Besok saya mau nonton bioskop. Dan saya butuh bilang begitu karena setiap rencana ke bioskop, apalagi setelah keluar darinya, selalu ada perasaan istimewa. Bukan “istimewa” yang istimewa-istimewa amat sebenarnya, atau setidaknya setinggi arti dengan atribut yang melengkapi kata itu. Mungkin perasaan yang khusus, lebih tepatnya.
Saya sebut khusus, karena pada dasarnya saya memang jarang pergi ke bioskop—mungkin boleh disebut langka jika dibandingkan setidaknya dengan cap penggila Film yang disematkan beberapa teman terhadap saya. Rasa khusus itu biasanya membuat ingatan tentang kapan dan film apa yang pernah saya tonton langsung segera saya bisa ingat.
Bahkan, seperti hari ini, memikirkan bioskop cukup untuk memanggil kembali ingatan hampir lengkap tentang hubungan saya dengan film, tapi lebih khusus lagi hubungan saya dengan bioskop.
**
Nonton film itu banyak mudaratnya dibanding bermanfaat. Saya kira itu dianut oleh kebanyakan kalangan santri di mana saja, termasuk di masyarakat desa saya. Tidak berfaedah, buang waktu, bikin malas ngaji, bahkan bisa lupa salat. Itu hanya sedikit saja alasan. (Kalau mau dideret lebih lengkap, mungkin hasil akhirnya bukan sebuah tulisan kenangan, melainkan sebuah novel baru.) Maka, seingat saya, kecuali untuk film-film Rhoma Irama (yang justru banyak diceritakan secara lisan oleh bapak saya), meminta izin untuk menonton film nyaris selalu ditanggapi dengan kecurigaan oleh orangtua saya.
Dan kecurigaan itu sama sekali tidak salah. Kami, bocah-bocah haus hiburan di puncak kejayaan Orde Baru, sekaligus di puncak ketertinggalan kami sebagai orang Indonesia udik pada Pelita V, tentu saja tidak menonton film yang cocok dengan usia kami, lebih-lebih film yang menginspirasi agar kami rajin masuk sekolah.
Cawat Sally Marcelina, sempak Yurike Prastica, atau kutang Eva Arnaz adalah sebagian dari motivasi kami menonton. Saya kira, kami sudah membicarakan hal-hal macam itu ketika saya belum lagi kelas lima MI. Itu waktu yang sama ketika kami juga sudah mulai berbagi bacaan Freddy S. dan Eddy D. Iskandar, di antara pembicaraan kisah cinta ganjil dan berbau paedofil ala Pangeran Purbaya dan embannya Cempaka dari serial drama radio Babat Tanah Leluhur.
Film jadi bagian hidup kami lewat program Film Cerita Akhir Pekan TVRI, yang diputar tiap Sabtu malam, sehabis Berita Terakhir jam 11.30 malam itu. Juga layar tancap, yang masuk desa secara sangat acak. Tapi, terutama dari pemutaran-pemutaran film video ketika ada orang kampung atau tetangga kampung punya hajatan. Jelas, rating dan parenting sama sekali tak terlintas di pikiran para juru putarnya.
Bioskop sebenarnya tak jauh-jauh amat. Hanya sekitar 25 kilometer ke arah barat. Tuban, kota terdekat dari desa kami, punya tiga bioskop yang sangat terkenal. Saya selalu menyimak jadwal tayang bioskop-bioskop itu dari Radio RKPD, tapi tak pernah berkesempatan nonton.
Tapi, tentu saja itu tak sesederhana kelihatannya. Pertama, 25 kilo meter bukanlah jarak yang dekat jika angkutan umum yang tersedia di desamu hanya cikar dan dokar. Beberapa orang punya sepeda pancal, tapi lebih sedikit yang cukup gila untuk ngontel 50 kilo meter PP demi sebuah film di bioskop. Dulu, dulu sekali, di kecamatan, 15-an kilo meter ke timur, katanya ada gedung pertunjukan yang sekaligus merangkap jadi gedung film. Sayangnya, bioskop itu hanya sampai di generasi bapak saya. Generasi kami cuma kebagian riwayatnya saja.
