Menu

Suluk Kebudayaan Indonesia

Syahdan. Sekira pada tahun 2000 hingga 2007, yakni sebuah rentang waktu dimana saya menghabiskan masa kuliah saya di Filsafat UGM, saya mendapati diri saya terdampar dalam kegelisan intelektual atau bahkan pergulatan eksistensial yang tanpa harap. Di masa itu unggunan diktat kuliah filsafat Barat, tumpukan jurnal-jurnal internasional, serakan buku-buku tebal berdebu para filsuf dunia, diskusi-diskusi berat dan berlarat, hingga aktivisisme menggugat negara dan kampus tidak sedikitpun memberi pandu yang meneguhkan. Hingga saya meninggalkan kampus tua itu, pergulatan eksistensial atau sebut saja pergulatan intelektual-ruhani saya itu, justru semakin menjalar ke sekujur balung sumsum tubuh saya. Saya ambruk.

Saya memegang apa yang bisa saya raih. Saya merasa pengetahuan filsafat saya—tepatnya filsafat Barat, yakni semesta gagasan yang dulu saya pungut dengan telaten dan rasa curiosity yang menggelegak, ternyata hanya memberi skema deretan kontinum gagasan-gagasan para pemikir besar dunia yang sayangnya justru mengasingkan daripada mengukuhkan. Pikiran-pikiran pelik, melangit, dan “berat” yang memenuhi tempurung pikiran dan kepala saya, beserta timbunan kosakata elegan berkelas, namun juga sekaligus asing (dan mengasingkan) itu, juga bahkan termasuk deretan “isme-isme” yang saya koarkan yang bisa membuat ciut nyali para pendengar dalam sebuah laga-diskusi yang memang saling mengalahkan, mematahkan, dan menundukkan lawan itu, ternyata sama-sekali tak menuntun atau membantu saya sendiri mengenali apapun terkait diri, alih-alih skema gagasan filsafat masyarakat saya sendiri yakni tempat saya menjejakkan kaki di sana.

Saya memegang apa yang bisa saya raih. Saya merasa pengetahuan filsafat saya—tepatnya filsafat Barat, yakni semesta gagasan yang dulu saya pungut dengan telaten dan rasa curiosity yang menggelegak, ternyata hanya memberi skema deretan kontinum gagasan-gagasan para pemikir besar dunia yang sayangnya justru mengasingkan daripada mengukuhkan.

Gagasan-gagasan besar filsafat dunia yang memang bertahun-tahun saya sesap dari bangunan lusuh nan tua di bilangan Bulaksumur itu, pada masa itu benar-benar nyaris tanpa daya dan guna. Muspra. Saya merasa pikiran-pikiran melangit yang diajarkan di Kampus saya sendiri tak memberi ruang sedikitpun untuk menjangkau filsafat masyarakat saya sendiri. Ia sedang tak ingin menggeret para mahasiswanya untuk mengenali kedirian mereka. Mengenali pikiran-pikiran yang barangkali boleh kalian sebut dengan istilah “filsafat masyarakat” sendiri, yakni Indonesia, dimana tiap wilayah suku-bangsa asal para mahasiswa yang bergabung di kampus itu memang secara terpaksa tidak memilih terlahir di dalamnya.

Kegelisahan atau kecemasan eksistensial itu meluber hingga saya resmi lulus. Saya, yang memang dari sejak awal tak pernah memikirkan bekerja, apalagi bekerja pada orang lain atau institusi tertentu, memilih melarutkan diri di tiap malam-malam saya membaca ratusan temuan disiplin antropologi dan sejarah ihwal ke-Indonesiaan dan ke-Jawaan yang saya unduh secara rutin hingga memenuhi ruang hard-disc eksternal berkapasitas ratusan giga yang saya punya. Belum lagi dari luapan kegemaran diskursus filsafat yang terwarisi, saya masih terus saja tenggelam dan meluaskan bacaan saya mengenai filsafat dan mistisisme Islam, yang pada masa kuliah dulu sempat sedikit saya abaikan. Plus mulai kembali membuka kitab-kitab berdebu warisan pesantren saya di masa kecil hingga remaja, yang telah lama teronggok di pojok kamar.

Bahkan dalam kadar yang semakin intens, deraan kegelisan ruhani yang telah menjalar ke sendi-sendi aliran darah, memaksa saya mengambil keputusan yang terlalu berani. Saya yang baru saja menikah di awal tahun 2010, mengajak istri tinggal pada sebuah kontrakan dekat sebuah pondok pesantren di Mlangi, Yogyakarta agar saya dapat “nyantri” dan mengaji kembali kitab-kitab tua di sela Subuh dan malam hari. Di masa-masa itu, saya benar-benar tenggelam dalam permenungan dan laku. Hingga setitik cercah pemahaman mulai menyapa diri. Dari timbunan diskursus dan tradisi kesarjaan colonial berkait Jawa dan Indonesia, saya lamat-lamat bisa memahami bahwa terdapat narasi yang relatif padu berkait usaha mengkorting peran Islam dalam penubuhan struktur ke-Indonesiaan dalam konteks kepentingan langgengnya kekuasaan kolonial. Karena hanya Islamlah pada masa itu yang menjadi tenaga revolusioner yang terus saja dan selalu saja mengobarkan “perang sabil”, “sabilollah”, “kapir landa”, dll.

Dalam kasus Jawa, titik pentingnya ada pada peristiwa besar Perang Diponegara, yang kita tahu, sebagaimana dikatakan Ricklefs dalam tiga karya berpengaruhnya tentang sejarah Jawa, Mystics Synthesis in Java (2006), Polarising Javanese Society (2007), dan Islamization and Its Opponents in Java (2012), yakni hingga setidaknya sampai terbelahnya Jawa di perjanjian Giyanti (1755), Islam telah menjadi identitas pemersatu kejawaan (baca: wong selam). Orang Jawa, sejak saat itu tak lagi bisa membayangkan dirinya di luar kerangka identitas (pandangan dunia) ke-Islamannya. Praktik-praktik tradisi yang hari ini kita anggap sebagai produks sinkretisme Jawa, oleh masyarakat dulu justru dipandang sebagai penanda penting keber-Islamanya yang sekaligus malah membedakannya dengan periode Hindu-Budha Majapahitnya, yakni seperti menembang macapat, ziarah kubur, sedekah bumi, pagelaran wayang, selametan (kenduri), perayaan sekaten, panduan Primbon, garebeg besar maupun garebeg mulud, dan masih banyak lagi.

Belakangan saya tahu, bahwa praktik-praktik ini, sebagaimana telah ditunjukkan pada gugatan Nancy Florida di buku “Jawa-Islam di Masa Kolonial”-nya (Buku Langgar, 2020), bahwa apa yang sering dikhayalkan oleh para penjajah Belanda sebagai bentuk “kesalahan-kesalahan ber-Islamnya orang Jawa” ini justru merupakan sebentuk usaha orang Jawa menerjemahkan “tasawuf” dalam konteks pergulatan kebudayaannya, dimana keberagamaan bercorak “sufistik” (Jawa) tersebut merupakan modus keberagamaan umum di zaman itu, yang memang terlalu pelik disandarkan dan dibandingkan dengan kriteria keberagamaan Islam bernuansa formal hari ini. Bahkan dalam karya “the Seen and Unseen Worlds in Java”-nya (1998), Ricklefs mengatakan bahwa bangun filosofi mendasar sistem pemerintahan Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senapati dan mencapai puncak kejayaannya di masa Sultan Agung itu–berdasarkan telaahnya atas naskah Suluk Garwa Kencana, Kitab Usulbiyah, Carita Iskandar, dan Carita Yusuf-nya–justru merupakan kerajaan Islam yang didasarkan pada kerangka dasar gagasan dan pengelolaan sistem filosofi “kerajaan dalam diri”, alias sistem filosofi-pandangan dunia tasawuf atau sufi terkait manusia paripurna (insan kamil) melalui sebuah peperangan dalam diri atau jihad besar (Sufi political philosophy).

Namun begitu, itu temuan dan omongan para sejarawan mutakhir, yang mulai sedikit memberi ruang gugatan (atas narasi kolonial lama) dan rekontruksi baru atas peran Islam yang sebenarnya, seperti dikatakan oleh Marks Woodward (1997) dalam karya “Islam in Java”-nya: bahwa “agama masyarakat Jawa adalah Islam, sebab doktrin Islam (esoterisme Islam) telah mengganti Hindhuisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan,” yang sayangnya oleh Ricklefs masih diberi label neologi samar yang berkonotasi campuran dan “tak murni”: Mystics Synthesis.

