sastra kontekstual. Semangat ini, tentu saja sebagian adalah ciri dari posmodernisme, dan sebagian membawa motif sastra modern. Meskipun gagasan itu tidak lantas diterima sebagai kanon dalam dunia sastra, tetapi setidaknya secara budaya lambat laun menjadi kesadaran, berjalan beriring bersama meluasnya gagasan posmodernisme. Meskipun di Amerika Serikat, misalnya, gagasan itu terwujud dalam aliran sastra yang disebut sebagai dirty realism dengan tokoh seperti Tobias Wolf dan Carver Raymond (1970-an-80-an).

Pada tahun 80-an hingga 1990-an, sastra dalam kehidupan masyarakat sama seperti halnya saat ini. Sebagian besar masyarakat masih tidak terlalu banyak yang membaca buku, kecuali orang-orang terpelajar, baik yang bersekolah tinggi atau tidak; semacam Cak Nun. Meskipun media cetak, seperti koran dan majalah masih banyak dan memiliki ruang sastra, baik prosa maupun puisi. Pada masa itu, komunitas-komunitas budaya dan sastra, termasuk sanggar teater di kampus masih ada, meskipun tetap menjadi bagian yang minoritas. Keberadaannya masih jauh lebih baik dibanding di masa milenial ini. Diskusi-diskusi budaya dan sastra masih menjadi tradisi. Dengan keadaan itu, setiap anggota komunitas mendapatkan banyak informasi dan menformasi jalan pikirannya menjadi lebih matang. Meskipun masih mudah tergoda untuk menjadi epigon dari kebudayaan dominan.

Pada tahun 80-an hingga 1990-an, sastra dalam kehidupan masyarakat sama seperti halnya saat ini. Sebagian besar masyarakat masih tidak terlalu banyak yang membaca buku, kecuali orang-orang terpelajar, baik yang bersekolah tinggi atau tidak; semacam Cak Nun.

Pada tahun 1980-90-an, sesungguhnya sastra Indonesia masih terus dalam proses pencariannya. Di masa itu pula kemudian ramai dengan gerakan sastra profetik atau sastra sufisme. Sastra yang berkiblat pada sastra Timur Tengah, terutama dari garis Jallaludin Rumi dan Muhamad Iqbal dari Persia dan Pakistan (1207-1273), mulai mewarnai lanskap sastra Indonesia. Kuntowijoyo adalah salah satu penganutnya. Menurutnya sastra profetik tidak saja mampu membawa kesadaran transendental dalam makna dogma agama, tetapi juga mampu menjadi kritik sosial. Sastra profetik dinilai memiliki akar yang lebih kontekstual, di mana sebagian besar masyarakat Indonesia adalah kaum beragama, terutama Islam. Tetapi sastra profetik tidak begitu menjadi perhatian utama publik pembaca. Meskipun pada medio 2000-an fiksi yang berbasis pada sentimen agama seperti Ayat-Ayat Cinta dan semacamnya menjadi begitu ramai di pasaran. Tetapi apakah fiksi jenis ini merupakan bagian dari sastra profetik, tentu saja masih butuh pengkajian.


Esai berjudul “Realitas Budaya dan Sastra Kita” ini merupakan bagian pertama dari dua edisi yang akan di terbitkan Langgar.co

Ranang Aji SP
menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris dan naskahnya berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku: Antara Sastra Modern dan Pacamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya” menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku Kumcernya Mitoni Terakhir diterbitkan penerbit Nyala (2021),