Menu

Menjejak ke Talang Mamak | Bagian I

(Catatan Asa dari Talang Sungai Parit,  Desa Adat di Tengah Lautan Sawit)

TALANG Mamak. Saya mendengar namanya jauh saat masih berseragam putih-abu-abu. Lalu mengendap lama dalam kepala, sebagaimana saya memendam ingatan pada Suku Sakai dan Suku Anak Dalam. Kehidupan ketiga suku asli pedalaman Sumatera ini sama-sama berkaitan erat dengan alam. Ketika hutan sumber kehidupan mereka disulap menjadi kebun kelapa sawit, maka tidak bisa tidak, ada yang bangkit kembali dari ingatan. Bukan hanya isu lingkungan, juga bayangan pergulatan masyarakat adat mempertahankan tanah dan hutan ulayat. Dan itu sungguh tidak mudah.     

Keingintahuan sekaligus ingatan saya atas Suku Talang Mamak akhirnya menemukan kanal. Adalah AsM Law Office, kantor hukum yang peduli pada masyarakat marginal, mengundang saya dalam sebuah kegiatan. “Up Date Upaya Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Talang Mamak di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.” Begitulah disampaikan Andiko Sutan Mancayo, Senior Lawyer AsM Law Office. Kegiatan berlangsung di Pekanbaru, 16-17 Januari lalu.

Tokoh-tokoh masyarakat adat, para batin dan para kepala desa sekecamatan Rakit Kulim (kecamatan terbanyak dihuni suku Talang Mamak), termasuk anak-anak muda Talang Mamak, hadir bersatu dalam acara dua hari penuh itu. Tak ketinggalan kaum akademik, peneliti, aktivis LSM dari berbagai basis seperti AMAN, Huma, WALHI, LBH dan entah apa lagi. Pun pejabat pemerintahan Kabupaten Indragiri Hulu dan Provinsi Riau.

Acara mendapat respon bagus dari berbagai kalangan, menunjukkan atensi besar atas persoalan hidup Talang Mamak yang saat ini tergencet sawit. Sudah bertahun-tahun orang Talang Mamak berhadapan dengan korporasi perkebunan yang mencaplok tanah hutan ulayat mereka. Bertahun-tahun pula upaya pendampingan dilakukan berbagai pihak, baik secara hukum, lingkungan dan adat. 

Sederhana saja permintaannya: akui hak adat dan tanah ulayat Suku Talang Mamak. Dari situlah eksistensi dan hak mereka sebagai warga masyarakat asli Indragiri terpulihkan. Namun tuntutan yang terdengar sederhana itu masih jauh panggang dari api.  

AsM Law Office mencoba memberi aksentuasi lain dalam kerja pendampingan. Masyarakat dijadikan subjek utama perubahan, khususnya anak-anak dan para remaja. Sebab generasi mudalah yang akan berhadapan langsung dengan persoalan riil tanah kelahirannya. Maka diadakan kerja-kerja literasi, pelatihan menulis, membangun perpustakaan serta upaya peningkatan kapasitas personal dan kolektif lainnya. 

Bahkan kantor kecil mereka yang ada di Belilas, kemudian pindah ke Air Molek, diserahkan pengelolaannya kepada anak-anak muda Talang Mamak itu sendiri. Anak-anak muda itu juga diajak berkunjung ke komunitas dan tempat-tempat yang dapat membuka cakrawala. Juga anjangsana ke kota dan daerah-daerah baru bagi mereka: Pekanbaru, Padang, Bukittinggi, Bengkulu hingga Kualalumpur.

Tentu, sudah pada tempatnya pula kita membuka cakrawala atas keberadaan Suku Talang Mamak supaya saling mengenal. Dan pada gilirannya membangun empati atas ketergusuran mereka dari tanah hutan ulayat. Dalam dua hari pertemuan di Pekanbaru itu, saya sadar belumlah cukup memahami kehidupan mereka yang kompleks, apalagi setelah rezim dan kartel sawit merangsek hidup mereka dengan berbagai-bagai efek, nyaris tanpa ampun. Namun sebagai langkah awal perkenalan, sejumlah literatur bolehlah dibuka.

