Ulasan
Secara perlahan, cakrawala sejarah Islam semakin luas. Kajian sejarah Islam tidak lagi terbatas pada wilayah dunia Arab-Persia klasik, melainkan juga merambah zona perbatasan seperti dunia Melayu-Jawa. Dimana ratusan juta umat Islam telah mengamalkan agama ini selama berabad-abad. Di kepulauan ini juga kita menemukan jejak para wali pengembara, para raja berdaulat, serta para ulama yang gigih menyebarkan ajaran agama Islam (misalnya dalam kajian mendalam Naquib al-Attas tentang sufi abad ke-16 dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri, dan kajian A.L. Khan mengenai ratu-ratu Sumatera dalam Sovereign Women In A Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641–1699).
Gambaran lebih komprehensif ditunjukan dalam karya monumental seorang sejarawan besar asal Amerika (1949) M.C Riclefts dalam bukunya Mystic Synthesis In Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the early Nineteenth Centuries,. (EastBridge Norwalk, Connecticut, 2006). Dalam Karya ini, Ricklefs menyuguhkan tinjauan komprehensif tentang proses Islamisasi di Jawa. Sejak abad keempat belas hingga awal abad kesembilan belas, serta bagaimana identitas ke-Jawa-an dan Islam menjadi semakin selaras. Pada permulaan, Ricklefs menggambarkan kondisi Jawa pada tahun 1500-an, ketika identitas Islam dan Jawa masih tampak berlapis dan terpecah-pecah.
Sejak abad keempat belas hingga awal abad kesembilan belas, serta bagaimana identitas ke-Jawa-an dan Islam menjadi semakin selaras. Pada permulaan, Ricklefs menggambarkan kondisi Jawa pada tahun 1500-an, ketika identitas Islam dan Jawa masih tampak berlapis dan terpecah-pecah.
Pada masa itu, kerajaan Hindu-Budha Majapahit, meskipun ragu untuk sepenuhnya menerima agama baru, tetap mengizinkan pemakaman anggota keluarga kerajaan yang Muslim di sekitar wilayahnya, seperti yang terlihat di kompleks makam Troloyo di Jawa Timur. Bab pertama ini membahas bagaimana masyarakat Jawa secara bertahap mulai mengadopsi dan menerima Islam, seraya memisahkan antara doktrin Islam ortodoks dan pandangan dunia Hindu-Buddha tradisional. Penulisan tersebut mempersiapkan babak baru di Jawa, memungkinkan para penguasa untuk tidak hanya menerima Islam, tetapi juga menjadi pelopor utama Islamisasi di tanah Jawa.
Lalu Sultan Agung menyelaraskan pandangan bahwa menjadi Muslim dan Jawa bukanlah hal yang bertentangan, dan dia berperan sebagai pengharmoni kedua identitas tersebut. Tercatat sebagai raja sufi sepanjang pemerintahannya yang berlangsung tiga puluh tahun (1613-1646), Agung, menurut “seorang Eropa yang mengunjungi istana” (hlm. 32), dilihat sebagai Muslim yang taat. Pada saat yang sama, babad Jawa menampilkan Sultan Agung sebagai sosok yang mengikuti ritual-ritual tradisional, termasuk pernikahan mistik dengan Ratu Kidul (hlm. 35). Pada tahun 1633, Sultan Agung mengunjungi makam seorang sufi di Tembayat, Jawa Tengah, yang wilayahnya sempat menolak kedaulatan Sultan. Kunjungan ini menghasilkan penciptaan kalender baru yang menggabungkan kalender lunar Islam dengan kalender Saka Jawa, suatu langkah simbolis yang menunjukkan sinkretisme identitas Jawa dan Islam. Sultan Agung baru mengadopsi gelar ‘Sultan’ beberapa tahun sebelum wafatnya, tetapi warisannya tetap dikenang sebagai raja ideal yang menjadi panutan bagi raja-raja Jawa berikutnya. Semua itu digambarkan dengan cukup dan baik oleh Ricklefs pada bab kedua dalam buku ini.
Sedangkan dalam bab ketiga, Ricklefs mengeksplorasi pemerintahan Amangkurat I. Penguasa yang dikenal karena kekejamannya itu, membuat para duta Belanda bingung dengan caranya memerintah, di mana “orang tua dibunuh untuk memberi tempat kepada yang muda” (hlm. 55). Amangkurat I, setelah menghadapi upaya kudeta pada tahun 1647, memerintahkan pembunuhan massal terhadap sekitar dua ribu pemimpin agama Islam beserta keluarga mereka. Ricklefs berpendapat bahwa tindakan-tindakan tersebut menggambarkan keadaan mental yang tidak stabil pada diri Amangkurat I, yang bahkan meninggalkan mayat istrinya tanpa dikuburkan sementara membiarkan para pelayan kelaparan hingga mati (hlm. 58). Bab ini juga membahas Perang Saudara antara kaum Muslim dan non-Muslim pada tahun 1670-an, serta hubungan kompleks antara Amangkurat II dan VOC. Amangkurat II dituduh berpihak pada “kafir” Kristen karena dukungan VOC, yang memicu pemberontakan dari kaum Muslim Jawa yang menyerukan jihad terhadapnya.
Selanjutnya Ricklefs menguraikan ketegangan yang terus berlanjut antara kaum elit istana Jawa dan rakyat dalam menghadapi VOC. Pada bab empat ini, digambarkan para bangsawan dan masyarakat luas sepakat bahwa kehidupan yang religius tak mungkin berjalan selaras dengan kedekatan terhadap VOC Belanda (hlm. 72). Setelah kematian Amangkurat II, perselisihan antara Amangkurat III dan pamannya membawa kerajaan Kartasura dalam situasi krisis. Intervensi VOC memperpanjang konflik ini hingga puncaknya pada tahun 1705, ketika Pakubuwana I diangkat sebagai penguasa oleh dukungan VOC. Penerus Pakubuwana I, Amangkurat IV, yang melanjutkan kedekatan kerajaan dengan VOC, dicatat sebagai raja yang paling dibenci, bahkan disebut sebagai “maharaja yang telah ditinggalkan rakyatnya dan memiliki hampir seluruh Jawa sebagai musuhnya” (hlm. 93).
Sementara itu, ibunya, Ratu Pakubuwono, secara rahasia menentang kedekatan tersebut dan diawasi ketat oleh VOC. Peran Ratu Pakubuwana dalam upaya menyelaraskan identitas Jawa dan Islam sangatlah penting. Dalam bab lima ini, sang ratu mencoba membentuk cucunya menjadi seorang raja sufi yang saleh (hlm. 103). Melalui sastra sufi, ia berupaya menyebarkan Islam di kalangan istana. Namun, cita-citanya menjadikan cucunya sebagai Sultan Agung baru ternyata tidak berhasil. “Buku-buku karya Ratu Pakubuwana gagal mencapai tujuannya untuk menjadikan pemerintahan Pakubuwana II ideal” (hlm. 142). Lalu dalam bab enam menguraikan diskusi di Jawa tentang gaya Islam yang ideal untuk diikuti, dan berujung pada identitas sintesis yang menyatakan bahwa menjadi Jawa dan Muslim bukan lagi hal yang saling bertentangan.
Beberapa istilah penting dalam karya ini, seperti ‘Islamisasi’ dan ‘sintesis mistik’, seharusnya didefinisikan secara lebih jelas agar pembaca mendapatkan kejelasan mengenai proses Islamisasi yang dimaksud. Hal ini relevan karena proses tersebut dapat berbeda dengan konsep Islamisasi dalam pemahaman para sarjana Islam kontemporer (lihat Syed Naquib al-Attas Islam and Secularism, Ismail Faruqi Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, dan Wan Mohd Nor Wan Daud The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Kendati demikian, buku ini tetap berhasil menggambarkan proses Islamisasi di Jawa dengan cermat dan mendalam. Bagi para mahasiswa sejarah Jawa dan kajian Islam, Mystic Synthesis karya Ricklefs adalah sumber yang amat berharga untuk memahami perkembangan sejarah Islam di Jawa. Dengan menggunakan manuskrip Jawa yang luas, Ricklefs telah berhasil mengangkat narasi sejarah ini dari sekadar cerita lama orientalis kolonial menjadi kisah yang hidup dan relevan untuk generasi sarjana sejarah yang akan datang.
Menonton film Monisme di Festival film terbesar di Indonesia, Jogja-Netpac Asian Film Festival 2023 (JAFF 18th) yang dihadiri lebih dari 20.000 penonton dan Forum Film Dokumenter (@ffdjogja) tahun 2023 di Jogjakarta, tidak pernah terpikir sebelumnya oleh penulis akan mendapatkan sensasi menonton film yang berbeda dari biasanya.
Ulasan film Monisme sendiri sebenarnya sudah banyak kita temukan di berbagai platfom media. Namun demikian, penulis merasa perlu menambahkan beberapa hal, karena masih ada unsur menarik lainnya yang bisa dielaborasi lebih mendalam dari film ini. Menurut penulis, sebagai film hasil karya anak bangsa Indonesia Monisme telah berhasil mendapatkan banyak apresiasi salah satunya dari mengikuti kompetisi di kategori Kompetisi Panjang Internasional di Festival Film Dokumenter 2023. Film yang disutradarai oleh Riar Rizaldi ini, adalah satu-satunya film Indonesia yang masuk dalam sesi “Main competition section”, ( kompetisi utama).
Film Monisme telah mengikuti perjalanan kompetisi panjang di berbagai festival film Internasional di banyak negara, antara lain; Adelaide Film Festival @adlfilmfest, Bucharest International Experimental Film Festival, dan memenangkan Best Feature Film Award @bieff2023, Festival Film Perancis @fidmarseille, UK Festival Film , Open City Documentary Festival@opencitydocs di London, Black Canvas Contemporary Film Festival di kota Mexico @blackcanvasfest, Sao Paulo International Film Festival@mostrasp47th, dan masih terus diputar di manca negara yang lainnya sampai saat ini (2024).
Menariknya menonton film festival adalah adanya kesempatan untuk berdialog dengan kru produksi filmnya, yang digelar setelah menonton film tersebut. Dalam forum itu, beberapa pertanyaan diajukan oleh penonton dalam konteks memahami cerita. Penonton mengalami kesulitan dalam menangkap cerita antara batas cerita fiksi yang berdasarkan imajinasi dengan fakta nyata seperti dalam konteks film dokumenter yang menyajikan kejadian kehidupan yang sesungguhnya tentang manusia, tema atau topik tertentu.
Menurut pengalaman penulis, menonton film Monisme sejak awal mengalami sensasi ketegangan yang bisa meningkatkan hormon adrenalin. Seperti sensasi menonton film Batman- “The Dark Knight Rises” di awal cerita yang menyuguhkan penculikan dan pembajakan pesawat yang mematahkan badan pesawatnya satu per satu di atas udara.
Di awal cerita film Monisme menampilkan sisi kekerasan yang menonjol seperti adegan kekerasan fisik yang brutal dan di cerita selanjutnya menggambarkan adegan pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok paramiliter yang hidup di seputar kaki Gunung Merapi yang mencari penghidupan dan keuntungan di situ. Adegan ini digambarkan sangat jahat atau pure evil. Menurut produser film Monisme, B.M Anggana mengatakan bahwa film bukanlah hal yang suci-suci amat. Dalam film Monisme kekerasan memang digambarkan secara keras dan gamblang. Karena jika kejahatan tersebut digambarkan dengan subtil, narasi yang akan disampaikan tidak akan sampai.
Menurut produser film Monisme, B.M Anggana mengatakan bahwa film bukanlah hal yang suci-suci amat. Dalam film Monisme kekerasan memang digambarkan secara keras dan gamblang. Karena jika kejahatan tersebut digambarkan dengan subtil, narasi yang akan disampaikan tidak akan sampai.
Diciptakannya adegan kekerasan brutal yang memuncak di tahap permulaan cerita yang dibuat dengan hiperbola itu berhasil membawa suasana mencekam yang memicu emosi penonton dan larut untuk terus mengikuti alur cerita selanjutnya. Walaupun di dalam proses penelitian di lapangan yang sebenarnya, menurut B.M Anggana, mengatakan tidak ada keterlibatan perempuan.
Dalam diskusi membahas Monisme dengan penonton, B.M Anggana mengatakan memang tidak dimaksudkan membuat sekat antara film fiksi dan dokumenter dan dibiarkan bermain di wilayah bias. Kekerasan yang ditampilkan di film tersebut menurutnya bisa dijadikan semacam refleksi bersama, mengingat kenyataan tentang kekerasan juga bisa terjadi di masyarakat. Adegan pemerkosaan tersebut ingin memberikan gambaran bahwa adanya represi brutal terhadap eksistensi perempuan di lapangan.
Tentang film Monisme, Riar Rizaldi mengatakan kepada penulis sebagia berikut: ” Ide awalnya, karena kami semua yg terlibat dalam film hidup dekat dengan Gunung Merapi, baik yg memang lahir dan besar di sana maupun yang pendatang (seperti saya) dan hidup di sana”.
