HUBUNGAN apakah yang terjalin antara seseorang dengan sebuah jalan? Dengan segala kesungguhan, aku mencoba memahaminya, dan tahu bahwa jalinan itu menjangkau ruang batin yang teramat dalam. Begitulah setidaknya yang aku rasakan. Hanya dengan membayangkan seruas jalan di kampungku, ingatanku akan terhantar ke banyak nama dan peristiwa. Mengalir dan terhantar begitu saja, seolah kami—aku dan jalan masa kecilku—saling menjelang, hampir-menghampiri, lalu bersilangan dalam kenangan. Utuh, murni.
Menyadari itu, maka aku tidak merasa heran dengan tindakan tak masuk akal seorang saudaraku yang bertugas di Jakarta; kuamsal sama seperti diriku yang diamuk rindu-dendam kampung-halaman, tak bersudah. Suatu kali saat melintas di Terminal Rawamangun, mendadak ia minta turun dari bajaj. Tanpa pikir panjang, ia beli selembar tiket, lalu ia bergegas naik ke atas bus jurusan Sumatera. Ia masih berpakaian dinas waktu itu: baju dan celana loreng, ya, ia seorang kapten tentara. Akibatnya, baru saja ia mencecahkan pantat di kursi rumah—setelah dua hari dua malam terbenam di kursi bus—komandan meneleponnya, minta dia segera balik ke Jakarta!
“Terasa ada yang menarikku naik ke atas bus Gumarang Jaya, entah apa. Setiap kali lewat Rawamangun perasaan itu muncul terus, tapi kulawan terus. Lama-lama aku tak tahan lagi. Melihat bus Sumatera masuk-keluar terminal, jalan di depan rumah kita mendadak terlintang begitu saja di depan mata,” ia menceritakan kepulangannya yang tak biasa itu ketika kami bertemu di Jakarta beberapa tahun setelah kejadian.
“Bagaimana dengan komandanmu?” tanyaku.
“Urusan komandan ya, komandan; urusan rindu tak ada komandan-komandanan,” katanya sengak. Meski begitu, saat ditelepon itu, ia menyatakan siap menghadap komandan dengan kembali secepatnya ke ibukota.
Aku pernah merasakan hal yang sama, dengan kisah berbeda. Dalam suatu acara sastra ke Lampung, sehabis penyeberangan Merak-Bakauheni, hatiku meriap disambut sebuah jalan. Ya, begitu melihat Jalan Lintas Sumatera terbelintang di depan mata, dengan bus-bus berdebu dan truk-truk berderak, tiba-tiba aku ingin sekalian menyusurinya hingga ke kampungku di pantai Barat sana. Meski urung, setidaknya saat di warung makan, ujung jariku gemetar sengaja menyentuh tepi aspal—panas, legam!
Ah, hubunganku dengan jalan kampung halaman tak mudah dijelaskan. Kecuali bahwa aku punya beberapa cerita kecil yang mungkin bisa menggambarkan apa yang ingin kutuju, alih-alih cerminan pengalaman yang sama dari orang lain. Mari, ikutlah denganku.
Jalan Masuk, Jalan ke Luar
MULA-MULA mesti kujelaskan bahwa hanya ada satu jalan utama di daerah asalku, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Jalan itu sempit berliku, diapit bukit-bukit di satu sisi, dan di sisi lain, lautan biru. Sebenarnya itu merupakan ruas Jalan Lintas Barat Sumatera, tapi tak seramai Lintas Timur atau Lintas Tengah. Ia membentang seolah tanpa simpang sebab setiap simpang tak akan membawamu jauh ke mana-mana. Buntu di bukit, berujung di laut. Ada memang sebuah simpang ke Sungai penuh, Kerinci, dekat kota kecil penghasil nilam, tapan, namun jalur itu rusak berantakan. Hanya orang tak punya pilihan yang mau menempuhnya. Sementara jalan tembus Kambang-Muarolabuh yang sering didendangkan Madin atawa Pirin Bana, tukang rabab kenamaan di daerahku—yang membuat dia diselidik “orang kabupaten” atau “orang pemerintah” di mana ia dituduh sebagai penyebar fitnah—tak pernah dikerjakan sampai sekarang. Hanya jadi janji-janji manis calon bupati atau gubernur tiap musim kampanye Pilkada tiba. Terlantar, merana.