Sekilas Suku Talang Mamak

Suku Talang Mamak tersebar di Kecamatan Rengat Barat, Kecamatan Batang Cenaku, Kecamatan Batang Gangsal, Kecamatan Kelayang dan Kecamatan Rakit Kulim. Semuanya di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Mereka tinggal dalam puluhan dusun dan desa. Di Kecamatan Rakit Kulim saja misalnya, ada 15 desa, antara lain Talang Sungai Limau, Talang Perigi, Talang Sungai Parit, Talang Gadabu, Talang Durian Cacar, Talang Sukamaju, Talang Tujuh Tangga, Lubuk Sitarak, Sungai Ekok, Talang Salantai, dan seterusnya. Selain itu mereka juga ada di Dusun Semerantihan, Desa Suo-Suo, Kecamatan Sumay,Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. 

Zulyani Hidayah dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (1997) mencatat bahwa kata talang dalam Suku Talang Mamak berarti ladang, merujuk kehidupan mereka sebagai peladang di kawasan Pegunungan Bukit Tiga Puluh. Mamak merujuk sosok laki-laki tertua dalam keluarga dari pihak ibu. Jadi Talang Mamak artinya ladang milik pihak ibu yang dijaga oleh seorang mamak. Mereka memang menganut sistem materilinial sebagaimana orang Minangkabau yang mempengaruhi mereka lewat Datuk Perpatih nan Sabatang dari Pagaruyung. Bahasa mereka tergolong bahasa Melayu dengan dialek sendiri.

Masyarakat Talang Mamak bermukim di sepanjang anak-anak sungai Indragiri. Mereka terbagi dua kelompok berdasarkan pandangan asal-usul. Pertama, kelompok Talang Mamak Sungai Limau yang berdiam di aliran Sungai Limau dan Sungai Cenaku. Mereka menganggap keturunan Datuk Mendarjati. Kedua, kelompok Talang Mamak yang tinggal di sepanjang Sungai Gangsal dan Sungai Akar. Mereka menganggap keturunan tiga bersaudara: Datuk Ria Belimbing, Datuk Ria Tanjung dan Datuk Ria Muncak. 

Perbedaan pandangan mengenai asal-usul tidak membedakan sistem kekerabatan materilinial yang mereka anut, sistem pewarisan harta pusaka serta jabatan kepemimpinan yang terdiri dari batin, penghulu, mangku dan monti. Ini menunjukkan sebenarnya mereka satu asal, hanya saja ada tempat awal dan ada pengembangan wilayah. Rumah tangga terbentuk dari keluarga inti dengan membuat rumah sendiri di sekitar tempat tinggal orang tua perempuan (uksorilokal). Kesatuan hidup tertinggi adalah kampung yang dipimpin seorang batin atau penghulu adat (1997: 253).

Wikipedia mencatat bahwa dalam kelompok masyarakat Talang Mamak, terdapat sub kelompok yang disebut dengan suku. Kemudian dibagi lagi dalam tobo dan hinduik atau perut alias puak. Kelompok masyarakat ini tergolong Proto Melayu, suku asli Indragiri Hulu (Suku Tuha) dan lebih berhak atas sumber daya alam di Indragiri

Dalam hal agama dan kepercayaan, tulis Zulyani lebih lanjut, sebagian besar orang Talang Mamak menganut religi lama yang mereka sebut agama adat atau dikenal dengan agama Langkah Lama. Mereka berorientasi kepada pemujaan roh ninik-datuk (nenek moyang) dan makhluk halus penghuni hutan-rimba. Di sisi lain, Agama Adat tersebut mengharuskan mereka melaksanakan lima kebiasaan adat; bersunat, mengasah gigi, menyabung ayam, berdukun bekumantan (praktek syamanisme) dan pesemahan (ritual mengorbankan hewan di makam keramat) (ibid, 1997: 254). 

