Menu

Menjejak Talang Mamak | Bagian III

“Begawai” dan Sabung Ayam

Selesai makan malam yang nikmat, kami beranjak ke tempat semula, dan kembali menghanyutkan diri ke dalam sungai cerita. Ke mana lagi kami hendak menghanyutkan diri jika tidak dalam batang hikayat dan mata air kisah, wahai Tuan dan Puan? 

Beberapa orang perempuan kampung datang menyambangi rumah Pak Dukun. Suara cakap mereka ditimpali gelak berderai sudah terdengar sejak dari halaman. Di antara mereka ada mengenakan kain panjang, sehingga harus menarik ujung kain supaya mudah naik tangga. Sebagian ibu mengunyah sirih. 

Kebetulan besok pagi akan ada acara turun tanah, yakni mengupacarai arwah orang baru meninggal dunia. Beberapa waktu lalu adik ipar Pak Dukun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat kejadian. Pak Dukun sendiri besok yang akan memimpin ritualnya, sebagaimana lazimnya ia badukun di rumah-rumah warga untuk hal yang sama. Perempuan-perempuan datang untuk menyiapkan bahan-bahan pekerjaan esok hari. Suasana jadi sedikit ramai. Mereka terus bercakap dalam aksen dan logat yang asing, tapi akrab sekali

Saat perempuan-perempuan itu asyik dengan pekerjaan mereka, saya meminta Pak Dukun mengisahkan cerita rakyat Talang Mamak. Ia bilang sudah banyak tak hapal, tapi toh ia ceritakan juga sebuah kisah tentang Putri Talang dan Pangeran Langit. Si pangeran, yang semula turun ke bumi menyerupai seekor burung kuau, tepatnya di Sungai Ekok, menjelma pangeran tampan. Gadis-gadis yang semula takut, ganti berebut mencari perhatian. Si bungsu, Putri Talang yang jelita jadi tumpuan iri kakak-kakaknya.

Saya menahan nafas.

“Putri Talang Bungsu diusir kakak-kakaknya itu. Tapi terlebih dulu mereka buat wajahnya jadi buruk rupa dengan memberi getah pohon kajai,” kata Pak Dukun kembali mulai. 

Adakah Putri Talang itu engkau, Ayu? Saya berbisik dalam hati. Terbayang cerita Ayu tadi sore, bagaimana ia dan keluarga harus meninggalkan keindahan Sungai Ekok karena terusir mesin-mesin. Meski caranya berbeda tapi sama-sama memiliki kata getir; terusir!  

“Tapi sebelum pergi, si Putri mencuci wajahnya dengan air telaga Sungai Ekok. Jadi tambah cantik dan elok. Kakak-kakaknya yang mengintip melihat sang Pangeran menjumpai si Putri di batas desa dengan tambah suka. Besoknya kakak-kakaknya meniru dengan menggetahi wajah mereka, tapi keburu dihinggapi lalat-lalat pertanda hatinya busuk,” lagi-lagi Pak Dukun terkekeh. 

Ayu, sebagaimana sang Putri Talang, bukankah telah mencuci hatinya dengan mata air kisah Sungai Ekok, sehingga dengan itulah mungkin, sesore hari kulihat matanya berbinar.

Dan sebagai mana cerita Putri dan Pangeran di mana-mana, kisah Pak Dukun pun berakhir bahagia. Putri Talang dan Pangeran Langit menikah dalam pesta (begawai) tujuh hari tujuh malam.  

Menurut Pak Dukun ada banyak cerita rakyat Talang Mamak. Ia menyebut Cerita Orang Bunut, Cerita Mambang Jinut, Bujang Romandung, Malim Sayang bahkan Malim Kundang, cerita kondang pantai barat. Menurutnya cerita Bujang Rumandung paling seru. Cerita ini merupakan bagian partembahan, yakni cerita lisan Talang Mamak di acara begawai (pesta perkawinan) yang dikenal juga sebagai bedar mayang (kembang pesta). Artinya, dalam sebuah pesta perkawinan bukan hanya pengantin perempuan ibarat kembang, bukan juga hanya gadis-gadis kampung yang berdandan, tapi tak kalah penting adalah cerita sebagai kembang kata-kata yang menghidupkan sebuah pesta. 

“Anak-anak sekarang sudah jarang mendengar cerita moyang, kite yang tua pun sudah banyak lupe,” aku Pak Dukun jujur. Ia mengucapkannya dengan setengah terpejam.  

Saya tanya apakah Pak Dukun tahu Cerita Bujang Tan Domang. Cerita lisan orang Petalangan ini juga biasa dituturkan dalam acara perkawinan, dan makan waktu empat sampai lima hari. Saya mengetahui hal itu dari sebuah buku tebal yang sudah ditranskrip oleh Tenas Effendi, terbitan Bentang Budaya bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan The Toyota Foundation (1997). 

Pak Dukun mengaku  tidak tahu. Tapi itu dapat dimengerti. Meski orang Talang Mamak secara umum kadang disebut juga sebagai orang Petalangan. Hanya saja yang dimaksud dalam Cerita Bujang Tan Domang merupakan masyarakat Petalangan yang bermukim di Desa Betung, Kecamatan Pangkalan Kuras, dulu masuk Kabupaten Kampar, sekarang Kabupaten Pelalawan. 

Namun jika merujuk catatan Obdeyn, sebagaimana saya lihat dalam pengantar buku puisi Dheni Kurnia, Olang 2 (2016), semua suku pedalaman Riau berasal dari rumpun besar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Mereka turun dari Gunung Marapi, menghiliri Sungai Kuantan/Indragiri, sebagian melalui Sungai Kampar dan sampai di Sungai Mandau, sebagian lagi menghilir melalui Sungai Batanghari. Di Mandau mereka menyebut diri Suku Sakai, di Jambi menyebut diri Suku Kubu/Anak Dalam, dan di Kuantan menyebut diri Talang Mamak. Jadi sangat mungkin semua suku tua pedalaman Sumatera ini punya silsilah besar yang sama sehingga alur dan fungsi cerita juga banyak yang sama.  