Sementara jalan tembus Kambang-Muarolabuh yang sering didendangkan Madin atawa Pirin Bana, tukang rabab kenamaan di daerahku—yang membuat dia diselidik “orang kabupaten” atau “orang pemerintah” di mana ia dituduh sebagai penyebar fitnah—tak pernah dikerjakan sampai sekarang. Hanya jadi janji-janji manis calon bupati atau gubernur tiap musim kampanye Pilkada tiba. Terlantar, merana.
Jadilah kami hanya punya seruas jalan lintas yang tak tergantikan itu. “Orang pemerintah” sendiri dalam setiap kesempatan, misalnya saat beramah-tamah dengan perantau atau ketika menerima kunjungan “orang pusat”, selalu menyatakan “jalan masuk dan keluar sama saja.” Terdengar serupa seloroh, tapi karena mereka yang mengucapkan—dan bukannya Madin si tukang kaba—maka tak ada yang salah; dan tak pula membuat mereka segera membenahinya.
Tapi memang begitulah keadaannya sejak dahulu. Jika ada jembatan putus atau tanah longsor menutupi badan jalan, atau badan jalan itu sendiri ambrol ke sungai maupun tepi laut, katakanlah di Bukit Pulai atau Bukit Taratak, maka semua kendaraan akan tegak tertahan. Percuma berbalik arah. Bukankah jalan datang dan pulang cuma satu? Saat begitu, sebagian orang kampungku akan beralih jadi penjual penganan, yang hangat-hangat, yang manis-manis. Yang paling cekatan di antara mereka kerap juga dijadikan bahan pembicaraan jika bukan dicemburui, misal:
”Iris kue talam Mak Peren tipisnya bukan kepalang, ya. Mentang-mentang orang sudah tak punya pilihan beli-beli makanan,” kata seseorang mencoba kritis.
“Setipis kulit ari,” sahut yang lain.
“Bisa ke Mekkah dia dengan labanya,” kata Isul pula.
“Tapi tetap laris…”
“Tentu saja karena dia punya niat ke Mekkah, niat baik akan menaikkan rezeki,” kata Uman tak kalah cekatan.
Hmm, padahal karena orang-orang tak punya pilihan, kataku dalam hati. Aku tak pernah siap berdebat dengan Uman, sepupuku yang taat.
Namun bagaimanapun, halangan begini bagi orang kampungku bukan soal kesempatan mencari rezeki. Lihatlah, pintu rumah kami terbuka buat orang berteduh. Surau, mushala bahkan rumah perantau yang lama tinggal, akan dibuka oleh penunggunya, jadi tempat nyaman bagi mereka yang terlantar di jalan. Ada pun bagi kami anak-anak muda yang tumbuh di antara lumpur dan debu, nyanyian ombak laut dan dendang malam, halangan demikian diamsal sebagai hiburan. Kami bagai dipertemukan hari raya yang dipercepat datangnya, seakan rombongan perantau “pulang basamo” telah tiba. Kampung mendadak ramai, kendaraan yang tertahan seperti berbaris di tempat parkir. Sementara alat-alat berat yang menyingkirkan longsoran sepintas tampak serupa buayan kaliang, komedi putar tradisional, di arena pasar malam. Pada hari-hari seperti itu, kami tak usah ke laut, ke sawah atau ke ladang, semua diperbolehkan larut menonton, dan jika untung kami akan berkenalan dengan satu-dua orang gadis penumpang bus!
Tentu gadis-gadis itu, sebagaimana penumpang lain, bosan menunggu. Sebagian rasa bosan cepat sirna berkat kami yang ternyata berbakat juga menjinakkan hati mereka. Tak terbayangkan bagaimana Ujang Meren yang bertubuh pendek gempal mengenakan baju dengan lengan tergulung dan rambut berlumur minyak tancho serupa getah burung, mulai memikat seorang gadis yang selalu tak jauh-jauh duduk dari ketiak maknya. Meski bicaranya gagap seperti ayahnya, Ujang sangat percaya diri, juga persis ayahnya yang dikenal sebagai parewa kampung. Kami tak tahu bagaimana ia berkenalan. Tahu-tahu ia sudah bisa gelak berderai bersama si gadis yang menumpang tidur di mushala itu. Tak lama kemudian ia sudah berhasil mengajak si gadis ke luar dari halaman mushala.
