Kernet berpeci hitam nasional itu memekik seraya membenturkan cincinnya ke besi pegangan penumpang. Sopir melepas gas, menginjak rem. Bus Akas trayek Muncar-Surabaya-Kalianget yang saya tumpangi sejak 1,5 jam lalu dari Terminal Sritanjung, Banyuwangi, berhenti.
Saya gendong ransel, saya angkat bokong dari kursi di kabin tengah, saya turun dari bus kelas ekonomi ber-AC itu. Azan isya berkumandang. Kendaraan begitu ramai berlalu-lalang seperti koruptor yang tak henti-henti menggelembungkan anggaran. Dari gapura berlogo lintangan huruf Arab di seberang jalan, pemuda bersarung juga berjaket dan berkopiah hitam nasional muncul menyorong motor.
“Saifir Rohman, Mas,” ucapnya, mengenalkan diri. Tangan saya menjabat tangannya. Kami memang berbalas pesan sejak saya masih di kapal feri, bahkan sejak beberapa hari sebelumnya, karena Ustadz Syaifir-lah yang menghubungi saya untuk datang. Ke motor yang kata dia milik pesantren itu saya berbonceng. Malam itu, saya diinapkan di wisma dosen yang mewah untuk ukuran pesantren. Ranjangnya besar dan sandaran kursinya tinggi khas perabot rumah di Timur Tengah. “Sebelumnya, wisma ini ditempati seorang syaikh dari Al-Azhar, Mesir,” Ustadz Syaifir menjelaskan.
Esok harinya, pukul 9 pagi, saya sudah berada di kampus Ma’had ‘Aly Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Di pesantren ini, Senin 9 Juni 2025, bersama Kiai Muhammad Faizi dari Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, pengurus perpustakaan Ma’had ‘Aly meminta kami untuk menemani para mahasantri belajar menulis esai.
Mahasantri adalah sebutan untuk para santri lulusan madrasah aliyah yang melanjutkan belajarnya di Ma’had ‘Aly. Adapun Ma’had ‘Aly merupakan lembaga pendidikan tinggi di beberapa pesantren di Indonesia yang menekuni keilmuan khusus seperti fiqih dan ushul fiqih, sejarah dan peradaban Islam, hadits dan ilmu hadits, Al-Qur’an dan ilmu Al-Qur’an, tasawuf dan tarekat, aqidah dan filsafat Islam, bahasa dan sastra Arab, juga ilmu falak. Ma’had ‘Aly Sukorejo menekuni hukum Islam (fiqih) dan filsafat hukum Islam (ushul fiqih).
Ada dua puluhan peserta dalam pelatihan itu: sepuluh santri putra dan sepuluh santri putri. “Kami sengaja tidak melibatkan banyak peserta agar kelas lebih intensif,” jawab Ustadz Syaifir saat saya bertanya kenapa hanya dua puluh peserta. Namun saat acara berlangsung, sepertinya ada tambahan sepuluh atau belasan santri lagi termasuk panitia yang ikut dalam pelatihan.
Pelatihan dibagi menjadi tiga sesi: pagi, siang, lalu malam. Di kelas pagi, Kiai Faizi diberi waktu bicara tentang tata bahasa dan kesalahan-kesalahan umum dalam penulisan. Saya ditugaskan mengurai apa itu esai dan bagaimana menulis esai dengan baik. Frasa “menulis esai dengan baik” sebenarnya mengkederkan saya karena saya sebenarnya belum benar-benar mampu menulis esai, apalagi, dengan baik. Di kelas siang, saya dipersilakan bicara tentang memilih angle sedangkan Kiai Faizi diminta mengulas penyelesaian dan penyuntingan tulisan. Terakhir, kelas malam, panitia menugaskan saya dan Kiai Faizi untuk mengoreksi sekaligus membahas esai-esai peserta yang dikumpulkan menjelang petang.
Kiai Faizi yang saban hari mengajar kitab Risalatul Mu’awanah kepada santri-santrinya di Pesantren Annuqayah, pada malam-malam tertentu memimpin sarwah dan tahlil di tengah masyarakat Desa Guluk-Guluk, hari itu telaten mengurai diksi, titik, koma, dan tetek bengek kebahasaan lainnya. Sebagai seorang kiai, penyair, esais, juga bismania, berkali-kali dia memberi trik menciptakan cerita dan unsur puitik dalam esai dengan contoh esai yang dia tulis dan telah dia terbitkan.
Saya lebih banyak berbagi pengalaman dalam menulis, mencari atau mendapatkan ide, cara mengirim esai serta momen agar esai tersebut berpeluang terbit di media massa. Untuk menyemangati peserta pelatihan, saya berkisah tentang honorarium yang didapat esais ketika esainya dimuat di koran atau majalah.
Agar peserta tidak menjadikan honorarium sebagai satu-satunya alasan menulis esai, saya sampaikan juga betapa banyak media massa yang kini menurunkan nominal uang lelah itu bahkan meniadakannya sama sekali dengan alasan efisiensi perusahaan atau berdalih zakat kebudayaan. Ah, efisiensi, betapa kata ini kini menjadi momok yang menakutkan. Dengan kata itu penyelenggara negara memangkas anggaran kesehatan dan pendidikan meski di sektor lain yang tak penting mereka menggunakannya ugal-ugalan.
Esok paginya, setelah sarapan nasi sodu khas Asembagus suguhan Ustadz Adnan, saya minta antar ke kompleks pekuburan masyayikh Pesantren Sukorejo di belakang masjid. Di depan kuburan Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin saya bertawasul dengan membaca Surah Al-Fatihah untuk Kanjeng Nabi juga keluarga dan sahabatnya berikut para ulama dan tentu saja Kiai As’ad serta para kiai dan para nyai pesantren ini. Saya teruskan dengan membaca Shalawat Nariyah sebelas kali kemudian saya bertahlil dan berdoa.
Saat membaca Al-Fatihah, saya teringat sampul berlukis sosok Kiai As’ad di Majalah Tempo edisi “Rame-Rame ke Situbondo” yang terbit 15 Desember 1984. Saya juga terkenang Majalah Tempo edisi 2 September 1989 yang di rubrik memoar-nya memuat sebelas halaman wawancara Mohammad Baharun dengan Kiai As’ad berjudul “Pemimpin di Balik Layar”. Tahun-tahun itu, Kiai As’ad memang ulama incaran media massa, terutama sejak Musyawarah Nasional Alim Ulama di Pesantren Sukorejo 21 Desember 1983, waktu Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Kiai As’ad berwibawa karena meski dekat dengan penguasa dia tak pernah tertarik dengan kekuasaan. Dia menolak ketika Soekarno menawarinya menjadi Menteri Agama. Andai Kiai As’ad masih hidup pada tahun 2016, saya hakulyakin, Kiai As’ad pasti emoh bahkan mungkin marah ketika negara menganugerahinya gelar pahlawan nasional. “Aku tak ingin terkenal di bumi, Nak, aku ingin terkenal di langit,” tegas Kiai As’ad kepada Kiai Imam Qusyairi Syam, seorang kerabatnya, beberapa tahun setelah Muktamar ke-27 NU sukses digelar di Pesantren Sukorejo yang saat itu diasuhnya.
Ketika membaca Shalawat Nariyah terlintas dalam pikiran saya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang menerima konsesi tambang dari negara. Saat itu pula saya teringat anggota PBNU yang menjadi komisaris perusahaan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat. Setelah itu, terbayang wajah salah satu ketuanya yang memakai teori fiqih dalam membela industri ekstraktif lalu menyebut aktivis peduli kelestarian alam sebagai wahabi lingkungan dalam gelar wicara di satu stasiun televisi.
Sambil bertahlil, saya bertanya-tanya: andai masih hidup, apa yang akan dilakukan Kiai As’ad, saat NU, organisasi yang ikut beliau dirikan bersama Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Syaikhona Khalil Bangkalan juga para ulama lain, kini mirip juru bicara istana atau bagian humas kementerian? Andai bisa berjumpa langsung dengan Kiai As’ad, saya ingin bertanya: apa yang perlu dilakukan hari-hari ini ketika Indonesia sedang menderita penyakit kronis dalam ranah politik, ekonomi, dan budaya?
Angin menyapu wajah yang masih basah oleh air wudu. Nama Allah dan Rasulullah menyejukkan batin yang sebelumnya hangat oleh kesangsian. Tak ada jawaban, namun setidaknya, kemusykilan telah diungkapkan.
Setelah bertawasul, bershalawat, juga bertahlil, saya berdoa untuk diri, keluarga, tetangga, teman-teman, juga negara dan bangsa yang sedang krisis keteladanan. Saya juga berdoa semoga ke depan NU diurus oleh ulama, tidak diurus oleh broker politik apalagi oleh tengkulak tambang. Saya pun bermunajat, semoga santri-santri yang kemarin belajar menulis esai di Ma’had ‘Aly Sukorejo kelak tidak menggunakan esai dan ilmu agamanya untuk mencuci tangan rezim zalim dengan kelihaian berbahasa dan kedalaman teori fiqih-nya.
Saya tinggalkan pekuburan Kiai As’ad yang saat itu juga menjelma kuburan bagi pertanyaan-pertanyaan saya tentang NU, tentang Indonesia, tentang segala tentang yang terbentang. Ustadz Wafi mengantar saya ke jalan raya pantura di selatan pesantren. Di jalan Surabaya-Banyuwangi tempat belalu lalangnya truk-truk besar menuju Bali itu saya menunggu bus menuju Terminal Sritanjung lalu menyeberang dari Pelabuhan Ketapang.
Saya menunggu bus besar dan panjang seperti Akas, Mila, atau Indonesia Abadi namun tak kunjung tiba. Yang datang justru bus Ujang Jaya dan Minto yang kecil dan pendek. Selama dan semenjenuhkan inilah rasanya menunggu pemimpin bercita-cita besar dan berpikiran panjang namun yang datang justru pemimpin berjiwa kerdil dan berpikiran pendek.
Setelah dua jam menunggu, dengan lunglai saya naik Minto. Dalam bus yang berjalan bagai siput itu saya kebagian bangku paling belakang dan karenanya tengkuk saya tertimpa terik matahari. Tengkuk yang terpanggang, bus yang berjalan tersengal-sengal, obrolan antarpenumpang dari kongkalikong para elite politik nasional hingga anak-anak mereka yang butuh biaya banyak untuk masuk sekolah di awal tahun ajaran, membuat pertanyaan-pertanyaan ini menyerbu pikiran.
Kenapa mahasantri Ma’had ‘Aly Sukorejo ingin menulis esai? Kenapa mereka rela mengundang Kiai Faizi yang jauh-jauh datang dari Madura, juga saya yang berangkat dari Bali hanya untuk menekuni sejenis tulisan yang kini tak dihargai dengan honorarium yang layak? Apakah karena mereka ingin terbebas dari penjara tulisan ilmiah rezim scopus yang sesak dengan latar belakang dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, teori dan metodologi, daftar pustaka, berikut catatan kaki yang melelahkan pembacaan sekaligus membonsai pemikiran? Kenapa santri-santri itu ingin jadi esais? Bukankah lebih enak jadi komisaris? Jangan-jangan, mereka ingin jadi komisaris sekaligus esais, seperti mantan jurnalis dan aktivis yang sedang menikmati hari-harinya di kursi komisaris perusahaan pelat merah sambil menulis esai-esai kebudayaan di beranda media sosialnya maupun di media massa?
Ketika bus Minto yang saya tumpangi melaju di tengah-tengah Taman Nasional Baluran, saat saya memandang rimbun hijau daunan pohon-pohon jati serta sekawanan monyet yang mencari makan di pinggir jalan, saya membatin: semoga hutan ini tidak ditambang oleh yang bergelantungan di pohon-pohon lembaga kenegaraan lalu dicarikan ayat pembenarnya oleh yang mendesis di semak-semak organisasi keagamaan.
Saya belum terlalu lama mengikuti konten-konten di kanal media sosial Gen Alfarizi, tapi saya cukup menyukai pendekatan yang ia tawarkan untuk membongkar mitos-mitos hantu atau demit dalam banyak folklor dan tabu-tabu di tengah masyarakat kita. Davin Asadel Alfarizi, si pemilik akun, beberapa kali menjelajah tempat-tempat yang kerap dianggap angker bareng adiknya, sambil memberi edukasi berbasis temuan sains atas apa-apa yang oleh warga kerap dianggap ‘penampakan’ atau segala hal yang menjadi tabu dan tak pernah dipertanyakan.