“Cerita Bujang Rumandeung juga sangat panjang,” Pak Dukun memberi perbandingan. “Bisa tiga hari tiga malam, sampai tujuh kali perang, tujuh kali mati dan tujuh kali hidup kembali…,” kembali Pak Dukun terkekeh, dan perempuan-perempuan di dapur ikut bersorak girang membayangkan adegan dalam cerita. “Sayang itu sudah mulai jarang dipertunjukan,” Pak Dukun lalu seperti mengeluh. 

Malahan yang sering “dipertunjukan” dalam acara begawai sekarang adalah sabung ayam, yang berbau judi. Meski sejatinya, sabung ayam merupakan acara sah dalam ritual-ritual penting orang Talang Mamak, mulai perkawinan (begawai), kelahiran maupun kematian (turun tanah). Hampir sama dengan ritual tabuh rah masyarakat Hindu Bali, ada ritual adu ayam untuk memulai sebuah upacara. Demi memenuhi syarat mendarahi halaman pura dengan tetesan darah si jago. Semacam persembahan pada Semesta. Itulah intinya.

Namun seolah bernasib sama dengan tabuh rah, tradisi adu ayam itu kerap dilanjutkan oleh para bandar sebagai ajang perjudian. Jadilah sabung ayam di sini atau metajen di Bali, jadi arena pertaruhan dan itu menghabiskan waktu berhari-hari. Ini membuat orang Talang Mamak dicap punya tradisi kurang elok. Padahal, secara adat, mereka tak pernah merestui adu ayam untuk berjudi, kecuali sebatas ritual mendarahi tanah tempat upacara. Tapi para bandar dan peminat judi sabung ayam akan lekas berkumpul jika ada acara begawai di kampung, dan itu sulit dicegah oleh siempunya acara.

Saya teringat dalam diskusi komisi-komisi di acara Pekanbaru kemarin. Budy Utami, penyair yang juga aktif berkegiatan di masyarakat pedalaman dan punya akses kepada sejumlah petinggi Riau, sampai menelepon langsung Kapolda Riau. Ia mengonfirmasi bagaimana pandangan polisi atas sabung ayam dalam begawai. Kata Budy, Pak Kapolda bilang jika sabung ayam sebatas ritual, tidak ada masalah. Yang persoalan adalah kalau sabung ayam itu dilanjutkan dengan perjudian. 

Begawai itu sendiri bukan hanya punya sabung ayam, tapi ada proses panjang dari sejumlah tata-cara warisan leluhur. Mulai betandang, membibit, menyulu, berjanji,  menjemput hingga menambul. Semua itu tak bisa sepenuhnya dinilai hitam-putih dengan kacamata agama langit. Sekali pun itu dianggap “pahit”. Betandang misalnya, laki-laki boleh bermalam di rumah perempuan, berangkat malam pulang pagi. Tapi itu bukan tanpa aturan. Ada pengawasan yang dilakukan secara ketat secara adat. Tulisan Ayu yang dimuat dalam buku hasil pelatihan menulis memori kolektif, sangat detail menceritakan tata cara dan falsafah Begawai

Karena itu, jika memang ada penyesuaian atau perubahan, katakanlah sesuai ajaran Islam yang banyak dipeluk orang Talang Mamak, maka harus dengan pendekatan persuasif. Sebagaimana Ustaz Abdul Somad yang sering masuk secara kekeluargaan ke kalangan masyarakat adat Riau, termasuk ke komunitas Talang Mamak. 

Kemarahan Pak Batin 

Dalam lintasan waktu yang panjang, tak kalah banyak unsur-unsur adat Talang Mamak yang hilang. Ritual membuka huma, mengobat padi dan memanen ladang, misalnya, sudah tak bisa dilakukan lagi seperti dulu. Hampir tak ada hutan bersisa untuk dibuka menjadi huma. Padahal di situlah teater ritual mereka dipentaskan. Penanam padi ladang juga makin sedikit. Selain lahan kurang subur karena tak ada proses menabur abu dari hasil pembakaran, beras dari kota juga menyerbu masuk ke kampung-kampung. Lagi pula, siapa yang mau menggara burung-burung? Dulu anak-anak mereka yang melakukannya. 

“Sekarang anak-anak sibuk main hp,” seorang perempuan tua ikut berciloteh.

“Burung mereka sekarang burung kartun, dan kesukaan mereka main game,” sela perempuan lain.

“Iya, memang begitu,” Pak Dukun membenarkan. “Dulu banyak permainan dalam acara begawai. Sekarang banyak pilihan permainan dalam gawai,” Pak Dukun tertawa lepas mendapat dua perbandingan yang memuaskan itu: begawai sebagai pesta perkawinan yang punya banyak mata acara, dan gawai sebagai gadget yang penuh tawaran.   

Begitulah, sabung ayam dalam begawai, misalnya, hanyalah satu rangkaian dari acara lain yang tak kalah penting, seperti bapantun dan basilat. Sekarang, katanya, tinggal sabung ayamnya saja.