“Wah, bisa kau lepas jepitan ketiak maknya, ya?” bisik Pedi sengit.
“Apa ndak lekat baunya?” tukuk Izal. Keduanya lebih cepat panas ketimbang berani. Ujang menyeringai, pertanda ia akan membuat perhitungan bila urusan dengan si gadis selesai.
“Tak sia-sia kau menuntut ilmu pekasih limau purut, Jang,” kata Amri tulus. Ujang tersenyum dan itu berarti akan ada sebatang-dua batang rokok nanti buat Amri.
Kepadaku, Ujang melapor bahwa gadis itu bernama Eda, asli Pariaman. Ia dan ibunya dalam perjalanan ke Sungaipenuh, Kerinci, tempat ayahnya berladang kulit manis.
Aku memujinya,”Peladang rajin seperti kau pantas dapat gadis yang mau menemani maknya ke ladang jauh, Jang.” Kulihat hidungnya kembang-kempis sedikit.
Aku memujinya,”Peladang rajin seperti kau pantas dapat gadis yang mau menemani maknya ke ladang jauh, Jang.” Kulihat hidungnya kembang-kempis sedikit.
Lalu aku pun melapor perihal gadis kenalanku. Namanya Asni, kubilang. Gadis manis asal Bengkulu yang kuliah di Kota Padang.
”Kudal, dari dulu kami tahu kau ingin bersekolah tinggi, dan kini kau bertemu anak orang kuliah. Itu tanda-tanda,” Ujang balas berkata. Terharu juga aku dibuatnya.
Sejak itu aku dan Ujang kerap menunggui bus-bus malam Padang-Bengkulu atau Padang-Sungaipenuh lewat, seolah gadis kami melambai dari balik kaca jendelanya. Membayangkannya saja kami sudah merasa puas. Teramat puas.
Perlawatan Hatta, Sahabat Hatta
MEMANG, salah satu kawasan yang kerap longsor adalah Bukit Taratak yang membatasi kampungku dengan kampung sebelah, Taluak Ujung Batu (karena itu Bukit Taratak kadang disebut juga Bukit Taluak). Di puncaknya ada Panorama Nyiur Melambai, nama pemberian Hatta dalam satu kunjungan ke Sumatera Tengah pada tahun 50-an, masa ketika kabupaten kami masih bergabung dengan Kerinci, bernama Pesisir Selatan Kerinci (PSK) beribukota di Painan, pernah juga di Sungaipenuh, dan sempat sebentar di Balaiselasa.
Di Bukit Taratak, punggung Bukit Barisan berjejer membentuk tebing aneka rupa. Kadang landai dengan semak rengsam, sebagian tegak curam dengan tetesan air dan lumut tumbuh serupa tirai. Inilah yang sering longsor atau runtuh. Jika sudah begitu, para pemuda kampungku akan turun mengatur lalu lintas. Tentu, sebagian bertugas menadahkan topi atau ember kecil ke kaca kendaraan yang berhasil lewat. Tak jarang longsor baru bisa diatasi setelah sehari-semalam, itu pun sesuai “kesepakatan” polisi, orang perhubungan, petugas PU dan pemuda kampungku—maksudnya, kesepakatan tahu sama tahu terkait tugas “mulia” para pemuda dengan topi dan ember kecilnya itu.
Tak jarang longsor baru bisa diatasi setelah sehari-semalam, itu pun sesuai “kesepakatan” polisi, orang perhubungan, petugas PU dan pemuda kampungku—maksudnya, kesepakatan tahu sama tahu terkait tugas “mulia” para pemuda dengan topi dan ember kecilnya itu.
Menurut cerita, saat lawatan Hatta dulu, terjadi juga tanah longsor di Bukit Sibingkeh, dekat perbatasan kabupatenku dengan Kota Padang. Namun dalam waktu singkat semuanya teratasi. Tak lain berkat cangkul-cangkul terayun dari tangan orang-orang kecil, tanpa alat berat, sehingga wakil presiden kita dengan senyum selalu hangat, bisa lewat hingga sampai ke Danau Kerinci—maka hingga sekarang ada juga di sana panorama bernama Beringin Hatta dan Tanjung Hatta.
