Cerita Kopi, Gemuruh Orang-orang Sepi

(Tentang Cucu dari Santri Syaikhona Muhammad Kholil al-Bankalany)

Sinopsis:

Meeting people who move at the bottom of society, as well as capturing the pulse of society. Meeting people, by chance, gaining wisdom and experience. Yusron Aminulloh, one of Emha Ainun Nadjib’s younger brothers, embarks on a journey amidst the current of change in society. “When you are in trouble, go to someone who is in more trouble. If you are having financial difficulties, give the rest of your money to people who need it. “If you want to be calm, accompany the little ones, visit the sick, attend funerals,” were among the testaments of Muhammad, his late father. It turns out that the emotional relationship between Yusron and Gus Dur is tied to one scientific link: both of his grandfathers were students of Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkaly.

(Menjumpai orang-orang yang bergerak di masyarakat bawah, sekaligus menangkap denyut nadi keumatan. Bertemu orang-orang, secara kebetulan, menangkap hikmah-hikmah dan pengalaman. Yusron Aminulloh, salah seorang di antara adik dari Emha Ainun Nadjib, menapaki perjalanan di tengah arus perubahan di masyarakat. “Bila kau susah, datangi orang yang lebih susah. Bila kau sedang sulit ekonomi, kasih sisa uangmu pada orang yang membutuhkan. Bila bantinmu ingin tenang, temani orang kecil, jenguk orang sakit, ikuti pemakaman”, di antara wasiat Muhammad, almarhum ayahandanya. Relasi emosional Yusron dan Gus Dur, ternyata terikat dalam satu sanad keilmuan: kedua kakeknya adalah santri dari Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkaly.)

BISAKAH kita bayangkan bila tidak ada kopi? Tentu hidup tetap berjalan normal, tapi kurang asyik. Kurang membahagiakan. Kurang mengakrabkan pergaulan.

Kopi,  betapa pun, adalah satu di antara minuman yang menjadi bagian penting dalam keluarga kami. Ibu saya, misalnya, dalam sehari mesti menghabiskan secangkir kopi. Belum lagi ayah saya yang petani penggarap, sebelum berangkat ke sawah harus menyeruput kopi, meskipun secangkir tak habis dalam sekali duduk.

Begitu pentingnya kopi menjadi pengiring dalam setiap pertemuan, santai maupun pertemuan serius. Bagi orang-orang santri, kopi menjadi bagian penting membangun intimitas dalam pergaulan. Bahkan, ada anjuran saat menyeduh kopi untuk berkirim Al-Fatihah kepada ‘sahibul qahwa’, Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili, pendiri Tarekat Syadziliyah. Baru setelah itu, kopi disajikan dan siap diminum.

Dalam duduk seraya menyeruput kopi itulah, saya membayangkan kembali pertemuan awal ketika Yusron Aminulloh datang bersama Bambang Sujiyono (almarhum, pendiri Bengkel Muda Surabaya) di sanggar di kompleks Balai Pemuda.  Di kompleks gedung yang — pada zaman Hindia Belanda terpampang papan bertuliskan ‘Verboden voor honden en inlander’ (Anjing dan pribumi dilarang masuk) — menjadi tempat mangkal para seniman, aktivis dan intelektual, terdapat gedung yang bersebelahan dengan gedung utama.

Sanggar itu dinaungi seonggok pohon nangka yang cukup besar menjadikan rindang dalam suasana siang. Di samping kiri gedung menghadap ke timur itu, terdapat Masjid As-Sakinah, kantin dan gedung galeri Dewan Kesenian Surabaya, serta Lokaseni — pada akhirnya, seluruh gedung tersebut harus digusur untuk pembangunan Gedung DPRD Kota Surabaya. Saat itu, gedung utama Balai Pemuda masih menjadi aktivitas pameran barang-barang kelontong yang, karena konsep inilah kerap bersitegang dengan para seniman karena fungsi gedung bersejarah itu semata-mata untuk kepentingan bisnis dan perolehan untuk mempertebal PAD (Pendapatan Asli Daerah).