Saat bercerita tentang sabung ayam, Pak Batin Irasan muncul di pintu. Ia menepati janji untuk datang. Wajah Pak Batin jauh lebih dingin dan “angker” dibanding Pak Dukun. Rupanya ia sempat menguping kami bercerita soal adu ayam. Langsung saja ketika masuk Pak Batin menyambung,”Dalam acara di Pekanbaru kemarin sudah aku bilang kalau sabung ayam itu wajib ada di acara begawai, jangan hanya lihat lanjutannya…

Matanya merah. “Aku tak suka ada kepala desa yang bilang itu semua haram dan membuat kita jadi miskin. Untung aku idak satu kelompok dengan dio, kalau satu kelompok kuhabisi pendapat dio. Tahu apa orang adat kita!” Pak Batin merujuk sidang komisi di acara Pekanbaru tempo hari. Menurutnya ada seorang kepala desa dari Rakit Kulim membuat pernyataan kontra terhadap adat. Padahal yang ia lihat hanya efek dari adat yang tidak dikawal semestinya. 

“Tapi saat istirahat, aku panggil dio sendirian, dan aku cecar soal adat…” nada Pak Batin terdengar gemilang.

Saya tak tahu sejauh itu kemarahan Pak Batin. Meski kemarin, saya memang melihat ia sosok paling vokal bicara keadaan masyarakatnya. Kebetulan ia salah seorang pembicara di forum, bersanding dengan Prof. Dr. Kurnia Warman, dan lain-lain. Jauh sebelum kawasan Rakit Kulim memiliki sistem pemerintahan desa dan kecamatan, ia sudah malang-melintang sebagai pemimpin kampung-kampung Talang Mamak. Pak Batin juga kerap diundang dalam pertemuan masyarakat adat di berbagai tempat, termasuk ke Ambon. Para kepala desa sekarang rata-rata adalah angkatan keponakan dan anak-anaknya, sebagian punya hubungan darah dengan dia. Jadi wajar Pak Batin bisa langsung “menjewer” mereka bila dianggap kurang pas dalam tugas. 

Ruang dapur Pak Dukun jadi sedikit mencekam karena pelampiasan amarah Pak Batin. Saya pun nyaris ciut nyali melihat wajahnya yang merah berkeringat. Apa akal? Jika saya bawa rokok sendiri, pasti sudah saya tawari dia sebagai pemecah kebuntuan. Tapi saya tidak merokok, kecuali sesekali saat kepedasan, cuaca dingin atau nongkrong—jika dihitung sebenarnya kelewatan juga untuk sebutan “tidak merokok”. Sedang berpikir-pikir demikian, eh, tak lama kemudian, Pak Batin angkat baju kaos yang dikenakannya sambil bilang,”Cuacanya panas, mungkin sebentar mau hujan…” 

Lalu ia telentang begitu saja di atas tikar, dengan perut terbuka menggunung. Seketika “kengerian” yang ia timbulkan buyar…

Pak Batin pamit menjelang tengah malam dengan air muka yang mulai bersahabat. Sepulang Pak Batin, saya dipersilahkan Pak Dukun untuk tidur di tengah rumah induk. Rumah induk punya tiga kamar yang ditempati Pak Dukun dan istrinya serta anak-anak perempuannya. Selebihnya ruangan dibiarkan lapang terbuka, tidak banyak perabot. Saya bayangkan itu tempat yang luas bagi anak-anak untuk berlarian sepuasnya.

Di bagian atas ada pagu tempat menyimpan alat-alat rumah tangga. Karena besok pagi mau ada acara, beberapa kali perempuan-perempuan kampung naik ke tangga pagu menurunkan alat-alat dapur. Seiring malam yang kian larut, perempuan-perempuan itu pun pamit, dan suara yang tadi ramai di dapur perlahan surut.

Ditemani anak-anak lelaki Pak Dukun, rasa lelah dan kantuk segera menggamit saya ke peraduan. Malam itu, meski hanya beralas tikar, saya tidur nyenyak sekali. Apalagi, benar terka Pak Batin, hujan turun tengah malam membuat hawa jadi nyaman.

Pagi Bening di Talang Sungai Parit

Saya terbangun saat kokok ayam jantan bergema nyaring di kolong rumah. Sengaja saya bangun pagi-pagi, selain untuk menunaikan sholat subuh, juga mengambil waktu mandi mumpung anggota keluarga yang lain belum bangun. Soalnya adalah, kamar mandi Pak Dukun yang berada di samping rumah, persis dekat lorong orang ke luar-masuk, tidak berdaun pintu. Kamar mandi itu sendiri bersih, luas, dan memiliki bak air yang besar. Sebuah mesin cuci merk terbaru juga ada di situ. 

Tapi saya tak punya bayangan lain bagaimana caranya mandi di tempat terbuka seperti itu, kecuali bangun lebih dulu selagi masih gelap. Eh, ternyata saya tetap keduluan orang lain! Anak-anak Pak Dukun sudah pada bangun. Malahan kakak David, saya lupa namanya, sudah bersiul-siul menyisir rambut di depan kaca, bersiap sekolah karena sekolahnya cukup jauh. Terpaksalah pagi itu saya hanya cuci muka dan berwuduk saja.

Tentu saya tahu, orang-orang di kampung yang dekat dengan alam terbiasa bangun sebelum fajar untuk menunaikan darma baktinya di sawah, ladang dan huma penghidupan. Begitulah yang saya lihat di Talang Sungai Parit. Saya sengaja berjalan keliling kampung dan menjumpai orang-orang mulai beraktivitas. Kebanyakan berangkat ke kebun, dan sebagian pergi membangkit bubu dan jala di sungai atau parit. Saya juga melihat kakak David berangkat sekolah dengan berjalan kaki, masih bersiul-siul riang. Ada pun David yang sudah berapa waktu ini tak mau masuk sekolah, tak kalah riang dengan senyumnya, datang menyusul saya.

“Mau ikut saya, ndak, Pak?” katanya.

“Ke mana?”

“Menyusul Hairil ke parit angkat jala!”

“Baik,” jawab saya, dan David segera berbalik.