Saat sampai di puncak Bukit Taratak, Hatta berhenti, melepas pandang sekeliling, menyaksikan Samudera Indonesia cerlang terbentang, juga pulau-pulau kecil indah nian–Pulau Kiabak, Katang-Katang, dan Teluk Tempurung yang namanya disebut dalam pantun dan dendang. Sementara di pantai, di bawah nyiur yang melambai-lambai para nelayan terlihat menghela pukat. Mereka semua penuh semangat, persis warga Sibingkeh yang baru saja ia saksikan begitu sigap membuka jalan. Alhasil, selain memberikan nama tempat itu“Panorama Nyiur Melambai”, kunjungan tersebut konon juga memperteguh gagasan koperasi Hatta: kebersamaan!
Dari sini saja jelas jalan kami bernilai sejarah. Apalagi dilihat jauh ke zaman Belanda yang menggunakannya untuk membuka tambang emas dan merintis kebun kapas dan lada. Belanda juga membuka jalan Tapan-Kerinci, demi mencari sumber hutan dan hasil bumi.
Tak lama setelah pemerintahan Hindia-Belanda jatuh, dibombardir Jepang sejak dari Tarakan, Balikpapan, hingga loncat ke Jawa dan Sumatera, jalan yang melintasi kampungku ini sebenarnya membentangkan satu lagi sejarah kecil, tapi jarang tercatat. Alkisah, kabar tentara Nippon bakal sampai ke Bengkulen (Bengkulu) dan Sumatera’s Weskuts (ibukotanya Padang), menggoncang tatanan Hindia di pantai barat Sumatera. Mereka segera menyiapkan kapal untuk pelarian ke Australia. Teluk Bayur adalah pelabuhan yang dipilih sebagai “emergency exit”.
Bagaimana dengan Soekarno di rumah pengasingannya di Bengkulu? Otoritas Hindia meminta Soekarno dan keluarganya (termasuk ibu Inggit) diberangkatkan ke Padang dengan sebuah oto dan pengawalan sekedarnya– toh yang mengawal dan dikawal saat itu sama-sama senasib di hadapan penguasa baru Asia Timur Raya. Karena itulah mereka sengaja tidak melalui laut karena Angkatan Laut Jepang terkabar mulai melancarkan operasi.
Maka bertolaklah Bung Karno dan orang-orang tercintanya mulai dari Anggut Atas Bengkulu kota, Lais, Bintunan, Air Ramai, Ipuh, Pasar Bantal, Air Dikit, sampai Muko-Muko di perbatasan. Selepas itu, Soekarno menyusuri jalan daerahku: Lunang, Tapan, Indrapura, Airhaji, Balaiselasa, Kambang, Surantih, Taratak-Lansano, ah, itu kampungku! Lalu berlanjut terus ke utara melalui Taluk, Batangkapas, Painan, Salido, Bayang, Tarusan– ya, setiap ruas jalan yang kuceritakan– hingga sampai di Kota Padang. Di sana, rencana Belanda membawa Bung Karno keluar Sumatera gagal, karena Jepang sudah menunggu di situ.
Apa pun, jalan raya kampungku yang merana pernah dilalui Soekarno beberapa waktu sebelum merdeka. Tak berlebihan, jalan ini yang mengantarnya selamat ke Padang, Bukittinggi, Palembang, lalu Jakarta hingga ia memproklamirkan kemerdekaan bersama Hatta. Tapi setelah merdeka, jalan itu malah tak terawat, rusak di mana-mana. Berkali-kali pemerintah daerah mengajukan biaya perbaikan ke Jakarta, tapi tak kunjung dapat kepastian. Kekecewaan makin meruyak, ketika sejumlah petinggi daerah kami berkunjung ke Ibukota, mereka bersua jalanan aspal yang bagus di Pulau Jawa. Konon, seorang perwira sempat murka,”Kita di sini terbenam lumpur berhari-hari, dengan roda terus di bawah, hingga bosan kerbau bertanya pada pedati; sementara di Jawa jalan ke sumur dan sendang pun diaspal licin-rata!”
