Menu

Ketika ke Bioskop Adalah Suatu Dosa

Besok saya mau nonton bioskop. Dan saya butuh bilang begitu karena setiap rencana ke bioskop, apalagi setelah keluar darinya, selalu ada perasaan istimewa. Bukan “istimewa” yang istimewa-istimewa amat sebenarnya, atau setidaknya setinggi arti dengan atribut yang melengkapi kata itu. Mungkin perasaan yang khusus, lebih tepatnya.

Saya sebut khusus, karena pada dasarnya saya memang jarang pergi ke bioskop—mungkin boleh disebut langka jika dibandingkan setidaknya dengan cap penggila Film yang disematkan beberapa teman terhadap saya. Rasa khusus itu biasanya membuat ingatan tentang kapan dan film apa yang pernah saya tonton langsung segera saya bisa ingat.

Bahkan, seperti hari ini, memikirkan bioskop cukup untuk memanggil kembali ingatan hampir lengkap tentang hubungan saya dengan film, tapi lebih khusus lagi hubungan saya dengan bioskop.

**

Nonton film itu banyak mudaratnya dibanding bermanfaat. Saya kira itu dianut oleh kebanyakan kalangan santri di mana saja, termasuk di masyarakat desa saya. Tidak berfaedah, buang waktu, bikin malas ngaji, bahkan bisa lupa salat. Itu hanya sedikit saja alasan. (Kalau mau dideret lebih lengkap, mungkin hasil akhirnya bukan sebuah tulisan kenangan, melainkan sebuah novel baru.) Maka, seingat saya, kecuali untuk film-film Rhoma Irama (yang justru banyak diceritakan secara lisan oleh bapak saya), meminta izin untuk menonton film nyaris selalu ditanggapi dengan kecurigaan oleh orangtua saya.

Dan kecurigaan itu sama sekali tidak salah. Kami, bocah-bocah haus hiburan di puncak kejayaan Orde Baru, sekaligus di puncak ketertinggalan kami sebagai orang Indonesia udik pada Pelita V, tentu saja tidak menonton film yang cocok dengan usia kami, lebih-lebih film yang menginspirasi agar kami rajin masuk sekolah.

Cawat Sally Marcelina, sempak Yurike Prastica, atau kutang Eva Arnaz adalah sebagian dari motivasi kami menonton. Saya kira, kami sudah membicarakan hal-hal macam itu ketika saya belum lagi kelas lima MI. Itu waktu yang sama ketika kami juga sudah mulai berbagi bacaan Freddy S. dan Eddy D. Iskandar, di antara pembicaraan kisah cinta ganjil dan berbau paedofil ala Pangeran Purbaya dan embannya Cempaka dari serial drama radio Babat Tanah Leluhur.

Film jadi bagian hidup kami lewat program Film Cerita Akhir Pekan TVRI, yang diputar tiap Sabtu malam, sehabis Berita Terakhir jam 11.30 malam itu. Juga layar tancap, yang masuk desa secara sangat acak. Tapi, terutama dari pemutaran-pemutaran film video ketika ada orang kampung atau tetangga kampung punya hajatan. Jelas, rating dan parenting sama sekali tak terlintas di pikiran para juru putarnya.

Bioskop sebenarnya tak jauh-jauh amat. Hanya sekitar 25 kilometer ke arah barat. Tuban, kota terdekat dari desa kami, punya tiga bioskop yang sangat terkenal. Saya selalu menyimak jadwal tayang bioskop-bioskop itu dari Radio RKPD, tapi tak pernah berkesempatan nonton.

Tapi, tentu saja itu tak sesederhana kelihatannya. Pertama, 25 kilo meter bukanlah jarak yang dekat jika angkutan umum yang tersedia di desamu hanya cikar dan dokar. Beberapa orang punya sepeda pancal, tapi lebih sedikit yang cukup gila untuk ngontel 50 kilo meter PP demi sebuah film di bioskop. Dulu, dulu sekali, di kecamatan, 15-an kilo meter ke timur, katanya ada gedung pertunjukan yang sekaligus merangkap jadi gedung film. Sayangnya, bioskop itu hanya sampai di generasi bapak saya. Generasi kami cuma kebagian riwayatnya saja.