Film Monisme sendiri dalam proses pembuatannya sudah dimulai sejak 2018 dalam pengumpulan datanya di lapangan. Pembuatan konsep film panjang tentang Gunung Merapi baru dilakukan di tahun 2020, yang memotret Gunung Merapi sebagai protagonis dengan menghadirkan cara pandang dari sisi sains, ekonomi (mata pencaharian) dan spiritualisme secara utuh di areanya. Pengumpulan data yang bersifat sains didapat dari Yulianto pengawas Gunung Merapi di Pos Babadan di Magelang-Jawa Tengah, dan lokasi penambangan pasir di Sleman. Pelibatan grup Jatilan sendiri menurut B.M Anggana muncul belakangan dan digunakan untuk ditautkan dengan kehidupan spiritualisme yang diyakini oleh masyarakat yang tinggal di seputar kaki Gunung Merapi.
Di perhelatan JAFF18, Monisme akhirnya diputar di tempat asal film ini dilahirkan dan memenangkan penghargaan Golden Hanoman Award, dengan mendapatkan apresiasi dari para juri yang beranggotakan : Kristy Matheson, Mandy Maharimin dan Park Ki Yong. Berikut adalah kutipan pendapat dari para juri tersebut:
“Monisme is an incredibly assured feature debute. The jury was unanimous in our appreciation of the film; in particular, we admired the bold experimentation and the bravery of its movement between genres and different types of footage. Monisme is a complex story that can only be told through the medium of cinema and heralds a very exciting cinematic voice in contemporary cinema”.
(Monisme adalah sebuah karya debut film panjang yang sangat menjanjikan. Para juri sepakat dalam mengapresiasi film tersebut, pada khususnya, kami mengagumi keberaniannya dalam bereksperimen dan dalam menggerakkan antara genre-genre dan jenis-jenis footage yang berbeda. Monisme adalah sebuah cerita yang kompleks yang hanya bisa dituturkan melalui medium sinema, dan dapat menyuarakan gagasan sinematik yang sangat menarik di ranah sinema kontemporer).
Monisme menyajikan tiga cerita yang merepresentasikan tiga sudut pandang dalam melihat Gunung Merapi seperti yang dikatakan oleh Riar, yaitu dari sains , ekonomi dan spiritual. Semua tokoh utamanya diperankan oleh Rendra Bagus Pamungkas. Rendra Bagus Pamungkas berperan sebagai seorang ilmuwan (geolog) yang sedang meneliti perkembangan aktivitas Gunung Merapi. Dari sudut pandang sisi ekonomi Rendra Bagus Pamungkas memerankan seorang penambang pasir yang mengalami problem seputar penambangan di wilayah Gunung Merapi, dan dari sisi spiritual memerankan tokoh mistik yang menggunakan medium Jathilan (seni Kuda Kepang) dalam mengekspresikan kegiatan spiritualnya yang sudah menjadi bagian dari kehidupan yang bersifat naluriah dan melekat pada kepercayaan masyarakat di wilayah kaki Gunung Merapi.
Karakter- karakter itu mewakili tiga sudut pandang tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam yang direpresentasikan oleh Gunung Merapi. Relasi hidup manusia dalam tiga peran itu selalu berhadap-hadapan dengan otoritas pemerintah dalam memperlakukan Gunung Merapi. Otoritas ini diwujudkan dalam bentuk paramiliter yang diperankan tetap oleh Whanidarmawan dan kawan-kawan. Penggarapan jalinan ceritanya berhasil ditampilkan mengaduk emosi penonton di keseluruhan cerita. Sebuah eksperimen sangat berani dalam menerabas alur “pakem”. Memberikan pengalaman pembebasan berimajinasi kepada penonton untuk menikmati alur film di luar kebiasaan. Alur yang kaitannya tidak bisa dinalar dengan jelas membawa emosi penonton pada wilayah perbatasan remang-remang yang menegangkan.
Film Monisme berhasil menjadi film eksperimental hybrid. Para juri Hanoman Award memujinya dalam hal keberaniannya mencangkokkan genre- genre dan bermacam jenis footage yg berbeda. Namun demikian, kepada penulis Riar mengatakan bahwa Monisme bukanlah sebuah genre baru. Kenyataan jalinan cerita dalam film Monisme bisa mengaduk emosi penonton, memang dikatakan oleh Riar bahwa menurutnya film itu bukan cuma cerita tapi juga perasaan dan pengalaman. “Jadi saya lebih fokus ke dua hal itu dibandingkan ceritanya”, begitu katanya melengkapi.
Film panjang eksperimental garapan Riar Rizaldi yang menghasilkan banyak apresiasi ini bisa menjadi sajian menarik karena memang diramu oleh Riar yang praktik artistiknya menurut ulasan dari Forum Film Dokumenter adalah banyak berfokus pada hubungan antara modal dan teknologi, tenaga kerja dan alam, pandangan dunia, genre sinema, dan potensi fiksi teoretis. Penggarapan pada cerita fiksi dan dokumenter dalam Monisme ini adalah hasil kepiawaian Riar dalam meramu dan menuangkan semua bidang artistiknya tersebut.
Ditilik dari filsafat “Monisme” menurut filsuf Belanda Baruch Spinoza dalam ulasan Morris tentang film Monisme, mengatakan bahwa dunia terdiri dari substansi yang tunggal, dan substansi itu adalalah Tuhan. Kecuali Tuhan seperti yang dituliskan di risalah Etik-nya Spinoza, tidak ada substansi lain atau sesuatu yg dapat dikandung.
Menarik filsafat ini dengan acuan adanya singularitas sebagai pusat dari semuanya, maka film Monisme karya Riar bisa diparalelkan dengan ide Riar yang mengatakan bahwa Monisme dibikin dengan konsep semua hal menjadi satu. Dalam artian dunia di Monisme melebur tidak mengikuti logika film narasi fiksi ataupun dokumenter, di mana karakter itu jelas siapa pemerannya dan apa subyeknya. Dan yang utamanya kecuali Gunung Merapi sebagai peran utama, karakter itu bisa diperankan oleh siapa saja. Yang paling penting, setiap karakter ini merepresentasikan cara pikir mereka terhadap Gunung Merapi.
Pandangan singularitas Riar dalam filmnya Monisme ini yang menjadikan Gunung Merapi sebagai pusat segalanya dari semua yang berhubungan dengan Gunung Merapi, sudah dinarasikan sejak awal cerita. ”Merapi bukan hanya sekedar bentuk fisik, konsep waktu dan peristiwa yg kita alami sehari-hari semuanya berdasarkan dari perhitungan kapan Merapi erupsi”.
Ditilik dari sisi konsep waktu dan peristiwa yang mengiringinya, Gunung Merapi yg merepresentasikan alam tempat hidup manusia selalu berhadapan dengan semua kepentingan manusia yg hidup di sekelilingnya. Perjalanan waktu telah membawa evolusi kehidupan manusia dari jaman pemburu pengumpul sejak 100-150 tahun yang lalu hingga mencapai abad digital di abad 21, telah menunjukkan bahwa manusia masih gagap dalam menyesuaikan diri dengan perubahan jaman. Mulai dari masa pertanian, revolusi industri, revolusi pengetahuan ilmiah hingga mengalami kemajuan sains dan teknologi dalam bentuk revolusi kembar digital di bidang teknologi biologi dan teknologi informasi. Lompatan kognitif ini selalu membuat manusia masih gagap dalam menghadapinya sehubungan dengan memepertahankan keberlangsungan hidupnya di bumi. Hubungan manusia dengan alam telah mengalami perubahan drastis dimana manusia tidak lagi merawat ekosistemnya untuk menopang kehidupannya, tapi justru memperlakukan alam cenderung mengekploitasi. Otoritas pemerintah disini sebenarnya diperlukan berperan sebagai pihak stakeholder pengontrolnya, tetapi praktiknya di lapangan justru memprihatinkan. Kasus yang digambarkan oleh penambang dalam cerita di Monisme ini bisa berbicara tentang hal tersebut.
Hubungan manusia dengan alam telah mengalami perubahan drastis dimana manusia tidak lagi merawat ekosistemnya untuk menopang kehidupannya, tapi justru memperlakukan alam cenderung mengekploitasi. Otoritas pemerintah disini sebenarnya diperlukan berperan sebagai pihak stakeholder pengontrolnya, tetapi praktiknya di lapangan justru memprihatinkan. Kasus yang digambarkan oleh penambang dalam cerita di Monisme ini bisa berbicara tentang hal tersebut.
Kemajuan sains dan teknologi di bidang komunikasi dengan adanya Artificial Intelligent perlu diwaspadaidalam memperburuk keadaan di ranah hubungan antara manusia dan alam. Kecenderungan eksploitatif dalam memenuhi tuntutan kemajuan jaman yang selalu berkembang dan membutuhkan sumber daya alam yang besar bisa menjadi ironis. Karena kemajuan yang pesat di bidang sains dan teknologi itu, justru menghadapkan manusia pada pertanyaan tentang kelanjutan ekistensinya di alam yang menghidupinya ketika tidak lagi bisa menopang. Hal ini berhubungan dengan populasi di dunia yang menurut Divisi Populasi PBB sudah mencapai 8 miliar pada 15 November 2022. Disinilah perlunya memikirkan manajemen global dalam mencukupi kebutuhan semua manusia yang terus berkembang dengan segala kebutuhannya, sementara alam yng menopangnya adalah tetap dan terbatas.
Seperti yang dikatakan Morris dalam ulasannya tentang film Monisme untuk FIDMarseille 2023, bahwa “..As the onset of Western rationalism and its imperial enterprise paved the way for a world neatly segmented into its material and spiritual constituents.Where God exists, He does so beyond the purview of the scientific method; where science thrives, similarly, folklore and intuition have little place.”
(Ketika serangan rasionalisme dan institusi bersifat imperialisme Barat sukses mengkotakkan dunia menjadi komponen material dan spiritual, dimana Tuhan ada, maka Tuhan berada di luar ruang lingkup metode sains; dimana sains tumbuh subur, kondisinya mirip, folklore dan intuisi juga mendapatkan ruang yang sempit).
Monismenya Riar yang menampilkan kompleksitas masalah yang dialami oleh manusia yang berkorelasi langsung dengan kondisi alam, membutuhkan kesadaran pada penggunaan kecerdasan emosi untuk meyeimbangkan pemikiran yang bersumber pada rasionalitas. Semua kemajuan manusia di bidang sains dan teknologi saat ini telah membawa manusia hidup lebih condong menggunakan kognitif dan merasionalkan semua aspek kehidupan untuk kemajuan. Penyeimbangan pemikiran dengan kesadaran dalam mengelola hidup bersama dengan manusia lain secara luas, perlu diperhatikan sehubungnan dengan perlakuan manusia kepada alam dalam mencukupi kebutuhannya.
Dunia sains, menurut Karlina Supeli, menerapkan cara berpikir yang sistematis dan bertopang pada pernyataan-pernyataan yang bisa diuji kepada setiap orang yang mau belajar metodenya. Sains menghindari subyektifitas dan bekerja secara obyektif. Dalam film Monime keberadaan sains dihadapkan pada otoritas yang menindas dimana menyiratkan bahwa segala sesuatu yang terukur belum bisa diterima sebagai cara hidup dalam masyarakat. Di film Monisme ketika berbicara dari sudut pandang sains maka ditunjukkan cara kerja geolog yang berhubungan dengan metodologi dan alat pengukur seperti seismograf. Ini menyimbolkan ciri kerja dari sains yang menerapkan metode dengan melakukan observasi data empiris secara obyektif dalam memecahkan masalah.
Sedangkan dari sisi sudut pandang spiritual, manusia yang mempraktekkan hidup mengandalkan intuisi dan keyakinan yang bergantung pada alam, saat ini juga mengalami persoalan ketika dunia berkembang pada ranah rasionalisme. Karena ketika sains yang tumbuh subur maka akan menhghasilkan hubungan yang tidak seimbang antara hidup yang bisa dirasionalisasi dan hidup yang berdasarkan keyakinan dan intuisi.
Menurut teori evolusi manusia yang mencapai seratus ribu sampai seratus limapuluh ribu tahun yang lalu, manusia sebagai species homo sapiens sudah beradaptasi dengan hidup bersama alam sejak masa pemburu pengumpul yang mengandalkan intuisi dan realitas subyektif manusia. Tidak menganggap realitas obyektif benar dan salah menjadi faktor utama yang dipertimbangkan dalam mengambil tindakan.
Sisi spiritualisme sebenernya bisa berhubungan dengan bentuk mitigasi bencana yang dimiliki oleh nenek moyang bangsa Indonesia, sebagai ilmu titen dalam bentuk meme. Metode yang digunakan sejak turun temurun dalam bentuk folklor yang bersifat takhayul bagi sains. Folklor dan ilmu titen memang datanya bersifat kepercayaan atau praktek tentang hal ikhwal yang ada dalam khayalan. Jathilan dalam film Monisme adalah bentuk folklor yang digunakan sebagai representasi spiritual yang di sini digambarkan mendapat tekanan dari otoritas yang menguasai Gunung Merapi.
Di kawasan Gunung Merapi pernah memiliki sosok Mbah Marijan yang melegenda dalam kesetiaannya mengabdi kepada Gunung Merapi. Mbah Maridjan adalah sosok spiritual yang hidupnya menjaga Gunung Merapi dari semua usaha manusia yang mencoba merusaknya. Mbah Maridjan dan para leluhur sebelumnya yang tinggal di kaki Gunung Merapi membuat sistem mitigasi bencana dalam menjaga Merapi dari pengrusakan manusia dengan menciptakan mitos adanya Eyang Merapi yang marah, dan perlunya memberi penghormatan kepada Merapi.
