Menu

Festival Ili-ili dan Cerita yang Mengitarinya

Ketika kita mendengar acara festival kita pasti akan membayangkan sebuah acara dengan gegab gempita keramaian serta rangkaian acara yang berlarat-larat dipenuhi banyak pagelaran seremonial. Tetapi beda halnya dengan acara festival Ili-Ili yang ada di Kecamatan Ngadirejo Temanggung Jawa Tengah (17-19/10/ 2022). Acara festival yang satu ini tidak hanya menyuguhkan seremoni seperti festival biasa, lebih dalam dari hal itu festival ini digunakan oleh kolektif anak muda di sana sebagai bentuk upaya konservasi mata air di tengah ancaman krisis lingkungan di lereng Gunung Sumbing.

****

Pagi itu saya berangkat ke Temanggung dengan banyak pertanyaan yang membayangi saya sepanjang jalan. Sebuah Pertanyaan penasaran akan seperti apa festival Ili-Ili dijalankan dan bagaimana format acara yang seperti apa yang akan dipresentasikan oleh panitia. Dengan mengangkat tagline yang menurut saya cukup dalam yaitu “mensyukuri nikmat dengan merawat” festival ini tampaknya ingin memberi makna lebih bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya.

Benar saja sesampainya saya di sana, semua peserta yang sebagian besar dari luar kota kemudian diarahkan oleh panitia pada satu bangunan rumah tua yang tampak masih klasik. Ndalem Abdurahman nama rumah yang tampak masih berdiri kokoh tersebut. Bentuk rumahnya seperti perpaduan antara arsitektur Jawa, Cina dan Arab yang bisa dilihat dari bangunan utama berbentuk limasan dengan pagar yang tinggi menjulang kemudian pintu masuk yang agak menjorok ke dalam, seperti yang kita dapati pada rumah-rumah di daerah kauman ataupun pecinan. Di rumah tersebut peserta melakukan registrasi kemudian diajak untuk melihat pembukaan pameran fotografi dan desain visual hasil lomba yang diadakan oleh panitia yang berkaitan dengan krisis lingkungan yang ada di daerah Temanggung.

Karya-karya fotografi dan desain visual dipresentasikan dengan rapi disertai tata letak layaknya di galeri profesional. Walaupun hanya sebuah rumah tua, yang menurut cerita panitia rumah tersebut sudah sekian lama tidak ditempati lalu dengan adanya festival rumah ini kemudian dijadikan ruang pemeran. Hal itu menunjukkan sebuah upaya pemanfaatan ruang secara lebih kreatif, sekaligus mengajak kembali peserta untuk menikmati suasana bangunan klasik yang mempunyai nilai sejarah dimana model arsitektur seperti rumah tersebut tidak banyak lagi digunakan oleh masyarakat sekitar saat ini.

Selepas acara pembukaan pameran selesai, peserta kemudian memasuki acara selanjutnya yaitu jelajah desa dengan tajuk “Desa Urban dan Ketahanan Pangannya.” Tidak jauh dari Ndalem Abdurahman, kira-kira hanya 200 meter peserta berjalan menyusuri jalan Desa Ngadirejo yang sudah padat penduduk. Peserta diajak untuk melihat laboratorium desa (Labdes) Ngadirejo. Lokasi Labdes ini sendiri dulunya adalah lahan mangkrak dengan tumpukan sampah yang menggunung, kemudian diaktivasi menjadi kebun kolektif yang asri bagi warga di tengah permukiman urban dusun Demangan.

M Anton Rifai sebagai kordinator Labdes dalam sarasehan madya menjelaskan bahwa laboratorium desa sendiri adalah ruang kolektif dari sekumpulan masyarakat yang ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di desa. Awal munculnya Lebdes dipicu karena ada kebutuhan karena selama ini tidak jarang realisasi pembangunan dan pemberdayaan yang diterapkan di desa masih jauh dari akar persoalan masyarakat. Anggota Labdes sendiri terdiri dari berbagai lapisan masyarakat terutama pemuda dan perangkat desa yang sadar akan pentingnya menjaga ekosistem yang sehat dan berdaya di desa.

“Keberadaan Lebdes ini diharapkan bisa menjadi titik temu untuk riset/laboratorium bagi pemikir dan pelaku dengan tujuan untuk melahirkan metode-metode baru untuk mewujudkan ruang hidup––khususnya di desa––yang lebih seimbang dari sisi lingkungan, ekonomi, sosial dan kebudayaan” ujar Anton­­­­­ yang juga sebagai Sekertaris Desa Ngadirejo (Pak Carik).

