Menu

Monisme Sebuah Film Yang Tidak Biasa

Menonton film Monisme di Festival film terbesar di Indonesia, Jogja-Netpac Asian Film Festival 2023 (JAFF 18th) yang dihadiri lebih dari 20.000 penonton dan Forum Film Dokumenter (@ffdjogja) tahun 2023 di Jogjakarta, tidak pernah terpikir sebelumnya oleh penulis akan mendapatkan sensasi menonton film yang berbeda dari biasanya.

Ulasan film Monisme sendiri sebenarnya sudah banyak kita temukan di berbagai platfom media. Namun demikian, penulis merasa perlu menambahkan beberapa hal, karena masih ada unsur menarik lainnya yang bisa dielaborasi lebih mendalam dari film ini. Menurut penulis, sebagai film hasil karya anak bangsa Indonesia Monisme telah berhasil mendapatkan banyak apresiasi salah satunya dari mengikuti kompetisi di kategori Kompetisi Panjang Internasional di Festival Film Dokumenter 2023. Film yang disutradarai oleh Riar Rizaldi ini, adalah satu-satunya film Indonesia yang masuk dalam sesi “Main competition section”, ( kompetisi utama).

Film Monisme telah mengikuti perjalanan kompetisi panjang di berbagai festival film Internasional di banyak negara, antara lain; Adelaide Film Festival @adlfilmfest, Bucharest International Experimental Film Festival, dan memenangkan Best Feature Film Award @bieff2023, Festival Film Perancis @fidmarseille, UK Festival Film , Open City Documentary Festival@opencitydocs di London, Black Canvas Contemporary Film Festival di kota Mexico @blackcanvasfest, Sao Paulo International Film Festival@mostrasp47th, dan masih terus diputar di manca negara yang lainnya sampai saat ini (2024).

Menariknya menonton film festival adalah adanya kesempatan untuk berdialog dengan kru produksi filmnya, yang digelar setelah menonton film tersebut. Dalam forum itu, beberapa  pertanyaan diajukan oleh penonton dalam konteks memahami cerita. Penonton mengalami kesulitan dalam menangkap cerita antara batas cerita  fiksi yang berdasarkan imajinasi dengan fakta nyata seperti dalam konteks film dokumenter yang menyajikan kejadian kehidupan yang sesungguhnya tentang manusia, tema atau topik tertentu.

Menurut pengalaman penulis, menonton film Monisme sejak awal mengalami sensasi ketegangan yang bisa meningkatkan hormon adrenalin. Seperti sensasi menonton film Batman- “The Dark Knight Rises” di awal cerita yang menyuguhkan penculikan dan pembajakan pesawat yang mematahkan  badan pesawatnya satu per satu di atas udara.

Di awal cerita film Monisme  menampilkan sisi kekerasan yang menonjol seperti adegan kekerasan fisik yang brutal dan di cerita selanjutnya menggambarkan adegan pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok paramiliter yang hidup di seputar kaki Gunung Merapi yang  mencari penghidupan dan keuntungan di situ. Adegan ini digambarkan sangat jahat atau pure evil. Menurut produser film Monisme, B.M Anggana mengatakan bahwa film bukanlah hal yang suci-suci amat. Dalam film Monisme kekerasan memang digambarkan secara keras dan gamblang. Karena  jika kejahatan tersebut digambarkan dengan subtil, narasi yang akan disampaikan tidak akan sampai.

Menurut produser film Monisme, B.M Anggana mengatakan bahwa film bukanlah hal yang suci-suci amat. Dalam film Monisme kekerasan memang digambarkan secara keras dan gamblang. Karena  jika kejahatan tersebut digambarkan dengan subtil, narasi yang akan disampaikan tidak akan sampai.

Diciptakannya adegan kekerasan brutal yang memuncak di tahap permulaan cerita yang dibuat dengan hiperbola itu berhasil membawa suasana mencekam yang memicu emosi penonton dan larut untuk terus mengikuti alur cerita selanjutnya. Walaupun di dalam proses penelitian di lapangan yang sebenarnya, menurut B.M Anggana, mengatakan  tidak ada keterlibatan perempuan.