Belakangan, kepercayaan mereka lebih spesifik lagi disebut Islam Langkah Lama, semacam sinkretisme kepercayaan leluhur dengan agama Islam. Orang Talang Mamak menyatakan diri sebagai keturunan Nabi Adam dan mengakui Nabi Muhammad sebagai junjungan. Mereka menjalankan syariat Islam, melafalkan ayat-ayat suci Al Quran, berpuasa di bulan Ramadan, tanpa meninggalkan falsafah dan ajaran adat mereka. Seperti mantra-mantra dan berbagai ritual terkait alam maupun siklus hidup manusia. Beberapa kawan menganggap pola beragama mereka serupa Kejawen di Jawa, tapi saya khawatir itu akan membuat semacam simplikasi. 

Bahkan apa yang pernah dicatat asisten Residen Indragiri, V. Obdeyn pada 1930, menurut saya sudah menjadi bias. Sebagaimana dinukil Syafrizaldi Jpang dalam Talang Mamak di Tepi Zaman (2020), Obdeyn menyebut Islam Langkah Lama berarti kembali ke awal adat dan kebiasaan. Inilah yang memunculkan simplikasi bahwa orang Talang Mamak berasal dari kelompok masyarakat adat yang menolak pengaruh Islam dan Sultan sehingga mereka memilih masuk hutan. 

Ini tentu saja kontradiktif alih-alih keliru sebab di satu sisi disebutkan bahwa adat orang Talang Mamak berasal dari sistem adat Pagaruyung yang dibawa Datuk Perpatih Nan Sebatang. Dalam cerita lisan masyarakat Talang Mamak sebagaimana dicatat Pinto Anugerah di buku Yang Dipagari Talang Yang Dijaga Mamak, wilayah mereka dikuasai oleh tiga patih yang mewarisi semangat Datuk Perpatih: Jambuana, patih yang berkuasa di sepanjang aliran Sungai Kampar, Jambuani, berkuasa di aliran Batanghari dan Jambulipo berkuasa di sepanjang aliran Sungai Kuantan atau Indragiri (2022: viii).

Leluhur Talang Mamak juga ikut menjemput raja Indragiri, Narasinga, ke Melaka. Tradisi menjelang sultan ke bekas istana Indragiri bahkan masih dilangsungkan sampai hari ini, sambil tetap memberi penghormatan pada Pagaruyung. Setiap dua kali setahun, Idul Fitri dan Idul Adha, para batin dan tokoh Talang Mamak akan menjelang ke istana Raja Indragiri di tepi Danau Raja. Itu artinya, sembari beraja ke Pagaruyung, orang Talak Mamak juga beraja ke Indragiri. 

Tak kalah menarik, selain hidup dari hutan, orang Talang Mamak juga menyatu dengan ekologi sungai. Jika hutan simbol sumber daya, sungai adalah simbol peradaban. Gusti Asnan dalam Sungai dan Sejarah Sumatera (2016) menyebut bahwa sungai merupakan jalur perdagangan dan lalu-lintas yang membentuk sejarah Andalas. 

Orang Talang Mamak sangat menguasai jalur sungai, meski bukan untuk ekspedisi apalagi menundukkan. Mereka punya kemampuan membuat dan mengendalikan rakit dan perahu untuk transportasi dan pengangkutan hasil hutan. Konon dengan rakit kayu kulim (ulin) orang Talang Mamak menjemput Perpatih Nan Sabatang ke Pagaruyung. Mereka lewat jalur Sungai Batang Kuantan yang berhulu di Sijunjung, Sumatera Barat (gabungan Batang Ombilin, Batang Sukam dan Batang Palangki). Mereka juga ikut menjemput raja Indragiri ke Melaka, menghiliri Batang Kuantan/Indragiri yang bermuara di Selat Berhala. 

