Menu

Cerita Kopi, Gemuruh Orang-orang Sepi

(Tentang Cucu dari Santri Syaikhona Muhammad Kholil al-Bankalany)

Sinopsis:

Meeting people who move at the bottom of society, as well as capturing the pulse of society. Meeting people, by chance, gaining wisdom and experience. Yusron Aminulloh, one of Emha Ainun Nadjib’s younger brothers, embarks on a journey amidst the current of change in society. “When you are in trouble, go to someone who is in more trouble. If you are having financial difficulties, give the rest of your money to people who need it. “If you want to be calm, accompany the little ones, visit the sick, attend funerals,” were among the testaments of Muhammad, his late father. It turns out that the emotional relationship between Yusron and Gus Dur is tied to one scientific link: both of his grandfathers were students of Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkaly.

(Menjumpai orang-orang yang bergerak di masyarakat bawah, sekaligus menangkap denyut nadi keumatan. Bertemu orang-orang, secara kebetulan, menangkap hikmah-hikmah dan pengalaman. Yusron Aminulloh, salah seorang di antara adik dari Emha Ainun Nadjib, menapaki perjalanan di tengah arus perubahan di masyarakat. “Bila kau susah, datangi orang yang lebih susah. Bila kau sedang sulit ekonomi, kasih sisa uangmu pada orang yang membutuhkan. Bila bantinmu ingin tenang, temani orang kecil, jenguk orang sakit, ikuti pemakaman”, di antara wasiat Muhammad, almarhum ayahandanya. Relasi emosional Yusron dan Gus Dur, ternyata terikat dalam satu sanad keilmuan: kedua kakeknya adalah santri dari Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkaly.)

BISAKAH kita bayangkan bila tidak ada kopi? Tentu hidup tetap berjalan normal, tapi kurang asyik. Kurang membahagiakan. Kurang mengakrabkan pergaulan.

Kopi,  betapa pun, adalah satu di antara minuman yang menjadi bagian penting dalam keluarga kami. Ibu saya, misalnya, dalam sehari mesti menghabiskan secangkir kopi. Belum lagi ayah saya yang petani penggarap, sebelum berangkat ke sawah harus menyeruput kopi, meskipun secangkir tak habis dalam sekali duduk.

Begitu pentingnya kopi menjadi pengiring dalam setiap pertemuan, santai maupun pertemuan serius. Bagi orang-orang santri, kopi menjadi bagian penting membangun intimitas dalam pergaulan. Bahkan, ada anjuran saat menyeduh kopi untuk berkirim Al-Fatihah kepada ‘sahibul qahwa’, Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili, pendiri Tarekat Syadziliyah. Baru setelah itu, kopi disajikan dan siap diminum.

Dalam duduk seraya menyeruput kopi itulah, saya membayangkan kembali pertemuan awal ketika Yusron Aminulloh datang bersama Bambang Sujiyono (almarhum, pendiri Bengkel Muda Surabaya) di sanggar di kompleks Balai Pemuda.  Di kompleks gedung yang — pada zaman Hindia Belanda terpampang papan bertuliskan ‘Verboden voor honden en inlander’ (Anjing dan pribumi dilarang masuk) — menjadi tempat mangkal para seniman, aktivis dan intelektual, terdapat gedung yang bersebelahan dengan gedung utama.

Sanggar itu dinaungi seonggok pohon nangka yang cukup besar menjadikan rindang dalam suasana siang. Di samping kiri gedung menghadap ke timur itu, terdapat Masjid As-Sakinah, kantin dan gedung galeri Dewan Kesenian Surabaya, serta Lokaseni — pada akhirnya, seluruh gedung tersebut harus digusur untuk pembangunan Gedung DPRD Kota Surabaya. Saat itu, gedung utama Balai Pemuda masih menjadi aktivitas pameran barang-barang kelontong yang, karena konsep inilah kerap bersitegang dengan para seniman karena fungsi gedung bersejarah itu semata-mata untuk kepentingan bisnis dan perolehan untuk mempertebal PAD (Pendapatan Asli Daerah).