Dalam diskusi membahas Monisme dengan penonton, B.M Anggana mengatakan memang tidak dimaksudkan membuat sekat antara film fiksi dan dokumenter dan dibiarkan bermain di wilayah bias. Kekerasan yang ditampilkan di film tersebut menurutnya bisa dijadikan semacam refleksi bersama, mengingat kenyataan tentang kekerasan juga bisa terjadi di masyarakat. Adegan pemerkosaan tersebut ingin memberikan gambaran bahwa adanya represi brutal terhadap eksistensi perempuan di lapangan.

Tentang film Monisme, Riar Rizaldi mengatakan kepada penulis sebagia berikut: ” Ide awalnya, karena kami semua yg terlibat dalam film hidup dekat dengan Gunung Merapi, baik yg  memang lahir dan besar di sana maupun yang pendatang (seperti saya) dan hidup di sana”. 

Film Monisme sendiri dalam proses pembuatannya sudah dimulai sejak 2018 dalam pengumpulan datanya di lapangan. Pembuatan konsep film panjang tentang Gunung Merapi baru dilakukan di tahun 2020, yang  memotret Gunung Merapi sebagai protagonis dengan menghadirkan cara pandang dari sisi sains, ekonomi (mata pencaharian) dan spiritualisme secara utuh di areanya. Pengumpulan data yang bersifat sains didapat dari Yulianto pengawas Gunung Merapi di Pos Babadan di Magelang-Jawa Tengah, dan lokasi penambangan pasir di Sleman. Pelibatan grup Jatilan sendiri menurut B.M Anggana  muncul belakangan dan digunakan untuk ditautkan dengan kehidupan spiritualisme yang diyakini oleh masyarakat yang tinggal di seputar kaki Gunung Merapi.

Di perhelatan JAFF18, Monisme akhirnya diputar  di tempat asal film ini dilahirkan dan memenangkan penghargaan Golden Hanoman Award, dengan mendapatkan apresiasi dari para juri yang beranggotakan : Kristy Matheson, Mandy Maharimin dan Park Ki Yong. Berikut adalah kutipan pendapat dari para juri tersebut:

“Monisme is an incredibly assured feature debute. The jury was unanimous in our appreciation of the film; in particular, we admired the bold experimentation and the bravery of its movement between genres and different types of footage. Monisme is a complex story that can only be told through the medium of cinema and heralds a very exciting cinematic voice in contemporary cinema”.

(Monisme adalah sebuah karya debut film panjang yang sangat menjanjikan. Para juri sepakat dalam mengapresiasi film tersebut, pada khususnya, kami mengagumi keberaniannya dalam bereksperimen dan  dalam menggerakkan antara genre-genre dan jenis-jenis footage yang berbeda. Monisme adalah sebuah cerita yang kompleks yang hanya bisa dituturkan  melalui medium sinema, dan dapat menyuarakan gagasan sinematik yang sangat menarik di ranah sinema kontemporer).

Monisme menyajikan tiga cerita  yang merepresentasikan tiga sudut pandang dalam melihat Gunung Merapi seperti yang dikatakan oleh Riar, yaitu dari sains , ekonomi dan spiritual. Semua tokoh utamanya diperankan oleh Rendra Bagus Pamungkas. Rendra Bagus Pamungkas berperan sebagai seorang ilmuwan (geolog) yang sedang meneliti perkembangan aktivitas Gunung Merapi. Dari sudut pandang sisi ekonomi Rendra Bagus Pamungkas memerankan seorang penambang pasir yang mengalami problem seputar penambangan di wilayah Gunung Merapi, dan dari sisi spiritual memerankan tokoh mistik yang menggunakan medium Jathilan (seni Kuda Kepang) dalam mengekspresikan kegiatan spiritualnya yang sudah menjadi bagian dari kehidupan yang bersifat naluriah dan melekat pada kepercayaan masyarakat di wilayah kaki Gunung Merapi.

Karakter- karakter itu mewakili tiga sudut pandang tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam yang direpresentasikan oleh Gunung Merapi. Relasi hidup manusia dalam tiga peran  itu selalu berhadap-hadapan dengan otoritas pemerintah dalam memperlakukan Gunung Merapi. Otoritas ini  diwujudkan dalam bentuk paramiliter yang diperankan tetap oleh Whanidarmawan dan kawan-kawan. Penggarapan jalinan ceritanya berhasil ditampilkan  mengaduk emosi penonton di keseluruhan cerita. Sebuah eksperimen sangat berani dalam menerabas  alur “pakem”. Memberikan pengalaman  pembebasan berimajinasi kepada penonton untuk menikmati alur film di luar kebiasaan.  Alur yang kaitannya  tidak bisa dinalar dengan jelas membawa emosi penonton pada wilayah perbatasan remang-remang yang menegangkan.