Sesampainya di Labdes peserta kemudian disuguhkan dengan dua bangunan dengan desain arsitektur berbahan dasar bambu. Penggunaan bambu sebenarnya selaras dengan tipografi daerah Temanggung yang masih banyak ditemukan bambu jenis ori atau petung. Tidak hanya itu, dalam Labdes juga terdapat kebun kolektif pangan lokal. Di sana ditanami dengan berbagai tanaman, sayuran, empon-empon dan obat-obatan.

Tidak lama kemudian kami dipersilakan untuk makan bersama di selasar Labdes yang tampak artistik dan asri. Semua peserta makan barsama dengan cara kembulan (makan bersama-sama beralaskan dengan daun pisang) yang berlarat panjang. Seperti dijelaskan oleh panitia bagian konsumsi semua makanan yang disuguhkan merupakan hasil dari olahan ibu-ibu desa setempat. Ada tuju lauk yang bermakna pitulungan mulai dari ayam Ingkung, sayur kacang kentang, rempeyek dan sebagainya yang menemani santap siang kami saat itu.

Ekologi dan Air: Antara Krisis dan Upaya Pelestariannya

Setelah santap siang sarasehan pertama dimulai. Peserta diajak urun rembuk soal bagaimana melihat krisis air dan upaya pelestariannya. Sarasehan madya ini dilaksanakan di rumah pak Erda tak jauh dari Labdes. Dalam sesi ini panitia mendatangkan beberapa penggiat lingkungan mulai dari penggerak aktivis hingga akademisi. Pertama Ukke R Kosasih salah satu penggiat lingkungan dari Bandung, Diah Widuretno sekolah Pagesangan dari Gunung Kidul Yogyakarta, Feby H. Kaluara Akademisi yang fokus meneliti soal air di kota urban dari Depok, dan Dicky Senda penggiat lingkungan dan pemberdayaan masyarakat di NTT. Dalam forum ini para pemateri memaparkan pengalaman dan perspektifnya melihat krisis lingkungan dan air.

Seperti diungkapkan oleh Feby dalam sarasehan bahwa ia menekankan di daerah hilir manajemen distribusi air yang sudah digunakan harus diperhatikan. Hal tersebut bertujuan agar penggunaan air bisa tepat guna dan tidak terbuang yang bisa jadi malah mencemari lingkungan.

“Di daerah urban ketersediaan air bersih ke depan akan menjadi persoalan serius. Maka dari hal itu ketersediaan mata air yang masih banyak bisa kita temukan di desa harus kita rawat dan jaga,” Ujar akademisi dan praktisi yang tinggal di Depok tersebut.

Tidak hanya itu Ukke R Kosasih juga menambahkan bahwa soal pengelolaan air sebenarnya ada di tangan setiap individu. Tanggung jawab tersebut tidak bisa hanya dilimpahkan pada orang-orang tertentu saja. Manusia seharusnya memiliki pilihan: apakah akan menjadi solusi atau justru menjadi polusi atas pengelolaan air. Karena pengelolaan air merupakan tanggung jawab bersama dari setiap kita manusia.

Sebenarnya keresahan terkait krisis air yang mana setiap musim hujan melimpah mengakibatkan banjir dan ketika musim kemarau kekurangan air menjadi persoalan bagi warga Ngadirejo inilah yang awalnya menjadi pemantik munculnya festival Ili-ili ini. Munif salah satu ketua acara menjelaskan bahwa ketergantungan manusia dengan air begitu tinggi. Tetapi hal itu tidak disadari oleh banyak orang hari ini termasuk warga Ngadirejo. Padahal Munif yang juga warga setempat menceritakan bahwa ancaman krisis air bersih semakin nyata di daerah Ngadirejo. Hal tersebut bisa dilihat dari semakin kecilnya debit air yang masuk ke rumah-rumah warga setiap jam produktif pagi hari. Hal ini dirasakan oleh sebagian besar warga Ngadirejo yang bertempat pada hilir Gunung Sumbing sebagai hulu resapan air bersih di bawahnya. Padahal selama ini masyarakat di hilir untuk kebutuhan air bersih warga di sana bergantung penuh pada PDAM yang mengambil sumber mata air dari hulu Gunung Sumbing.

Sebenarnya keresahan terkait krisis air yang mana setiap musim hujan melimpah mengakibatkan banjir dan ketika musim kemarau kekurangan air menjadi persoalan bagi warga Ngadirejo inilah yang awalnya menjadi pemantik munculnya festival Ili-ili ini. Munif salah satu ketua acara menjelaskan bahwa ketergantungan manusia dengan air begitu tinggi. Tetapi hal itu tidak disadari oleh banyak orang hari ini termasuk warga Ngadirejo.