Mbah Maridjan juga berani menentang otoritas pemerintah terhadap Gunung Merapi ketika wilayah Merapi dikeruk pasirnya dengan alat berat atau begho (eskavator), yang baginya ini adalah bentuk eksploitasi terhadap alam Gunung Merapi secara berlebihan. Di tahun 2006, Mbah Maridjan sempat menghimbau kepada para Bupati Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten untuk mengusir bekho-bekho (ekskavator) yang mengeruk pasir Gunung Merapi dan mengatakan bahwa yang akan ikut datang adalah awan panas jika tidak mengusir bekho-bekho itu. Mbah Maridjan mengatakan bahwa Gunung Merapi tidak akan merusak manusia selama manusia tidak merusak sekitar Gunung Merapi. Menurutnya menggunakan alat berat bekho adalah sebagai pantangan karena bisa merusak Jogja.
Demikianlah cara Mbah Maridjan, tokoh spiritual yang mencoba berkontribusi untuk menjaga alam Gunung Merapi dari eksploitasi manusia yang setia mengabdi sampai akhir hayatnya di bawah guguran lava Merapi. “Merapi kuwi sumber banyu lan pangan” (Merapi itu sumber air dan sumber penghidupan), begitu kata mbah Maridjan kepada seorang wartawan yang mewawancarainya.
Di sisi lain Merapi pun bisa menjadi sumber bencana yg pernah menewaskan 353 termasuk Mbah Maridjan dan mengungsikan 320.090 jiwa ditahun 2010 dalam 100 tahun terakhir erupsinya. Bahkan menurut ilmu geologi, Gunung Merapi juga punya potensi bisa menjadi sumber kepunahan semua species dalam lingkup jangkauannya jika belajar dari letusan-letusan dahsyat dari gunung-gunung berapi lainnya di dunia yang pernah terjadi.
Sosok paramiliter yang ditampilkan di film Monisme adalah merepresentasikan semua otoritas yang menguasai Gunung Merapi dan selalu berbenturan dengan semua sisi dari tiga sudut pandang yang merepresentasikan hubungan manusia dengan alam tersebut. Cerita di Monisme adalah mempertontonkan narasi yang membebaskan penonton untuk mencerna dan menyikapinya sendiri.
Sisi menariknya dari film Monisme yaitu adanya pelibatan atau partisipasi masyarakat di sekitar Gunung Merapi untuk ikut serta dalam proses pembuatan filmnya. Bahkan skenarionya dan bentuk penulisannya dibuat bersama oleh masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Merapi. Terobosan mewadahi pendapat masyarakat dalam pembuatan film ini adalah sangat menarik dan menggembirakan. Data foto-foto dan CCTV juga digunakan dari lokasi Gunung Merapi.
Di acara JAFF18 orang-orang atau masyarakat yang terlibat dalam pembuatan film Monisme yang tinggal di kaki Gunung Merapi juga diundang untuk merayakan kemenangan Golden Hanoman sebagai kemenangan bersama. Karena itulah film Monisme menurut penulis adalah bukan film biasa.
Apresiasi juri yg mengatakan bahwa Monisme adalah film yg menjanjikan dan dapat menyuarakan gagasan sinematik yang sangat menarik di ranah sinema kontemporer, mestinya menjadikan penyemangat dan pemantik kreativitas bagi para sineas Indonesia. Perlunya mengembangkan karya-karyanya dan melakukan terobosan- terobosan melalui karya film dalam memperkuat ekosistem perfilman Indonesia. Mengingat film bisa digunakan sebagai media perjuangan di bidang kebudayaan dalam memperkenalkan budaya indonesia di dunia.
Pendukung film Monisme Sutradara: Riar Rizaldi Kru & Pemain Perusahaan Produksi: New Pessimism Studio Producer: B.M Anggana Main Cast: Rendra Bagus Pamungkas, Kidung Paramadita, Whani Darmawan, Puthut Juritno, Yulianto, Suparno Naskah Skenario: Orang-orang yang hidup di di bawah kaki Gunung Merapi Sinematografer: Aditya Krisnawan Editor: Riar Rizaldi Pencapaian Penting : Bakat Asia Baru- Sutradara Terbaik|Shanghai Festival Film Kontak: rizaldiriar@gmail.com Lama tayang 115 menit|2023|Indonesia, Qatar|Eksperimental|Indonesia, Jawa| Inggris Terjemahan|21+ Negara produksi: Indonesia, Qatar Diputar di Jaff18 tgl 1 Desember 2023, bioskop Empire,dan gedung ex Bioskop Permata, 6 Desember 2023, Referensi: Athallah,Tuffahati. 6 Desember 2023. Seluruh yang Utuh dalam Rekam Nafas Merapi. Diakses 12 Februari 2024 dari https://ffd.or.id>Berita Bonivasios,Dwi, Tirza Kanya, Vanis. Monisme(2023):Riuh Kisah Magis Yang Tak Gaduh. 2023. FFD|Monisme. Diakses 10 Feb 2024 dari https://ffd.or.id > Film Guruji,DS Contributor Team. 2024. What is the Difference Between Documentary and Feature Film. Diakses pada 13 Januari 2024 dari disguruji.com Jendela Ilmu.Darimana Asalnya Otak Spiritual bersama Ryu Hasan dan Abu Marlo.You Tube Video, 1:16:00. 7 Mei 2021. Dari www.youtube.com Kisah Mbah Maridjan dan 4 Kata Pantangan. 2006.Diakses 9 Februari 2024 dari https://news.detik.com>berita KPG Book Publisher. Kenali Ragam Akalbudi bersama Ryu Hasan dan Nirwan Ahmad Arsuka|Buka Buku KPG.You Tube Video, 1:59:35. 22 Oktober 2020. Dari www.youtube.com Kuliah Umum. Dr. Karlina Supeli: Kuliah Umum Filsafat dari Masyarakat Takhayul, Hingga Matinya Kepakaran. You Tube Video, 1:06:09. 6 Agustus 2021. Dari www.youtube.com Kumparan.2023. Film Monisme Karya Riar Rizaldi Tayang di SGIFF 2023. Diakses 12 Februari 2024 dari https://m.kumparan.com>kumparanhits Monisme-18th JAFF|Jogja Netpac Asian Film Festival 2023. Diakses 12 Februari 2024 dari https://jaff.filmfest.org>monisme Sugianto. 2022.Alasan Mbah Marijan Tidak Mengungsi Saat Gunung Merapi Meletus, Begini Kisahnya. Diakses 10 Februari 2024 dari https://bondowoso.jatimnetwork.com Trisnanti, Septi Dian. 04/12/ 2023. Monisme Film Terbaik Jogja-Netpac Asian Film Festival 2023. Diakses pada 10 Januari 2024 dari https://infoscreening.co>monisme Yam, Morris.2023.Film- Monisme- Riar Rizaldi{FIDMARSEILLE’23 Review. Diakses pada 9 Februari 2024 dari https://Inreviewonline.com>monisme
Seorang ilmuwan ahli vulkanologi datang untuk mempelajari aktivitas Gunung merapi. Ia dengan sungguh mencari tahu apakah mungkin, Gunung Merapi bisa menjadi titik akhir kehidupan manusia, layaknya Gunung Toba. Lalu seorang seniman perempuan pembuat Film mencari tahu bagaimana eksploitasi lingkungan berjalan dengan tambang pasir yang menjadi tumpuan hidup warga di sana. Kehidupan di sekitar merapi terus bergulir, kepercayaan ruhani masyarakat atas berbagai mitologi yang terus membayangi mereka juga terus hidup dan dihidupi. Begitulah film monisme akhirnya hadir dan tayang perdana di Jogja Asian Film Festival JAFF (2/12), Yogyakarta, setelah hampir setahun film garapan Riar Rizaldi ini menyambangi berbagai festival film internasional di berbagai negara.
Film Monisme diawali dari adegan pembantaian seorang manusia yang diseret ke tengah hutan dengan tali menjerat leher dengan kepala tertutup oleh para preman. Mereka para preman, dengan nada kasar agak senonoh dan penuh intimidasi itu lalu menggantungkan tali yang mengikat leher korban ke dahan pohon besar. Tanpa pikir panjang bos dari preman yang tampak tidak sabar, melayangkan batu besar dengan brutal ke kepala korban. Dan nyawa korban itu akhirnya melayang.
Gambar guguran lava Gunung Merapi tampak begitu dekat membawa penonton ke adegan selanjutnya. Teknik pengambilan gambar yang cukup untuk memotret gunung yang mempunyai ketinggian 2,910 itu, membuat penonton hanyut di dalamnya. Tampaknya Riar Rizaldi ingin membawa penonton pada eksperiens visual stratovolcano disertai audio yang dibuat mencekam lagi menggelegar. Entah kenapa, pada saat itu saya hanyut pada visual dan audio Merapi yang dipertontonkan, saya kemudian teringat pada letusan Merapi pada tahun 2010 yang mencekam itu. Waktu itu saya belum terlalu dewasa, tetapi melalui sepenggal adegan awal film ini saya jadi merasakan bagaimana kedigdayaan Merapi saat meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya.
Film feature panjang yang disutradarai oleh Riar Rizaldi dengan produser BM Anggana ini memang menjadi debut pertama mereka berdua. Dengan bentuk film eksperimental, Riar mencoba menggabungkan gagasan antara film dokumenter dengan fiksi dan fiksi yang dokumenter. Sehingga komposisi fakta yang digali dari pengalaman subyek masyarakat sekitar ditambah dengan upaya observasi yang mendalam, dijadikan Riar sebagai bangunan cerita dalam film ini. Dari hal itulah kemudian fiksi terbentuk merangkai cerita antara aktualitas dengan mitos dan legenda sebagai ruh film ini. Bentuk film yang cukup eksploratif tersebut, akhirnya membawa film ini menyabet beberapa penghargaan di beberapa festival film internasional. Pada gelaran JAFF sendiri film ini membawa pulang Golden Hanoman penghargaan tertinggi di ajang tersebut.
Bentuk film yang cukup eksploratif tersebut, akhirnya membawa film ini menyabet beberapa penghargaan di beberapa festival film internasional. Pada gelaran JAFF sendiri film ini membawa pulang Golden Hanoman penghargaan tertinggi di ajang tersebut.
Kemudian cerita berlanjut. Seorang ilmuwan ahli vulkanologi (Rendra Bagus Pamungkas) ditemani asistennya (Kidung Paramadita) bercengkrama memandang Merapi dari sudut yang jauh. Sang ilmuwan tampaknya mempunyai obsesi yang tinggi tentang hukum rasionalitas, bagaimana materi dengan segala partikel yang membentuknya menciptakan kehidupan. Percakapannya mendalam, mereka berupaya memecahkan satu pertanyaan besar tentang Gunung Merapi sebagai sumber kehidupan atau sember punahnya peradaban.
Sang vulkanolog terus mencari tahu, bagaimana relasi manusia dan alam sesungguhnya. Melalui penelitiannya, ia berusaha membangun argumentasi bahwa manusia seharusnya bisa berdampingan dengan alam. Salah satu dialog menarik dari keduanya yang berhasil saya catat seperti di bawah ini;
“Manusia itu sama seperti cacing versi lebih besar dan kompleks saja” ungkap peneliti.
“Cacing yang mempunyai moral?” Sanggah sang asisten.
“Cacing mungkin lebih bermoral dari manusia,” tegas peneliti.
Dari dialog tersebut saya akhirnya mempunyai gambaran, tentang bagaimana film ini. Melalui tokoh peneliti, film ini sepertinya ingin menyuguhkan satu argumentasi secara ilmiah tentang Gunung Merapi sebagai unsur yang hidup dalam siklus dan ekosistem kehidupan ini. Dalam hal ini Merapi tidak hanya sebagai objek pun lanskap alam, ia adalah ruang dan waktu.
Lalu cerita berlanjut pada rekaman wawancara Yulianto sebagai petugas pengamatan Gunung Merapi. Ia dengan wajah masih tertutup masker menceritakan aktivitasnya selama ini menjadi garda depan informasi tentang aktivitas Gunung Merapi. Yulianto menjalani profesi ini memang mengikuti jejak ayahnya yang dulu juga menjadi penjaga pos pengamatan Merapi. Ketertarikannya dengan Merapi diawali ketika sejak kecil, ia sering ke kantor dan ikut kerja ayahnya. Semenjak itulah akhirnya ia menjalani profesinya sebagai bentuk tanggung jawab seperti yang sudah diwariskan oleh keluarganya terdahulu.
Dalam wawancara ini, Yulianto banyak menjelaskan secara vulkanologi gerak dan aktivitas Merapi. Bagaimana post pengamatan menetapkan status Merapi, ukurannya apa, lalu siasat apa yang harus dilakukan ketika melihat kondisi Merapi sudah dalam titik rawan. Ia juga tampak menjelaskan beberapa fungsi alat yang digunakan untuk memotret kondisi Merapi. Namun, dari semua itu yang menarik justru ada pada statementnya. Bahwa bagaimanapun alat ciptaan manusia untuk mengamati Merapi tetapi pada dasarnya tidak ada satupun orang yang benar-benar tahu atau bisa memprediksi kapan Merapi akan erupsi. Karena itulah Merapi sampai sekarang masih menyimpan sejuta misteri. Dari hal itu juga masih banyak kemungkinan untuk setiap orang memiliki daya untuk memahami dan menjelajahi.