Bioskop biasanya hanya bisa dicapai oleh segerombolan remaja nekat. Ketika tersebar berita bahwa film Rhoma Irama Bunga Desa syuting di desa yang tak jauh dari desa kami, semua orang sangat penasaran ingin tahu macam mana film itu. Konon, beberapa orang keranjingan berjalan kaki untuk bisa sampai bioskop—mungkin jalan kaki dan menumpang truk atau kendaraan apa pun, lebih tepatnya. Tapi, remaja-remaja nekat ini, bagaimanapun jauh lebih tua dari kami. Kami waktu itu masih terlalu kecil untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu adalah masalah kedua.

Masalah ketiga, dan ini yang paling penting dan ditegaskan berulang-ulang oleh para orangtua dan guru ngaji kami: bioskop itu lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya, seperti juga film. Masalah ini menimbulkan masalah keempat: lalu dari mana kami dapat sangu untuk nonton?

Bioskop, oleh karena itu, memang sedikit identik dengan anak nakal. Teman saya yang saat itu sudah menempuh SMP di Tuban dan bisa berbual-bual tentang film bioskop dikenal karena kebengalannya. Meski begitu, bisa nonton bioskop adalah salah satu yang saya pikirkan ketika memutuskan melanjutkan sekolah menengah di Babat, kota kecil di selatan Bengawan Solo, yang punya sebuah bioskop tua yang legendaris. Tapi pikiran itu tak pernah terlaksana. Pertama, mungkin karena saya tak cukup bengal. Kedua, karena uang saku saya sangat cekak bahkan untuk sekadar berusaha jadi bengal. Ketiga, dan ini yang lebih penting, bioskop itu sudah keburu tumbang duluan, berbarengan dengan bertumbangannya bioskop-bioskop di kota-kota kecil di paroh akhir ‘90-an.

Ketika saya ke Jogja dan memutuskan jadi tukang azan agar dapat kamar gratisan, saya kira saya tidak berjodoh dengan bioskop. Tapi, saya salah duga.

Pengaruh Pergaulan Metropolis memang mustahil dilawan. Dan, Kenikmatan Terlarang itu tak pernah bisa diabaikan.

Hidup (baca: takdir—biar lebih terdengar religius) membawa saya ke sebuah kamar yang berbagi dinding dengan sebuah menara air di sebuah loteng masjid di Ratmakan. Itu adalah sebuah kampung padat di lereng sempit lembah Kali Code. Sebuah lorong kecil di bawah jembatan Jalan Senopati akan menghubungkan kampung itu dengan Sayidan, kampungnya band ska Shaggy Dog. Di lorong itu pula, sesekali, terutama di masa kampanye pemilu, orang Ratmakan yang PDI-P dan oknum Sayidan yang PPP akan terlibat saling ancam.

Mungkin terdengar gegabah, tapi bagi saya Ratmakan adalah sebuah limbo. Itu adalah neraka yang bernuansa surga, atau sebaliknya surga yang bercitarasa neraka, tergantung perasaan Anda. Di situ, saya melakukan hal yang akan diidealkan orangtua dan para guru ngaji saya di rumah: mengajari salat dan mengaji anak-anak, menyumbangkan suara sumbang saya untuk ikut bersahutan di udara Jogja yang sumpek, menuntun para ibu membetulkan hafalan doa dan bacaan Qurannya; singkatnya, saya belajar untuk jadi berguna bagi nusa-bangsa dan agama. Tapi, di situ juga saya untuk pertama kalinya mesti membiasakan diri bergaul dengan teman yang setengah mabuk atau sama sekali mabuk, menghadapi keragaman Jogja yang bagi saya waktu itu sangat ekstrem, dan— ironisnya—mulai menyadari (yang kemudian berujung jadi keyakinan) bahwa saya tampaknya tidak akan bisa berguna bagi agama saya, setidaknya dengan cara-cara yang biasa.