Film Monisme berhasil menjadi film eksperimental hybrid. Para juri Hanoman Award memujinya dalam hal keberaniannya mencangkokkan genre- genre dan bermacam jenis footage yg berbeda. Namun demikian, kepada penulis Riar mengatakan bahwa Monisme  bukanlah sebuah genre baru. Kenyataan jalinan cerita dalam film Monisme bisa mengaduk  emosi penonton, memang dikatakan oleh Riar bahwa menurutnya film itu bukan cuma cerita tapi juga perasaan dan pengalaman. “Jadi saya lebih fokus ke dua hal itu dibandingkan ceritanya”, begitu katanya melengkapi.

Film panjang eksperimental garapan Riar Rizaldi yang menghasilkan banyak apresiasi ini bisa menjadi sajian menarik karena memang diramu oleh Riar yang praktik artistiknya menurut ulasan dari Forum Film Dokumenter adalah banyak berfokus pada hubungan antara modal dan teknologi, tenaga kerja dan alam, pandangan dunia, genre sinema, dan potensi fiksi teoretis. Penggarapan pada cerita fiksi dan dokumenter dalam Monisme ini adalah hasil kepiawaian Riar dalam meramu dan menuangkan semua bidang artistiknya tersebut.

Ditilik dari filsafat “Monisme” menurut filsuf Belanda Baruch Spinoza dalam ulasan Morris tentang film Monisme, mengatakan bahwa dunia terdiri dari substansi yang tunggal, dan substansi itu adalalah Tuhan. Kecuali Tuhan seperti yang dituliskan di risalah Etik-nya Spinoza, tidak ada substansi lain atau sesuatu yg dapat dikandung.

Menarik filsafat ini dengan acuan adanya  singularitas sebagai pusat dari semuanya, maka film Monisme karya Riar bisa diparalelkan dengan ide Riar yang mengatakan  bahwa Monisme dibikin dengan konsep semua hal menjadi satu. Dalam artian dunia di  Monisme melebur tidak mengikuti logika film narasi fiksi ataupun dokumenter, di mana karakter itu jelas siapa pemerannya dan apa subyeknya. Dan yang utamanya kecuali Gunung Merapi sebagai peran utama, karakter itu bisa diperankan oleh siapa saja. Yang paling penting, setiap karakter ini merepresentasikan cara pikir mereka terhadap Gunung Merapi.

Pandangan  singularitas Riar dalam filmnya Monisme ini yang menjadikan Gunung Merapi sebagai pusat segalanya dari semua yang berhubungan dengan Gunung Merapi, sudah dinarasikan sejak awal cerita. ”Merapi bukan hanya sekedar bentuk fisik, konsep waktu dan peristiwa yg kita alami sehari-hari semuanya berdasarkan dari perhitungan kapan Merapi erupsi”.

Ditilik dari sisi konsep waktu dan peristiwa yang mengiringinya, Gunung Merapi yg merepresentasikan alam tempat hidup manusia selalu berhadapan dengan semua kepentingan manusia yg hidup di sekelilingnya. Perjalanan waktu telah membawa evolusi kehidupan manusia dari jaman pemburu pengumpul sejak 100-150 tahun yang lalu hingga mencapai abad digital di abad 21, telah menunjukkan bahwa manusia masih gagap dalam menyesuaikan diri dengan perubahan jaman. Mulai dari masa pertanian, revolusi industri, revolusi pengetahuan ilmiah hingga  mengalami kemajuan sains dan teknologi dalam bentuk revolusi kembar digital di bidang teknologi biologi dan teknologi informasi. Lompatan kognitif ini selalu membuat manusia masih gagap dalam menghadapinya sehubungan dengan memepertahankan keberlangsungan hidupnya di bumi. Hubungan manusia dengan alam telah mengalami perubahan drastis dimana manusia tidak lagi merawat ekosistemnya untuk menopang kehidupannya, tapi justru memperlakukan alam cenderung mengekploitasi. Otoritas pemerintah disini sebenarnya diperlukan berperan sebagai pihak stakeholder pengontrolnya, tetapi praktiknya di lapangan justru memprihatinkan. Kasus yang digambarkan oleh penambang dalam cerita di Monisme ini bisa berbicara tentang hal tersebut.