Kekecewaan makin meruyak, ketika sejumlah petinggi daerah kami berkunjung ke Ibukota, mereka bersua jalanan aspal yang bagus di Pulau Jawa. Konon, seorang perwira sempat murka,”Kita di sini terbenam lumpur berhari-hari, dengan roda terus di bawah, hingga bosan kerbau bertanya pada pedati; sementara di Jawa jalan ke sumur dan sendang pun diaspal licin-rata!”
Didorong oleh rasa kecewa, muncullah inisiatif lokal untuk mengatasi keadaan. Kondisi jalan sedikit lebih baik ketika Dewan Banteng—cikal-bakal PRRI—mulai memperbaiki sendiri jalan yang rusak serta membangun banyak jembatan, seiring dibukanya jalur rintisan yang dikenal dengan “Jalan Dewan Banteng”. Dari mana biayanya, ada yang bilang dari bisnis tentara di daerah. Ada yang bilang perdagangan gelap dengan Singapura, penyelundupan, dan berbagai tudingan lain. Apa pun, jalan kami satu-satunya itu sempat berjaya dengan jembatan baru dan pengerasan sana-sini.
Namun itu belum cukup. Ketika kemelut kian runcing, tudingan dan kecurigaan saling tikam, Hatta tiba-tiba memutuskan undur langkah dari sisi sahabatnya, yang dalam beberapa hal, mungkin telah menjadi seteru. Ini memicu tokoh-tokoh di daerah bersikap. Dan orang-orang militer paling cakap soal ini. Segera Dewan Banteng mengumumkan pemerintahan tandingan, PRRI, dan dalam hitungan hari, Soekarno mengirim pasukan ke daerah kami. Kota kecil Painan, ibukota kabupaten kami, hancur-lebur dihajar bom. Jalan utama satu-satunya beserta puluhan jembatan dari utara ke selatan dibombardir, jalan yang dulu pernah memperjalankan Hatta dan Soekarno di tiap keloknya.
Angkatan Udara Republik terus menggila menghela konflik ke batas tak bertara. Sebab ketahuilah, perusakan jalan dan jembatan, penghangusan Kota Painan, konon tak ada dalam skenario resmi APRI, Angkatan Perang Republik Indonesia yang menaungi AURI. Artinya, Angkatan Udara yang paling jauh disusupi komunis itu telah bertindak sendiri, untuk tujuan sendiri, entah apa.
Ah, jalan ini senantiasa akan mengingatkanku pada Soekarno, karena tentara APRI sendiri disebut “Tentara Soekarno”. Pasukan yang komandoi Ahmad Yani itu berhasil menguasai ruas jalan utama di daerahku setelah sukses membombardir kota-kota dari udara. Orang PRRI terpaksa ijok, masuk hutan, dan kehilangan jalan utama.
Hmm…, ingatanku pada Soekarno terkait juga dengan soal lain sebenarnya: gadis Bengkulu. Tentu kau ingat Fatmawati, gadis cantik dengan rambut dikepang itu, jelas salah seorang di antara mereka. Soekarno, sesampai di Jakarta, seolah bergegas meminangnya (bukankah ketika sekali lagi Soekarno lewat Bengkulu menuju pelabuhan Palembang, untuk dipulangkan Jepang ke Jawa, laki-laki plamboyan itu sempat diam-diam menemui Fatmawati? Karno berjanji akan memanggilnya ke Jakarta!). Benar saja, tak lama sampai di Jawa, Bung Karno menunaikan janjinya, tak peduli harus melepas Ibu Inggit pulang ke Bandung, surut dari gerbang.
Lalu aku? Aku hanya sekali bertemu Asni, gadis kenalanku waktu bus terhalang longsor dulu, lalu berlanjut dengan sepucuk dua-pucuk surat. Untung dulu kami sempat bertukar alamat. Dalam surat terakhirnya, Asni menyebut bahwa ia lebih suka ke Bengkulu naik bus melalui jalur Padang-Lubuklinggau, lebih jauh memutar, masuk Jalan Lintas Tengah (Jalinsum), tapi jalannya bagus. Senasib Ujang dengan aku. Eda, gadis kenalannya, jika hendak ke Kerinci juga memilih jalan memutar ke Solok Selatan. Tinggallah kami di Panorama Nyiur Melambai, sambil melirik pasangan kekasih sedang bersantai, kadang kami berbalas pantun tentang bukit tercinta ini.