Ada catatan menggunung ihwal gugatan saya terkait skema bangun historis yang ditawarkan Ricklefs berkait pembacaannya tentang sejarah Jawa, terutama berkait istilah peyoratifnya–sebut saja–“perpaduan mistik atau sintesis mistik” (mystics synthesis) yang menjadi judul utama bukunya, yang ia pakai untuk menandai penubuhan Islam di Jawa. Namun biarlah itu menjadi tanggungan tulisan lain dan terpisah, yang semoga bisa saya kerjakan di waktu mendatang. Juga terkait terma “polarisasi masyarakat Jawa”-nya Ricklefs, yang sayangnya masih berbicara dari dasar pemilahan antropolog Amerika, Clifford Geertz, dengan intensi memperuncing strukturasi trikotomi dengan istilah “abangan, santri, dan priyanyinya”–yang kita tahu dari tulisan sang antropolog Amerika penulis “Agama Jawa” (Geertz) ini keluar kalimat dan konseptualitas yang menyakitkan, bahwa “Sunan Kalijaga” adalah personifikasi kelanjutan daya kultural pra Islam Jawa, seorang eksemplar sosok representasi tradisi yogi kuno yang menyambungkan cara pandang Jawa dengan masa lalu, yang sayangnya pernyataannya masih kita amini dengan kukuh (Islam Observed: 1971, The Diary of Javanese Muslim: 1985).

Ia, Ricklefs, dalam analisis pemilahannya, saya andaikan, berangkat dari fondasi Islam “murni” yang ia khayalkan menjadi dasar penilaian untuk menyaring apa “yang ortodoks” dan “apa yang heterodoks” (layaknya struktur ortodoksi/heterodoksi dalam kerangka agama Katholik. Dan hingga kini masih menjadi dasar analisis jamak para sarjana kita dalam memetakan keber-Islaman Jawa lama). Yakni sebuah usaha untuk memperbarui (juga sebenarnya sekaligus masih mengafirmasi) di satu sisi pemilahan tiga varian “The Religion of Java” sebagaimana dilakukan Geertz, namun di sisi lain justeru masih memendam dan menyimpan praasumsi terkait “ketidakmurnian” ke-Islaman masyarakat Jawa dengan memakai standar penilaian “Islam murni” hari ini. Ricklefs mengaitkan praktik terkait kepercayaan dan penerimaan kekuatan daya rohani atas tempat keramat, petilasan, dan makam wingit, juga penghormatan kepada para tokoh gaib ataupun suci lokal seperti “Sunan Lawu, Nyai Rara Kidul, maupun Kyai Slamet (dll), juga termasuk praktik “ngalap berkah” di petilasan para wali-wali tanah Jawi, dll, sebagai satu ciri campuran atau perpaduan mistiknya orang Jawa. Saya membayangkan tamsil sederhananya, ia, Ricklefs, mengimajikan secara naive dan polos, sebagai praandaian imajinatifnya, bahwa kata “dewi” dalam sematan “dewi rara kidul” punya konotasi kedewaan atau bahkan Tuhan (baca: kata Dewa dan Dewi)–padahal tak pernah ada dalam preseden sejarah orang Jawa seawam apapun membayangkan sosok Rara Kidul sebagai Dewa atau Tuhan. Dan oleh karena itu praktik pengkeramatan makam dan tokoh-tokoh suci lokal ini dianggap sebagai nilai yang membuat ke-Islamaan masyarakat Jawa ini tertolak keabsahannya, yang darinya mendapat sematan peyoratif “tidak murni” atau “sinkretik” (atau dikatakan secara lebih halus dengan terma synthesis), yang jika kita telaah, sebenarnya merupakan praktik jamak di berbagai belahan dunia Islam di masa tersebut sebagaimana dikatakan Marshal Hodgson dalam “The Venture Islam” (1974), yakni sebelum praktik-praktik tersebut tersapu bersih oleh standar dakwah & gerakan Salafi-Wahabi saat menyebar ke dunia muslim di akhir abad 20.

Namun begitu, sebelum me-review pendapat para sarjana beserta temuan kotemporernya seperti ditulis Ricklefs, Woodwards, maupun Nancy K. Florida seperti telah saya singgung di atas, saya mendapati cerita dan narasi lain, yakni narasi kesarjanaan kolonial atau bahkan hingga masa paska kolonilal ini, yang benar-benar ingin menggusur kontribusi kemenyatuan Islam dan kejawaan yang di waktu itu nyaris mengombang-ambingkan pergulatan “eksistensial” pencarian identitas ke-Indonesiaan, ke-Jawaan, juga ke-Islaman saya sendiri ihwal kedirian yang tertanam dalam kontruks sosial-kebudayaan masyarakat sepesifik dan partikular. Usaha saya untuk mengenali kedirian diri saya sendiri, dalam pengertian mendasarnya, yakni berusaha mengenali arah sangkan-paran kehidupan dalam sebuah perjalanan atau suluk, atau lelaku (baca: sufisme Jawa), yang akan menggeret para pe-laku yang bisa mengantarkan pengenalan realitas hakiki ketuhanan–sungguh benar-benar membentur tembok besar tradisi kesarjanaan kolonial (juga paskalonial) yang berusaha secara keras memisahkan keislaman dan kejawaan yang merupakan fakta menubuh yang saya alami sejak di masa kecil maupun belakangan sekaligus mencipta dampak asing dan mengasingkan terhadap diri dalam satu tarikan nafas.

Usaha saya untuk mengenali kedirian diri saya sendiri, dalam pengertian mendasarnya, yakni berusaha mengenali arah sangkan-paran kehidupan dalam sebuah perjalanan atau suluk, atau lelaku (baca: sufisme Jawa), yang akan menggeret para pe-laku yang bisa mengantarkan pengenalan realitas hakiki ketuhanan–sungguh benar-benar membentur tembok besar tradisi kesarjanaan kolonial (juga paskalonial)

Berbekal tumpukan file yang menyesaki hard-disc eksternal yang saya miliki, saya mulai sedikit bisa meraba ihwal gambar besar, bagaimana misalnya usaha “struktural” dan “sistematis” yang dilakukan penjajah dalam pendirian lembaga javanologi bernama Institut Bahasa dan Budaya Jawa/Het Isntituut voor de Javaansche Taal ( yang memang dibentuk tepat setelah berakhirnya perang Jawa dari sejak tahun1832)–yakni sebuah lembaga pengkajiaan Jawa pertama yang selanjutnya akan menjadi cikal bakal yang mengikuti terbentuknya pendirian Delf University dan Leiden University di Belanda–yang berusaha dengan keras menggariskan tata kebudayaan Jawa baru terutama bagi priyayi Jawa yang telah tunduk, yakni–mengikuti Nancy K. Florida, sebuah kebudayaan Jawa “asli” dan “essensial” yang di belakang hari akan dipandang sebagai bernilai adiluhung. Lembaga ini hendak mencipta, memonumentalisaikan dalam batas melingkar benteng Istana keraton Surakarta dan untuk para bangsawannya yang telah dalam kendali tadi, apa yang disebut “cagar kebudayaan adiluhung” Jawa, dan dengan segera mengembangkan, mendefinisikan, (dan sekaligus menggariskan) kebudayaan Jawa yang terpisah (dan memisahkan) diri dan berseberangan dengan Islam. Karena bagi para sarjana dan elit-elit penjajah, selama Islam masih menjadi identitas yang terhayati sebagai penyatu identitas kejawaan, kekuasaan kolonial tidak akan pernah tenang dan langgeng.  

Trauma besar perang Dipanegara (1825-1830) dengan panji “perang Sabil” dan panji Islam tradisionalnya, semakin mempertajam kesadaran akan rumusan “Jawa essensial” ini, yang seturut perkembangannya juga melecut para sarjana dan indolog Belanda untuk mengimajikan akar “kejawaan essensial” yang belum terintrusi “agama padang pasir” (Islam) ini, yakni dengan secara intensif mencari sumber naskah dan menggali temuan-temuan filologis yang mengarah ke masa lalu Jawa di masa Hindu-Budhanya yang begitu jauh–yang sebenarnya telah dilupakan orang Jawa dalam rentang abad yang begitu panjang, atau dalam kasus lain setidaknya narasi sejarah masa lalu yang telah digubah di era Yasadipura tersebut, sejatinya telah mendapat bingkai strukturasi pandangan dunia baru yang telah tertransformasi oleh struktur pandangan dunia agama baru.