Di tengah gemuruh pameran seni dan pameran barang-barang kelontong, saya menyaksikan orang-orang sepi yang terus bekerja memeras otak dan keringatnya untuk memahami perubahan-perubahan di tengah masyarakat. Perubahan secara fisikal, kami menyaksikan bersama digusurnya gedung-gedung di kompleks Balai Pemuda, pada pertengahan 1990-an dan kemudian berdiri gedung lembaga wakil rakyat yang tak lagi ramah. Para seniman dan bersama para penjual kopi dan mie goreng di trotoar, harus hilang dari lokasi itu. Trotoar harus bebas dan menjadikan suasana kering tanpa diskusi orang-orang sepi, para seniman dan intelektual trotoar itu, yang saat itu begitu kritis terhadap suasana tirani di bawah kaki kekuasaan Soeharto. Kekrititan menggemuruh sebagai bagian dari kegelisahan intelektual orang-orang terpelajar, yang dieskpresikan lewat karya seni, baik pemanggungan sastra, teater dan musik. Juga tari, yang tumbuh subuh kreativitas di kawasan yang kini disebut alun-alun kota itu.

Pengenalan saya dengan Yusron Aminulloh, tak lepas dari isu yang berkembang saat itu soal bantuan gedung kesenian dari Ny Toety Aziz dari Surabaya Post, yang disampaikan kepada Wali Kota Surabaya, Sunarto Sumoprawiro. Dus, sebelum benar-benar berdiri gedung legislatif Surabaya, beredar informasi soal bantuan senilai Rp.1 Miliar dari tokoh pers yang juga pendiri suratkabar lengedaris itu. Sayangnya, kemudian terjadi masalah sehingga tidak bisa diwujudkan gedung kesenian yang menjadi harapan para seniman dan orang-orang sepi yang menggemuruh bersikap kritis pada masa itu.

Perubahan dari Diri Sendiri

Berkarib dengan Yusron Aminulloh saya kemudian tersadarkan akan makna perubahan dan pembaruan. Istilah terakhir ini dapat dipandang sebagai manisfestasi dari perubahan. Perubahan selalu mengalir tanpa henti. Ia memunculkan semacam adagium: “yang tetap adalah perubahan itu sediri” atau istilah Goenawan Mohamad, “perubahan adalah kekal”. Seperti waktu, perubahan selalu bergerak tanpa dapat dibendung oleh apa dan siapa pun. Begitulah, Yusron Aminulloh mencoba memaknai perubahan pada dirinya sendiri.

Intelektual Muslim, Mālik bin Nabi memberi gambaran: Waktu adalah sungai purba yang mengalir di dunia sejak azali. Ia mengalir di kota-kota dan menghidupkan aktivitasnya dengan energinya yang abadi, atau membuatnya tidur pulas dininabobokkan oleh senandung waktu yang lenyap entah kemana. Ia juga membanjiri setiap jengkal bumi semua bangsa, dan memasuki setiap bidang individu, dengan arus waktunya sehari-hari yang tak mungkin bisa dihentikan. Sekali ia melahirkan revolusi dan kali lain mengubahnya dengan ketiadaan. Waktu menyelusup di sela-sela kehidupan dan menyebarkan nilai-nilai di dalam apabila di situ muncul suatu kerja.

Keelokan konsep ini, kerja dimaknai dalam suatu masa atau membarengi waktu. Kerja adalah merupakan kata kunci dari perubahan. Dan dalam tataran lebih lanjut, perubahan (dalam arti positif atau dalam istilah Yusron Aminulloh, menyerap “energi positif”) merupakan salah satu kata kunci dari pembaruan, termasuk tentunya dalam kawasan pendidikan Islam dalam arti yang paling umum. Kesadaran semacam itu pulalah nampaknya yang lebih lanjut memberi inspirasi bagi upaya memungut kembali potensi ideologis yang terpendam dalam diri Islam yang digunakan sebagai tenaga penggerak bagi gagasan revivalisasi Islam sejak awal.

Dalam tegukan kopi pahit, saya teringat figur cerdas yang menghiasi jagat intelektual Indonesia pada tahun 1990: Marwah Daud Ibrahim. Meskipun ia termasuk bidan lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada awal Desember pada tahun itu, ia tampil sederhana dengan rambut yang terurai wajar — tanpa kerudung atau jilbab. Tapi, Yusron Aminulloh berhasil menghadirkan pandangan-pandangan yang cukup mengejutkan: Bukan emansipasi wanita yang betul emansipasi manusia. Ia berkisah soal proses sejarah, banyak peluang untuk belajar, berpendidikan baik sehingga ia yakin kondisi ideal akan hadir mengikutinya. Perempuan bisa maju tanpa harus titik balik bagi kemunduran laki-laki. Titik perimbangan yang harus dikembangkan.