Bioskop biasanya hanya bisa dicapai oleh segerombolan remaja nekat. Ketika tersebar berita bahwa film Rhoma Irama Bunga Desa syuting di desa yang tak jauh dari desa kami, semua orang sangat penasaran ingin tahu macam mana film itu. Konon, beberapa orang keranjingan berjalan kaki untuk bisa sampai bioskop—mungkin jalan kaki dan menumpang truk atau kendaraan apa pun, lebih tepatnya. Tapi, remaja-remaja nekat ini, bagaimanapun jauh lebih tua dari kami. Kami waktu itu masih terlalu kecil untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu adalah masalah kedua.
Masalah ketiga, dan ini yang paling penting dan ditegaskan berulang-ulang oleh para orangtua dan guru ngaji kami: bioskop itu lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya, seperti juga film. Masalah ini menimbulkan masalah keempat: lalu dari mana kami dapat sangu untuk nonton?
Bioskop, oleh karena itu, memang sedikit identik dengan anak nakal. Teman saya yang saat itu sudah menempuh SMP di Tuban dan bisa berbual-bual tentang film bioskop dikenal karena kebengalannya. Meski begitu, bisa nonton bioskop adalah salah satu yang saya pikirkan ketika memutuskan melanjutkan sekolah menengah di Babat, kota kecil di selatan Bengawan Solo, yang punya sebuah bioskop tua yang legendaris. Tapi pikiran itu tak pernah terlaksana. Pertama, mungkin karena saya tak cukup bengal. Kedua, karena uang saku saya sangat cekak bahkan untuk sekadar berusaha jadi bengal. Ketiga, dan ini yang lebih penting, bioskop itu sudah keburu tumbang duluan, berbarengan dengan bertumbangannya bioskop-bioskop di kota-kota kecil di paroh akhir ‘90-an.
Ketika saya ke Jogja dan memutuskan jadi tukang azan agar dapat kamar gratisan, saya kira saya tidak berjodoh dengan bioskop. Tapi, saya salah duga.
Pengaruh Pergaulan Metropolis memang mustahil dilawan. Dan, Kenikmatan Terlarang itu tak pernah bisa diabaikan.
Hidup (baca: takdir—biar lebih terdengar religius) membawa saya ke sebuah kamar yang berbagi dinding dengan sebuah menara air di sebuah loteng masjid di Ratmakan. Itu adalah sebuah kampung padat di lereng sempit lembah Kali Code. Sebuah lorong kecil di bawah jembatan Jalan Senopati akan menghubungkan kampung itu dengan Sayidan, kampungnya band ska Shaggy Dog. Di lorong itu pula, sesekali, terutama di masa kampanye pemilu, orang Ratmakan yang PDI-P dan oknum Sayidan yang PPP akan terlibat saling ancam.
Mungkin terdengar gegabah, tapi bagi saya Ratmakan adalah sebuah limbo. Itu adalah neraka yang bernuansa surga, atau sebaliknya surga yang bercitarasa neraka, tergantung perasaan Anda. Di situ, saya melakukan hal yang akan diidealkan orangtua dan para guru ngaji saya di rumah: mengajari salat dan mengaji anak-anak, menyumbangkan suara sumbang saya untuk ikut bersahutan di udara Jogja yang sumpek, menuntun para ibu membetulkan hafalan doa dan bacaan Qurannya; singkatnya, saya belajar untuk jadi berguna bagi nusa-bangsa dan agama. Tapi, di situ juga saya untuk pertama kalinya mesti membiasakan diri bergaul dengan teman yang setengah mabuk atau sama sekali mabuk, menghadapi keragaman Jogja yang bagi saya waktu itu sangat ekstrem, dan— ironisnya—mulai menyadari (yang kemudian berujung jadi keyakinan) bahwa saya tampaknya tidak akan bisa berguna bagi agama saya, setidaknya dengan cara-cara yang biasa.