Sementara itu gambar bergeser pada asisten peneliti (Kidung Paramadita). Sebagai pemeran pembantu dalam film ini, ia mempunyai peran yang vital untuk menghidupkan cerita dalam setiap babaknya. Dalam babak pertama ini, ia (Kidung Paramadita) asisten peneliti diberi porsi Riar untuk mengalami pengalaman mistik ketika menjalani penelitian di Merapi. Dalam salah satu scene adegan di tengah malam, ia tinggal di rumah di sekitar lereng Merapi. Saat itu ia mengalami pengalaman horor ketika dalam kondisi masih tertidur, tiba-tiba ia merasakan tubuhnya terguncang merasakan getaran seperti hal nya gempa bumi berkekuatan tinggi. Ruangan dalam adegan itu juga ikut terguncang, semuanya bergetar, sehingga membuat ia terbangun dari tidurnya. Ia bingung dengan kondisi yang sedang ia alami. Dari hal itu ia bergegas, bangkit dari tidur mengamati jendela kamarnya dengan desain minimalis itu. Di sanalah ia melihat peristiwa yang tidak wajar ada di tengah malam, yaitu pawai gunungan bertubuhkan manusia. Iring-iringan itu memang di luar nalar. Dengan iringan musik bergada (prajurit Mataram) dengan beberapa pengiringnya berwajahkan aneh lagi menyeramkan.
Adegan ini tampak ingin menggambarkan satu peristiwa yang banyak diyakini masyarakat di sana. Sebuah misteri tentang makhluk gaib yang ada dan hadir menghiasi memori kolektif mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam, namun variasi cerita yang ada tentang mistisisme mahluk gaib di Merapi seperti menjadi bagian lain dari kesakralan Merapi itu sendiri. Tentu kita bisa percaya atau tidak dengan adanya kepercayaan semacam itu. Tetapi banyak masyarakat di sana sebagian besar meyakini hal tersebut. Dan film ini berhasil memotretnya sebagai bagian dari realitas yang muncul menjadi bumbu penyedap dalam film ini.
Adegan ini tampak ingin menggambarkan satu peristiwa yang banyak diyakini masyarakat di sana. Sebuah misteri tentang makhluk gaib yang ada dan hadir menghiasi memori kolektif mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam, namun variasi cerita yang ada tentang mistisisme mahluk gaib di Merapi seperti menjadi bagian lain dari kesakralan Merapi itu sendiri.
Lalu cerita berakhir dengan tindakan tragis sekumpulan preman yang mengintimidasi peneliti dan asistennya saat mereka melakukan riset di suatu malam di hutan Merapi. Naasnya mereka bertemu dengan para preman yang sedang melakukan patroli. Para preman yang berwajah sama seperti dalam adegan pertama. Awalnya mereka sempat menyangkal bahwa tindakan mereka tidak melanggar aturan. Perdebatan terjadi di antara mereka. Namun sayang, para preman bertindak lebih ganas dari yang dibayangkan. Dengan kejam bos preman dengan wajah garang (Whani Darmawan) memperkosa asisten peneliti. Sedangkan peneliti tampak tidak berdaya, ia dikeroyok, mulutnya berulang kali dijejali dengan senapan. dan cerita mereka berdua selesai pada adegan itu juga.
Antara Realitas Sosial dan Potret Pilu di Dalamnya
Babak kedua dalam film Monisme menawarkan sudut pandang realisme yang cukup kuat. Beberapa adegan tidak banyak dipoles sedemikian rupa. Karakter muncul dengan pemeran yang sama. Kali ini Rendra Bagus Pamungkas hadir sebagai penambang pasir dengan wajah lusuh dengan debu. Sedangkan Kidung Paramadita memerankan karakter sebagai seorang seniman pembuat film. Bagi Rendra, entah bagaimana ia memerankan karakter yang sangat berbeda dengan karakter sebelumnya sebagai peneliti. Tetapi seperti adegan sebelumnya ia tampak cukup menghayati perannya tersebut. Sedangkan Kidung dengan tampilan eksentrik khas seorang seniman, berhasil menghidupkan karakter yang diembannya.
Gambaran kondisi dan dilema penambang pasir di sekitar Merapi menjadi gagasan utama dalam babak kedua ini. Eksploitasi alam yang mengancam ekosistem lingkungan dalam kasus film ini memang menjadi permasalahan yang cukup pelik. Penambangan pasir di Merapi dalam satu sisi memang mengancam kondisi lingkungan di sana. Tetapi disisi lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi, banyak warga disana, sangat bergantung dengan aktivitas penambangan pasir ini.
Eksploitasi alam yang mengancam ekosistem lingkungan dalam kasus film ini memang menjadi permasalahan yang cukup pelik. Penambangan pasir di Merapi dalam satu sisi memang mengancam kondisi lingkungan di sana. Tetapi disisi lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi, banyak warga disana, sangat bergantung dengan aktivitas penambangan pasir ini.
Sang seniman hadir dengan seorang teman untuk wawancara penambang pasir. Dialognya sederhana, singkat dan tidak berbelit. Awalnya mereka berada di sebuah warung makan untuk mengambil gambar penambang pasir dengan baju yang masih sama, lusuh. Dalam dialognya sang penambang pasir tak banyak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Tentang bagaimana penambangan pasir selama ini berjalan, siapa saja dibelakangnya dan apa resiko penambangan yang mereka kerjakan. Penambang pasir tetap bergeming. Ia menjawab singkat dan membuat kecewa sang seniman yang merasa tak puas dengan hasil wawancaranya. lalu ia membeli makan untuk menetralkan suasana. Mungkin penambang pasir sedang lapar. Dan ia tak semangat menjawabnya.
Selepas makan, mereka siap mengambil gambar kembali. Namun di belakang mereka para preman tiba-tiba hadir di warung sederhana itu. Komplotan preman yang masih sama di babak pertama. Awalnya tidak ada masalah datangnya preman itu. Mereka tetap menjalankan wawancara. Para preman tampaknya mulai terganggu dengan aktivitas wawancara itu, mereka mendekat mempertanyakan aktivitas mereka. Dengan nada kesal, preman mengintimidasi sang seniman. Preman itu berusaha meminta izin aktivitasnya itu. Sang seniman menjelaskan maksud dan tujuannya, mereka sedang membuat film dokumenter soal tambang di Gunung Merapi. Mendengar hal itu para preman merasa hal itu tidak perlu. Sebagai penguasa wilayah di sana mestinya ia meminta izin kepada para preman itu. Sang seniman tetap ngotot bahwa ia tidak akan menyinggung kekuasaan mereka. Preman tampak tidak peduli soal hal itu. Penambang pasir berusaha membantu menjelaskan. Tetapi tetap gagal. File hasil wawancara diminta preman untuk di hapus, lalu mereka diusir dari warung itu.
Adegan berganti, para penambang pasir tampak berkumpul melepas lelah. Mereka bercerita soal aktivitas menambang pasir Merapi selama ini. Banyak dilema pilu mendengar cerita mereka. Bukan tanpa peduli, ia paham betul resiko penambangan yang mereka lakukan. Krisis air menjadi hal yang paling mencuat dari aktivitas yang mereka lakukan. Namun, apa boleh buat, tak ada pilihan lain bagi mereka. Kebutuhan ekonomi yang mendesak menjadi alasan kuat agar kehidupan mereka terus berjalan. Saat itulah letusan Merapi tak lagi mencekam bagi mereka. Justru saat Merapi mengeluarkan banyak material dari perutnya, di sana mereka mendulang banyak keuntungan. Adegan wawancara dokumenter itu selesai, dengan tatapan panjang menunggu kapan rezeki guguran material itu datang.
Kembali pada seniman pembuat film dan penambang pasir yang meratapi nasib buruknya. Berada di dalam kepala truk, penambang pasir itu berjejalan dengan sang seniman. Berada di tengah, diapit sopir dan perempuan seniman itu. Dengan posisi duduk yang tidak begitu nyaman. Entah kenapa penambang pasir menceritakan semuanya. Ia meminta seniman merekam semua omongannya. Terlanjur basah ungkapnya, biarkan sekalian tidak usah menyembunyikan identitasnya. Penambang pasir dengan wajah emosional dengan sebatang rokok yang tak lepas dari mulutnya, ia mengungkap siapa dalang di balik penambangan pasir di sana. Para elit politik pemegang kekuasaan yang rakus lah sebenarnya yang memberi jalan penambangan pasir itu ada. Merekalah sebenarnya para cukong sesungguhnya, mereka juga yang memberi izin dan sekaligus yang paling mendapat banyak keuntungan dari aktivitas penambangan pasir ini. Tegas penambang pasir ini dengan wajah geram. Lalu nasib penambang kecil yang sebatas kuli buruh angkut pasir seperti dirinya, tentu tak sebanding jika dibandingkan dengan keuntungan yang didulang para pemodal di atasnya. Ia tetap miskin, dan tidak ada pilihan lain untuk tidak tetap bekerja di sana.
Penambang pasir mengambil nafas panjang. Ia melanjutkan ceritanya. Lalu para preman yang mereka temui di warung tadi adalah orang yang hidup dari para bandar besar konglomerat yang berlindung dibalik kekuasaan politik mereka. Mereka para preman, memang dipelihara untuk mengintimidasi siapapun yang mengancam kepentingan penambangan yang mereka jalankan. Nasib para preman itu sebenarnya tak ubahnya seperti kuli penambang pasir itu, berada di bawah dan kapanpun bisa dilenyapkan ketika ia mulai tidak patuh dengan majikannya. Cerita selesai, seniman perempuan itu gemetar memegang handycam yang tak lepas di tangannya.
Merapi dan Semesta Mistiknya
Babak terakhir dalam film ini tentu lebih tidak terduga. Riar berusaha menghadirkan perspektif mistisisme dari para pelaku spiritualis dalam bahasa lain bisa disebut, dukun, orang pintar, atau semacamnya. Mereka dihadirkan dalam bentuk praktik dan laku hidup yang mungkin bagi banyak orang sulit dipahami. Tetapi mereka ada, yakin dan teguh dengan pendiriannya. Beberapa praktik memunculkan laku performatif dengan penghayatan yang dalam. Lagi-lagi Rendra Bagus Pamungkas hadir sebagai pemeran utamanya. Ia menjadi spiritualis yang begitu menghayati kepercayaannya.
Gunung Merapi memang bagi sebagian orang bukan hanya subyek yang mati. Gunung ini juga dipercaya mempunyai nyawa, ia hidup sama seperti makhluk Tuhan yang lainnya. Bukannya dalam sebuah kitab suci diterangkan bahwa semua ciptaan Tuhan memang sebenarnya hidup dalam ordernya masing-masing. Dari hal itulah, layaknya dalam sebuah relasi satu dengan yang lainnya harus saling menyapa dan menghargai. Babak ketiga dalam film ini, sependek yang saya pahami, tampaknya ingin menggambarkan bagaimana relasi manusia dengan alam (Merapi) melalui pendekatan spiritualitas yang masyarakat miliki.
Dalam sebuah adegan tokoh spiritualis digambarkan sebagai sosok orang tua yang tampil dengan sedikit kata. Hampir setiap adegan ia membisu, namun dengan ekspresi yang kuat karakter tokoh ini menjadi hidup. Suasana horor menyelimuti setiap adegan dalam babak ketiga ini. Dalam kegelapan malam, tokoh ini seperti membawa sesaji, berdialog secara batin dengan mahluk-mahluk penghuni Merapi. Adegan yang sangat epik muncul ketika tokoh spiritualis berada di atas semacam tanggul di bantaran sebuah kali. Ia berjalan di atas tanggul dengan suasana senja yang mulai tenggelam. Dengan background Gunung Merapi yang tampak gagah dan perkasa. Ia meletakan sebuah sesaji sebagai bentuk penghormatan mahluk-mahluk yang ada di sana. Namun kalimat pendek yang muncul dari tokoh spiritualis ini bisa menjadi satu gambaran sikap dari sang spiritualis yang diam. Ia menyebut kalimat “Allah hu Alam, Alam hu Allah”. Kalimat yang singkat, tapi mengisyaratkan sikap yang mendalam. Tentang esensi alam dan ke maha mutlakan kuasa Tuhan.
Namun kalimat pendek yang muncul dari tokoh spiritualis ini bisa menjadi satu gambaran sikap dari sang spiritualis yang diam. Ia menyebut kalimat “Allah hu Alam, Alam hu Allah”. Kalimat yang singkat, tapi mengisyaratkan sikap yang mendalam. Tentang esensi alam dan ke maha mutlakan kuasa Tuhan.
Ketika ia beranjak pergi, sesaji yang ditinggalkan kemudian dikerubungi sosok mahluk halus penunggu berperawakan perempuan. Wajahnya menyeramkan dengan tata kostum khas setan-setan Jawa pada umumnya. Para setan mahluk halus atau apapun sebutannya, tampak lahap menyantap sesaji yang ditinggalkan. Sedangkan tokoh spiritualis tampak mengamati dari kejauhan. Kemudian melenggang pergi.