Hubungan manusia dengan alam telah mengalami perubahan drastis dimana manusia tidak lagi merawat ekosistemnya untuk menopang kehidupannya, tapi justru memperlakukan alam cenderung mengekploitasi. Otoritas pemerintah disini sebenarnya diperlukan berperan sebagai pihak stakeholder pengontrolnya, tetapi praktiknya di lapangan justru memprihatinkan. Kasus yang digambarkan oleh penambang dalam cerita di Monisme ini bisa berbicara tentang hal tersebut.

Kemajuan sains dan teknologi di bidang komunikasi dengan adanya Artificial Intelligent perlu diwaspadaidalam memperburuk keadaan di ranah hubungan antara manusia dan alam. Kecenderungan eksploitatif dalam memenuhi tuntutan kemajuan jaman yang selalu berkembang dan membutuhkan sumber daya alam yang besar bisa menjadi ironis. Karena  kemajuan yang pesat di bidang sains dan teknologi itu, justru menghadapkan  manusia pada pertanyaan tentang kelanjutan ekistensinya di alam yang menghidupinya ketika tidak lagi bisa menopang. Hal ini berhubungan dengan populasi di dunia yang menurut Divisi Populasi PBB sudah mencapai 8 miliar pada 15 November 2022. Disinilah perlunya memikirkan manajemen global dalam mencukupi kebutuhan semua manusia yang terus berkembang dengan segala kebutuhannya, sementara alam yng menopangnya adalah tetap dan terbatas.

Seperti yang dikatakan Morris  dalam ulasannya tentang film Monisme untuk FIDMarseille 2023, bahwa “..As the onset of Western rationalism and its imperial enterprise paved the way for a world neatly segmented into its material and spiritual constituents.Where God exists, He does so beyond the purview of the scientific method; where science thrives, similarly, folklore and intuition have little place.”

(Ketika serangan rasionalisme dan institusi bersifat imperialisme Barat sukses mengkotakkan  dunia menjadi komponen material dan spiritual, dimana Tuhan ada, maka Tuhan berada di luar ruang lingkup metode sains; dimana sains tumbuh subur, kondisinya mirip, folklore dan intuisi juga mendapatkan ruang yang sempit).

Monismenya Riar yang menampilkan kompleksitas masalah yang dialami oleh manusia  yang berkorelasi langsung dengan kondisi alam, membutuhkan kesadaran pada penggunaan kecerdasan emosi untuk meyeimbangkan pemikiran yang bersumber pada rasionalitas. Semua kemajuan manusia di bidang sains dan teknologi saat ini telah membawa manusia hidup lebih condong menggunakan kognitif dan  merasionalkan semua aspek kehidupan untuk kemajuan. Penyeimbangan pemikiran dengan kesadaran dalam mengelola hidup bersama dengan manusia lain secara luas, perlu diperhatikan sehubungnan dengan perlakuan manusia kepada alam dalam mencukupi kebutuhannya.

Dunia sains, menurut Karlina Supeli, menerapkan cara berpikir yang sistematis dan bertopang pada pernyataan-pernyataan yang bisa diuji kepada setiap orang yang mau belajar metodenya. Sains menghindari subyektifitas dan bekerja secara obyektif. Dalam film Monime keberadaan sains dihadapkan pada otoritas yang menindas dimana menyiratkan bahwa segala sesuatu yang terukur  belum bisa diterima sebagai cara  hidup dalam masyarakat. Di film Monisme ketika berbicara dari sudut pandang sains maka ditunjukkan cara kerja geolog yang berhubungan dengan metodologi dan alat pengukur seperti seismograf. Ini menyimbolkan  ciri kerja dari sains yang menerapkan metode dengan melakukan observasi data empiris secara obyektif dalam memecahkan masalah.

Sedangkan dari sisi sudut pandang spiritual, manusia yang mempraktekkan hidup mengandalkan intuisi dan keyakinan yang bergantung pada alam, saat ini juga mengalami persoalan ketika dunia berkembang pada ranah rasionalisme. Karena ketika sains yang tumbuh subur maka akan menhghasilkan hubungan yang tidak seimbang antara hidup yang bisa dirasionalisasi dan hidup yang berdasarkan keyakinan dan intuisi.