Ia juga cukup rajin memproduksi konten yang menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena yang bagi kebanyakan orang dipandang sebagai kejadian di luar nalar, misalnya, seperti kesurupan, ketindihan, dan cara kerja hantu yang menurutnya tampak menggelikan. Dengan pendekatannya, Gen Alfarizi praktis menjadi tandingan untuk para pedagang cerita-cerita hantu dan para pemburu hantu di kanal Youtube, yang selama ini kelihatan gampang saja meraup jutaan penonton dari berbagai kalangan.
Secara garis besar, saya paham konten-kontennya mengarah pada pemikiran yang kira-kira seperti ini: jangan mudah percaya terhadap narasi-narasi mistis atau klenik, apalagi menerimanya sebagai kebenaran tunggal, sebab sikap semacam ini bisa menumpulkan daya kritis dan membuat siapa saja rentan terhadap berbagai bentuk manipulasi sosial. Kasus-kasus penipuan oleh individu yang mengaku sebagai dukun atau guru spiritual, misalnya, saya pikir mengonfirmasi sisi kelam dari cara berpikir magis yang mudah menghadirkan ketakutan-ketakutan irasional dalam diri kita, dan pada gilirannya membuat kita memikirkan jalan-jalan yang cenderung irasional juga untuk menyelesaikannya.
Meski demikian, kenyataannya tidak semua audiens Gen Alfarizi bersepakat dengan apa yang ia sampaikan. Orang-orang yang cenderung tidak siap menampa keraguan yang terhunus ke arah keyakinannya, relatif membela cerita-cerita hantu atau berbagai fenomena klenik lain yang Alfarizi bahas. Sebagian bahkan meremehkannya sebagai bocah yang sama sekali tidak otoritatif dalam membahas perkara-perkara hantu. Sebagian lainnya mengetes ‘kepakaran’ bocah tersebut dengan menyodorkan kasus-kasus personal mereka, dan menuntut jawaban-jawaban rasional seakan-akan itu hal yang mudah belaka. Sementara penyelidikian yang saintifik jelas butuh waktu tidak sebentar, juga kedalaman memahami konteks.
Secara sikap, saya jelas tidak sepakat dengan netizen yang menyerang Alfarizi dalam dua cara tersebut. Bagi saya, upaya Gen Alfarizi sangat penting untuk menghadirkan diskusi-diskusi yang mengasah nalar kritis. Lagi pula, ia bukan pelopor pertama dan juga bukan sosok tunggal influencer jenis ini. Tapi sejauh ini, baik Alfarizi, maupun influencer lain yang kritis terhadap narasi-narasi supranatural, kebanyakan cenderung mengurusi perkara ada atau tidaknya hantu dan berusaha menjelaskan fenomena-fenomena supranatural secara saintifik, sebagai bagian dari peristiwa alam, misalnya.
Saya pikir, yang masih absen dari pembahasan Gen Alfarizi atau influencer lain yang berusaha menelaah cerita-cerita hantu secara kritis adalah melihat bagaimana fungsi cerita hantu, atau menginterogasi gagasan mengenai hantu, di tengah masyarakat. Salah satunya dalam refleksi yang berkaitan dengan memori kultural atau ingatan sebagai praktik sosial.
Praktik Kenegaraan dan Kemauan untuk Dihantui
Saya percaya, banyak kisah mengenai hantu di negara ini yang merefleksikan kompleksitas relasi antara pemerintah atau negara dengan masyarakatnya. Jessica Auchter, dalam The Politics of Haunting and Memory in International Relations (2014), mempunyai argumen yang patut kita diskusikan dalam membicarakan ‘hantu’ dan kaitannya dengan negara.
Auchter mendudukkan hantu bukan melulu dalam pandangan dikotomis antara ada atau tidak ada, hadir atau tidak hadir, juga bukan entitas supranatural yang bisa dibuktikan atau tidak secara saintifik. Lebih jauh, ia memposisikan hantu sebagai ingatan yang menolak dilupakan dan terus hadir dalam ‘ketidakhadirannya’. Dan ingatan tersebut bisa menubuh dalam banyak bentuk, meskipun untuk esai ini saya akan secara spesifik menubuhkannya ke dalam cerita hantu. Dengan kata lain, gagasan Auchter secara tegas menyingung praktik kenegaraan yang memproduksi pengetahuan, atau wacana, mengenai siapa dan kelompok mana yang perlu ‘dihapus’ atau ‘diabaikan’ suaranya.
Untuk mengawali penjelasan saya mengenai hantu dalam praktik memori, saya hanya ingin menyinggung dua cerita hantu. Pertama, mengenai kisah hantu-hantu yang muncul dari kuburan massal korban peristiwa politik 1965. Kisah keangkeran kuburan-kuburan berisi mayat mereka yang dibantai karena berafiliasi dengan PKI atau ‘dituduh’ PKI itu juga menjadi ingatan yang terwariskan bergenerasi-generasi setelah peristiwa gelap Gerakan Satu Oktober—atau versi Orde Baru-nya Gerakan 30 September.
Jika kita menggunakan cara pandang Auchter untuk membahas cerita orang mengenai penampakan arwah-arwah korban trgaedi 65, penekanan kita bukan lagi pada kebenaran empiris tentang ke-ada-an mereka, melainkan pada fungsi sosial-politik dalam makna cerita tersebut. Bagaimanapun, korban tragedi 65 adalah orang-orang yang pada masa Orde Baru dibuang, disingkirkan, dan dijauhkan dari kategori manusia yang layak hidup. Ketika rezim tersebut membangun pengetahuan atas otoritasnya, para korban tragedi 65 dikonstruksikan sebagai komunis yang membahayakan tatanan nasional, dan oleh karena itu penghapusan terhadap mereka memperoleh pembenaran yang resmi.
Sebagai upaya mempertahankan narasi sejarah versinya, rezim Orde Baru juga enggan mengakui mereka, membiarkan jasad-jasad korban tersebut tetap dalam kuburan massal yang tanpa nisan, seolah sengaja membuat mereka lesap begitu saja dan terlupakan dari ingatan kolektif kita. Namun residu atas tragedi tersebut rupanya bertransformasi dalam menantang kekuasaan negara: ia menjadi cerita-cerita hantu yang memediasi ingatan masyarakat dengan peristiwa pembantaian di masa lalu.
Kar-yen Leong dari Tamkang University, yang meneliti kisah-kisah supranatural di sejumlah situs tragedi 65, memberi gambaran kuat mengenai fungsi hantu dalam konteks ini. Setelah membaca papernya yang berjudul Letting the Spirits Rest: Reconciling Indonesia’s Past through Unseen Realms (2021), saya pikir kisah hantu pertama-tama harus didudukkan dalam pengetahuan lokal mengenai arwah. Misalnya, kita sering mendengar bahwa mereka yang mati dalam kondisi tidak wajar dan tidak mendapat jalan ritual menuju ketenangan, kemungkinan besar akan menjadi roh gentayangan yang menuntut dan mengganggu yang masih hidup, karena tidak mendapat tempat semestinya. Saat melakukan penelitiannya, Leong bahkan berhati-hati untuk tak menyebut korban sebagai hantu, melainkan arwah, karena istilah arwah lebih merefleksikan bahwa para korban adalah subjek manusia yang pernah punya nama dan kehidupan.
Pengetahuan terkait arwah tersebut, dalam praktiknya, memaksa masyarakat di sekitar situs tragedi 65 untuk mengingat melalui rasa takut sambil terus membayangkan peristiwa lampau mengenai penyiksaan dan pembunuhan mereka: orang-orang yang dituduh komunis. Tidak heran kalau situs-situs tersebut dianggap sebagai tempat angker yang kemudian membentuk sikap etis masyarakat untuk terus mengingat peristiwa 65.
Dengan demikian, praktik kenegaraan bisa dibilang tidak pernah berlangsung secara total. Ketika negara berusaha melupakan atau bahkan menghapus korban 65, residu atas peristiwa tersebut nyatanya selalu melawan dalam bentuk lain dan salah satu yang terkuat adalah melalui bentuk cerita hantu.
Dalam studi Leong, misalnya, kita akan mengetahui bahwa para juru kunci di situs-situs trgaedi 65 memainkan peran sebagai penghubung antara peristiwa kelam yang tersembunyi dengan masyarakat hari ini. Mereka konon sering berkomunikasi dengan para arwah untuk tujuan tertentu, termasuk mencari tahu nomor togel yang jitu untuk para penjudi. Namun dengan cara inilah, bagi Leong, para juru kunci turut menjadi penjaga “kehadiran” orang-orang yang telah hilang itu supaya tetap ada. Dengan kata lain, kisah-kisah hantu yang terus dituturkan ini memiliki fungsi sosial sebagai pengingat bahwa pernah ada peristiwa kelam yang berusaha dihapus dari sejarah serta ingatan kolektif masyarakat. Dan menurut Leong ini adalah praktik yang sangat politis.
Lewat riset Leong pula, kita juga dapat mengonfirmasi keterangan Auchter, bahwa hantu tidak bisa otomatis berbicara. Kehadiran mereka sering kali harus diperjuangkan oleh individu yang membuka diri untuk “dihantui.” Dan kesediaan “dihantui” dalam konteks Auchter, artinya membiarkan diri kita menghadapi hal-hal yang begitu dekat dengan kita, sehingga menyingkap kerentanan kita sendiri.
Misalnya, dalam melihat tragedi 65, hal yang paling dekat dengan kita adalah rasa kemanusiaan yang kita bagi bersama ketika membayangkan pembunuhan terhadap orang-orang di tahun tersebut. Sehingga, dengan rasa kemanusiaan itulah kita menjadi rentan: kita bisa merasa bersalah, malu, atau ikut terluka oleh ingatan itu. Jadi, “kesediaan untuk dihantui” adalah sikap untuk mengizinkan ingatan kelam tersebut hadir, bersedia menanggung beban emosional dan etisnya, sebagai upaya turut menyuarakan hak para korban, melampui waktu dan kematian mereka.
Cerita kedua berasal dari kampung saya sendiri, tentang seorang warga bernama Mbah Maryam (nama samaran) yang menjadi arwah penasaran dan menghantui sekolah saya. Ia dulu memiliki tanah luas yang kemudian dibeli pemerintah setempat untuk dijadikan sekolah dasar, tapi kemudian terjadi konflik dalam pembelian tersebut. Versi paling terkenal adalah Mbah Maryam merasa tidak terima karena pemerintah memberikan jumlah uang yang tidak sesuai dengan kesepakatan di awal. Perasaan tidak terima itu ia pendam sampai mati dan membuatnya gentayangan di sekolah yang berdiri di atas tanah tersebut—SD tempat saya menjalani pendidikan formal untuk pertama kalinya.
Saya tidak tahu awal mula bagaimana orang bisa percaya bahwa Mbah Maryam menjadi hantu, tapi yang jelas cerita tentang Mbah Maryam ini terus diwariskan dari masa ke masa jauh sebelum saya bersekolah di sana, sampai kemudian tersampaikan juga pada adik-adik saya. Kami semua tahu tentang cerita hantu Mbah Maryam, meskipun kami tidak pernah melihat penampakannya sebagai arwah penasaran.
Dalam hal ini, cerita hantu Mbah Maryam di desa saya juga memiliki fungsi yang sama sebagai bagian dari praktik memori. Kasusnya mungkin tidak seperti para korban 65 yang dihapus rezim Orde Baru dalam upaya membangun kekuasaan, tapi tetap saja kisah itu merefleksikan luka yang ditinggalkan negara di level lokal: tanah Mbah Maryam yang dibeli dengan harga yang tak sesuai kesepakatan menunjukkan bentuk pengkhianatan negara terhadap masyarakat sipil. Padahal, tanah itu hendak dipakai sebagai lokasi sekolah negeri, tempat generasi-generasi mendatang memperoleh pendidikan, termasuk mengenai akal-budi.
Cerita hantu Mbah Maryam menyorot ketidakadilan yang diperoleh masyarakat, menghadirkan kisah dramatik mengenai arwah yang terus melakukan protes bahkan setelah ia tak lagi hidup, dengan cara menghantui sekolah yang berdiri di atas tanahnya.
