Hari-hari berpuasa di tiga tahun ini, saya berusaha membuka ulang dan membaca kembali lembar-lembar Nurcholish Madjid (Cak Nur) perihal puasa. Lembar-lembar itu dihimpun oleh Yayasan Paramadina menjadi dua buah buku berjudul Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur, dan Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Mula-mula bapak saya yang memperkenalkan selintas sosok Cak Nur saat saya masih duduk di bangku SMA. Bapak saya yang sering membeli terbitan buku salah satu penerbit pemikiran Islam di Bandung, cukup merasa akrab dengan Cak Nur yang sama-sama lulusan pondok modern Gontor. Sekonyong-konyong karena suka membaca biografi pendek sewaktu SMA, saya baru mengenal Cak Nur lebih lanjut di akhir semester satu masuk kuliah, lewat biografi utuh yang ditulis Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.
Cak Nur membuka esai lembar-lembar Ramadan dengan cerita menjalani puasa di masa kecil: ingatan yang selalu terekam, dan menjadi bayangan ideal akan kenangan. Juga potret nuansa menyambut bulan puasa hingga perayaan Idul Fitri (Lebaran) di Indonesia yang dinilai unik, sehingga memberi kesan mendalam usai melewatinya sebulan penuh. Terdapat beberapa peneliti, terlebih sarjana-sarjana Muslim Arab, yang dikutip oleh Cak Nur perihal potret dan nuansa bulan Ramadan. Di Indonesia, nuansa Ramadan coraknya begitu kultural, atau dalam ungkapan Cak Nur, “Agaknya lebih (berbeda) dari kaum Muslim di negeri-negeri lain.”
Era kiwari, Andre Moller, seorang antropolog asal Swedia, mencoba memotret ulang keunikan nuansa Ramadan dalam karya disertasinya berjudul Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar (2005). Satu di antara keunikan nuansa Ramadan tersebut ialah praktik puasa tidak berhenti dijalankan hanya pada pemenuhan ritus formalnya, namun termanifestasi dalam keseluruhan praktik hidup sehari-hari. Hal itu terjadi karena para penyebar Islam berikut kaum intelektualnya, mampu mempertemukan ketentuan-ketentuan puasa dalam Alquran Hadits (syariat) dengan lokalitas (tradisi) yang telah ada. Sehingga, corak menjalani puasa bisa menampung ekspresi kemanusiaan yang telah dibentuk oleh lingkungan-budayanya sendiri. Maka puasa Ramadan dipahami tidak sebatas perintah dan ritual agama, namun menjadi tradisi keseharian serta memunculkan potret mengenai apa yang dimaksud nuansa Ramadan itu.
Menelaah tentang praktik puasa, Cak Nur menelusuri bahwa puasa merupakan satu bentuk peribadatan yang paling luas tersebar dalam kebudayaan umat manusia dan tradisi agama-agama. Tentunya, praktik puasa dapat berbeda dari satu umat ke umat lain, atau dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Namun hakikatnya, praktik berpuasa ialah menahan diri: lazimnya menahan dari makan dan minum serta pemenuhan hal-hal yang bersifat biologis. Kaum Sabean di Mesopotamia dan Persia, melakukan puasa dengan menghindari jenis makanan dan minuman tertentu. Begitu juga umat Buddha yang melakukan puasa makan daging lima hari sebelum kematian Sang Buddha. Umat lain-lain menjalankan puasa hanya untuk sebagian siang, seluruh siang, siang dan malam, serta malam hari saja. Ada pula puasa yang berupa penahanan diri dari berbicara, seperti yang dilakukan oleh Maryam ibunda Isa AS. Sedangkan umat Islam berpuasa dari makan dan minum mulai terbit fajar hingga matahari terbenam. Ketentuan ini merujuk pada firman Tuhan yang bersifat wajib bagi mereka yang beriman, sebagaimana diwajibkan pada umat-umat terdahulu (sebelum Muhammad SAW) dengan tujuan takwa.[1]
Praktik puasa, terlebih dalam tradisi agama abrahamik, merupakan seruan Tuhan melalui para Nabi yang menerima wahyu (kebenaran/gaib), sehingga menjalankannya diperuntukkan bagi individu-individu beriman.
Dalam keterangan Hadist Qudsi, di antara semua praktik ibadah yang dilakukan umat manusia (beriman), puasa adalah persembahan khusus yang diminta langsung oleh Tuhan hanya untuk-Nya.[2] Maka puasa menjadi ibadah paling personal bagi yang ingin menjalin hubungan dengan Tuhan, yang sebab itu pula berpuasa bersifat rahasia dan sakral. Kerahasiaan merupakan pangkal dari keimanan dan hanya bisa ditempuh dengan jalan percaya yang harus mewujud dalam perilaku berserah diri. Berserah diri ini dalam Islam disebut takwa, yaitu jalan yang akan membuka peluang pintu-pintu menuju Tuhan. Takwa ialah jalan menempuh ke dalam diri untuk menemukan enigma awal mula penciptaan dan sumber ruh (fitrah) kesejatian diri.
Dalam pengertian Nurcholish Madjid, takwa berbeda dengan fatalis. Takwa bertumpu pada keteguhan iman: bermula dari percaya, bersandar, dan berpengharapan diri pada Tuhan. Takwa bukan pula konsepsi-konsepsi sebagaimana dielaborasi oleh filsuf-filsuf eksistensialis, para nihilis, atau absurdis. Takwa berjalan tanpa negasi, tegak dan lurus menempuh jalan pada cahaya. Dan jalan untuk menempuh dan menemukan cahaya dalam takwa itu ialah berpuasa, karena puasa diserukan dan akan terhubung langsung pada Tuhan sang sumber cahaya.
Inti dari praktik puasa ialah mendidik hawa nafsu sebagai sumber keinginan diri yang paling melekat. Kemelekatan diri yang terus menerus meminta untuk dipenuhi berdampak pada redupnya pendar cahaya ruh di lubuk hati manusia paling dalam. Maka untuk menemukan ruh yang sakral dalam diri itu dimulai dari aktivitas lahiriah puasa berupa pengosongan perut. Lewat pengosongan, manusia diseru untuk melihat pada diri sendiri guna menemukan yang tersisa dan jernih dari kekosongan itu. Dengan demikian, puasa bisa menjadi jalan untuk menemukan kembali kesakralan purba (fitrah) manusia yang terhempas oleh enigma-enigma profan dunia. Karena hanya dengan menyadari dan menemukan sakralitas yang berpendar dalam diri, pesan takwa puasa bisa menyemai dalam diri serta dapat berbuah perilaku baik. Tanpa itu, selamanya manusia akan terjebak dalam berhala-berhala nilai profan yang melekat pada pendar-pendar jelaga dunia, dan pendaran paling dekat ialah yang melekat pada manusia itu sendiri.
Wallahu ‘alam….
[1] Al-Qur’an, Surat al-Baqarah, ayat 183.
[2]Semua perbuatan seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala.
Leave a Reply