Sehingga sungguh tak mengherankan jika misalnya, naskah-naskah Jawi kuna, seperti naskah Kakawin Negara Kertagama, justru ditemukan JLA Brandes di Lombok tahun 1894 (konon malah diagungkan para elit kerajaan Lombok sebagai naskah pusaka Islam (?)), atau Pararaton yang ditemukan di Bali (1897) justru dikaji secara intensif malah di penghujung akhir abad 19 maupun di awal abad 20. Atau seturut penemuan bangunan-bangunan kuna candi-candi dan petilasan penting, yang memang secara intensif telah sebelumnya marak dikerjakan, maupun juga termasuk penemuan reruntuhan Borobudur yang lebih dulu digerakkan oleh tim Thomas Stanford Raffles, beserta nama “Borobudur”-nya itu yang untuk pertama kalinya justru baru kita temui di karya “History of Java”-nya di awal abad 19.

Buku yang Anda pegang ini barangkali berangkat dari sejenis keperihatinan dan (juga) rekam jejak sebuah “perjalanan”. Tepatnya sebenarnya jejak perjalanan saya sendiri.

Para javanalog dan indolog membayangkan, dengan cara menemukan serta mengintensifkan temuan arkeologis dan filologis Jawa di masa lalu Hindu-Budhanya yang begitu jauh– setelah sebelumnya merasa kecewa dengan naskah-naskah gubahan Jawa modern di rentang masa Yasadipura I hingga pujangga panutup Ranggawarsita, yang dulu oleh para sarjana kolonial dan javanolog, yang khususnya oleh sejarawan T.H. Pigeaud (1967) dalam karya “Literature of Java”-nya dielu-elukan sebagai masa “reneisan kesasteraan Jawa” karena perannya mentransimikan gubahan kakawin lama ke masa abad 18 & 19 Surakarta, dan segera oleh para sarjana kolonial akan ditinggalkan karena dipandang berbaur dengan skema “intrusi” cerita dan pandangan Islam. Dengan usaha ini para sarjana kolonial berharap para elit bangsawan Jawa bisa terpaut kembali dengan masa lalu jauhnya, yang oleh penjajah dibayangkan sebagai kejawaan yang masih “tenang” dan “terbebas” dari intrusi semangat revolusioner Islam. Yakni sebuah kejawaan “murni”, “damai”, alias kejawaan “jinak” yang diharapkan tunduk pada supremasi kolonial.

Politik domestikasi (penjinakan) para priyayi dan elit keraton Surakarta ini, saya bayangkan mencapai puncak supremasinya dan mencapai titik keberhasilannya saat berlangsungnya pemberlakuan politik tanam paksa (coersed drudgery) yang sering dikenal dengan nama cultuur-stelsel di tahun 1830-1870. Dan nyaris politik pengaturan kendali birokrasi dan administrasi di vorstenlanden maupun para bupati di seluruh wilayah mancanagari saat itu telah berada secara utuh dalam kendali kolonial. Juga termasuk kebijakan pembentukan lembaga pengadilan-pengadilan hukum yang berusaha memisah dan memilah antara kasus pidana dan rad agama yang sebelumnya menyatu, mengatur kendali administrasi birokasi dari mulai penghulu pusat hingga modin atau kaum di tingkat desa dalam struktur administrasi kolonial yang mulai bergaji gulden, juga hingga pengerahan birokrasi adipati (bupati) dalam kendali  kolonial sebagai bumper kekuasaan untuk kesuksesan penyelenggaraan cultuur stelsel hingga tingkat lurah di desa-desa sepanjang pulau.

Saya membayangkan, hirarki sosial yang terbentuk secara alamiah dalam struktur sosial tradisional lama seperti golongan kawula alit, petani, bangsawan, pedagang, santri, dll, akan segera berubah secara mendasar seiring perubahan yang mengikuti, yakni terutama dalam konteks relasinya dengan kekuasaan atau tepatnya pada perubahan kekuasaan baru: dari keraton ke kolonialis Belanda. Dalam lanskap pengerukan sumber daya alam dalam proyek penanaman “tanaman-tanaman ekspor” yang diwajibkan oleh kolonial pada tiap wilayah di sekujur pulau Jawa ini, benar-benar akan menggeret hirarki maupun strata sosial seperti (1) petani, (2) pedagang, dan (3) bangsawan elit keraton akan secara vis-avis berdiri bertentangan, saling menegasi, menyangkal, dan sekaligus saling “konfrontatif”, juga pada akhirnya saling mengutub, yang segera akan meretakkan sekaligus merobohkan sendi-sendi integrasi sosial masyarakat Jawa lama yang sebelumnya terbangun.

Politik tanam paksa ini, yang barangkali konsekuensinya baru kita rasakan dan lihat belakangan, akan membenturkan strata sosial masyarakat, yakni saat (1) para bangsawan keraton dari mulai regenten (bupati) hingga pejabat desa–dimana dari sistem ini para pemimpin pusat dan lokal mendapat share prosentase keuntungan dari politik tanam–akan dijadikan (sekaligus tetap dipertahankan struktur lamanya) sebagai para pemimpin legitimate di bawah kendali administrasi kolonial untuk menunjang kesuksesan penyelenggaraan politik eksploitasi tanam, dan oleh karenanya akan semakin hari menjadikan kelompok bangsawan ini terpisah dan terbelah dari solidaritas rakyat atau kawulanya (yakni, Priyayi), maupun (2) kelompok mayoritas petani dan kawula alit yang menjadi subjek eksploitasi yang semakin kehilangan naungan dan perlindungan dari pemimpin aristokrat maupun pemimpin agamanya dalam penyelenggaran sistem tanam yang menjadikan kelompok alit ini tersuruk dalam kemelaratan (yakni, abangan), (3) kelompok pedagang Islam dan Haji kelas menengah, terutama di sepanjang pesisir pantai, yang sebenarnya relatif terbebas dari sistem ini, melalui keterlibatan ekonomis dan politiknya dalam menyuplai ketersediaan cash maney, untuk sistem denda, serah, dan ganti pembayaran dalam sistem tanam, persis layaknya peran yang dimainkan oleh para saudagar China, Arab, dan India (yakni, putihan). Maupun kelompok pemimpin agama tradisional, yang sebagian telah terserap maupun mengalami penyesuaian dan perubahan praktik beragama pada jalur “doktrin agama yang sedang bergeser dan berubah” di Tanah Arab–setelah sebelumnya mata rantai keber-Islaman mereka lambat laun terputus (atau bahkan diputus) dari jalur keterhubungannya dengan para aristokrat keraton (by design oleh otoritas Belanda) sejak kekalahan perang Dipanegara di tahun 1825-1830 (yakni, putihan, santri).

Gamblang dalam imaji saya, pada titik preseden ini, masyarakat Jawa beserta elemen strata sosialnya benar-benar disorong dalam pembelahan dan pengkutuban (baca: Polarizing Javanese Society), yang akan segera memecah, dan menciptakan gerak saling berbenturan (dan membenturkan) antar kelompok dalam bangun keutuhan masyarakat Jawa, yakni dalam konteks relasinya dengan perubahan kontelasi kekuasaan Jawa. Kita tahu paska perang, penguasa Belanda beserta jajaran para “sarjana” dan “javanici”-nya berusaha mendayagunakan peneletian intensif atas naskah-naskah keraton, bahkan dengan cara merampasnya, untuk mengkhayalkan dan mendefinisikan secara baru, alih-alih daripada menganilisis keanekaragaman budaya ini di tiap wilayahnya, yakni sebuah tata-pengetahuan dan kebudayaan Jawa dalam bingkai “Jawa asli”–dan ini berarti akan menggusur peran Islam–yang akan dipersembahkan (sekaligus mereka bayangkan sudah seharusnya menjadi) milik ekslusif para priyayi yang telah tunduk. Para priyayi akan semakin terserap dengan kebudayaan dan gaya hidup baru, berikut kenyamanan yang diberikan oleh penguasa baru Eropa (alias telah terbelandakan), yang kian hari akan ikut mempercepat ketercerabutan mereka dengan universum pandangan Islam tradisional mereka. Juga termasuk peran sumbangan penyelidikan intensif arkeologi dan filologi yang dikerjakan para javanologi kolonial yang mulai mengarahkan penelitiannya ke masa lalu Hindhu Budha di masa Majapahait dan sebelumnya, yang dalam beberapa takaran tertentu yang akan memberi insight (atau tepatnya juga menggeser) ketersambungan Jawa yang diandaikan akan dibatinkan untuk para bangsawan keraton taklukannya ini, yakni dengan masa lalu pra Islamnya yang begitu jauh.