“Bukit Taratak tinggi belum, Nyiur Melambai di atasnya, kasih terdorong sampai belum, sesak nafas badan dibuatnya,” kataku, persis tukang kaba.
Ujang Meren membalas, juga seturut tukang kaba: “Taratak Gunung Paseban, Kerinci mandi berbaju, taragak (rindu) usah berpesan, dalam mimpi kita bertemu…”
Truk-Truk yang Mengubah Dunia
SELAIN bus, kami senang menyaksikan truk-truk yang lewat mengangkut kopra, cengkeh, kulit manis, karet, jengkol, segala hasil kebun dan ladang (waktu itu belum ada kelapa sawit!). Tak ketinggalan hasil laut seperti ikan asin dan teri super yang menjadi unggulan daerahku. Meski ditutupi terpal dengan ikatan tali-temali serupa barang di kapal, kami bisa menerka apa yang dibawa sebuah truk dari menghidu baunya. Bersama debu yang berkisar, aromanya akan menyebar di udara. Itu sedap betul. Kecuali bau getah karet yang tanpa dihirup pun akan membuat hidungmu gosong. Tapi tak ada di antara kami yang hendak menutup hidung, bahkan untuk sekedar menggerutu. Kami tahu, itu sumber penghidupan orang kampung kami, ditakik dipagi buta, dari pohon-pohon karet di tepi rimba. Sebagaimana aroma ikan asin yang dijemur, kami terbiasa menghirupnya dengan tiada rasa terusik.
Kami juga hapal suara dan jenis truk yang lewat, sebagian kami kenali pemilik atau sopirnya. Ada Perel berambut keriting (konon, itu ciri sopir yang tak bakal mengantuk). Sadek yang suka melambai. Bidin yang selalu melilitkan kain sarung di leher. Dan banyak yang lain. Itu sopir-sopir kenamaan di kampungku. Mereka biasa membawa truk Bang Lukas, Andri Caniago, Pak Sani atau Datuk Sudir. Selain truk ukuran sedang (biasa disebut “oto-kol”; apakah karena pembawa lobak atau harus diengkol? Ada yang menyebut “oto-pra”; mungkin berasal dari pra-oto atau oto yang mengangkut getah para? Entah). Ada pula truk fuso yang lebih besar dan panjang. Selain ke Padang, Sibolga, Medan atau Pekanbaru, truk-truk itu terbiasa menyeberang ke pulau Jawa. Jika daerahku sedang paceklik, mereka mangkal ke Lubukpinang dan Muko-muko, Bengkulu, cari muatan. Pulangnya, dari Jawa, mereka bawa barang carteran dari Jakarta, atau bawang dari Brebes. Beberapa pemuda kampung kami sempat jalan-jalan ke ibukota negara dengan ikut jadi kernet. Selain dimodifikasi dengan cat warna-warni, klakson yang melengkung dan kaca spion yang berpilin serupa tanduk rusa, kaca, dinding dan bokong truk dipenuhi tulisan atau gambar-gambar mengundang senyum sekaligus harapan; mulai doa ibu dan penantian anak-istri, pengorbanan dan kesetiaan, berkah dan perlindungan, bunga rumah makan, tekad dan keberanian, sampai rayuan gombal yang tidak mengenal dosa.
Truk-truk itu (terutama bokongnya) sungguh menghibur dan menyenangkan, kerap membubungkan angan kami ke daerah-daerah jauh buat dijelang. Kami membayangkannya seperti kapal yang berlayar. Namun entah tahun keberapa, muncullah truk-truk jenis tronton, beroda tiga pasang, total enam kiri-kanan; baknya terbuka, tanpa dinding, sepenuhnya dari besi-baja. Tanpa harus menyembunyikan yang diangkutnya, kami terbiasa melihat dengan mata telanjang apa yang terbelintang di belakangnya: kayu gelondongan! (Mengingatnya kini, kuamsal seperti tongkang berlayar di sungai keruh Kalimantan). Tanpa bau, tanpa aroma. Kecuali bunyi derak dan deru, lalu raungan menakutkan yang membuat kami kerap menutup telinga. Satu truk memuat dua atau tiga batang pohon yang berusia puluhan jika bukan ratusan tahun. Mereka berderak dari selatan persis raksasa tua menyeret langkah ke utara, membuat rumah terasa dihoyak gempa.