“Bahkan ada sebuah riset dari salah satu akademisi bahwa 10 tahun ke depan jika tidak ada pengelolaan air lebih baik, daerah Temanggung bisa kekurangan air. Itu baru soal air, belum bagaimana soal alih fungsi lahan dan persoalan lainnya. Dari hal itu melalui festival ini setidaknya ada upaya untuk membangun kesadaran bersama untuk menjaga lingkungan” tegas Munif yang juga menjadi pegawai di pemerintahan Desa Ngadirejo.

Adanya ancaman terhadap kesediaan air bersih inilah kemudian memunculkan keprihatinan sebagian pemuda desa yang terhimpun dalam Labdes. Sehingga Lebdes yang di desain sebagai episentrum pengetahuan untuk memecahkan persoalan-persoalan di desa memunculkan ide untuk diadakan semacam gerakan konservasi mata air yang ada di daerah hulu lereng Gunung Sumbing sebagai sumber penyedia air bersih yang ada di Kecamatan Ngadirejo. Munculnya gagasan konservasi tentu tidak langsung disikapi dengan gegabah oleh pemuda yang ada di sana. Tetapi melalui berbagai dialog dan diskusi hampir selama setengah tahun seperti dikatakan Munif, kemudian dilakukan pemetaan masalah dan berupaya menginventarisir potensi yang ada di sana sehingga muncullah gagasan desain festival Ili-Ili ini.

Pemilihan bentuk festival sebagai medium konservasi bukan tanpa sebab. Karena bagaimanapun bentuk festival merupakan instrumen kebudayaan yang paling dekat dengan masyarakat. Sehingga diharapkan melalui berbagai konten acara dalam festival yang terhubung dengan tradisi yang sudah melekat dalam alam pikiran masyarakat di sana upaya transfer of kenowledge bisa tersampaikan secara lebih sublim dan mendasar.

Makna Ili-ili sendiri mengandung arti aliran air. Penggunaan kata Ili-ili dalam festival ini berangkat dari ungkapan bahasa Jawa yang dekat dengan kesadaran masyarakat di sana terkait air. Hal ini juga yang membedakan festival ini dengan bentuk festival lainnya, yang mana festival Ili-ili berusaha berangkat dari persoalan masyarakat dan berupaya menjawab persoalan tersebut menggunakan metode festival sebagai metrum kesadaran baru orang hari ini. Sehingga bentuk acara hingga konten-konten yang ada di dalamnya, mulai dari diskusi sarasehan, trip jelajah desa dan mata air, hingga pertunjukan seni semuanya berangkat dari apa yang ada di desa kemudian di kemas dengan sentuhan acara dalam bentuk festival yang lebih modern.

Selepas sarasehan madya selesai, peserta kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok. Tidak lama kemudian beberapa angkutan desa (mobil angkudes) telah siap menjemput peserta. Di bawah langit sore Desa Ngadirejo yang mulai gelap, semua peserta di bawa naik ke atas menuju homestay di lereng Gunung Sumbing untuk menginap. Menariknya homestay yang akan peserta tempati bukan di homestay mewah layaknya di tempat wisata, tetapi peserta diajak untuk tinggal dibeberapa rumah warga setempat agar lebih bisa secara langsung bersentuhan dengan masyarakat setempat.

Kebetulan saya dan kelompok kecil saya ditempatkan di salah satu rumah warga bapak “Sulasyo”. Rumah sederhana, tetapi begitu hangat dengan sambutan dan rasa kekeluargaan yang disuguhkan mereka ketika menyambut kedatangan kami. Bapak Sulasyo sendiri hanya tinggal dengan istrinya dan satu cucunya yang masih kelas 3 SD. Ke dua anaknya sudah tinggal terpisah dengan dirinya. Dalam kehidupan di masa tuanya tersebut hari-harinya di isi dengan beribadah kemudian bekerja di kebun tembakau dan cabai di ladang yang ia miliki. Walaupun usianya sudah tidak muda lagi, rasa perhatiannya kepada tradisi dan budaya Jawa begitu kuat. Bisa dikatakan Sulasyo adalah seorang seniman kesenian di desanya. Ia adalah penggiat jaran kepang kesenian khas daerah di sana. Walaupun sekarang tidak menjadi pelaku seni yang aktif, tetapi rasa perhatiannya terhadap kesenian tidaklah luntur. Seperti yang ia ceritakan ia masih jadi kordinator untuk menghidupkan kesenian di sana. Hal ini bisa di lihat dari beberapa set gamelan yang ada di rumahnya untuk latihan kesenian.