“Bayangkan, kayu kulim yang berat itu bisa dibuat mengapung oleh leluhur kami. Kayu itu dipilih karena kuat,” kata Pak Batin Irasan saat jeda acara. Konon itulah yang melatari nama Kecamatan Rakit Kulim. 

Posisi beraja kepada kedua tahta ini tentu menarik untuk dikaji. Boleh dikatakan orang Talang Mamak berada dalam dua pengaruh kerajaan penting, Minangkabau dan Melayu. Posisi ini dapat dipastikan membuat mereka memiliki khazanah kebudayaan yang lengkap dan kompleks, punya posisi tawar yang kuat, meski disaat yang sama boleh jadi membuat mereka “lemah”. Seolah selamanya mereka dalam pengaruh orang luar. Namun, kemampuan tetua mereka mengolah apa yang datang dari luar dan mensintesakannya dengan kebijakan lokal, tak bisa dinisbikan. Saripati itulah yang tertinggal dalam adat dan kepercayaan mereka. 

Di sisi lain, hutan sebagai sumber kehidupan dan sungai sebagai jalur peradaban, juga dua hal yang pernah melatari posisi historis orang Talang Mamak. Bila mendapatkan moment yang pas tentu berpotensi besar untuk diaktualkan.   

Kota-Kota Kecil yang Dilewati: Menuju Kampung Talang Mamak

Persentuhan pertama saya dengan sejumlah orang Talang Mamak di Pekanbaru seraya mendengar paparan persoalan yang mereka hadapi di forum kegiatan, ditambah sedikit referensi, membuat saya justru tertarik ingin mendatangi langsung kampung halaman mereka. Beruntung, pihak AsM bersedia memfasilitasi saya untuk berkunjung ke Desa Talang Sungai Parit, satu di antara 15 desa yang mayoritas dihuni suku Talang Mamak di Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu. 

Jadilah kemudian, dalam waktu tidak terlalu lama, saya sudah berada di jalur Lintas Timur Sumatera. Melaju ke lokasi yang dituju. 

Jalan Lintas Timur Sumatera terbilang mulus, minus lobang, namun bergelombang, naik-turun, dan itu sangat rawan. Berbeda dengan jalur pantai barat yang sekalian penuh kelokan tajam, sehingga kewaspadaan lebih terjaga. Sopir dituntut ekstra waspada karena sering sekali jalan bergelombang itu menipu kemunculan lawan. 

Saya yang melaju di atas mobil sewaan bersama Pinto Anugrah, sastrawan cum datuk penghulu Sungai Tarab, selalu mengingatkan sopir kami untuk hati-hati. Saya pun mengajaknya bercakap sepanjang jalan supaya kami sama-sama terjaga. Tampaknya bagi sang sopir, pucuk dicinta ulam tiba. Ia tak henti-hentinya bercerita. Mulai kehidupan mutakhir orang Melayu, pilihannya bergabung dengan sebuah kelompok salafi meski menganggap lucu HTI hingga pengalamannya jadi sopir pribadi orang penting di Riau. Saya malah jadi terkantuk-kantuk dibuatnya. 

Pada siang bermendung itu kami meluncur dari Pekanbaru, melewati sebagian Kabupaten Kampar dan Pelalawan menuju Indragiri Hulu. Kami melewati kota-kota kecil sepanjang Jalan Lintas Timur yang menggeliat hidup. Berkat perkebunan, hutan produksi, tambang, perdagangan dan transmigrasi. Tercatat kota-kota kecil seperti Pangkalan Kerinci yang kini telah menjadi ibukota Kabupaten Pelalawan dengan pabrik kertas terbesar di Tanah Air. Kemudian Sorek, Pangkalan Lesung, Ukui, Lirik dan Japura. 