Di tengah gemuruh pameran seni dan pameran barang-barang kelontong, saya menyaksikan orang-orang sepi yang terus bekerja memeras otak dan keringatnya untuk memahami perubahan-perubahan di tengah masyarakat. Perubahan secara fisikal, kami menyaksikan bersama digusurnya gedung-gedung di kompleks Balai Pemuda, pada pertengahan 1990-an dan kemudian berdiri gedung lembaga wakil rakyat yang tak lagi ramah. Para seniman dan bersama para penjual kopi dan mie goreng di trotoar, harus hilang dari lokasi itu. Trotoar harus bebas dan menjadikan suasana kering tanpa diskusi orang-orang sepi, para seniman dan intelektual trotoar itu, yang saat itu begitu kritis terhadap suasana tirani di bawah kaki kekuasaan Soeharto. Kekrititan menggemuruh sebagai bagian dari kegelisahan intelektual orang-orang terpelajar, yang dieskpresikan lewat karya seni, baik pemanggungan sastra, teater dan musik. Juga tari, yang tumbuh subuh kreativitas di kawasan yang kini disebut alun-alun kota itu.

Pengenalan saya dengan Yusron Aminulloh, tak lepas dari isu yang berkembang saat itu soal bantuan gedung kesenian dari Ny Toety Aziz dari Surabaya Post, yang disampaikan kepada Wali Kota Surabaya, Sunarto Sumoprawiro. Dus, sebelum benar-benar berdiri gedung legislatif Surabaya, beredar informasi soal bantuan senilai Rp.1 Miliar dari tokoh pers yang juga pendiri suratkabar lengedaris itu. Sayangnya, kemudian terjadi masalah sehingga tidak bisa diwujudkan gedung kesenian yang menjadi harapan para seniman dan orang-orang sepi yang menggemuruh bersikap kritis pada masa itu.

Perubahan dari Diri Sendiri

Berkarib dengan Yusron Aminulloh saya kemudian tersadarkan akan makna perubahan dan pembaruan. Istilah terakhir ini dapat dipandang sebagai manisfestasi dari perubahan. Perubahan selalu mengalir tanpa henti. Ia memunculkan semacam adagium: “yang tetap adalah perubahan itu sediri” atau istilah Goenawan Mohamad, “perubahan adalah kekal”. Seperti waktu, perubahan selalu bergerak tanpa dapat dibendung oleh apa dan siapa pun. Begitulah, Yusron Aminulloh mencoba memaknai perubahan pada dirinya sendiri.

Intelektual Muslim, Mālik bin Nabi memberi gambaran: Waktu adalah sungai purba yang mengalir di dunia sejak azali. Ia mengalir di kota-kota dan menghidupkan aktivitasnya dengan energinya yang abadi, atau membuatnya tidur pulas dininabobokkan oleh senandung waktu yang lenyap entah kemana. Ia juga membanjiri setiap jengkal bumi semua bangsa, dan memasuki setiap bidang individu, dengan arus waktunya sehari-hari yang tak mungkin bisa dihentikan. Sekali ia melahirkan revolusi dan kali lain mengubahnya dengan ketiadaan. Waktu menyelusup di sela-sela kehidupan dan menyebarkan nilai-nilai di dalam apabila di situ muncul suatu kerja.

Keelokan konsep ini, kerja dimaknai dalam suatu masa atau membarengi waktu. Kerja adalah merupakan kata kunci dari perubahan. Dan dalam tataran lebih lanjut, perubahan (dalam arti positif atau dalam istilah Yusron Aminulloh, menyerap “energi positif”) merupakan salah satu kata kunci dari pembaruan, termasuk tentunya dalam kawasan pendidikan Islam dalam arti yang paling umum. Kesadaran semacam itu pulalah nampaknya yang lebih lanjut memberi inspirasi bagi upaya memungut kembali potensi ideologis yang terpendam dalam diri Islam yang digunakan sebagai tenaga penggerak bagi gagasan revivalisasi Islam sejak awal.

Dalam tegukan kopi pahit, saya teringat figur cerdas yang menghiasi jagat intelektual Indonesia pada tahun 1990: Marwah Daud Ibrahim. Meskipun ia termasuk bidan lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada awal Desember pada tahun itu, ia tampil sederhana dengan rambut yang terurai wajar — tanpa kerudung atau jilbab. Tapi, Yusron Aminulloh berhasil menghadirkan pandangan-pandangan yang cukup mengejutkan: Bukan emansipasi wanita yang betul emansipasi manusia. Ia berkisah soal proses sejarah, banyak peluang untuk belajar, berpendidikan baik sehingga ia yakin kondisi ideal akan hadir mengikutinya. Perempuan bisa maju tanpa harus titik balik bagi kemunduran laki-laki. Titik perimbangan yang harus dikembangkan.