Kita tahu paska perang, penguasa Belanda beserta jajaran para “sarjana” dan “javanici”-nya berusaha mendayagunakan peneletian intensif atas naskah-naskah keraton, bahkan dengan cara merampasnya, untuk mengkhayalkan dan mendefinisikan secara baru, alih-alih daripada menganilisis keanekaragaman budaya ini di tiap wilayahnya, yakni sebuah tata-pengetahuan dan kebudayaan Jawa dalam bingkai “Jawa asli”–dan ini berarti akan menggusur peran Islam–yang akan dipersembahkan (sekaligus mereka bayangkan sudah seharusnya menjadi) milik ekslusif para priyayi yang telah tunduk

Saya menduga, ketercerabutan ini selanjutnya di masa awal abad 20 akan diperparah dengan bergabungnya para priyayi keraton maupun priyayi rendahan di berbagai wilayah dalam memasuki sistem pendidikan modern yang diintrodusir Belanda di masa Politik Etis (1901), yang secara tak sadar, akan benar-benar memutus struktur bangun pandangan dunia lama maupun epistemologi sistem pendidikan tradisional Islam esoteriknya (pesantren), dan oleh karenanya akan membuat mereka terserap dan terintegrasi secara umum ke dalam kebudayaan Belanda (kamilandanen). Bahkan melalui bantuan penelitian filologis dan arkeologis sarjana Belanda yang semakin hari kian intensif, para priyayi akan berhasil menautkan diri dengan masa lalu Hindu-Budhanya (sebagian) dalam payung gerakan Theosophy yang disebarkan oleh terpelajar Eropa. Yang lebih mencengangkan, di level akar rumput, seiring tingkat keterputusan maupun keretakan masyarakat ini, mulai akan ditemukan menjamurnya “aliran kebatinan” yang sebenarnya merupakan fenomena baru sejak awal 1930 hingga 1960-an, yang lambat laun “secara resmi” memisahkan dari bangun struktur pandangan dunia Islam seperti ditanamkan para wali tanah Jawi sejak masa islamisasi.

Penanda keretakan maupun pengkutuban masyarakat sebagai dampak dari sebut saja, baik by design atau (sebagian lain) tidak, dari politik kebudayaan maupun pengetahuan kolonial ini, adalah munculnya istilah “abangan” yang sebenarnya baru muncul di periode akhir abad 19 (sekira 1870an, menurut Ricklefs), alias ia merupakan fenomena baru. Setidakanya istilah ini, “abangan”, yang mengacu pada defenisi baru sebagai kelompok masyarakat yang punya preferensi berbeda dan telah terpisah terkait pandangan keagamaan, yang membedakan dirinya dari preferensi sekelompok lain dalam satu bangun keagamaan dalam Islam Jawa, semakin mengutub dan saling menegasi dengan kelompok lain sesama muslim Jawa. Fakta penguatan dan pengutuban preferensi keagamaan ini juga dipicu, selain juga dampak lanjutan disintregasi yang diciptakan sebagai rentetan dampak penerapan politik tanam paksa maupun pemutusan mata rantai keterhubungan pendidikan tradional Islam dengan keraton sejak kekalahan perang Jawa, juga disebabkan perubahan orientasi yang terbarukan di “pusat Islam” di tanah Arab yang mengubah pribumi muslim karena terpengaruh ide-ide reformisme Islam yang mulai menyebar ke seluruh dunia Muslim. Hal ini berarti para jemaah haji setelah kepulangannya dari tanah haram, mulai akan mempertanyakan corak praktik keberagamaaan saudara muslim tradisionalnya, dan oleh karenanya dalam takaran tertentu semakin mendesakkan praktik keagamaan baru yang sekaligus turut memeperuncing pengutuban yang telah sejak semula terdeteksi. Muslim Jawa, seperti halnya Ranggawarsita dengan corak pengetahuan mistisisme Islam tradisonalnya semakin tak lagi mempunyai ruang artikulasinya, dan oleh karenanya akan semakin tersuruk ke pinggir sejarah.

Polarisasi masyarakat Jawa semakin tak terhindarkan. Seluruh spektrum pergerakan nasional di awal abad 20an, seperti Jawi Kanda, Budi Utama, Serikat Islam, baik yang merah maupun yang hijau, juga Jong Java, dll, serta bahkan termasuk ormas Muhammadiyyah, Nahdlatul Ulama, dan Taman Siswa, hingga (pada tahun selanjutnya, sebelum dan sesudah kemerdekaan) seperti Murba, PSSI, PNI, PSI, dam lain-lain benar-benar mencerminakan dan merepresentasikan pengkutuban dan pembelahan “preferensi keagamaan” yang sebenarnya telah berlangsung merangkak dari abad sebelumnya. Hingga titik ini saya menjadi mafhum, dan bisa memaklumi kegelisahan seorang Kartini yang merasa di satu sisi sebagai seorang muslim namun tak pernah mengenal kitab sucinya (yang kemudian mendorongnya berguru pada Kiai Saleh Darat di Semarang), maupun polemik terbitan Suluk Gatholoco juga “olok-olok” di majalah Djawi Hisworo (1918) yang memuat “penghinaan” dengan konten subversifnya atas Islam, yang sempat memicu ketegangan dan kemarahan muslim dalam tubuh Serikat Islam, maupun rumor terkait Jawa yang akan segera beralih kembali ke agama “Budhi” seperti disabdakan Sabda Palon Nayagenggong yang mengemuka dan menggema untuk pertama kalinya di awal abad. Saya rasa dalam konteks keterbelahan seperti itulah, sebut saja “politik pecah belah kolonial” itu akhirnya menemukan preseden awal perbenturannya antar sesama warga “bangsa” sendiri.

Hingga titik ini saya menjadi mafhum, dan bisa memaklumi kegelisahan seorang Kartini yang merasa di satu sisi sebagai seorang muslim namun tak pernah mengenal kitab sucinya (yang kemudian mendorongnya berguru pada Kiai Saleh Darat di Semarang), maupun polemik terbitan Suluk Gatholoco juga “olok-olok” di majalah Djawi Hisworo (1918) yang memuat “penghinaan” dengan konten subversifnya atas Islam, yang sempat memicu ketegangan dan kemarahan muslim dalam tubuh Serikat Islam, maupun rumor terkait Jawa yang akan segera beralih kembali ke agama “Budhi” seperti disabdakan Sabda Palon Nayagenggong yang mengemuka dan menggema untuk pertama kalinya di awal abad.

Hingga bangsa ini menyongsong kemerdekaan 1945 juga penyelenggaraan pemilu pertama di tahun 1955, polarisasi dan keterbelahan masyarakat warisan kolonial ini, semakin menyeret pengkutuban “ideologis” yang mengumpul dalam partai politik: nasionalis, agama, komunis, dll yang muncul di era itu. Titik integrasi yang menyatukan sebuah masyarakat, yang di masa dahulu selalu berarti sebuah pandangan dunia agama tertentu– karena belum muncul ideologi tandingan seperti demokrasi, nasionalisme, sosialisme, negara bangsa, kapitalisme, komunisme, dll–akhirnya tak lagi kuat menampung daya rengkuhnya. Di tahun 1965-66, pengkutuban masyarakat yang tercipta awal di masa-masa kolonial, yang sejatinya pada awalnya merupakan polarisasi preferensi keagamaan yang kemudian tergeret pada politik pengerahan massa partai politik yang saling berkonfrontasi secara idedologi. Di masa itu tragedi kemanusiaan pecah, bangun penyatu lama bernama “Jawa-Islam” terkoyak. Dan sesama anak bangsa saling membunuh dalam sebuah peristiwa yang sering disebut genosida dalam peristiwa G30/S yang terekam di buku-buku sejarah kita. Dan kita hingga hari ini masih menggendong beban sejarah besar ini, yang barangkali pada dan dari titik itu, banyak simpul masalah kebangsaan bisa kita atasi dan pecahkan.

Di tahun 1965-66, pengkutuban masyarakat yang tercipta awal di masa-masa kolonial, yang sejatinya pada awalnya merupakan polarisasi preferensi keagamaan yang kemudian tergeret pada politik pengerahan massa partai politik yang saling berkonfrontasi secara idedologi. Di masa itu tragedi kemanusiaan pecah, bangun penyatu lama bernama “Jawa-Islam” terkoyak.