Tapi limbo itu mungkin lebih jelas terasa dalam arti geografis dibanding sosiologis. Masjid itu hanya 10 menit jalan kaki dari Malioboro yang kondang itu, 7 menit dari nasi goreng babi Jalan Mataram yang nauzubillah ramainya, 6 menit dari Papillon, diskotik paling tenar di Jogja waktu itu, yang kisah tentang turis-turis Arabnya yang menghambur-hamburkan uang di tempat parkir sampai ke beranda masjid kami.

Saya sih tak ambil pusing dengan yang macam itu, tapi coba yang berikut ini. Hanya 2 menit ke arah barat, saya bisa menemukan pasar buku Shopping dan dua bioskop yang bersandingan dengannya, Senopati dan Jogja. Ke timur, dengan jarak yang lebih dekat lagi, saya sudah bisa langsung ada di depan loket Bioskop Permata.

Masjid itu, bukannya membuat saya jadi muslim yang tambah kaffah dan lebih taat syariat, justru memperkenalkan saya dengan salah satu tempat paling profan dalam kehidupan dunia yang penuh tipu daya ini: bioskop.

**

Masalahnya, setan tak kurang cara untuk menggoda manusia, demikian K.H. Zainuddin MZ memperingatkan.

Jarak sedekat apapun (dan akses semudah apapun) sebenarnya tak akan berarti apa-apa jika saya tidak salah pergaulan.

Sejak kecil, bersama sepakbola dan musik, saya memang tak pernah menganggap film semata sebagai hiburan. Tapi, di Jogja, lebih tepatnya di sebuah rumah reot dan kumuh di lingkungan perum dosen di Bulaksumur, saya menemukan pembenarannya. Di rumah di mana pada akhir ‘90-an film porno ditonton bersama dan didiskusikan, film-film diputar dan beredar tak kalah kencangnya dengan fotokopian buku Tetralogi Buru-nya Pram. Acara nonton bareng, terutama di pusat-pusat kebudayaan asing, terkhusus di LIP Sagan (yang hanya lima menit jalan), jadi kerutinan macam pengajian mingguan ibu-ibu arisan.

Saya sebenarnya tak larut-larut amat dengan kesesatan dan penyesatan yang nyata itu. Saya cukup bisa jaga diri. Saya mesti ada di masjid terutama ketika manjing Maghrib, dan itu sebisa mungkin saya penuhi. Masalahnya, setan tak kurang cara untuk menggoda manusia, demikian K.H. Zainuddin MZ memperingatkan.

Terlalu miskin untuk beli buku, sementara tugas kuliah Sastra tak pernah jadi bagian dari masalah, dan pengajian ibu-ibu yang mesti saya urus hanya seminggu sekali, saya kekurangan cara untuk menghabiskan waktu luang. Biasanya, sehabis jamaah salat isya, saya melenggang ke Shopping. Saat itu, Shopping Center berada tepat di pinggir jalan besar, dengan gerbang masuk di sebelah selatan. Di belakangnya, berdiri bersebelahan dengan angker dan kumuh Bioskop Senopati dan Jogja Theater.

Niat awalnya tentu saja kios-kios buku dengan koleksi karya sastra (biar cuma UGM, kita ini mahasiswa Sastra Indonesia, begitu ‘kan, Bal?) Pura-pura pilih-pilih, siapa tahu bisa menyelesaikan sebiji-dua biji cerpen Putu Wijaya yang bukunya tebal-tebal dan harganya mahal itu. Tapi itu tak bisa dilakukan terlalu sering dan tak boleh terlalu lama. Karena itu, untuk tampak memantaskan diri, saya beredar ke kios-kios lain. Ujungnya, biasanya, saya akan nyantol di lapak-lapak majalah bekas, karena pengawasannya yang relatif lebih longgar. Dan seingat saya, dibanding lapak jenis lain, di lapak macam inilah saya lebih banyak menghabiskan waktu.