Menurut teori evolusi manusia yang mencapai seratus ribu sampai seratus limapuluh ribu tahun yang lalu, manusia sebagai species homo sapiens sudah beradaptasi dengan hidup bersama alam sejak masa pemburu pengumpul yang mengandalkan intuisi dan realitas subyektif manusia. Tidak menganggap  realitas obyektif benar dan salah menjadi faktor utama yang dipertimbangkan dalam mengambil tindakan.

Sisi spiritualisme  sebenernya bisa berhubungan dengan bentuk mitigasi bencana yang dimiliki oleh nenek moyang bangsa Indonesia, sebagai ilmu titen dalam bentuk meme. Metode yang digunakan sejak turun temurun dalam bentuk folklor yang bersifat takhayul bagi sains. Folklor dan ilmu titen memang  datanya bersifat kepercayaan atau praktek tentang hal ikhwal yang ada dalam khayalan. Jathilan dalam film Monisme adalah bentuk folklor yang digunakan sebagai representasi spiritual yang di sini digambarkan mendapat tekanan dari otoritas yang menguasai Gunung Merapi.

 Di kawasan Gunung Merapi pernah memiliki sosok Mbah Marijan yang melegenda dalam kesetiaannya mengabdi kepada Gunung Merapi. Mbah Maridjan adalah sosok spiritual yang hidupnya menjaga Gunung Merapi dari semua usaha manusia yang mencoba merusaknya. Mbah Maridjan dan para leluhur sebelumnya yang tinggal di kaki Gunung Merapi membuat sistem mitigasi bencana dalam menjaga Merapi dari pengrusakan manusia dengan menciptakan mitos adanya Eyang Merapi yang marah, dan perlunya memberi penghormatan kepada Merapi.

Mbah Maridjan juga berani menentang otoritas pemerintah terhadap Gunung Merapi ketika  wilayah Merapi dikeruk pasirnya dengan alat berat  atau begho (eskavator), yang baginya ini adalah bentuk eksploitasi terhadap alam Gunung Merapi secara berlebihan. Di tahun 2006, Mbah Maridjan sempat menghimbau kepada para Bupati Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten untuk mengusir bekho-bekho (ekskavator) yang mengeruk pasir Gunung Merapi dan mengatakan bahwa yang akan ikut datang adalah awan panas jika tidak mengusir bekho-bekho itu. Mbah Maridjan mengatakan bahwa Gunung Merapi tidak akan merusak manusia selama manusia tidak merusak sekitar Gunung Merapi. Menurutnya menggunakan alat berat bekho adalah sebagai pantangan karena bisa merusak Jogja.

Demikianlah cara Mbah Maridjan, tokoh spiritual yang mencoba berkontribusi untuk menjaga alam Gunung Merapi dari eksploitasi manusia yang setia mengabdi sampai akhir hayatnya di bawah guguran lava Merapi. “Merapi kuwi sumber banyu lan pangan” (Merapi itu sumber air dan sumber penghidupan), begitu kata mbah Maridjan kepada seorang wartawan yang mewawancarainya.

Di sisi lain Merapi pun bisa menjadi sumber bencana yg pernah menewaskan 353  termasuk Mbah Maridjan dan mengungsikan 320.090 jiwa ditahun 2010 dalam 100 tahun terakhir erupsinya. Bahkan menurut ilmu geologi, Gunung Merapi juga punya potensi bisa menjadi sumber kepunahan semua species dalam lingkup jangkauannya jika belajar dari letusan-letusan dahsyat dari gunung-gunung berapi lainnya di dunia yang pernah terjadi.

Sosok paramiliter yang ditampilkan di film Monisme adalah merepresentasikan semua otoritas yang menguasai Gunung Merapi dan selalu berbenturan dengan semua sisi dari tiga sudut pandang yang merepresentasikan hubungan manusia dengan alam tersebut. Cerita di Monisme adalah mempertontonkan narasi yang membebaskan penonton untuk mencerna dan menyikapinya sendiri.

Sisi menariknya dari film Monisme yaitu adanya pelibatan atau partisipasi masyarakat di sekitar Gunung Merapi untuk ikut serta dalam proses pembuatan filmnya. Bahkan skenarionya dan bentuk penulisannya dibuat bersama oleh masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Merapi. Terobosan mewadahi pendapat masyarakat dalam pembuatan film ini adalah sangat menarik dan menggembirakan. Data foto-foto dan CCTV  juga digunakan dari lokasi Gunung Merapi.