***

Saya sengaja memilih sedikit berlarat mengurai proses ekslusi Islam atas proses penubuhannnya dalam masyarakat Jawa di awal pengantar ini bukan tanpa alasan. Selain dikarenakan oleh pola penceritaan tulisan (dari sudut pergulatan personal) yang diharapkan bisa lebih intim, dekat, dan bahkan sedikit emosional, yang bisa menggeret para pembaca untuk terlibat maupun ikut menceburkan diri dalam kompleksitas diskursus ini, juga sebenarnya dinafasi ajakan pembayangan melalui penelaahan juga pembatinan dan pergulatan historis sejenis (dalam kasus saya, Jawa) yang sebenarnya juga berlangsung di banyak tempat di wilayah kepulauan yang hari ini kita namakan Indonesia. Saya membayangkan, di banyak tempat di wilayah Nusantara ataupun Indonesia (dan ini ditunjukkan oleh tersebarnya kesultanan Islam di seluruh penjuru kepulauan ini), Islam, yakni sebelum kolonialisme mencengkram, bagaimanapun telah menjadi perekat “tradisional” (atau katakanlah proto-nasionalisme persatuan awal dalam gradasi tertentu), yang menghubungkan semacam kesamaan maupun irisan khasanah kebudayaan dan peradaban Nusantara, yang akan (dan telah) sedikit banyak merajut keindonesiaan kita hari ini, yakni tentu dengan sekaligus diikuti penelaahan pada pelik penerjemahan lokal ajaran agama ini di tiap wilayahnya yang beragam. Bahkan di masa itu, Islam dalam tingkatan tertentu, telah menjadi identitas kesukuan yang tak terpisah dan terpilah lagi seperti kita lihat pada suku Minang, Sunda, Madura, Melayu, Aceh, Makasar, Banjar, Bugis, Lombok, dan masih banyak lainnnya. 

Karena bagaimanapun, seperti saya telah singgung secara tersirat, usaha menyangkal realitas penubuhan Islam di Jawa ini bukan untuk pertama menonjolkan agama ini dan meminggirkan yang lain, namun semata langkah jujur dalam menelaah sejarah dan menerobos tembok besar kesarjanaan kolonial (juga paska-kolonial) yang barangkali akan berguna dalam merumuskan arah dan titik pijak perjalanan sebuah bangsa. Karena seperti yang telah saya paparkan dan singgung di buku saya, “Saya, Jawa, dan Islam” (Tanda Baca, akhir 2019), memang sangat diperlukan sebuah pembacaan kritis baru atas narasi sejarah kita terutama berkait Islam, karena merupakan realitas mayoritas terberi yang bagaimanapun punya sumbangsih besar dalam membentuk keber-agamaan mayoritas ke-Indonesiaan kita (dan tentu saja juga harus diikuti pembacaan sejenis atas agama-agama lain yang akan membantu pembacaan relitas keragaman yang mengukuhkan). Dalam konteks demokrasi yang secara faktual mengarah kepada kecenderungan “liberal” yang kita akrabi hari ini, yakni secara praktis memang punya kecenderungan ingin meminggirkan wacana agama semata di ruang privatnya, mungkin rasa-rasanya kita perlu memberi ruang insight ini: bahwa sekeras apapun usaha untuk memecahkan atau memberi arah dan solusi baru atas problem keindonesiaan kita, jika tanpa usaha dan pembacaan atas penanganan  “agama” ini, sungguh akan dibayangi keretakan dan kegagalannya. Karena “agama ini” kian hari justu merupakan realitas yang terus saja meningkat dan tak mungkin lagi dipinggirkan dan diabaikan. Dan dari jalan ini barangkali bisa menjadi titik penting untuk menggali rumusan dan sodoran tawaran solutif untuk membaca ke-Indonesiaan, dimana memang dari sejak dini senyatanya, negeri ini, seturut dengan nilai keagamaan tersebut oleh karenanya memproklamasikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai salah satu sila yang mendasari bangun filosofi dan dasar bernegaranya.

Karena bagaimanapun, seperti saya telah singgung secara tersirat, usaha menyangkal realitas penubuhan Islam di Jawa ini bukan untuk pertama menonjolkan agama ini dan meminggirkan yang lain, namun semata langkah jujur dalam menelaah sejarah dan menerobos tembok besar kesarjanaan kolonial (juga paska-kolonial) yang barangkali akan berguna dalam merumuskan arah dan titik pijak perjalanan sebuah bangsa.

Dan pada aras diskursus dan kegelisahan seperti inilah, yakni sebuah titik permulaan yang menggeret ke semesta kegelisahan dan pergulatan juga “perjalanan” yang mengombang-ambingkan diri seperti telah disinggung, Saya kemudian memutuskan untuk menyesap dan memulai berburu manuskrip dan naskah lama, utamanya naskah serat, babad, suluk, dan wirid, yang memang terdapat dalam kesusateraan Jawa, dan segera mulai mengakrabi huruf dan bahasanya, mengenali dan sekaligus memetakan khasanah sejarah dan keilmuannya, yang darinya saya berharap bisa merekontruksi secara baru narasi keilmuan dan sejarahnya yang terbebas dari bias-bias sejarah kolonial, yang dalam kasus saya, justru menutupi dan merintangi arah perjalanan dalam mengenali kedirian yang mengutuhkan.

Bahkan dalam kasus pergulatan sendiri, saya mulai pelan-pelan bisa menjumput khasanah kearifan baik yang masih hidup maupun terpendam dalam timbunan manuskrip kuno masyarakat saya, yang bukan saja akan membantu mengenali akar yang menyangga bangun keindonesiaan, melainkan secercah “makna” yang meneguhkan diri dalam sebentuk “derma” yang bisa mengutuhkan diri. Sebagai tamsil ringan, saya mulai tersapa pengertian bahwa konsep kemanusiaan dan prinsip ketuhanan, yang dalam konteks pergulatan kebudayaan Eropa sering dipandang sebagai dua nilai yang berdiri saling vis-avis dan saling menegasi seperti terekam dalam proses sekularisasi politik, seni, dan etika (aufklarung) yang mematang di masa-masa awal pembentukan negara bangsa masa modern, justru dalam kasus masyarakat kita merupakan dua prinsip yang saling mengandaikan.

Prinsip berkemanusiaan, yang dalam andaian nalar tradisi lama juga berarti bermakna proses berkebudayaan, justru menemukan pemaknaan mendasarnya dalam pengandaian yang menyatu dengan prinsip berketuhanan. Artinnya dilema pertentangan HAM internasional (prinsip etis kemanusiaan) dan nilai-nilai agama yang kita temui akhir-akhir ini justeru seringkali saling berseberangan dan menyangggah, pada nalar tradisinya merupakan prinsip yang tak terpisah dan saling mengandaikan. Dulu, kata “budaya” atau dalam istilah Serat Wedhatama misalnya disebut “budya” misalnya, adalah merupakan sebentuk olah budi kemanusiaan (amasah mesu budi) atau sepadan dengan gagasan hari ini tentang “mendayakan budi” kemanusiaan kita. “Budi” di sini tidak semata merujuk fakultas “akal” semata, melainkan mencakup seluruh fakultas ruhani dalam diri manusia berupa (1) “raga” atau “karsa”, (2) “cipta”, (3) “jiwa”, dan (4) “rasa”. Usaha manusia untuk mengolah keempat fakultas kemanusiaan ini, atau mendayakan budi ini (baca: budi daya, budaya) adalah usaha untuk mengutuhkan proses berkemanusiaan seseorang itu sendiri. Artinya proses berkebudayaan adalah proses berkemanusiaan itu sendiri.

Namun begitu, proses berkemanusiaan pada konsep lamanya masih mengaitkan dan mendasarkan prinsipnya pada konsep ketuhanan, atau bahkan masih berbicara dalam konteks penerjemahan nilai ajaran agama tertentu. Artinya, jika kita bersepakat pada defenisi sederhana bahwa kebudayaan merupakan sebuah proses maupun hasil olah (1) cipta, (2) karsa, (3) rasa manusia sebagaimana diintrosudir oleh Koentjaraningrat–dalam skema Wedhatama masih mengikutkan fakultas (4) Jiwa–kebudayaan justru dipandang sebagai laku mengutuhkan proses berkemanusiaan sesuai seruan ajaran agama tertentu, dan oleh karenanya proses tersebut masih bersangkut dengan pengandaian ontologi manusia yang bersifat ruhani. Karena, di hari ini rasa-rasanya, kebudayaan, seturut padanan istilahnya “cultuur” atau “culture” yang lebih dekat dengan arti “bercocok tanam” yang sebenarnya tidak terlalu sepadan dengan istilah “budaya”–benar-benar hanya mengarah pada aktivitas hasil cipta yang profan, material, yang tak tersambung dengan visi kerohanian, ketuhanan, maupun alih-alih visi kehidupan akhir kelak seperti diyakini dalam ajaran agama-agama kita.