Kita tersadarkan soal Revolusi Informasi yang terus berlangsung. Perempuan yang tak berkesempatan keluar rumah pun bisa mendapatkan informasi ke ruang-ruang rumah, melalui televisi maupun media cetak lainnya — kini mengalami senjakala. Bila kemudian terdapat informasi soal perempuan menjadi Perdana Menteri, seperti Margareth Thatcher di Inggris, Corazon Aquino yang menjadi Presiden Filipina, tentu akan menginspirasi perempuan Indonesia yang mengambil peluang-peluang dalam meraih pendidikan. Investasi masa depan inilah yang mengiringi kesadaran bagi setiap orang, tanpa harus melihat perempuan atau lelaki.

Yusron akhirnya mempunyai kedekatan emosional dengan Marwah Daud Ibrahim. Saat Marwah menjadi presidium di ICMI, Yusron pun aktif di organisasi para pemikir yang selalu gelisah soal perubahan itu. Demikian pula ketika sejarah bergulir dan reformasi mencapai titik baliknya, Marwah Daud Ibrahim mengambil kesempatan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden. Ia termasuk politikus yang galak ketika B.J. Habibie, saat menjadi presiden, ditolak pertanggungjawabannya di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), saat ketika Abdurrahman Wahid tampil menjadi presiden pada 1999.

Seruputan kopi dan Gus Dur

Dalam seruputan kopi, saya pun teringat ketika Yusron Aminulloh mempunyai kedekatan dengan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.  Ketika Gus Dur terborgol Emha Ainun Nadjib, kakak kandung Yusron, mendambakan cucu Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng itu, menjadi lembaga sejarah yang objektivitas, ketegasan, dan kewibawaannya mengatasi hierarki budaya kekuasaan. Tokoh yang tak lagi sekadar pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) melainkan pemimpin bangsa Indonesia. Gus Dur membuka telinga-telinga raksasa yang telah lama tuli dan mata kekuasaan yang membuta. Gus Dur dengan jiwa besar, berada tidak di bawah siapa pun dan apa pun kecuali Allah Ta’ala yang diwiridkannya setiap saat.

Gus Dur membuka telinga-telinga raksasa yang telah lama tuli dan mata kekuasaan yang membuta. Gus Dur dengan jiwa besar, berada tidak di bawah siapa pun dan apa pun kecuali Allah Ta’ala yang diwiridkannya setiap saat.

Dalam seruputan kopi, saya teringat ketika Yusron berdialog dengan seorang kiai yang tak terkenal tapi mempunyai penglihatan batin (basyirah) menjangkau yang tak tanpak di mata orang awam.

Demikian konflik selalu beriringan dengan sejarah NU, organisasi yang pernah dipimpin Gus Dur.  Konflik di tengah masyarakat selalu sulit dipahami kaum awam. Rakyat jelata kerap tergagap-gagap karena peliknya masalah di kalangan suatu elite masyarakat.

Seorang guru ngaji di suatu desa memberi gambaran dengan mudah: antara kintir dan ngintir. K(Ng)intir. Seseorang yang kintir berarti sudah tak lagi mampu mengendalikan diri. Arus sungai yang deras menyeretnya ke mana-mana tanpa sedikit pun bisa ditawar. Bila sudah kintir kekuatan seseorang akan pupus dengan sendirinya. Ia tak lebih hanya menjadi bagian dari setitik air di tengah derasnya sungai. Ia tak bisa menolak ketika digiring arus untuk ke kanan dan ke kiri. Ia tak mampu lagi melihat apakah ke kanan yang baik atau ke kiri yang baik. Ia dikendalikan sebebas yang mengendalikan.