Mengingat: Sebuah Praktik yang Tak Pernah Netral
Sebagai sebuah laku yang politis, praktik mengorganisasikan ingatan bisa kita tempuh dalam banyak jalan, juga medium. Dalam hal ini, cerita hantu bisa menjadi bagian dari politik ingatan untuk melawan praktik kenegaraan. Dan setiap individu atau kelompok bisa menghadirkannya sebagai cerita rakyat yang terus diwariskan atau sebagai bagian dari ritual klenik yang memediasi masa lalu dengan masa kini. Bahkan, ingatan bisa kita organisasikan ke dalam karya-karya budaya pop seperti film, novel, musik, catatan-catatan akademis, atau dalam perbincangan-perbincangan podcast di berbagai kanal. Poin penting yang menjadi titik tekannya adalah bagaimana cerita hantu mampu membawa kita untuk melihat persoalan historis di baliknya dan, dengan itu, memberi kita refleksi kritis terhadap berbagai praktik ketidakadilan sosial di level-level kekuasaan tertentu.
Cerita hantu, dalam praktiknya, bisa menjadi pengingat bahwa ada praktik-praktik ketidakadilan yang berusaha dikubur, bahkan dihapus, oleh rezim tertentu atau di level kekuasaan tertentu. Jadi, buat saya, membicarakan cerita hantu sebaiknya tidak berhenti pada mana yang sains dan bukan sains, juga tidak berhenti pada soal modern dan tidak modern, open minded atau close minded. Terlalu fokus pada dikotomi semacam itu membuat kita rentan terjebak pada keengganan untuk memahami fungsi sosial cerita hantu yang kompleks.
Menurut saya, cerita hantu juga harus dipahami sebagai upaya praktik sosial, atau bisa juga dipahami sebagai medium bagi suara masa lalu yang terbungkam. Ia adalah bagian dari bagaimana langkah-langkah perlawanan diwujudkan, secara politis, sebagai masa lalu yang senantiasa hadir.
Leong, K. 2021. “Letting the Spirits Rest: Reconciling Indonesia’s Past through Unseen Realms”. Journal of Archaeology and Anthropology 95: 135–176. https://doi.org/10.6152/jaa.202112_(95).0004
Suatu ketika, saya berkesempatan mengunjungi perpustakaan Mangkunegaran, Solo. Biar kelihatan ngintelek, saya serius menanyakan dokumen yang ditulis saat Pangeran Mangkunegoro alias Sambernyowo, pendiri Mangkunegaran, masih jumeneng. “Wah silahkan saja, Mas. Monggo dilihat-lihat,” sila abdi dalem yang menunggu perpustakaan ”hanya, apa njenengan bisa baca aksara jawa?” Saya geleng kepala sambil cengengesan, plus satu kata sakti mandraguna: ”lupa!”. ”Wah gimana tho, Mas? Sekolah tinggi-tinggi kok ndak bisa baca aksara sendiri? Lupa…”, sindir abdi dalem itu.
Saya yakin, saya tidak sendirian. Banyak masyarakat Jawa lainnya yang seperti saya. Tak mampu membaca huruf yang tertera di prasasti, media yang membawa pesan dari masa lampau, namun sangat mampu membaca headline dari New York Times. Bahkan masyarakat Jawa barangkali mampu melafalkan headline itu dengan sangat sempurna; seakan lidahnya sudah rasa Amerika.
Tulisan ini adalah refleksi saya pribadi atas ketercerabutan pengetahuan/kebudayaan Jawa dari diri saya. Ketercerabutan itu tidak melulu perkara kita menggandrungi praktik seni budaya tertentu lalu melupakan seni sendiri, tetapi juga sesederhana apa aksara yang saya gunakan dalam keseharian. Ketercerabutan itu adalah praktik dari imperialism kebudayaan yakni “praktik dominasi dalam hubungan budaya dimana nilai, praktik-praktik dan makna-makna dari budaya luar yang kuat dipaksakan kepada satu atau lebih budaya asli”. Tugas tulisan ini saya batasi untuk sekadar membuktikan bahwa imperialisme budaya tidak hanya melalui isi atau ideologi di balik praktik kebudayaan tersebut, melainkan juga masalah teknis (teknologi) berupa aksara yang seringkali diabaikan.
Kuasa Jawa dan Pembatasan Tulisan Masa Lampau
Raffles dalam History of Java mengatakan bahwa teraturnya administrasi tulisan pada abad 8 di Jawa menjadi pertanda akan munculnya peradaban. Aksara, dengan demikian, juga terhubung dengan pengaturan dan/atau kekuasaan. Pergantian dari aksara Pallawa dengan, misalnya, aksara Arab menandakan adanya kuasa yang berganti. Harold Innis, sejarawan komunikasi dari Kanada, juga menegaskan hubungan aksara dengan masalah pengaturan kekuasaan. Misalnya, pergantian hieroglif Mesir (tulisan symbol) menjadi aksara hieratik adalah karena administrasi kekuasaan Mesir yang kemudian membutuhkan penulisan yang lebih cepat dan efisien.
Aksara, dengan demikian, tidaklah netral. Aksara yang berlaku di Jawa terkait dengan bagaimana mode kekuasaan dijalankan, sehingga memengaruhi disiplin tulisan, atau penggunaan aksara di masa lampau Jawa.
Adalah mungkin untuk menyatakan bahwa menurut cara pandang lama di Jawa, segala hal terpusat pada raja. Kita akan kesulitan untuk membagi bidang-bidang pengetahuan; misalnya menjadi bidang hukum atau bidang agama, karena bagaimanapun teks-teks penulisan dari masa lama, biasanya merupakan percampuran dari penceritaan raja, hukum, juga agama. Raja/penguasa sendiri dianggap mempunyai relasi dengan ketuhanan. Ini terlihat dalam konsep raja-dewa masa Syiwa Buddha, atau konsep darah genealogis dari Muhammad, sebagai pemimpin keagamaan dalam masa Islam.
Isi narasi dari teks yang ditulis selalu berurusan dan berpusat pada raja. Teks-teks tersebut biasanya fokus pada peristiwa kanonik istana dimana aktornya adalah raja, urusan rumah-tangga, atau undang-undang/norma/prinsip hidup yang menjadikan praktik eksistensi raja sebagai sumber hukum. Tulisan adalah monopoli pemimpin, sebab ia dipandang sebagai ‘sudah haknya’. Sehingga barangkali, ciri pertama bagi tulisan dalam masa lampau Jawa dan persebarannya adalah selalu terpusat pada raja dan pembantunya.
Ketika kekuasaan ini dihubungkan dengan agama atau praktik religius, hubungan ini menyediakan sebuah hal khusus yang terkait dengan disiplin penulisan; sebuah metode yang sama sekali tidak dikenali—dan hampir tidak pernah bisa dihancurkan—oleh pengetahuan modern, yakni lakuasketik. Entah dengan semedi atau laku tirakat yang kadang berelasi dengan adanya guru gaib, entitas spiritual yang tidak terlihat tapi diyakini memberikan pengetahuan bagi orang Jawa. Hal ini menjadi ciri kedua dari tulisan atau penggunaan aksara di Jawa masa lampau.
Suatu uraian mengenai peran semedi dapat ditemukan di serat Hariwangsa, karya Mpu Panuluh pada abad ke-12. Sesudah melukiskan keratonnya sebagai inkarnasi Wisnu, pengarang kemudian menjelaskan tujuan karya itu, yaitu untuk “membantu mempromosikan ketakterkalahan raja dan kemakmuran dunia”. Pengarang mempertalikan inspirasinya pada dua sumber; raja, yang merupakan pangeran di antara penyair maupun raja universal, dan praktek semedi dan asketisme.
Sebelum menulis serat Hariwangsa, pujangga penulisnya melakukan perjalanan ke puncak sebuah gunung, dengan maksud sungguh-sungguh menyembah Wisnu. Tujuannya adalah untuk membangun kontak langsung dengan Tuhan dan dengan demikian kekuatan magis yang diperolehnya akan membantunya dalam menulis karya sastranya. Selanjutnya, ia melakukan serangkaian ziarah yang panjang, dan akhirnya terjatuh kelelahan karena demikian keras latihan-latihan asketiknya.
Ketika Islam masuk Jawa, penyalinan tangan teks Al-Quran ke dalam sebuah manuskrip, misalnya, selalu dibarengi dengan kegiatan asketis; puasa atau tirakat. Barangkali juga, disiplin ini masih dipraktikkan hingga sekarang, meski dengan narasi legitimasi yang lain.
Dominasi perilaku asketis sebagai metode ini tidak hanya berelasi dengan eksistensi raja dengan aparat keagamaan (raja bahkan menjadi “sayidin panatagama”), akan tetapi juga pada bagaimana pilihan strategi distribusi tulisan.
Sistem pengetahuan Jawa lama biasanya ditandai dengan ketiadaan budaya tulis, meski sebenarnya tulisan ada tetapi ‘dibatasi’ sehingga membuat budaya lisan dominan. Pembatasan tulisan bukan karena bahan material tulisan tidak ada (sebab pada dasarnya tulisan tidak hanya mempunyai basis material kertas atau buku), akan tetapi disiplin yang dikembangkan menuntut adanya pembatasan tulisan dimana salah satu yang terpenting adalah disiplin asketis.
Pendeknya, di dalam sistem pengetahuan lama, pengetahuan itu ‘hidup’ dan ‘datang’ ketika dibutuhkan, tentunya dengan cara atau laku asketis. Kalaupun ada teks empiris, ia akan dimengerti sebagai hal yang berhubungan dengan laku asketis. Mungkin bukan saja karena itu lakunya, akan tetapi laku asketis diperlukan untuk memperkuat status teks empiris yang tidak “lebih penting” daripada “data hidup” guru gaib. Laku asketis tidak hanya berelasi dengan masalah “intensitas penggunaan tulisan”, akan tetapi juga kepada “status kebenaran tulisan”.
Aksara Latin dan Kolonialisme
Persebaran pengetahuan modern di Jawa ditandai dengan masuknya aksara/tulisan latin yang dikenalkan oleh kolonial. Kemampuan baca-tulis aksara latin, menurut Mikihiro Moriyama, peneliti Sunda, tak lepas dari ilham buku-buku sekolah yang terbit di bawah pengawasan pemerintahan kolonial (Belanda). Namun apa yang paling penting dari aksara latin adalah bukan hanya bentuknya. Ia membawa bentuk disiplin tulisan yang lain. Sebuah pengetahuan (knowledge) mengenai tulisan (menulis dan membaca) khas modern yang sangat berbeda dengan disiplin tulisan dalam sistem knowledge lama, seperti dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya.
Persebaran buku bacaan bukan hanya mengenyahkan manuskrip, akan tetapi juga menghilangkan secara perlahan-lahan cara pandang lama terhadap tulisan. Status guru gaib yang dalam pengetahuan lama merupakan alat pengetahuan, dikategorikan tidak empiris dan kemudian “tidak benar”. Sebelum orang Eropa tiba, manuskrip dianggap keramat, ia berrelasi dengan tindak asketis. Akan tetapi orang Eropa, dalam laporan Gonggrijp misalnya, membacanya dengan pandangan yang lain;
“Dhoeloe-kala sabeloemnya orang tahoe ilmoe menera itoe, maka segala kitab djoega tersoerat dengan kalam. Koetika itu segala kitab terlalo mahal arganya dan adalah sedikit orang sadja jang mengerti membatja dan toelis. Tetapi pada sakarang ini Kangdjeng Goebernemen mengaloewarkan kitab yang moerah sakali sopaja orang beroleh goena deri pada batjanja itoe”
Gonggrijp melihat bahwa tulisan adalah satu-satunya sumber pengetahuan. Ia lalu menghubungkan kuantitas produksi tulisan dengan kemampuan membeli masyarakat terhadap tulisan tersebut.
Tulisan tidak akan berarti jika tidak ada kemampuan membaca sehingga praktik pembacaan pun kemudian turut dibicarakan oleh kolonial. Van der Chisj menulis:
“Penduduk Bumiputera mengenal dua cara membaca; pertama, dengan cara seperti kita, bedanya mereka jarang memahami tujuan resitasi; kedua, membaca dengan cara menyanyikannya (nembang maca). Mereka hanya menggunakan cara pertama, apabila cara kedua tidak mungkin, karena bagi mereka cara kedua pasti sangat digemari dan betul-betul dirasakan sebagai cara yang benar.”