Adegan berganti pada wawancara dokumenter kepada tokoh spiritualis sesungguhnya. Ia merupakan pemimpin kelompok Jathilan klasik Kudho Taruno Desa Wonolelo dari lereng Merapi. Puthut Juritno namanya, lelaki paruh baya itu menceritakan bagaimana profesinya selama ini sebagai pawang jathilan dan orang yang dianggap tahu soal hal-hal mistik di sekitar Merapi. Baginya Gunung Merapi memang bukan gunung sembarangan, ia meyakini kita sebagai manusia harus tahu tata aturan dan sopan santun ketika berada di Gunung Merapi. Begitu juga ketika ia ketika akan menggelar sebuah pertunjukan jathilan bersama kelompoknya. Tentu ia akan melakukan ritual khusus, seperti puasa atau tirakat lainnya sembari menyiapkan sesaji yang sudah ditetapkan sebelum pentas digelar. Hal itu semata ia lakukan agar pertunjukan yang ia gelar berjalan lancar.
Tidak semua pertanyaan bisa Juritno jawab dengan gamblang. Yang jelas dari wawancara ini ia menegaskan bahwa di Gunung Merapi ada sosok penunggu yang mesti kita hormati. Penghormatan yang lazim tentu dilakukan dengan terus menjaga adat tradisi seperti merti dusun, nyadran, dan labuhan Merapi. Semua bentuk tradisi itu sebagai bentuk upaya untuk menjaga relasi dengan Merapi itu sendiri.
Lalu adegan dilanjutkan dengan pentas Jathilan. Tabuh gamelan disertai tarian prajurit perang Mataraman menjadi sajian dari sebuah pentas Jathilan. Kesenian ini sendiri awalnya berangkat dari sebuah latihan peperangan di masa perang Jawa meletus tahun 1830 an. Sejarahnya panjang. Yang pasti kekalahan Pangeran Diponegoro saat perang Jawa menjadi salah satu titik penting kesenian ini berkembang. Kemudian tarian kolosal dengan ritme tabuhan gamelan yang rampak dengan nada yang terus berulang menghasilkan nada yang menghanyutkan. Bahkan di titik tertentu membawa pendengarnya sampai trans bahasa lain dari ndadi atau kesurupan. Saat itulah dipercaya mahluk halus memasuki jasad penari sehingga kehilangan kesadaran. Dalam film ini, pentas jathilan ini digambarkan seperti pentas pada umumnya, maksudnya tidak settingan. Saat beberapa penari mulai kesurupan, tokoh spiritualis masuk ke dalam gelanggang pentas. Ia menari, sambil tetap membawa sesaji. Kemudian menghilang.
Film Monisme diakhiri dengan munculnya gerombolan preman yang dengan brutal menghabisi spiritualis. Alur film kembali pada adegan awal. Pembunuhan tragis di tengah hutan di bagian awal film ini, akhirnya terungkap apa sebabnya dan siapa sosok yang dihilangkan nyawanya dengan keji itu. Ia adalah sosok spiritualis yang dengan teguh memegang keyakinannya tentang daya besar Merapi. Keyakinan dan kepercayaan yang selalu dihadapkan dengan kepentingan modal. Begitulah tampaknya kenyataan selalu berjalan. Atau justru melalui kontradiksi-kontradiksi yang ada, harapan baik akan terus dilambungkan. Film ini berhasil membawa penonton pada satu kesimpulan, setidaknya bagi saya, bahwa kenyataan memang tidak selalu seperti yang kita ideal kan. Dan film ini mempertegas itu semua dengan kompleksitas cerita yang ada.
Film berakhir. Soundtrack film Monisme berjudul “Semayam” karya Bin Idris membuat, sekali lagi, suasana akhir film ini menjadi sangat haru. Dengan nadanya yang mendalam ditambah liriknya yang jenaka, membuat film ini menjadi lengkap dan penuh. Agar pembaca tulisan ini merasakan getarannya. Saya sematkan lirik lagu di bawah sekaligus sebagai penutup tulisan ini.
Berjejak pada tanah bergulir dan merekah beriring dalam bising sunyi di bawah kakimu berdesakan, berjejalan, berhimpitan, membentuk barisan menunggu giliran di dalam dinginnya dekapanmu berselimut bebatuan dan lebur perlahan berpulang tanah berdiam dan merebah dan hening tak bergeming sunyi
Abu ‘Abdurrahman al-Sulami dan Nur Kholik Ridwan. 2023. Tarekat dan Etika Malamatiyah. Yogyakarta: NDiko Publishing. 225 halaman.
Kehadiran Malamatiyah di Nusantara memang seperti bayangan: ada tapi tak jelas bentuk rupanya. Ia banyak dibicarakan sebagai sejenis tarekat yang paling awal memasuki tanah Jawa, lalu disusul Akmaliyah, baru kemudian marak tarekat-tarekat yang lain seperti Sattariyah, Naqsabandiyah, Qadiriyah dan sebagainya. Namun, sampai saat ini belum ada buku yang membahas secara khusus tentang tarekat ini, apalagi yang secara historis berkaitan dengan penyebaran Islam di Indonesia.
Oleh sebab itu, maka buku Tarekat dan Etika Malamatiyah yang disusun oleh Nur Kholik Ridwan ini ibarat babat hutan, menyibak Malamatiyah dari pertapaannya. Dalam hal ini, Nur Kholik mengambil karya Syekh Abu Abdurrahman al-Sulami (937-1021 M) yang berjudul Risalah ‘an Malamatiyah, dan kemudian membahasnya menjadi lebih membumi untuk khalayak Indonesia. Oleh Nur Khalik, Risalah ‘an Malamatiyah dianggap sebagai kitab induk, “satu-satunya kitab yang secara panjang menjelaskan Malamatiyah, sementara kitab-kitab lain menjelaskannya dalam uraian yang pendek.” (hlm. iii).
Oleh Nur Khalik, Risalah ‘an Malamatiyah dianggap sebagai kitab induk, “satu-satunya kitab yang secara panjang menjelaskan Malamatiyah, sementara kitab-kitab lain menjelaskannya dalam uraian yang pendek.” (hlm. iii).
Nur Kholik Ridwan sendiri secara lahiriah adalah seorang penulis dan pengajar. Sebagai penulis, sudah puluhan buku yang sudah beliau terbitkan. Ketika muda, Nur Kholik banyak menulis buku perihal pemikiran, filsafat dan dunia pergerakan. Tentu saja ia bukan semata menulis sebagai pengamat. Nur Kholik muda adalah aktivis pergerakan yang terjun di jalanan dalam mendorong dan mengawal Indonesia dalam transisi reformasi. Namun, proses reformasi yang tidak mulus itulah yang menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam bagi banyak aktivis termasuk dirinya. Suatu momen yang membuatnya tenggelam dalam perenungan yang kian dalam, sehingga butuh upaya yang keras bertahun-tahun untuk mentas kembali.
Saat ini, ketika reformasi yang telah berlangsung lebih dua dekade rupanya tidak segera menampakkan fajar perbaikan bagi bangsa Indonesia, Nur Kholik semakin giat menulis dan berpergerakan dengan cara yang berbeda, istilah kerennya: ri’ayatul ummah. Ia juga seringkali menjadi “kawan” sekaligus guru bagi pemuda-pemuda yang masih aktif di dunia pergerakan dan kepenulisan. Anda juga bisa ikut mengaji online rutinan di Youtube, NKR Channel. Di tengah kesibukannya itu, rupanya tidak membuat Nur Kholik berhenti dari kebiasaan menulis, selain malah semakin produktif. Berbagai buku “babon” beliau hasilkan, khususnya yang berkaitan dengan sejarah Islam dan tasawuf. Sehingga, dengan membaca buku ini Anda bisa merasakan pendar ilmu dari Nur Kholik Ridwan sebagai “Kiai Kholik”.
Risalah Malamatiyah
Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama adalah Risalah ‘an Malamatiyah karya Syekh Abu Abdurrahman al-Sulami. Sementara bagian kedua, ketiga dan keempat berisi pembahasan Kiai Kholik secara khusus tentang Syekh al-Sulami dan Risalah-nya dalam kecendekiaan tasawuf, lalu lebih luas tentang Malamatiyah dan terakhir upaya pembumian nilai-nilai Malamatiyah dalam masyarakat secara lebih luas.
Penerjemahan Risalah an Malamatiyah dilakukan oleh Imam Nawawi, pemuda yang banyak terlibat dalam penerjemahan kitab-kitab penting. Penerjemahan kitab ini juga sangat penting karena memang belum ada yang menerjemahkan buku induk Malamatiyah dalam konteks pembaca Indonesia.
Risalah ‘an Malamatiyah secara ringkas berisi pembagian tiga kelompok pengampu ahwal batin, lalu perkataan para syekh terkait Malamatiyah, dan terakhir wasiat-wasiat menempuh jalan Malamatiyah yang berjumlah 45 butir. Guru-guru Malamatiyah di situ disebutkan seperti Abu Hafs al-Nisaburi, Hamdun al-Qashar, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Mu’adz, Abu Yazid al-Busthomi, Abdullah bin Khayyat, dan seterusnya.
Dalam wasiat-wasiat menempuh jalan Malamatiyah, nampak jelas bahwa itu adalah jalan yang keras nan sulit dilalui. Misalnya, dalam wasiat ke-1, bahwa berbangga sedikit saja atas ibadah lahiriyah disebut sebagai kesyirikan, sementara berbangga atas ahwal batin adalah kemurtadan, maksudnya keluar dari jalan Malamatiyah. (hal. 24). Wasiat-wasiat selanjutnya sampai butir ke-45 juga tidak kalah kerasnya, seperti pantang meminta kemuliaan, selalu mawas diri terhadap nafsu, kesadaran bahwa setiap mukmin tak pernah memiliki dirinya sendiri, mengingat kematian sebagai rumah sejati, khawatir ketika doanya selalu dikabulkan Allah, menutup aib orang lain, tidak suka dilayani dan dihormati, dan seterusnya.
Dalam wasiat ke-1, bahwa berbangga sedikit saja atas ibadah lahiriyah disebut sebagai kesyirikan, sementara berbangga atas ahwal batin adalah kemurtadan…
Adapun tiga bagian selebihnya adalah tulisan Kiai Kholik yang membahas Malamatiyah dalam konteks lebih luas. Dimulai dari pembahasan tentang Risalah, telaah historis tentang kemunculan Malamatiyah khususnya di wilayah Nisabur, Khurasan, hingga bagaimana Malamatiyah bisa dijadikan suatu inspirasi untuk mendorong tatanan masyarakat yang sehat dan seimbang.
Menyibak Malamatiyah
Penyematan istilah Malamatiyah atau Malamiyah berasal dari upaya malamatun-nafs atau mencela atau mengecam nafsu. (hal. 91). Maksud kecaman atau celaan terhadap nafsu ini adalah upaya pembersihan dari perangai yang kotor, ilmu-ilmu yang kotor, “sehingga kecaman itu pada dasarnya adalah mengasah, kemudian nafs perlu diasuh-diasihi.” (hal. 91). Pada praktiknya, untuk tetap terus menjalin hubungan khusus dengan Allah, pelaku Malamatiyah mensituasikan diri agar jangan sampai nampak mulia di mata manusia.
Namun, sebagaimana dikupas dalam buku ini, penggunaan Malamatiyah atau Malamiyah rupanya berbeda-beda. Ada yang menyebut sebagai suatu tarekat, sebagian lagi sebagai suatu madzhab dalam jalan spiritual, sebagian lagi merujuk pada suatu akhlak tertentu, dan ada yang menyebutnya sebagai suatu tertentu dalam tasawuf. (hal. 93-94). Ibn Arabi misalnya, dalam al-Futuhat al-Makkiyah, menyebutnya sebagai maqam qurbah, maqam tertinggi dalam kewalian yang mana tiada lagi maqam di atasnya kecuali kenabian. Salah satu tandanya, menurut Ibn Arabi, adalah mereka tidak dikenal khalayak sebagai ahli ibadah, tapi tak pernah melanggar hal-hal yang diharamkan Allah. (hal. 94).
Ibn Arabi misalnya, dalam al-Futuhat al-Makkiyah, menyebutnya sebagai maqam qurbah, maqam tertinggi dalam kewalian yang mana tiada lagi maqam di atasnya kecuali kenabian.
Malamatiyah sejauh ini dianggap berkembang di Nisabur, Khurasan, khususnya pada era dinasti Abbasiyah. Khurasan-Nisabur adalah suatu wilayah Islam bagian Timur yang terus mengalami pergolakan. Selain itu, wilayah ini juga mengalami persinggungan budaya yang kuat dengan tradisi kebatinan setempat karena memang, meminjam istilah James Matisoff, merupakan wilayah Indosphere di mana tradisi kebatinan Hindu-Buddha pernah bergumul dengan Zoroaster. Di wilayah ini pulalah yang menjadi tempat Syekh Abu Abdurrahman al-Sulami tinggal.
