Filusuf & Pecinta

Akhir-akhir ini saya nyaris berkesimpulan bahwa makna hidup tak mungkin didapat dari proses abstraksi-abstraksi pemikiran dan permenungan filosofis berjarak. Melainkan ia bisa digenggam, hanya dari proses mengalami secara intim-subyektif pengalaman-pengalaman kehidupan. Sederhananya untuk dapat merengkuh makna hidup, orang, saya anjurkan untuk menjadi pecinta daripada menjadi filsuf.

Kalaupun “makna hidup”­­––katakanlah begitu––bisa ditangkap dari permenungan berjarak para filsuf, makna tersebut saya kira kok bersifat obyektif, jauh, dan dingin, alias tak membantu banyak hal atas keputusan spesifik dari ribuan gejala dan pengalaman yang kita hayati secara spesifik. Ia ada “jauh” di sana, oleh karenanya apa guna?

Persis seperti dalam menghayati agama, makna hidup harus dijemput tepat pada saat anda “menceburkan” diri dalam pengalaman fana keduniaan anda. Mungkin metafor yang baik untuk melukiskan ini adalah saat anda belajar bersepeda.

Agama, atau lebih tepatnya kebenaran agama, digapai bukan dengan mematuhi rumusan baku yang bersifat umum dan mengekang, yakni dengan cara melibatkan diri dalam pertengkaran diskursif terkait madzhab-madzhab aturan-aturan yang beragam tentang juklak dan juknis seperti tertera dalam banyak buku panduan bersepeda.

Kebenaran agama adalah hal intim yang diperoleh dari jalan menerjunkan diri untuk dengan komitmen dan tekad sempurna berani mengayuh sepeda dengan keterlibatan penuh, meski ia harus berkali-kali terluka karena sepeda anda tersungkur. Tapi tekadnya untuk merengkuh kebenaran akan memicu anda untuk bangkit dan bangkit lagi. Anda, percayalah, akan dibangkitkan oleh cinta.

Kebenaran agama adalah hal intim yang diperoleh dari jalan menerjunkan diri untuk dengan komitmen dan tekad sempurna berani mengayuh sepeda dengan keterlibatan penuh, meski ia harus berkali-kali terluka karena sepeda anda tersungkur. Tapi tekadnya untuk merengkuh kebenaran akan memicu anda untuk bangkit dan bangkit lagi. Anda, percayalah, akan dibangkitkan oleh cinta.

Para faqir dan guru suci kita telah sering memperingatkan kita bahwa menghafal kitab suci tak akan mengantarkan kita pada kebenaran, apalagi kearifan. Kebenaran didapat sungguh dari upaya intim kita untuk “mengalami” percik-percik pengalaman. Banyak orang menyebut upaya ini sebagai “cinta”, dan sepertinya saya setuju.

Sungguh saya akan bergetar, jika menemui seseorang yang dengan tanpa sedikitpun mundur––tentu setelah melewati uji rentang waktu yang lama––untuk terus menerus memperjuangkan cintanya. Ia, bagi saya telah “mengalami” cinta sebagai proses spiritual yang sublim, dan oleh karenanya saya akan segera bersimpuh di depannya (lirik Tarli Nugroho).

Para faqir dan guru suci kita telah sering memperingatkan kita bahwa menghafal kitab suci tak akan mengantarkan kita pada kebenaran, apalagi kearifan. Kebenaran didapat sungguh dari upaya intim kita untuk “mengalami” percik-percik pengalaman. Banyak orang menyebut upaya ini sebagai “cinta”, dan sepertinya saya setuju.

Saya sarankan, jika anda ingin merengkuh kebenaran, singkirkan jauh-jauh permenungan filosofis berjarak dan jadilah pecinta yang buta. Karena, jika cinta saya buta, ungkap anda, saya pasti akan menemukan jalan bersamanya.

Tapi, tunggu dulu. Pandangan saya di atas sebenarnya masih hitam-putih. Yakni Saya seolah membuat garis tegas wilayah antara filsuf dan pecinta. Padahal, dalam hidup, saya sering menemukan seorang filsuf yang berusaha mengalami kehidupan dengan bantuan permenungan berjaraknya. Karena bagaimanapun, pengalaman yang tak direfleksikan hanya akan menambah deretan pengalaman yang tak terangkai.

Namun, sebenarnya, apa yang saya ingin katakan sebenarnya sederhana, yakni saya ingin mengalami hidup ini dari menggeluti kekayaan elemen yang mendukungnya: permenungan, ilmu pengetahuan, rasa seni, keterlibatan etis, keindahan, dsb.

Karena, kita tahu, akhir-akhir ini ada kecenderungan banyak orang meyakini bahwa hanya dengan kelebatan panduan ilmu pengetahuan, tafsir agama, dan doktrin-doktrin agama semata, mereka merasa telah meringkus kebenaran. Mereka abai bahwa hidup adalah kecamuk gejala yang sejatinya perlu didekati tidak hanya dengan ilmu tapi juga seni; tidak hanya dengan tafsir kitab suci, melainkan juga dengan etika dan akhlak kemanusiaan––yang sejatinya saya yakini segaris dengan agama yang fitri.

Sudah. Kalau begitu, anda ingin jadi filsuf atau pecinta.