Menu

Author Archives: Kris Budiman

 

Saya membaca Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java pada paruh kedua 90-an, saat masih unyu-unyu menempuh jenjang S2. Kini, setelah 25 tahun berlalu, tak dinyana saya kembali berjumpa dengan Nancy Florida dalam sebuah buku yang masih hangat, baru keluar dari oven penerbitnya. Langsung saja saya meramban, membaca-baca sekilas, meskipun kemudian saya putuskan untuk menerapkan teknik membaca lamban. Maka, pada suatu dini hari saya pun memulai pelan-pelan dengan Bab I, “Menulis Tradisi di Masa Kolonial Jawa: Pertanyaan Terkait Islam.” Segera terbayang sebuah perjalanan panjang yang dialogis, yang melelahkan namun menyenangkan, di antara Irfan Afifi selaku penerjemah/penyunting dan Nancy Florida. Sedikit kejanggalan kebahasaan kecil di sana-sini dalam teks terjemahan ini sungguh tiada berarti dibandingkan kritisisme dan pengetahuan yang terbabar di hadapan para pembaca. Misalkan saja tentang Kebudayaan (adiluhung) Jawa yang telah dengan sukses dikonstruk oleh romantisisme proyek filologi kolonial.

“[S]elama awal tumbuh-kembangnya tradisi kesarjanaan filologi kolonial dari tahun 1830 hingga 1860, gambaran akan kebudayaan tinggi Jawa telah tergariskan. Dan penggambaran inilah—yang ternyata awet—adalah bagian dari romantisisme filologis pada renaisans kesusastraan Surakarta. Penggambaran dari manusia yang ngelindur, yakni penggambaran yang dibuat kesarjanaan kolonial […] (Florida, 2020: 18).”

Dua bab berikutnya yang saya baca adalah “Membaca yang Tak Terbaca Dalam Kesusastraan Jawa Tradisional” (Bab II) dan “Badhaya Katawang: Sebuah Terjemahan Kidung Kanjeng Ratu Kidul” (Bab III). Melanjutkan satu pokok yang sudah saya catat di atas, dalam “Membaca yang Tak Terbaca…” sekali lagi Florida mengungkap kodifikasi Kebudayaan (dengan “K” kapital) adiluhung Jawa oleh proyek filologi kolonial. “Penciptaan gambaran (tentang Kebudayaan adiluhung, KB) itu tidak dilakukan secara lugu,” dikatakannya, “Sebab politik reaksionerlah yang menciptakan, dan institusi konservatif yang mempropagandakan […] (Florida, 2020: 51-52).” Kultus adiluhung yang terus diawet(-awet)kan hingga Orde Baru, bahkan hingga hari ini, pun ternyata tidak lepas dari  lingkaran gerakan teosofi pada awal Abad XX, yang dengannya kaum priyayi konservatif dan Javanolog Belanda bekerja-sama mengerjakan kodifikasi budaya priyayi Jawa.

Kultus adiluhung yang terus diawet(-awet)kan hingga Orde Baru, bahkan hingga hari ini, pun ternyata tidak lepas dari  lingkaran gerakan teosofi pada awal Abad XX, yang dengannya kaum priyayi konservatif dan Javanolog Belanda bekerja-sama mengerjakan kodifikasi budaya priyayi Jawa.

Pada bab selanjutnya, “Badhaya Katawang…” Florida mengerjakan alih-aksara sekaligus satu versi terjemahan Serat Pesindhen Badhaya: Kagungan-dalem ing Kadipaten Anom ingkang Kaping IV. Teks yang dikarang/ditulis pada awal paruh kedua Abad XIX ini tidak panjang, namun sungguh menantang dalam alih-bahasa lantaran dipenuhi oleh permainan bunyi dan makna; teka-teki linguistis; polisemi dan ambiguitas; di samping daya tariknya sebagai sebuah teks erotis. Meskipun tidak bermaksud membuat edisi filologis, toh dapat kita ikuti kepekaan dan kecermatan Florida atas berbagai kemungkinan tafsir dan detail medan-medan makna.