Sementara itu, banyak teori tentang masuknya Islam di Nusantara lewat jalur Persia-Khurasan-Gujarat. Beberapa jejaknya bisa kita kenali, misalnya dari karya-karya ulama Nusantara klasik yang mengutip Bahasa Persia tentang ungkapan-ungkapan sufistik, misalnya yang dilakukan Hamzah Fansuri dalam kitab Syarabul ‘Asyiqin. Selain itu, pengajaran huruf Hijaiyah dengan ungkapan “alif zabar ‘a’, alif jer ‘i’, alif pes ‘u’” masih dikenali pada era nenek saya sendiri ketika mengaji waktu kecil.
Jadi, bagaimana pun Nusantara termasuk Indosphere, di mana pengaruh indianisasi sangat kuat pada masa silam bahkan bisa kita kenali jejaknya hingga sekarang, baik arkeologis atau kultural. Ini persis sebagaimana wilayah Khurasan yang juga tak kalah kuat dalam mengalami indianisasi. Sehingga wajar saja jika suatu jenis tarekat atau laku beragama yang berkembang di Khurasan kemudian masuk ke Nusantara karena kemiripan kultural.
Sayangnya, buku ini kurang memberi ruang telaah historis mengenai perkembangan Malamatiyah hingga bagaimana memasuki wilayah Nusantara. Padahal, banyak cerita tentang laku keberagamaan para wali di Nusantara seperti menunjukkan kemiripan dengan laku Malamatiyah sebagaimana dijelaskan dalam buku ini. Mungkin saja Kiai Kholik hendak menulis buku kelanjutannya.
Meski begitu, buku ini menjadi sangat penting bagi para pengkaji dan pegiat tasawuf sebab langsung membahas Malamatiyah dari kitab induknya. Jadi, misteri tentang tarekat Malamatiyah relatif tersibak dari rimba desas-desus yang menyelimutinya selama ini.
1. Penciptaan
Kenapa seseorang ingin menjadi penyair? Pertanyaan ini sering muncul dalam pikiranku. Tidak mudah aku jawab. Toh, aku tidak tahu alasan pasti perihal apa daya penyair yang segera menciptakan puisi. Aku hanya merasa penyair begitu bergairah ketika imajinasinya berkembang, lalu penyair mengkongkretkan imajinasinya ke bentuk tulisan (baca: puisi). Terakhir, penyair ingin menunjukkan puisi yang selesai diciptakannya kepada pembaca.
Kalau aku menengok beberapa proses kreatif penyair, puisi terlahir lewat penentuan diksi, pengaturan tipografi, penyelarasan bunyi, hingga pengocokan emosi. Aku menelisik proses kreatif penyair adalah pengkristalan hasil tangkapan pancaindera dan pengalaman. Sebab itu, penyair bersusah payah mendekati bahasa dari buku, lisan, peristiwa, hingga mitos. Atau, penyair berupaya merespon bahasa yang hidup di lingkungannya.
Pertanyaan pada awal tulisan ini pernah muncul lagi dalam pikiranku ketika Mardi Luhung mempertanyakan arti puisi pada pembuka buku puisinya, yaitu: Gerbang Bandar (2023). Aku membaca pembuka tersebut, lalu sempat berpikir: Penciptaan puisi bisa menimbulkan keraguan bagi seorang penyair demi keberlangsungan kepenyairannya. Seolah, penciptaan puisi bagi seorang penyair bukanlah kerja yang saklek, melainkan pencarian yang capek.
Selain itu, dalam pembuka buku puisi Gerbang Bandar, aku menangkap Mardi Luhung yang keheranan mengetahui puisi-puisinya dianggap tak masuk akal, semau gue, dan fantastis. Barangkali, anggapan tersebut sangat dihindari Mardi Luhung agar tidak terjebak pada “stempel”. Dan, Mardi Luhung menulis: “…Yang jelas, ketika kalimat pertama terpilih, maka karya sastra yang akan aku tulis, adalah cermin yang menegak di hadapanku…”[1]

Kemudian, aku membaca catatan pendamping yang ditulis oleh A Muttaqin dalam buku puisi Gerbang Bandar. A Muttaqin mengungkapkan bahwa pembacaan puisi mirip menghitung angka “rajah” susunan Imam Ghazali yang selalu berjumlah lima belas.[2] Jadi, pelbagai pembacaan puisi yang dimulai dari arah mana saja, masing-masing pembaca akan berakhir mendapatkan ujung yang sama pada puisi yang dibacanya.
Apa yang diungkapkan A Muttaqin tiba-tiba mengingatkanku pada kisah Orang-Orang Buta dan Gajah dalam buku Kisah-Kisah Sufi (1984) yang dikumpulkan Idries Shah. Kisah itu membahas orang-orang buta yang menilai wujud gajah[3]. Sebab itu, wujud gajah mengalami penilaian yang berbeda dari sudut pandang setiap orang-orang buta. Dan, kisah itu mengandung hikmah perihal perberbedaan pendapat yang sebenarnya beresensi sama.
Aku merasa pembuka dari Mardi Luhung dengan catatan pendamping dari A Muttaqin (yang aku kutip di atas) sama-sama meluncurkan garis ke segumpal pemahaman, bahwa sejauh mana aneka makna yang dilayangkan pembaca tetap tidak dapat melepaskan puisi dari ikatan penciptanya (baca: penyair). Sehingga, jangan-jangan, anggapan tak masuk akal, semau gue, dan fantastis, merupakan tindakan jalan pintas dari pembacaan puisi yang tak utuh.
Dan, lewat ungkapan lain pada catatan pendamping dari A Muttaqin, aku mendapatkan perenungan, bahwa penyair menulis puisi tidak untuk saling mengalahkan satu sama lain.[4] Aku membayangkan penyair bersikeras menjaga ketenangan serta kerendahan hati demi berhasil menciptakan puisi. Aku jadi mengingat pertanyaan pada awal tulisan ini: “Kenapa seseorang ingin menjadi penyair?” Jawaban sementaraku: Usaha seseorang untuk mengalahkan dirinya sendiri.
2. Penataan
Mardi Luhung (Ayahku) memberikan sebuah naskah puisi berjudul Manuskrip Sumur Resapan kepadaku. “Tolong segera kamu layout (baca: tata) naskahku ke bentuk buku,” ucap Mardi Luhung. “Ukuran berapa bukunya, Yah. Apa aku sesuaikan ukuran buku puisi Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya (salah satu karya Mardi Luhung), Yah?” balasku. Mardi Luhung hanya meng-iya-kan, dan memintaku untuk cepat menyelesaikan naskahnya ke bentuk buku.
Kenapa Mardi Luhung meminta cepat? Sebab, Mardi Luhung ingin mempersembahkan buku puisi sebagai kado pernikahan bagi anak perempuannya, atau adikku. “Aku tidak punya apa-apa selain naskah puisi. Aku berharap buku puisi dapat menandakan kebahagiaan yang diberikan penyair untuk keluarganya,” ucap Mardi Luhung. Meski terdengar heroik, aku turut setuju bahwa harta penyair hanyalah puisi.
Lalu, ada keasyikan ketika bertugas menata naskah ke bentuk buku. Keasyikan itu adalah aku turut membaca puisi-puisi Mardi Luhung dalam naskah Manuskrip Sumur Resapan. Aku menyadari puisi-puisi yang aku tata merupakan bagian dari kesibukan Mardi Luhung selaku Ketua RT. Sehingga, aku menangkap bahwa Mardi Luhung—lewat pancaindera dan pengalaman, juga mendekati dan merespon bahasa, yang ditulisnya selaku Ketua RT—mengaduk puisi-puisinya dengan menuangkan sejarah lokal, spiritual, dan kondisi sosial tempat tinggal kami.
Penuangan sejarah lokal yang kental bisa aku ketahui, misal pembacaan penggalan puisi yang berjudul Polaman berikut ini: “Dan bagaimana bisa aku lupa pada sebatang pohon sono. Yang di sebelahnya, sang guru utusan menggali sumur. Sumur jadi telaga. Telaga jadi tempat mencuci diri. Mencuci hati. Dan mencuci sajadah. Yang tergelar demikian panjang sampai pada tempat bendera berkibar.” Aku mengetahui judul puisi dan meraba penggalan puisi itu, bahwa Mard Luhung memasuki kisah sumber mata air sebagai cikal bakal Desa Suci (Kabupaten Gresik).
Kemudian, penuangan spiritual dalam puisi-puisi Mardi Luhung bisa aku mulai pada penggalan penutup puisi Kepada Umur: “…Seperti keterlambatan duka, ketika merasa, bahwa apa-apa yang berguguran pasti akan kembali bertumbuhan. Berkembangan. Dan telah, telah, aku lewati malam-malam yang lebih malam daripada malam itu sendiri.”; lalu pembuka puisi Sajak Umur 60 Tahun: “Bianto telah pergi. Usman telah pergi. Juga Agus, Rustam, dan beberapa teman lain juga telah pergi. Kini, mungkin tinggal Tomo. Tomo seperti aku bergigi ompong…”
Jika aku menelisik tarikh (puisi Kepada Umur bertarikh 2019 dan puisi Sajak Umur 60 Tahun bertarikh 2022), seolah sekuen yang mengarahkan Mardi Luhung ke kesadaran makna kehidupan. Aku mengira hasil kesadaran itu bisa dihubungkan pada penggalan puisi Kulit Bawang berikut ini: “Salah satu dari 40 hikmah yang kau baca itu berbunyi:
‘Segala apa yang telah diusahakan telah dibayar di depan. Karenanya tak tersisa. Dan tak ada yang bisa menolong penitian itu.’”
Terakhir, penuangan kondisi sosial tempat tinggal kami, bisa aku tengok pada puisi-puisi dalam subbab Program yang Berkelanjutan, yang memasukkan imaji kegiatan RT, sepert: kerja bakti, jaga kampung, kebersihan, penghijauan, penerangan, hingga PKK. Semua imaji itu mengikat manfaat yang ditulis Mardi Luhung pada penggalan penutup puisi Si Penulis Puisi Mengurus Soal-Soal Kampung: “Berbaik-baiklah pada genting rumah, sebab melindungi diri dari hujan dan panas. Berbaik-baiklah pada got, sebab melancarkan bekas cucian kampung ke sungai lepas.”
Beberapa hari kemudian, Mardi Luhung bertanya: “Bagaimana menurutmu judul Manuskrip Sumur Resapan?” Aku menjawab kurang suka pemberian judul Manuskrip Sumur Resapan. Alasanku, terasa aneh andai pembaca mengetahui buku puisi yang dipegangnya masih terselip kata “manuskrip” pada bagian judul. Apalagi, sepengetahuanku, kata “manuskrip” merujuk tulisan atau ketikan yang bukan hasil cetakan.
Aku menyadari alasanku begitu lemah. Sebab, judul Manuskrip Sumur Resapan diambil oleh Mardi Luhung dari gabungan dua judul puisi yang termaktub dalam naskahnya, yaitu: puisi Manuskrip dan puisi Sumur Resapan. Kalau aku menengok puisi-puisi dalam naskah, judul Manuskrip Sumur Resapan bisa menjadi pintu terbuka bagi pembaca. Sehingga, di hadapan pembaca, puisi-puisi dalam naskah tidak berdiri sendiri.
“Bagaimana kalau judul Manuskrip Sumur Resapan berganti Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan?” tanya Mardi Luhung suatu hari. Mendengar pertanyaan Mardi Luhung tersebut, aku langsung kaget. “Bagus itu. Terasa arkais, tapi bisa masuk di masa sekarang, Yah,” ucapku. Lalu, atas permintaan Mardi Luhung, aku mengganti judul lama ke judul baru. Meski begitu, judul baru itu tidak benar-benar final.
Memang tidak benar-benar final. Apalagi, aku baru menyadari judul Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan terlalu panjang dan tidak cocok sebagai kado pernikahan. Setelah Mardi Luhung berdiskusi dengan A Muttaqin, judul Pos Jaga, Gerbang Bandar, dan Program yang Berkelanjutan mengalami pengeditan. Pada akhirnya, penataan puisi-puisi Mardi Luhung berakhir dengan judul final: Gerbang Bandar.
Setelah penataan puisi-puisi Mardi Luhung, aku mulai menata beberapa lukisan Gupuh Priyanto (calon besan Mardi Luhung, sekaligus pelukis asal Gondanglegi, Kabupaten Malang) dan catatan pendamping dari A Muttaqin. Buku Puisi Gerbang Bandar benar-benar terlahir setelah salah satu lukisan Gupuh Priyanto selesai menjadi kover. Dalam rasa kebahagiaan menyelesaikan tugas, aku membaca halaman persembahan buku puisi Gerbang Bandar yang ditulis oleh Mardi Luhung: “Buat Jalan yang telah dipilih oleh Bening Siti Aisyah & Saleksa Srengenge semoga diberkahi Tuhan”.