Dalam uraian Wedhatama, proses olah berkebudayaan, atau mendayakan budi kemanusiaan ini (cipta, karsa/raga, jiwa, dan rasa) adalah semacam laku mengolah potensi “ruhani” manusia, yang berangkat dari andaian bahwa yang ruhani dalam diri kemanusiaan itu seseorang tersambung dengan realitas terdalam ketuhanannya. Makanya dalam kasus pengandaian ontologi manusia ini, usaha mengolah dan menggali potensi diri ruhani ini disebut laku atau suluk–sebuah istilah sufisme yang diserap dalam perbendaharaan genre tembang kesusateraan Jawa (macapat) maupun terserap dalam istilah pewayangan (wayang kulit purwa), maupun sebenarnya sudah terserap dalam perbendaharaan istilah Indonesia secara umum–yakni sebuah laku menyempurnakan kedirian kemanusiaan seseorang (insan kamil, janma utama) dalam rangka penerjemahaan dorongan “fitrah” ilahi yang terberi dan ternanam secara inhern dalam diri manusia berupa dorongan “kebaikan”, “keindahan”, dan “kebenaran”.

Laku penyempurnaan kemanusiaan ini berlangsung secara bertahap dalam sebuah jenjang gradasi menaik sesuai rentang masa perjalananan hidup seseorang, yakni persis seperti terekam dalam kandungan arti harfiah kata “suluk” yang memang memiliki arti “perjalanan” “lelaku” “lakon”, “mlaku” atau “laku” kehidupan manusia dari semenjak dari dia berada dalam kandungan (maskumambang) hingga maut menjempunya (Pucung) dalam bingkai pandangan dunia lama terkait asal dan tujuan kehidupan manusia (sangkan paraning dumadi/Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, asal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan).

Oleh karenanya laku berkebudayaan (kebudayaan) ini masih berada dalam galur olah ruhani (baca: lelaku atau olah spiritual dalam bahasa Jawanya) untuk menuju keutuhan kemanusiaan dalam bingkai penerjemahannya terkait aktualisasi dorongan “lurus” yang diafirmasi oleh ajaran kebenaran “universal” agama dalam konteks pergulatan kemanusiaan yang lebih specifik, khusus, dan partikular sebuah masyarakat atau bangsa tertentu, yang oleh karenanya tidak semata menghasilkan produk nilai “baik-buruk” yang menghakimi, melainkan juga “kearifan” (ma’rifat), “kebijaksanaan” “hikmat”, dan “adat-istiadat” (‘urf) yang beragam, yang sampai hari ini senyatanya masih menyangga bangun integrasi masyarakat Indonesia secara umum.

Sehingga tak mengherankan jika term laku berkebudayaan, dalam nalar lama Serat Wedhatama misalnya, masih berbicara dalam konteks penerjemahan ajaran agama tertentu. Bahkan untuk menamai juga mengelaborasi olah mengutuhkan potensi kemanusiaan alias olah (1) raga/karsa, (2) cipta, (3) jiwa, dan (4) rasa manusia ini, Serat ini masih berbicara persis seperti padanan tahapan dalam jenjang ber-suluk dalam tradisi spiritualitas Islam, yakni (1) olah Karsa/Raga (Syari’at), sebuah laku mengolah disiplin tubuh (raga) juga potensi kehendak (karsa) atau dorongan natural, maupun sekaligus mendisiplinkan kecenderungan nafsu egotisme yang merusak diri dan kebersamaan melalui panduan awal “hitam-putih” dan “baik-buruk”, serta kemudian (2) mengolah potensi dan menajamkan cipta akal pikiran (Tarikat) untuk mengenali “baik-buruk” dalam dimensi kebenaran yang lebih tinggi beserta “reason” yang mendasarinya, atau termasuk juga di dalamnya eksplorasi batas imajinasi, analisis, abstraksi, refleksi, inovasi, terkait kebenaran yang sebenarnya telah terberi secara inhern pada manusia, (3) juga mengorientasikan terus-menerus kemurnian tekad, niat, dan jiwa kita (Hakikat) untuk terus bersetia pada nilai-nilai “lurus” yang akan menjadi pandu arah kiblat “nilai-nilai ketuhanan” yang bersemayam dalam diri kita (kemanusiaan luhur), yang seringnya justru kalah, larut, dan hanyut dalam godaan “pamrih”, egotisme diri, nafsu, serta gemerlap capaian material kebudayaan, yang kadang menggusur arah perkembangan nilai kemanusian dan kehidupan yang lebih hakiki, serta terakhir (4) melatih potensi rasa hingga titik terdalamnya (Ma’rifat) yang akan meningkatkan tahapan kebenaran dan kebaikan hidup ke titik paling puncak dan sublim estetiknya yang akan menyuburkan sifat kasih, tenggang rasa, empati, rasa sama, rasa-satu, keindahan, maupun keluruhan kemanusiaan secara utuh.

Dari visi pandangan dunia lama ini, lamat-lamat saya bisa merangkai bahwa proses berkebudayaan atau proses berkemanusiaan itu sendiri adalah usaha penerjemahan nilai ketuhanan yang sayangnya dua hal ini (budaya vs agama) sering diperhadap-hadapkan secara biner di hari ini. Dan dari skema ini pula saya mulai sedikit mengerti kenapa misalnya prinsip kemanusiaan, seperti tertera dalam falsafah bangsa ini: Pancasila, selalu harus disandarkan pada prinsip ketuhanan, karena memang spirit penerjemahan kebenaran universal sebuah agama tertentu, harus (dan selalu harus) membantu sebuah proses pergulatan dan laku berkemanusiaan sebuah masyarakat yang lebih spesifik sesuai tantangan khas, partikular, dan lokalnya (Ketuhanan). Yakni sebuah prinsip nilai ketuhanan yang telah membantu “perjalanan” spesifik berkebudayaan dan sekaligus proses berkemanusiaan sebuah bangsa tertentu, alias telah membantu dan menelurkan budi utama, akhlak, dan adab, yang tidak lagi mengekslusi, menggusur, dan menafikan agama-agama lain dalam payung kebersamaan yang menyatukan (Kemanusiaan dan Persatuan). Atau meminjam istilah Soekarno, sebuah “ketuhanan yang berkebudayaan”: ketuhanan yang tak lagi menyalahkan “tuhan-tuhan” agama yang lain. Yakni sebuah capaian ketuhanan yang tak lagi egoistis yang telah bisa melampaui horizon kebenaran syariat “baik-buruk”-nya yang masih terbatas, menuju kepada tata kebenaran dan kebersamaan, dan kerakyatan yang telah dipandu “hikmat-kebijaksanaan,” dan kearifan yang merangkul keragaman dalam sebuah permusyawaratan (Kerakyatan). Sehingga dari proses berkemanusiaan tersebut dengan sendirinya akan mengantarkan manusia Indonesia lebih bijaksana dalam mengenali serta mendudukkan capaian “kebenaran” tersebut sesuai porsi, tempat, dan kedudukannya dalam perjalanan kehidupan berbangsa, alias telah mengenali aspek ketidakadilan dalam pergulatan pikiran dan tindakan diri sendiri yang merupakan prasyarat utama dalam menciptakan tata-keadilan sosial yang menyeluruh bagi bangsa (Keadilan).

Atau meminjam istilah Soekarno, sebuah “ketuhanan yang berkebudayaan”: ketuhanan yang tak lagi menyalahkan “tuhan-tuhan” agama yang lain. Yakni sebuah capaian ketuhanan yang tak lagi egoistis yang telah bisa melampaui horizon kebenaran syariat “baik-buruk”-nya yang masih terbatas, menuju kepada tata kebenaran dan kebersamaan, dan kerakyatan yang telah dipandu “hikmat-kebijaksanaan,” dan kearifan yang merangkul keragaman dalam sebuah permusyawaratan (Kerakyatan).

***

Akhirnya, setelah masa pergulatan atau sebut saja “perjalanan” (suluk) yang mengombang-ambingkan diri, saya mulai bisa mengenali rintangan diskursus akademik atau tepatnya tembok diskursus kolonial yang dulu dicipta oleh kolonialisme dalam kepentingannya baik secara ekonomi, politik, dan kebudayaan, yang ingin melanggengkan supremasi kekuasaannya, yang sayangnya dalam gradasi tertentu, narasi diskursusnya masih dirawat dan diyakini kukuh oleh para sarjana paskalolonial hari ini. Bagi saya, mungkin rintangan tersebut, terletak pada narasi (struktur pandangan dunia) Islam yang berusaha dipinggirkan di pojok sejarah, yang di belakang hari kita tahu justru memecah keterbelahan integrasi bangsa yang terus saja membebani sejarah perjalanan bangsa ini.