Kemudian, Van der Chijs menemukan apa yang disebutnya sebagai ’pembacaan mekanik’, dimana asumsi utamanya adalah masyarakat hampir tidak mengerti apa yang mereka baca kecuali jika mereka menyanyikannya. Yang mengingatkan kita pada pembacaan Alquran (bahkan hingga sekarang), dimana alquran dibaca tanpa mengerti artinya.
Sangatlah sukar mengharapkan adanya ’interpretasi’ (dalam kerangka rasional-modern) dalam kegiatan membaca di epistem lama, kecuali untuk beberapa aparat epistemik yang terdapat di lembaga agama seperti mandala atau pesantren. Masyarakat dengan pola lama, tidak membutuhkan adanya pengertian, akan tetapi perasaan ketika terhubung dengan bacaan. Pengertian menurut mereka bukanlah pemahaman rasional, akan tetapi sebuah penghayatan dan pengalaman akan “rasa”. Mungkin seperti apa yang disebutkan oleh Manilowski bahwa “fondasi-fondasi kepercayaan dan praktek-praktek tidaklah berasal dari isapan jempol belaka, melainkan bersumber pada serangkaian pengalaman yang sungguh dihayati”
Lembaga yang paling berperan mengangkat elemen-elemen pengetahuan baru seperti status tulisan empiris dan tipologi pembacaaan rasional, sekaligus juga menghancurkan gaya pengetahuan lama, tentu saja adalah sekolah. Meski, dalam beberapa waktu yang lama, ia harus berhadap-hadapan dengan aparat/institusi dalam cara pandang lama; pesantren dan madrasah (dua lembaga Islam, dua lembaga yang dekat juga dengan laku asketis).
Pada Mei 1871 Departemen Pendidikan, Agama dan Industri mengeluarkan Keputusan Pokok Pendidikan yang menghasilkan dua perubahan penting dalam kebijakan kolonial di bidang pendidikan. Pertama, pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan setiap orang, tidak hanya dari golongan Bangsawan Bumiputera saja. Kedua pendidikan harus diberikan dalam bahasa-bahasa daerah (Volkstalen) dan apabila di tempat-tempat tertentu hal ini tidak mungkin dilaksanakan, maka pengajaran harus memakai bahasa Melayu.
Kegiatan penulisan juga berubah. Jika sebelumnya ia lebih dekat pada tindakan asketis, maka pada masa kolonial ini, menulis adalah sebuah kegiatan yang bisa dilakukan semua orang, dimana saja dan kapan saja. Untuk latihan menulis, digunakanlah batu tulis dan kapur. Kertas masih merupakan barang mahal pada abad ke-19. Murid-murid menulis abjad di atas daun pisang (pisang-blad) dengan pena bulu unggas yang diruncingkan. Dua bahan itu murah, didapat dengan mudah, dan murid dapat berlatih mengarang dan menulis indah, demikian menurut Van Der Chijs.
Belanda, tulis Moriyama kemudian, secara berangsur-angsur coba mengajari mereka budaya membaca dalam hati. Berdasarkan pengalaman para murid mendaraskan Alquran, tuan-tuan kolonial itu menduga bahwa melagukan teks menghambat pemahaman pada isi. Mereka percaya bahwa pelajaran yang disampaikan dengan “budaya membaca dalam hati” akan membawa hasil, dan “pembaca modern” akan terbentuk
Dengan demikian, cara pandang lama yang persebarannya terpusat pada lingkungan istana (raja dan pujangga) digantikan oleh pengetahuan modern yang disebarkan secara merata, tidak hanya pada lingkungan istana. Serta-merta, tindak asketis, yang mengandalkan pada “olah rasa”, kemudian dinilai sebagai mitos atau irasional atau supra-empiris.
Aksara sebagai bentuk Imperialisme Kebudayaan
Monumen penting dari penerimaan masyarakat kita pada aksara adalah peristiwa 28 Oktober 1928; Sumpah Pemuda. Sumpah yang menyatukan masyarakat di Nusantara, termasuk Jawa, menjadi satu kolektivitas modern bangsa (Indonesia) dan bahasa yang satu yaitu bahasa Melayu yang sudah diganti namanya dengan “bahasa Indonesia. Pertanyaannya adalah: apa aksaranya?
Artinya, Sumpah Pemuda mengikrarkan beberapa perkara dengan jalan menyembunyikan perkara lainnya. Kebungkaman Sumpah Pemuda ikhwal aksara diperoleh dengan menganggap selesai perihal aksara. Hal ini menegaskan aksara latin yang telah banyak dipakai sebagai “aksara Indonesia” yang melancarkan peminggiran aksara lainnya, misalnya aksara jawa, aksara sunda sebagai “aksara daerah” dan aksara arab sebagai “aksara agama”. Sumpah Pemuda adalah pencapaian paling sukses latihan dan disiplin aksara latin pemerintahan kolonial mulai tahun 1800-an melalui sekolah, surat kabar dan bentuk-bentuk praktik aksara latin lainnya.
Sementara Sumpah Pemuda bekerja dengan kebungkaman, lain halnya dengan novel “Sengsara Membawa Nikmat” karangan Tulis Sutan Sati yang kebetulan juga terbit perdana pada tahun 1928. Diceritakan bahwa seorang Midun yang alim dan bersahaja, masuk penjara karena ia cuma kenal aksara pegon arab. Ia tertipu akibat perjanjian yang ditulis dengan aksara latin. Ending-nya, setelah ia dilatih baca-tulis aksara latin oleh seorang narapidana di sebuah penjara, ia berhasil menjadi asisten demang. Dengan novelnya, Tulis Sutan Sati seakan-akan dengan tegas membilang bahwa “kesadaran” hanya bisa dimiliki dengan aksara latin. Aksara pegon arab (bawaan periode Islam) hanyalah membuat bangsa ini tertipu seperti Midun.
Alih-alih mengantarkan bangsa ini mengenali bagaimana bangsa yang hidup di Nusantara ratusan tahun lalu, aksara latin sekaligus memungkinkan kita untuk terus belajar pada bangsa asing. Cukup dengan satu kali pemindahan huruf, maka logika orang Indonesia akan berganti dengan logika orang Inggris. Aksara, yang menjadi modal pengetahuan kita, lebih memudahkan kita belajar pada bangsa yang menggunakan latin. Aksara latin, disadari atau tidak, adalah tahap awal penyatuan “Indonesia” dengan globalisasi barat sebagai pusat dari “imperium aksara latin”. Kalau sudah begitu, meski kita memandang sinis Sutan Takdir Alisjahbana yang mengusulkan pengadopsian kebudayaan barat sebagai model kebudayaan Indonesia dalam Polemik Kebudayaan, pada kenyataannya, usulan itu sudah kita lakukan.
Epilog
Hingga pada tahun 1990-an, saya masih merasakan praktik huruf pegon arab dengan bahasa Jawa di madrasah sore desa saya. Saya juga masih ingat ketika belajar tajwid melalui bahasa Indonesia dengan huruf pegon arab di sebuah quran terbitan Semarang. Bisa jadi, sekarang pun, huruf pegon arab masih dipraktikkan di banyak pesantren-pesantren tradisional untuk sorogan bersama kyai. Nasib Aksara Jawa setali tiga uang dengan aksara pegon. Di SD saya, ia ‘tersingkir’ cuma sebagai ‘sub bahasan’ dalam pelajaran “Boso Jowo”. Masih mending, jika siswanya mengerti dan serius. Kalau muridnya seperti saya, 20 aksara ditambah pasangannya itu paling-paling cuma jadi bahan hafalan saja.
Sekali lagi, tugas tulisan ini adalah untuk menunjukkan bagaimana instrumen teknis seperti aksara menjadi alat imperialisme dan dominasi, bukan untuk kemudian mengajak kembali menggunakan aksara tertentu. Tulisan ini tidak berusaha menyarankan misalnya masyarakat Jawa kembali menggunakan aksara Jawa untuk melawan dominasi aksara latin. Toh tulisan ini telah memperlihatkan bagaimana penggunaan aksara Jawa di masa lampau, merupakan bentuk dominasi atau pengaturan kekuasaan yang juga layak untuk dilawan. Pun, kalau tulisan ini mengajak demikian, tulisan ini ambigu, karena ditulis dengan aksara latin. Tapi biar tidak dinilai tidak memberikan apa-apa, barangkali tulisan ini adalah untuk mengingatkan kembali kebijakan yang perlu di jaman Kalatidha; Sak beja-bejane wong sing lali, isih beja kang eling lan waspada.
Kematian dance dikabarkan terjadi di Sakatoya Collective Space, padukuhan Jaranan, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Kematian itu digelar melalui sebuah pertunjukan bertajuk The Death of Dance oleh Fitri Setyaningsih. Saya tiba, disambut untuk mengisi catatan registrasi ulang, mendapatkan masker dan gelang pita berwarna hijau, lalu menjalin obrolan hangat dengan teman-temanku yang lebih dulu tiba. Saya tidak begitu mengenal sesuatu bernama dance itu. Namun, jika kita mengandaikan Sakatoya sebagai rumah duka atas dance, mengapa tidak ada kemurungan, kemarahan, atau air mata untuk dance yang konon tewas malam itu, seperti kematian-kematian lain yang pernah kutemukan? Siapa gerangan dance itu dan mengapa ia diperlakukan seperti bajingan yang begitu dibenci?
Sebelumnya, perlu diterangkan lebih dulu, bahwa yang mati di sini adalah dance, seperti tajuk yang Fitri ajukan, dan bukan tari, joget, dansa atau gerak (untuk pertanyaan atas beda antara konsep-konsep itu, saat ini penulis memilih bersikap agnostik!). Dalam khazanah Bahasa Inggris (sebagai bahasa kolonial paling dipercaya hingga hari ini dan dengan begitu cukup valid membicarakan politik maknanya atas seni), dance punya makna yang ramping. Sebagai kata kerja, ia berarti to move the body and feet to music. Sementara itu, sebagai kata benda, ia berarti a particular series of movements that you perform to music or the type of music that is connected with it. Bagi kamus resmi itu, tubuh, bersama musik atau sonik, adalah medan utama dari dance.
Sementara itu, pada kenyataannya, kita melihat praktik dan pandangan dunia atas dance atau dans yang meletakkan karya-karyanya dalam persimpangan antar berbagai macam wahana seni dalam bentuk-bentuk yang koreogras, yaitu, kalau boleh saya mengartikan dan bukan membatasi pandangan dunia, berupa komposisi tubuh dan struktur gerak dalam ruang-waktu sebagai materi atau meta-materi. Dance telah terlampaui oleh dirinya sendiri. Kita bisa menyaksikan beberapa dance, pertarungan pandangan dunia, dan komposisi koreogras dari beberapa karya yang ada, seperti Yvonne Rainer.
Trio A – Yvonne Rainer
Yvonne Rainer, kita tahu, adalah salah satu dedengkot dance abad 20 yang dikenal atas karya-karya eksperimentalnya dan NO Manifesto1 yang diterbitkannya pada tahun 1965. Masa-masa hangat bagi pergerakan seni konseptual di Amerika Serikat. Pemberangusan pemikiran komunisme dan sosialisme di dunia, termasuk Indonesia. Tren pembongkaran bahasa dalam skena DWEM (Dead-White-Euro-American-Male) di Utara, seperti Wittgenstein Awal-Akhir. Permulaan peningkatan kepunahan-kepunahan hewan berkat laku antropogenik. Pemanggangan dunia-dunia. Di masa itulah, pemikiran Rainer atas dance lahir.
NO Manifesto, seperti bayi yang belajar bicara, berkata tidak terus-terusan pada tatapan lazim atas dance dan memulai semua hanya dari reruntuhan dance yang tersisa dari negasi-negasinya, yaitu tubuh, gerak, dan kemungkinan-kemungkinan spasial yang lebar. Dalam Trio A, karya dance awal Rainer pasca-NO Manifesto, tubuh tidak terbatasi oleh dramatika sonik yang menyetrap gerak seperti yang dibilang kamus, melainkan melintasi ruang dalam repetisi gerak yang berikhtiar dengan negasi-negasi konsepnya dari manifesto. Dance, bagi Rainer, seolah tidak lagi begitu peduli pada materi sebagai suatu kebenaran, seperti plot, logika-dramatika Aristotelian, dan penyetrapan imperialisme Amerika Serikat yang ditempel-tempelkan pada tubuh, melainkan berasal dari dalam, dari tubuh, dari subjek yang mengalami dunia.