Di Japura jalan bersimpang ke arah Teluk Kuantan. Di sini terdapat sebuah bandara. Menurut sopir kami, petinggi tambang dan perkebunan sering memilih terbang atau mendarat di Bandara Japura. Ia sering menjemput atau mengantar mereka. 

Kota kecil persimpangan ini memang strategis. Di masa lalu, Japura pernah menjadi ibukota Kerajaan Indragiri. Tahun 1765, Sultan Hasan Salahuddin Kramat Syah memindahkan ibukota ke sini. Makam raja-raja Indragiri juga tak jauh dar Japura, tepatnya di Kota Lama, Rengat Barat. Tahun 1930-an ditemukan ladang minyak di Lirik, dan tahun 1939 dilakukan pengeboran pertama. Sampai sekarang tetap beroperasi di bawah Medco-Pertamina. Lirik hanya sepelirikan mata dari Japura. 

Japura juga berada di tengah kawasan perkebunan sawit yang membentang di Kabupaten Indragiri Hulu sampai Jambi. Sementara tambang batubara di Peranap, kian meramaikan jalur lalu-lintas Japura. Lurus ke timur, jalan membentang ke Rengat, Jambi dan terus ke Palembang atau Lampung. 

Boleh dikatakan Japura titik penyebaran arus barang dan manusia ke segala arah. Bahkan dulu, Jalan Lintas Timur Sumatera hanya sampai di pertigaan Japura ini, untuk kemudian berbelok ke jalur Air Molek, terus ke Teluk Kuantan; satu bersimpang ke Pekanbaru lewat Lipat Kain, Gunung Sahilan dan Buluk Kasok, satu lagi menuju ke Kiliran Jao, bertemu dengan Jalan Lintas Tengah Sumatera di Dharmasraya, Sumatera Barat. Ditemukannya ladang minyak di Lirik, membuat simpang Japura terhubung dengan kawasan pertambangan itu. Selanjutnya, jalur menuju Pangkalan Kerinci hingga tembus ke Pekanbaru dan Siak, merupakan pengembangan jalan perusahaan HPH, yang kini berubah menjadi perusahaan hutan produksi untuk industri kertas dan triplek. 

Di Japura kami berhenti cukup lama di sebuah warung makan paling top sejak tahun 80-an. Sop tunjang Dwi Sidomulyo namanya. Dulu warung ini terletak persis di tepi jalan lintas. Sejak jalan diluruskan di sisi lapangan terbang Japura, warung sop tunjang Dwi Sidomulyo menjadi masuk ke dalam. Tapi tidak mengurangi minat orang untuk singgah, berbelok sejenak dan tak sampai 300 meter kita akan bersua plang nama bercat merah dengan bangunan lapang khas warung makan model lama. 

Di sanalah kami istirahat, setelah hampir enam jam perjalanan dari Pekanbaru. Ini pemberhentian kami yang kedua, setelah sebelumnya kami sempat ngopi di rest area dekat gerbang Kota Pangkalan Kerinci. Baru di Japura kami pilih makan siang, dengan sop tunjang andalan dan jeruk panas madu. Makan siang yang berkeringat itu cukup jadi amunisi untuk melanjutkan perjalanan. 

Kami memutar sebentar ke arah bandara dan menyeberangi jembatan Batang Kuantan. Sungai ini berubah nama menjadi Sungai Indragiri selepas melewati jembatan Jalan Lintas Timur Sumatera ini, sampai bermuara di Tembilahan, Indragiri Hilir. Dari Bandara Japura, tak lebih setengah jam perjalanan, kami tiba di Air Molek. Namanya cukup familiar di telinga saya, baik karena terdengar unik, juga karena merupakan kota lintasan (sebagian kota tujuan) perantau Minang sejak masa PRRI hingga sekarang. Selain itu, namanya tercantum di biodata beberapa penyair Riau sebagai tempat kelahiran seperti Dheni Kurnia dan A. Aris Abeba. Sebenarnya Air Molek ibukota Kecamatan Pasir Penyu, namun kecamatannya sendiri tidak sepopuler nama kotanya. 