Hingga sekira tahun 2011, saya akhirnya, beserta sekelumit teman, dengan segenap kemampuan dan tekad akhirnya memberanikan diri mendirikan lembaga kajian dan penerbitan buku yang kami namai, Ifada Initiatives, dengan tagline yang kami harap sedikit bisa menopang semangat dan mewadahi penerjemahan pergulatan kami, yakni “Khasanah Pemikiran Nusantara”. Buku-buku berkait tema kajian Indonesia atau bahkan khasanah pemikiran dan sejarah Nusantara, baik dari hasil pemikiran sarjana Indonesia maupun hasil terjemahan karya dan beberapa disertasi di universitas-universitas luar negeri yang memang senafas dengan “cara dan arah pembacaan” kami, akhirnya kami terbitkan satu-persatu dengan telaten dengan balutan kecintaan yang menggebu.

Puluhan judul sudah kami terbitkan. Namun sepertinya segenap tekad kukuh dan rasa cinta yang membalutinya ternyata tak terlalu cukup. Hingga di awal tahun 2015, saya ambruk kembali. Miss-management mulai menggorogoti sendi-sendi pengelolaan kelembagaan kami. Ifada Initiatives akhirnya terpaksa collapse dengan menanggung utang tak terbilang sedikit. Teman-teman yang menemani perjalanan kelembagaan ini, hengkang satu-per-satu, dan meninggalkan saya sendirian yang terpaksa harus menanggung kerugian yang membuat saya entah untuk sekian kali benar-benar tersuruk, yang bukan lagi dalam pengertian ruhaninya lagi melainkan dalam pengertian profan dan materialnya.

Saya sendiri mulai banyak merenung, dan berusaha sebisanya menegakkan diri. Hingga akhir 2017, alhamdulillah, saya bisa kembali memulihkan diri, serta menyeleseikan tanggungan-tanggungan utang-utang klien yang menunggu. Dan, sejak saat itu pula, saya mulai merintis diskusi ala kadarnya, dengan melibatkan teman-teman dekat yang saya rasa sedang bergulat atau menekuni isu tertentu yang bersangkut dan terpaut dengan Indonesia. Dari diskusi rutin ala kadarnya inilah, akhirnya saya bersama sekelumit teman mendirikan media kebudayaan bernama Langgar.co, yang karena pendalaman diskursus yang telah terbaharui, memutuskan untuk memperbaharui tagline dengan frase: “Suluk Kebudayaan Indonesia”. Media ini kami launching secara resmi di tanggal 18 September 2018, tepat di hari ulang tahun saya sendiri. Diskusi-diskusi yang telah berlangsung sebelumnya, kami pertahankan, meski saya sendiri bersama teman telah berpindah kantor di Piyungan Bantul. Media kecil Langgar.co yang pada awalnya kami niatkan sebagai ruang menampung tulisan dan pergulatan kami sendiri ihwal soal ke-Indonesiaan dan Islam, tak dinyana justru disambut deretan penulis-penulis prolifik dan terkenal yang membanjiri meja redaksi kami. Di waktu itu, rasa-rasanya saya sedang diterpa angin kegembiraan dan optimisme, setelah masa-masa tersuruk yang membenamkan diri.

Dan di tahun 2018 itulah kami mulai mengkaji dan menekuni dan naskah-naskah kuno, terutama naskah-naskah di era abad 16 hingga abad 19 akhir. Diskusi dengan tema “alternatif” dan berbeda, yang biasanya keluar dan luput dari bahasan akademisi kampus, sebagai misal terkait tema “pemikiran dan ajaran para wali tanah Jawi berdasar pembacaan naskah” kami intensifkan dan kembangkan secara rutin dan berjadwal, meski dengan peserta yang dibatasi dalam jumlahnya karena keterbatasan ruang di pendapa kami. Hingga sebuah kedatangan seseorang teman akhirnya mengubah secara mendasar rancang bangun kegiatan dan forum diskusi yang telah kami selenggarakan secara keseluruhan.

Pada penghujung akhir tahun 2018, seorang seniman ternama yang memiliki nama Jumaldi Alfi tiba-tiba mengunjungi Langgar. Ia bercerita bahwa pola maupun praktik keaagamaan di Minangkabau, yakni sebuah tempat dimana Alfi dilahirkan, mengalamai perubahan orientasi mendasar yang, seturut penuturannya yang bisa menarik haru, kian hari semakin bersemangat untuk menggusur manifestasi keragaman praktik keberIslaman bersendi adat. Katanya dengan mengharu, “surau-surau dirubuhkan bukan dalam pengertian metaforiknya seperti diceritakan A.A. Navis dalam cerita ‘Rubuhnya Surau Kami’, melainkan ia benar-benar dirobohkan dalam pengertian harfiah materialnya.” “Dan dengan segera masjid-masjid berarsitektur dan berdonasi Arab akhirnya tegak berdiri di antara puing-puing tradisi,” imbuhnya. Seniman ini juga menggarisbawahi terkait perubahan-perubahan mendasar orientasi praktik keagamaan muslim Minangkabau secara umum yang sayangnya justru semakin eksklusif dan tertutup dalam gerak praktik dan pemikiran keagamaannya. “Lalu kemana jejak ‘trah pemikiran’ tokoh besar Mohammad Hatta, M. Yamin, Hamka, dan (bahkan) Tan Malaka, juga sederet para sastrawan besar yang pernah dilahirkan Minangkabau?” tanyanya dalam nada menggebu.

Sejak siang itu, saya bersepakat dengan tawaran Uda Alfi, begitu saya biasa memanggilnya, untuk memindahkan forum diskusi Langgar.co, yang selanjutnya saya namai Forum “Suluk Kebudayaan Indonesia”–saya ambil sesuai tagline media kami–yang bertempat di Galeri Seni Sarang Bulidings milik sang seniman. Saya sendiri bersama Bagus Pradana, teman yang juga ikut mengawal berdirinya media Langgar.co, merancang dan menyusun perencanaan materi kajian Suluk maupun list para pemateri yang kami saring sesuai rekam-jejak pergulatan dan keilmuan maupun usaha serius mereka dalam menelurkan tawaran-tawaran alternatif-solutif atas pembacaaan arah kebudayaan Indonesia secara mendasar. Dan, tentunya, seturut dengan prasyarat yang dulu saya sodorkan ke Alfi untuk memberi apreseasi yang pantas kepada para pemateri, kami bisa sedikit memaksa para pemateri yang kami undang untuk menuliskan gagasan yang akan mereka sampaikan setidaknya dalam 15 halaman kertas folio. Selain itu, saya bersama Bagus Pradana, serta Jumaldi Alfi juga turut menggandeng dan melibatkan komunitas kajian yang beririsan, seperti Saidian Institute, yang dipimpin oleh Hasan Basri Marwah. Dari kerjasama nama-nama ini lah “Forum Suluk” ini akhirnya bisa diselenggarakan secara bulanan, meski dengan kekecualian di bulan-bulan awalnya yang masih berlangsung per dwi-mingguan, dan akhirnya untuk pertama kalinya diinisiasi secara resmi pada tanggal 16 Desember 2018.

Hingga buku ini terbit, Forum Diskusi “Suluk Kebudayaan Indonesia” telah terselenggara sekira 11 pertemuan, dengan tema, pemateri, dan sodoran diskursus yang beragam, yang terbagi dalam serial sesi yang tiap serinya terdiri lima pertemuan, yang masing-masing pertemuan diisi oleh satu pemateri. Dan hingga peritiwa pandemi Covid-19 yang mulai menerpa (Maret 2020), yang oleh karenanya memaksa kami menghentikan sementara penyelenggaraan acara Suluk, kami telah menyelenggarakan 3 serial sesi yakni: “Forum Suluk Kebudayaan Indonesia seri 1” (berisi 5 pertemuan dengan masing-masing pemateri pada tiap bulan berjalan), “Forum Suluk Kebudayaan Indonesia seri 2” (dengan lima pertemuan dengan masing-masing pemateri), dan juga “Forum Suluk Kebudayaan Indonesia seri 3” yang hanya baru menyelenggarakan satu pertemuan, sebelum kebijakan lockdown akhirnya diterapkan. Kami membayangkan forum “Suluk Kebudayaan” ini, terutama saya sendiri sebagai penggagas materi, bisa menampung pergulatan kebudayaan secara lebih luas dalam renik sesuai variasi konjungtur wilayah Indonesia, dalam pengertian makna suluk yang telah saya singgung di awal pengantar ini, yang pada fase-fase awal berdirinya Langgar.co memang masih terbatas pada diskursus yang didominasi oleh isu Ke-jawa-an, Islam, dan Ke-Indonesiaan secara lebih umum.