Kita tersadarkan soal Revolusi Informasi yang terus berlangsung. Perempuan yang tak berkesempatan keluar rumah pun bisa mendapatkan informasi ke ruang-ruang rumah, melalui televisi maupun media cetak lainnya — kini mengalami senjakala. Bila kemudian terdapat informasi soal perempuan menjadi Perdana Menteri, seperti Margareth Thatcher di Inggris, Corazon Aquino yang menjadi Presiden Filipina, tentu akan menginspirasi perempuan Indonesia yang mengambil peluang-peluang dalam meraih pendidikan. Investasi masa depan inilah yang mengiringi kesadaran bagi setiap orang, tanpa harus melihat perempuan atau lelaki.

Yusron akhirnya mempunyai kedekatan emosional dengan Marwah Daud Ibrahim. Saat Marwah menjadi presidium di ICMI, Yusron pun aktif di organisasi para pemikir yang selalu gelisah soal perubahan itu. Demikian pula ketika sejarah bergulir dan reformasi mencapai titik baliknya, Marwah Daud Ibrahim mengambil kesempatan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden. Ia termasuk politikus yang galak ketika B.J. Habibie, saat menjadi presiden, ditolak pertanggungjawabannya di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), saat ketika Abdurrahman Wahid tampil menjadi presiden pada 1999.

Seruputan kopi dan Gus Dur

Dalam seruputan kopi, saya pun teringat ketika Yusron Aminulloh mempunyai kedekatan dengan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.  Ketika Gus Dur terborgol Emha Ainun Nadjib, kakak kandung Yusron, mendambakan cucu Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng itu, menjadi lembaga sejarah yang objektivitas, ketegasan, dan kewibawaannya mengatasi hierarki budaya kekuasaan. Tokoh yang tak lagi sekadar pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) melainkan pemimpin bangsa Indonesia. Gus Dur membuka telinga-telinga raksasa yang telah lama tuli dan mata kekuasaan yang membuta. Gus Dur dengan jiwa besar, berada tidak di bawah siapa pun dan apa pun kecuali Allah Ta’ala yang diwiridkannya setiap saat.

Gus Dur membuka telinga-telinga raksasa yang telah lama tuli dan mata kekuasaan yang membuta. Gus Dur dengan jiwa besar, berada tidak di bawah siapa pun dan apa pun kecuali Allah Ta’ala yang diwiridkannya setiap saat.

Dalam seruputan kopi, saya teringat ketika Yusron berdialog dengan seorang kiai yang tak terkenal tapi mempunyai penglihatan batin (basyirah) menjangkau yang tak tanpak di mata orang awam.

Demikian konflik selalu beriringan dengan sejarah NU, organisasi yang pernah dipimpin Gus Dur.  Konflik di tengah masyarakat selalu sulit dipahami kaum awam. Rakyat jelata kerap tergagap-gagap karena peliknya masalah di kalangan suatu elite masyarakat.

Seorang guru ngaji di suatu desa memberi gambaran dengan mudah: antara kintir dan ngintir. K(Ng)intir. Seseorang yang kintir berarti sudah tak lagi mampu mengendalikan diri. Arus sungai yang deras menyeretnya ke mana-mana tanpa sedikit pun bisa ditawar. Bila sudah kintir kekuatan seseorang akan pupus dengan sendirinya. Ia tak lebih hanya menjadi bagian dari setitik air di tengah derasnya sungai. Ia tak bisa menolak ketika digiring arus untuk ke kanan dan ke kiri. Ia tak mampu lagi melihat apakah ke kanan yang baik atau ke kiri yang baik. Ia dikendalikan sebebas yang mengendalikan.

Bila orang kintir tak lagi mempunyai kesadaran diri, maka orang yang ngintir mempunyai kesadaran yang teguh, bahwa ia sengaja ngintir. Artinya, ia masih bisa melihat apa yang ada di depannya. Ketika ada batu besar di depannya, ia masih bisa menghindar. Ia bisa memilih arah dan membedakan kapan arus air itu menyesatkan dan kapan tidak. Kesadaran semacam ini, saya kira, tak hanya dimiliki oleh Gus Dur, tapi juga pemimpin NU sebelumnya, seperti KH Idham Chalid, almaghfurlah. Ia menyadari berada di tengah arus, tapi tidak larut dalam derasnya arus.