Tak berapa lama ia kembali mengendarai motor bebek yang rodanya dimodifikasi dengan ban bergerigi besar. Pilihan ban ini untuk menundukkan medan licin berlumpur ke kebun atau ke ladang. Motor pun menderu membawa kami menyusuri jalan tanah liat yang tak kalah licin. Saat mau masuk ke arah kebun di mana Hairil memasang jala di salah satu paritnya, anak itu lebih dulu muncul bersama seorang temannya. 

Keno ula,” katanya. Ternyata jalanya dimasuki seekor ular seukuran kaki orang dewasa. Badannya jadi tambah gemuk karena memangsa ikan-ikan di jala. Ular itu sendiri akhirnya tersangkut dan mati. Hairil terpaksa membuang sekalian jalanya, dan tanpa kelihatan kecewa, ia segera meluncur pulang dengan knalpot motor berasap. 

Saya dan David melanjutkan perjalanan ke arah Talang Perigi. Di perbatasan, di atas jembatan Sungai Ekok II, kami berhenti. Sisi sungai itu dijadikan tepian mandi oleh masyarakat terdekat. Tapi karena semalam hujan cukup deras, airnya melimpah kuning kecoklatan. Sungai ini akan bergabung dengan anak-anak sungai lain sampai akhirnya masuk Sungai Kuantan atau Indragiri. 

Posisi jembatan yang diresmikan tahun 2013 itu lumayan tinggi. Dari sana saya bisa melihat hamparan kebun kelapa sawit seluas mata memandang. Seperti lautan. Hijau tua kemerahan. Mengepung kampung-kampung adat Talang Mamak. Hanya sebagian kecil lahan tampak menyisakan kebun karet.

Setelah memotret menggunakan hp ke arah empat mata angin—dengan pemandangan yang sama; lautan hijau tua—saya lalu googling mencari luasan kebun sawit di Indragiri Hulu. Pusat Statistik Provinsi Riau mencatat luas areal perkebunan sawit Indragiri Hulu tahun 2019 mencapai 118.969, 00 hektar. Bandingkan dengan kebun karet seluas 61.370, hektar. Apalagi kelapa  yang hanya 1.828, 00 hektar. 

Karena sinyal hilang-timbul, saya tidak sempat menemukan berapa luas kebun sawit di Kecamatan Rakit Kulim. Tapi saya duga pasti sangat luas, jika bukan yang terluas. Dalam kegiatan kemarin, saya sempat mendengar para aktivis menyebut sejumlah nama perusahaan besar yang beroperasi di Rakit Kulim. Mereka disebut kerap terlibat konflik dengan masyarakat adat.

Tak heran, di google dengan gampang terlihat judul-judul berita media online tentang kondisi lapangan. Misalnya lahan warga Desa Pring Jaya yang diduga diserobot perusahaan, sehingga masyarakat balik menangkap karyawan (Riau Madani, 4 Oktober 2016). Atau tentang pengrusakan pondokan petani sawit Desa Talang Tujuh Buah Tangga yang diduga dilakukan pihak perusahaan (Merdeka, 27 Desember 2017). Juga tentang sebuah perusahaan yang ditaksir merugikan negara Rp 12 trilyun karena mengalihfungsikan hutan adat Talang Mamak di Desa Talang Selantai (Berita One, 23 Juli 2022). Dan masih banyak lagi.

Tapi ada juga berita-berita memikat hati seperti petani Talang Mamak yang diajak bikin kelompok tani oleh perusahaan di Petalongan, perusahaan sawit yang membangun jembatan antar desa, perusahaan salurkan CSR ke empat sekolah, hingga PTPN V yang membuka akses jalan penghubung 11 desa.

Bagaimana pun, media adalah arena kontestasi. Saya hanya bisa berbisik dalam hati, semoga saja jurnalis-jurnalis masa kini tetap setia pada hati nurani. Salah satunya menjaga kejujuran membela nasib masyarakat adat menghadapi penyerobotan lahan oleh perusahaan perkebunan.  

“Kalau air surut, enak mancing di sini,” suara David yang jernih membasuh pikiran saya. Bila air besar dan deras, kata David, ikan-ikannya ikut hanyut. Bila banjir meluapi kebun sawit, maka ikan-ikan itu akan masuk ke parit-parit kebun. Saat air surut, galur-galur akan terisi ikan puyu, sepat, gabus, limbat dan bakok. Itulah asal-usul ikan di parit. Tapi kata David lagi, tak jarang ikan diberi racun potas oleh mereka yang tak sabar.

“Sekalinya dapat memang banyak, Pak, tapi semua ikan musnah. Harus menunggu lagi musim banjir supaya parit ada ikannya.”

Ya, selalu ada yang dikalahkan lewat kekuasaan jalan pintas, gumam saya.

Dan untuk memintas pikiran berat supaya tak menggencet pagi bening saya di Talang Sungai Parit, maka saya mengingat kenangan manis dengan ikan rawa. Waktu kecil saya senang memancing di sungai kecil dan rawa-rawa kampung saya. Dulu kampung di pantai barat Sumatera itu masih menyisakan rawa dan kebun sagu. Kini, seperti kampung-kampung Talang Mamak yang berubah, lingkungan kampung saya juga berubah. Semua rawa mengeras kering lalu dijadikan lahan membangun rumah. 

Karena itulah, setiap kali pergi ke Kalimantan, saya selalu melirik spot mancing ikan rawa, dan bernostalgia dengan ikan aruan, papuyu dan sepat. Dan di Talang Mamak, saya tak mau kehilangan moment yang sama. Maka saya bilang ke David, nanti sore kita harus mancing. David dengan senang hati menyambut, dan segera menyebut nama-nama tempat yang bisa dijajal sebagai spot mancing terbaik. (Dan itulah yang kami lakukan kemudian, meski karena keterbatasan waktu tak sempat ke spot rekomendasi David, tapi mancing di parit dekat rumah cukup melepas klangenan masa kecil).