Bila orang kintir tak lagi mempunyai kesadaran diri, maka orang yang ngintir mempunyai kesadaran yang teguh, bahwa ia sengaja ngintir. Artinya, ia masih bisa melihat apa yang ada di depannya. Ketika ada batu besar di depannya, ia masih bisa menghindar. Ia bisa memilih arah dan membedakan kapan arus air itu menyesatkan dan kapan tidak. Kesadaran semacam ini, saya kira, tak hanya dimiliki oleh Gus Dur, tapi juga pemimpin NU sebelumnya, seperti KH Idham Chalid, almaghfurlah. Ia menyadari berada di tengah arus, tapi tidak larut dalam derasnya arus.

Saya sempat terkejut ketika Yusron mengupayakan pertemuan karya seni rupa Amang Rahman dan D. Zawawi Imron, di sebuah hotel di Surabaya. Dalam pameran itu, dibuka Presiden Abdurrahman Wahid. Anekdot pun muncul, seorang presiden yang tak normal penglihatannya membuka pameran seni rupa.

Yusron Aminulloh mempunyai apresiasi bagi Gus Dur dan NU. Saya kira, karena relasi emosional karena kedua kakek, Yusron dan Gus Dur, mengambil berkah dari sumber ilmu yang sama: Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalany.  Kakek Gus Dur, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan kakek Yusron Aminulloh & Emha Ainun Nadjib, KH Ahmad Zahid, sama-sama berguru pada Sang Guru Ulama Pesantren di Jawa itu.  

Pada gemuruhnya Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015, saya sempat terkejut dengan dihadirkannya ratusan koleksi foto Gus Dur yang dipamerkan atas keringat Yusron Aminulloh. Pameran foto yang diikuti beberapa wartawan istana negara di era Gus Dur berkuasa. Mereka menampilkan koleksi terbaik dari foto Gus Dur dan belum pernah dipulikasikan. Mereka adalah Agus Wahyudi dari Jawa Pos, Dodok HW Harian Surya, Mukhtar Zakaria dari AP, Agus Mulyawan dari Media Indonesia, Dadang Tri Mulyo dari Blomberg, Trisnadi AP, dan Iwan Hananto Surabaya Post. Dari foto-foto itu, terliha jelas ekpresi kepedulian sosial, ketegasan, kewibawaan dan egaliter yang selalu melekat dari sosok Gus Dur di Rumah Budaya Menebar Energi Positif (MEP) Jl. Agus Salim No.09 Jombang selama lima hari, yakni tanggal 1-5 Agustus mulai pukul 10.00- hingga 22.00 WIB.

Saya pun teringat ketika, atas undangan Yusron, berkunjung ke tempat ini bersama mas Wiek Herwiyatmo (almarhum), berdiskusi tentang kerja kreativitas dan perkembangan budaya pada 20 Juli 2014. Saya teringat, sambil menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli, kami ngobrol soal “harga anak masuk sekolah”, perguruan tinggi yang mematok mahasiswa baru (sulit terjangkau dengan kemampuan ekonomi orangtua yang terbatas) dengan puluhan juta rupiah, bahkan hingga ratusan juta rupiah. Padahal, bukankah harapan kita terletak pada masa depan anak-anak kita? Mungkinkah presiden yang baru mengubah kebijakan dari “pendidikan berorientasi bisnis” menjadi “pelayan warga”? Ya, saat itu saya tengah berada di tengah gemuruh orang-orang sepi, yang terus beraharap adanya perubahan. Harapan dan kenyataan tak selalu sepadan, ternyata.

Menyeruput kopi, saya teringat ketika ngobrol-ngobrol di suatu rumah di kawasan YKP Surabaya. Ada Didit Gatut Kusumo, Saiful Hadjar, Mardi Luhung (dua nama terakhir Penyair), Farid Syamlan (dramawan), Wisjnubroto Herputranto (aktivis social), tentang pelbagai soal kehidupan. Mereka adalah orang-orang sepi yang selalu menggemuruh kegelisahan intelektual mendambakan perubahan.