Di acara JAFF18 orang-orang atau masyarakat yang terlibat dalam pembuatan film Monisme yang tinggal di kaki Gunung Merapi juga diundang untuk merayakan kemenangan Golden Hanoman sebagai kemenangan bersama. Karena itulah film Monisme menurut penulis adalah bukan film biasa.

Apresiasi juri yg mengatakan bahwa Monisme adalah film yg menjanjikan dan dapat menyuarakan gagasan sinematik yang sangat menarik di ranah sinema kontemporer, mestinya menjadikan penyemangat dan pemantik kreativitas bagi para sineas Indonesia. Perlunya mengembangkan karya-karyanya dan melakukan terobosan- terobosan melalui karya film dalam memperkuat ekosistem perfilman Indonesia.  Mengingat film bisa digunakan sebagai media perjuangan di bidang kebudayaan dalam memperkenalkan budaya indonesia di dunia.






Pendukung film Monisme

Sutradara: Riar Rizaldi

Kru & Pemain

Perusahaan Produksi: New Pessimism Studio

Producer: B.M Anggana

Main Cast: Rendra Bagus Pamungkas, Kidung Paramadita, Whani Darmawan, Puthut Juritno, Yulianto, Suparno

Naskah Skenario: Orang-orang yang hidup di di bawah kaki Gunung Merapi

Sinematografer: Aditya Krisnawan

Editor: Riar Rizaldi

Pencapaian Penting : Bakat Asia Baru- Sutradara Terbaik|Shanghai Festival Film

Kontak: rizaldiriar@gmail.com

Lama tayang 115 menit|2023|Indonesia, Qatar|Eksperimental|Indonesia, Jawa| Inggris Terjemahan|21+

Negara produksi: Indonesia, Qatar

Diputar di Jaff18 tgl 1 Desember 2023, bioskop Empire,dan gedung ex Bioskop Permata, 6 Desember 2023,



Referensi:

Athallah,Tuffahati. 6 Desember 2023. Seluruh yang Utuh dalam Rekam Nafas Merapi. Diakses 12 Februari 2024 dari https://ffd.or.id>Berita

Bonivasios,Dwi, Tirza Kanya, Vanis. Monisme(2023):Riuh Kisah Magis Yang Tak Gaduh. 2023. FFD|Monisme. Diakses 10 Feb 2024 dari https://ffd.or.id > Film

Guruji,DS Contributor Team. 2024. What is the Difference Between Documentary and Feature Film. Diakses pada 13 Januari 2024 dari disguruji.com

Jendela Ilmu.Darimana Asalnya Otak Spiritual bersama Ryu Hasan dan Abu Marlo.You Tube Video, 1:16:00. 7 Mei 2021. Dari www.youtube.com

Kisah Mbah Maridjan dan 4 Kata Pantangan. 2006.Diakses 9 Februari 2024 dari https://news.detik.com>berita

KPG Book Publisher. Kenali Ragam Akalbudi bersama Ryu Hasan dan Nirwan Ahmad Arsuka|Buka Buku KPG.You Tube Video, 1:59:35. 22 Oktober 2020. Dari  www.youtube.com

Kuliah Umum. Dr. Karlina Supeli: Kuliah Umum Filsafat dari Masyarakat Takhayul, Hingga Matinya Kepakaran. You Tube Video, 1:06:09. 6 Agustus 2021. Dari www.youtube.com

Kumparan.2023. Film Monisme Karya Riar Rizaldi Tayang di SGIFF 2023. Diakses 12 Februari 2024 dari https://m.kumparan.com>kumparanhits

Monisme-18th JAFF|Jogja Netpac Asian Film Festival 2023. Diakses 12 Februari 2024 dari https://jaff.filmfest.org>monisme

Sugianto. 2022.Alasan Mbah Marijan Tidak Mengungsi Saat Gunung Merapi Meletus, Begini Kisahnya. Diakses 10 Februari 2024 dari https://bondowoso.jatimnetwork.com

Trisnanti, Septi Dian. 04/12/ 2023. Monisme Film Terbaik Jogja-Netpac Asian Film Festival 2023. Diakses pada  10  Januari 2024 dari https://infoscreening.co>monisme

Yam, Morris.2023.Film- Monisme- Riar Rizaldi{FIDMARSEILLE’23 Review. Diakses pada 9 Februari 2024 dari https://Inreviewonline.com>monisme
0
448
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.