Air Molek, kota kecil yang bersolek, tumbuh sealur badan jalan dengan beberapa belokan. Kota seolah meliuk mengikuti kontur jalan yang lebar. Hotel, restoran, rumah makan, pertokoan dan perkantoran bergerak tumbuh, tak terkecuali rumah-rumah burung walet. Pasar lamanya bertahan dengan bangunan-bangunan tua berdebu, dan pasar barunya menata diri bersama masjid bermenara tinggi. Sebatang sungai kecil membelah kota, berair keruh kecoklatan. Jelas tak cukup menyebutnya molek, jika ini sebagai latar nama kota. Tapi boleh jadi dulu airnya memang molek; waktu membuatnya berubah. Sebenarnya pula Air Molek terletak tak jauh dari Sungai Indragiri atau Sungai Batang Kuantan, namun ia memilih tumbuh bergeser, menjauh dari air.

Di Air Molek, Pinto mencari hotel. Ia dan sopir akan menginap di sini, sementara saya akan menginap di Desa Talang Sungai Parit, di tengah masyarakat Talang Mamak. Sebagai dosen muda yang mengampu banyak kelas MKDU di Unilak (Universitas Lancang Kuning), Pinto harus menyetor daftar nilai dan sejumlah laporan, pasca kampus selesai ujian semester. Ia pilih Hotel Simpang Raya untuk membereskan itu semua.

Namun ia harus mengantar saya terlebih dulu ke Talang Sungai Parit, sebab dialah yang beberapa waktu terakhir berhubungan intens dengan masyarakat setempat. Ia mendampingi proses penulisan memori kolektif oleh anak-anak muda Talang Mamak yang juga difasilitasi AsM Law Office. Pendampingan itu melahirkan buku tentang orang Talang Mamak yang ditulis sendiri oleh anak-anak Talang Mamak (Ayu, Dita, Gunawan dan Rendi) berjudul Memori kolektif: Yang Dipagari Talang, Yang Dijaga Mamak. Buku ini diluncurkan di kampus Unilak Pekanbaru, 28 Juli 2022 lalu. Sekarang sedang dalam persiapan buku kedua, Talang Mamak: Curaian Luak Talang Parit yang ditulis Herianto, Dita, Hairil Candra, Wulan Mardiana Ningsih dan Ayu. 

Tiba di Talang Sungai Parit

Sore itu juga saya memasuki kawasan perkampungan Talang Mamak, melalui sebuah simpang tak jauh dari pasar Air Molek, menyisir Batang Kuantan. Di Desa Pasir Ringgit kami melintasi sebuah jembatan di atas Batang Kuantan. Dari atas jembatan, terlihat aktivitas masyarakat menambang pasir dengan perahu. Di tengah alur yang lebar terlihat pula satu-dua dompeng, rakit terapung untuk menambang emas.

“Sebenarnya dompeng sudah dilarang pemerintah, tapi tetap beroperasi,” kata sopir kami. Kalau ada razia, katanya, pemilik sering tahu.

“Pasti ada yang membocorkan, ya?” saya bersikap lugu.

“Ya, apa-apa ‘kan bisa diatur, Pak.” Ia lanjut cerita tentang tambang dan kebun sawit yang diatur pemodal. Tapi saya tak lagi bisa berpura-pura lugu ketika ia ceritakan pengalamannya mengantar seorang aktivis LSM ke daerah konflik di Belilas. Tengah malam sepulang pertemuan dengan warga, mereka dicegat preman di jalan. Sepucuk pistol terarah ke kaca. Sang aktivis tegang di belakang. Saya yang mendengar juga tegang.