Aku menelisik kata “Jalan“ yang dimiringkan dengan huruf “J” kapital. Artinya, kata “Jalan” yang ditulis oleh Mardi Luhung memiliki pengertian khusus. Sebab itu, aku mengangap buku puisi Gerbang Bandar sangat cocok sebagai kado pernikahan, minimal mengingatkan setiap kemana akan berlayar, bahtera rumah tangga tetap berakar, seperti penggalan pembuka puisi Tiga Puisi Nomor 58 berikut ini: “/1// Hidupmu adalah hidupmu. Seperti kuda belang atau kucing babon, itu pilihanmu. Yang pasti, bau lada, kunyit, dan jahe merah terus mengiringimu…”
3. Pertemuan
Di Manyar (Desa Suci, Kabupaten Gresik), Jumat, 7 Juli 2023, kira-kira pukul 07.30 WIB, orang-orang yang menghadiri ijab kabul telah sama-sama berucap sah, pertanda penghulu meresmikan Saleksa Srengenge dan Bening Siti Aisyah sebagai suami dan istri, sehingga keluarga Mardi Luhung berbesan dengan keluarga Gupuh Priyanto. Lalu, dari ijab kabul, acara pernikahan berlanjut ke walimah dan resepsi. Aku melihat para undangan disambut pengantin. Dan, aku merasa seharian rumah pengantin pihak perempuan memancarkan kebahagiaan meski hujan sempat lewat.
Dua hari kemudian (Minggu, 9 Juli 2023), acara pernikahan berpindah dari Manyar ke Gondanglegi (Kabupaten Malang). Kira-kira 11.30 WIB, keluarga Mardi Luhung bersilaturahmi ke Kopi Latar—rumah pihak laki-laki (keluarga Gupuh Priyanto). Lalu, setelah asar, keluarga Gupuh Priyanto dan keluarga Mardi Luhung didatangi teman-teman seniman yang tergabung dalam Komunitas Arepsego dan Dewan Kesenian Kabupaten Malang (DKKM). Kedatangan teman-teman seniman menjadi acara tersendiri dengan membuka diskusi.
Sebuah backdrop berukuran 3 x 2.5 meter terbentang. Dalam backdrop itu, aku membaca tajuk diskusi: Bincang Buku Gerbang Bandar Kumpulan Puisi. Di depan backdrop itu, Gupuh Priyanto dan Mardi Luhung duduk bersanding di sofa. Sebelum memulai diskusi, teman-teman seniman memperoleh suvenir berupa buku Gerbang Bandar. Mereka (teman-teman seniman) duduk secara acak di bangku sembari menikmati segelas kopi.
Marsam Hidayat, atau Cak Marsam, seniman macapat asal Kabupaten Malang, membuka diskusi dengan mengidungkan sebuah macapat (bentuk puisi Jawa tradisional). Setelah itu, Mardi Luhung bercerita perihal Cak Marsam yang mengingatkannya dengan almarhum Wak Nurul Huda (seniman tradisi macapat asal Gresik), bahwa seniman tradisi sebenarnya berpikiran modern. Lalu, Mardi Luhung menukil baris macapat yang dikidungkan Cak Marsam, “uwong ngesot ngideki jagat”. Terasa “ngeri” bagi Mardi Luhung yang mendengar “uwong ngesot ngideki jagat” dan menafsir sebagai kebaikan dan keburukan jadi satu.

Lewat Cak Marsam yang mengingatkannya dengan almarhum Wak Nurul Huda, Mardi Luhung membahas tidak ada kebetulan dalam kesenian, kecuali kebertemuan yang saling bertautan. Lalu, Mardi Luhung menghubungkan peristiwa pertama kali bertemu dengan Gupuh Priyanto di Kopi Latar. Akibat pertemuan itu, Mardi Luhung dapat menciptakan puisi—termaktub dalam buku puisi Gerbang Bandar—yang berjudul Gondanglegi.
Kemudian, Gupuh Priyanto mengisahkan bagaimana beberapa lukisannya menghiasi halaman di buku puisi Gerbang Bandar. Gupuh Priyanto mengaku baru mengetahui lukisan-yang-telah-jadi bisa sebagai ilustrasi. Padahal, Gupuh Priyanto membayangkan—ketika Mardi Luhung meminta lukisannya untuk buku puisi Gerbang Bandar—dirinya harus menciptakan lukisan baru. Lain itu, Gupuh Priyanto meminta kepada teman-teman seniman, setelah diskusi, dapat urun coretan di kanvas yang telah disiapkannya.
Pada seksi terakhir diskusi, Cak Marsam mengidungkan lagi beberapa macapat. “Kami ingin mengenalkan sebanyak-banyaknya tentang macapat Malangan,” ucap Cak Marsam yang sudah berpindah duduk di sebelah Mardi Luhung. Salah satu macapat yang dikidungkan Cak Marsam mengenai ajakan berdoa kepada Tuhan.
Dan, aku mendengar: “//ayo bareng ayo dungo/ nyuwun seng nang kuasa/ ayo ayo bareng dungo/ menenteramkan nusantara//”.
Sebelum teman-teman seniman undur diri dari diskusi di Kopi Latar, sebingkai kanvas—kira-kira berukuran 60 x 60 centimeter dan telah tersapu warna oranye dan kuning—dihadirkan Gupuh Priyanto. Lalu, sesuai nama yang dipanggil oleh Gupuh Priyanto, satu per satu dari teman-teman seniman membumbuhi warna pada bagian kanvas. Hanya Mardi Luhung yang menuliskan sebuah tulisan buat Cak Marsam. Tulisan yang merespon baris “uwong ngesot ngideki jagat”, yaitu: “//orang lumpuh mengitari jagat/ cinta tak pernah sekarat//”.
Beberapa hari kemudian, Mardi Luhung mengirimkan sebuah foto lukisan kepadaku. Lukisan itu adalah hasil final urun coretan setelah diskusi buku puisi Gerbang Bandar. Aku menelisik lukisan itu telah diselesaikan Gupuh Priyanto menjadi lukisan abstrak yang dinamis. Kedinamisan itu dapat aku rasakan dari beberapa goresan warna (merah, hitam, dan biru) yang membentuk garis diagonal. Dan, Gupuh Priyanto memberikan judul lukisan itu: Ikan-Ikan di dalam Angan.

Lukisan Ikan-Ikan di dalam Angan membetot diriku untuk memahami lagi apa maksud kebertemuan yang diucapkan Mardi Luhung. Aku mengira lukisan Ikan-Ikan di dalam Angan menjadi narasi lain, perihal pertemuan yang menggetarkan silang kreativitas, antara laut dan gunung, penyair dan pelukis, tradisi dan modern, hingga suami dan istri. Semua silang kreativitas itu adalah gerak dari pertemuan yang tak terduga. Pertemuan yang digariskan Tuhan. Sehingga, aku mengingat kembali kidungan Cak Marsam mengenai ajakan berdoa kepada Tuhan, yang bahasa Indonesia utuhnya begini: “//ayo bersama ayo berdoa/ Minta Yang Maha Kuasa/ ayo ayo bersama berdoa/ menenteramkan nusantara//”.**
Daftar Pustaka
Mardi Luhung (2023), Gerbang Bandar, Yogyakarta: Basabasi.
Idries Shah (1984), Kisah-Kisah Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus
[1] Mardi Luhung (2023), Gerbang Bandar, Basabasi: Yogyakarta. (Hal: 10-11).
[2] Dalam buku puisi Gerbang Bandar karya Mardi Luhung, A Muttaqin menulis catatan pendamping Bonsai, Kura-kura, dan “Rajah” Imam Ghazali, yaitu: “Dalam beberapa hal, tatkala membaca puisi kita kerap dihadapkan pada perkara seperti menghadapi angka-angka susunan Imam Ghazali. Kita dapat membaca dan mendekati puisi itu dari mana saja, dengan teori yang kita ambil dari kanan dan kiri, menghubungkan dengan pengalaman ini dan itu yang kita pungut dari atas atau bawah, dari samping atau tengah, tapi kita tetap akan dihibungkan denga—dalam puisi Mardi Luhung “Kulit Bawang” disebut—semacam tali, yakni semacam susunan, bunyi, atau imaji yang kita gambar di kepala dan di sana kita akan mendapati sesuatu, semacam pola , urutan, atau susunan yang kita sebut makna, mendapatkan angka 15 yang menjadi milik kita masing-masing.” (Hal: 99-100).
[3] Dalam buku Kisah-Kisah Sufi, kisah Orang-Orang Buta dan Gajah terkenal dalam versi Rumi dan hakim Sanai, dan Idries Shah memberikan catatan: “Kedua kisah itu merupakan penyampaian cara pemikiran yang sama, yang menurut tradisi, telah dipergunakan oleh guru-guru Sufi selama berabad-abad.” (Hal: 70).
[4] Dalam buku puisi Gerbang Bandar karya Mardi Luhung, A Muttaqin menulis catatan pendamping Bonsai, Kura-kura, dan “Rajah” Imam Ghazali, yaitu“…Dalam dunia kepenulisan, lantaran ukurannya bukan menjadi yang terdepan, tapi nila-nilai yang sangat longgar untuk diperdebatkan, yang utama bukan mengalahkan penulis lain, tetapi bagaimana seorang penulis mencapai kesadaran bahwa karya yang sekarang harus lebih baik dari karya sebelumnya…” (Hal: 93)
Ketika bangsa Indonesia menunggu datangnya Satrio Piningit dan Ratu Adil, yang tiba malah Suzzanna. Kembali menjelma sebagai sundel bolong, dia berhasil menyedot 3,3 juta orang ke bioskop untuk menonton aksi-aksi balas dendamnya. Meski gagal menarik saya ke gedung film, hantu gentayangan ini berhasil membawa saya untuk memelototinya di Netflix.
Rumah tangga Suzzanna (Luna Maya) dan Satria (Herjunot Ali) awalnya bahagia. Kebahagiaan itu memuncak ketika buah hati yang mereka idam-idamkan selama lima tahun akhirnya akan hadir ke tengah keluarga kecil pasangan muda nan kaya itu. Betapa gembira Satria mendengar penuturan sang istri tentang kehamilannya, ketika suatu pagi, Suzzanna memintanya pulang lebih cepat dari kantor. Suzzanna meminta Satria agar mengajaknya ke luar rumah untuk mencari udara segar. Keduanya pun bersepakat ke kantor tempat Satria bekerja. Ini salah satu kejanggalan yang saya temui di awal film ini. Cari udara segar, kok, ke kantor?
Meski kedatangan mereka ke kantor terkesan dipaksakan oleh sutradara, di sanalah konflik bermula. Jonal (Verdi Solaiman) dan Umar (Teuku Rifnu Wikana) sudah menunggu Satria. Setibanya di kantor dan meminta izin sejenak kepada Suzanna, Satria memanggil Jonal dan Umar ke ruangannya. Keduanya melapor bahwa para pekerja di pabrik meminta kenaikan gaji. Mendengar laporan mereka, Satria murka, karena gaji karyawan sudah dua kali dinaikkan dalam tiga bulan terakhir. Satria mengendus ini hanya akal bulus dua mandor itu.
Kesal karena merasa dikecewakan Satria, Jonal dan Umar kemudian menenggak bir bersama Dudun (Alex Abbad) dan Gino (Kiki Narendra), dua pekerja lain di pabrik. Sambil merutuki nasib dan beban ekonomi masing-masing, keempatnya berembuk akan merampok rumah Satria. Ketika Satria berangkat ke Jepang untuk tugas perusahaan dan rumahnya sepi karena Suzzanna sedang menonton layar tancap bersama tiga pembantunya, keempatnya pun beraksi.
Namun aksi jahat itu tak semulus yang mereka rencanakan. Belum tuntas mereka menggondol barang-barang berharga di rumah Satria, Suzzanna memergoki mereka. Suzzanna yang pulang tanpa para pembantunya akhirnya mati di tangan komplotan itu. Suzzanna menjelma arwah penasaran yang terus gentayangan di alam nyata demi menuntut balas atas kematian dirinya, kematian anak yang dikandungnya, serta kehancuran rumah tangganya.
Begitulah sutradara Anggy Umbara dan Rocky Soraya meramu Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, film yang diproduksi Soraya Intercine Films. Di awal film dinarasikan, film ini dibuat untuk mengenang Suzzanna Martha Frederika van Osch, legenda dalam film horor Indonesia yang meninggal dunia pada 15 Oktober 2008. Selain alasan itu, lahirnya film ini tentu saja karena tren film-film reinkarnasi sukses mendulang pundi-pundi rupiah beberapa tahun terakhir. Film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! (Bagian 1, 2016), misalnya, yang berhasil meraih 6.858.616 penonton, atau 4.206.103 penonton untuk film Pengabdi Setan (2017).
Judul film inidiadaptasi dari dua film yang pernah dibintangi Suzzanna, Bernafas dalam Lumpur (1970) dan Beranak dalam Kubur (1971). Meski bukan pengulangan atau sekuel dari dua film tersebut, film ini tetap saja tidak bisa keluar dari simbol-simbol keduanya. Penampilan Suzzanna dengan rambut acak-acakan dan berbaju putih saat menjelma hantu, misalnya, atau adegan Suzzanna bermain piano, masih saja dipertahankan.
Dengan memakai wajah prostetik yang dibuat Tatiana Melkomova dan Peter Gorshenin dari Rusia, Luna Maya diusahakan semirip mungkin menjadi Suzzanna, baik dalam gerakan maupun ucapannya. Meskipun Luna tetap terlalu tinggi dan terlalu langsing untuk memerankan aktris horor legendaris itu. Herjunot Ali juga memaksimalkan diri berperan sebagai Satria walau masih tampak sebagai sosok Zainuddin dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013).