Tapi limbo itu mungkin lebih jelas terasa dalam arti geografis dibanding sosiologis. Masjid itu hanya 10 menit jalan kaki dari Malioboro yang kondang itu, 7 menit dari nasi goreng babi Jalan Mataram yang nauzubillah ramainya, 6 menit dari Papillon, diskotik paling tenar di Jogja waktu itu, yang kisah tentang turis-turis Arabnya yang menghambur-hamburkan uang di tempat parkir sampai ke beranda masjid kami.
Saya sih tak ambil pusing dengan yang macam itu, tapi coba yang berikut ini. Hanya 2 menit ke arah barat, saya bisa menemukan pasar buku Shopping dan dua bioskop yang bersandingan dengannya, Senopati dan Jogja. Ke timur, dengan jarak yang lebih dekat lagi, saya sudah bisa langsung ada di depan loket Bioskop Permata.
Masjid itu, bukannya membuat saya jadi muslim yang tambah kaffah dan lebih taat syariat, justru memperkenalkan saya dengan salah satu tempat paling profan dalam kehidupan dunia yang penuh tipu daya ini: bioskop.
**
Masalahnya, setan tak kurang cara untuk menggoda manusia, demikian K.H. Zainuddin MZ memperingatkan.
Jarak sedekat apapun (dan akses semudah apapun) sebenarnya tak akan berarti apa-apa jika saya tidak salah pergaulan.
Sejak kecil, bersama sepakbola dan musik, saya memang tak pernah menganggap film semata sebagai hiburan. Tapi, di Jogja, lebih tepatnya di sebuah rumah reot dan kumuh di lingkungan perum dosen di Bulaksumur, saya menemukan pembenarannya. Di rumah di mana pada akhir ‘90-an film porno ditonton bersama dan didiskusikan, film-film diputar dan beredar tak kalah kencangnya dengan fotokopian buku Tetralogi Buru-nya Pram. Acara nonton bareng, terutama di pusat-pusat kebudayaan asing, terkhusus di LIP Sagan (yang hanya lima menit jalan), jadi kerutinan macam pengajian mingguan ibu-ibu arisan.
Saya sebenarnya tak larut-larut amat dengan kesesatan dan penyesatan yang nyata itu. Saya cukup bisa jaga diri. Saya mesti ada di masjid terutama ketika manjing Maghrib, dan itu sebisa mungkin saya penuhi. Masalahnya, setan tak kurang cara untuk menggoda manusia, demikian K.H. Zainuddin MZ memperingatkan.
Terlalu miskin untuk beli buku, sementara tugas kuliah Sastra tak pernah jadi bagian dari masalah, dan pengajian ibu-ibu yang mesti saya urus hanya seminggu sekali, saya kekurangan cara untuk menghabiskan waktu luang. Biasanya, sehabis jamaah salat isya, saya melenggang ke Shopping. Saat itu, Shopping Center berada tepat di pinggir jalan besar, dengan gerbang masuk di sebelah selatan. Di belakangnya, berdiri bersebelahan dengan angker dan kumuh Bioskop Senopati dan Jogja Theater.
Niat awalnya tentu saja kios-kios buku dengan koleksi karya sastra (biar cuma UGM, kita ini mahasiswa Sastra Indonesia, begitu ‘kan, Bal?) Pura-pura pilih-pilih, siapa tahu bisa menyelesaikan sebiji-dua biji cerpen Putu Wijaya yang bukunya tebal-tebal dan harganya mahal itu. Tapi itu tak bisa dilakukan terlalu sering dan tak boleh terlalu lama. Karena itu, untuk tampak memantaskan diri, saya beredar ke kios-kios lain. Ujungnya, biasanya, saya akan nyantol di lapak-lapak majalah bekas, karena pengawasannya yang relatif lebih longgar. Dan seingat saya, dibanding lapak jenis lain, di lapak macam inilah saya lebih banyak menghabiskan waktu.