Hanya sang sopir berpantang panik. Ia membuka kaca, pura-pura menyerah. Lalu ketika tangan berpistol itu mencolot ke dalam, mobil mundur kencang, tiba-tiba. Pistol itu terpelanting, dan si penghadang tak ia tahu lagi nasibnya. Sebab setelah itu mobil berbalik maju lebih kencang, dan lolos dari batang kayu yang dibelintangkan. Saya melirik pergelangan tangannya yang tergurat bekas luka dalam, tapi saya tidak bertanya.

“Bukan saya hebat, Pak, itu hanya S.O.P yang biasa diajarkan kepada Paspampres,” katanya. Sebagai orang yang sering menyopiri pejabat, ia mendapat pelatihan itu. Dari dia saya dapat cerita-cerita menarik seputar pengamanan, mulai konvoi pejabat, cara lolos dari hadangan pohon, tips mundur cepat tanpa membuka kaca jendela, sampai pura-pura menyerah pada penjahat. Untuk membuktikan ucapannya, sang sopir mencoba memutar arah mobil di atas jembatan yang sempit. 

Selepas turunan jembatan, kami disambut bentangan jalan tanah liat. Apa yang segera terlihat bukanlah hutan rimba sebagaimana identik dengan kehidupan masyarakat Talang Mamak, melainkan lautan kelapa sawit menghampar kiri-kanan. Pemandangan hanya diselingi jalur-jalur parit, semacam kanal pengering gambut, membatasi tiap kapling kebun. Terisi penuh genangan air hujan, dan sebagian meluap ke badan jalan. 

Kampung-kampung yang dilalui cukup ramai, bahkan ada pasar desa yang sesore itu baru mulai berkemas dari para pedagang yang hendak pulang. Kami juga melewati perkampungan masyarakat keturunan Jawa dengan masjidnya yang cukup besar. Mereka bermukim di kawasan ini sejak puluhan tahun silam. Bukan sebagai transmigran, melainkan sebagai tenaga kerja perkebunan karet era kolonial. Perkebunan itu sekarang masih ada, yakni PTPN V, namun isinya berubah menjadi kelapa sawit. Masyarakat Jawa yang didatangkan lewat program transmigrasi terdapat di Belilas, arah jalan ke Jambi. Belilas berada di Kecamatan Seberida, sebuah kecamatan di Jalan Lintas Timur Sumatera. 

Kecamatan Rakit Kulim yang kampung-kampungnya saya masuki, berada jauh dari Jalan Lintas. Karena itu, jalanan di sini selang-seling antara rusak dan baik; sebagian masih jalan tanah baru dibuka, sebagian lagi sudah ditimbun kerikil atau bekas sisa aspal. Tapi ada juga bagian jalan diaspal mulus menuju Talang Sungai Limau, terus ke Kelayang. 

Di jalan lurus dengan aspal yang relatif bagus, dan tampaknya baru, Pinto melihat dua sepeda motor beriringan. Anak di belakangnya memeluk barang-barang bawaan. Mungkin mereka baru belanja dari pasar. Pinto segera mengenali mereka. 

“Nah, itu Ayu dan Dita,” katanya, sekaligus mengisyaratkan bahwa kami telah tiba di tujuan. Ia buka kaca jendela mobil,,”Hai, dari mana kalian?”

Dua gadis Talang Mamak itu menoleh.

”Nengok saudara di rumah sakit, sekalian belanja, Pak,” jawab Dita, gadis manis berjilbab putih. Kami lalu mengiringi mereka dari belakang. Sampai mereka berhenti di rumah masing-masing, menarok bawaan. Setelah itu mereka balik mengiringi kami menuju rumah Pak Dukun yang sudah mereka persiapkan sebagai tempat saya menginap. Rumah Pak Dukun menyimpang lagi masuk ke jalan tanah. Jika diikuti terus akan sampai ke desa-desa Talang Mamak lainnya hingga ke kantor camat di Talang Perigi. 