Meskipun demikian, satu yang saya ragukan dari terjemahan dan tafsirannya adalah ihwal tembung guling yang mungkin akan lebih tepat jika dipahami bukan sebagai (bantal) guling, melainkan berbaring sebagaimana kita mengerti dalam pepatah cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan tidur). Sebab bantal guling, dalam sejarahnya, adalah kebiasaan orang (kaum laki-laki, para prajurit/tentara dan birokrat) Belanda di Hindia Timur. Atau, mungkinkah Kanjeng Ratu Kidul dan Senopati (lebih tepatnya: raja Jawa pada Abad XIX) telah mengadopsi kebiasaan tidur berbantal guling itu? Florida sendiri sesungguhnya sudah menyadari polisemi ini, namun mengapa dia pada akhirnya memilih guling sebagai bantal, alih-alih sebagai tidur atau berbaring? Entahlah.

Yang jelas, niat saya untuk membaca lamban ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Tak sampai sebulan saya telah menuntaskan buku ini. Mengapa bisa lebih cepat dari prakiraan semula? Sebab tiga bab terakhirnya saya baca secara ngebut tipis-tipis. Ketiga bab tersebut membahas genre “piwulang putri” dalam khasanah sastra Jawa Abad XIX (Bab IV); hari-hari terakhir R. Ng. Ranggawarsita dan Serat Kala Tidha (Bab V); dan jejak-jejak Tarekat Syattariyyah di dalam sastra Jawa Abad XIX, khususnya pada sebuah karya Ranggasasmita (Bab VI).

Yang jelas, niat saya untuk membaca lamban ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Tak sampai sebulan saya telah menuntaskan buku ini. Mengapa bisa lebih cepat dari prakiraan semula? Sebab tiga bab terakhirnya saya baca secara ngebut tipis-tipis.

Saya tidak ingin memberi komentar secara detail, namun hanya ingin mencatat tiga poin saja—dua di antaranya bahkan bukan merupakan pokok bahasan utama Florida. Pertama, sebuah pertanyaan enigmatis pengarang dan juga saya selaku pembaca, mengapa genre “piwulang putri“—yang notabene ditulis oleh kaum laki-laki—meningkat produksinya di keraton Surakarta pada akhir Abad XIX? Jawabannya tentu saja tidak akan saya bocorkan di sini.

Singkatnya, ada konteks historis-politis tertentu yang bisa menjelaskan gejala itu (baca Florida, 2020: 117-123). Kedua, sebuah pertanyaan lain: Mengapa Florida tidak coba membuat analisis kontrastif, perbandingan antara “piwulang putri” yang ditulis oleh pujangga laki-laki dan perempuan (misalkan Nyai Tumenggung Adisara, pujangga estri yang terpinggirkan dalam tradisi filologi Jawa yang male-dominated itu)? Sayang sekali, sebab dari situ saya justru berharap dapat ikut mendengarkan suara-suara feminin dalam “retakan” teks maskulin. Ketiga, sekali lagi perihal Kebudayaan (dengan “K” kapital sebagai penanda ke-adiluhung-an) Jawa. Florida masih menambahkan catatan yang lebih khusus tentang awal-mula kodifikasi kejawen (mistisisme Jawa). “Ngelmu” mistik yang diwarnai oleh spekulasi (ajaran) teosofi, namun tetap beraroma sufi, itu sesungguhnya merupakan produk wacana kolonial dan ternyata baru dikonstruk sejak dua abad lalu.

Florida masih menambahkan catatan yang lebih khusus tentang awal-mula kodifikasi kejawen (mistisisme Jawa). “Ngelmu” mistik yang diwarnai oleh spekulasi (ajaran) teosofi, namun tetap beraroma sufi, itu sesungguhnya merupakan produk wacana kolonial dan ternyata baru dikonstruk sejak dua abad lalu.

Akhirnya, ingin saya katakan: Betapa Florida bukanlah tipe sarjana yang gemar ngelindur dengan jargon atau terminologi esoteris yang kerap membingungkan pembaca awam. Tidak perlu repot-repot dengan paparan teoretis rumit tentang pendekatan pascakolonial, dengan enak-dibaca, dia menganalisis posisi Ranggawarsita dalam “ruang ketiga” ala Bhabha (Florida, 2020: 144). Dia pun tidak merasa perlu berumit-rumit menguraikan konsep Derridean manakala membaca “retakan” teks (Florida, 2020: 114) atau psikoanalisis ketika sampai pada bahasan tentang ketakutan dikebiri (castration fear) atau metafor cermin (Florida, 2020: 134 & 231). Dengan kata lain, dia bukan tipe perajin atau tukang teori. Seumpama seorang pemusik, dia adalah pemusik yang telah selesai dengan tetek-bengek perkara teknis.

 


Sumber Bacaan:

Florida, Nancy K. Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa. Yogyakarta: Buku Langgar, 2020.