Baru dua hari lalu, entah dorongan apa, saya menonton YouTube kiai sepuh ini. Belum terlihat sepuh di video itu. Rambutnya masih hitam, dan dengan jenaka, ia ceritakan tentang pengalamannya pertama kali menyalatkan jenazah karena terpaksa. Di kesempatan itu, hanya ia yang dianggap layak menjadi imam. Bukan di sembarang tempat, tetapi tempat di mana ia terbaring kini, Mekkah Al Mukaramah. Persoalannya, ia mengaku belum paham benar tata cara shalat itu, terutama tentang berapa jumlah takbirnya (tentu ini sebuah anekdot dan kerendahatian). Untuk berterus terang ia tak cukup keberanian.
“Isa jatuh jenengku,” (bisa jatuh namaku) akunya yang disambut gelak tawa. Maka ia menempuh cara ini: mendekati penggali kubur dan pura-pura mengujinya. Taktik ini berhasil. Dari penggali kubur yang terintimidasi itulah jumlah itu diketahui: empat takbir.
Saya tergelak mendengar betapa kiai karismatik ini tak menganggap penting karisma yang disematkan umat kepadanya.
Saya tergelak mendengar betapa kiai karismatik ini tak menganggap penting karisma yang disematkan umat kepadanya. Ia melayani umat dengan bahasa umatnya: bersahaja, segar dan tak menolak anekdot. Kini jumlah takbir yang sama digemakan oleh begitu banyak suara untuknya, di tanah yang diimpikan banyak para alim untuk bersemayam di dalamnya, tanah yang ia ceritakan ketika harus bersalat jenazah dengan takbir yang ia mengaku lupa itu.
Mbah Moen, Mbah Maimoen Zubair, salah seorang benteng umat, pribadi yang kepadanya dialamatkan bermacam-macam pertanyaan telah mangkat. Jenis keberangkatan yang menjadi keirian para alim. Mbah Moen, atas izin Allah, dengan jelas mengabarkan kepada kita kelas keulamaannya. Semua tergambar dalam caranya hidup dan caranya pergi. Bahwa Mbah Moen kiai besar, banyak orang telah mengerti. Tetapi bagi saya yang bukan santri, figur itu semula terasa jauh.
Saya sampai pada waktu tertentu hanya pengagum kiai besar ini dari sebuah jarak. Jauh bukan karena jarak tetapi karena kultur. Saya merasa tak punya modal kultural bahkan untuk berani sowan karena perasaan bukan santri.
Saya sampai pada waktu tertentu hanya pengagum kiai besar ini dari sebuah jarak. Jauh bukan karena jarak tetapi karena kultur. Saya merasa tak punya modal kultural bahkan untuk berani sowan karena perasaan bukan santri. Perasaan ini menyiksa karena pada etape yang kemudian, saya mulai jatuh cinta pada kebudayaan santri dengan salah satu tradisi pentingnya adalah sowan kiai. Dunia santri, dunia yang semula tak saya akrabi mulai terasa menarik hati. Dunia ini memesona saya karena keberhasilannya mempertemukan apa yang mestinya menjadi ideologi kultural negeri ini: adab dan ilmu. Di tingkat inilah saya mulai melihat dengan rasa iri teman-teman yang rajin sowan kiai.
Mbah Moen telah sepuh saat itu. Mulai muncul dalam hati saya, betapa akan sangat saya sesali jika walau hanya sekali saya belum pernah sowan dan meminta doanya. Jarak Semarang-Sarang hanya 5 jam perjalanan. Tetapi jarak kultural saya membuatnya menjadi jauh sekali sampai kemudian, secara tak terduga, alam menghadiahi lewat putra beliau sendiri: Gus Ghofur.
Dunia santri, dunia yang semula tak saya akrabi mulai terasa menarik hati. Dunia ini memesona saya karena keberhasilannya mempertemukan apa yang mestinya menjadi ideologi kultural negeri ini: adab dan ilmu.
“Tindak Sarang Mas. Nanti saya sowankan Abah,” (Pergi ke Sarang Mas. Nanti saya sowankan Abah) kata Gus Ghofur. Saya, tanpa Gus Ghofur tahu butuh terdiam saat ia menutup telponnya. Saya tak ingat apakah waktu itu saya menangis atau hanya terdiam. Yang jelas saya merasa sangat emosional. Rasa itu saya sembunyikan rapat karena ia terlalu absurd untuk dikabarkan apalagi kepada pihak yang tak berlatar belakang kebudayaan ini.
Gus Ghofur membawa kami, saya anak-anak dan istri, sowan ke Sarang. Perjalanan yang mendebarkan karena ia serupa migrasi kultural saya. Mbah Moen sedang banyak tamu, dan selalu banyak tamu: “Putranya saja harus antre menunggu,” kata Gus Ghofur yang membawa kami sarapan di meja makan di dalam. Saya pernah gugup saat hendak menikah. Tetapi rasanya tak segugup di meja makan itu. Lalu saatnya pun tiba. Kami ditimbali (kami dipanggil). Inilah Guru itu. Istri dan anak-anak menahan diri agak berjarak. Saya dibiarkan mendekat untuk selanjutnya Mbah Moen bernarasi panjang. Anak lanang saya, Maulana Gibran, sambil memotret agaknya merekam narasi itu dengan ingatannya dan ia tulis di FB dan Twiternya, saya nukil kutipannya:
~~~
Suatu kehormatan pernah diberi kesempatan duduk di ruangan yang sama dengan almarhum guru besar kita KH Maimoen Zubair.
Ilmu saya masih belum cukup untuk paham betul semua tutur kata yang Mbah Moen haturkan. Tetapi kuimani bahwa berada di sana merupakan pintu menuju keberkahan.
Salah satu yang paling kuingat ialah dhawuh (pesan) beliau mengenai daerah kelahiranku Jawa Tengah. Beliau menjelaskan bahwa dengan keberadaannya, Jawa Tengah berfungsi sebagai sentral bagi Indonesia. Dan tugas kami sebagai penghuninya untuk ikut berkontribusi menjadi pusat bagi negara ini.
Indonesia sedang kehilangan salah satu tokoh besarnya. Tetapi keberkahan dari beliau insyaAllah tidak akan pernah berhenti mengalir untuk Indonesia.
اللهم اغفرله وارحمه وعافه واعف عنه.
~~~
Begitu tulis Gibran.
Dua hari lalu, saat saya tonton YouTube itu, saat Mbah Moen bercerita tentang saat jenazah yang dugaan saya adalah sebuah ankedot itu, tampaknya adalah cara beliau berpamitan. Lalu ketika kabar itu benar-benar datang, kami, anak-anak dan istri, nyaris serupa refleks berkumpul dalam diam.
Gus Ghofur, sungkem kami. Matur nuwun telah memberi kami kesempatan. Doa kami panjatkan.
***