“Badukun, Turun Tanah”

Pulang ke rumah, saya melihat jejalan sepeda motor parkir di halaman. Selain motor baru, dalam arti terlihat bersih dan tidak dimodifikasi, tak kalah banyak motor tua dengan ban bergerigi besar. Itu artinya, orang yang bekerja di kampung atau kecamatan, serta mereka yang bekerja di ladang, sekarang sama-sama berkumpul di rumah Pak Dukun. Untuk menunaikan acara turun tanah seperti saya dengar kemarin.

Benar saja. Rumah bagian dapur sudah penuh dengan laki-laki yang duduk sambil merokok dan menginang. Di bagian lain ruang itu para perempuan sibuk menyiapkan segala sesuatu. Mereka merebus ramuan dari tumbuhan hutan, dan yang lain membuat wadah dan anyaman untuk badukun. Ruang itu konsisten digunakan sebagai aktivitas umum, mulai menerima tamu hingga berupacara. Sementara ruang rumah utama dibiarkan kosong lapang, sehingga ketika saya masuk dari pintu samping sejenak saya merasa asing, seolah terkepung mata-mata yang serentak menatap dari arah dapur. 

Tapi itu tidak lama. Sesuara yang akrab saya dengar menyela di antara tatapan mata,”Ayo makan, Pak, nasinya sudah keburu dingin!” Di tengah rumah, dekat tiang, ternyata telah terhidang nasi dengan sayur-mayur segar seperti kemarin malam. Tampaknya tuan rumah mengerti kesukaan saya.

Dan Pak Dukun masih sempat menyilahkan saya makan sesaat sebelum ia sendiri bersiap-siap menjalankan aktivitasnya badukun. Ia duduk di tengah-tengah hadirin, buka baju saja. Mulutnya komat-kamit bukan mengucap mantra, tapi mengunyah sirih. Di depannya, seorang laki-laki duduk menghadap. Laki-laki itulah yang mulai beraksi menggerakan segala piranti upacara. Menyan dibakar, asapnya diusapkannya ke wajah Pak Dukun. Ia ucap bismillah, setelah itu bercampur mantra-mantra. 

Rupanya dalam upacara tersebut Pak Dukun lebih berperan sebagai “medium” bagi arwah si mati. Peran itu, saya ketahui kemudian, jauh lebih berat. Ia ibarat pemimpin upacara, sedangkan pelaksana upacara adalah balian atau kumantan. Laki-laki yang membaca mantra di hadapan Pak Dukun itulah sang Kumantan.

Mantra Pak Kumantan kian “liar”, mulutnya kian cepat berucap. Tangannya menyentuh tiap titik tubuh Pak Dukun, menggarisnya dengan kapur, dan menempelkan anyaman daun rumbai yang dibuat perempuan-perempuan tadi, mulai di kepala, bahu dan dada. Anyaman itu menjuntai berjumbai-jumbai di kening Pak Dukun yang masih terus mengunyah sirih seperti mengunyah permen karet, membuat wajahnya seperti berubah jadi wajah masa silam seolah saya belum mengenalinya sejak semalam. 

“Jangan kau foto,” bisik Pak Batin kepada saya yang mendekat tegak di pintu. Tangan saya sebenarnya ingin bergerak memotret agak sepetik dua petik, tapi seolah tahu hasrat saya, Pak Dukun mendelik. “Makan saja sekarang,” katanya.

Seorang laki-laki kurus dengan kepala terikat kain hitam, ikut mengulang,”Ya, makanlah, Bang. Kami semua tadi sudah makan bahidang…

Saya akhirnya patuh. Lagi pula saya lihat, sejumlah laki-laki sudah mulai beringsut turun jenjang. Yang lain terus berbincang sesamanya. Tentang kebun dan ladang-ladang. Info terbaru perusahaan perkebunan, dan segala macam. Perlahan barisan orang-orang mulai longgar. Bunyi mesin motor ribut di halaman. 

Saya tak mengerti mengapa ritual yang saya bayangkan begitu sakral, ternyata berlangsung di antara percakapan dan kepergian orang-orang tanpa perlu pamit pulang. Padahal dalam buku Upacara Tradisional (Upacara Kematian) di Riau susunan Daud Kadir dkk. yang sempat saya scan di perpustakaan Komunitas Suku Seni Pekanbaru, kematian bagi orang Talang Mamak dianggap sangat “menakutkan”. Saya lihat buku itu lagi di hp. Di situ disebutkan kematian adalah kejadian yang tidak baik, bahkan disebut peristiwa sial. Karena itu mereka akan berupacara dengan sangat hikmat supaya roh si mati tidak mengganggu yang tinggal dan selamat ke tempat asal (1985:40).

Apakah ini hanya acara “sampingan” mengingat peristiwa kematian adik ipar Pak Dukun sudah lewat berapa waktu berselang? Atau ini bagian dari perubahan?

Saya tak tahu. Tapi boleh jadi saya telah terperangkap romantisisme yang kadung menganggap segala sesuatu tentang masyarakat adat itu eksotik. Ah, tidak! Sudah lama saya menyadari bahwa anggapan itu tak perlu. Saya teringat puisi yang saya tulis tentang masyarakat Dayak Loksado beberapa waktu lalu. Puisi tersebut justru ingin mengejek sikap orang-orang yang datang bertandang ke Loksado dengan semangat destinasi wisata. Jadi saya paham masyarakat adat tak saatnya lagi dikaitkan dengan eksotisme, sebagaimana kolonial memandang segalanya dari kacamata mooi-indie!