Setelah istirahat sejenak dengan hawa dingin yang begitu menusuk tubuh. Kami kemudian di jemput masih dengan mobil angkudes untuk menonton pertunjukan sendratari Babad Alas Giripurno di lapangan Pringsewu desa Giripurno. Sesampainya kami di sana, lapangan sudah penuh dengan warga yang tampak antusias menonton pertunjukan malam itu. Gerimis tipis tidak menghalangi antusias warga yang datang. Sekitar jam 9 malam pertunjukan dimulai. Sendratari yang ditampilkan terlihat begitu megah dengan kostum dan tata rias yang ditampilkan oleh 9 penari. Tari tersebut menceritakan penaklukan pembukaan alas Giripurwo hingga bisa ditempati hingga sekarang––kira-kira itu yang saya pahami. Penampilan sendratari malam itu akhirnya menjadi menutup rangkaian acara pada hari pertama Festival Ili-ili hari pertama. Dengan tubuh lelah semua peserta kembali ke homestay dengan raut bahagia, menghayati keriuhan yang penuh makna dari desa yang jauh dari gemerlap kota tersebut.

Malam selepas acara pertunjukan kami tidak lantas tidur, masih dengan beberapa teman peserta kami sempat berdiskusi. Tak lama kemudian salah satu inisiator festival ili-ili ikut nimbrung di rumah tempat peristirahatan kami. Fransisca Kalista salah satu penggiat dalam pembangunan desa di Temanggung dan juga sebagai inisiator beberapa gerakan seperti pasar papringan, Kebon Jiwan dan Lebdes, menemani rasa penasaran kami dengan berdiskusi soal desain festival Ili-Ili.

Seperti diceritakan Siska panggilan akrabnya bahwa bisa dikatakan festival Ili-ili ini adalah hasil kerja kolaborasi lima desa melalui Lebdes yang dibentuk disetiap desa tersebut dengan berbagai komunitas–komunitas seni budaya yang ada di Temanggung. Berawal dari keprihatinan terhadap ancaman krisis lingkungan terutama air, festival ili-ili sebenarnya ingin mengajak kita semua untuk gugur gunung merawat sumber mata air. Dari hal itu festival Ili-ili ini bukanlah tujuan akhir tetapi awalan untuk upaya-upaya pelestarian alam Temanggung pada khususnya dan bumi pada umumnya. Ibarat sumber sumber mata air, Festival ili-ili ingin mengalirkan semangat untuk merawat alam dari hulu sampai hilir.

Siska menceritakan bahwa untuk sampai pada tahap ini, sebetulnya butuh proses yang panjang. Bahkan tidak mudah. Ia sendiri sudah hampir 7 tahun tinggal di Temanggung. Dari proses yang cukup panjang itulah ia belajar menyelami alam batin masyarakat Temanggung. Peran Siska selama ini seperti ia katakan sebagai fasilitator sekaligus desain program dalam beberapa gerakan desa termasuk di festival Ili-Ili ini. Ia berperan sebagai perajut sekaligus menjembatani lintas komunikasi dari banyaknya kolaborator yang terlibat dalam festival ini. Dan ia mengatakan suatu keberhasilan dalam semua program atau acara itu berangkat dari kesatuan visi dan makna apa yang ingin di cari. Dari hal itulah keinginan untuk tumbuh bersama dari setiap elemen masyarakat setempatlah yang sebenarnya menjadi energinya selama ini.

“Selama ini entah nama peran saya apa, yang jelas saya menemani mereka dan dari sana hidup saya lebih bermakna,” ujar perempuan dari Jawa Barat tersebut.

“Selama ini entah nama peran saya apa, yang jelas saya menemani mereka dan dari sana hidup saya lebih bermakna,” ujar perempuan dari Jawa Barat tersebut.

Menjaga Tradisi dan Seni Budaya sebagai wujud Konservasi

Hawa dingin dengan kabut putih menyelimuti pagi di hari ke dua festival Ili-ili. Sesuai susunan acara agenda pagi itu mengunjungi salah satu sumber mata air di hulu lereng Gunung Sumbing. Destinasi mata air yang akan kami kunjungi tidak jauh dari tempat tinggal kami. Tempatnya di Giripurno kami turun ke bawah bersama rombongan menggunakan angkudes menuju lapangan desa di sana. Sesampainya di lapangan kami berjalan sekitar dua ratus meter dengan jalan curam ke bawah, masuk menyusuri bantaran sungai dengan pepohonan yang masih lebat menuju sumber mata air yang terselip dalam gelapnya gua. Dalam jelajah mata air ini kami diperlihatkan bagaimana sumber mata air dialirkan ke rumah-rumah warga dengan selang-selang yang tidak begitu rapi. Ada puluhan bahkan ratusan selang berbahan plastik dengan warna yang tidak seragam menjalar panjang mengaliri rumah-rumah warga sekitar.