Majalah bekas jelas lebih murah dibanding buku bekas. Karena itu, di sini, pura-pura menawar jauh lebih kecil risikonya. Kalau terpaksa beli, dan kadang saya memang melakukannya (dengan tujuan utama untuk investasi tentunya), saya bisa beli selembar-dua lembar Matra bekas atau Horison lama seharga Rp1.000-15.000. Tapi, biasanya, saya sangat sedikit menghabiskan waktu untuk majalah-majalah berbudaya itu. Majalah-majalah macam Majalah Film, Ria Film, atau Vista TV adalah tujuan utama saya. (Liberty atau Popular, kalau sedang khilaf dan ada kesempatan, ya tentu saja ikut dibaca juga.)

Ria Film dan terutama Majalah Film (yang sebenarnya tabloid itu) adalah kemewahan yang jarang di masa remaja. Saya mungkin sudah membacanya ketika belum usia SMP, tapi itu perjumpaan yang langka. Dan di Jogja saya melihatnya bertumpuk-tumpuk, berdebu, dan tampak tak berguna. Menyentuhnya, lalu membongkarnya dalam tumpukan-tumpukan, benar-benar bikin gemetar.

Seingat saya, saya tak pernah membeli satu eksemplar pun Majalah Film, meskipun harganya pasti lebih murah dibanding Matra atau Horison. Tapi membacanya (kembali) adalah racun. Saya tak tahu persisnya, tapi Majalah Film tampaknya tutup bersama ambruk dan rusaknya industri film Indonesia di paroh akhir ‘90-an itu. Dan, karena itu, majalah yang punya tagline “Bacaan Bergengsi Penonton Film” itu relatif mendekati hal yang identik dengan film indonesia di masa itu: syur, semlohe, dan jauh dari bergengsi.

Dan racun itu segera terasa. Lebih cepat daya rusaknya, terutama karena saya hanya membutuhkan beberapa langkah saja ke arah belakang Shopping untuk mewujudkan diri menjadi “penonton film yang bergengsi”, sekaligus menemukan gambar Inneke Koesherawati atau Malvin Shaina yang statis di sampul majalah itu bergerak di layar putih.

Meski demikian, film pertama yang saya tonton di bioskop di Jogja adalah sebuah Film India.

**

Gair sebenarnya bukan film India idaman saya. Sama-sama dibintangi Ajay Devgan, saya jauh lebih ingin nonton Gundaraj, film yang lagu-lagunya sangat saya kenal. Tapi tak apalah. Belum pernah mendengar soal Soboharsono, bioskop dekat alun-alun utara yang identik dengan film India yang mungkin waktu itu sudah kukut, saya kira itu akan jadi kesempatan terakhir dan satu-satunya nonton film India di sebuah bioskop di Jogja.

Lagi pula, sebuah film India yang mainstream tampaknya pilihan bijak untuk seorang merbot masjid. Bandingkan, misalnya, kalau saya nonton film Amerika esek-esek Private Lessons, film awal ’80-an yang posternya menggilakan itu, film yang mungkin sudah berpuluh tahun diputar ulang di bioskop itu. Maka, setelah menyelesaikan pergulatan yang hebat, saya masuk—untuk pertama kalinya—ke gedung bioskop. Itu Bioskop Permata, bioskop kelas bawah paling legendaris di Jogja.

Sebelum dengan gemetar mengangsurkan uang untuk beli tiket masuk, saya tahu saya sudah melakukan kesalahan. Dan meskipun rasa berdosa karena menonton film bukanlah perasaan yang asing bagi saya, malam itu jelas saya mesti melewati rasa berdosa paling besar—dan berlapis-lapis—yang pernah saya rasakan.