Setelah Rainer, diakui atau tidak, dance kontemporer mulai meleraikan sesuatu di luar tubuh dan hadir tanpa embel-embel representasi yang kokoh (bayangkan tembok batako yang menghalangi pintu rumah). Dance melesap ke dalam tubuh dan ketakberhinggan koreograsnya, melentingkan konsep kemanusiaan kepada kekosongan bernama tubuh yang menegasi kenyataan linguistik dance dalam darurat kuncitara tubuh oleh trauma dan kepalsuan-kepalsuan pasca-perang, seperti kematian yang Fitri Setyaningsih ingin hadirkan di Sakatoya malam itu.
Kematian ini adalah penutup dari salah satu program Komunitas Sakatoya tahun ini, yaitu Ruang Dalam Project 2025: An Ecology of Blur, sebuah platform pertunjukan yang mempertemukan seniman bersama audiens dengan jumlah yang terbatas. Kerangka kuratorial putaran pertama platform ini, yaitu ekologi blur, menandai dunia dan tubuh yang mengalami di dalamnya sebagai yang kabur, tak tuntas, tak biner, tak pasti, tak bebas dari saling bentuk, rembes, dan interupsi. Bagaimana blur membaca kematian dance? Atau, kalau boleh membacanya dari aspek kebahasaan, bagaimanakah blur dan Fitri Setyaningsih melihat Alam Semesta yang tidak lagi bisa berpusat pada kemanusiaan, imbas gugatan Rainer dan pemikiran sekawanan DWEM pasca-Perang Dunia II itu atas konstruksi kenyataan linguistik yang gempa dan runtuh?
Fitri, seperti Rainer, hendak bermain-main dengan kehampaan. Saya mengikuti semacam-lokakarya bersama Fitri di Sakatoya, sehari sebelum pertunjukan. Di lokakarya itu, ia menjelaskan semacam-metode yang sedang diujicobakannya. Mungkin lebih dekat disebut sebagai paradigma, ketimbang metode, karena skema materialisasinya yang mengarah ke dalam diri. Saya menyebutnya, Paradigma Empat Elemen, yaitu proses menyadari (eling) atas elemen dasar dalam diri. Elemen-elemen itu antara lain adalah api, tanah, air, udara. Teks-teks di luar diri seperti dilepaskan, peserta semacam-lokakarya itu diminta untuk menggerakkan elemen dalam tubuh itu. Tubuh, bagi Fitri, adalah alam itu sendiri yang hampa bahasa, hanya memori-memori primordial. Dengan kata kunci memori primordial ini, saya hendak mengajak Anda membaca dance dari Fitri dan kematiannya dari perspektif Sunda yang saya alami sejak belia.
Saya mau menceritakan kematian ini tanpa terburu-buru, seperti Rainer dan Fitri, memposisikan catatan tanpa banyak perantara broker makna dan pantulan spektakel tekstual. Menjelang pertunjukan secara resmi dimulai, percakapan-percakapan kecil antara saya dan teman-teman dibuka dengan pertanyaan tentang guna masker gelang warna hijau atau merah di pergelangan kami. Obrolan itu memunculkan lelucon-lelucon kurang lucu, spekulasi-spekulasi berantakan, dan dugaan-dugaan aneh tentang kemungkinan yang akan terjadi beberapa waktu ke depan. Jika dance mati, apakah dia dikubur, dibakar, atau diawetkan? Apakah gelang ini bentuk variasi partisipasi, seperti tren artistik belakangan seputar politik kewargaan, pseudo-historiogra, dan sebagainya? Gelang merah untuk membakar dance, gelang hijau untuk mengubur dance, dan masker untuk mengantisipasi bau busuk dari dance yang terawetkan? Pertanyaan itu kami simpan setelah gelaran. Tak lama kemudian, Galuh Putri, sebagian dari Sakatoya, mengumumkan pertunjukan akan dimulai dan mengajak audiens ke ruang utama pertunjukan di atas. Namun, rupanya lelucon buruk kami gagal.
Tidak ada prosesi pemakaman dance malam itu. Kursi-kursi ditata dalam dua bagian, kursi hijau dan kursi merah. Audiens duduk di kursi dengan mencocokkan warna gelang mereka dengan warna kursi. Ada sonik dan gema yang berat, ada juga kesunyian yang datang dari diamnya orang-orang, ada suhu dingin dari air conditioner, ada aroma dupa. Vibesnya kematian banget bjir. Debu-debu menghampar persegi panjang dengan tengkorak mungkin primata, Fitri Setyaningsih, bayangannya yang Luluk Ari Prasetyo, dan cahaya. Partikel cahaya itu, seperti konstelasi tata surya, menabrak dari pusat medan bintang ke material-material di sekitar dalam keberbatasan jangkauannya. Kontur debu yang tumpah persegi panjang itu membentuk bias bayangan, begitu juga kepada tengkorak, Fitri, Bayangan Fitri yang Luluk Ari Prasetyo, penonton, kursi-kursi plastik merah dan hijau. Saat itu, saya belum melihat mereka, baik kematian atau dance. Di manakah bajingan yang tewas itu?
Sepanjang pertunjukan, saya mencari kematian. Pertunjukan dimulai, Fitri menari bersama Bayangannya yang Luluk Ari Prasetyo dan aktan-aktannya yang lain. Gerakannya sekilas repetitif. Putaran terus-menerus, searah jarum jam. Debu menyebar ke mana-mana karena gerakan-gerakan itu, dan cahaya menabrak debu untuk memastikan keberadaan inderawinya untuk manusia. Sonik menggema di ruangan lantai dua Sakatoya itu, seperti sedang gempa rasanya, tetapi tidak ada apa-apa, tidak ada ketakutan, hanya ada pertunjukan itu, penonton, kru, dan seperti-kematian di sekeliling kami. Bayangan yang dikerjakan oleh cahaya dan tabrakannya atas materi di sekitar mencitrakan materi sebagai bias yang berubah sepanjang waktu. Pertunjukan diselesaikan ketika Fitri Setyaningsih hendak memberikan tengkorak yang digenggamnya sejak mula kepada Bayangannya yang Luluk Ari Prasetyo, lalu lampu mati, dan orang-orang bertepuk tangan. Dan saya masih belum menemukan kematian, dance begitu sehat wal afiat dan bugar. Siapakah yang mati dari dance itu?
Sebagai seorang separuh Sunda dan subjek-terpapar monoteisme sepanjang hidup, saya membaca kematian dance pada The Death of Dance dalam gerak bandul antara dua paradigma, yaitu kosmologi dan religiositas alakadarnya. Tatapan religiositas alakadarnya menggiring saya menanti kematian datang. Bagi monoteisme, apalagi Samawi, roh sering disejajarkan pada pribadi, sehingga kematian berlaku gaplokan ganda (double hit) pada roh dan sik. Tubuh yang tak mati, begitu juga Alam Semesta, selalu mengandung Roh, tubuh fana, Roh akan kembali kepada Yang Esa dan kekal.
Sementara itu, dalam kosmologi Sunda, seperti yang ditafsirkan Stephanus Djunatan dari pantun-pantun (Mundinglaya Dikusumah dan Eyang Resi Handeula Wangi) dan manuskrip kuno Sewaka Darma, tubuh, begitu juga Alam Semesta, begitu juga dance, atau segala sesuatu, adalah tentang pertumbuhan, pencerahan budi, peziarahan lintas-semesta (dari Puncak Dunia atau Nirwana hingga Ambang Maut dan sebaliknya) dalam metafora gunung2. Tubuh, ruang, dan waktu adalah proses kemenyeluruhan semesta (baca: gerak naik-turun lintas-semesta) dari setiap mahkluk untuk bersama-sama pergi pada pencerahan dan peristiwa moksa, seperti anarkisme primordial yang bergerak dalam partikel-partikel penyusun buana.
Diagram1. Kosmologi Sunda berdasarkan Sewara Darma tafsiran Stephanus Djunatan
Dalam masyarakat Sunda kontemporer, pengetahuan itu tidak banyak hadir, terutama setelah monoteisme datang. Saya menemukan reruntuhannya dalam laku-laku sosial, seperti nganteuran atau nga-hyang yang masih terjadi belakangan. Nganteuran, khususnya dalam masyarakat Sunda di Cibarusah, dilakukan dengan mengantarkan ayam bekakak ke orang tua, diadakan sebelum dan sesudah Ramadan. Sementara nga-hyang adalah menjadi tak-terlihat. Praktik menghilang itu masih dilakukan salah satunya oleh saudara kakek saya, namanya Karung, dia seorang Betawi, dan bisa menghilang ketika dikejar-kejar tentara kolonial setelah mencuri uang untuk dibagikan ke masyarakat miskin. Ketahanan pengetahuan itu turut didukung oleh konsep hirup atau kahirupan dalam leksikon Basa Sunda yang berarti proses segala sesuatu tumbuh, bergerak, dan hancur. Djunatan juga membandingkannya dengan Sewaka Darma yang merumuskannya secara berbeda dalam anotasi 65.
“Sebab utuh tanpa dengar
Sebab hampa tanpa wujud
Kepada yang halus tanpa kurungan dan lembut
Tak memiliki badan kasar
Tak bersua dengan salah
Tak bercampur baur
Tak dinikmati dan tak dibiasakan
Tak ada kerabat tak ada orang lain”
Tubuh, seperti hirup, bukan sekadar kekosongan total, melainkan juga inti “kekuatan, kemampuan, atau sumber dari segala sesuatu yang ada”. Dalam The Death of Dance, seperti Trio A, atau karya-karya tubuh yang presence (hadir) lain tanpa broker makna seperti Jérôme Bel, Contact Gonzo, atau William Forsythe, tubuh adalah hirup yang adalah pengetahuan pada dirinya sendiri. Dengan begitu, dance di sana tidak lagi mengalami kematian seperti yang dibayangkan juga oleh sobat-sobat monoteisme, tetapi suatu kematian yang penuh. Kematian yang berasal dari segala sesuatu yang ada dari dance, yaitu hanya tubuh, ruang, dan sejarah elemen dasar. Seperti ada magma dalam tubuhmu yang tak dapat teruraikan lagi, suatu pemenuhan dari yang lenyap dan lesap. Dance mengalami kematian, dan dengan begitulah ia ada, hadir, kethok.
Dance yang modar itu seperti sedang begitu dicintai dan diziarahi bersama-sama oleh setiap material yang menyatu di Sakatoya malam itu. Apakah audiens juga sedang melakukan dance kepada dance, yaitu kematian yang penuh? Eh, tadi kursi hijau dan merah maksudnya apa, ya?
Referensi
[1] NO Manifesto oleh Yvonne Rainer tahun 1965.
[2] Kekosongan yang Penuh: Sebuah Tafsir atas Kosmologi Sunda oleh Stephanus Djunatan, dalam Jurnal Melintas Vol. 29 No. 3 Tahun 2013.
Bagaimana ketika cerita tentang ninja yang sempat membawa teror dan ketakutan itu muncul lagi di hari ini. Bukan melalui cerita lisan yang dulu sering kita dengar, atau ulasan curasel media sosial, atau bahkan video dokumenter yang tersedia di ponsel kalian. Namun Ninja dengan segenap cerita gelapnya itu, dihadirkan kembali dalam seni pertunjukan kontemporer, teater.
Seni pertunjukan atau bentuk seni lainnya barangkali memang medium untuk menyampaikan pesan. Namun pesan yang seperti apa, yang sering kali menjadi pertanyaan. Tak jarang, pesan itu hanya berupa letupan bahkan hanya buih dari realitas yang tidak beraturan. Bagaimanapun itu pesan tetaplah pesan, di mana di balik setiap pesan pasti ada makna yang tersimpan. Dalam konteks inilah kerja-kerja artististik diperlukan untuk membongkar makna yang mungkin disembunyikan di balik tragedi dan peristiwa.