Majalah bekas jelas lebih murah dibanding buku bekas. Karena itu, di sini, pura-pura menawar jauh lebih kecil risikonya. Kalau terpaksa beli, dan kadang saya memang melakukannya (dengan tujuan utama untuk investasi tentunya), saya bisa beli selembar-dua lembar Matra bekas atau Horison lama seharga Rp1.000-15.000. Tapi, biasanya, saya sangat sedikit menghabiskan waktu untuk majalah-majalah berbudaya itu. Majalah-majalah macam Majalah Film, Ria Film, atau Vista TV adalah tujuan utama saya. (Liberty atau Popular, kalau sedang khilaf dan ada kesempatan, ya tentu saja ikut dibaca juga.)
Ria Film dan terutama Majalah Film (yang sebenarnya tabloid itu) adalah kemewahan yang jarang di masa remaja. Saya mungkin sudah membacanya ketika belum usia SMP, tapi itu perjumpaan yang langka. Dan di Jogja saya melihatnya bertumpuk-tumpuk, berdebu, dan tampak tak berguna. Menyentuhnya, lalu membongkarnya dalam tumpukan-tumpukan, benar-benar bikin gemetar.
Seingat saya, saya tak pernah membeli satu eksemplar pun Majalah Film, meskipun harganya pasti lebih murah dibanding Matra atau Horison. Tapi membacanya (kembali) adalah racun. Saya tak tahu persisnya, tapi Majalah Film tampaknya tutup bersama ambruk dan rusaknya industri film Indonesia di paroh akhir ‘90-an itu. Dan, karena itu, majalah yang punya tagline “Bacaan Bergengsi Penonton Film” itu relatif mendekati hal yang identik dengan film indonesia di masa itu: syur, semlohe, dan jauh dari bergengsi.
Dan racun itu segera terasa. Lebih cepat daya rusaknya, terutama karena saya hanya membutuhkan beberapa langkah saja ke arah belakang Shopping untuk mewujudkan diri menjadi “penonton film yang bergengsi”, sekaligus menemukan gambar Inneke Koesherawati atau Malvin Shaina yang statis di sampul majalah itu bergerak di layar putih.
Meski demikian, film pertama yang saya tonton di bioskop di Jogja adalah sebuah Film India.
**
Gair sebenarnya bukan film India idaman saya. Sama-sama dibintangi Ajay Devgan, saya jauh lebih ingin nonton Gundaraj, film yang lagu-lagunya sangat saya kenal. Tapi tak apalah. Belum pernah mendengar soal Soboharsono, bioskop dekat alun-alun utara yang identik dengan film India yang mungkin waktu itu sudah kukut, saya kira itu akan jadi kesempatan terakhir dan satu-satunya nonton film India di sebuah bioskop di Jogja.
Lagi pula, sebuah film India yang mainstream tampaknya pilihan bijak untuk seorang merbot masjid. Bandingkan, misalnya, kalau saya nonton film Amerika esek-esek Private Lessons, film awal ’80-an yang posternya menggilakan itu, film yang mungkin sudah berpuluh tahun diputar ulang di bioskop itu. Maka, setelah menyelesaikan pergulatan yang hebat, saya masuk—untuk pertama kalinya—ke gedung bioskop. Itu Bioskop Permata, bioskop kelas bawah paling legendaris di Jogja.
Sebelum dengan gemetar mengangsurkan uang untuk beli tiket masuk, saya tahu saya sudah melakukan kesalahan. Dan meskipun rasa berdosa karena menonton film bukanlah perasaan yang asing bagi saya, malam itu jelas saya mesti melewati rasa berdosa paling besar—dan berlapis-lapis—yang pernah saya rasakan.