Seperti diterangkan salah satu petugas penjaga aliran mata air disebut penjabat Ili-ili dari pihak desa, bahwa sumber mata air di sini kebanyakan dikelola secara mandiri oleh keluarga masing-masing. Sehingga yang terjadi adalah banyaknya selang yang terlihat tidak beraturan. Petugas bagian Ili-Iii di sini bertugas pertama menjaga keberlangsungan mata air kemudian yang ke dua adalah memastikan distribusi air bersih merata kepada seluruh masyarakat. Walaupun sebagian besar untuk urusan distribusi air masyarakat mengusahakan sendiri, tetapi menurut petugas Ili-ili sumber mata air ini juga diambil oleh PDAM untuk mengalirkan air bagi masyarakat di bawah yg lebih jauh dengan sistem mekanisme pembayaran yang sudah ditentukan. Hal ini dilihat dari penggunaan selang yang lebih besar yang digunakan PDAM dalam mengalirkan air.

Peserta Festival Ili-Ili melihat kondisi mata air di daerah hulu Kec. Ngadirejo lereng Gunung Sumbing

Menurut penjelasan petugas, mata air di sini tidak pernah kekeringan walaupun di musim kemarau. Airnya tetap deras. Hal ini karena hutan alam di sana relatif masih terjaga. Tetapi kekawatiran akan ancaman krisis sumber mata air bukan tidak ada, mengingat pertumbuhan manusia yang semakin banyak secara otomatis kebutuhan terhadap air bersih semakin meningkat. Belum lagi soal alih fungsi lahan yang posisi berada lebih di atas sebagai ladang, otomatis hal tersebut akan mengurangi jumlah hutan yang sebenarnya sebagai penyangga utama sumber-sumber mata air itu agar bisa terus mengalirkan air. Status Gunung Sumbing sebagai hutan produksi bukan hutan lindung juga menjadi persoalan tersendiri ke depan, bukan tidak mungkin hal tersebut akan semakin menambah jumlah alih fungsi lahan secara besar-besaran yang artinya akan mengancam keberlangsungan mata air itu sendiri.

Dari hal itulah selepas menyusuri jejak mata air selepas dhuhur di bawah kabut Gunung Sumbing yang mulai turun Sarasehan Madya Hulu digelar. Sarasehan kali ini mengangkat tema ”Nguri-nguri Tradisi dan Seni Budaya sebagai Wujud Konservasi Lingkungan.” Dalam sarasehan kali ini terdapat 4 pemateri, pertama Mbah Sukoyo penggiat lingkungan dari Temangung, Didi Nini Towok dan Farid Stevy sebagai seorang seniman, dan Titah Aw seorang Jurnalis.

Masing-masing narasumber mengutarakan pendapatnya dengan sangat menarik. Seperti disampaikan salah satu narasumber yaitu Didi Nini Towok yang juga seorang maestro tari yang sekarang tinggal di Yogyakarta. Ia menceritakan pengalamannya setelah sekian lama meneliti berbagai jenis tari-tari yang ada di Jawa bahkan seni tradisi lainnya, ia bisa memastikan bahwa semuanya mengandung makna ritual. Makna ritual ini secara sederhana bisa dilihat dari berbagai pagelaran kesenian kita tersebut zaman dahulu selalu di pentaskan di waktu-waktu tertentu, misalnya setelah panen raya dengan tujuan mengucap rasa syukur atas kelimpahan rezeki dari Tuhan. Hal itu menunjukkan bahwa rasa keterikatan leluhur kita dengan alam sebagai sumber penghidupan merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga dengan nalar yang seperti itu, kesenian sebenarnya mempunyai nilai tidak hanya sebagai pertunjukan tetapi juga tuntunan untuk mengenal alam sekitar lebih tinggi adalah Tuhan.