Kisah ninja yang meretas panjang di ingatan banyak orang di daerah Tapal Kuda Jawa Timur mungkin salah satu objek yang perlu dibongkar. Sebuah tragedi pembunuhan “dukun santet” yang menyelinap di balik topeng ninja. Yang sialnya hari ini tak banyak orang sadar bahwa ninja dengan segala tragedi di belakangnya adalah pola. Di mana pola yang diciptakan sewaktu-waktu bisa terulang.
Dari hal itulah pertunjukan yang digawangi oleh Rokateater, di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Kasihan, Bantul (19/07/2005), menjadi relevan untuk diceritakan. Melalui medium pertunjukan dengan pilihan dramaturgi, yang ingin saya sebut seperti esai sejarah, kisah itu direka ulang. Shohifur Ridho’i sutradara pada malam itu berupaya mendekonstruksi cerita yang mungkin hinggap di kepalanya. Sebagai orang yang tumbuh besar di Madura, yang tak asing dengan kisah ninja dan kisah pilunya itu, ia tampak ingin bersuara dengan lantang. Bahwa ninja adalah jelmaan dari otoritas yang gemar menciptakan ketakutan.
Meminjam ingatan seorang anak generasi milenial. Enam aktor muda dihadirkan di atas panggung. Bentuk artistik dengan layar tonil Ludruk Jawa Timuran dengan berbagai gambar yang silih berganti, kisah di atas panggung itu dijahit dengan lincah oleh sang sutradara. Pilihan artistik semacam itu menunjukan, bahwa pertunjukan ini tidak ingin melepas akarnya. Bagaimana seni tradisi dengan sentuhan estetika vernakular menjadi identitas di mana cerita itu mereka artikulasikan. Bentuk pengeras suara TOA dengan suara yang khas menjadi menarik ketika dihadirkan. Medium yang sempat menjadi primadona di era 90-an itu, tampak menjadi instrumen penting untuk mengarahkan adegan pertunjukan.
Saat Ninja Masuk di Kampungnya
Adegan pertama, para aktor tampak sibuk dengan perabotan rumah tangga. Mereka hilir mudik. Sebuah gambaran kehidupan yang biasa bagi orang Madura. Namun dentuman teror itu datang. Lampu sorot panggung tampak redup. Para aktor terdiam, mereka bergegas menyelinap dalam kebingungan. Lalu kabar dari Toa itu datang. Ternyata ninja telah mengepung kampung mereka. Kabar itu disebarluaskan. Dan salah satu aktor berdiri di depan menceritakan; ketika ninja datang di kampungnya, ia masih di perut ibunya.
Teror memang selalu berkorelasi dengan trauma. Keduanya seperti sulit dipisahkan. Bahkan ketika teror diciptakan tujuan utamanya adalah menitipkan trauma untuk siapapun yang mengalami atau sekadar mendengar ceritanya. Pada anak-anak cerita ninja hampir seperti fiksi. Mereka tentu tidak mengalaminya. Namun ketika tokoh ninja direka ulang di setiap obrolan sudut rumahnya, mereka menjadi penasaran pada siapa sosok ninja itu. Alih-alih melupakan peristiwa berdarah itu. Mereka generasi transisi milenium 2000-an, justru merasa penting untuk lebih tahu banyak apa yang sebenarnya terjadi pada masa kelam itu. Pada sebuah masa di mana gejolak sosial politik Indonesia lagi panas-panasnya, bukan tidak mungkin kondisi panas itu dapat terulang kembali. Dan melalui gagasan itulah, patahan-patahan kisah dalam panggung itu ramu.
Bahkan ketika teror diciptakan tujuan utamanya adalah menitipkan trauma untuk siapapun yang mengalami atau sekadar mendengar ceritanya. Pada anak-anak cerita ninja hampir seperti fiksi. Mereka tentu tidak mengalaminya. Namun ketika tokoh ninja direka ulang di setiap obrolan sudut rumahnya, mereka menjadi penasaran pada siapa sosok ninja itu.
Pada bagian ini, seorang aktor masih setia dengan gaya monolog untuk menceritakan masa kecilnya. Gaya bahasanya yang runtut, lebih mirip seperti umpatan berdialek sastra memaksa saya atau mungkin penonton lainnya untuk konsentrasi memperhatikan setiap larik kalimat yang diucapkan. Kata, “maksudnya” sering kali terselip pada setiap kalimat yang diucapkan sang aktor. Mungkin itu upaya untuk mempertebal tujuan agar pesan lebih mudah diterima penonton, tetapi apapun maksudnya, hal itu cukup memberi sentuhan yang berbeda kalau tidak malah mengganjal di telinga.
Dari ninja yang membawa teror menuju ninja yang muncul di televisinya. Tahun 90-an televisi masih barang langka di rumah-rumah warga. Tidak setiap keluarga memilikinya, biasanya dalam satu kampung hanya ada satu atau dua orang memiliki barang tersebut. Biasanya hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) orang yang mampu membeli barang semacam itu. Kalian tahu, zaman itu cita-cita tertinggi orang tua di kampung adalah menjadikan anaknya berseragam coklat tua. Aktor dalam pertunjukan itu masih bercerita. Ia mengenal ninja yang berbeda dari televisi tetangganya yang menjadi PNS di kampungnya. Dalam cerita, PNS dari Jawa itu, memiliki anak. Saat ia berusia tujuh tahun itulah ia menjadi teman anak PNS tersebut. Persinggungan semacam itu memungkin orang Madura terbiasa berdialog dengan bahasa Indonesia. Dari persahabatan itu juga, ia mengenal serial film kartun Ninja Hattori yang selalu muncul di hari Minggu.
Perwujudan ninja dalam serial film “Ninja Hattori” yang populer di layar TV pada waktu itu memang berbeda dengan cerita ninja mereka kenal di kampungnya. Ninja Hattori adalah sosok kecil memakai kostum berwarna biru, dengan karakter suka menolong, cerdik, dan lucu. Hal itu tampak kontras dengan karakter ninja yang anak-anak tahu di zaman itu. Bahwa ninja adalah penculik dan pembunuh guru ngaji dan para dukun santet di kampung-kampung daerah Tapal Kuda. Itulah cerita lain yang terpaksa mereka terima.
Dalam hal ini, tampak praktik artikulasi dilakukan Ridho’i untuk membongkar relasi kuasa yang terekam dalam fenomena budaya pada waktu itu. Ia mencoba berspekulasi untuk menghubungkan dua hal yang mungkin secara faktual tidak berkorelasi; antara cerita ninja yang menebar teror itu dengan film kartun Ninja Hattori. Namun di sisi yang lain, hal itu menunjukan kejelian Ridho’i dalam memotret fenomena budaya yang tidak bisa dilepaskan dengan kondisi sosial politik yang mengitarinya. Karena dengan nada curiga adanya film Ninja Hattori yang menghiasi layar tv adalah strategi budaya untuk mengaburkan makna dari ninja yang menebar ketakutan tersebut.
Dalam hal ini, tampak praktik artikulasi dilakukan Ridho’i untuk membongkar relasi kuasa yang terekam dalam fenomena budaya pada waktu itu. Ia mencoba berspekulasi untuk menghubungkan dua hal yang mungkin secara faktual tidak berkorelasi; antara cerita ninja yang menebar teror itu dengan film kartun Ninja Hattori.
Barangkali pertunjukan ini memang ditujukan untuk melihat sisi paling privat dari peristiwa besar yang terjadi pada waktu itu. Sehingga simbol-simbol ringan seperti peralatan rumah tangga menjadi medium artistik untuk menunjukan bahwa cerita-cerita teror itu terekam dalam setiap sudut paling personal orang-orang di sana. Anak-anak yang bercerita, menunjukan kepolosan narasi sejarah yang mereka terima melalui bangku sekolah yang tidak benar-benar mampu menjawab siapa ninja sesungguhnya. Dari sisi gelap sejarah itulah, pertunjukan ini disusun. Dari pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh para aktor, penonton seperti diajak untuk menjawab bersama. Siapakah sebenarnya ninja yang pernah mengitari masa kecilmu itu?
Laporan-Laporan di Balik Operasi Berdarah
Tahun 1998 bulan Februari, pembunuhan seorang yang diduga “dukun santet” di Banyuwangi terjadi. Hampir 100 orang lebih korban terbunuh. Peristiwa itu kemudian menyebar luas sampai Situbondo, Pasuruan, Malang hingga Pulau Madura. Peristiwa itu dalam catatan Komnas HAM mencapai korban hingga 160-an orang. Tidak ada keterangan resmi dari negara siapa pelakunya. Namun masyarakat mengenal “ninja” lah yang menjadi dalang utama.
Istilah ninja muncul ketika pola pembunuhan yang terjadi hampir sama. Mereka menutup kepala, menggunakan senjata tajam seperti samurai dan mereka bergerak cepat, lincah, dan dalam beberapa kejadian mereka bisa menghilang. Tidak hanya itu, mereka juga meninggalkan jejak dengan tanda silang menggunakan senjata tajam di rumah para korban. Namun, tidak ada kepastian benarkah pelakunya adalah para ninja yang sering kita lihat di layar tv dari negeri samurai itu. Karena ninja sebenarnya adalah bahasa yang disematkan oleh masyarakat untuk mengidentifikasi para pelaku. Dalam suatu kejadian ada salah satu pelaku pembunuhan itu tertangkap, ketika dimasukan ke dalam sel saat mau diintrogasi pelaku itu menghilang. Mungkin karena itulah nama ninja disematkan kepada pelaku.
Kemudian para korban dilabeli “dukun santet”. Entah dari mana label itu muncul. Padahal faktanya dari pengakuan keluarga korban, Edy Sumardi (52) anak seorang korban dalam liputan BBC (22, Mei, 2023), menceritakan bahwa ayahnya adalah orang biasa, bahkan ayahnya adalah orang yang sering berangkat ke masjid dan taat beragama. Maka ketika ayahnya dikatakan sebagai dukun santet, ia tidak terima, karena faktanya tidak begitu. Lambatnya penangan dari pihak keamanan, membuat masyarakat mengambil inisiatif untuk berjaga dan mengambil tindakan ekstrem sendiri. Bahkan beberapa kejadian, ada ODGJ yang tak lepas dari amukan massa. Mereka terbakar amarah, membabat orang-orang yang mencurigakan di kampungnya.
Tidak hanya orang yang dilabeli dukun santet, para guru ngaji dan kiai kemudian juga banyak menjadi korban. Konflik horizontal kemudian terjadi di antara masyarakat. Mereka terbelah, saling curiga satu dengan lainnya. Wacana siapa dalang pembunuhan menjadi liar di tengah masyarakat. Identitas di antara keduanya mengental, benturan di antara kaum santri dan abangan terulang. Lagi-lagi sebuah pola lama terjadi, seperti membangkitkan luka lama yang lama tersimpan, konflik di antara mereka seperti diharapkan oleh pihak yang punya kepentingan. Kalian mesti ingat bagaimana peristiwa 65 yang menjatuhkan ribuah orang terbunuh itu. Tampaknya pola itu direplikasi kembali dalam peristiwa ninja untuk menciptakan kerusuhan yang akhirnya sulit dikendalikan.
Praktik itu sebenarnya sudah lama dilakukan sejak zaman kolonial, pemisahan antara agama dan budaya merupakan strategi untuk menggembosi perlawanan rakyat pada waktu itu. Dengan berbagai pendekatan klasterisasi yang dilakukan para orientalis berhasil membuat kedua identitas itu semakin mengental. Hingga kita mengenal golongan abangan-putihan (santri). Berbagai penelitian dilakukan untuk menjarakkan kedua identitas itu. Hingga puncaknya penelitian Clifford Geertz yang mengkategorikan masyarakat jawa menjadi tiga bagian. Santri, abangan, dan priyayi. Berdasarkan pemilahan itulah negara dengan alat kekuasaanya membuat segregasi sosial untuk melakukan taktik pecah belah untuk melemahkan kekuatan masyarakat sipil.