Hanya saja, jujur, sepanjang upacara yang saya lihat barusan, bukankah menyangkut kematian? Kematian, bagi saya, selalu terasa lain: sakral, ngelangut, hikmat. Tapi orang Talang Mamak pasti punya persfektifnya sendiri dengan filsafat dan semesta adat.   

“Swalayan Sayur-Mayur” dan “Olang” 

Sekarang saya ingin tahu ladang Pak Dukun, dari mana sayuran segar yang saya lahap dengan nikmat, berasal. David segera membawa saya ke sana. Letaknya tak jauh dari rumah, hanya di seberang jalan yang masuk ke arah kebun karet. Ladang sayur itu sendiri bekas ladang karet Pak Dukun yang sudah ditebangi karena harga tak kunjung membaik.

Lahan seluas hampir dua hektar itu semua diisi aneka tanaman sayur, mulai  jagung, labu, ketimun, terong tunjuk-terong bulat-terong ungu, singkong berbagai jenis (saya baru lihat ada singkong berdaun keriting), rimbang, cabe, tomat, kecipir, pitula, kacang panjang, pariya, keladi, semua ada. Tak berlebihan ladangnya dikatakan sebagai “swalayan sayur-mayur.” 

Menurut David, ladang sayur seluas itu tidak untuk dijual. Buat kebutuhan sehari-hari saja. Kalau ada tetangga atau orang kampung mau, boleh ambil. Dua buah pondok leang-leang berdiri di tengah ladang. Di atas pondok terdapat berbagai bungkus bibit tanaman berupa bebijian yang dikemas kelompok usaha tani atau mungkin hasil kemasan pabrik. Kata David, bapaknya membeli semua itu di Air Molek. Sekalian membeli pupuk dan obat, sebab, lanjut David, pupuk kandang saja kadang tak cukup.

“Kenapa tidak dibuat sendiri, David?”

“Lebih praktis. Dulu bila panen jagung misalnya, berapa tongkol jagung tua digantung di atas tungku dapur sampai siap tanam. Kini sudah jarang. Begitu juga pupuk, dulu dari kotoran lembu dan kambing, sekarang bapak tak sempat lagi membuatnya. Lagi pula, kurang mempan. Tanahnya sudah beda.”

Saya memandang hamparan ladang sambil menyimak jawaban perubahan yang disampaikan David. Di tengah ladang berdiri tiang sutet, dan kabel-kabel besar listrik melintang di atas langit ladang. Serombongan burung bertengger sebagaimana hinggap di ranting. Jadilah pemandangan “arkaik” berbaur dengan “futuristik”—hal-hal yang banyak mewarnai kehidupan orang Talang Mamak sekarang.

Sedang berpikir-pikir demikian, di pondok terjauh terdengar suara tembakan. 

“Bedil?” saya kaget. 

Lalu disusul suara ribut monyet-monyet menjauh.

“Kena?” saya lanjut bertanya.

David tertawa.

“Itu kakak saya menakut-nakuti monyet dengan bazoka buatan, Pak,” jelas David kemudian. Katanya, bila Doni tidak menyopir truk, ia akan membantu menjaga ladang dari serbuan monyet. Saya mendatangi pondok itu dan melihat bazoka buatan mereka menggunakan paralon diisi spritus. Di pangkalnya dilekatkan sebuah alat pemantik eletrik yang dihubungkan dengan kabel. Bila diisi spritus dan dipantik, akan menimbulkan gema suara, tapi tak ada benda yang keluar sebagai peluru. Semacam tembakan hampa. Saya mencoba, sayang tidak bisa meletus.

Puas berkeliling ladang sayur, saya pamit kepada kakak David yang sedang menonton sebuah acara musik di kanal Youtube. Katanya, sambil menunggui kebun dari usikan monyet, bisa asyik buka Youtube karena sinyal di kebun bagus ketimbang di rumah. O, okelah kalau begitu.

Kami bermaksud kembali ke rumah. Tapi persis di depan rumah Pak Batin, kami berpapasan dengan Ayu. Ia segera mengingatkan janji saya saat di Pekanbaru. 

“Jadi Bapak ke huma melihat padi kami?”

Tentu saya ingat janji itu. 

“Ayo, sekarang saja, Ayu,” jawab saya menghemat waktu. 

Ayu tinggal mengubik Hairil yang sedang menjemur cucian di halaman rumahnya. Mungkin ia mengambil alih tugas keluarga karena ayah-ibunya sibuk membantu acara di rumah Pak Dukun. Anak tiri Pak Batin itu sudah tahu rencana ke huma. Jadi ia pun bersiap naik motor. Di sebuah warung, ia mampiri Harianto. Berombongan kecil, kami berangkat menuju huma yang terletak di luar desa. Memasuki jalan tanah becek berlumpur, hingga motor tak bisa lagi dinaiki. Di batas itulah kami berhenti dan harus berjalan kaki. 

Apa yang disebut ladang di sini berbeda dengan ladang di Bukit Barisan, kampung saya. Di tempat saya, ladang berada di atas bukit, penuh pendakian. Ladang Talang Mamak terhampar datar karena memang terletak di hutan gambut. Tapi suasana yang ditimbulkannya sama: kedamaian huma. Angin semilir, suara burung-burung, dan kuik elang yang melayang layah di langit, membuat bayang-bayangnya memanjang menyepuh bubungan pondok yang berdiri kukuh di tengah ladang.

Kulik elang mengingatkan saya pada buku puisi Dheni Kurnia, penyair dan jurnalis kelahiran Air Molek, Olang 2 (Palagan Press, 2016). Buku pemenang utama Anugrah Hari Puisi itu sengaja saya bawa dan kebetulan saya yang mencetaknya dulu di Yogya. Puisi-puisi Bang Dheni dalam Olang bertolak dari kehidupan masyarakat Talang Mamak. Maklum kakekya dari pihak ibu, punya hubungan darah dengan keturunan suku tuha ini. 