Saya sempat terkejut ketika Yusron mengupayakan pertemuan karya seni rupa Amang Rahman dan D. Zawawi Imron, di sebuah hotel di Surabaya. Dalam pameran itu, dibuka Presiden Abdurrahman Wahid. Anekdot pun muncul, seorang presiden yang tak normal penglihatannya membuka pameran seni rupa.

Yusron Aminulloh mempunyai apresiasi bagi Gus Dur dan NU. Saya kira, karena relasi emosional karena kedua kakek, Yusron dan Gus Dur, mengambil berkah dari sumber ilmu yang sama: Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalany.  Kakek Gus Dur, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan kakek Yusron Aminulloh & Emha Ainun Nadjib, KH Ahmad Zahid, sama-sama berguru pada Sang Guru Ulama Pesantren di Jawa itu.  

Pada gemuruhnya Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015, saya sempat terkejut dengan dihadirkannya ratusan koleksi foto Gus Dur yang dipamerkan atas keringat Yusron Aminulloh. Pameran foto yang diikuti beberapa wartawan istana negara di era Gus Dur berkuasa. Mereka menampilkan koleksi terbaik dari foto Gus Dur dan belum pernah dipulikasikan. Mereka adalah Agus Wahyudi dari Jawa Pos, Dodok HW Harian Surya, Mukhtar Zakaria dari AP, Agus Mulyawan dari Media Indonesia, Dadang Tri Mulyo dari Blomberg, Trisnadi AP, dan Iwan Hananto Surabaya Post. Dari foto-foto itu, terliha jelas ekpresi kepedulian sosial, ketegasan, kewibawaan dan egaliter yang selalu melekat dari sosok Gus Dur di Rumah Budaya Menebar Energi Positif (MEP) Jl. Agus Salim No.09 Jombang selama lima hari, yakni tanggal 1-5 Agustus mulai pukul 10.00- hingga 22.00 WIB.

Saya pun teringat ketika, atas undangan Yusron, berkunjung ke tempat ini bersama mas Wiek Herwiyatmo (almarhum), berdiskusi tentang kerja kreativitas dan perkembangan budaya pada 20 Juli 2014. Saya teringat, sambil menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli, kami ngobrol soal “harga anak masuk sekolah”, perguruan tinggi yang mematok mahasiswa baru (sulit terjangkau dengan kemampuan ekonomi orangtua yang terbatas) dengan puluhan juta rupiah, bahkan hingga ratusan juta rupiah. Padahal, bukankah harapan kita terletak pada masa depan anak-anak kita? Mungkinkah presiden yang baru mengubah kebijakan dari “pendidikan berorientasi bisnis” menjadi “pelayan warga”? Ya, saat itu saya tengah berada di tengah gemuruh orang-orang sepi, yang terus beraharap adanya perubahan. Harapan dan kenyataan tak selalu sepadan, ternyata.

Menyeruput kopi, saya teringat ketika ngobrol-ngobrol di suatu rumah di kawasan YKP Surabaya. Ada Didit Gatut Kusumo, Saiful Hadjar, Mardi Luhung (dua nama terakhir Penyair), Farid Syamlan (dramawan), Wisjnubroto Herputranto (aktivis social), tentang pelbagai soal kehidupan. Mereka adalah orang-orang sepi yang selalu menggemuruh kegelisahan intelektual mendambakan perubahan.

Bersama Yusron, saya pun berdikusi dengan Prof. Daniel M. Rosyid — guru besar kelautan ITS yang lebih dikenal sebagai pakar pendidikan — tentang menjadikan masa pensiun sebagai posisi emas. Ya, tempatnya pun di Balai Pemuda, ketika itu setelah Jumatan, 27 Desember 2013. Kami sama-sama prihatin, banyak tokoh Indonesia, setelah pensiun dalam kondisi tidak bermartabat dan tersandung masalah hukum. Nama dan reputasinya yang dibangun puluhan tahun, hancur karena harus diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berakhir di penjara. Bersama terbitan bukunya, Yusron mengingatkan pentingnya keseimbangan hidup, agar hidup di masa tua tetap terhormat, dan jadikan masa pensiun sebagai posisi emas.