Akibat pembunuhan berantai tersebut, kondisi sosial di daerah Tapal Kuda menjadi mencekam. Menurut tim pencari fakta dari NU Banyuwangi dalam laporan yang diterbitkan LAKPESDAM PBNU menyebutkan peristiwa tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik nasional pada saat itu. Masa transisi yang bergejolak, di tengah kencangnya tuntutan turunnya Soeharto sebagai Presiden RI yang sudah 32 tahun. Negara seperti bersiasat agar kekuasaan Soeharto tetap bisa dipertahankan. Maka banyak kerusuhan terjadi, seperti di Bondowoso dan Tasikmalaya yang notabennya menjadi basis terkuat NU sebagai barisan politik Islam tradisional di bawah komando KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu menjadi lawan terkuat Soeharto.
Gus Dur yang waktu itu menjadi ketua PBNU memang menjadi aktor politik penting dan menjadi lawan politik utama Orde baru pada saat itu. Di tengah represi dan intimidasi yang dilakukan oleh negara dengan berbagai kerusuhan di pusat-pusat kekuatan politik NU pada waktu itu. Maka Gus Dur mengambil langkah berani untuk mengacaukan perhatian lawan politiknya menggelontorkan isu adanya operasi “Naga Hijau”. Bahwa dalang dari beberapa kerusuhan dan penculikan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat tersebut dilakukan secara sistematis dan terorganisir di bawah komando ABRI berinisial ES (nama yang diidentifikasi sebagai Edi Sudrajat panglima ABRI pada waktu itu). Langkah itu cukup efektif untuk meredam dan menghindari benturan di kalangan masyarakat, karena mereka tahu siapa dalang di balik peristiwa berdarah itu.
Maka Gus Dur mengambil langkah berani untuk mengacaukan perhatian lawan politiknya menggelontorkan isu adanya operasi “Naga Hijau”. Bahwa dalang dari beberapa kerusuhan dan penculikan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat tersebut dilakukan secara sistematis dan terorganisir di bawah komando ABRI berinisial ES (nama yang diidentifikasi sebagai Edi Sudrajat panglima ABRI pada waktu itu).
Semua ulasan fakta tragedi yang disebutkan di atas terekam baik dalam sekuel adegan yang berjudul laporan-laporan dalam pertunjukan. Walaupun tidak dijelaskan detail, namun praktik repertoar yang dijalankan dengan membaca laporan penelitian itu cukup membuat penonton paham konteks peristiwa yang menjadi objek dari pertunjukan. Sehingga saat kamu memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepalamu akan penuh.
Tiga Babak Terakhir dan Upaya Mencari Jalan Ninja
Sejarah memang milik penguasa, begitu diktum yang sering kita dengar. Sehingga tampak sulit kita berharap kisah ninja dapat tercatat dalam dokumen sejarah yang diterbitkan oleh kementerian pendidikan apalagi kementerian kebudayaan. Justru kabarnya kementerian yang baru dibentuk itu, akan merevisi sejarah yang selama ini remang-remang kita kenal itu. Yang lebih menghebohkan lagi, sang menteri akan menghapuskan cerita gelap kerusuhan 98 yang mana kisah ninja ada di dalamnya. Entahlah kita memang tidak bisa berharap kepada negara untuk mendapat sejarah versi kita.
Maka kerja kesenian tampaknya jalan lain yang mesti ditempuh untuk mengartikulasikan sejarah kita sendiri. Karena kerja kesenian memungkinkan untuk memuat narasi-narasi yang terpinggirkan dan teks akademik yang biasanya bias kepentingan. Melalui kerja kesenian kita bisa membongkar sekat-sekat yang diciptakan oleh sejarah sekaligus membuka fragmen-fragmen ingatan untuk dibincangkan. Kemudian bentuk artistik yang direncanakan dengan matang dapat menjadi pesan bahwa kejadian kelam tidak untuk diulang. Begitulah pesan yang saya tangkap ketika pertunjukan memasuki babak ketiga.
Bagian terakhir dari pertunjukan ini tampaknya ingin mempertegas posisi strategis kesenian dalam upaya meretas peristiwa kelam yang selama ini ditutup-tutupi. Hal ini terlihat jelas dari sekuel cerita di beberapa adegan pada tiga babak terakhir ini. Lagi-lagi, meminjam suara aktor yang lahir pasca kerusuhan yang mengakibatkan ketakutan kolektif itu. Aktor itu mencoba membagikan pengetahuannya tentang ninja dari pazel sejarah yang selama ini ia cari tahu. Mulai sekuel cerita anime Ninja Hattori hingga game Basara di PS2 dan pelajaran IPS di waktu SMP. Disebutkan juga bahwa Ninja Hattori Hanzo adalah abdi dari daimyo Tokugawa Ieyasu yang nantinya akan mengakhiri Era Sengoku dengan mengalahkan Keshogunan Toyotomi Hideyoshi. Sebuah cerita peralihan kekuasaan Jepang di Era Sengoku (1467-1603). Kekuasaan Tokugawa bertahan selama dua setengah abad, hingga nantinya dilengserkan oleh Restorasi Meiji tahun 1868.
Menariknya praktik spekulatif dilakukan lagi dalam sekuel ini. Dalam narasinya ia mencoba menyandingkan peristiwa Restorasi Meiji 1868 itu dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan Reformasi 1998. Mereka mengibaratkan Tokugawa Ieyasu sebagai Soeharto, maka kejatuhan rezim tersebut membuka jalan untuk restrukturisasi kekuasaan di masa itu. Dari perbandingan spekulatif tersebut, dalam pertunjukan diungkapkan bahwa mereka mulai paham kenapa ninja muncul ditengah gejolak reformasi 1998. Karena ninja menjadi intrumen “ketakutan” yang dirancang agar masyarakat tetap tunduk meskipun sang shogun telah dilengserkan.
Dari perbandingan spekulatif tersebut, dalam pertunjukan diungkapkan bahwa mereka mulai paham kenapa ninja muncul ditengah gejolak reformasi 1998. Karena ninja menjadi intrumen “ketakutan” yang dirancang agar masyarakat tetap tunduk meskipun sang shogun telah dilengserkan.
Sebagai penikmat sejarah saya tentu ragu dengan argumen yang dilontarkan yang cenderung otak-atik itu. Namun dalam pertunjukan dijelaskan bahwa inspirasi itu didasari oleh pengalaman Indonesia ketika dijajah pemerintah Jepang. Ketika negeri Tirai Bambu itu masuk Indonesia tahun 1942, mereka memang membawa janji kemerdekaan. Maka dibentuklah badan persiapan kemerdekaan dengan nama Jepang yang tentu tidak asing ditelinga kita Dokuritsu Junbi Cosakai dan Inkai. Bahkan untuk menyongsong peristiwa penting itu para pimpinan politik kita juga diinkubasi melalui Dai Nippon. Tidak hanya itu cikal bakal tentara nasional juga disiapkan melalui PETA (Pembela “sukarela” Tanah Air). Nama seperti Soekarno, Soedirman, Soeharto hingga Ahmad Yani adalah didikan PETA. Setelah kemerdekaan dominasi lulusan PETA semakin menguat dengan dipilihnya Soedirman sebagai Panglima Besar. Kita tahu pasca kemerdekaan juga militer nasional kita terbagi menjadi dua blok besar antara PETA dan KNIL yang warisan Belanda itu. Mereka bersaing hingga akhirnya Soeharto menjadi penguasa selanjutnya. Sebenarnya dalam pertunjukan masih banyak ulasan tentang bagaimana ideologi Jepang meresap dalam sistem militer Indonesia. Tetapi tampaknya saya cukupkan di sini saja.
Tetapi yang jelas, melalui narasi yang berlarat-larat itu kita menjadi tahu korelasi kenapa istilah ninja dengan segenap resonansi peristiwa di belakangnya dapat kita lihat dengan cara yang berbeda melalui pertunjukan ini. Suguhan data-data yang dibaca bak laporan penelitian seperti membawa penonton dicekoki materi kuliah sejarah 6 SKS sekaligus. Kepala terasa penuh dan hebatnya saya cukup menikmatinya. Ketertarikan pada sejarah mungkin membuat saya bertahan untuk saksama memperhatikan setiap repertoar yang sedang dibacakan. Tetapi saya tidak bisa membayangkan jika ada penonton yang mengharapkan hal lain seperti apa yang dipaparkan dalam pertunjukan.
Lalu kehadiran tarian jamet yang cukup tiba-tiba di sela-sela laporan yang padat dibayangkan bisa memberi ruang jeda. Tarian yang lagi booming di media sosial yang menjadi identitas baru anak Muda Madura itu terasa seperti pelarian dari kegetiran peristiwa yang sedang dibacakan. Sekilas kehadiran tarian itu terkesan seperti dipaksakan. Apalagi kehadiran dua penari aslinya seperti tidak nyambung dari 6 aktor yang sudah ada sebelumnya. Tetapi apapun itu, kehadiran tarian Jamet ini telah menunjukan bagaimana generasi Madura hari ini telah berbeda dengan generasi sebelumnya. Bahwa di tengah tarian ada tubuh yang merekam peristiwa kelam di masa sebelumnya.
Akhirnya, pertunjukan ini telah berhasil membongkar sejarah yang selama ini jarang dibicarakan. “Curriculum Vitae” sebagai judul pertunjukan, yang membuat saya bertanya sebelumnya, tentang apa hubunganya dengan peristiwa ninja akhirnya terjawab juga. Bahwa identitas personal tidak lain adalah upaya negara untuk mengontrol rakyatnya. Dalam kasus ninja di Tapal Kuda, identitas itu justru digunakan oleh “negara” untuk membasmi lawan politiknya. Selain itu pertunjukan ini seperti memberi warning kepada kita semua; bahwa teror dan ketakutan adalah instrumen paling efektif untuk mengatur rakyat. Karena politik ketakutan mampu menjangkau ruang-ruang paling privat dalam diri kita. Melalui hal ini rakyat dididik untuk tunduk dan bungkam karena mereka selalu dalam pengawasan. Dari hal ini kita bisa belajar, bahwa pola ini selalu digunakan oleh elit militer kita sekalipun Soeharto telah lama tiada. Namun mantan menantunya sekarang berkuasa. Apakah pola ini akan digunakan juga. Wallahualam bishowab.
Di banyak ruang sosial kita hari ini, simbol masih menjadi mata uang sosial yang kuat. Nama keluarga, garis keturunan, gelar adat, bahkan foto bersama tokoh besar bisa membuka banyak pintu. Ia tidak selalu dibangun dengan kerja—tapi diwariskan. Modal simbolik, dalam istilah Pierre Bourdieu, adalah pengakuan sosial yang memberi legitimasi kekuasaan. Tapi pengakuan itu hanya bertahan jika ada alasan yang terus diperbarui. Ketika pewaris tidak memiliki kapasitas, legitimasi mulai goyah. Modal simbolik itu tetap berbentuk, tapi kehilangan isi.
Simbol yang diwariskan seharusnya menjadi pengingat nilai-nilai luhur yang pernah diperjuangkan. Namun dalam banyak kasus, pewaris tidak menyadari bahwa simbol itu bukan semata kehormatan, tapi juga amanah. Ketika simbol digunakan hanya untuk status, tanpa kerja nyata atau kontribusi sosial, ia kehilangan kekuatannya. Maka dari itu, simbol warisan tanpa kapasitas bukan hanya rapuh, tetapi juga berisiko menimbulkan resistensi dari masyarakat.
Fenomena ini banyak kita lihat dalam berbagai lini kehidupan: dari politik hingga budaya. Anak seorang pemimpin yang gagal meneladani ayahnya, atau keturunan tokoh agama yang menjual nama leluhurnya untuk kepentingan pribadi—semua menciptakan jarak antara simbol dan nilai. Masyarakat yang awalnya hormat perlahan menjadi sinis. Pengakuan sosial pun mulai mengendur, hingga akhirnya lenyap sama sekali.
Warisan bukanlah dosa, tapi mengandalkannya tanpa kerja adalah penyakit sosial. Dan saat warisan tak dijaga, nama yang dulu disanjung bisa berubah jadi bahan tertawaan. Bukan karena leluhurnya salah, tapi karena cucunya lupa belajar sejarah. Simbol tak boleh dipakai sebagai perhiasan belaka, simbol harus dirawat melalui laku hidup dan kontribusi nyata.