Bagaimana perasaan saya setelah itu ketika kembali mengajar anak-anak TPA Tepuk Anak Soleh? Bagaimana saya mesti bilang ketika menceramahi mereka soal bersikap jujur dan taat kepada orangtua di akhir salat taraweh? Saya memang tak soleh-soleh amat: baca Freddy S. sejak kanak kanak; dulu sering keluar pondok untuk nonton bola; saat di Jogja masuk UKM persma dan senang nonton film Prancis yang tak dipahami dan hanya sedikit mengerti kalau ada adegan erotisnya; kalau ngendon di Perpus Sastra bukannya baca bacaan bergizi macam cerpenis Dwi Cipta, tapi malah menyantap novel-novel kodian punya Umar Nur Zain, La Rose, atau Motinggo Busye, juga menapis rubrik Jagading Lelembut di Djoko Lodang; kemudian nyandu Majalah Film bekas di Shopping. Tapi, setelah masuk bioskop, saya merasa kotor. Bagaimanapun, sampai di malam jahanam itu, saya tetaplah mahasiswa baik-baik, dengan nilai IPK tiga koma, penulis cerpen pemula yang sudah pernah dapat piala, juga pelajar sekaligus kakak teladan di desa saya. Coba bayangkan kalau Anda jadi saya.

Tapi bukan hanya itu. Bayangkan jika malam itu seseorang yang mengenal saya di masjid melihat saya masuk bioskop. Apapun yang saya tonton di dalam, entah film India ecek-ecek atau film Amerika esek-esek, jelas tak akan ada bedanya. Maka, boleh jadi, begitu saya balik dari bioskop, saya akan menemukan barang-barang saya yang tidak banyak itu sudah terlempar dari kamar saya di loteng masjid. Jadi, saya juga merasa berdosa secara ekonomi.

Rasa berdosa jenis lain menyusul begitu saya yakin saya aman. Tak usah njelimet berpikir, saya tahu saya akan mengulangi dosa itu lagi di lain waktu.

Dan sembari menunggu saya mengulanginya, saya mencoba meredam rasa berdoa itu. Dengan puasa Senin-Kamis, misalnya. Cukup manjur. Lagipula, lumayan ‘kan dapat kepala ayam gratis?

**

Saya tak ingat apakah malam itu saya menonton Gairah yang Nakal atau Perempuan dalam Gairah atau film Inneke yang lain. Tapi saya ingat betul, alih-alih merasa bersalah, saya justru merasa sangat konyol.

Dan saya memang nonton lagi.

Lalu bagaimana dengan rasa berdosa itu? Tentu saja tetap. Tapi, saya mulai belajar bahwa rasa berdosa berbeda dengan dosa.

Usai mengisi pengajian ibu-ibu yang ustadnya tidak datang—saya ingat saat itu saya bicara tentang waktu-waktu yang tak diperbolehkan untuk menunaikan salat—saya bergegas mengendap-endap ke Permata. Saya tak tahu hendak nonton film apa. Ujungnya, yang ada saja. Malam itu saya nonton Raped by An Angel, yang dibintangi Simon Yam.

Di lain waktu, saya akhirnya tak bisa menahan diri untuk tak melihat gambar Inneke Koesherawati versi layar lebar. Seperti biasa, setelah iseng-iseng baca Majalah Film bekas, saya akhirnya memutuskan menjajal bioskop kumuh di belakang Shopping itu (yang saat ini telah disulap jadi Taman Pintar itu). Kalau di siang hari, untuk masuk ke Bioskop Senopati, saya mesti melewati lapak lapak buku dengan sajian utama novel-novel bekas Freddy S. dan/atau Enny Arrow. Di malam hari, tempat itu bisa terasa seperti dunia yang berbeda.

Saya tak ingat apakah malam itu saya menonton Gairah yang Nakal atau Perempuan dalam Gairah atau film Inneke yang lain. Tapi saya ingat betul, alih-alih merasa bersalah, saya justru merasa sangat konyol. Sebabnya, film yang sama, tentu dengan judul dan adegan yang sudah disesuaikan, satu atau dua hari sebelumnya sudah saya tonton di RCTI. Untung, tiketnya cuma Rp1.000. Jadi, dosa ekonominya tak terlalu berat untuk ditanggung.