Saya bertugas membagi alur pembicaraan dala diskusi itu, selain Prof Dr Daniel Rosyid, ada Wiek Herwiyatmo, yang sepakat mengajak untuk memegang prinsip, tidak ada pensiun bagi pejuang hidup. Yusron memajukan paradigma, bahwa konsep persiapan pensiun jangan hanya menjelang pensiun, namun jauh hari sebelumnya. Untuk itu perlu ditata hati, pikiran setiap orang. Bagi Daniel Rosyid, sebelum pensiun, 10 tahun lalu, telah mempersiapkan diri. Demikian hendaknya siapa pun sudah harus mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelumnya.

Kami sama-sama prihatin, banyak tokoh Indonesia, setelah pensiun dalam kondisi tidak bermartabat dan tersandung masalah hukum. Nama dan reputasinya yang dibangun puluhan tahun, hancur karena harus diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berakhir di penjara.

Orang pensiun di Indonesia hanya sekitar 5 juta setiap tahunnya. Maka, persoalannya orang pensiun itu beban atau potensi. Bahkan orang yang memasuki pensiun itu bisa dua perspektif. Sebuah berkah, atau malah bencana.  Dari buku Yusron memberikan frame berbeda kepada calon pensiunan. Agar mereka siapkan diri tidak hanya planning usaha pascapensiun, namun yang lebih penting adalah kesiapan mental, hati dan keberanian. Bahkan, orang perlu berfikir untuk menjadikan masa pensiun sebagai posisi bagus, baik untuk konteks keluarga maupun personal kaitanya dengan kedekatan dirinya terhadap Sang Pencipta.

Wiek dan Kopi

Dalam seruputan kopi bersama Yusron Aminulloh, saya teringat mas Wiek Herwiyatmo. Ia mempunyai kedekatan dengan elite sosialis di Surabaya, Gatut Kusumo dan Kadaruslan. Seseorang yang merasa dirinya sebagai bagian masyarakat terpelajar, tentu mengenalnya. Paling tidak, mengenal namanya.

Sebagai aktivis mahasiswa, Wiek Herwiyatmo (lahir Lumajang, 18 Desember 1946 meninggal dunia 2017). Kisah-kisah yang saya dengar bersama Yusron, ia pernah duduk di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga pada 1968 merasa penasaran dengan sosok yang akrab dipanggil Papa itu. Maka, pertemuannya di tempat tinggal Gatut Kusumo di bilangan Jalan W.R. Supratman Surabaya, telah mengantarkannya pada pergaulan dan pergumulan serius dalam menenggelamkan dirinya di tengah persoalan masyarakatnya.

Ia sempat (seolah dites) ketika diajak dialog soal permasalah aktual masyarakat saat itu. Watak kritisnya pada rezim Sukarno dan rezim Soeharto, mencerminkan sikap seorang intelektual yang khas. Begitu, Wiek Herwiyatmo terhadap sang mentor. Di sinilah, ia kerap bertemu dengan sejumlah nama yang sama-sama bergaul di seputaran tokoh Gatut Kusumo. Seperti: Wisjnubroto, Anto Prijatno, Tomy Pakasi, Ferry Suharianto (Cak Pei), Soesilo, Dwijo Sukatmo, Kadaruslan (Cak Kadar). Dari kalangan pers, muncul pula kemudian sosok nama Agil Haji Ali, yang cukup intens bergaul dengan mereka. Mereka itu pula yang kemudian kami kenal.

Dalam pergaulan di sini, dan serangkaian diskusi sambil menyeruput kopi, sesekali kami menyinggung karya pemikiran Gatut Kusumo, di antara pergulatan dan pengalamannya tertuang dalam karyanya, Pita Merah di Lengan Kiri.

Roman itu, Pita Merah di Lengan Kiri, secara jelas memang  lahir berdasarkan pengalaman pengarangnya sendiri, terbit ketika usia 53 tahun.  Ia turut dalam perjuangan bersenjata di dalam dan di sekitar kota. Kalau kita perkirakan selesainya naskah roman sebentar sebelum terbitnya pada tahun ini, maka cukup lama waktu yang dibutuhkan Gatut untuk menulis karyanya.

Tapi justru jarak waktu itu telah memberinya kesempatan mengendapkan pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian ia telah sanggup melihat kembali segala sesuatu secara jernih dan lurus –dengan menempatkan kejadian-kejadian pada proporsi yang sebenarnya. Akibatnya, dalam roman ini tidak ada sikap yang menonjolkan kepahlawanan atau semangat perjuangan yang meluap-luap yang bisa membengkokkan gambaran tentang kenyataan yang ada.