Warisan yang Dihormati, Pewaris yang Dipertanyakan
Ada nama-nama yang membuat orang menunduk hormat hanya dengan mendengarnya. Mereka yang semasa hidupnya membela rakyat, menjaga nilai, dan memperjuangkan kebenaran—meski tak selalu populer atau berkuasa. Warisan mereka bukan sekadar gelar atau silsilah, melainkan pengaruh sosial yang lahir dari pengorbanan dan konsistensi. Masyarakat menyebut nama itu dengan hati-hati, dan menaruh harapan besar pada keturunannya: “Jika leluhurnya seperti itu, tentu anak cucunya akan membawa nilai yang sama.”
Harapan yang besar ini tidak datang begitu saja, melainkan tumbuh dari pengalaman kolektif yang melihat bagaimana leluhur itu hidup. Sayangnya, pewaris sering kali gagal membaca harapan ini. Banyak pewaris mengira bahwa nama besar cukup sebagai tiket untuk mendapatkan pengakuan sosial. Padahal tanpa kapasitas dan nilai yang dihidupi, nama itu hanya akan menjadi beban sejarah yang berat.
Ketika pewaris tak mampu menjaga nilai itu, rasa hormat mulai berubah arah, mulai dari kecewa, menjadi sinis, lalu akhirnya: pengabaian. Ini bukan hanya krisis kepercayaan pada individu, tapi juga krisis simbol. Hal yang menyedihkan adalah saat publik mulai bertanya: “Apa benar leluhurnya sebaik itu?” Kritik terhadap pewaris terpantul ke belakang. Memori kolektif ikut terganggu. Padahal yang bermasalah bukan warisannya, melainkan cara pewarisnya. Simbol bisa diwariskan, tapi maknanya harus diperjuangkan kembali.
Pewaris simbolik bukan hanya perkara membawa nama, tapi juga menerjemahkan nilai dalam konteks jaman. Masyarakat tak menuntut kesempurnaan, tapi kejujuran dan kesungguhan untuk menjaga nilai. Pewaris yang tidak bisa membaca zaman dan menggenggam nilai warisannya akan kehilangan relevansi. Ketika relevansi itu hilang, simbol yang mereka bawa menjadi sekadar citra.
Ketika Legitimasi Sosial Dicabut: Publik sebagai Hakim Modal Simbolik
Dalam teori Pierre Bourdieu, simbol adalah bentuk kuasa yang hanya bekerja jika ada pengakuan sosial. Modal simbolik tidak bersumber dari harta atau silsilah, melainkan dari legitimasi kolektif. Seperti dijelaskan Bourdieu: “Symbolic capital is credit… recognition is the cornerstone of symbolic power.” Artinya, kekuasaan simbolik hanya sah jika masyarakat mengakuinya.
Di sinilah masyarakat berperan sebagai hakim atas legitimasi ini. Bila publik merasa bahwa pewaris tak lagi mencerminkan nilai leluhur, mereka bisa mencabut pengakuannya. Ini adalah bagian dari apa yang disebut Bourdieu sebagai symbolic struggle—pertarungan makna dalam medan sosial yang terus berubah. Proses pencabutan ini menjadi refleksi bahwa kekuasaan simbolik tidak bersifat absolut, melainkan harus terus-menerus dibuktikan secara sosial.
Namun kritik publik yang lahir dari kekecewaan kadang tidak tepat sasaran. Simbol yang sah bisa ikut runtuh karena kesalahan individu. Ketika publik menyerang pewaris tanpa membedakan antara nilai leluhur dan kegagalan keturunannya, maka simbol yang seharusnya menjadi pijakan sejarah justru dikubur. Ini bukan hanya kegagalan kritik, tapi juga bentuk penghapusan simbolik yang ironik.
Penting untuk diingat: simbol bisa kehilangan makna jika disalahgunakan, tapi simbol juga bisa kehilangan tempat jika masyarakat gagal membedakan antara sejarah dan arah. Kritik sosial harus berangkat dari pembacaan yang jernih, agar simbol tetap menjadi rujukan nilai, bukan korban dari kemarahan kolektif.
Simbol, Kuasa, dan Kritik yang Tidak Salah Sasaran
Kritik sosial yang sehat tidak hanya mengoreksi individu, tapi juga memahami konteks struktur sosialnya. Dalam medan sosial yang dijelaskan Bourdieu, modal-modal seperti ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik diperebutkan. Maka kritik adalah bagian dari perebutan legitimasi yang sah dan penting. Kritik yang diarahkan dengan cermat bisa mendorong pembaruan nilai, memperbaiki sistem, serta menghidupkan kembali makna simbolik secara relevan.
Kritik harus cermat membedakan antara simbol yang sah dan pewaris yang gagal, agar tidak berubah menjadi kekerasan simbolik. Kritik sosial yang jernih akan menyerang penyalahgunaan, bukan sejarah; mengoreksi individu, bukan menghancurkan ingatan kolektif. Dalam simbolik warisan, nilai bisa bertahan jika pewaris memberi kehidupan padanya. Jika tidak, maka yang patut dikritik adalah praktik pewaris, bukan narasi leluhur.
Padahal kekuasaan simbolik tak pernah tinggal di simbol itu sendiri, melainkan dalam struktur dan relasi sosial yang memberinya tempat. Kritik sosial yang tidak salah sasaran seharusnya membedakan antara nilai yang pernah diperjuangkan dan pewaris yang gagal menghidupi. Kritik yang tepat tidak menghapus sejarah, melainkan menyaring ulang: mana yang masih hidup sebagai nilai, mana yang tinggal sebagai nama.
Dengan demikian, simbol tidak dimusuhi, tetapi ditata ulang. Kritik menjadi alat emansipasi, bukan penghukuman. Karena dalam masyarakat yang reflektif, simbol bukan hanya produk masa lalu, tapi juga peluang untuk memperbarui komitmen bersama terhadap nilai yang hidup.
Simbolik Warisan vs Simbolik Organik: Sebuah Pembacaan Kritis atas Legitimasi
Dalam kerangka teori Pierre Bourdieu, modal simbolik bekerja sebagai bentuk kekuasaan yang diperoleh dari pengakuan sosial. Namun cara memperoleh pengakuan itu berbeda-beda. Di sinilah pentingnya membedakan antara simbolik warisan dan simbolik organik.
Modal simbolik warisan merujuk pada legitimasi yang diperoleh karena nama besar, silsilah, atau afiliasi historis. Sedangkan simbolik organik tumbuh dari kerja nyata, kontribusi sosial, dan konsistensi nilai dalam medan sosial.
Simbolik warisan bisa memudahkan akses sosial, tapi ia tidak menjamin keberlanjutan pengakuan jika tidak dihidupi kembali. Sebaliknya, simbolik organik cenderung lebih tahan lama karena dibangun dari relasi yang hidup dan aktual. Ia menuntut proses pembuktian terus-menerus, sehingga legitimasi sosialnya lebih kokoh dan kontekstual.
Dalam praktik sosial, banyak individu yang memiliki modal simbolik warisan tapi tidak memiliki kapasitas untuk menghidupinya. Di sisi lain, ada juga figur-figur yang tidak berasal dari garis keturunan tokoh besar, namun karena kerja dan nilai yang dibawa, mereka mendapatkan tempat di hati publik. Inilah bentuk simbolik organik yang lahir dari medan sosial yang dinamis.
Dengan membedakan dua jenis modal simbolik ini, kita bisa membaca ulang siapa yang benar-benar layak dipercaya dan siapa yang hanya berdiri di atas bayang-bayang sejarah. Simbol tidak selalu sah hanya karena diwariskan. Ia sah karena terus dimaknai, dihidupi, dan diperjuangkan secara nyata.
Jika Masyarakat Kehilangan Orientasi Historis
Kritik sosial yang tidak dilandasi pemahaman historis dapat membawa masyarakat pada kehilangan arah. Ketika publik lebih cepat menghakimi daripada memahami akar sejarah sebuah simbol, maka yang terjadi bukan pembaruan nilai, melainkan penghapusan makna kolektif. Ini berbahaya, karena sejarah sosial bukan hanya milik individu atau kelompok, tapi bagian dari memori kolektif yang membentuk identitas masyarakat.
Orientasi historis memberi kita peta nilai. Tanpa itu, simbol-simbol bisa dengan mudah dihancurkan hanya karena kegagalan pewaris. Padahal, simbol yang diwariskan sering kali lahir dari perjuangan panjang, pengorbanan, dan konsistensi moral. Jika masyarakat tidak mampu membedakan antara simbol dan penyandangnya yang lalai, maka sejarah bisa menjadi korban dari amnesia kolektif.
Bourdieu menyatakan bahwa simbol bekerja jika ia dikenali. Tapi pengenalan itu tak akan lahir tanpa pemahaman. Maka menjaga orientasi historis bukan berarti mengkultuskan masa lalu, melainkan merawat ingatan bersama agar bisa menjadi cermin dalam menilai hari ini.
Masyarakat yang memiliki kesadaran historis akan lebih adil dalam melakukan kritik. Mereka tahu bahwa setiap simbol membawa konteks, dan bahwa pewaris bisa gagal tanpa harus menghapus nilai yang diwarisi. Dalam ruang publik yang sehat, pemisahan ini penting agar kritik tidak menjadi kekerasan simbolik.
Kritik yang Menjadi Kekerasan Simbolik
Bourdieu banyak menyoroti kekerasan simbolik sebagai dominasi yang halus namun efektif dalam menjaga status quo. Namun dalam konteks ini, kita bisa melihat arah sebaliknya: bahwa publik juga bisa melakukan kekerasan simbolik jika kritik tidak diarahkan secara proporsional dan adil. Ketika simbol diserang habis-habisan karena perilaku satu individu, maka yang terjadi adalah penghukuman kolektif terhadap sesuatu yang belum tentu bersalah.
Kekerasan simbolik dari masyarakat terjadi saat kritik berubah menjadi penghapusan. Nama besar yang dulunya menjadi pengikat sosial tiba-tiba kehilangan tempat hanya karena pewarisnya gagal menjaga perilaku. Ini bukan hanya bentuk pelampiasan, tapi juga gejala hilangnya kemampuan publik dalam membedakan nilai dan representasi.
Dalam medan sosial, pertarungan legitimasi memang tak terhindarkan. Namun kekerasan simbolik dari publik bisa menghasilkan luka yang dalam: baik pada simbol yang dihancurkan, maupun pada nilai yang ikut terkubur. Ini juga membuka ruang bagi manipulasi, karena simbol-simbol baru yang muncul bisa jadi tidak membawa nilai, hanya membawa sorotan.
Untuk itu, penting bagi masyarakat untuk belajar melakukan kritik dengan adil dan terukur. Mengoreksi pewaris yang gagal adalah bagian dari tanggung jawab sosial. Tapi menjaga simbol agar tetap bermakna juga bagian dari perawatan kolektif atas sejarah dan nilai. Kritik seharusnya memperbaiki, bukan menghancurkan.
Beban atau Peluang: Mewarisi Simbol dan Tanggung Jawab Sosial
Mewarisi simbol adalah persoalan dua sisi: beban dan peluang. Beban, karena ia membawa ekspektasi dan pengawasan publik. Peluang, karena ia bisa menjadi jalan untuk memperbarui komitmen terhadap nilai yang diwariskan. Dalam medan sosial yang kompleks, pewaris simbolik harus mampu membaca konteks, belajar dari sejarah, dan membuktikan dirinya secara aktual.
Simbol yang diwariskan tidak cukup hanya dikenakan. Ia harus dihidupi. Ini berarti kerja sosial, partisipasi nyata, dan keberanian untuk bertumbuh sesuai zaman. Mereka yang hanya memakai nama tapi tak menyentuh nilai akan segera kehilangan tempat. Sementara mereka yang sungguh-sungguh menjaga dan menghidupi simbol bisa menjadikannya kekuatan yang bermakna.
Dalam teori Bourdieu, simbol hanya sah sejauh ia diakui. Maka pengakuan itu harus terus diperbarui melalui praktik. Bukan hanya dengan klaim atau cerita masa lalu, tapi dengan tindakan hari ini. Mewarisi simbol adalah mewarisi tugas—bukan cuma kehormatan.
Akhirnya, masyarakat pun perlu memberi ruang bagi pewaris yang berjuang. Tidak semua warisan dijaga dengan sempurna. Tapi selama ada usaha yang jujur dan terbuka untuk tumbuh, maka simbol masih bisa hidup. Karena simbol yang hidup bukan yang diwariskan, tapi yang terus dimaknai bersama.