Dalam masyarakat Talang Mamak, tulisnya di pengantar, olang (elang) merupakan perlambang. Sakral. Tidak boleh dipelihara, diburu, ditangkap apalagi dibunuh. Elang dianggap sebagai perantara pesan kepada yang gaib. Baik ketika melakukan pengobatan maupun ketika menyampaikan pesan kepada roh-roh orang yang sudah mati. Suara kulik elang juga mengandung pertanda.

Melihat sisa hamparan padi huma yang terjepit di tengah kepungan sawit, saya baca sebait sajak Bang Dheni, “Ruh Olang” yang menyayat hati:

Tampek ruh nanlah tobang

Tompek zat nanlah runtuh

Tompek bunian nanlah putus

Ke sarang olang-olang

Padi Ladang, Huma dan Harapan di Pondok Kukuh

Padi ladang milik keluarga Ayu tampak tidak terlalu subur, terutama jika dihubungkan dengan huma tempatnya tumbuh. Bukankah huma diasumsikan berhumus tebal? Tapi lihatlah, batang padi Ayu kurang tinggi. Daunnya agak menguning. Buah-buahnya banyak yang hampa. Menurut Ayu, sejak mereka dilarang membakar lahan, padi ladang jadi berubah kerdil. Biasanya, abu lahan yang dibakar akan menyuburkan tanaman. 

“Tapi kami tidak membakar seperti orang buka kebun sawit. Kami punya aturan, dan tak pernah api menjalar memusnahkan hutan,” kata Ayu sungguh-sungguh. 

Engkau benar, Ayu. Di kalangan masyarakat peladang, membakar lahan ada cara dan aturan mainnya. Tidak asal bakar, apalagi dengan sikap praktis akan mendapat lahan seluas-luasnya. Peladang terlebih dulu membersihkan sekeliling lahan minimal sejarak satu depa dari belukar atau hutan sekitar. Itu akan menjadi jalur pengaman api untuk tidak menjalar, sekaligus tempat memantau jika angin berhembus kencang. 

Saya tahu persis tradisi itu karena ayah saya juga seorang peladang. Di sana. Di kaki Bukit Barisan. Ayah saya biasa membakar hasil tebasan ladangnya, dan abunya dibiarkan sebagai pupuk alami yang menyuburkan tanaman. Tapi di sini, di kaki Bukit Tiga Puluh, sejak para pekebun besar main bakar lahan demi keperluan praktis, yang tertuduh sebagai pembakar hutan dengan kabut asap pekat, adalah petani kecil dengan huma-huma kecil penghidupannya ini. 

Lalu dengan konyol dan naif pemerintah mengeluarkan larangan membakar lahan. Beberapa kali terjadi kasus: lantaran membakar hasil tebasan di tengah huma, peladang Talang Mamak ditangkap polisi bahkan ada yang ditahan. Sejak itu mereka takut membakar hasil tebasan, sekalipun berakibat pada pola membuka lahan dan hasil ladang. 

“Padahal padi ladang harus tetap ada,” kata Harianto, anak Talang Mamak yang berhasil menamatkan kuliah di Pekanbaru. Bagi komunitas mereka, padi ladang merupakan bahan untuk setiap upacara. Keberadaannya tak bisa digantikan dengan beras dari padi sawah yang banyak dijual di pasar atau toko sembako. 

Begitu juga tuduhan sebagai peladang berpindah. Jangan bayangkan mereka membuka hutan seperti pemilik HPH dan HGU yang menghabisi semua pohon dalam waktu singkat. Masyarakat adat Talang Mamak punya aturan berladang dalam siklus yang diatur sepanjang musim, sepanjang masa. Saya teringat cerita Pak Dukun semalam tentang tata cara membuka ladang. Dimulai lebih dulu dengan malambas (menebas). Lalu di situ dipasang limasan dari pelepah pisang. 

Setelah tiga hari, wadah yang sudah dimantrai Pak Dukun maupun kumantan itu, akan dilihat kembali. Jika posisinya tertelungkup, berarti tak ada izin dari penunggu hutan. Jika tidak tertelungkup, berarti ada izin. Maka dibolehkan mulai membuka hutan dengan terlebih dulu memperhatikan sembilan malata di langit (hal-hal gaib), sembilan malata di awang-awang (seperti angin, puang, petir), dan sembilan melata di bumi (seperti ular, kerong-kerong, kala, lawa-lawa, selembada, cicak, semut…).

“Huya, huyaa!!” tiba-tiba terdengar suara menggusah dari tengah ladang, dan tali-temali orang-orangan dari jerami serentak bergerak-gerak. Ternyata itu adik perempuan Ayu yang bertugas menjaga padi dari serbuan burung-burung….

Aneh, ingatan saya melayang kepada sebuah sajak pendek kawan seperantauan saya, Riki Dhamparan Putra. Sajak berjudul “Huya” itu sudah sama-sama kami hapal sejak menyusuri malam-malam Kota Denpasar. Rasanya, cocok belaka ketika saya dawamkan di tengah huma orang Talang Mamak.

HUYA

Kami minum darah kami

Didih kerikil pasir di jalan

Nyanyian cinta

Sepanjang jalan nasib

Patuk biji musim

Kami terusir

Terbang cari makna kata

Huya

 Kami saksikan

Lumbung demi lumbung punah

Dibakar tangan-tangan waktu

Cukuplah

Kami tak lagi akan minta padamu

Kami makan hati kami

Kami kepalkan

Bagi yang mengais sampah

Di taman-taman negeri

1996

“Burungnya banyak sekali, sebab tinggal ladang kami dan ladang Dita saja yang belum panen,” kata Ayu sambil menunjuk ladang Dita di seberang pondoknya. Hari itu ladang Dita tidak ada yang menjaga, sebab ibunya yang biasa menjaga sedang sibuk membantu acara di rumah Pak Dukun. Dita sendiri pergi menunggui saudara yang sakit yang kemarin sudah ia jenguk. Tapi sesekali adik Ayu ikut menggusah burung-burung ke huma Dita. 