Sementara itu Farid Stevy yang sekarang juga aktif di komunitas Resan Gunungkidul (semacam komunitas konservasi mata air dan pohon) memberi pernyataan menarik bahwa jangan sampai modernisasi menghilangkan keluhuran budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur kita. Menurutnya konservasi alam juga seharusnya dibarengi dengan konservasi nilai-nilai kehidupan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Karena melalui nilai-nilai yang sudah menjadi tradisi yang sebenarnya lamat-lamat masih hidup tersebut, anak cucu kita nanti akan belajar bagaimana leluhur kita dahulu menjaga lingkungan sekitarnya. Karena sebenarnya nilai-nilai yang mewujud menjadi mitologi yang sering kita dapati di desa-desa tersebut mempunyai tujuan pendidikan agar kita sebagai manusia tidak sembarangan merusak lingkungan. Dan kita kaya akan nilai-nilai seperti itu.

Menurutnya konservasi alam juga seharusnya dibarengi dengan konservasi nilai-nilai kehidupan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Karena melalui nilai-nilai yang sudah menjadi tradisi yang sebenarnya lamat-lamat masih hidup tersebut, anak cucu kita nanti akan belajar bagaimana leluhur kita dahulu menjaga lingkungan sekitarnya.

Sedangkan Mbah Sukoyo penggiat lingkungan dari daerah Krecek Temanggung menyatakan bahwa menanam adalah bagian dari laku hidupnya sebagai upaya meneruskan pesan para leluhurnya dulu. Sehingga kegiatan konservasi tidak lagi hanya menjadi gerakan yang butuh disuarakan tetapi sudah menjadi kesadaran personal sehingga termanifestasikan dalam laku kesehariannya.

Tita Aw sebagai seorang jurnalis yang selama ini dikenal melalui tulisan-tulisannya yang berusaha menarasikan tradisi dengan segala mitologi dibelakangnya mengungkapkan bahwa dalam tradisi kita banyak cerita-cerita yang mempunyai nilai-nilai tentang ajaran terkait menjaga lingkungan. Dengan terus merawat cerita-cerita yang tumbuh banyak di dalam tradisi masyarakat itulah sebenarnya tradisi mempunyai fungsi konservasi.

Kabut putih turun lebat menjadi penanda berakhirnya sarasehan madya hulu pada sore itu. Peserta kemudian diarahkan untuk kembali ke homestay untuk berpamitan dengan keluarga asuh. Sore itu juga kami berpindah lokasi ke daerah wisata situs liyangan yang berada di lereng sebelah Timur Gunung Sindoro. Agar tidak terlalu malam kami bergegas berlarian dengan petang agar kami dapat mengunjungi situs Liyangan yang konon katanya menjadi titik awal peradaban pertama di daerah Kedu Temangung.

Benar, kami sampai situs Liyangan sudah menjalang petang. Berkaitan dengan jadwal acara yang cukup padat akhirnya kami tetap melanjutkan jelajah situs Liyangan dengan salah satu tour gate yang terlihat cakap menjelaskan bekas perkampungan yang umurnya diprediksi hampir seribu tahun ini. 

Situs Liyangan ditemukan pada tahun 2005 oleh salah seorang pekerja yang sedang menambang pasir di kedalaman 8 meter. Area ini kemudian dieskavasi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan tujuan untuk observasi potensi temuan lebih lanjut. Wilayah penemuan ini kemudian semakin meluas. Seiring dengan perkembangan penelitiannya, situs ini diperkirakan merupakan pemukiman penduduk karena pada situs ini ditemukan gerabah, keramik cina, dan berbagai artefak lainnya.

Menariknya di Situs Liyangan ini ditemukan sebuah bekas lumbung yang terbakar. Hal ini dibuktikan dari adanya tumpukan artefak padi hitam yang masih bisa kita lihat sampai hari ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya tanam terutama padi pada zaman itu sudah berkembang sedemikian rupa di sana. Walaupun hari ini di daerah sekitar situs Liyangan saat ini tidak ada persawahan padi lagi. Hal lain misalnya juga ditemukan struktur irigasi tata kelola air yang juga menjadi bukti bahwa pada zaman dulu kesadaran atas ruang dan pengelolaan lingkungan menjadi hal yang utama dalam membangun sebuah pemukiman lebih luas peradaban.