Bersama Yusron, saya pun berdikusi dengan Prof. Daniel M. Rosyid — guru besar kelautan ITS yang lebih dikenal sebagai pakar pendidikan — tentang menjadikan masa pensiun sebagai posisi emas. Ya, tempatnya pun di Balai Pemuda, ketika itu setelah Jumatan, 27 Desember 2013. Kami sama-sama prihatin, banyak tokoh Indonesia, setelah pensiun dalam kondisi tidak bermartabat dan tersandung masalah hukum. Nama dan reputasinya yang dibangun puluhan tahun, hancur karena harus diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berakhir di penjara. Bersama terbitan bukunya, Yusron mengingatkan pentingnya keseimbangan hidup, agar hidup di masa tua tetap terhormat, dan jadikan masa pensiun sebagai posisi emas.

Saya bertugas membagi alur pembicaraan dala diskusi itu, selain Prof Dr Daniel Rosyid, ada Wiek Herwiyatmo, yang sepakat mengajak untuk memegang prinsip, tidak ada pensiun bagi pejuang hidup. Yusron memajukan paradigma, bahwa konsep persiapan pensiun jangan hanya menjelang pensiun, namun jauh hari sebelumnya. Untuk itu perlu ditata hati, pikiran setiap orang. Bagi Daniel Rosyid, sebelum pensiun, 10 tahun lalu, telah mempersiapkan diri. Demikian hendaknya siapa pun sudah harus mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelumnya.

Kami sama-sama prihatin, banyak tokoh Indonesia, setelah pensiun dalam kondisi tidak bermartabat dan tersandung masalah hukum. Nama dan reputasinya yang dibangun puluhan tahun, hancur karena harus diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berakhir di penjara.

Orang pensiun di Indonesia hanya sekitar 5 juta setiap tahunnya. Maka, persoalannya orang pensiun itu beban atau potensi. Bahkan orang yang memasuki pensiun itu bisa dua perspektif. Sebuah berkah, atau malah bencana.  Dari buku Yusron memberikan frame berbeda kepada calon pensiunan. Agar mereka siapkan diri tidak hanya planning usaha pascapensiun, namun yang lebih penting adalah kesiapan mental, hati dan keberanian. Bahkan, orang perlu berfikir untuk menjadikan masa pensiun sebagai posisi bagus, baik untuk konteks keluarga maupun personal kaitanya dengan kedekatan dirinya terhadap Sang Pencipta.

Wiek dan Kopi

Dalam seruputan kopi bersama Yusron Aminulloh, saya teringat mas Wiek Herwiyatmo. Ia mempunyai kedekatan dengan elite sosialis di Surabaya, Gatut Kusumo dan Kadaruslan. Seseorang yang merasa dirinya sebagai bagian masyarakat terpelajar, tentu mengenalnya. Paling tidak, mengenal namanya.

Sebagai aktivis mahasiswa, Wiek Herwiyatmo (lahir Lumajang, 18 Desember 1946 meninggal dunia 2017). Kisah-kisah yang saya dengar bersama Yusron, ia pernah duduk di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga pada 1968 merasa penasaran dengan sosok yang akrab dipanggil Papa itu. Maka, pertemuannya di tempat tinggal Gatut Kusumo di bilangan Jalan W.R. Supratman Surabaya, telah mengantarkannya pada pergaulan dan pergumulan serius dalam menenggelamkan dirinya di tengah persoalan masyarakatnya.

Ia sempat (seolah dites) ketika diajak dialog soal permasalah aktual masyarakat saat itu. Watak kritisnya pada rezim Sukarno dan rezim Soeharto, mencerminkan sikap seorang intelektual yang khas. Begitu, Wiek Herwiyatmo terhadap sang mentor. Di sinilah, ia kerap bertemu dengan sejumlah nama yang sama-sama bergaul di seputaran tokoh Gatut Kusumo. Seperti: Wisjnubroto, Anto Prijatno, Tomy Pakasi, Ferry Suharianto (Cak Pei), Soesilo, Dwijo Sukatmo, Kadaruslan (Cak Kadar). Dari kalangan pers, muncul pula kemudian sosok nama Agil Haji Ali, yang cukup intens bergaul dengan mereka. Mereka itu pula yang kemudian kami kenal.

Dalam pergaulan di sini, dan serangkaian diskusi sambil menyeruput kopi, sesekali kami menyinggung karya pemikiran Gatut Kusumo, di antara pergulatan dan pengalamannya tertuang dalam karyanya, Pita Merah di Lengan Kiri.