Dalam aspek sinematografis, plot film ini sudah bisa ditebak. Keluarga bahagia Suzzanna diusik komplotan penjahat, Suzzanna terbunuh saat hamil, kemudian dia menuntut balas atas kematiannnya, kematian bayi yang dikandungnya, juga kehancuran keluarganya. Pengadeganan juga sering tidak meyakinkan, misalnya saat Suzzanna terbunuh tanpa sengaja di tangan Dudun. Dengan dorongan pelan semacam itu, mustahil seruas bambu (atau kayu?) yang dipegang Dudun bisa menusuk perut Suzzanna hingga tembus. Meski tidak sekeras batu, tubuh manusia bukan puding yang mudah ditembus benda dengan tekanan tidak seberapa.
Tata kamera masih saja mengandalkan teknik mengagetkan (jump scare) sebagaimana film horor pada umumnya. Teknik semacam ini membosankan, kecuali saat kamera mengarah pada foto asli almarhum Suzanna Martha Frederika van Osch. Setiap kali kamera mengarah ke foto yang terpajang itu, saya cukup merinding. Mungkin karena di dunia nyata, legenda dalam sejarah film horor Indonesia itu memang benar-benar sudah tiada. Di bagian tata suara juga tidak ada yang baru. Permainan musik yang keras tiba-tiba dan cekikikan khas Suzzanna juga masih diandalkan untuk menghadirkan suasana mencekam. Dalam audio-visual, film ini tidak menawarkan kejutan.
Mungkin karena di dunia nyata, legenda dalam sejarah film horor Indonesia itu memang benar-benar sudah tiada. Di bagian tata suara juga tidak ada yang baru. Permainan musik yang keras tiba-tiba dan cekikikan khas Suzzanna juga masih diandalkan untuk menghadirkan suasana mencekam. Dalam audio-visual, film ini tidak menawarkan kejutan.
Sedangkan dalam tata artistik, saya menemukan anakronisme di mana-mana. Menurut keterangan di awal film, kisah ini terjadi pada Mei 1989, 34 tahun lalu. Latar ini awalnya meyakinkan saya ketika kamera menampilkan Morris 1951, mobil milik Satria. Namun, setelah itu, imajinasi saya langsung ambyar ketika menyaksikan rambut para pemain. Gaya rambut Jonal dan Satria, misalnya, terlihat seperti gaya rambut cowok milenial tahun 2000-an ala kelompok penyanyi asal Taiwan atau Korea. Belum lagi model celana yang dipakai keduanya, juga tokoh laki-laki lainnya. Kalau tidak melihat keterangan tahun di awal film, penonton akan merasa kisah dalam film ini terjadi seminggu sebelum film ini ditayangkan di bioskop.
Film ini juga beberapa kali kehilangan logika cerita, salah satunya saat warga kampung membakar rumah Suzzana. Dari mana warga kampung tahu kalau Suzzanna menjelma hantu sundel bolong padahal mereka belum tahu bahwa Suzzanna sudah mati? Suzzanna pun tidak menghantui warga kampung. Sebelumnya juga tidak terlihat ada interaksi antara Umar dengan warga kampung, tapi kenapa tiba-tiba Umar bisa mengorganisasi dan memprovokasi warga kampung hingga mereka berduyun-duyun membakar rumah Suzzanna? Apakah karena Suzzanna tidak ikut sembahyang subuh berjamaah sebagaimana biasa lalu masyarakat di sekitarnya bisa langsung menyimpulkan Suzzanna mati dan jadi hantu? Sungguh tidak masuk akal!
Dalam film ini memang tidak ada lagi pemuka agama semacam kiai atau ustaz yang dikerdilkan peran sosialnya sebatas pengusir hantu sebagaimana sering kita lihat dalam film-film horor Indonesia pada umumnya. Namun, Suzzanna masih saja kepanasan saat mendengar Satria membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Sutradara sepertinya malas berpikir atau kebingungan mencari alternatif lain yang lebih cerdik, serta masuk akal, untuk meyakinkan Satria bahwa Suzzanna sudah mati dan menjelma arwah gentayangan. Akhirnya, sebagaimana selalu dipakai dalam film-film horor Indonesia, adegan Suzzanna mengerang saat mendengar lantunan kitab suci masih saja dijadikan pilihan utama untuk menggambarkan kehantuannya. Suzzanna menjerit berlari kepanasan hingga kaca jendela rumah mereka berantakan saat Satria melantunkan Surah Yasin di hadapannya. Terkesan dramatis, meskipun tidak kreatif serta kurang logis, dan lagi-lagi mimesis.
Sampai pada adegan ini, muncul pertanyaan di tempurung kepala saya. Kenapa dalam film-film Indonesia, khususnya genre horor, kitab suci hanya ditampilkan dan diperdengarkan untuk membuat hantu-hantu kepanasan? Tidak bisakah ayat-ayat itu ditampilkan dan diperdengarkan untuk menyadarkan tokoh-tokohnya yang berlaku keji dan mungkar, baik yang hantu maupun yang bukan? Bukankah kitab suci diturunkan oleh Tuhan ke dunia sebagai pedoman agar manusia menjadi manusia, namun mengapa dalam film-film Indonesia kitab suci hanya dijadikan sebagai penyiksa hantu atau pengusir setan?
Kedangkalan film ini dalam menampilkan simbol agama juga tampak pada kesalehan Suzzanna dan Satria yang dicitrakan sebagai pasangan yang rajin sembahyang berjamaah dan tekun mengaji Qur’an. Di sini pula ketidakkonsistenan itu berada. Sebagai orang yang taat beragama, kalau pun harus mati dengan cara mengenaskan, mestinya Suzzanna tidak jadi arwah gentayangan, apalagi bangkit sebagai sundel bolong untuk balas dendam. Dalam khazanah eskatologi Islam (sebagaimana agama yang dianut Suzzanna dan Satria dalam film ini), tidak ada konsep manusia bereinkarnasi menjadi hantu, apalagi menjelma sundel bolong. Dan sebagaimana dalam ajaran agama apa pun, balas dendam juga dilarang dalam Islam. Tak hanya Suzzanna, warga kampung yang sebelumnya digambarkan rajin sembahyang berjamaah juga tiba-tiba kalap dan main hakim sendiri saat membakar rumah Suzzanna. Secuil pun, tak ada efekkah ibadah atau ritual keagamaan itu ke dalam kehidupan sosial mereka?
Kedangkalan film ini dalam menampilkan simbol agama juga tampak pada kesalehan Suzzanna dan Satria yang dicitrakan sebagai pasangan yang rajin sembahyang berjamaah dan tekun mengaji Qur’an. Di sini pula ketidakkonsistenan itu berada. Sebagai orang yang taat beragama, kalau pun harus mati dengan cara mengenaskan, mestinya Suzzanna tidak jadi arwah gentayangan, apalagi bangkit sebagai sundel bolong untuk balas dendam.
Dari sisi politik dan ekonomi, film ini mengerdilkan peran kaum buruh sekaligus mementahkan perjuangan mereka dalam menuntut haknya. Kaum buruh, melalui tokoh Jonal dan kawan-kawannya, dicitrakan sebagai sekelompok orang yang tamak. Padahal, dalam kehidupan nyata, justru pemilik dan elite perusahaanlah yang rakus dan semena-mena terhadap para pekerjanya. Buktinya, hingga hari ini, buruh di Indonesia belum sejahtera. Upah minimum regional di tiap daerah pas-pasan untuk menunjang beban hidup mereka dan keluarganya. Ketimpangan sosial dan ekonomi terus terjadi akibat regulasi-regulasi ketenagakerjaan yang tidak berpihak kepada buruh. Dalam hal ini, keluhan dan harapan Gino hingga dia ikut merampok rumah Satria untuk mencari uang demi kesembuhan sang ibu menemukan relevansinya.
Relasi kuasa yang timpang juga bisa kita lihat dalam pemilihan keluarga Satria yang merupakan elite perusahaan sebagai korban. Dalam kehidupan di luar film, kita justru sering menyaksikan sebaliknya. Buruh tidak hanya mendapatkan ketidakadilan dalam hal pengupahan dan jaminan keselamatan kerja, tapi juga mengalami teror, penganiayaan, hingga pembunuhan. Sampai di sini tiba-tiba saya teringat Marsinah, seorang buruh perempuan di satu pabrik arloji di Jawa Timur yang dibunuh secara sadis dan terencana 30 tahun silam.
Ah, andai pemilihan tokoh Suzzanna dalam film ini tidak dari kelas elite perusahaan tapi dari kelas pekerja pasti lebih menghunjam ceritanya. Andai sutradara film ini menjadikan buruh seperti Marsinah sebagai Suzzanna yang menuntut balas kepada para pembunuhnya tentu film ini akan lebih kontekstual dan lebih mencerdaskan. Setidaknya, penyiksaan dan dan pembunuhan Marsinah yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia menemukan “keadilan”-nya dalam film ketika keadilan itu tak didapatkan keluarga dan rekan-rekan seperjuangan Marsinah di dunia nyata.
Tidak hanya dangkal dalam menampilkan agama dan realitas ekonomi-politik, film ini juga dangkal dalam memahami budaya. Tradisi atau kearifan lokal masih saja dicitrakan sebagai sesuatu yang sesat dan menyesatkan. Ini bisa kita saksikan pada sosok Mbah Turu (Norman R. Akyuwen), seorang dukun yang sering tertidur saat “bertugas”, yang membantu niat jahat Jonal dan Umar untuk menghabisi hantu Suzzanna beserta Satria.
Dengan kemenyan, keris, juga kidung “Rumekso ing Wengi” gubahan Sunan Kalijaga (yang lagi-lagi membuat hantu Suzzanna menjerit histeris), Mbah Turu yang gondrong dan berpenampilan awut-awutan digambarkan sebagai penganut ilmu hitam yang kejam sekaligus mata duitan. Padahal kemenyan, keris, juga tembang tidak berkonotasi kepada hantu atau setan. Tiga produk budaya itu adalah medium yang dipakai manusia Nusantara untuk menyambungkan batin mereka kepada Tuhan sekaligus menjaga ikatan kosmologisnya dengan alam. Sebegitu picisankah film ini memaknai instrumen kebudayaan kita? Kenapa dukun harus digambarkan sebagai sosok jahat yang diperlawankan dengan apa atau siapa pun yang diidealkan sebagai kebaikan atau kebenaran?
Untuk mengesankan kisah cinta Suzzanna dan Satria abadi dan bahagia, sutradara film ini membuat Satria mati terbunuh di akhir cerita. Kenapa Satria harus mati? Hanya dalam atau dengan kematiankah manusia bisa meraih kebahagiaan? Tidak bisakah Satria dibiarkan tetap hidup lalu menjalani kebahagiaan tanpa harus ikut mati bersama Suzzanna? Kenapa mati menjadi solusi terakhir untuk bahagia? Sebegitu suramkah menjalani kehidupan di dunia hingga kematian Satria dipilih sebagai pamungkas cerita?
Film ini juga gagal menampilkan realitas sosial masyarakat kita. Absennya polisi, misalnya. Tidak hanya dalam peristiwa pembakaran rumah Suzzanna dan Satria, para penegak hukum itu juga tidak dihadirkan ketika Dudun dan Gino terbunuh, padahal keduanya tewas di pabrik dan di asrama pekerja. Dudun mati mengenaskan karena terlilit gulungan tali ketika lari dari bayang-bayang Suzzanna, sementara Gino tewas setelah Jonal menusuknya berkali-kali karena mengiranya hantu sundel bolong itu.
Sebegitu lalaikah polisi kita? Bukankah setiap pabrik memiliki personel satpam yang menjaganya 24 jam dan bisa menghubungi polisi kapan saja ketika terjadi kekacauan apalagi pembunuhan? Mengapa tidak ada seorang pekerja pun yang melapor ke polisi atas terbunuhnya Gino atau Dudun? Sebegitu naifkah warga kampung, hingga tidak ada satu orang pun yang waras, lalu mencegah agar warga lainnya tidak main hakim sendiri dalam peristiwa pembakaran rumah Suzzanna dan Satria?
Situs Filmindonesia.or.id mencatat, film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur meraih 3.346.185 penonton. Film ini pun menjadi film Indonesia terlaris kedua pada tahun 2018. Gejala apa ini? Kenapa masyarakat kita suka menonton film berisi aksi-aksi balas dendam dengan adegan-adegan bertabur kekerasan dan kebiadaban?
Film ini dirilis pada 15 November 2018 di bioskop-bioskop se-Indonesia. Saat itu, situasi sosial-politik bangsa ini sedang panas-panasnya akibat hawa pemilihan presiden 2019. Dengan capaian penonton sebanyak itu, saya menduga, masyarakat kita sedang mencari hiburan untuk menghindari kisah horor di luar bioskop: politisasi agama dan politisasi identitas, rasisme, sumpah serapah cebong dan kampret yang mengotori harmoni sosial, penegakan hukum dan HAM yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, korupsi wakil rakyat dan pejabat negara yang tak sudah-sudah, juga dusta dan kepalsuan yang diumbar para elite politik dalam acara debat-debat di televisi.
Film Suzzanna: Bernapas dalam Kubur menjadikan kekerasan sebagai komoditas, dan masyarakat kita pun membelinya, sebagai cara termurah untuk melarikan diri dari realitas politik dan ekonomi yang sarat banalitas.[]