Kala kabut turun perlahan dari lereng Gunung Muria dan angin membawa wangi dupa, Rahtawu berubah menjadi desa yang nyaris tak berada di masa kini. Waktu seperti mengerut. Batas antara yang tampak dan yang tak tampak kabur oleh langkah-langkah peziarah, doa-doa lirih, dan bunga yang ditebar di cungkup-cungkup petilasan. Inilah Suronan di Rahtawu—sebuah upacara yang bukan hanya soal tradisi, melainkan ziarah batin menuju asal-muasal yang kita sebut “jati diri”.
Desa Rahtawu, di barat laut Kudus, bukan hanya dikenal karena lanskapnya yang memikat, tapi juga karena denyut spiritualnya yang tak pernah padam. Di desa ini, setiap tanggal 1 Suro (atau 1 Muharram dalam kalender Hijriyah), ribuan orang datang. Mereka bukan sekadar wisatawan; mereka para peziarah—mereka yang ingin “pulang”.
Suronan di Rahtawu bukan sekadar ritual. Ia adalah “mi’raj”, perjalanan vertikal manusia Jawa untuk menyapa langit melalui akar budaya. Gita Setyoko, budayawan setempat, menjelaskan bahwa Suronan di sini tak melulu identik dengan Islam, melainkan juga lekat dengan sosok-sosok besar kebudayaan Jawa. “Di tempat lain mungkin menyebut tokoh-tokoh wali, di sini lebih banyak mengenang tokoh-tokoh seperti Eyang Sakri, Loko Joyo, bahkan Patih Gajah Mada,” katanya.
Gambar: Muria News
Bagi Gita, ini adalah bentuk kebijaksanaan lokal—sebuah akulturasi yang organik. Tradisi ini menyatu dengan arus spiritualitas Jawa yang sejak dulu menerima berbagai pengaruh: Hindu, Buddha, Islam, bahkan animisme.
Ziarah ke Petilasan: Menyapa yang Tak Kasatmata
Di malam-malam Suro, sekitar 7.000 orang dari Kudus, Demak, Jepara, hingga Yogyakarta naik ke Rahtawu, 2025 ini. Mereka menuju petilasan-petilasan tua: Eyang Sakri, Abiyoso, Loko Joyo, Modo, hingga sendang Bunton. Masing-masing petilasan punya kisah, aura, dan daya tarik tersendiri.
Petilasan bukan sekadar tempat. Ia adalah ruang pertemuan antara yang lahir dan yang batin, antara manusia dan semesta. Dalam filsafat Ibnu Arabi, ini disebut alam mitsal—alam imajinasi spiritual, tempat ruh dan bentuk bersua. Saat seseorang menaburkan bunga di makam Eyang Sakri, ia tak hanya menyapa masa lalu, tetapi juga bagian terdalam dari dirinya yang sedang mencari makna.
Petilasan bukan sekadar tempat. Ia adalah ruang pertemuan antara yang lahir dan yang batin, antara manusia dan semesta. Dalam filsafat Ibnu Arabi, ini disebut alam mitsal—alam imajinasi spiritual, tempat ruh dan bentuk bersua.
Seperti Mardi (61), seorang peziarah asal Pati, menolak jika tradisi ini disebut mistik atau bahkan pesugihan. “Ini bukan soal meminta, tapi soal menyambung. Ini cara kami hormat pada yang lebih dulu datang. Tradisi ini adalah jembatan,” ujarnya sambil menaburkan bunga mawar di atas nisan.
Baginya, Suronan adalah bentuk nguri-uri budaya—menghidupkan kembali sesuatu yang nyaris terlupa. “Kalau tidak kita rawat, anak cucu nanti hanya tahu namanya saja,” katanya lirih.
Jejak dalam Arsitektur Doa
Salah satu petilasan yang paling menarik adalah Petilasan Eyang Modo, yang diyakini sebagai tempat persemayaman Gajah Mada. Di sini, arsitektur berbicara. Atapnya bersusun dua seperti punden berundak, mengingatkan pada pura Hindu dan masjid kuno. Tiang-tiang jati berdiri kokoh sebagai soko guru—bukan sekadar penyangga bangunan, melainkan penopang semesta nilai.
Masuk ke dalam cungkup, pengunjung akan menemukan dua nisan berselimut bunga, sebotol air kelapa muda, dan harum dupa yang menyelinap lembut di udara. Di antara lukisan Gajah Mada dan Romo Soeprapto Topeng Mas, terpasang bendera merah putih dan lambang Garuda—menyiratkan bahwa spiritualitas dan nasionalisme bisa berjalan berdampingan.
“Sebagian besar peziarah yang ke sini berasal dari keluarga keraton Surakarta,” kata Mas Gendon, juru kunci tempat itu. Ia menolak menjelaskan banyak soal sejarah para tokoh, karena baginya, yang penting bukan siapa, tapi bagaimana kita menghadapinya.
Dalam banyak filsafat Timur, termasuk ajaran Tao dan Zen, kekosongan bukanlah ketiadaan, tapi potensi. Kosong seperti cangkir agar bisa diisi. Dalam Suronan, orang Rahtawu seakan hendak mengosongkan diri: dari dendam, dari kemarahan, dari kesombongan.
Ini sejalan dengan konsep fana’ dalam tasawuf Ibnu Arabi—peleburan ego dalam lautan keberadaan Yang Maha Esa. Dengan naik ke petilasan, orang seakan menanggalkan beban duniawi, berharap sekilas mencicipi makna hakiki: bahwa manusia hanyalah tamu yang singgah, dan waktu adalah jembatan untuk kembali pulang.
Menjaga yang Rapuh, Menghidupkan yang Nyaris Hilang
Rahtawu saat Suronan adalah peristiwa kultural sekaligus spiritual. Ribuan orang datang bukan untuk meramaikan, tapi untuk merayakan keheningan. Mereka datang membawa bunga, air kelapa, doa, dan diam.
Tradisi seperti ini rapuh. Ia bisa pudar, tergilas zaman. Tapi setiap tahun, saat malam Suro datang, Rahtawu menjadi saksi bahwa yang rapuh bisa dijaga, yang nyaris hilang bisa dihidupkan. Karena dalam Suronan, yang tampak bukan tujuan, tapi jalan itu sendiri.
Dalam dunia yang terus bergerak, Suronan di Rahtawu mengajarkan kita untuk sejenak berhenti. Untuk hening. Untuk menunduk pada akar. Karena seperti kata Laozi, “Diam adalah sumber kekuatan besar.” Dan mungkin, dalam diam itulah kita benar-benar mendengar suara leluhur yang memanggil: pulanglah, wahai anak manusia. (*)