Roman itu, Pita Merah di Lengan Kiri, secara jelas memang  lahir berdasarkan pengalaman pengarangnya sendiri, terbit ketika usia 53 tahun.  Ia turut dalam perjuangan bersenjata di dalam dan di sekitar kota. Kalau kita perkirakan selesainya naskah roman sebentar sebelum terbitnya pada tahun ini, maka cukup lama waktu yang dibutuhkan Gatut untuk menulis karyanya.

Tapi justru jarak waktu itu telah memberinya kesempatan mengendapkan pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian ia telah sanggup melihat kembali segala sesuatu secara jernih dan lurus –dengan menempatkan kejadian-kejadian pada proporsi yang sebenarnya. Akibatnya, dalam roman ini tidak ada sikap yang menonjolkan kepahlawanan atau semangat perjuangan yang meluap-luap yang bisa membengkokkan gambaran tentang kenyataan yang ada.

Ceritanya pun sederhana: mengenai pelajar-pelajar sekolah menengah yang bergabung pada Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Dengan sukarela mereka melibatkan diri dalam perang gerilya.

Memang, peristiwa di  zaman perjuangan kemerdekaan sudah merupakan sejarah. Penelitian sejarah akan memilih dan mencatat kejadian penting pada masa itu, yang menentukan perkembangan manusia di negeri kita. Pokok perhatian ahli sejarah adalah garis besar perkembangan itu. Sebaliknya, kesusastraan lebih banyak tertarik pada titik-titik yang memungkinkan adanya garis-garis besar itu — yang dalam roman berupa individu-individu yang terlibat dalam kejadian sejarah. Bersama dengan pencatatan sejarah, kesusastraan dapat mengikuti kenyataan secara teliti dan objektif. Ketika mengikuti kejadian, ahli sejarah dituntun oleh tafsirannya tentang sejarah. Sedang pengarang dituntun oleh tafsirannya apakah itu sastra.

Dalam penulisan roman atau cerita pendek, pengarang bisa memperlakukan kejadian-kejadian sebagai bahan belaka untuk menyokong kebenaran wawasan sejarahnya. Atau, ia dapat menurut saja kepada kehendak tokoh ceritanya yang menentukan perkembangan sejarah. Subagio Sastrowardoyo menyebut karya Idrus, sebagai contoh jenis pertama.  Sedang yang kedua kita lihat pada Pita Merah di Lengan Kiri karangan Gatut Kusumo. Kedua buah karya sastra itu mengambil lokasi dan waktu yang boleh dikata sama. Yakni, di Surabaya dan sekitarnya pada saat pasukan Inggris dan kemudian Belanda menyerbu dan menduduki kota pada permulaan revolusi.

Lepas dari karya Gatut Kusumo, kami mengenal Wiek Herwiyatmo, sebagai bagian dari figur “orang-orang pergerakan” itu terus berjalan seiring perkembangan dan denyut nadi masyarakat. Pembelaannya terhadap orang-orang kalah dan dikalahkan di masa kekuasaan tiran Soeharto, dibuktikan dengan aktivitasnya dalam kegiatan sosial: mendiskusikan permasalah, mencari titik temu penyelesaiannya, hingga melakukan advokasi terhadap mereka yang tertindas secara sosial itu.

Juga pembelaannya terhadap kondisi sosial, baik ketika terjadi pembunuhan misterius (Petrus) pada 1980an dan korban-korban dukun santet, empatinya terhadap nilai-nilai hakiki kemanusiaan pun tergugah. Perkenalannya dengan kalangan jurnalis, seperti Peter A. Rohi, Choirul Anam, Yunani Prawiranegara, Gerson Poyk, Aco Manafe, makin membangun pergumulan dan pergaulan luas, dalam menyatakan kegelisahannya terhadap persoalan kemasyarakat dan kemanusiaan.

Surabaya, sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur, menjadi titik sentral perhatian mereka, dalam memahami watak dan perkembangan kota. Di tangan orang-orang “seputaran Gatut Kusumo”,  Surabaya setiap tahun menghadirkan Festival Seni Surabaya, dirayakan sejak 1996. Di ruang publik  itu, merupakan tradisi yang telah dirintis para orang-orang yang peduli terhadap terbukanya ruang-ruang ekspresi kesenian secara terbuka. Penjelahan dalam berkesenian, memperoleh penghargaan yang tinggi, sebagaimana kita memahami nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki: sebuah apresiasi dan keanggunan menawarkan ide-ide imajinatif.