Seiring dengan itu, truk-truk tak kalah besar dari arah utara (dari Padang), pun lewat ke selatan membawa tiang-tiang listrik beton yang dirantai. Ini seiring rencana masuknya listrik ke daerah kami.
Sering terjadi truk kayu berpapasan dengan truk pembawa tiang listrik di tikungan. Paling diingat orang adalah peristiwa Batu Biawak, dekat Painan. Kedua truk terjebak sehingga akibatnya juga seperti efek tanah longsor. Kendaraan lain ikut tertahan. Sopir truk bertengkar, sukar berdamai. Tak ada yang mau mengalah. Bahkan masing-masing berniat mengutus kernetnya untuk menghadap “bos” mereka di Kota Padang. Polisi, antara lamban dan segan, terpaksa turun tangan. Truk manakah yang akan menang, Saudara? Ternyata truk tiang listrik mengalah! Tiga tiang diturunkan dari sana; dua tiang retak, satunya patah. Dengan cara itu, truk tiang listrik bisa mundur sehingga ada celah bagi truk kayu untuk lewat. (Kelak, tempat itu bernama Kelok Tiang Tiga; dan bertahun-tahun lamanya tiang-tiang malang itu dibiarkan tergeletak, menebal digerumbuli belukar-semak). Peristiwa tersebut ramai jadi perbincangan di lapau kopi dan ditarik satu kesimpulan: ternyata “penguasa kayu” lebih kuat ketimbang “penguasa listrik”!
Meski begitu, toh tiang-tiang listrik mulai tegak berbaris, bersanding dengan tiang kabel telkom yang telah lebih dulu ada (kami sebut “tiang kawat”). Baik tiang kawat maupun tiang listrik tak selalu patuh pada arah jalan. Di perbukitan, kabel dan kawat itu menjulur memintas jurang, dan kami bayangkan segalanya akan lebih cepat bila di situ ada kereta gantung. Tapi ada tak ada kereta gantung, sejak tiang listrik berdiri segalanya berubah cepat di kampungku. Meski listrik hidup-mati tak menentu, dunia baru datang bertandang lewat “kotak ajaib” yang dulu hanya bisa kami saksikan di kota kabupaten. Itu berkat menara pancar televisi yang dibangun di Bukit Palakek, Kambang. Menteri Penerangan Harmoko datang meresmikannya; ia dan rombongan naik kendaraan dengan serine meraung-raung sepanjang jalan. Raungan itu berlebihan sebab kendaraan yang berkonvoi sebenarnya tidak bisa berlari kencang. Lobang jalan di mana-mana. Suara serine seolah ikut berputar-putar terjebak lobang, dipantulkan dinding batu, tebing serta rimbunan kelapa dan pokok sagu. Membuat ayam-ayam berlari sembunyi ke kolong rumah.
Tapi yang jelas, sejak saat itu kami bisa menikmati Dunia Dalam Berita, plus Laporan Khusus, Kelompencapir dan Aneka Ria Safari, sekalipun menumpang di rumah dinas PPL atau rumah kepala desa. Paling penting, kami tak perlu mencarter truk ke kota kabupaten bila Elyas Pical bertarung–bersarung tinju, bergigi palsu–di gelanggang.
Lama-lama, orang kampung banyak yang mulai membeli televisi sendiri, hasil menjual padi atau panen semangka. Si “kotak ajaib” pun menyala di rumah-rumah, lapau kopi, dan jika untung listrik tak padam, ia akan bertahan hingga larut malam. Kami mulai terbiasa mendengar orang-orang asing seperti bercakap di pangkal kuping kami, di atas bantal. Sesekali terbawa juga ke dalam mimpi.
~~Bersambung~~
Artikel “Sebuah Jalan, Kampung dan Kisah-Kisah (Masa) Kecil yang Menikung” ini, merupakan catatan Kenangan dari penulis di Jalan Lintas Barat Sumatera. Tulisan ini bagian pertama dari 2 seri yang akan dipublikasikan di Langgar.co.