Bagaimana perasaan saya setelah itu ketika kembali mengajar anak-anak TPA Tepuk Anak Soleh? Bagaimana saya mesti bilang ketika menceramahi mereka soal bersikap jujur dan taat kepada orangtua di akhir salat taraweh? Saya memang tak soleh-soleh amat: baca Freddy S. sejak kanak kanak; dulu sering keluar pondok untuk nonton bola; saat di Jogja masuk UKM persma dan senang nonton film Prancis yang tak dipahami dan hanya sedikit mengerti kalau ada adegan erotisnya; kalau ngendon di Perpus Sastra bukannya baca bacaan bergizi macam cerpenis Dwi Cipta, tapi malah menyantap novel-novel kodian punya Umar Nur Zain, La Rose, atau Motinggo Busye, juga menapis rubrik Jagading Lelembut di Djoko Lodang; kemudian nyandu Majalah Film bekas di Shopping. Tapi, setelah masuk bioskop, saya merasa kotor. Bagaimanapun, sampai di malam jahanam itu, saya tetaplah mahasiswa baik-baik, dengan nilai IPK tiga koma, penulis cerpen pemula yang sudah pernah dapat piala, juga pelajar sekaligus kakak teladan di desa saya. Coba bayangkan kalau Anda jadi saya.
Tapi bukan hanya itu. Bayangkan jika malam itu seseorang yang mengenal saya di masjid melihat saya masuk bioskop. Apapun yang saya tonton di dalam, entah film India ecek-ecek atau film Amerika esek-esek, jelas tak akan ada bedanya. Maka, boleh jadi, begitu saya balik dari bioskop, saya akan menemukan barang-barang saya yang tidak banyak itu sudah terlempar dari kamar saya di loteng masjid. Jadi, saya juga merasa berdosa secara ekonomi.
Rasa berdosa jenis lain menyusul begitu saya yakin saya aman. Tak usah njelimet berpikir, saya tahu saya akan mengulangi dosa itu lagi di lain waktu.
Dan sembari menunggu saya mengulanginya, saya mencoba meredam rasa berdoa itu. Dengan puasa Senin-Kamis, misalnya. Cukup manjur. Lagipula, lumayan ‘kan dapat kepala ayam gratis?
**
Saya tak ingat apakah malam itu saya menonton Gairah yang Nakal atau Perempuan dalam Gairah atau film Inneke yang lain. Tapi saya ingat betul, alih-alih merasa bersalah, saya justru merasa sangat konyol.
Dan saya memang nonton lagi.
Lalu bagaimana dengan rasa berdosa itu? Tentu saja tetap. Tapi, saya mulai belajar bahwa rasa berdosa berbeda dengan dosa.
Usai mengisi pengajian ibu-ibu yang ustadnya tidak datang—saya ingat saat itu saya bicara tentang waktu-waktu yang tak diperbolehkan untuk menunaikan salat—saya bergegas mengendap-endap ke Permata. Saya tak tahu hendak nonton film apa. Ujungnya, yang ada saja. Malam itu saya nonton Raped by An Angel, yang dibintangi Simon Yam.
Di lain waktu, saya akhirnya tak bisa menahan diri untuk tak melihat gambar Inneke Koesherawati versi layar lebar. Seperti biasa, setelah iseng-iseng baca Majalah Film bekas, saya akhirnya memutuskan menjajal bioskop kumuh di belakang Shopping itu (yang saat ini telah disulap jadi Taman Pintar itu). Kalau di siang hari, untuk masuk ke Bioskop Senopati, saya mesti melewati lapak lapak buku dengan sajian utama novel-novel bekas Freddy S. dan/atau Enny Arrow. Di malam hari, tempat itu bisa terasa seperti dunia yang berbeda.
Saya tak ingat apakah malam itu saya menonton Gairah yang Nakal atau Perempuan dalam Gairah atau film Inneke yang lain. Tapi saya ingat betul, alih-alih merasa bersalah, saya justru merasa sangat konyol. Sebabnya, film yang sama, tentu dengan judul dan adegan yang sudah disesuaikan, satu atau dua hari sebelumnya sudah saya tonton di RCTI. Untung, tiketnya cuma Rp1.000. Jadi, dosa ekonominya tak terlalu berat untuk ditanggung.