Di tangan orang-orang “seputaran Gatut Kusumo”,  Surabaya setiap tahun menghadirkan Festival Seni Surabaya, dirayakan sejak 1996. Di ruang publik  itu, merupakan tradisi yang telah dirintis para orang-orang yang peduli terhadap terbukanya ruang-ruang ekspresi kesenian secara terbuka.

Festival Seni Surabaya, pernah dianggap sebagai tradisi digelar setiap tahun, memungkinkan kota ini berkembang dengan torehan kreativitas yang ajek, yang diadakan atas dana kepedulian masyarakat — bukan pemerintah semata. Memang, beberapa tahun kemudian, kita mengenal Pekan Kesenian Bali (PKB), Festival Kesenian Yogya (FKY), namun kontinyuitasnya bermasalah, bahkan ada yang terhenti sama sekali.

Kota Surabaya berusia 700 tahun ketika awal keterlibatan seniman dan kalangan intelektual, seperti Kadaruslan, Wiek Herwiyatmo, Wisjnubroto, Peter A. Rohi, Arif Rofiq, Achmad Fauzi,  menggelar perhelatan yang menjadi cikal-bakal Festival Seni Surabaya (FSS). Perhelatan itu, Pekan Seni Surabaya (PSS) 700, yang pembukannya dilakukan olehWalikota Surabaya, dr. H. Poernomo Kasidi pada 31 Mei 1993 di kompleks Balai Pemuda. Ketika itu, jejak kerajaan terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit, tepat pula genap 700 tahun. Saat itu, perhelatan tersebut mampu menyatukan dua kelompok di Surabaya, antara Akademi Seni Rupa Surabaya  (Aksera, yakni orang-orang di seputaran Gatut Kusumo) dan aktivis kesenian Bengkel Muda Surabaya (BMS).

Sastra dan Ibunda. Dalam studi sastra, terdapat pernyataan bahwa manusia, di samping menjadi homo sapiens, homo faber, homo loquens, juga homo fabulans (makhluk bercerita atau makhluk bersastra). Di pangkuan ibu manusia sudah menjadi manusia bersastra.

Spontan saya pun teringat Yusron Aminulloh dan keluarganya. Mereka hidup dan dibesarkan oleh ibundanya, menyusul wafatnya sang ayah di waktu mereka masih kanak. Secangkir kopi yang saya seruput, yang tersisa adalah ampasnya. Tapi, saya membayangkan seorang ibu sedang “bersastra” ketika anak-anak dalam pangkuan ibu dengan syair ini:

Keplok ami-ami

Walang kupu-kupu

Awan maem roti

Bengi mimik susu

Artinya:

Bertepuk telapak tangan

Belalang kupu-kupu

Silang makan roti

Malam minum susu

Ternyata, berkait dengan ibu, saya belajar dari sikap Yusron. Ia begitu menghormati perempuan yang pernah melahirkannya. Menghormati sepenuh jiwanya, yang kini sang ibunda telah menghadap ke Rahmatullah. Memperingati hari kelahiran, saya kira, sekaligus merayakan kehadiran ibunda yang telah melahirkan.

Saya belajar dari Yusron Aminulloh, tentang ibunda. Kehadiran ibunda yang menjadi tenaga sebelum langkah mengawali perubahan. Lewat doa-doa ibunda, restu ibunda, langkah itu memperoleh jalan mudah. Salah satu lokasi di Wonosalam, Jombang, DeDurian, dibangun atas jernih payahnya, tak lepas dari eksistensi perempuan itu. Eksistensi yang selalu hadir, dalam wirid dan doa yang mengiringi denyut nadi kita, sebelum mengambil sikap dan langkah ke arah perubahan.

Yusron Aminulloh adalah laku perubahan itu.

Sambil merasakan sisa-sisa kopi pahit, saya mengingatnya. Mengingat sedikit pengalaman pernah bersentuhan dengan perjalanan hidupnya, meski dari kejauhan. Salamku, ya bos!

Surabaya, 13 Desember 2023.

0
343
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.