Burung-burung pipit pemangsa datang bergerombol setiap saat, dan setiap itu pula adik Ayu menghardik dan mengusirnya. Butuh kesabaran khusus untuk menunggui padi pada masa seperti ini, yang menurut Ayu bisa hampir sebulanan. 

Umur padi ladang sejak ditanam dan panen berkisar enam bulan. Sebagaimana saat menanam, saat menuai pun ada upacara dan lelaku khusus yang harus dijalani para peladang. Misalnya, pekerjaan menuai akan dilakukan para perempuan, dan itu tidak boleh bersuara. Jangankan berbincang sesama mereka, bahkan jika ada yang menyapa atau memanggil, tak boleh disahut.

“Sebab boleh jadi yang menyapa itu bukan makhluk seperti kita…”

Saat berbincang di depan pondok, ayah Ayu datang. Saya mengulurkan tangan. Laki-laki penuh keringat itu menjabat tangan saya erat-erat. Betapa hangat. Kemudian ia perintahkan Ayu mengajak kami naik ke pondok. “Buatkan minum,” katanya.

Setelah mencuci kaki di sebuah parit yang dilengkapi dengan titian dan lantai papan, selayaknya tepian mandi, kami semua naik ke pondok bertiang tinggi itu. Pondok kayu berukuran sekitar 6 x 5 meter itu memang kukuh. Punya serambi kecil, ruang tengah dan dapur. Ayu segera menyalakan api di tungku. Sementara saya mengajak Harianto, Hairil dan David, bercerita tentang kehidupan mereka. 

Keluarlah semua riwayat, hikayat, silsilah, juga cita-cita dari mulut mereka. Penuh hikmat. Dan lebih dari suara yang begitu fasih merangkai cerita, saya juga melihat banyak kisah terpancar dari mata dan muka yang bersih. 

Kemudian seorang gadis yang saya lupa namanya datang menyusul. Ia membawa sekresek kue-kue yang tampaknya sengaja ia beli di warung.  

Ketika kopi terhidang, dan anak-anak pun mulai makan kue, saya berkata,”Tulislah apa-apa yang kalian ceritakan itu dalam bentuk cerpen, puisi, novel…”

“Bagaimana caranya, Bapak?” tanya mereka hampir berbarengan.

Saya tersenyum. “Kalian bisa mulai dengan membaca. Buku-buku yang saya bawakan kemarin, semuanya buku cerita dan buku puisi.” Saya memang membawakan mereka sekardus buku dari Yogya dan sudah saya serahkan sewaktu di Pekanbaru.

“Siap, Bapak, tapi kami juga ingin diajari cara menulisnya,” kata Hairil penuh minat. Yang lain terlihat antusias. Saya sesap kopi dengan nikmat. 

Rasa lelah terasa sirna. Saya bersyukur telah menjejak tanah orang Talang Mamak, dalam dua makna. Pertama boleh jadi harafiah, di mana telah saya susuri sejumlah tempat dan saya jejaki sebagian kecil jalur hidup mereka. Kedua, segala yang saya dapat di sini menjejak di benak saya sebagai pengalaman berharga dan falsafah yang kaya. Namun saya masih berharap ada makna ketiga: meninggalkan jejak, sekecil apa pun  kelak… 

“Saya siap mengajari kalian menulis. Akan kita agendakan. Sekarang kalian lanjut dulu menulis hikayat kampung bersama Pak Pinto. Lewat menulis, kita semua akan menorehkan jejak,” saya meyakinkan mereka, dan sebenarnya lebih meyakinkan diri saya sendiri. Karenanya, nada suara saya nyaris tersedak. 

Saya lihat wajah semua anak berseri-seri. Seperti bulir padi yang terbit dari batang-batangnya yang kurus di tengah ladang. 

“Huyaa!!” adik Ayu berseru lagi. “Huya, huyaaa…!” Tali-temali bergerak. Ia terus berseru. Saya membayangkan gadis belia itu bagai Pak Dukun mengucap mantra-manta yang tak nampak, setia memagar kampung dari serbuan burung-burung liar. Bukan sekedar pipit dari tepi-tepi rimba, melainkan deru mesin-mesin sawit dari pusat-pusat kekuasaan. 

Kami pun lalu berteriak bersama-sama,“Huya, huyaa!!” 

Begitulah, kami gusah langit Talang Mamak yang masih mendung. Tapi dari balik awan, matahari akan bersinar membuat semuanya kembali cerah. Menumbuhkan harapan. Seperti biji buah labu yang diberikan Pak Dukun ketika saya pamit dari Talang Sungai Parit.

“Dalam buah labu kering ini masih tersimpan biji-bijinya. Pak Raudal bisa mengeluarkannya untuk ditanam di mana saja, sementara buahnya bisa buat wadah tempat air minum, sebagaimana kami memakainya di sini. Air akan menjadi sejuk,” tentu, Pak Dukun tidak sedang membaca mantra, walau ucapannya  penuh simbol. Ia menyerahkan labu kering ukuran sedang ke tangan saya. Juga kambuik (tas bulat kecil) dan anyaman tempat tembakau dari daun rumbai yang kuat. Saya menerimanya dengan rasa haru dan terima kasih.

/Talang Sungai Parit-Lemahdadi, 

awal tahun 2023 Menja


Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian ke tiga dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co

0
467
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.