Untuk sedikit merasa bergengsi, saya biasanya pindah ke bioskop sebelah. Di Jogja Theater, yang kalau tak salah sekarang menjadi tempat relokasi Pasar Buku Shopping, semua filmnya impor. Setidaknya, judul filmnya pakai bahasa Inggris semua. Dan karena itu, saya mesti bayar dua kali lipat lebih mahal dibanding Senopati dan Permata.
Saya ingat dua film—dan mungkin karena hanya dua itu saja—yang pernah saya tonton di Jogja Theater. Keduanya adalah Sexual Arousal dan Tale of The Kama Sutra: The Perfumed Garden. Film pertama, dibintangi Francois Yip dan tak ketemu entrinya di Wikipedia, saya tonton karena tergoda judulnya, meskipun saat itu tak ngerti artinya. Film kedua, untuk orang yang baru sayup-sayup dengar nama Mira Nair, ditonton karena mengira itu film nyeni—padahal Kama Sutra: Tale of Love dan Tale of The Kama Sutra bukan saja dua film yang berbeda, tapi juga berbeda derajat.
**
Saya tak tahu apakah orang-orang Ratmakan tahu saya nonton bioskop—dengan film-film macam itu. Tapi, sampai saya pamit baik-baik di ujung tahun ketiga kuliah saya, saya hanya pernah ditegur oleh pengurus masjid untuk keteledoran yang sifatnya keseharian: lupa menyapu halaman, telat bangun subuh, tak mau cium tangan sama ustad yang kasih pengajian, atau semacam itu. Jika ada yang berulang-ulang dan membuat saya hampir diusir, itu adalah soal sepakbola (kapan-kapan cerita itu bisa saja keluar juga).
Ketika kemudian saya tak lagi memiliki jadwal azan, dan tak harus mengurusi pengajian anak-anak dan ibu-ibu, jadi anak kos yang bebas sebebas-bebasnya, rupanya layar bioskop tak terlalu menarik lagi untuk dijelajahi. Ya, mungkin karena saya lebih menyukai nonton film sendirian. Tapi, terutama, karena saya tetap tak pernah cukup punya uang—yang kemudian dilegalisir dengan tutupnya semua bioskop yang tadi saya sebut. (Meski begitu, saya tak akan melupakan malam menyebalkan saat, untuk pertama kalinya dan sekali-kalinya, saya masuk Bioskop Mataram, mengantri puluhan orang, agar bisa nonton sebuah film yang canggung dan banci berjudul Gie.) Saat menonton film sudah benar-benar jadi kebutuhan, saya lebih memilih lari ke rental film jika saya punya kelebihan uang makan.
Manakala saya mulai memburuh, dan merasa cukup sah untuk mencari kompensasi kepenatan sehabis kerja, bioskop sama sekali tak masuk dalam kepala saya. Saya membeli komputer bekas ber-CD ROM, dan membawa pulang 5-10 film setiap akhir pekan. Ketika bertahun-tahun kemudian saya mengumpulkan ratusan judul film dalam format kepingan, bahkan membuat sebuah blog khusus membahas film, judul yang bisa dimasukkan ke daftar film yang saya tonton di bioskop tetap tak banyak bertambah. Jika semua film itu saya jadikan file, saya rasa saya tak akan membutuhkan flash disk lebih dari 32 GB.
Karena itulah, setiap memikirkan bioskop, lebih-lebih setelah memasukinya, rasa khusus itu masih menyisa. Mungkin bukan lagi rasa berdosa, tapi debar yang sama, yang dulu saya alami ketika pertama kali mengulurkan uang membeli tiket di Bioskop Permata, 17 tahun lalu, biasanya masih berulang. Dan mungkin masih akan terus seperti itu.
*Ditulis dengan rasa bersalah yang masih sama terhadap warga Ratmakan, khususnya Mas Jun, Mas Dul, Pak Man, dan Bu Sri—semoga kalian memaafkan saya.