Tema-tema yang kami angkat forum di “Suluk Kebudayaan” begitu beragam yang meski masih meraba bentuk, kami banyangkan bisa menampung “alternatif” pembacaaan akan rekonstruksi arah kebudayaan yang baru. Tema-tema tersebut diantaranya, “Tradisi Wujudiyah di Pulau Lombok”, “Usaha Menjadi Muslim sekaligus Modern: Catatan atas ‘Empat Bulan Di Amerika’ Hamka,” “Menjadi Jawa tanpa Menonton Wayang,” “Ngelmu dalam Tradisi Epistemologi Jawa”, “Minagkabau Pertalian Adat dan Syara’”, “Wayang Sebagai Kritik Kebudayaan”, “Menjadi Muslim, Menjadi Indonesia,” “Genealogi Historiografi Islam Jawa”, “Istana Prawoto dalam Serat Centhini,” “Konstelasi Politik Identitas Muslim Tionghoa pasca Orde-Baru”, hingga “Pesantren Jawa abad 15-17 dan Dasar Keilmuannya”, juga tema-tema yang urung terselenggara karena pandemi Covid seperti “Jaringan Walisanga dalam Rekaman Naskah Bugis-Makassar”, “Ambon dalam Diskursus Paska-kolonial,” dan “Genealogi Keilmuan Agraria di Indonesia.”

Saya sendiri juga menyeleksi pemateri secara ketat, seturut konsen rumusan dan pergulatan keilmuan mereka yang saya pandang menawarkan arah baru rumusan kebudayaan, yang karenanya nama pemateri selain banyak didominasi nama-nama anak muda dengan pembacaan segarnya, juga nama-nama yang meski tak begitu terekam dalam jejak akademis yang lebih formal namun memiliki tawaran pembacaan yang genuine dan rumusan terobosan. Di antara para pemateri yang telah kami undang, antara lain Hasan Basri Marwah, Hairus Salim, Mahfud Ikhwan, Irfan Afifi, Ridwan Muzir, M. Jadul Maula, Katrin Bandel, Achmad Fawaid, Dwi Cipta, Ali Ramdhoni, Afthonul Afif, Nur Kholik Ridwan, dan Hatib Abdul Kadir (belum terselenggara), Muhammad Al Fayyadl (belum), Ahmad Nasih Luthfi (belum), Ahmad Baso (belum), dan Raudal Tanjung Banua (belum).

Buku yang anda pegang ini adalah sejenis rekaman atas pergulatan diskursus dan materi yang telah disampaikan di Forum Suluk Kebudayaan Indonesia, yang telah terselenggara sejak 16 Desember 2018 hingga 7 Maret 2020, yang hingga hari ini (semoga) masih (akan) terus berlangsung, namun urung terpaksa ditunda selama pandemi Covid-19. Ia sejenis rekaman yang berusaha menengok kembali akar masa lalu Indonesia, yang saya bayangkan, di satu sisi bisa menjebol warisan “diskursus kolonial” juga  (yang terus tersambung hingga) paskakolonial sehingga bisa menelurkan rumusan dan tawaran baru atas arah baru kebudayaan Indonesia, maupun di sisi lain bisa memeras dan meresapkan sari pati “hikmat-kebijaksanaan” maupun pergulatan bangsa seturut renik kompleksitasnya maupun rintangannya yang lebih mendasar dalam proses perjalanannya “menjadi Indonesia”.

Yakni sebuah proses yang lebih jujur untuk mengenali kedirian kebangsaan kita (jati diri) yang tak hanya merupakan produk “olah pikir” semata, melainkan juga merupakan “olah budi” sebagai kesatuan seluruh olah-fakultas ruhani kemanusian yang bisa melecut, mengajak, dan menggeret secara lebih jauh kepada olah (1) Cipta, (2) Karsa, (3) Jiwa, dan (4) Rasa, sebagaimana tersemat pada kata “kebudayaan” dalam pengertian mendasarnya, yang saya harapkan dari proses itu, pijakan kemandirian dan kedaulatan diri bangsa, baik pada ranah politik, ekonomi, maupun kebudayaan, akan bertopang pada akar serabut kebudayaan yang mengukuhkan, dan darinya sekaligus bisa menumbuhkan dan merentangkan dahan, ranting, daun, dan juga rimbun bebuahan yang menjulang memenuhi angkasa.

Proses ini saya imajikan merupakan sejenis pergulatan “olah kemanusiaan” maupun “olah kebudayaan” yang secara mendasar bisa menerobos pembacaan segar agar mampu mengenali diri kebangsaan dalam rentang kehidupan perjalanan kehidupannya–seperti telah secara tersirat terekam dalam kata “suluk” (perjalanan/olah diri) maupun “kebudayaan” sebagaimana telah saya singgung di awal pengantar ini–yang bisa membantu keterjagaan diri dalam semesta keterombang-ambingan arus besar kebudayaan dunia yang menyesaki dunia hidup kita hari ini. Yakni sebuah (undangan) pergulatan kebudayaan yang tidak semata bertumpu pada capaian material-intelektual-profannya semata, melainkan olah kemanusiaan yang mampu mengantarkan kepada capaian nilai luhur kemanusiaan yang bertopang pada gagasan ontologi manusia yang berjangkar pada nilai ketuhanan sebagaimana tercantum dalam sila falsafah bangsa kita. Dan dari jalur itu, setelah proses pergulatan yang telah telah saya ceritakan, undangan juga cara-baca baru atas arah kebudayaan dan proses “perjalanan” kebangsaan sebagaimana terekam dalam keseluruhan isi buku ini, mendapat gayung bersambutnya. Dan saya, setelah fase keterombang-ambingan yang telah saya singgung, bukan saja tak lagi merasa sendiri dan kesepian, melainkan saya, atau kita, dengan segenap kerendah hatian bisa sedikit menjumput “makna” yang mengukuhkan diri dalam semesta perjalanan. Akhir kata selamat membaca.

Cepokojajar, Yogyakarta, 19 Januari 2021

*Tulisan ini diambil dari pengantar buku “Suluk Kebudayaan Indonesia,” Buku Langgar, Yogyakarta, Januari 2021.


Referensi

Ann Kumar, The Diary of Javanese Muslim, Religion, Politics, and Pesantren 1883-1886, Faculty of Asian Studies Monographs: New Series No. 7, Faculty of Asian Studies Australian University, Canbera 1985.

Clifford Geertz, The Religion of Java, London, the University of Chicago Press, 1960.

Clifford Geertz, Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia, New Haven, Yale University Press, 1968.

Irfan Afifi, Saya, Jawa, dan Islam, Tanda Baca, Yogyakarta, April 2019.

M.R.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries, (Norwalk, CT: EastBridge, 2006).

________________, Polarizing Javanese Society, Islamic and other Visions (c. 1830-1930), NUS Press (Singapore: 2007).

——————, Islamisation and Its Opponents in Java, A Political, Social, Cultural, and Religious History C. 1930 to the Present, NUS Press (Singapore: 2012).

Nancy K. Florida “Writing Traditions in Colonial Java, the Questions of Islam” dalam Culture and Scholarships, S.C. Humphreys (editor), The University of Michigan Press, (USA: 1997).

Nancy K. Florida “Reading The Unread in Traditional Javanese Literature” dalam Indonesia Vol. 004, 1997-10, hal. 1-15, (INDO/44/0/1107009790/1-15), Cornell University Southeast Asia Program, (USA: 1997).

Nancy K. Florida, Jawa Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa,  Buku Langgar (Yogyakarta: 2020).

Sir Thomas Stanford Raffles F.R.S., The History of Java, (Vol. 1 & 2) John Murray Albemarle Street, London, 1817.

Theodore G. Pigeaud, Literature of Java I & II, Spinger-Science+Business Media, B.V., Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, 1967.

Woodwards, Marks R., Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, University of Arizona Press, (USA: 1989).

Marshal Hodgsons, The Venture of Islam, Conscience and History in a World of Civilizations, vol. 3, Chicago Press, 1974.

0
378
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.