Halaman rumah Pak Dukun luas, namun mobil harus melewati jalan berlumpur karena tergenang air hujan. Sebagian halaman itu ditanami kelapa sawit. Sebuah pra-oto parkir di bawah batang sawit yang dahan-dahannya dibiarkan berlumut. 

Sawit, bagaimana pun pada akhirnya menjadi pilihan masyarakat Talang Mamak untuk sedikit-banyak mengikuti langgam dunia di sekeliling mereka yang disetir pola perkebunan. Sebelum sawit mengepung habis kawasan hutan dan huma, orang Talang Mamak ikut berkebun karet sebagaimana trend perkebunan waktu itu. Namun jelas tidak semasif dan seinvansif sawit. Berhektar lahan mereka buka dan ditanami komoditi yang laku  di pasaran dunia. 

Ini menunjukkan bahwa orang Talang Mamak bukanlah sosok pasif di tengah berbagai usaha ekonomi dan upaya meretas kesejahteraan. Truk itu sendiri menunjukkan keikutsertaan mereka dalam kegiatan distribusi barang dan komoditi. Setidaknya itulah yang saya dengar kemudian dari Pak Dukun, si pemilik truk. 

Hanya saja, citra yang dilekatkan kepada mereka cenderung streotipe, yakni kelompok masyarakat terasing. Mula-mula boleh jadi dicantumkan petugas sensus. Namun lama-lama melekat sebagai diksi kewarganegaraan yang tidak netral. Atau bisa pula ini istilah antropologi yang terlalu menyederhanakan kehidupan masyarakat adat. Dalam buku Zulyani Hidayah sebagaimana disinggung di atas, Suku Talang Mamak masih digambarkan sebagai kelompok masyarakat “primitif” yang tinggal di hutan dan hidup dari meramu dan berburu. “Peralatan dan kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak bisa mereka penuhi sendiri diperoleh dari tukar-menukar dengan pedagang Melayu,” tulisnya. 

Memang, Zulyani menyebut bahwa pada masa sekarang kehidupan ekonomi mereka banyak didukung oleh hasil penyadapan getah karet. “Kalau padi hasil ladang habis, maka uang hasil menyadap getah mereka gunakan untuk membeli beras dari luar. Sayangnya tanaman komoditi tersebut tumbuh secara liar, dan masih amat sedikit yang menanamnya secara benar (1997: 253)”. 

 Narasi di atas jelas salah besar. Okelah, jika merujuk kehidupan masa lalu orang Talang Mamak yang hidup meramu dan berburu. Tapi, bukankah mereka juga punya hari ini dan masa depan? Dalam konteks kekinian, karet bukanlah komoditi yang dihasilkan secara liar. Orang Talang Mamak membuka kebun, menanam dan merawat karet sebaik petani karet mana pun merawat karetnya. Mereka juga perlu fasilitas dan infrastruktur hidup yang lebih baik sebagaimana masyarakat modern lainnya. Mereka butuh pasar memadai, sekolah, pusat kesehatan dan jalan yang baik untuk mencapai itu semua. Atau, jika hendak merujuk kehidupan moyang, di mana mereka dianggap hidup dari meramu dan berburu, mestinya menimbulkan narasi kritis: kalau hutan mereka habis, masihkah mereka dapat hidup dengan cara begitu?    

Namun streotipe “suku terasing” itu tetap melekat seolah Talang Mamak dan suku senasib dianggap tak punya semangat memoderasi diri. Secara ekonomi mereka dianggap tak punya potensi kemandirian. Rasa iba pemerintah plus lembaga swadaya, di satu sisi memang memberi ruang perhatian dan empati kepada mereka. Namun di sisi lain, cara itu memunculkan sikap tidak percaya terhadap kemampuan dan resistensi kelompok suku itu sendiri. Apalagi jika rasa kasihan itu hanya basa-basi, alih-alih kerap berbalik jadi anomali: mengizinkan kelompok oligarki mengobok-obok tanah ulayat mereka.


Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian pertama, dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co

0
807
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.