Gema azan Magrib terdengar bersahutan menandakan jelajah situs Liyangan sore itu harus segera kami akhiri. Tidak jauh dari situs Liyangan kami diarahkan ke homestay yang tampaknya menjadi bagian dari daerah wisata situs Liyangan. Tempatnya cukup luas, ada sekitar 6 rumah panggung yang akan kami tempati malam itu. Dan akhirnya hari ke dua kami tutup dengan meditasi menghayati segala pengetahuan yang kami dapatkan hari itu. Melalui bersentuhan langsung dengan obyek pengetahuan yang selama ini terasa berjarak dengan kami, akhirnya kami sadar bahwa banyak warisan peninggalan pengetahuan dan kearifan yang mesti kita rawat hingga berbagai warisan tersebut menghantarkan hidup kita bisa sampai sejauh ini dengan air, tanah dan udara yang masih terjaga. Lalu dengan kondisi alam kita yang sudah diambang krisis ini apakah generasi kita saat ini mampu mewariskan keindahan alam ini untuk anak cucu kita nanti? Sebuah pertanyaan yang jawabannya coba kami endapkan pada sanubari masing-masing pada malam itu.

Tradisi Sebagai Jangkar Penyelesaian Persoalan Ekologi

Hari ke tiga langit Temanggung tampak begitu cerah. Gunung Sindoro yang terpapar cahaya mentari juga begitu gagah. Hari terakhir festival Ili-ili ini akan diawali dengan sarasehan Ageng. Yang mana dalam sarasehan Ageng ini merupakan puncak rangkaian sarasehan yang digelar sejak hari pertama meliputi sarasehan alit, madya hilir dan hulu hingga puncaknya Muasyawarah Ageng. Penggunaan nama sarasehan ageng sebetulnya bukan tanpa sebab, pasalnya sarasehan kali ini bisa jadi poin terpenting dari adanya festival Ili-ili ini sebagai medium konservasi. Karena dalam sarasehan ageng kali ini semua stakeholder mulai dari pemerintah desa (kepala desa dari 20 desa di Ngadirejo), hingga pemangku kebijakan dari tingkat kabupaten dan kecamatan semua dipertemukan dalam sarasehan ini. Semuanya diajak berdialog bersama, bermusyawarah untuk merumuskan langkah-langkah apa yang harus ditindak lanjuti untuk menyelamatkan sumber mata air lebih luas keberlanjutan ekosistem lingkungan di daerah Temanggung.

Sebelum surat rokemendasi di tandangi oleh seluruh kepala desa yang ada di Kecamatan Ngadirejo. Serasehan di buka dengan dialog yang dipantik oleh empat narasumber utama yaitu Fransisca Callisata, Totok Purwanto, Rara Sekar, dan Yoyo Yogasmana yang dipandu oleh Dicky Senda. Dalam sarasehan ini fokus perbincangan membahas terkait bagaimana  pendekatan tradisi, seni budaya, dan Inklusi sosial mampu mengatasi krisis ekologi.

Sarasehan Ageng Bersama Rara Sekar, Yoyo Yogasmana, Totok Purwanto, Fansisca Callista

Beberapa poin penting disampaikan dalam sarasehan ini oleh narasumber misalnya seperti diutarakan oleh Yoyo Yogasmana dari Kasepuhan Ciptagelar yang menyatakan bahwa tradisi merupakan hukum utama untuk menjaga keberlangsungan ekosistem lingkungan di Ciptagelar. Sehingga sampai hari ini di sana kondisi alam bisa di jaga bahkan surplus kebutuhan pangan ditengah banyak wilayah lainnya dilanda kekawatiran krisis pangan dan lingkungan. Salah satu sebab utama kenapa hal itu bisa terjadi seperti ia ceritakan bahwa adanya tradisi yang masih mereka pengang kuat sampai hari ini. Karena mereka meyakini bahwa sistem tradisi yang meliputi tatakelola pertanian, hunian (rumah), sampai nilai-nilai keseharian yang mengatur mereka semuanya dibuat oleh leluhur kita mempunyai tujuan untuk menjaga keseimbangan antara kita sebagai manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya, lebih jauh manusia dengan Tuhan. Dari kesadaran tradisi yang seperti itulah Kasepuhan Ciptagelar sampai hari ini masih terjaga.

Karena mereka meyakini bahwa sistem tradisi yang meliputi tatakelola pertanian, hunian (rumah), sampai nilai-nilai keseharian yang mengatur mereka semuanya dibuat oleh leluhur kita mempunyai tujuan untuk menjaga keseimbangan antara kita sebagai manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya, lebih jauh manusia dengan Tuhan. Dari kesadaran tradisi yang seperti itulah Kasepuhan Ciptagelar sampai hari ini masih terjaga

Lain halnya seperti disampaikan oleh Rara Sekar sebagai seorang seniman dan aktivis lingkungan, ia menyatakan bahwa kita harus mampu memahami alasan dan tujuan di balik lahirnya suatu tradisi dan budaya. Dengan pemahaman tersebut sebenarnya akan membantu kita dalam melihat masyarakat secara lebih utuh. Dengan demikian kebijakan konservasi harusnya berpijak dari cara pandang masyarakat yang sampai hari ini masih melekat dengan tradisi.