Ceritanya pun sederhana: mengenai pelajar-pelajar sekolah menengah yang bergabung pada Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Dengan sukarela mereka melibatkan diri dalam perang gerilya.

Memang, peristiwa di  zaman perjuangan kemerdekaan sudah merupakan sejarah. Penelitian sejarah akan memilih dan mencatat kejadian penting pada masa itu, yang menentukan perkembangan manusia di negeri kita. Pokok perhatian ahli sejarah adalah garis besar perkembangan itu. Sebaliknya, kesusastraan lebih banyak tertarik pada titik-titik yang memungkinkan adanya garis-garis besar itu — yang dalam roman berupa individu-individu yang terlibat dalam kejadian sejarah. Bersama dengan pencatatan sejarah, kesusastraan dapat mengikuti kenyataan secara teliti dan objektif. Ketika mengikuti kejadian, ahli sejarah dituntun oleh tafsirannya tentang sejarah. Sedang pengarang dituntun oleh tafsirannya apakah itu sastra.

Dalam penulisan roman atau cerita pendek, pengarang bisa memperlakukan kejadian-kejadian sebagai bahan belaka untuk menyokong kebenaran wawasan sejarahnya. Atau, ia dapat menurut saja kepada kehendak tokoh ceritanya yang menentukan perkembangan sejarah. Subagio Sastrowardoyo menyebut karya Idrus, sebagai contoh jenis pertama.  Sedang yang kedua kita lihat pada Pita Merah di Lengan Kiri karangan Gatut Kusumo. Kedua buah karya sastra itu mengambil lokasi dan waktu yang boleh dikata sama. Yakni, di Surabaya dan sekitarnya pada saat pasukan Inggris dan kemudian Belanda menyerbu dan menduduki kota pada permulaan revolusi.

Lepas dari karya Gatut Kusumo, kami mengenal Wiek Herwiyatmo, sebagai bagian dari figur “orang-orang pergerakan” itu terus berjalan seiring perkembangan dan denyut nadi masyarakat. Pembelaannya terhadap orang-orang kalah dan dikalahkan di masa kekuasaan tiran Soeharto, dibuktikan dengan aktivitasnya dalam kegiatan sosial: mendiskusikan permasalah, mencari titik temu penyelesaiannya, hingga melakukan advokasi terhadap mereka yang tertindas secara sosial itu.

Juga pembelaannya terhadap kondisi sosial, baik ketika terjadi pembunuhan misterius (Petrus) pada 1980an dan korban-korban dukun santet, empatinya terhadap nilai-nilai hakiki kemanusiaan pun tergugah. Perkenalannya dengan kalangan jurnalis, seperti Peter A. Rohi, Choirul Anam, Yunani Prawiranegara, Gerson Poyk, Aco Manafe, makin membangun pergumulan dan pergaulan luas, dalam menyatakan kegelisahannya terhadap persoalan kemasyarakat dan kemanusiaan.

Surabaya, sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur, menjadi titik sentral perhatian mereka, dalam memahami watak dan perkembangan kota. Di tangan orang-orang “seputaran Gatut Kusumo”,  Surabaya setiap tahun menghadirkan Festival Seni Surabaya, dirayakan sejak 1996. Di ruang publik  itu, merupakan tradisi yang telah dirintis para orang-orang yang peduli terhadap terbukanya ruang-ruang ekspresi kesenian secara terbuka. Penjelahan dalam berkesenian, memperoleh penghargaan yang tinggi, sebagaimana kita memahami nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki: sebuah apresiasi dan keanggunan menawarkan ide-ide imajinatif.

Di tangan orang-orang “seputaran Gatut Kusumo”,  Surabaya setiap tahun menghadirkan Festival Seni Surabaya, dirayakan sejak 1996. Di ruang publik  itu, merupakan tradisi yang telah dirintis para orang-orang yang peduli terhadap terbukanya ruang-ruang ekspresi kesenian secara terbuka.

Festival Seni Surabaya, pernah dianggap sebagai tradisi digelar setiap tahun, memungkinkan kota ini berkembang dengan torehan kreativitas yang ajek, yang diadakan atas dana kepedulian masyarakat — bukan pemerintah semata. Memang, beberapa tahun kemudian, kita mengenal Pekan Kesenian Bali (PKB), Festival Kesenian Yogya (FKY), namun kontinyuitasnya bermasalah, bahkan ada yang terhenti sama sekali.