Untuk sedikit merasa bergengsi, saya biasanya pindah ke bioskop sebelah. Di Jogja Theater, yang kalau tak salah sekarang menjadi tempat relokasi Pasar Buku Shopping, semua filmnya impor. Setidaknya, judul filmnya pakai bahasa Inggris semua. Dan karena itu, saya mesti bayar dua kali lipat lebih mahal dibanding Senopati dan Permata.

Saya ingat dua film—dan mungkin karena hanya dua itu saja—yang pernah saya tonton di Jogja Theater. Keduanya adalah Sexual Arousal dan Tale of The Kama Sutra: The Perfumed Garden. Film pertama, dibintangi Francois Yip dan tak ketemu entrinya di Wikipedia, saya tonton karena tergoda judulnya, meskipun saat itu tak ngerti artinya. Film kedua, untuk orang yang baru sayup-sayup dengar nama Mira Nair, ditonton karena mengira itu film nyeni—padahal Kama Sutra: Tale of Love dan Tale of The Kama Sutra bukan saja dua film yang berbeda, tapi juga berbeda derajat.

**

Saya tak tahu apakah orang-orang Ratmakan tahu saya nonton bioskop—dengan film-film macam itu. Tapi, sampai saya pamit baik-baik di ujung tahun ketiga kuliah saya, saya hanya pernah ditegur oleh pengurus masjid untuk keteledoran yang sifatnya keseharian: lupa menyapu halaman, telat bangun subuh, tak mau cium tangan sama ustad yang kasih pengajian, atau semacam itu. Jika ada yang berulang-ulang dan membuat saya hampir diusir, itu adalah soal sepakbola (kapan-kapan cerita itu bisa saja keluar juga).

Ketika kemudian saya tak lagi memiliki jadwal azan, dan tak harus mengurusi pengajian anak-anak dan ibu-ibu, jadi anak kos yang bebas sebebas-bebasnya, rupanya layar bioskop tak terlalu menarik lagi untuk dijelajahi. Ya, mungkin karena saya lebih menyukai nonton film sendirian. Tapi, terutama, karena saya tetap tak pernah cukup punya uang—yang kemudian dilegalisir dengan tutupnya semua bioskop yang tadi saya sebut. (Meski begitu, saya tak akan melupakan malam menyebalkan saat, untuk pertama kalinya dan sekali-kalinya, saya masuk Bioskop Mataram, mengantri puluhan orang, agar bisa nonton sebuah film yang canggung dan banci berjudul Gie.) Saat menonton film sudah benar-benar jadi kebutuhan, saya lebih memilih lari ke rental film jika saya punya kelebihan uang makan.

Manakala saya mulai memburuh, dan merasa cukup sah untuk mencari kompensasi kepenatan sehabis kerja, bioskop sama sekali tak masuk dalam kepala saya. Saya membeli komputer bekas ber-CD ROM, dan membawa pulang 5-10 film setiap akhir pekan. Ketika bertahun-tahun kemudian saya mengumpulkan ratusan judul film dalam format kepingan, bahkan membuat sebuah blog khusus membahas film, judul yang bisa dimasukkan ke daftar film yang saya tonton di bioskop tetap tak banyak bertambah. Jika semua film itu saya jadikan file, saya rasa saya tak akan membutuhkan flash disk lebih dari 32 GB.

Karena itulah, setiap memikirkan bioskop, lebih-lebih setelah memasukinya, rasa khusus itu masih menyisa. Mungkin bukan lagi rasa berdosa, tapi debar yang sama, yang dulu saya alami ketika pertama kali mengulurkan uang membeli tiket di Bioskop Permata, 17 tahun lalu, biasanya masih berulang. Dan mungkin masih akan terus seperti itu.


*Ditulis dengan rasa bersalah yang masih sama terhadap warga Ratmakan, khususnya Mas Jun, Mas Dul, Pak Man, dan Bu Sri—semoga kalian memaafkan saya.


0
195
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.