Siska sebagai orang yang terlibat jauh dalam desain festival Ili-Ili juga menambahkan secara lebih subtantif. Bahwa memaknai segala sesuatu yang kita lihat dan lakukan menjadi sangat penting ketimbang hanya sekedar seremoni dan euforia semata. Kemampuan untuk memaknai sesuatu akan berguna bagi kita dalam memandang masyarakat secara lebih nyata dengan segala kelemahan dan kelebihannya. Dan dalam tradisi masyarakat kitalah sebenarnya energi perubahan untuk harapan lebih baik itu ada.

Selepas diskusi PLT Camat Ngadirejo M. Setyo Nusantoro di dampingi kepala desa dan perwakilan kepala desa membacakan poin-poin komitmen bersama untuk melaksanakan konservasi air di kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temangung. Dua poin utama surat komitmen bersama adalah: bahwa air adalah aspek penting kehidupan yang perlu diupayakan kelestariannya. Selain itu harus adanya upaya memaknai nilai-nilai dan filosofi yang terkandung dalam tradisi, budaya dan peristiwa masa lampau untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan zaman hari ini, khususnya tentang pengelolaan dan konservasi air untuk difungsikan sebagai pijakan praktik rill konservasi.

Penandatangan surat komitment besama dipimpin oleh M Satyo Nusantoro sebagai Camat Ngadirjo

Pendatangan surat komitment bersama tersebut menjadi penanda acara sarasehan dan musyawarah ageng siang itu selesai. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan melalui proses diskusi dan belajar bareng selama dua hari dalam festival Ili-Ili menghasilkan suatu yang setidaknya kemudian nantinya dapat menjadi acuan para pengambil kebijakan sampai pada level terbawah untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan dan pemberdayaan yang selaras dengan visi konservasi air dan lingkungan di Kecamatan Ngadirejo.

Seperti yang disebutkan dalam paragraf awal tulisan ini, hal inilah yang sebenarnya membedakan Festival Ili-ili ini dengan jenis festival lainnya. Karena tujuan konservasi air yang menjadi tema besar dalam festival ini mampu dieksplorasi secara maksimal kemudian diwujudkan dalam konten-konten acara yang tidak hanya terjebak dalam seremoninya semata, tetapi mampu memberi satu jawaban atas persoalan yang ada di tengah masyarakat. Hal lain yang penting perlu dicatat juga adalah bagaimana unsur kebudayaan masyarakat meliputi kesenian dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dalam festival ini tidak hanya jadi obyek eksotisme yang selalu dilihat tidak sejajar. Tetapi melalui festival ini tradisi masyarakat yang berkembang di sana, desain acara dan jawaban atas persoalan krisis lingkungan dibayangkan, kemudian diangkat marwah nilai-nilai pengetahuan dialamnya untuk dijadikan pijakan.

Hal tersebut tercermin dalam ritual Tirta Mulya Adiraja yang dilaksanakan setelah acara Musyawarah Ageng yang mana dalam ritual ini dilakukan arak-arakan air yang sebelumnya diambil dari 20 tuk (mata air) keramat dari 20 kecamatan di Kabupaten Temanggung. Air yang telah diarak kemudian disatukan dalam benjana. Kemudian setelah terkumpul air didoakan oleh para sesepuh desa dan seluruh masyarakat. Pembacaan doa ini dipimpin secara langsung oleh Salah satu tokoh agama/kepercayaan yaitu Mbah Kawat. Dari rangkaian itu kita bisa melihat bahwa dalam sebuah ritual yang sakral secara tidak langsung menjadi pengikat kesadaran manusia yang tidak bisa lepas dari dimensi spiritual. Agaknya jika kita berangkat dari banyaknya tradisi kita yang hampir semuanya mempunyai makna ritual dan spritual, festival Ili-ili tampil lebih elegan.

Akhirnya malam puncak Festival Ili-ili tiba, penampilan Rara Sekar dan Umar Hean dengan lagu-lagunya membawa pengunjung yang datang pada refleksi panjang tentang makna kehidupan. Ikhsan Sekuter juga menjadi penampil penutup malam itu. Dengan musik flok nya yang sarat akan kritik sosial, membuat orang yang datang satu lapangan larut dalam keheningan malam. Begitulah rangkaian Festival Ili-ili ini bagi saya sendiri membawa pada pengalaman untuk lebih memaknai ulang kehidupan.

0
289
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.