Kota Surabaya berusia 700 tahun ketika awal keterlibatan seniman dan kalangan intelektual, seperti Kadaruslan, Wiek Herwiyatmo, Wisjnubroto, Peter A. Rohi, Arif Rofiq, Achmad Fauzi,  menggelar perhelatan yang menjadi cikal-bakal Festival Seni Surabaya (FSS). Perhelatan itu, Pekan Seni Surabaya (PSS) 700, yang pembukannya dilakukan olehWalikota Surabaya, dr. H. Poernomo Kasidi pada 31 Mei 1993 di kompleks Balai Pemuda. Ketika itu, jejak kerajaan terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit, tepat pula genap 700 tahun. Saat itu, perhelatan tersebut mampu menyatukan dua kelompok di Surabaya, antara Akademi Seni Rupa Surabaya  (Aksera, yakni orang-orang di seputaran Gatut Kusumo) dan aktivis kesenian Bengkel Muda Surabaya (BMS).

Sastra dan Ibunda. Dalam studi sastra, terdapat pernyataan bahwa manusia, di samping menjadi homo sapiens, homo faber, homo loquens, juga homo fabulans (makhluk bercerita atau makhluk bersastra). Di pangkuan ibu manusia sudah menjadi manusia bersastra.

Spontan saya pun teringat Yusron Aminulloh dan keluarganya. Mereka hidup dan dibesarkan oleh ibundanya, menyusul wafatnya sang ayah di waktu mereka masih kanak. Secangkir kopi yang saya seruput, yang tersisa adalah ampasnya. Tapi, saya membayangkan seorang ibu sedang “bersastra” ketika anak-anak dalam pangkuan ibu dengan syair ini:

Keplok ami-ami

Walang kupu-kupu

Awan maem roti

Bengi mimik susu

Artinya:

Bertepuk telapak tangan

Belalang kupu-kupu

Silang makan roti

Malam minum susu

Ternyata, berkait dengan ibu, saya belajar dari sikap Yusron. Ia begitu menghormati perempuan yang pernah melahirkannya. Menghormati sepenuh jiwanya, yang kini sang ibunda telah menghadap ke Rahmatullah. Memperingati hari kelahiran, saya kira, sekaligus merayakan kehadiran ibunda yang telah melahirkan.

Saya belajar dari Yusron Aminulloh, tentang ibunda. Kehadiran ibunda yang menjadi tenaga sebelum langkah mengawali perubahan. Lewat doa-doa ibunda, restu ibunda, langkah itu memperoleh jalan mudah. Salah satu lokasi di Wonosalam, Jombang, DeDurian, dibangun atas jernih payahnya, tak lepas dari eksistensi perempuan itu. Eksistensi yang selalu hadir, dalam wirid dan doa yang mengiringi denyut nadi kita, sebelum mengambil sikap dan langkah ke arah perubahan.

Yusron Aminulloh adalah laku perubahan itu.

Sambil merasakan sisa-sisa kopi pahit, saya mengingatnya. Mengingat sedikit pengalaman pernah bersentuhan dengan perjalanan hidupnya, meski dari kejauhan. Salamku, ya bos!

Surabaya, 13 Desember 2023.

Riadi Ngasiran
Nahdliyin Journalist cum Historian, tinggal di Surabaya. Menggeluti profesi sebagai Jurnalis dan Penulis. Mulai dari reporter di sebuah harian di Surabaya, hingga Manajer Redaksi di Harian Duta Masyarakat, Redaktur Pelaksana Dumas Magazine dan Pemimpin Redaksi Majalah Nahdlatul Ulama Aula, serta di portal berita online, ngopibareng.id. Kini masih aktif berorganisasi, di lingkungan Nahdlatul Ulama dan kegiatan sosial lainnya: Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PW ISNU) Jawa Timur, dan Kepala Bidang Media-Humas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur. Sebelumnya, pernah aktif berorganisasi, baik profesi maupun sosial keagamaan dan kebudayaan: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), anggota ombudsmen AJI Surabaya; Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama Kota Surabaya (2010 - 2015); Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya (2014-2017); anggota Dewan Kesenian Jawa Timur (sejak 2009 – 2018); Dewan Kesenian Surabaya (Wakil Sekretaris ,1999-2003); Kontributor pemikiran Kelompok Seni Rupa Bermain (1993- 2009); dan Anggota Bengkel Muda Surabaya (1993 – sekarang).